Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebelum tahun 1946, perlakuan salah dengan kekerasan dan menelantarkan anak
belum mendapat perhatian masyarakat, khususnya tentang dampak yang buruk pada tumbuh
kembang akan menuju kedewasaan yang optimal. Diketahui bahwa sebanyak 40.000 anak
mati di dunia setiap harinya karena penyakit yang mudah dapat dicegah. Sebanyak 7 juta
anak tidak memiliki rumah dan tinggal di tempat pengungsian dan 8 juta anak tidak dapat
bermain dan bersekolah akan tetapi terpaksa harus bekerja di pabrik.

Seorang anak tidak mempunyai dosa, sangat peka terhadap lingkungannya dan masih
sangat tergantung pada orang lain. Demikian pula bahwa anak memiliki ciri selalu ingin tahu
tentang yang terjadi disekitarnya dan tampak selalu bergerak aktif dengan leluasa penuh
harapan dimasa depan. Memang, anak memerlukan masa hidup yang penuh ceria dalam
suasana tentram dan aman untuk dapat bermain dan belajar menuju kedewaaannya yang
optimal.

Namun sesungguhnya, setiap saat seorang anak terancam bahaya yang dapat
menggangu tumbuh kembangnya. Seringkali anak bahkan menjadi korban kekerasan seperti
halnya apabila terjadi perang, dalam situasi bentok antar kelompok karena adanya
diskriminasi ras, karena agresi bangsa lain atau diduduki orang asing yang mengeksploitir
mereka untuk bekerja dan bahkan seringkali anak terpaksa dipisah dari orang tuanya atau
pengasuhnya.

1.2 Rumusan Masalah


A. Bagaimana Laporan Pendahuluan Kekerasan Pada Anak?
B. Bagaimana Dasar Hukum Pelindungan Anak ?
C. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Kekerasan Fisik, Mental, dan
Seksual?

1.3 Tujuan Penulisan


A. Menjelaskan tentang laporan pendahuluan kekerasan pada anak
B. Menjelaskan tentang dasar hukum pelindungan anak
C. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada anak dengan kekerasan fisik, mental,
dan seksual

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Laporan Pendahuluan Kekerasan Pada Anak

A. Definisi

Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang


lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Kekerasan pada anak meliputi “ABUSE”, yaitu suatu tindakan dengan sengaja atau
tidak melakukan sesuatu sehingga berakibat sakit / cedera tertentu bahkan kematian seorang
anak. Abuse dapat dilakukan secara fisik maupun psikologik yang mengakibatkan berbagai
macam cidera tergantung dari macam tindakan kekerasan. Penganiayaan anak mencakup
spectrum tindakan kasar atau tindakan pengawasan , dan kekurangan tindakan, atau tindakan
melalaikan yang berakibat mordinitas atau kematian.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang
merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik,
perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.

B. Macam-Macam Kekerasan Pada Anak

Dari berbagai ragam kekerasan di atas, cara, bentuk tindakan dan dampak di
kemudian hari dapat dikumpulkan sebagai berikut :

 KEKERASAN FISIK :
Bentuk kekerasan fisik, seperti memukul anak, mencambuk, tidak diberikan makanan,
dimasukkan ke dalam kamar gelap, membersihkan WC sekolah, berlari keliling sekolah,
dan sebagainya.Penyiksaan fisik dapat didefinisikan secara sempit sebagai luka yang
disengaja pada anak oleh pengasuh yang berakibat memar, luka bakar, patah tulang, luka
robek, luka tusuk, dan kerusakan organ. Definisi yang lebih luas termasuk akibat
emosional jangka pendek dan jangka panjang, yang dapat lebih melemahkan daripada
pengaruh fisiknya.

2
 KEKERASAN PSIKOLOGIS :
Bentuk ini merupakan kekerasan yang tidak tampak dan seringkali bukan di anggap
suatu “abuse”. Dampak jangka panjang pada anak sampai usia remaja yang sangat
mendalam seperti merasa rendah diri, tidak memiliki percaya diri, suka menyendiri, tidak
punya teman, tidak lancar dalam sekolah, dan sebagainya.
 KEKERASAN SEKSUAL :
Merupakan kekerasan yang paling berat pada anak. Kekerasan ini seringkali terkait
dengan turisme dan pelacuran, komersial maupun non-komersial. Sexual abuse atau
melibatkan anak pada setiap tindakan yang dimaksudkan untuk kepuasan sexual orang
dewasa. Sexual abuse mungkin dilakukan oleh anggota keluarga (incest), kenalan atau
setidak-tidaknya orang asing.

