Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geologis dan hidrologis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana alam.
Salah satunya adalah gempa bumi dan potensi tsunami. Hal ini dikarenakan wilayah
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia
di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur.
Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-
Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur
gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang
bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan
jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa,
Bali dan Nusa Tenggara sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng tersebut.
Potensi bencana alam dengan frekuensi yang cukup tinggi lainnya adalah bencana
hidrometerologi, yaitu banjir, longsor, kekeringan, puting beliung dan gelombang pasang.
Frekuensi bencana hidrometerologi di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB}, selama tahun 2002-
2012 sebagian besar bencana yang tetjadi disebabkan oleh faktor hidrometerologi (BNPB,
2012). Bencana lainya yang sering menelan korban dan harta benda yang cukup besar
lainnya adalah bencana letusan gunung berapi. Letusan Gunung Merapi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang tetjadi pada 26 Oktober tahun 2010 telah mengakibatkan banyak
korban jiwa dan harta benda. Aliran awan panas yang dimuntahkan lava/material Merapi
dengan kecepatan mencapai 100 km per jam, dan panas mencapai kisaran 450-600°C
membakar hutan dan pemukiman penduduk sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara
besar-besaran.
Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk,
termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terj adi bencana adalah
pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan korban
bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan. Salah satunya adalah
peraturan yang menyebutkan peran penting Puskesmas dalam penanggulangan bencana
1
(Departemen Kesehatan RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). Namun demikian, literatur atau studi yang berkaitan
dengan permasalahan kesehatandalam kondisi bencana dan penanganannya relatif masih
terbatas. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas permasalahan kesehatan
dalam kondisi bencana dan mengkaji peran petugas kesehatan serta partisipasi masyarakat
dalam penanggulangannya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pertolongan korbanbencana dan penanggulangan bencana dengan
memperhatikan keselamatan korban dan petugas, keselamatan keamanan lingkungan dan
pendekatan interdisiplin?
C. Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengatahui pertolongan korbanbencana
dan penanggulangan bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan petugas,
keselamatan keamanan lingkungan dan pendekatan interdisiplin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perawatan terhadap individu dan komunitas dari aspek
psikososial dan spiritual
b. Untuk mengetahui Perawatan untuk populasi rentan (lansia, wanita hamil, anak-
anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental)
c. Untuk mengetahui Pemenuhan kebutuhan aspek fisiologis dan psikologis jangka
panjang

D. Manfaat
Manfaat disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Institusi Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa sebagai peserta didik dalam
menelaah suatu fenomena kesehatan yang spesifik tentang pertolongan korban bencana
dan penanggulangan bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan petugas,
keselamatan keamanan lingkungan dan pendekatan interdisiplin.
2
2. Bagi Tenaga Kesehatan (Perawat)
Makalah ini bagi tenaga kesehatan khususnya untuk perawat adalah untuk
mengetahui pentingnya bagaimana pelayanan yang tepat terhadap pertolongan korban
bencana dan penanggulangan bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan
petugas, keselamatan keamanan lingkungan dan pendekatan interdisiplin.
3. Bagi Mahasiswa
Manfaat makalah ini bagi mahasiswa baik menyusun maupun pembaca adalah
untuk menambah wawasan terhadap seluk beluk tentang pertolongan korban bencana
dan penanggulangan bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan petugas,
keselamatan keamanan lingkungan dan pendekatan interdisiplin.

