FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah PBL 1 tentang “Banjir”.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas
terstruktur mata kuliah Keperawatan Disaster Tahun Akademik 2016/2017 di
Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan.
Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada :
1. Bapak Ns. Herman, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Disaster Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura,
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
3. Pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan
makalah ini. Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah berikutnya. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat memberikan
suatu manfaat bagi kita semua dan memiliki nilai ilmu pengetahuan.
Penyusun
KASUS
Hujan deras dan kondisi tanah yang labil di Desaa Clapar, Kecamatan Madura,
Banjarnegara, Jawa Tengah menyebabkan sembilan rumah rusak berat dan 218
warga mengungsi.
“rusak berat dalam arti tidak bida dihuni lagi. Selain itu, 34 rumah rusak sedang,
ringan dan terancam terkena longsor”, ungkap Handoko, petugas posko palang
merah Indonesia (PMI) Jawa Tengah, kepada BBC Indonesia, Senin (28/03) sore
dan jumat (25/03) dini hari.
Handoko menyebut, hingga senin pagi hujan masih mengguyur Desa Clapae,
“menyebabkan terus terjadinya pergerakan tanah. Ini karena tanah labil, dari unsur
tanah mereka, apalagi kena air terus-menerus”.
Berdasarkan data PMI, longsing utama di Banjarnegara terjadi dua kali. Pertama
pada Kamis (24/03) pukul 18.00 WIB, disusul longsor kedua pda Jumat (25/03)
pukul 01.30 WIB.
“tipe longsoran adalah longsor mereyap (soil creep) yang bergerak secara
perlahan-lahan. Kondisi geologi dan topografi di tempat ini, secara alamiah
memang mudah terjadi longsor”.
Longsor juga menyebabkan jalan penghubung Banjarnegara dan Dieng, amblas di
beberapa titik, sepanjang satu kilometer.
Menurut Sutopo, kawasan dengan kondisi seperti itu “tidak layak menjadi
pemukiman, karena membahayakan.”
“tetapi nggak tahu seminggu atau dua minggu ke depan, mereka masih
mengungsi. (Apalagi) pemerintah belum memikirkan penyediaan huntara (hunian
sementara)”.
Bantuan meliputi dapur umum, selimut dan tikar, “dukung bahan mentah
(makanan) yang berasal dari pertanian warga sendiri”.
Curah hujan berintensitas tinggi juga berpotensi terjadi di Sumatera bagian selatan
dan sulawesi.
“Jadi, ancaman banjir, longsor dan puting beliung masih tinngi di Indonesia,”
tutup Sutopo.
Kaji kasus di atas berdasarkan tahapan dalam proses penanganan bencana
a. Tanggap Darurat :
Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana
1. Tanda-tanda bencana longsor : getaran (pergerakan tanah)
2. Resiko bencana : jenis tanah, kemiringan tanah, penggundulan hutan,
curaah hujan yang tinggi
1. ?????
1. 1. Paradigma Penanggulangan Bencana
Konsep penanggulan bencana telah mengalami pergeseran
paradigma (paradigma shift) dari konvensional, yakni anggapan bahwa
bencana merupakan kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus
segera mendapatkan pertolongan (berfokus pada emergency dan relief),
ke peradigma pendekatan holistik, yakni menempatkan bencana dalam
tata kerangka manajerial yang dikenali dari bahaya (hazard), kerentanan
(vulnerability), serta kemampuan (capacity) masyarakat. Pada konsep ini,
dipersepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak dapat
dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat
diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada di
lokasi rawan bencana serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
pencegahan dan penanganan bencana (Efendi, 2013).
Dalam pendekatan ini resiko (risk) merupakan interaksi dari
kerentanan dan bahaya dibandingkan dengan kemampuan masyarakat.
Pada perspektif ini, maka bencana bukan saja dilihat dari aspek metafisis
di luar jangkauan manusia namun justru dilihat dari aspek teknis dan aspek
manajerial dengan melakukan intervensi pada ketiga faktor di atas; inilah
yang selanjutnya dikenal dengan pendekatan Pengurangan Resiko
Bencana (Disaster Risk Reduction-DRR) (Efendi, 2013).
Penanganan bencana dengan paradigma Pengurangan Resiko
Bencana (PRB) merupakan pendekatan ilmiah dan teknis dengan
memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan politik. Tujuan utama dari
pendekata holistik PRB adalah meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan menekan resiko saat terjadi bencana. Hal penting
dalam paradigma ini adalah memandang masyarakat sebagai penentu
utama (subjek) penanganan (Efendi, 2013).
