Dosen Pembimbing:
Nurma Alfiani.,S.Kep.,Ners.,M.KeP
Disusun Oleh :
1608.14201.498
MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan
inayahnya kepada kita semua. Sehingga tugas makalahini dapat terselesaikan.
Makalah yang berjudul “Peran dan Fungsi Perawat Pada Fase Saat Bencana” ini
dengan tujuan untuk mengetahui teori tentang Peran dan Fungsi Perawat Pada
Fase Saat Bencana.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana menjadi topik perbincangan banyak kalangan saat ini. Bencana
merupakan peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam dan non alam yang
merusak fungsi sosial, material dan lingkungan serta menimbulkan korban jiwa
sehingga dibutuhkan bantuan penanganan (CRED, 2014 ; WHO, 2013 ; UU No
24 tahun 2007). Sampai saat ini bencana baik di indonesia maupun di dunia
belum mampu dikendalikan sehingga angka kejadian bencana ini selalu
meningkat.
Indonesia sebagai negara kepulauan rawan terhadap bencana alam.
Kejadian bencana alam mengalami peningkatan setiap tahun, dilaporkan sejak
tahun 2012 terdapat 1.811 kejadian dan meningkat hingga tahun 2016 dengan
1.986 kejadian bencana (BNPB, 2016 ; Gaffar, 2015 ; BNPB, 2013). Sumatera
Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5 provinsi tertinggi
kejadian bencana. Kondisi ini disebabkan karena geografis Sumbar yang berada
pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap bencana, dan Kota Padang
menjadi urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi. (BNPB, 2014).
Besarnya angka kejadian bencana membutuhkan upaya dalam penanggulangan
bencana.
Kejadian bencana membutuhkan penanggulangan untuk meminimalisir
kerugian bencana. Penanggulangan bencana adalah upaya sistematis dan
terpadu untuk mengelola bencana dan mengurangi dampak diantaranya.
penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan resiko berupa usaha
pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan serta upaya pemulihan berupa
rehabilitasi dan rekontruksi (Veenema, 2016 ; Loke, 2014 ; KPBD, 2005).
Penanggulangan bencana akan maksimal apabila dilakukan upaya
kesiapsiagaan yang terus menerus dalam bencana.
Upaya kesiapsiagaan menjadi aspek penting untuk mengelola dan
mengurangi dampak dari bencana. Menurut Usher (2016) kesiapsiagaan adalah
perpaduan antara ilmu, keterampilan, kemampuan dan tindakan yang perlu
dipersiapkan dalam menghadapi bencana baik alam ataupun non alam.
Sedangkan Magnaye (2011) menyebutkan kesiapsiagaan adalah tindakan
antisipasi terkait sistem, prosedur dan sumber daya yang tersedia dalam
memberikan bantuan kepada korban bencana. Fung (2008) mendefenisikan
kesiapsiagaan merupakan langkah penting dan efektif untuk mempersiapkan diri
dalam mengurangi dampak bencana. Jadi kesiapsiagaan adalah aktivitas yang
perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana. Upaya kesiapasiagaan
dibutuhkan untuk semua disiplin ilmu dalam penanggulangan bencana salah
satunya ilmu bagian kesehatan.
Bidang kesehatan menjadi salah satu disipin ilmu yang mempersiapkan
pelayanan kesehatan dalam kesiapsiagaan bencana. Pelayanan kesehatan pada
saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya
kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat bencana. Sharma (2016)
menyebutkan kesiapsiagaan bidang kesehatan adalah persiapan untuk
menangani korban akibat bencana. Magnaye (2011) menyebutkan
kesiapsiagaan kesehatan adalah garda utama melawan hilangnya nyawa
manusia akibat bencana. Sedangkan Depkes (2006) menyatakan kesiapsiagaan
kesehatan adalah upaya untuk meminimalkan jumlah, penderitaan, masalah
kesehatan dan pemulihan yang cepat pada korban. Jadi kesiapsiagaan dalam
kesehatan adalah pengembangan rencana bidang kesehatan untuk
meminimalisir terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat
bencana. Untuk memaksimalkan kesiapsiagaan bidang kesehatan, pelayanan
kesehatan harus mempersiapkan tenaga kesehatan yang profesional dalam
kesiapsiagaan bencana.
