Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA LANSIA, WANITA HAMIL,

ANAK-ANAK, ORANG DENGAN PENYAKIT KRONIS, DISABILITAS,

DAN SAKIT MENTAL

DI SUSUN OLEH :

1. DELENCE KHAYSIA 1707008

2. LALA EPHILIA A. 17070

3. LILIS WAHKIDI 17070

4. NOVI LARASATI 1707022

UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG

PROGRAM STUDI NERS

TAHUN AJARAN 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis
rawan terjadinya bencana alam dan non alam seperti gempa tektonik,
tsunami, banjir dan angin puting beliung. Bencana non alam akibat ulah
manusia yang tidak mengelola alam dengan baik dapat mengakibatkan
timbulnya bencana alam, seperti tanah longsor, banjir bandang,
kebakaran hutan dan kekeringan. The United National Disaster
Management Training Program,mendefinisikan bencana adalah kejadian
yang datang tiba-tiba dan mengacaukan fungsi normal masyarakat atau
komunitas. Peristiwa atau rangkain kejadian yang menimbulkan korban
jiwa, kerusakan atau kerugian infrastruktur, pelayanan umum, dan
kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diluar kapasitas normal dari
masyarakat untuk mengatasinya, sehingga memerlukan bantuan dari luar
masyarakat tersebut (Kollek, 2013).
Berdasarkan pengertian-pengertian bencana diatas, bencana
dapat diartikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang tidak dapat
diatasi oleh masyarakat dan dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan
maupun kerugian harta benda. Menurut Badan Penanggulan Bencana
Inonesia (2016) telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh
Indonesia.Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun 2015 dimana
catatan bencana alam berjumlah 1.732 kejadian. Selama 2016 terjadi 766
bencana banjir, 612 longsor, 669 puting beliung, 74 kombinasi banjir dan
longsor, 178 kebakaran hutan dan lahan, 13 gempa, tujuh gunung
meletus, dan 23 gelombang pasang dan abrasi. Dampak yang
ditimbulkan bencana telah menyebabkan 522 orang meninggal dunia dan
hilang, 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita, 69.287 unit rumah rusak
dimana 9.171 rusak berat, 13.077 rusak sedang, 47.039 rusak ringan,
dan 2.311 unit fasilitas umum rusak (BNPB, 2016).
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar. Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah,
tempat kerja, ternak, dan peralatan menjadi  rusak atau hancur. Korban
juga mengalami dampak psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan,
kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan yang
mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya
waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak
psikologis  jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi ,
psikosomatis  (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis)
ataupun yang tidak langsung  : konflik, hingga perceraian.
Dampak yang ditimbulkan menimbulkan kedaruratan disegala
bidang termasuk kedaruratan situasi pada masalah kesehatan pada
kelompok rentan. Kelompok rentan adalah sekelompok orang yang
membutuhkan penanganan khusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar
seperti bayi, anak-anak, wanita hamil, lansia dengan fisik normal maupun
cacat.
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada
kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta
penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi
Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-
Hak Penyandang Disabilitas). Ketika terjadi suatu bencana akan timbul
beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang
dialami oleh korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti
kepanikan yang luar biasa sehingga gangguan mental yang sering
muncul pada lansia setelah bencana adalah depresi dan gangguan
fungsi kognitif.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat
dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan
masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang
lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kelompok rentan
2. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia
3. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada ibu hamil
4. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada anak-anak
5. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada orang dengan
penyakit kronis
6. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan disabilitas
7. Untuk dapat mengetahui perawatan populasi rentan pada sakit mental
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam
situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat
diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang
pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi,
balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui;
penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atauketerbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagikemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yangberperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagaikelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintahkarena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan
sebagai : (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga
diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua
merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena
sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

B. Perawatan Populasi Rentan Pada Lansia


a. Definisi
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik,
mental dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena
penurunan kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami
masalah kesehatan kronis (Klynman et al,2007). Di Amerika serikat, lebih
dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan
diperkirakan sekitar 1.300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian
badai tersebut harus dirawat dipanti jompo setelah bencana alam itu terjadi
(Powers & daily,2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan
finansial pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-
kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah kesehatan dan
kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynmman et al,2007).

b. Pemenuhan Kebutuhan Pada Lansia


1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
 Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan
penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis.Sebagai hasilnya,
dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut
kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga
mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan
pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
 Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan
guncangan/trauma pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
untuk menghindari trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi
indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan
proses menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan
respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah
terkena mati rasa

Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan


orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
4) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
5) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi
indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan
proses menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan
respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah
terkena mati rasa
 Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia,
diantaranya:
a. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati
dan interaksi orang muda dan lansia (community awareness)
b. Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator
dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh
agency perlindungan anak di posko perlindunga korban
bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan
dan skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia
setelah bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi
fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia,
tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.Seperti penumpukan
kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah
sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah.Dibandingkan dengan
generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu
yang singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh
stressor.Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar
dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.
2. Perawatan Keluarga Dirumah
1) Cara Keluarga (Caregiver)
Kebutuhan Dasar Merawat lansia Kebutuhan dasar merawat lansia
pada penelitian teridentifikasi kebersihan diri (mandi, ganti baju,
kebersihan mulut, dan eliminasi), nutrisi, istirahat, mobilisasi, sosial
dan pemberian obat. Lueckenotte (2000) perawatan dasar pada lansia
berhubungan dengan aktivitas dasar sehari – hari bagi lansia yang
sebenarnya meliputi tugas perawatan pribadi setiap harinya yang
berkaitan dengan kebersihan diri, nutrisi, aktivitas lain seperti latihan
fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Hasil
penelitian memaparkan lansia selain memerlukan aktivitas keseharian
juga memerlukan istirahat yang cukup dalam mendukung kualitas
hidupnya agar tetap dalam keadaan sehat. Lansia membutuhkan
aktivitas untuk bersosialisasi dengan orang lain. Lansia yang
mengalami masalah kesehatan juga memerlukan perawatan dasar lain
yang berguna untuk meningkatkan kesehatannya yaitu pemberian obat.
Didukung penelitian Stanley (2005) mengungkapkan pemberi
perawatan perlu memenuhi sebagian besar AKS (Aktivitas Kebutuhan
Sehari – hari) pada lansia. Hal tersebut menjelaskan pemberi perawatan
harus mengetahui benar tentang kebutuhan dasar pada lansia yang
dirawat sehingga lansia dapat mencapai kualitas hidup di usia senjanya.
Kebutuhan yang mendasar yang dibutuhkan lansia yang harus dipenuhi
adalah kebutuhan kebersihan diri, nutrisi, istirahat, mobilisasi atau
aktifitas fisik, kebutuhan dukungan sosial dan juga jika lansia
mengalami masalah kesehatan dukungan pengobatan harus diberikan
oleh keluarga atau pemberi perawatan.
2) Tujuan Merawat Lansia
Teridentifikasi dua tujuan yaitu membantu lansia dan menjaga
keamanan pada lansia.Tujuan merawat lansia yang dilakukan oleh
caregiver menurut Maryam (2008) untuk menghindari kecelakaan
dengan perbaikan lingkungan disekitar lansia, membantu lansia dalam
pemenuhan kebutuhan.Terdapat persamaan antara konsep dengan hasil
penelitian.Tujuan dalam perawatan lansia adalah membantu lansia
dalam memenuhi kebutuhannya dan menjaga lansia agar tidak
mengalami masalah karena sakit atau kecelakaan.Hal ini didukung
Sukmarini (2009) dalam Sarwendah (2013) yang menjelasakan bahwa
caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang
yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena
penyakit dan keterbatasannya.Hal tersebut memaparkan tujuan
perawatan lansia yang dilakukan oleh caregiver adalah untuk membantu
lansia yang mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu hal.
3) Metode Merawat Lansia
Metode merawat lansia dilakukan dengan upaya peningkatan
kenyamanan lansia (menawari hal yang disukai dan penuh perhatian),
melibatkan keluarga sebagai caregiver yang lain selama perawatan, dan
membawa ke pelayanan kesehatan baik itu ke rumah sakit ataupun
puskesmas/ klinik kesehatan terdekat. Videbeck (2008) memaparkan
metode yang dapat digunakan untuk memberikan perawatan pada lansia
melalui pengobatan selain melalui pendekatan individu yang dapat
dilakukan dengan intervensi meningkatkan keamanan klien melalui
kerjasama dengan anggota keluarga yang ada sebagai caregiver.Metode
pemberian perawatan lansia dapat dilakukan dengan pengobatan lansia
dibawa ke tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan
yang sesuai dengan masalah yang dialaminya. Mengikut sertakan
anggota keluarga lainnya sebagai caregiver dapat dilakukan dalam
mengurangi beban bagi caregiver yang selama ini merawat lansia dalam
kurun waktu yang cukup lama, selain itu akan semakin meningkatkan
rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga yang ada.
4) Dukungan Sosial Dalam Merawat Lansia
Keluarga yang berperan sebagai caregiver mendapatkan dukungan
dari internal yaitu suami/ istri dan juga dari eksternal yang berasal dari
kakak/ adik ipar, kakak/ adik kandung, kader lansia, dan tenaga
kesehatan yang ada. Bentuk dukungan yang didapat berupa dukungan
informal yang berasal dari kader posyandu, tenaga kesehatan baik itu
perawat maupun dokter.Friedman (1998) menjelaskan keluarga sebagai
caregiver mendapat dukungan internal seperti dukungan istri/suami,
atau dukungan saudara kandung dan dukungan eksternal yang berasal
dari luar keluarga.Bentuk dukungan teridentifikasi dukungan informal
didapatkan oleh keluarga sebagai caregiver.Menurut Suparyanto (2011)
dukungan informasional keluarga didapatkan melalui ketersediaan
nasehat atau masukan dari petugas pelayanan kesehatan
terdekat.Dukungan informal yang telah didapatkan oleh caregiver yang
sejalan dengan konsep teori adalah yang berasal dari tenaga kesehatan.
Hal tersebut tergambar pentingnya informasi tentang perawatan lansia
kepada keluarga pemberi perawatan lansia tidak hanya informasi lisan
tetapi juga informasi tulisan demi meningkatkan kualitas perawatan .

