Anda di halaman 1dari 10

PENUGASAN BLOK 4.

3 KOMPREHENSIF KLINIK
REFERAT BIOETIK
VULNERABLE GROUP DAN SAMPEL PENELITIAN

Oleh :
PINANDHITA ANISA WARDHANI
15711177

Tutor :
dr. Muhammad Kharisma

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2018
VULNERABLE GROUP DAN SAMPEL PENELITIAN

1. Definisi
Vulnerable group adalah individu atau kelompok yang memiliki
ketidakmampuan secara independen untuk sepenuhnya melindungi
kepentingan mereka dan sangat rentan untuk dirugikan. Dalam
konteks penelitian dengan menggunakan manusia sebagai subjeknya,
vulnerable group dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang atau
gangguan kemampuan seseorang untuk memberikan inform consent
secara etis atau sah secara hukum, atau dari situasi atau keadaan,
seperti kondisi penyakit berat berat, golongan ekonomi kebawah, atau
kondisi penahanan (narapidana), yang menempatkan individu atau
kelompok individu sangat beresiko untuk dieksploitasi atau
dimanfaatkan secara tidak adil dalam penelitian (Purpose, 2016).
NBAC (National Bioethics Advisory Commission) mengusulkan
kategori vulnerable group menjadi 6 tipe yang dapat diterapkan untuk
sampel penelitian dalam situasi yang berbeda yaitu :
a. Kerentanan kognitif atau komunikatif (cognitive or communicative
vulnerability) adalah ketidakmampuan untuk memahami informasi
dan membuat keputusan baik karena keterbatasan kapasitas (anak
kecil dan penderita gangguan jiwa) atau keadaan (keadaan darurat
dan kendala Bahasa)
b. Kerentanan kelembagaan (institutional vulnerability) adalah individu
atau kelompok yang harus tunduk pada hubungan otoritas dalam
struktur hierarki formal (narapidana atau personil militer)
c. Deferential vulnerability : individu atau kelompok yang tunduk pada
otoritas orang lain (anak-anak dan personil militer)
d. Kerentanan medis (medical vulnerability) adalah invididu yang
memiliki kondisi kesehatan yang buruk dan tidak mendapatkan
perawatan standar yang memuaskan.
e. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) adalah
individu/kelompok yang dirugikan dalam distribusi barang dan jasa
social seperti pendapatan, perumahan, atau perawatan kesehatan
f. Kerentanan sosial (social vulnerability) adalah kelompok sosial
yang undervalued atau kehilangan haknya (Purpose, 2016).
Dalam referat ini penulis akan menitik beratkan pada
pembahasan vulnerable group yaitu penderita gangguan jiwa yang
digunakan sebagai sempel penelitian. Individu yang mengalami
gangguan berpikir dan gangguan kognitif digolongan ke vulnerable
group karena memiliki kapasitas yang terbatas untuk memberikan
persetujuan terhadap inform consent untuk berpartisipasi dalam
penelitian. Inform consent adalah proses menginformasikan dan
memperoleh izin dari seseorang sebelum melakukan prosedur atau
tindakan medis atau penelitian. Dalam hal penelitian, inform consent
memiliki makna memberikan pemahaman tentang cara
penelitian/intervensi penelitian yang akan dilakukan, manfaat
penelitian, dan resiko atau efek yang mungkin ditimbulkan dari
penelitian dan secara prospektif mencari persetujuan calon sampel
penelitian untuk berpartisipasi. Melakukan inform consent merupakan
bagian integral dari etika perlakuan/penelitian baik dipengaturan klinis
maupun penelitian. Indivisu dengan kapasitas pengambilan keputusan
yang terganggu yang salah satunya disebabkan karena adanya
gangguan mental mungkin tidak dapat sepenuhnya memahami proses
informed consent atau implikasi dari partisipasi penelitian secara
meneyeluruh sehingga persetujuan mereka untuk berpartisipasi tidak
dapat dianggap valid secara etis maupun secara hukum (Brule and
Eckstein, 2017).
Kapasitas pengambilan keputusan adalah sebuah ketrampilan
yang rumit, dan mencangkup kemampuan untuk membuat dan
mengekspresikan pilihan, memahami informasi yang relevan dengan
keputusan medis, menghargai pentingnya informasi untuk situasi diri
sendiri, dan alasan untuk mengambil opsi lain. Untuk peserta dalam
penelitian, kapasitas pengambilan keputusan juga mencakup
kemampuan untuk menghargai perbedaan antara perawatan klinis
dan intervensi klinis dan intervensi penelitian. Ketidakmampuan
membuat keputusdan dapat disebabkan karena beberapa hal antara
lain gangguan mental, demensia, keadaan adiksi, dll. Kapasitas
pengambilan keputusan bervariasi antar setiap individu dengan
gangguan di atas. Ketika calon peserta penelitian cenderung memiliki
kapasitas pengambilan keputusan yang lemah, mereka dianggap
rentan dan membutuhkan perlindungan tambahan dari luar yang
berlaku untuk semua peserta penelitian. Di USA, indivisu dengan
gangguan mental dianggap debagai kelompok rentan/vulnerable
group dan harus disediakan pengamanan tambahan. Pengamanan
tambahan yang dimaksud adalah individu yang tidak dapat
memberikan persetujuan terhadap inform consent hanya dapat
menjadi sampel penelitian apabila mendapat izin dari perwakilan yang
sah secara hukum/legally authorized representative (LAR), diberbagai
negara penentuan mengenai siapa saja yang berhak menjadi LAR
sangat bervariasi (Mack, 2016).