BAB II
Tinjauan Pustaka
3
A. Perawatan Terhadap Individu Dan Komunitas Dari Aspek Psikososial Dan Spiritual
1. Aspek Psikososial
Peristiwa bencana membawa dampak bagi warga masyarakat khususnya yang menjadi
korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi korban bencana adalah sebagai berikut :
a) Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu atau bisa terjadi untuk seterusnya, karena
merupakan kawasan rawan bencana (termasuk dalam zona merah).
b) Kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lahan pertanian dan hancurnya tempat usaha.
c) Berpisah dengan kepala keluarga karena ayah atau suami banyak yang memilih untuk tetap
tinggal di rumah dengan alasan menjaga rumah, harta benda dan tetap bekerja sebagai petani,
berkebun atau peternak.
d) Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan, minum, tempat tinggal sementara atau
penampungan, pendidikan, kesehatan dan sarana air bersih yang tidak memadai. Tidak tersedia
atau terbatasnya fasilitas umum dan fasilitas sosial.
e) Terganggunya pendidikan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena kerusakan sarana dan
prasarana sekolah.
Dalam panduan pengungsi internal yang dikeluarkan oleh PBB Koordinator Urusan
Kemanusiaan (OCHA), kebutuhan perlindungan bagi pengungsi meliputi lima prinsip yaitu:
1) Perlindungan umum meliputi hak memperoleh persamaan perlakuan hukum, kebebasan
bersuara, perlindungan dari tindak diskriminasi, dan perlindungan khusus terutama untuk
pengungsi anakanak, ibu hamil, perempuan kepala rumah tangga, lanjut usia serta orang
cacat.
2) Perlindungan terhadap kemungkinan paksaan jadi pengungsi karena diskriminasi warna
kulit, pembersihan etnis, agama dan politik.
3) Perlindungan selama masa pengungsian internal dari tindak genoside, pembunuhan,
penculikan, penahanan, kekerasan, perampokan, penyanderaan, pemerkosaan,
penghukuman kerja, penyiksaan, pencacatan, perbudakan, eksploitasi, pelecehan seksual,
pengekangan gerak, pemaksaan ikut bertikai, penurunan martabat, moral dan mental.
Pengungsi juga memperoleh hak untuk mengetahui tentang keberadaan keluarganya dan
dipertemukan kembali, pemakaman yang layak apabila meninggal, memperoleh informasi
tentang pilihan hidup yang lebih baik, pergi ke negara lain yang dipandang aman dan
mencari suaka ke negara lain.
4) Bantuan kemanusiaan berupa makanan, pakaian, kesehatan atau obat-obatan, pendidikan,
hiburan, dan pelayanan administrasi kependudukan. Pemerintah dan pihak swasta harus
menjamin kelancaran dan keamanan dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan tersebut

4
sehingga terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan berbagai
hambatan birokrasi.
5) Bantuan pemulangan, relokasi dan integrasi dengan masyarakat tempat pengungsi berada.
(Gunanto Surjono, dkk. 2004: 7).
Lima prinsip di atas telah mencakup kebutuhan dasar manusia baik fisik, psikis
maupun sosial ( Rusmiyati, 2012).
2. Aspek spiritual
Kejadian bencana dapat merubah pola spiritual seseorang, dapat bersifat positif maupun
negatif. Aspek spiritual berkaitan dengan jati diri manusia, yang menghubungkan dengan Sang
Pencipta. Aspek tersebut dapat digunakan dalam menghadapi permasalahan pada manusia serta
kehidupannya. Kedua aspek tersebut tidak nampak, tidak dapat diraba, disentuh dan cukup rumit
untuk dikaji serta diintervensi. Penelitian Kar (2010) menjelaskan spiritualitas yang sehat dapat
dihubungkan dengan tingkat gejala dan masalah klinis yang lebih rendah pada masyarakat korban
bencana. Sebagian besar negara percaya bahwa spiritualitas adalah aspek fundamental yang penting
dan dapat digunakan saat terjadinya bencana (Benson, et al, 2016)
B. Perawatan untuk populasi Rentan
1. Lansia
a. Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan
penyelamatan antara penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia
dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan,
sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian Diperlukan upaya untuk penyusun
perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)
b. Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko kerentanan lansia,
misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
untuk menghindari trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
5
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia ke
tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman daya
pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan ruma
sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat dibandingkan
dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang lansia
yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar
untuk memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah
terkena mati rasa
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia dan
mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatankegiatan sosial bersama
lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness)
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan bersama anak-
anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko perlindunga korban
bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat di lokasi
penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang
dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat
pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan
fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder Lingkungan di tempat
pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi
orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurnag tidur dan kegelisahan.