C. Perawatan Populasi Rentan pada Ibu Hamil


a. Definisi
Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam
situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat
diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang
pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi,
balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung/menyusui;
penyandang cacat (disabilitas) ; dan orang lanjut usia. Pada dasarnya
pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara rinci. Hanya
saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa
setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar
Husein disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan
adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/
pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan).
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan
sebagai : (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga
diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua
merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena
sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
1. Identifikasi Kelompok Beresiko
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat yang lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana
yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah
kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok ini
diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui,
lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan.
Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan
informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan tindakan
kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat
(Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization
(WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).
a. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah
menjadi isu vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus.
Oleh karena itu, intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan
bencana yang memperhatikan standar internasional perlindungan hak
asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase penanganan
bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati
bahwa pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender
yang ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan
perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih
berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat
(Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
2. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-
kelompok rentan, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan
penanganan bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010);
1) Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan kelompok-kelompok rentan tersebut, contohnya ventilisator
untuk anak, alat bantu untuki ndividu yang cacat, alat-alat bantuan
persalinan, dll.
2) Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan.
3) Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan
informasi dan komunikasi.
4) Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat
diakses.
5) Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan
diuraikan pada pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers &
Daily, 2010; Veenema 2007):
a. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas
harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya
dengan menolong janinnya sehingga meningkatkan kondisi fisik dan
mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan
janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan
sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga
lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil, diantaranya:
1) Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu.Tubuh ibu hamil
yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk
membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si
janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
2) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi
yang jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan
adalah keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air
bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu
diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya
yang lebih memadai.
a. Pra bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan
penanganan bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok
rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang di sosialisasikan kepada
seluruh anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan
risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
2) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
3) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
4) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban
bumil dan busui
c. Pasca bencana
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan
dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling
dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugas petugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pasca
bencana

