Anda di halaman 1dari 28

KEPERAWATAN DISASTER

PBL 1: TANAH LONGSOR

Ners. Suhaimi Fauzan, M.Kep

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3 & 4

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah PBL 1 tentang “Banjir”.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas
terstruktur mata kuliah Keperawatan Disaster Tahun Akademik 2016/2017 di
Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan.
Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada :
1. Bapak Ns. Herman, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Disaster Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura,
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
3. Pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan
makalah ini. Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah berikutnya. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat memberikan
suatu manfaat bagi kita semua dan memiliki nilai ilmu pengetahuan.

Pontianak, Juni 2017

Penyusun
KASUS

Hujan deras dan kondisi tanah yang labil di Desaa Clapar, Kecamatan Madura,
Banjarnegara, Jawa Tengah menyebabkan sembilan rumah rusak berat dan 218
warga mengungsi.

“rusak berat dalam arti tidak bida dihuni lagi. Selain itu, 34 rumah rusak sedang,
ringan dan terancam terkena longsor”, ungkap Handoko, petugas posko palang
merah Indonesia (PMI) Jawa Tengah, kepada BBC Indonesia, Senin (28/03) sore
dan jumat (25/03) dini hari.

Handoko menyebut, hingga senin pagi hujan masih mengguyur Desa Clapae,
“menyebabkan terus terjadinya pergerakan tanah. Ini karena tanah labil, dari unsur
tanah mereka, apalagi kena air terus-menerus”.

Menghindari munculnya korban korban jiwa, pemerintah setempat mengevakuasi


237 warga, yang mayoritas adalah anak-anak dan lansia. Mereka diungsikan di
beberapa titik, diantaranya di Balai Desaa Clapar dan Taman Kanak-kanak
Pertiwi.

Tidak layak huni

Berdasarkan data PMI, longsing utama di Banjarnegara terjadi dua kali. Pertama
pada Kamis (24/03) pukul 18.00 WIB, disusul longsor kedua pda Jumat (25/03)
pukul 01.30 WIB.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan


Bencana (BNPB), Sutopo, dalam siaran persnya menyebut longsor terjadi “pada
area yang cukup luas, yaitu pada luas lima hektar, dengan tanah yang bergerak
sejauh 1,2 kilometer.”

“tipe longsoran adalah longsor mereyap (soil creep) yang bergerak secara
perlahan-lahan. Kondisi geologi dan topografi di tempat ini, secara alamiah
memang mudah terjadi longsor”.
Longsor juga menyebabkan jalan penghubung Banjarnegara dan Dieng, amblas di
beberapa titik, sepanjang satu kilometer.

Menurut Sutopo, kawasan dengan kondisi seperti itu “tidak layak menjadi
pemukiman, karena membahayakan.”

Namun, kepada BBC Indonesia, Handoko menyebut pengungsi di Balai Desa


Cluwas, belum membahas bagaimana nasib tempat tinggal mereka ke depannya.

“tetapi nggak tahu seminggu atau dua minggu ke depan, mereka masih
mengungsi. (Apalagi) pemerintah belum memikirkan penyediaan huntara (hunian
sementara)”.

Banjit-longsor di berbagai tempat

Untuk menangani bencana longsor di Banjarnegara, Badan penanggulangan


Bencana Daerah (BPBD) bersama Kodim, Polres, dan Tagana setempat,
mengrahkan 300 personel.

Adapun PMI menerjunkan 35 anggotanya untuk membantu evakuasi warga ke


tempat yang aman.

Bantuan meliputi dapur umum, selimut dan tikar, “dukung bahan mentah
(makanan) yang berasal dari pertanian warga sendiri”.

Meskipun musim kemarau telah datang, sejumlah wilayah di Indonesia masih


menerima curah hujan dengan intensitas tinggi.

Sementara di Kutai, Kalimantan Timur, hujan menyebabkan banjir yang merusak


sawah seluas 950 hektar dengan potensi produksi 1.900 to di Kutai Barat,
Kalimantan Timur, Minggu (27/03).

Curah hujan berintensitas tinggi juga berpotensi terjadi di Sumatera bagian selatan
dan sulawesi.