6
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri Lansia yang sudah
kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di luar dan dalam rumah.
Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara Lansia yang masuk ke pemukiman
sementara terpaksa mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat
5. Mental Care Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian, orang lansia
itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.
2. Wanita Hamil
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita harus cepat
dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah
sama halnya dengan menolong janinnya sehingga meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita
hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil,
seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih
rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu hamil
a) Meningkatkan kebutuhan oksigen Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu
hamil yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantumenyelamatkan
nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b) Persiapan melahirkan yang aman Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi
yang jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu
diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
a. Pra bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
b. Saat bencana
a) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan bumil
dan busui, misalnya:
 Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat
merangsang kontraksi pada ibu hamil

7
 Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan busui
c. Pasca bencana
a) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
b) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban bencana
untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan
menyusui.
c) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi risiko
kejadian depesi pasca bencan
3. Anak-anak
a. Pra bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan bencana misalnya
dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas kesehatan khusus
untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
b. Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang digunakan saat
bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan tingkat
kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya,
misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang
dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan fasilitas
kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka
c. Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya waktu
makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi sebagai voluntir
untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca
bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya serta
lingkunganyang aman untuk mereka.
8
4. Orang dengan Penyakit Kronis dan Disabilitas
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi pegaruh
besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam
situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai
kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen
penyakit seperti sebelum bencana.Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka
sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar penyakit
tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai
kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis disebabkan
oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orangorang yang memiliki resiko penyakit kronis,
perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit
kronis seperti diabetes mellitus dan gangguan pernapasan.
a. Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit kronis
2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan fisik
seperti: tunarungu, tuna netra, dll
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit
kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
1) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat ketika
darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
2) Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang diminum,
pengobatan diet, dan data olahraga
3) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan bencana sejak
masa normal
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan berpenyakit
kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk
petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:

9
1) Bantuan evakuasi Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu
diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran televisi
untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag
dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat adalah :
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh, serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak
dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan
tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada
waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara
lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah
setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa isyarat,
bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat
menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling penting adalah
berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat
dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui latar belakang dan
riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara
seksama dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai
contoh diabetes dan gangguan pernapasan. Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat

10
terjadinya bencana, diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah bagi
pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar
peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan apakah
mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak obat-obatan
komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien
penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
c. Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu
dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individuindividu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:

1) Kebutuhan rumah tangga. Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis
(obatobatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti
air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alatkomunikasi dalam masyarakat
dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-
bahan.

Keperawatan bagi pasien diabetes:

11
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk menurunkan
kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan identifikasi obat apa yang
dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan jika ada, perlu
pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari
penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit diabetes
(catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat, dan
memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian tabung
oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien tersebut tidak
bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan debu)

5. Gangguan Mental

a. Meminimalkan paparan media yang memberitakan tentang bencana atau peristiwa tersebut

b. Menghindarkan mereka dari tempat-tempat dimana kejadian mengerikan itu berlangsung

c. Memberikan dukungan, kita perlu menunjukkan bahwa kita peduli dan berempati terhadap
kondisi korban.

d. Memberikan donasi dalam bentuk pangan, sandang, dan papan.

e. Mengajak para korban untuk bermain dan bersenda gurau, hal ini dapat meringankan tekanan
traumatis yang dialami korban

f. Melakukan kegiatan bersama-sama seperti memasak di dapur umum

g. Menjadi pendengar cerita para korban, bila mereka siap menceritakan musibah yang dialaminya