D. Perawatan Populasi Rentan pada Anak


Anak-anak adalah orang yang memerlukan kegembiraan,kasih sayang
perlakuan yang santun dan asupan gizi seimbang untuk memastikan potensi-
potensi dalam dirinya bisa tumbuh dengan baik. Bencana atau ancaman
bencana akan bisa merampas ini semua, sehingga kebijakan berkaitan
kebencanaan harus memastikan bisa menjamin dan melindungi mereka.
Kelompok yang paling rentan ketika terjadi bencana adalah anak.
1. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok
rentan, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan
bencana perlu (Morrow,& Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator
untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan
persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan
informasi dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
2. Perawatan Populasi Rentan Pada Bayi Dan Anak-Anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana
karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Selain
menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak
Indonesia kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami
2004. Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking)
yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers &
Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis
karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan
hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya
kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan segera
oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).
3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
a. Pra Bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan
anak pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok
berisiko
b. Saat Bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada bayi dan anak
sesuai dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam
pemberian pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak
dari orang tua, keluarga atau wali mereka
c. Pasca Bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur,
tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah,
mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak
pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga
yang terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka.
4. Hak Anak dalam Masa Tanggap Darurat
Secara umum ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus
dipenuhi dalam konteks tahap tanggap darurat mengacu kepada Konvensi
Hak Anak dan undang-undang perlindungan anak.
a. Hak Sipil dan Kemerdekaan
Ada dua hak dasar anak yang harus diperhatikan terkait dengan hak
sipil dan kemerdekaan dalam tanggap darurat, yaitu:
1) Hak atas pencatatan kelahiran dan identitas (KHA pasal 7, UUPA
pasal 5). Dalam situasi pasca bencana, kehancuran infrastruktur dan
kelumpuhan sistem administrasi negara sampai di tingkat RT/ RW,
membuat anak-anak yang lahir pasca gempa tidak tercatat. Hal ini
menempatkan anak-anak dalam situasi kehilangan hak akibat tidak
tercatat dalam mekanisme pencatatan kelahiran ataupun pencatatan
darurat menyangkut bantuan darurat. Oleh karena itu, perlu
mengembangkan program khusus dari pemangku kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan anak akan hak identitas mereka. Selama ini,
karena dianggap tidak terlalu mendesak program yang mencoba
menjawab kebutuhan ini belum banyak dilakukan dalam masa
tanggap darurat.
2) Hak atas Kebebasan Beragama (KHA pasal 27). Dalam situasi
pasca bencana, bantuan kemanuasiaan baik fisik maupun bersifat
dukungan psikologis harus ditujukan kepada semua anak/orang
dewasa tanpa memandang keyakinan dan agama. Oleh karena itu,
setiap program yang dilaksanakan haruslah menghormati keyakinan
dan agama yang dianut oleh penerima manfaat program sehingga
program yang dilaksanakan tidak dijadikan media untuk mengubah
keyakinan anak. Dalam konteks ini, peran masyarakat dan
pemerintah menjadi penting sekali untuk memantau setiap program
yang mempunyai maksud dan tujuan tersembunyi untuk mengubah
agama para penerima manfaat.
b. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative
1) Hak atas bimbingan orang tua (KHA pasal 5). Dalam situasi pasca
bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua
kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-
anak mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental,
moral dan sosial anak, sekaligus menempatkan anak dalam posisi
rentan terhadap kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan,
kekerasan dan perdagangan. Perhatian dari orang tua mengambil
peran penting dalam membantu anak melewati masa-masa krisis
setelah bencana Oleh karena itu orang tua dan pemangku
kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan meyakinkan
mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan
mereka dan keadaan akan kembali normal. Disamping itu, orang tua
adalah teman anak yang dapat mendorong anak untuk
mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka terkait dengan
bencana. Kemampuan mendengarkan dan berempati dari orang tua
menjadi kekuatan yang luar bisaa dalam membantu anak melewati
masa-masa krisis akibat bencana
2) Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang
tua (KHA pasal 9 dan 10, UUPA pasal 7). Dalam situasi pasca
bencana, anak-anak dapat terpisahkan dari orangtua mereka.
Kemungkinan situasi keterpisahan bersifat permanen (orangtua
meninggal atau tidak pernah ditemukan) atau temporer hingga
orangtua kelak ditemukan. Pengalaman dari bencana Gempa dan
Tsunami di Aceh menunjukkan bahwasanya banyak sekali anak-
anak yang dibawa keluar dari Aceh terpisah dengan orang tuanya.
Meskipun bertujuan baik untuk mengadopsi misalnya terkadang hal
tersebut dapat merampas hak anak untuk mendapatkan pengasuhan
langsung dari orang tua mereka. Oleh karena itu, prioritas utama
program yang dapat dilakukan adalah program reunifikasi atau
mempertemukan anak dengan orang tua dan keluarganya.
c. Kesehatan dan kesejahteraan dasar
1) Hak khusus anak difabel/orang dengan kecacatan (KHA pasal 23).