1. 2. Kebijakan dan Penanganan Bencana
Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana yang di dalamnya membuat
ketentuan umum; landasan, asas, dan tujuan; tanggung jawab dan
wewenang (pemerintah dan pemerintah daerah); kelembagaan (pusat dan
daerah); hak dan kewajiban masyarakat; peran lembaga usaha dan lembaga
internasional; penyelenggaraan penanggulangan bencana; pendanaan dan
pengelolaan bantuan bencana; pengawasan; penyelesaian sengketa dan
ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan penutup (Efendi, 2013).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 ini sesungguhnya
merupakan kebijakan Pemerintah RI yang mengikat bagi pemerintahan itu
sendiri maupun seluruh masyarakat Indonesia serta lembaga donor (asing
dan domestik) dalam hal penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-
Undang ini masih mensyaratkan beberapa peraturan pemerintah dan
pengaturan lain di bawahnya namun secara filosofis sudah memuat
ketentuan pokok penanggulangan bencana seperti di bawah ini (Efendi,
2013).
Penyelenggaraan penanggulan bencana merupakan tanggung jawab dan
wewenang pemerintah dan pemerintah daerah yang dilaksanakan secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
Penyelenggaraan penanggulang bencana pada masa tanggap darurat
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Penanggulangan Bencana (pusat
dan/atau daerah) yang terdiri atas unsur pengarah dan pelaksana.
Penyelenggaraan penanggulang bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan keterampilan, serta
partisipaso dalam pengambilan keputusan dalam hal penanggulangan
bencana.
Penyelenggaraan penanggulang bencana dilakukan pada tahap pra-
bencana, saat tahap tanggap darurat, danpasca-bencana yang masing-
masing mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
Penyelenggaraan penanggulang bencana pada tahap tanggap darurat
didukungoleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau daerah
(APBNdan/atau APBD) juga didukung dengan dana siap pakai yang
pertanggungjawabannya dilakukan melalui mekanisme khusus.
Penyelenggaraan penanggulang bencana diawasi oleh pemerintah dan
masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan.
Penyelenggaraan penanggulang bencana dalam konteks undang-undang
ini memuat sanksi pidana dan perdata agar ditaati dan/atau
menimbulkan efek jera bagi para pihak yang berbuat lalai atau sengaja
yang karena perbuatannya menimbulkan bencana.
Undang-undang ini memuat tanggung jawab, wewenang
pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, serta hak
dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana. Secara
rinci, tanggung jawab pemerintah adalah sebagai berikut (Efendi,
2013).
Pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan resiko
bencana dengan progam pembangunan.
Perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.
Pemulihan kondisi dari dampak bencana.
Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara yang memadai.
Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana
siap pakai.
Pemeliharaan arsip atau dokumen otentik dan kredibel dari ancaman
dan dampak bencana.
Sedangkan, wewenang pemerintah adalah sebagai berikut.
Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional.
Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana.
Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain.
Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan
sumberdaya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan
pemulihan.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.
Sementara itu, hak setiap orang adalah sebagai berikut.
Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana.
Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulan bencana.
Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial.
Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya.
Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diataur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan kontruksi. Sedangkan,
kewajiban setiap orang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
adalah menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis; memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup; melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan memberikan
informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana
(Efendi, 2013).
Dalam setiap kejadian bencana di Indonesia ada beberapa pihak
yang bekerja sama dalam melakukan usaha-usaha penanganan bencana.
Pihak-pihak ini adalah pemerintah, organisasi-organisasi bantuan, dan
masyarakat itu sendiri. Hubungan di antara pihak-pihak ini sebaiknya telah
dirintis pada tahap persiapan sebelumnya ada bencana di bawah koordinasi
Satuan Pelaksana Penanggulan Bencana dan Pengungsian (Satlak PBP)
(Efendi, 2013).
Di tingkat nasional, lembaga pemerintahan yangkhusus menangani
penanggulangan bencana di Indonesia adalah Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (Bakornas PBP) dan Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsian
(Satkorlak PBP) di tingkat provinsi, Satlak PBP di tingkat kabupaten,
Satgas di tingkat kecamatan, dan Hansip/KMPB di tingkat desa atau
kelurahan. Di samping itu, peran LSM dan organisasi-organisasi seperti
PMI, TNI, dan dinas sosial tidak kalah pentingnya. Untuk memperkuat
kesiapsiagaan, masyarakat bisa mendapatkan pelatihan-pelatihan dari
organisasi-organisasi tersebut. Koordinasi lembaga yang menangani
bencana dapat digambarkan sebagai berikut (Efendi, 2013).
1. 3. Kelompok Rentan
Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus
konseptual penanggulangan bencana adalah manusia yang potensial
sebagai korban, maka dua hal mendasar yang perlu menjadi fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan (vulnerable group) dan meningkatkan
kapasitas masyarakat sebagai subjek penyelenggaraan penanggulangan
bencana (Efendi, 2013).
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan, dan menghadapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan ini
mencakup kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku yang dapat
ditimbulkan oleh beragam penyebab (Efendi, 2013).
Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan
penjelasan Pasal 26 Ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana
adalah anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan
yang disandangnya diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, penyangdang caat, dan lanjut usia. Secara umum, kerentanan
masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dikelompokkan menjadi
berikut ini (Efendi, 2013).
3. Kesiapsiagaan