12
Secara moral, dukungan psikososial ditujukan untuk melepaskan korban dari perasaan
ketakutan yang dialaminya, bukannya bertujuan untuk melupakan peristiwa pahit tersebut.Dan
kegiatan yang dilakukan bersama-sama memberikan efek psikologis yang kuat kepada korban yang
menandakan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi peristiwa ini.
Selain itu edukasi seputar informasi bencana atau informasi bantuan pun menjadi hal yang
penting dan dapat disampaikan kepada korban sehingga apabila bencana susulan terjadi para korban
mengerti apa yang harus dilakukan.
Kondisi psikologis seseorang setelah mengalami trauma dapat kembali pulih atau normal.
Tentunya pemulihan kondisi psikologis seseorang tergantung dari bagaimana mereka mampu
menghadapi situasi sulit serta ketersediaan sumber-sumber daya lokal yang dapat menunjang proses
pemulihan trauma.
Namun, tidak dipungkiri bahwa gangguan trauma dapat menetap dan berkepanjangan
sehingga memerlukan penanganan yang lebih lanjut dan bersifat holistik.
C. Pemenuhan Kebutuhan Aspek Fisiologis Dan Psikologis Jangka Panjang
1. Pemenuhan Kebutuhan Fisik
Pemenuhan kebutuhan fisik pada korban bencana yang diperlukan yaitu makan, minum
dan tempat tinggal. Karena pada saat terjadi bencana dalam kondisi panik mereka pergi
tanpa membawa bekal apapun untuk menyelamatkan diri, oleh karena itu kebutuhan dasar
mereka harus segera disediakan. Kebutuhan dasar manusia merupakan kebutuhan utama
yang harus diperhatikan dalam mengatasi kekurangan dan keterbatasan korbanbencana
terutama pada sekelompok pengungsi untuk menjaga kelangsungan hidup para pengungsi.
Pemenuhan kebutuhan dasar yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 48 meliputi yang
bantuan penyediaan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan dan tempat hunian. Selanjutnya
kebutuhan dasar menurut UU No 24 Tahun 2007, pasal 48 huruf d, danpasal 53, meliputi:
a. Pangan, antara lain:
1) Makanananak, isinya: biskuit, susu, danlainnya.
2) Kebutuhan air bersih, sanitasi, danlainnya.
3) Makandanminum yang cukup, danlainnya.
4) Peralatandapur, alatmasakuntukmakan, danlainnya.
b. Sandang, antara lain:
1) Family kit, berisi: peralatanmandi, alatkeluargadanwanitalainnya.
2) Kit ware, isinya: pempersbayi, minyaktelon, popokdanalatbayilainnya.
3) Pakaianuntukanak, wanita, laki-laki, danselimut.

13
4) Pelatanuntukmandi.
c. Papan, antara lain:
1) Tendakeluarga, tendapleton, danlainnya.
2) Barak sementara.
d. Kesehatan, antara lain:
1) Pelayanankesehatan.
2) Obat-obatan.
3) Peralatanolah raga.
4) Tempatperawatan.
e. Kenyamanan, antara lain:
1) Disayang.
2) Diperhatikan.
3) Ditegur/disapa.
4) Kenyamanan.

Kebutuhan dasar spesifik perempuan dan anak, antara lain: alat pembalut wanita,
pakaian dalam wanita, pemper suntuk anak, danlainnya.

2. Pemenuhan kebutuhan Psikologis


Selain kebutuhan fisik, pemenuhan kebutuhan psikologis juga sangat penting.
Gangguan psikologis yang biasanya dialami pada korban bencana adalah perasaan sedih
akibat kehilangan keluarga yang mereka sayangi, kehilangan harta benda, rumah, mata
pencaharian, dan merasa asing ditempat pengungsian. Karena kondisi pengungsian yang
tidak dibedakan antara laki-laki, perempuan, anak-anak dan lansia mebuat mereka stress
karena harus berdesak-desakan. Jadi dibutuhkan penanganan untuk mengurangi dampak
psikologis yang dialami oleh korban bencana yaitu dengan cara menghilangkan trauma
dengan cara menghibur, memberi pelatihan dan pembinaan serta aktivitas lain agar mereka
tidak jenuh. Mereka juga diberikan konseling ringan untuk mengurangi stress dan depresi.
Untuk menghilangkan trauma yang dialami anak-anak dengan emosi yang masih belum
terkontrol maka relawan mengadakan aktivitas bermain seperti menggambar, mewarnai,
menyanyi dan lain-lain. Melibatkan pengungs ikhususnya para ibu dan remaja putrid dalam
kegiatan dapur umum sangat membantu untuk mengisi waktus ehingga tidak jenuh.
Demikian juga bagi bapak-bapak dan pemuda dilibatkan sebaga irelawan membantu