“Jadi, ancaman banjir, longsor dan puting beliung masih tinngi di Indonesia,”
tutup Sutopo.
Kaji kasus di atas berdasarkan tahapan dalam proses penanganan bencana

a. Tanggap Darurat :
 Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana
1. Tanda-tanda bencana longsor : getaran (pergerakan tanah)
2. Resiko bencana : jenis tanah, kemiringan tanah, penggundulan hutan,
curaah hujan yang tinggi

 Reaksi respon cepat terhadap korban (tim medis)


1. Evakuasi korban ketempat yang aman
2. Persiapan alat dan bahan medis, seperti spalak
3. Persiapan air bersih

 Pemahaman tentang kerentanan masyarakat (kerentanan fisik, kerentanan


ekonomi, kerentanan sosial, kerentanan lingkungan)
1. Fisik
a. Tertimbun, patah tulang, luka ringan sampai berat
b. meninggal
2. Ekonomi
a. Hancurnya rumah warga
b. Kehilangan harta benda
c. Hancurnya fasilitas umum
3. Sosial
a. Kehilangan anggota keluarga
4. Lingkungan
a. Kerusakan infrastruktur
 Shelter pengungsian
1. Tempat yanng aman : jauh dari perbukitan
2. Evakuasi ke tempat yang luas
3. Pada kasus : menggunakan balai celapar dan TKK Pertiwi
 Tindakan pengurangan resiko bencana
1. Tebang pilih
2. Penanaman pohon kembali (penghijauan)

 Alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia


1. BNPB
2. Tim kesehatan
 Pemenuhan kebutuhan dasar, kolompok rentan.
1. Lansia : makanan, pengobatan, selimut, tikar
2. Anak-anak : susu, obat-obatan, selimut, pakaian
c. Koordinasi
1. Tim SAR
2. BNBP dan BPBD
3. PMI
4. Tenaga kesehatan
d. Komunikasi terapeutik
e. Rekonstruksi
f. Rehabilitasi
BAB I
TINJAUAN TEORI