Perawat sebagai tenaga kesehatan terbesar mempunyai peran yang sangat
penting dalam kesiapsiagaan bencana. Veenema (2016) menyebutkan perawat
merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam penanggulangan
bencana yang terangkum dalam disaster nursing. Rokkas (2014) menyebutkan
perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran sebagai first responden dalam
menangani korban bencana. Selanjutnya International Council of Nurses (2009)
menyatakan perawat memiliki kompetensi dalam keperawatan bencana untuk
memberi tindakan keperawatan pada individu, keluarga dan masyarakat dalam
setiap fase bencana. Jadi, perawat memiliki kompetensi dalam memberikan
tindakan keperawatan yang terangkum dalam keperawatan bencana. Peran
perawat dalam kompetensi keperawatan bencana salah satunya adalah
kesiapsiagaan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi dampak
bencana (mitigasi) adalah dengan melibatkan berbagai multi disiplin ilmu dalam
penanganan bencana, perawat sebagai profesi kesehatan terbesar di Indonesia
yang tersebar mulai dari perkotaan sampai dengan desa terpencil dapat
berperan aktif dalam penanganan bencana (Emaliyawati dkk, 2016).
Salah satu teknologi dalam mitigasi bencana untuk mengurangi korban jiwa
ataupun luka-luka adalah dengan mengaktifkan teknologi informasi dengan
melibatkan sumber daya layanan kesehatan, baik sumber daya manusianya,
sarana dan prasarana yang tersedia, dan kemudahan dalam mengakses layanan
kesehatan tersebut. Data dan informasi mengenai sarana dan layanan
kesehatan sangat dibutuhkan pada seluruh fase bencana, baik pada fase
prabencana, tanggap darurat maupun paskabencana.Informasi tersebut dapat
membantu dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat pada saat
penanganan korban bencana, untuk menyelamatkan korban cedera maupun
mengurangi korban jiwa (Emaliyawati dkk, 2016)
BAB II
TINJAUAN KONSEP
A. Bencana
Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang
terkena.
Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dankondisi yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Jenis-jenis bencana:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti banjir,
genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaiut kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, ledakan, sabotase dan lainnya.
3. Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas:
a) Bencan Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan
lainnya.
b) Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor
alam seperti alam, banjir, letusan gunung dan lainnya.
B. Fase-fase bencana
Menurut Barbara santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu fase pre impact, impact dan post impact.
1. Fase pre impact merupakan warning phase, tahap awal
dari bencana.Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi
cuaca.Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan dengan baik
oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat.
2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup.fase impact
ini terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat
dilakukan.
3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan
dari fase darurat.Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali
pada fungsi kualitas normal.Secara umum pada fase post impact para korban
akan mengalami tahap respons fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah
(angry), tawar –menawar (bargaing), depresi (depression),hingga
penerimaan (acceptance).
Indonesia adalah negara yang rentan terjadinya bencana, hal ini dikarenakan
kondisi geologi dimana perairan Indonesia sepanjang pantai bagian barat Sumatera,
pantai selatan Jawa hingga perairan Nusa Tenggara, Papua dan Sulawesi terletak
diantara lempenglempeng tektonik aktif diantaranya lempeng Eurasia, Indo Australia
dan lempeng dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempenglempeng tektonik
tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif
serta patahan patahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi
dan tanah longsor (Haryadi P, 2007).