14
evakuasi korban yang masih berada di lokasi bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi
kesedihan dan memperkuat mental mereka karena berguna bagi orang lain.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban

jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk,

termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terj adi bencana adalah

pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan korban

bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan. Salah satunya adalah

peraturan yang menyebutkan peran penting Puskesmas dalam penanggulangan bencana

(Departemen Kesehatan RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat

Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat

Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).

Kejadian bencana dapat merubah pola spiritual seseorang, dapat bersifat positif maupun

negatif. Aspek spiritual berkaitan dengan jati diri manusia, yang menghubungkan dengan Sang

Pencipta. Aspek tersebut dapat digunakan dalam menghadapi permasalahan pada manusia

serta kehidupannya.

B. SARAN
1. Bagi Masyarakat

15
Perlu adanya peningkatan pengetahuan dasar masyarakat tentang pengurangan

risiko bencana, agar masyarakat dapat berkontribusi secara nyata dalam penanggulangan

bencana banjir khususnya di daerahnya masing-masing.

2. Bagi Pemerintah

 Perlu dikembangkan kerjasama dalam pengurangan resiko bencana sehingga dapat

berjalan optimal Peningkatan pengetahuan dna kapasitas masyarakat dalam

manajemen bencana

 Kegiatan preventif dalam rangka meminimalkan dampak bencana

 Pembinaan dan peningkatan kapasitas oleh pemerintah kepada kelompok dan

masyarakat dalam pegelolaan manajemen bencana berbasis masyarakat

 Pembinaan dan peningkatan kapasitas oleh pemerintah kepada kelompok dan

masyarakat dalam pegelolaan manajemen bencana berbasis masyarakat

 Pelibatan masyarakat dalam membangun manajemen bencana berbasis masyarakat

 Pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dalam pengelolaan

manajemen bencana.