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam
kerentanan khusus karena situasi kecacatan mereka. Saat terjadi
bencana mereka mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri. Di
samping itu, peristiwa bencana dapat mengakibatkan anak menjadi
difabel baru. Saat pasca bencana kebutuhan khusus mereka
seringkali terabaikan oleh bantuan masa tanggap darurat yang
disalurkan. Oleh karena itu menjadi penting untuk merancang
program yang memperhatikan kebutuhan khusus dari anak-anak
difabel baik karena bencana atau tidak.
2) Hak atas layanan kesehatan (KHA pasal 6 dan 24, UUPA pasal 8).
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi
yang dapat mengancam tingkat kesehatan mereka. Hancur dan
rusaknya fasilitas sanitasi, luka-luka akibat bencana alam ataupun
lingkungan buruk pasca bencana alam menyebabkan dapat
menurunkan tingkat kesehatan anak. Di sisi lain, hilangnya
kemampuan orang tua memberikan asupan gizi yang layak dalam
jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan
kesehatan anak. Oleh karena itu, program yang memberikan
layanan kesehatan gratis bagi korban anak sangat dibutuhkan dalam
situasi tanggap darurat. Pengalaman penanganan bencana selama ini
menunjukan banyak sekali program-program layanan kesehatan
yang disediakan untuk korban bencana baik anak-anak maupun
orang dewasa baik dari unsur pemerintah dan non-pemerintah.
3) Hak atas standar penghidupan yang layak (KHA pasal 27). Dalam
situasi pasca bencana, standar kehidupan yang layak bagi
perkembangan jasmani, mental, spiritual, moral dan sosial anak
yang dalam situasi normal disediakan oleh orangtua/wali tidak
terpenuhi akibat kerusakan sarana prasarana. Stakeholder khususnya
Negara wajib memberikan bantuan material serta program
dukungan, khususnya menyangkut nutrisi, pakaian dan
penampungan sementara. Menyangkut bantuan tersebut, anakanak
memilki kebutuhan sangat khusus terutama berkaitan dengan
tingkat usia mereka. Pemenuhan hak dasar inilah dalam konteks
tangap darurat melului bantuan logistic mendominasi model dan
bentuk bantuan kemanusian yang diberikan oleh hampir semua
stakeholder.
d. Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
1) Hak atas pendidikan termasuk pelatihan dan bimbingan
keterampilan (KHA pasal 28, UUPA pasal 9). Dalam situasi pasca
bencana, kerusakan sarana dan prasarana pendidikan termasuk
prasarana perhubungan serta situasi-situasi seperti kehidupan
keluarga anak dan keluarga guru yang tidak normal dapat
menyebabkan proses belajar-mengajar reguler terhenti.
Terganggunya perekonomian akibat bencana juga menempatkan
anak-anak dalam posisi rawan putus sekolah. Berdasarkan kondisi
ini, program-program pendidikan alternatif yang diberikan para
pemangku kepentingan akan sangat membantu para korban anak.
Program sekolah darurat, program menggambar, bercerita, Taman
Pendidikan
2) Hak atas waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya (KHA pasal
31). Dalam situasi darurat pasca bencana, aktifitas sosialbudaya
menjadi terganggu. Ruang fisik dan ruang sosial untuk bermain dan
bersosialisasi secara normal menjadi hilang. Keadaan ini dapat
berlangsung lama hingga masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Begitu
pula, kehidupan perekonomian yang belum pulih membuat anak-
anak rawan untuk kehilangan waktu beristirahat dan mendapatkan
waktu luang yang cukup. Untuk menjawab kebutuhan dan hak anak
akan waktu luang, rekreasi dan budaya, banyak program yang bisa
ditawarkan seperti program bermain, rekreasi, pelatihan seni seperti
menari, menyanyi dll.
e. Perlindungan khusus
1) Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi (KHA pasal 32).
Kerusakan sarana & prasarana ekonomi serta situasi tidak normal
yang dialami oleh keluarga-keluarga mengancam kelangsungan
pendapatan keluarga baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Tantangan pemenuhan kebutuhan yang dihadapi oleh
keluarga-keluarga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan
mengalami eksploitasi ekonomi, baik oleh orangtua/keluarga sendiri
maupun oleh orang/pihak lainnya. Dalam kondisi tersebut, tidak
jarang anak bekerja dalam bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk
anak seperti menjadi pekerja rumah tangga dll.
2) Hak untuk dilindngi dari Eksploitasi dan kekerasan seksual (KHA
pasl 34). Pada situasi pasca bencana, terutama dalam situasi
pemukiman kolektif di barak-barak pengungsian, tidak memberi
ruang privasi dan pemenuhan kebutuhan seksual orang dewasa
sehingga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan mengalami
kekerasan atau eksploitasi seksual.
3) Hak untuk mendapat perlindungan dari penculikan dan perdagangan
anak (KHA pasal 35). Dalam situasi pasca bencana, keterpisahan
dari orangtua, atau orangtua yang kehilangan kontrol efektif
terhadap anak-anak mereka, orangtua yang kehilangan kemampuan
finansial untuk mengasuh anak-anak mereka, atau terdesak oleh
kebutuhan finansial yang nyata dan ketiadaan perlindungan sosial
yang memadai, menempatkan anak-anak dalam posisi rawan untuk
menjadi korban penculikan dan perdagangan. Berdasarakan kondisi
inilah maka, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mensinyalir
bahwa praktek perdagangan anak meningkat pasca bencana alam di
daerah.
E. Perawatan Populasi Rentan pada orang dengan Penyakit Kronis
1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
penyakit kronik.
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit
kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan
lingkungan bagi orang-orang dengan penyakit kronik. Terutama
dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam
waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh
berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan
memanajemen penyakit seperti sebelum bencana.Walaupun sudah
berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga
kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih
parah lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai
kehidupan sehari-hari lagi.

Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri,


timbulnya penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup
sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki resiko penyakit
kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan
menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dangan gguan pernapasan.
a. Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat
dan berpenyakit kronis
2) Sediakan informasi bencana yang bisa di akses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tuna rungu, tuna netra, dll
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan
kegawatdaruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk
menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit
kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
1) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang
merawat.
2) Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatat mengenai isi
dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
3) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal

b. Saat bencana :
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk
orang cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit
infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal
(universal precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat
bencana adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang
paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk
menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat dan
mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui
latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang
berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses
pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.

Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya


bencana, diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala
gangguan jantung, ginjal, dan psikologis yang memburuk karena
kurang control kandungan gula di darah bagi pasien diabetes,
pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa
keluar peralatan tabung oksigen dari rumah

2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk


memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat
dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan
didistribusikan ketempat pengungsian, maka muncullah resiko
bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat
tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dan obat yang diberikan di rumahsakit.

c. Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

1. Keperawatan bagi pasien diabetes


1) Mengkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus minum
obat untuk menurunkankan dengan gula darah (contoh: insulin, dll)
atau tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau
infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala
infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui
kartu penyakit diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan
yang tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen
makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat

2. Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis


1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan
aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen
karena takut peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi
jika pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara
panas/dingin, dan debu).

F. Perawatan Populasi Rentan Pada Disabilitas


a. Definisi
Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada
kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta
penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan Daerah Provinsi
Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-
Hak Penyandang Disabilitas).
Penyandang disabilitas rentan dalam situasi bencana akibat adanya
hambatan dan kebutuhan yang dialaminya, seperti dari aspek fisik,
intelektual, mental, dan sensorik. Beragamnya hambatan yang dimiliki
menyebabkan penyandang disabilitas sering mengalami kesulitan untuk
mengakses dan menggunakan sumber daya yang pada umunya tersedia
dalam penanggulangan bencana (Wulandari, 2017).
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang
disabilitas ketika bertemu dengan bencana. Permasalahan tersebut terjadi
pada setiap tahapan manajemen bencana. Permasalahan tersebut antara
lain: (1) belum maksimalnya program persiapan bencana yang sensitif
penyandang disabilitas, (2) partisipasi penyandang disabilitas masih minim
dalam pendidikan pegurangan risiko bencana (PRB), (3) aksesbilitas
penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB, (4) penyandang
disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam penyelamatan diri,
(5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi
penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang
aksesibel di pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam
setiap tahapan manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik
saja namun yang sebenarnya terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan
ekonomi, hal tersebut diungkapkan oleh Raja dan Narasiman (2013, h.15).
Gangguan sosial terjadi ketika lingkungan sosial dari penyandang
disabilitas tidak bisa mengakomodasi keberadaanya dan gangguan
ekonomi adalah permasalahan kemiskinan yang seringkali sudah melekat
pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi
Penyandang Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi
penyandang disabilitas antara lain:
1) Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum
bencana antara lain:
(1) Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang
disabilitas terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila
teradi bencana;
(2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat
bencana alam; dan
(3) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang
kegiatan PRB.
2) Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:
(1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh
dari lokasi bencana;
(2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana;
(3) Menampung di pengungsian;
(4) Membawa korban ke rumah sakit;
(5) Melakukan pendataan dan penilaian;
(6) Memberikan konseling; dan
(7) Memberikan terapi.
3) Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi
penyandang disabilitas antara lain:
(1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam
bencana dan
(2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang
disabilitas.
4) Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain:
(1) Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan
rekonsiliasi dalam bidang ekonomi dan sarana prasarana;
(2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma;
(3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat;
dan
(4) Asistensi pemberdayaan ekonomi
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
kecacatan/disabilitas
Pra bencana
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat)
Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat, alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD
sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang
dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi
dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh
sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai
kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan
untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong
mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada
bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan
bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa
isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya
sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka
mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal
itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-
kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Pasca bencana
4) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
5) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

Anda mungkin juga menyukai