C. Etiologi

Penyiksaan fisik paling mungkin terjadi pada orang tua beresiko tinggi yang
bertanggung jawab pada perawatan anak beresiko tinggi. Anak-anak beresiko tinggi adalah
bayi premature, bayi dengan keadaan medic kronik, bayi yang menderita kolik dan anak anak
dengan masalah perilaku. Anak mungkin normal tetapi disalah artikan oleh orang tua yang
bersahaja sebagai sukar, tidak biasa atau abnormal. Perilaku normal seperti menangis,
kencing malam (ngompol) , mengotori, menumpahkan , dapat menyebabkan orang tua
kehilangan kendali dan melukai anak. Peluang yang mempercepat penyiksaan mungkin
akibat krisis keluarga, seperti kehilangan pekerjaan atau rumah, percecokan perkawinan,
kematian saudara kandung, kelelahan fisik, atau menderita sakit fisik atau mental akut atau
kronik pada orang tua atau anak.

Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child
abuse, yaitu:

1) Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak.


2) Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. 
3) Adanya kejadian khusus

D. Manifestasi Klinik

Penyiksaan fisik dicurigai bila luka tidak terjelaskan, tidak dapat dijelaskan, atau tidak
masuk akal. Jika luka tidak cocok dengan riwayat yang diberikan atau perkembangan anak,

3
penyiksaan yang dicurigai harus dilaporkan. Diharapkan bila anak merasa sakit, orang tua
akan membawanya segera untuk pemeriksaan. Pada anak yang disiksa, sering ada penundaan
dalam mecari bantuan medik. Penundaan mungkin karena tidak adanya transportasi atau
kurang pengetahuan mengenai arti luka.

 Memar.
Memar adalah manifestasi penyiksaan anak yang paling sering dan mungkin terdapat
pada setiap permukaan tubuh. Memar kecelakaan dari dampak trauma, paling mungkin
ditemukan pada permukaan utama yang melapisi tepi permukaan tulang , seperti tulang
betis, lengan bawh, pinggul dan kening.
 Fraktur
Fraktur paling sering diakibatkan karena luka renggutan atau tarikan yang mencederai
metafisis. Tanda klasik pada penyiksaan anak adalah fraktur retak dimana sudut
metafisis tulang panjang terpecah sampai epifisis dan periosteum.
 Rambut yang ditarik
Rambut yang ditarik menyebabkan alopesia dimana rambut putus dengan panjang yang
tidak sama. Bayi yang tersia-sia , dibiarkan berbaring terlentang, mungin mempunyai
daerah kehilangan rambut dibagian belakang kepala. Adanya memar, jaringan parut dan
fraktur pada berbagai stadium penyembuhan sangat member kesan penyiksaan.
 Luka bakar
Sekitar 10 % kasus penyiksaan fisik mencakup luka bakar. Bentuk dan gambaran luka
bakar dapat didiagnostik bila menggambarkan pola geometrik suatu objek atau metode
jejas.
 Trauma kepala
Penyebab kematian paling sering dari peyiksaan fisik adalah trauma kepala. Kepala,
muka, atau isi cranium terjejas pada 29% laporan penyiksaan anak dari rumah sakit anak.
Lebih dari 95% luka intrakranial yang serius selama usia 1 tahun pertama adalah akibat
penyiksaan.
 Jejas intra-abdomen
Jejas intra-abdomen menyebabkan penyebab kematian yang paling lazim kedua pada
anak-anak yang dipukul berulang.-ulang. Anak yang terkena mungkin datang dengan
muntah berulang, kembung perut, tidak ada suara usus, nyeri setempat atau syok.

Akibat dari penganiayaan seksual. Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:

4
 Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan
perdarahan anus.
 Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia,
atau perubahan tingkah laku.
 Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.

Perilaku nonspesifik adalah langkah bunuh diri, rasa takut pada suatu individu atau
tempat, mimpi buruk, gangguan tidur, regresi, agresi, perilaku pendiam, gangguan stres
pasca-trauma, harga diri rendah, depresi, kinerja sekolah jelek, melarikan diri, pengrusakan
diri, kecemasan, penyebab kebakaran, kepribadian ganda, somatisasi, fobia, trauma,
prostitusi, penyalahgunaan obat, gangguan makan, dismonorrea, dan dispareunia.

E. Dampak Kekerasan Pada Anak


Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse),
antara lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan
menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-
anaknya.
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi
orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk
(coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali),
penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan,
dan memiliki dorongan bunuh diri.
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban
yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan
trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah
menikah.
4. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan
pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam
pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.