Penatalaksanaan penanganan korban bencana saat ini belum tertangani secara
maksimal, dimana evakuasi korban bencana sangat sulit dilakukan dan seringkali
menimbulkan keterlambatan penanganan (Murni, T.W, 2010). Hal ini terjadi selain
kondisi infrastruktur yang rusak juga koordinasi dengan tempat layanan kesehatan
terdekat masih sulit dilakukan, sumber daya manusia, dan fasilitas kesehatan yang
tersedia tidak terinformasikan secara jelas, sehingga penanganan korban menjadi
terlambat. Berdasarkan fenomena tersebut, maka masyarakat dan pemerintah
daerah pun seharusnya sudah menyadari dan mewaspadai, dan siap siaga terhadap
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi akibat bencana di daerahnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah upaya meningkatkan mitigasi
bencana di daerahnya.Mitigasi yang cepat dan tepat ketika terjadi bencana terbukti
dapat meminimalkan korban akibat bencana, baik korban jiwa, korban luka-luka
maupun kerugian fisik dan material.
Salah satu teknologi dalam mitigasi bencana untuk mengurangi korban jiwa
ataupun luka-luka adalah dengan mengaktifkan teknologi informasi dengan
melibatkan sumber daya layanan kesehatan, baik sumber daya manusianya, sarana
dan prasarana yang tersedia, dan kemudahan dalam mengakses layanan kesehatan
tersebut. Data dan informasi mengenai sarana dan layanan kesehatan sangat
dibutuhkan pada seluruh fase bencana, baik pada fase prabencana, tanggap darurat
maupun paskabencana.Informasi tersebut dapat membantu dalam pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat pada saat penanganan korban bencana, untuk
menyelamatkan korban cedera maupun mengurangi korban jiwa (Emaliyawati dkk,
2016)
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), informasi sarana
kesehatan yang dibutuhkan terdiri dari: instansi/lembaga pengelola, sumber daya
manusia (SDM), sarana prasarana, logistik, dan peralatan (Wibowo, 2011). Dalam
manajemen mitigasi bencana memerlukan kerjasama lintas sektoral dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Profesi keperawatan merupakan profesi yang anggotanya
berjumlah besar, tersebar di berbagai wilayah dari mulai perkotaan, pedesaan dan
dusun terpencil. Peran perawat ketika bencana yaitu sebagai agen pemberdayaan
masyarakat dan atau pemberi bantuan kesehatan langsung baik pada tahap pra–
bencana, bencana dan pasca–bencana. Perawat mempunyai kewajiban untuk
melakukan intially assessment korban bencana, mengidentifikasi kebutuhan korban,
memberikan pertolongan dalam upaya life saving, evakuasi korban sampai korban
mendapatkan penanganan perawatan/kesehatan yang tepat (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, 2012; Putra. 2011). Dalam evakuasi korban perawat perlu
melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan, pemilihan layanan kesehatan hendaknya
yang sesuai dengan kemampuan dalam penanganan korban. Selama ini hal
tersebut tidak terinformasikan dan belum ada sistem informasi kesehatan terpadu
dalam menghadapi kondisi bencana.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi
kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan
menimbulkan kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan
melalui tindakan tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.
Sistem informasi bencana terkait aspek kesehatan telah tersedia dengan
nama Sistem Informasi Bencana Padjadjaran “SIMBARAN” yang menggunakan
sistem informasi geopraphic yang di dalamnya berisi kontent informasi
kesehatan untuk penanganan kondisi bencana. Informasi ini dapat digunakan
sebagai informasi dasar untuk mengambil keputusan dalam manajemen
penanganan bencana, terutama berkaitan dengan sistem rujukkan. Data yang
ada di dalam sistem sudah memadai dalam menghadapi kondisi bencana
terutama pada fase akut. Sistem Informasi Bencana Padjadjaran “SIMBARAN”
ini tidak dapat berdiri sendiri harus dikembangkan dengan bekerjasama
bersama-sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dan Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN).
B. Saran
Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam melakukan
kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki
kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui aksi
siaga bencana.
DAFTAR PUSTAKA