2. Prevalensi dan epidemiologi kasus


Data Kementrian Kesehatan tahun 2014 menunjukan bahwa
sekitar 14juta orang di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun mengalami
gejala depresi dan gangguan jiwa. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat seperti skizofrenia mencapai 400.000. Masalah utama pada
penderita gangguan jiwa adalah penurunan produktivitas hingga
menyebabkan kerugian secara ekonomi.
3. Etiologi / penyebab
Penelitian tentang masaah kesehatan jiwa di Indonesia maupun
di dunia sangat bersar dan kompleks. Riset kesehatan dasar
(Riskesdes) pada tahun 2017 menunjukan sebanyak 11,6% penduduk
dewasa (usia diatas 15 tahun) di Indonesia mengalami masalah
gangguan mental emosional dan 0,46% mengalami gangguan mental
serius (Departemen Kesehatan RI, 2010). Dengan tingginya masalah
kesehatan mental yang terjadi, tentunya menuntut adanya solusi
mengobatan dan terapi utnuk mengatasi masalah kesehatan tersebut.
Namun data survey dari WHO juga menunjukan adanya treatment gap
(jurang dalam pengoatan) yang cukup serius, 35,5% sampai dengan
50,3% dari kasus serius di negara maju dan 76,3% sampai dengan
85,4% di negara berkembang tidak menerima pengobatan sama sekali
dalam 12 bulan terakhir. Oleh karenanya penelitian dalam bidang
kesehatan jiwa sangat diperlukan untuk meningkatkan terus
pengetahuan tenaga kesehatan mengenai kesehatan jiwa dan pada
akhirnya dapat menyediakan layanan kesehatan bagi penderita yang
lebih baik.
4. Dilema etik yang dihadapi ditinjau dari sisi medis, ekono-sosio kultural,
Islamic perspektif
Semua penelitian yang melibatkan manusia sebagai sampel
penelitian harus memenuhi 4 prinsip etik yaitu respect for person,
beneficence, nonmaleficence, dan justice. Sebagai upaya peningkatan
kualitas penanganan gangguan jiwa, penelitian dengan menggunakan
subjek penderita gangguan jiwa merupakan salah satu penelitian yang
penting untuk dilakukan, Dua hal uatama yang dianggap penting untuk
memberikan perlakuan khusus pada penderita gangguan jiwa yang
dijadikan sebagai subjek penelitian adalah adanya masalah kapasitas
pengambilan keputusdan dan stigma atau pandangan negatif tentang
gangguan jiwa. Dilema etik dari sisi medis yang dihadapi oleh peneliti
adalah tentang kapasitas pengambilan keputusan pada penderita
gangguan jiwa. Kapasitas penderita gangguan jiwa mengalami
penurunan karena gejala gangguan jiwa itu sendiri, dan dari
penurunan fungsi kognitif. Gejala gangguan jiwa dapat mempengaruhi
proses piker seperti penderita depresi yang ingin ikut serta dalam
penelitian karena berharap akan meninggal dalam proses ‘percobaan”,
penderita yang cemas cenderung menolak dan khawatir berlebihan,
dan penderita psikosis yang tindakan dan pikirannya terpengaruh oleh
gajala waham dan halusinasinya. Sementara fungsi kognitif dapat
terjadi karena gejala kronis dan berkelanjutan, serta akibat dari isolasi