1. ?????
1. 1. Paradigma Penanggulangan Bencana
Konsep penanggulan bencana telah mengalami pergeseran
paradigma (paradigma shift) dari konvensional, yakni anggapan bahwa
bencana merupakan kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus
segera mendapatkan pertolongan (berfokus pada emergency dan relief),
ke peradigma pendekatan holistik, yakni menempatkan bencana dalam
tata kerangka manajerial yang dikenali dari bahaya (hazard), kerentanan
(vulnerability), serta kemampuan (capacity) masyarakat. Pada konsep ini,
dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak dapat
dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat
diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada di
lokasi rawan bencana serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
pencegahan dan penanganan bencana (Efendi, 2013).
Dalam pendekatan ini resiko (risk) merupakan interaksi dari
kerentanan dan bahaya dibandingkan dengan kemampuan masyarakat.
Pada perspektif ini, maka bencana bukan saja dilihat dari aspek metafisis
di luar jangkauan manusia namun justru dilihat dari aspek teknis dan aspek
manajerial dengan melakukan intervensi pada ketiga faktor di atas; inilah
yang selanjutnya dikenal dengan pendekatan Pengurangan Resiko
Bencana (Disaster Risk Reduction-DRR) (Efendi, 2013).
Penanganan bencana dengan paradigma Pengurangan Resiko
Bencana (PRB) merupakan pendekatan ilmiah dan teknis dengan
memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan politik. Tujuan utama dari
pendekata holistik PRB adalah meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan menekan resiko saat terjadi bencana. Hal penting
dalam paradigma ini adalah memandang masyarakat sebagai penentu
utama (subjek) penanganan (Efendi, 2013).
1. 2. Kebijakan dan Penanganan Bencana
Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana yang di dalamnya membuat
ketentuan umum; landasan, asas, dan tujuan; tanggung jawab dan
wewenang (pemerintah dan pemerintah daerah); kelembagaan (pusat dan
daerah); hak dan kewajiban masyarakat; peran lembaga usaha dan lembaga
internasional; penyelenggaraan penanggulangan bencana; pendanaan dan
pengelolaan bantuan bencana; pengawasan; penyelesaian sengketa dan
ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan penutup (Efendi, 2013).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 ini sesungguhnya
merupakan kebijakan Pemerintah RI yang mengikat bagi pemerintahan itu
sendiri maupun seluruh masyarakat Indonesia serta lembaga donor (asing
dan domestik) dalam hal penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-
Undang ini masih mensyaratkan beberapa peraturan pemerintah dan
pengaturan lain di bawahnya namun secara filosofis sudah memuat
ketentuan pokok penanggulangan bencana seperti di bawah ini (Efendi,
2013).
 Penyelenggaraan penanggulan bencana merupakan tanggung jawab dan
wewenang pemerintah dan pemerintah daerah yang dilaksanakan secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana pada masa tanggap darurat
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Penanggulangan Bencana (pusat
dan/atau daerah) yang terdiri atas unsur pengarah dan pelaksana.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan keterampilan, serta
partisipaso dalam pengambilan keputusan dalam hal penanggulangan
bencana.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana dilakukan pada tahap pra-
bencana, saat tahap tanggap darurat, danpasca-bencana yang masing-
masing mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana pada tahap tanggap darurat
didukungoleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau daerah
(APBNdan/atau APBD) juga didukung dengan dana siap pakai yang
pertanggungjawabannya dilakukan melalui mekanisme khusus.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana diawasi oleh pemerintah dan
masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan.
 Penyelenggaraan penanggulang bencana dalam konteks undang-undang
ini memuat sanksi pidana dan perdata agar ditaati dan/atau
menimbulkan efek jera bagi para pihak yang berbuat lalai atau sengaja
yang karena perbuatannya menimbulkan bencana.
Undang-undang ini memuat tanggung jawab, wewenang
pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, serta hak
dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana. Secara
rinci, tanggung jawab pemerintah adalah sebagai berikut (Efendi,
2013).
 Pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan resiko
bencana dengan progam pembangunan.
 Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
 Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.
 Pemulihan kondisi dari dampak bencana.
 Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara yang memadai.
 Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana
siap pakai.
 Pemeliharaan arsip atau dokumen otentik dan kredibel dari ancaman
dan dampak bencana.
Sedangkan, wewenang pemerintah adalah sebagai berikut.
 Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional.
 Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana.
 Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
 Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain.
 Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan
sumberdaya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan
pemulihan.
 Pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.
Sementara itu, hak setiap orang adalah sebagai berikut.
 Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana.
 Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulan bencana.
 Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
 Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial.
 Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya.
 Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diataur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan kontruksi. Sedangkan,
kewajiban setiap orang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
adalah menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis; memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup; melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan memberikan
informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana
(Efendi, 2013).
Dalam setiap kejadian bencana di Indonesia ada beberapa pihak
yang bekerja sama dalam melakukan usaha-usaha penanganan bencana.
Pihak-pihak ini adalah pemerintah, organisasi-organisasi bantuan, dan
masyarakat itu sendiri. Hubungan di antara pihak-pihak ini sebaiknya telah
dirintis pada tahap persiapan sebelumnya ada bencana di bawah koordinasi
Satuan Pelaksana Penanggulan Bencana dan Pengungsian (Satlak PBP)
(Efendi, 2013).
Di tingkat nasional, lembaga pemerintahan yangkhusus menangani
penanggulangan bencana di Indonesia adalah Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (Bakornas PBP) dan Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsian
(Satkorlak PBP) di tingkat provinsi, Satlak PBP di tingkat kabupaten,
Satgas di tingkat kecamatan, dan Hansip/KMPB di tingkat desa atau
kelurahan. Di samping itu, peran LSM dan organisasi-organisasi seperti
PMI, TNI, dan dinas sosial tidak kalah pentingnya. Untuk memperkuat
kesiapsiagaan, masyarakat bisa mendapatkan pelatihan-pelatihan dari
organisasi-organisasi tersebut. Koordinasi lembaga yang menangani
bencana dapat digambarkan sebagai berikut (Efendi, 2013).