5
F. Pengobatan dan Pencegahan
 Pengobatan

Terapi medik,bedah dan psikatrik yang tepat untuk luka harus segera dimulai.
Pemasukan ke rumah sakit dianjurkan untuk anak (1) yang keadaan medik atau bedah
memerlukan pengelolaan rawat inap; (2) dignosis tidak jelas; dan (3) bila tidak ada tempat
aman untuk perawatan. Perawatan rumah sakit untuk anak ini harus menunjuk tim
profesional yang dilatih dan diberi ketrampilan dalam mengenali penyiksaan anak dan
pelaporan serta tanggap terhadap kebutuhan anak tersiksa atau terabaikan dan keluarganya.
Tim ini harus termasuk dokter ahli anak,pekerja rumah sakit,perawat anak,psikolog atau
psikiater dan koordinator.

Evaluasi dan penatalaksanaan sexual abuse adalah serupa, tetapi lebih kompleks
daripada,evaluasi dan penatalaksanaan kejahatan (penyiksaan) fisik. Kejahatan seksual
dipandang suatu pelanggaran kriminal dan diperiksa oleh polisi. Semua korban sexual abuse
memerlukan dukungan psikologis. Orang tua, keluarga, dan saudara kandung mungkin
menyangkal tuduhan anak dan memarahi atau menghukum anak karena melaporkan kejadian.

 Pencegahan

Pencegahan primer penyiksaan adalah mengidentifikasi orang tua risiko tinggi yang
tidak mampu menerimam,cinta,dan merawat secara tepat anaknya. Riwayat yang diambil dari
semua orang tua harus meliputi informasi mengenai perencanaan kehamilan dan sikap
mengenai anak dan tehnik perawatan anak. Pencegahan primer sexual abuse mulai dengan
mengajari anak nama-nama semua bagian badan yang tepat, termasuk nama, fungsi dan arti
“bagian privat” (puting susu, genitalia, dan rektum). Anak harus dididik mengatakan “tidak”
untuk disentuh oleh seseorang pada daerah-daerah ini dan melaporkan semua tindakan yang
membuatnya tidak menyenangkan pada orang dewasa yang dipercaya.

2.2 Dasar Hukum Pelindungan Anak

1. Konvensi Hak Anak atau KHA

Konvensi hak anak atau KHA (“Convention on the Right of the Child”, CRC) yang
dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
pada tahun 1990 sampai sekarang belum tampak gerak langkahnya di Indonesia. Dasar

6
penyelesaian masalah CAN adalah KAH tersebut yang intinya terdiri atas 4 pokok bahasan,
yaitu :

1) Hak untuk bertahan hidup (“survival”), yaitu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
hidup yang layak, mendapatkan makanan, tempat untuk istirahat dan berteduh,
mendapatkan air bersih, memiliki nama dan kebangsaan.
2) Hak untuk tumbuh kembang : yaitu mendapatkan pendidikan, rekreasi dan
mengembangkan seni.
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap segala bentuk kekerasan dan
menelantarkan (“child abuse & neglect”), eksploitasi sosial maupun seksual, termasuk
terhadap anak cacat, anak yatim, korban peperangan maupun anak yang mendapatkan
kesulitan hukum.
4) Hak untuk berpartisipasi dalam mengembangkan seni-budaya, bebas untuk bersuara,
medapat segala macam informasi dan hak untuk didengar.

Di Indonesia pada tahun 1998 dibentuk sebuah Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
dibeberapa kota besar yang pada saat ini masih di dalam tahap konsolidasi bentuk organisasi.
Demikian pula sebuah Pusat Data & Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Pusdatin KOMNAS PA) dibentuk untuk memonitor kejadian tentang perlakuan salah dengan
kekerasan maupun penelantaran anak, merangkum artikel kliping yang masuk ke dalam
BERITA ANAK, sebuah mingguan untuk kemudian melakukan investigasi setempat (on site)
apabila diperlukan. Peran media inilah diharapkan akan berperan untuk memberikan
dukungan uang positif dan cepat bagi LPA untuk bertindak cepat menangani masalah yang
timbul di masyarakat.Berbagai kasus yang direkam di masukkan ke beberapa kategori, antara
lain : penelantaran, perlakuan, salah secara seksual, perdagangan anak, penculikan anak,
kekerasan terhadap anak, tawuran pelajar, kecelakaan pada anak, peradilan anak, overdosis,
narkoba, anak rawan gizi, anak pengungsi, dikelompokkan melalui kliping dengan rangkaian
media cetak yang siap memberikan informasi luas terjadinya perlakuan salah dengan
kekerasan pada anak dengan harapan segera mendapatkan perhatian khalayak amai untuk
dapat diselesaikan. Telah terbit pula sejak awal tahun 2000 sebuah majalah dengan nama
“ANALISIS” tentang KOMNAS PA telah menerbitkan pula sebuah majalah.

2. UU Nomor 23 tahun 2003 tentang PERLINDUNGAN ANAK

Anda mungkin juga menyukai