sosial yang berlangsung lama. Ketidakmampuan pengambilan
keputusan oleh penderita gangguan jiwa sering ditemui sehingga
persetujuan penelitian pada pasien gangguan jiwa diwakilkan oleh
keluarga sebagai orang terdekat pasien (Haque, 2015).
Dilema ekono-sosio kultural yang dihadapi pada penelitian
dengan sampel penderita gangguan jiwa adalah stigma negatif yang
melekat pada penderita gangguan jiwa. Stigma negatif adalah adanya
labeling sebagai individu dengan kemampuan kreativitas dibawah rata-
rata meliputi tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak ada upaya dalam
mencapai tujuan tersebut, tidak ada kesesuaian dengan apa yang
dilakukan dengan perlakuan yang dilakukan. kemudian kemampuan
penderita yang buruk meliputi kemampuan merawat diri sendiri seperti
perawatan kesehatan, mandi, berpakaian, berbelanja, memasak atau
melakukan perawatan lingkunagn sekitar. Selanjutnya masalah
hubungan interpersonal yang meliputi penurunan kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berinteraksi, dan menempatkan
menempatkan posisi dalam kondisi tertentu dilingkungan adalah
dilema yang sering ditemui oleh peneliti yang menggunakan penderita
gangguan jiwa sebagai sampel penelitiannya (Wellbery, Saunders and
Visconti, 2017).
Perspektif islam mengenai penelitian terhadap penderita
gangguan jiwa dapat dikaitkan dengan pembahasan terakit terapi
dalam Islam. Terapi dalam Islam, layaknya pandangan Islam dalam
kesehatan mental, juga memiliki dua aspek yakni fisik dan psikis.
Gangguan yang terjadi pada fisik manusia sunatullah diterapi dengan
hal yang bersifat fisik, yakni obat-obatan yang sesuai dengan hukum
syara, sementara gejala gangguan yang muncul dalam jiwa diterapi
dengan pengobatan ma’nawi, yaitu terapi yang memiliki nutrisi bai ruh
dan kalbu manusia yang sedang sakit. Jadi Islam sendiri tidak
memberikan batasan pada penelitian dengan menggunakan sampel
penderita gangguan mental selama penelitian tersebut tidak
bertentangan dengan fitrah manusia. Dalam Islam juga dikenali istilah
penelitian burhani yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
mengeksperimen. Misalnya temuan obat tertentu yang akan dilakukan
uji coba laboratorium. Dalam melakukan penelitian, perspektif islam
juga menjunjung tinggi etika-etika seperti kejujuran, menjaga
kelestarian hidup atau tidak berbuat kerusakan, bertindah ikhsan, dan
tidak merugikan orang lain. Dalam surat Al Maidah Ayat 32 :

Artinya : “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi


Bani Israil, bahwa: barang siapa embunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas. Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Surat tersebut dapat memberikan pemahaman bahwa suatu
penelitian yang bertujuan untuk memelihara kehidupan seorang
manusia dalam hal ini adalah kelompok penderita gangguan mental,
maka penelitian tersebut juga akan memelihara seluruh kehidupan
semua manusia (Rachmaningtyas, 2014).