1. 3. Kelompok Rentan
Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus
konseptual penanggulangan bencana adalah manusia yang potensial
sebagai korban, maka dua hal mendasar yang perlu menjadi fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan (vulnerable group) dan meningkatkan
kapasitas masyarakat sebagai subjek penyelenggaraan penanggulangan
bencana (Efendi, 2013).
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan, dan menghadapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan ini
mencakup kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku yang dapat
ditimbulkan oleh beragam penyebab (Efendi, 2013).
Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan
penjelasan Pasal 26 Ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana
adalah anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan
yang disandangnya diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, penyangdang caat, dan lanjut usia. Secara umum, kerentanan
masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dikelompokkan menjadi
berikut ini (Efendi, 2013).

1. 4. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dana faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pra-
bencana, tanggapan darurat, dan pasca-bencana. Pada tahapan pra-bencana
(yang terbagi menjadi saat tidak terjadi bencana dan potensi terjadi
bencana) dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata
ruang, pendidikan dan pelatihan, serta penentuan persyaratan standar
teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini, dan
mitigasi bencana) (Efendi, 2013).
Pada tahapan tanggap darurat, kegiatannya mencakup pengkajian
terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; penentuan status keadaan
darurat; penyelamatan dan evakuasi korban; pemenuhan kebutuhan dasar
(air bersih dan anitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan
psikososial, dan penampungan tempat hunian); pelindungan kelompok
rentan (prioritas bagi kelompok rentan) serta pemulihan prasarana dan
sarana vital (Efendi, 2013).
Pada tahapan pasca-bencana, mencakup kegiatan rehabilitasi
(pemulihan daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan
perbaikan rumah, social psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan
resolusi konflik, social ekonomi dan budaya, keamanan dan ketertiban,
fungsi pemerintahan dan pelayanan public) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan, dan peningkatan berbagai sarana dan
prasarana termasuk fungsi pelayanan public) (Efendi, 2013).
a. Pencegahan Bencana/Prabencana
1) Peringatan Dini
Peringatan dini adalah serangkaian kegiata pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga
yang berwenang.
2) Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Peringatan dini
adalah serangkaian kegiata pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
3) Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana Risiko
bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
Beberapa kegiatan pengurangan resiko bencana tertentu
akan memerlukan kerjasama antara berbagai instansi, seperti
penyiapan sistem peringatan dini banjir, sosialisasi sistem
peringatan dini dan pelatihan penggunanya akan melibatkan
sektor-sektor, perguruan tinggi dan LSM, sedangkan peran BPBD
adalah sebagai coordinator pelaksananya.
b. Tanggap darurat bencana
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana. Korban bencana adalah orang atau kelompok
orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
Mekanisme tanggap darurat dalam penanggulangan bencana
banjir perlu adanya koordinasi dan penanganan yang cepat, tepat,
efektif, terpadu dan akuntabel, agar korban jiwa dan kerugian harta
benda dapat diminimalisir. Penanggulangan bencana, khususnya pada
saat tanggap darurat bencana banjir harus dilakukan secara cepat, tepat
dan dikoordinasikan dalam satu komando.
Hal ini dimaksud agar mempermudah akses untuk
memerintahkan sector dalam hal permintaan dan pengerahan
sumberdaya manusia, peralatan, logisik, imigrasi, cukai dan karantina,
perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggung
jawaban atas uang dan barang serta penyelamatan.
c. Pasca bencana
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencanadengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan
lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum,
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial
psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihankeamanan dan
ketertiban, pemulihan fungsi pemerintah dan pemulihan fungsi
pelayanan publik.
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana,
baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Dalam hal ini penanggulangan pasca bencana, terutama
penanganan rekonstruksi, maka diperlukan suatu proses
rekonstruksi yang tepat berdasarkan perencanaan yang baik,
sehingga tepat sasaran dan juga tertib dalam penggunaan dana,
serta mampu meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap
ancaman bencana di masa datang melalui usaha-usaha
pengurangan resikoo bencana. Proses rekonstruksi pasca bencana
yang baik harus menghasilkan pemulihan kondisi masyarakat baik
secara fisik, mental, sosial dan ekonomi, dan mampu menurunkan
kerentanan terhadap bencana bukan memperparah kondisi
kerentanan.
2. Tanah Longsor
2.1. Definisi Tanah Longsor
Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, menyatakan bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana
adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. (Depkes RI (2007).
Tanah longsor adalah salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah./batuan
penyusun lereng.(Ramli,2010).
2.2. Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor
Tanah longsor terjadinya disebabkan karena runtuhnya tanah
secara tiba-tiba atau pergerakan tanah atau bebatauan dalam jumlah
besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi didaerah
terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya
bencana ini adalah lereng yang gundul dan bebatuan yang rapuh. Hujan
deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Tetapi tanah
longsor dapat juga disebabkan oleh gempa atau aktifitas gunung berapi,
ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor, seperti
penambangan tanah, pasir, dan batu yang tidak terkendali.
Menurut Ramli (2010), Proses pemicu longsoran dapat antara lain
karena Peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi
akumulasi air yang merenggang ikatan antar butir tanah dan akhirnya
mendorong butir-butir tanah untuk longsor, Getaran pada lereng akibat
gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran alat/kendaraan,
Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser
tanah, Pemotongan kaki lereng secara secara sembarangan yang
mengakibatkan lereng kehilangan gaya penyangga. Gejala umum
terjadinya tanah longsor meliputi muncul retakan-retakan dilereng yang
sejajar dengan arah tebing, Muncul air secara tiba-tiba dari permukaan
tanah dilokasi baru, air sumur disekitar lereng menjadi keruh, tebing
rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. wilayah-wilayah yang rawan akan
terjadinya tanah longsor meliputi pernah terjadi tanah longsor di daerah
tersebut, berada pada daerah yang terjal dan gundul, merupakan daerah
aliran air hujan, tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang
menerima curah hujan tinggi.
2.3. Dampak
Bencana tanah longsor mempunyai dampak terhadap kesehatan
diantaranya terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan :
a) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban
meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan
dalam jumlah besar,.
b) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari
rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat
terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya
bencana (Depkes RI, 2007).