16
DAFTAR PUSTAKA

ChatarinaRusmiyati, EnnyHikmawati. 2012. PenangananDampak Social


PsikologisKorbanBencanaMerapiVolume 17, Nomor 02, Tahun2012
Suwarningsih, IlahMuhafilah, Tri Mulia Herawati.2019. PerubahanKondisiPsikososial Dan
Spiritual PadaKorbanPtsd(Post Traumatic Stress Disorder)
PascaBanjirBandangDikotaGarutJawa Barat. Jurnal IlmiahKesehatan Issn 2301-9255(Print) ||
Issn 2556-1190 Journal Volume 11, Nomor 1, Maret 2019.
Widayatun1 Dan Zainal Fatoni.2013.PermasalahanKesehatanDalamKondisiBencana:
PeranPetugasKesehatan Dan PartisipasiMasyarakat. JurnalKependudukan Indonesia Vol. 8
No.1 Tahun 2013 (Issn 1907-2902)
ACT Alliance. 2011. Indonesia: assistance to Mount Merapi displaced. Diunduhpada 28 April 2013
dari http//www.actalliance.org.
Action ContreIaFeme (AFC-France), Global Water, Sanitation dan Hygiene (WASH) Cluster. 2009.
The human right to water and sanitation in emergency situations: The legal framework and a
guide to advocacy. Paris: AFC-France, Global WASH Cluster.
Amin, M.T. dan Han, M.Y. 2009.Water environmental and sanitation status in disaster relief of
Pakistan's 2005 earthquake. Desalination, 248:436-45.
BadanPerencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2008. Report on Two Years of Monitoring
and Evaluation of the Post Earthquake, May 27, 2006, in the Province of DI Yogyakarta and
Central Java. Jakarta: Bappenas.
BadanPerencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DI Y ogyakarta,
BappedaKabupatenBantuldan UNDP. 2007. Report on Monitoring and 2006-2007 Evaluation
on Rehabilitation and Reconstruction Activities in Bantu/. Bantul: BappedaProvinsi DI Y
ogyakarta, BappedaKabupatenBantuldan UNDP.
BadanNasionalPenanggulanganBencana (BNPBj.
2008.PeraturanKepalaBadanNasionalPenanggulanganBencanaNomor 7 Tahun 2008
17
tentangPedoman Tata Cara PemberianBantuanPemenuhanKebutuhanDasar. Jakarta: BNPB;
2008.
Bappenas, The Province of DI Y ogyakarta, The Province of DI Y ogyakarta, The Province of
Central Java, The World Bank dan Asian Development Bank. 2006. An Assessment of
Preliminary Damage and Loss in Yogyakarta & Central Java Natural Disaster. Jakarta:
Bappenas, The Province of DI Yogyakarta, The Province of Central Java, The World Bank
dan Asian Development Bank.
BNPB.2010. LaporanharlantanggapdaruratGunungMerapi 8 Desember 2010. Yogyakarta: BNPB.
BNPB, Bappenas, the Provincial and District/City Governments ·of West Sumatra and Jambi,
international partners. 2009. West Sumatra and Jambi natural disasters: damage, loss and
preliminary needs assessment. Jakarta: BNPB, Bappenas, the Provincial and District/City
Governments of West Sumatra and Jambi and international partners.
DepartemenKesehatan (Depkes ). 2001 Standar minimal
penanggulanganmasalahkesehatanakibatbencanadanpenangananpengungsi. Jakarta:
PusatPenanggulanganMasalahKesehatan - SekretariatJenderalDepkes.
Depkes. 2007. KeputusanMenteriKesehatanRlNomor 145/Menkes/SK/1/2007
tentangPedomanPenanggulanganBencanaBidangKesehatan. Jakarta: Depkes.
D~rektoratJenderalBinaKesehatanMasyarakatDepkes.2006.
PedomanPuskesmasdalamPenanggulanganBencana. Jakarta: Depkes.
Emergency and Humanitarian Action {EHA), WHO Indonesia. 2010. Mt. Merapi Volcano eruption,
Central Java Province, Republic of Indonesia: Emergency situation report (1) 27 October
2010. Jakarta: WHO Indonesia.
Fatimah, D. 2009. PerempuandanKerelawananDalamBencana. Y ogyakarta: Piramedia.
Fernando, W.B.G., Gunapala, A.H. danJayantha, W.A. 2009. Water supply and sanitation needs in
a disaster - lessons learned through the tsunami disaster in Sri Lanka. Desalination, 248:14-
21.
Ferris, E. danPetz, D. 2011. A year of living dangerously: a review of natural disasters in 2010.
Washington DC: The Brooking Institution - London School of Economics Project on Internal
Displacement.
Few, R. danMatthies, F. 2006. Flood hazards and health: responding to present and future risks.
London: Earthscan.
Forum PRB DIY. 2010. NotulensirapatkoordinasiGugusTugas Forum PRB
dukunganupayatanggapdaruratMerapi. Y ogyakarta: Sekretariat Forum PRB DIY.
Hapsari, E. D., Widy~wati, Nisman, W. A., Lusimalasari, L., Siswishanto, R. dan Matsuo, H. 2009.
Change in Contraceptive Methods Following. the Yogyakarta Earthquake and Its Association
with the Prevalence of Unplanned Pregnancy. Contraception, 19, 316-322.

18

Anda mungkin juga menyukai