5. Pendapat penulis terkait solusi/penyelesaian dilema etik


Pendapat penulis mengenai penelitian yang melibatkan
penderita gangguan jiwa sebagai sampel penelitian adalah setuju
sepanjang penelitian dilaksanakan dengan tetap memenuhi 4 prinsip
etik yaitu respect for person, beneficence, nonmaleficence dan
justice. Peneliti juga harus melakukan inform concent yang berisi
tujuan dan manfaat penelitian, cara/intervensi penelitian yang akan
dilakukan, dan kemungkinan efek samping yang timbul dari
dilakukannya penelitian baik terhadap sampel penelitian maupun
keluarga terkait yang kemudian inform concent tersebut harus
disetujui oleh penderita gangguan jiwa (apabila masih memiliki
kemampuan pembuatan keputusan yang baik) atau perwakilan yang
sah secara hukum. Terlebih penelitian mengenai terapi farmakologi
yang akan dicobakan pada manusia dengan gangguan jiwa haruslah
lolos uji ETIK dan sudah melewati uji pada hewan coba terlebih
dahulu. Untuk dilema ekono-sosio kultural terkait dengan
ketidakmampuan sampel dalam hal ini adalah penderita gangguan
mental untuk merawat diri yang akan berdampak pada kelancaran
penelitian maka diperlukan dukungan keluarga dekat untuk
membantu sampel dalam mengikuti penelitian.

6. Kesimpulan
Vulnerable group dalam konteks penelitian dipahami sebagai
ketidakmampuan seseorang atau gangguan kemampuan seseorang
untuk memberikan inform consent secara etis atau sah secara hukum,
atau dari situasi atau keadaan, seperti kondisi penyakit berat berat,
golongan ekonomi kebawah, atau kondisi penahanan (narapidana),
yang menempatkan individu atau kelompok individu sangat beresiko
untuk dieksploitasi atau dimanfaatkan secara tidak adil dalam
penelitian. Salah satu contoh vulnerable groups adalah penderita
gangguan jiwa. Di Indonesia telah banyak penelitian yang melibatkan
penderita gangguan jiwa sebagai sampel penelitian. Banyak
keterbatasan dan dilema yang dialami peneliti terakit dengan sampel
penelitian. Penelitian dengan sampel penderita gangguan jiwa
haruslah memenuhi 4 prinsip bioetik yaitu beneficence, non
maleficence, otonomi dan justice. Meskipun terdapat keterbatasan
dalam memenuhi prinsip otonomi yang terkait dengan kemampuan
seseorang untuk membuat keputusan yang diinformasikan, tidak
dipaksakan dan rasional, keterbatasan tersebut di atasi dengan
pemberian persetujuan oleh perwakilan yang sah secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Brule, N. and Eckstein, J. J. (2017) ‘The SAGE Encyclopedia of


Communication Research Methods Vulnerable Groups’, (January 2016).

Haque, J. (2015) ‘Research on Vulnerable Groups : The Medical Researchers


View’, 18(1).

Mack, C. (2016) ‘Research Involving Vulnerable Populations’.

Purpose, I. (2016) ‘Vulnerable Populations Background’, pp. 1–31.

Rachmawati, F., Mubarak. 2014. Perspektif Islam pada Pasien Gangguan


Jiwa Akibat Penyalahgunaan Narkoba di Pondok Inabah Banjarmasin. pp
131-146.

Wellbery, C., Saunders, P. and Visconti, A. (2017) ‘Medical Students’


Empathy for Vulnerable Groups: Results From a Survey and Reflective
Writing Assignment’, (October). doi: 10.1097/ACM.0000000000001953.

Anda mungkin juga menyukai