Tanah dan material yang berada dilereng dapat runtuh dan


mengubur manusia, binatang, rumah, kebun, jalan, dan semua yang
berada di jalur longsornya tanah. Kecepatan luncur tanah longsor,
terutama pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75 kilometer per jam,
sulit untuk menyelamatkan diri dari tanah longsor,tanpa pertolongan
dari luar.
2.4. Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor
Undang-Undang No. 24 tahun 2004 menyebutkan ada tiga unsur
pelaku penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu terdiri unsur
pemerintah, masyarakat, dan lembaga asing. Unsur pemerintah
mempunyai peran meliputi : pengurangan resiko bencana dan
pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan,
perlindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan
hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan
sesuai dengan standart pelayanan minimum, pemulihan kondisi dari
dampak bencana, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana
dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara yang memadai,
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana
siap pakai, pemeliharaan arsip/ dokumen otentik dan kredibel dari
ancaman dan dampak bencana. Unsur masyarakat mempunyai peran
meliputi : Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian keselarasan dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup, melakukan kegiatan penanggulangan bencana,
dan memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
penanggulangan bencana. Unsur lembaga asing mempunyai peran
meliputi ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan
mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap para
pekerjanya, melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana baik
secara sendiri-sendiri, bersama-sama, atau bersama-sama dengan mitra
kerja dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial,
budaya, dan agama masyarakat setempat.

2.5. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor


Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya
pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini
relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan
perlindungan kepada masyarakat, termasuk didalamnya melakukan upaya
dampak terhadap resiko bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua)
aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan


hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana,
utamanya pada saat sebelum terjadinya bencana yaitu pengurangan
resiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) faktor yaitu pencegahan,
mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari jenis bencana yang terjadi serta
dampaknya, situasi dan kondisi kebencaan di negeri kita saat ini cukup
mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang serius dari
pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang konkrit dalam
melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena
lokus dari bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah
Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa/Kelurahan tergantung dari skala
dan kriteria bencana yang terjadi.

Aparat bersama-sama masyarakat dalam rangka membangun


kesiapsiagaan menuju terwujudnya budaya siaga bencana melalui
rencana aksi daerah dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan
untuk membangun kesamaan gerak dan langkah dalam pengurangan
resiko bencana atau peningkatan pemahaman dan penyamaan persepsi
melalui penguatan kapasitas pemerintah daerah yang berpijak kepada
penguatan kebijakan, prosedur, personil dan kelembagaan, yang
dijabarkan melalui:

a. Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)


diarahkan kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan
penanggulangan bencana di daerah, agar kebijakan dari tingkat
nasional dapat dijalankan secara operasional di daerah.
b. Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat
diimplementasikan sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang
tinggi dari setiap pemangku kepentingan di daerah.

c. Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)


diarahkan kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam
mendukung penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan.

d. Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)


diarahkan untuk mendorong pembentukan BPBD di Kabupaten/Kota
dan peningkatan status hukum/aturan perundang-undangan di
daerah, terkait kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota,
seperti status dari peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar
pembentukan BPBD menjadi peraturan daerah.

Pemerintah Daerah melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB)


mampu memprakarsai dan menumbuhkembangkan sumber daya guna
memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan utusan di bidang
penanggulangan bencana dengan fokus terhadap upaya pengurangan
resiko bencana. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada
peningkatan pemahaman untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat
serta membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Upaya
ini membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang panjang,
sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian
investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana
investasi tentu tidak dapat dinikmati hasilnya segera/ bersifat instan
tetapi dirasakan pada masa yang akan datang yaitu dapat melindungi
atau mengamankan aset daerah dan aset negara yang sulit dihitung
nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka pemahaman kesadaran,
kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya Pengurangan
Resiko Bencana (PRB) hendaknya dari waktu ke waktu harus selalu
ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan
dan penghidupan masyarakat.

Qanun Aceh Barat No 13 Tahun 2012 tentang penanggulangan


bencana telah mengatur tentang penyelenggaraan penanggulangan
bencana yaitu pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Pasal 17
dari qanun tersebut menyatakan tentang pentingnya pemberian pelatihan
dan pendidikan untuk memberikan kesiapan bagi petugas
penanggulangan bencana yang meliputi pra bencana, saat bencana dan
pasca bencana sehingga petugas dapat meningkatkan pengetahuan,
kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi bencana. Adapun pelatihan dalam rangka
meningkatkan kemampuan masyarakat yang ada di desa yaitu : penilaian
resiko kerentanan dan kemampuan masyarakat serta pemetaan ancaman,
analisa tanda dan suara peringatan bencana, dan pertolongan pertama
pada gawat darurat.

3. Kesiapsiagaan

3.1. Tindakan Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi
dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses
dari penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah
rencana tindakan yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24
Tahun 2007).

Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan


erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga,
instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana,
komunitas sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi
non pemerintah (Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan
pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga,
pemerintah dan komunitas sekolah disepakati sebagai stakeholders utama
dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam
kesiapsiagaan bencana.
Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk
memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi
lintas sektoral diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti
yang telah disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang
lingkup kesiapsiagaan dikelompokkan kedalam empat parameter yaitu
pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan
(emergency planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi
sumber daya. Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan
dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya.
Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa
yang telah dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan
adalah usaha apa yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam
mencegah terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda
peringatan yang ada. Sedangkan mobilisasi sumber daya lebih kepada
potensi dan peningkatan sumber daya di pemerintahan/masyarakat seperti
keterampilan-keterampilan yang diikuti, dana dan lainnya.
Federasi Internasional Palang Merah dalam Keeney (2006),
menyatakan kesiapsiagaan meliputi pertama adalah meningkatkan sistem
tanggap darurat bencana di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Hal ini mencakup antara lain:
pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk
mengurangi potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan
pelatihan yang ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta,
pelatihan personil tanggap darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap
bencana, dengan prosedur operasional, perjanjian organisasi yang saling
berkolaborasi, dan adanya sebuah standart pelayanan. Ke-dua adalah
memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana lokal dengan mendukung
kegiatan berbasis masyarakat. Pendidikan dan persiapan untuk
meminimalkan resiko dapat dilakukan melalui media massa, program
sekolah, dan pameran kesehatan. selain itu, kesiapsiagaan bencana lokal
meliputi pengajaran pertolongan pertama dan cardiopulmonary resusitasi
(CPR) untuk anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan untuk
kesiapsiagaan dalam respon bencana.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas
lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan itu membentuk suatu bagian
yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab untuk
mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana
(pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi, dan atau
rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB. Satu hal
terpenting untuk memastikan mutu dan efektivitas program kesiapsiagaan
bencana dan kedaruratan adalah melakukan koordinasi, penilaian dan
evaluasi secara hati-hati terhadap program-program yang telah disiagakan
untuk memastikan bahwa program tersebut dapat dioperasikan secara
efektif.
Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyebutkan
Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam jumlah besar
diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena
itu dibutuhkan kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan
kedaruratan dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang
tidak tertolong karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi
yang tidak dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan
dalam penanganan korban pada fase darurat.Tanggungjawab sektor
kesehatan pada saat bencana praktis mencakup semua aspek operasi
normal pra-bencana. Semua departemen teknis dan layanan penunjang
dilibatkan pada saat terjadinya bencana besar. Kesiapsiagaan harus
ditujukan pada semua kegiatan kesehatan dan sektor lainnya dan tak bisa
dibatasi pada aspek yang paling terlihat dari pengelolaan korban massal
dan layanan kegawatdaruratan saja. Pelaksanaan tugas penanganan
kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi
oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat
keputusan (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan LIPI-UNESCO dan PAHO dalam penelitian ini
peneliti melihat kesiapsiagaan dari tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap
dan pelatihan. Sebagaimana kerangka aksi hyogo 2005-2015 yang dikutip
oleh Astuti dan Sudaryanto (2010), menyatakan salah satu prioritas
kesiapsiagaan dalam upaya mencegah kematian dan kerugian harta benda
adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan
pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah
budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan
sampai kepada kabupaten kota. Pengetahuan yaitu hasil dari tahu, dan
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2007). Sikap yaitu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. (Notoatmodjo, 2007). Pelatihan merupakan bagian dari
suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan
atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok orang. (Notoatmodjo,
1992). Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu upaya
penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra
BNPB 2010-2014). pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk
petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana.
(Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan
penanggulangan bencana misalnya:
(1) Pelatihan mengenai manajemen resiko bencana, diharapkan petugas
memiliki wawasan mengenai manajemen bencana termasuk
perundang-undangannya sehingga mampu mengembangkannya
dilingkungan masing-masing, mampu menyusun dan menilai suatu
analisa resiko bencana.

(2) Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya,


misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana
industri, atau bencana sosial.

(3) Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan


lainnya.

(4) Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.

(5) Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi


mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan
rekonstruksi.

(6) Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.

(7) Pelatihan manajemen logistik bencana.

(8) Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan


pengungsi.

4. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana


Tanah Longsor

a) Kesiapsiagaan Pra Bencana


Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam
kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :
(1) Tidak menebang atau merusak hutan
(2) Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti
nimbi, bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-
lereng yang gundul
(3) Membuat saluran air hujan
(4) Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal
(5) Memeriksa keadaan tanah secara berkala
(6) Mengukur tingkat kederasan hujan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk
menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

1. Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan

2. Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun

3. Membuat peta ancaman.

4. Melakukan deteksi dini

b) Kesiapsiagaan Saat Bencana

Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat


tanah longsor terjadi, diantaranya :

1. Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing


kebidang yang lebih stabil
2. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda
seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan
memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.

c) Kesiapsiagaan Pasca Bencana

Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan masyarakat setelah


tanah longsor terjadi, diantaranya :

1. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi.


2. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung
memasuki daerah longsoran

3. Bantu arahkan SAR kelokasi longsor

4. Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang


tua, dan orang cacat

5. Dengarkan siaran radio lokal atau televise untuk informasi keadaan


terkini

6. Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor

7. Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang


berwenang

8. Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya


longsor

9. Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk


menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat
menyebabkan banjir bandang

10. Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan


teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai