Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA

Dosen Pengajar :
Ari Damayanti W.,S.kep.,Ns.,M.kep

Disusun Oleh :
Kelompok II

Ferdianto Rato Nene (1608.14201.523)


Marzella I. C. Milla (1608.14201.498)
Vivi Ainur Rohmah (1608.14201.516)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2017

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik,
dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga tugas makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Atresia
Ani” ini dengan tujuan untuk mengetahui teori tentang Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Atresia Ani.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan di dalamnya. Kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penulis,

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN KONSEP


2.1 Definisi Atresia Ani .......................................................................................... 6
2.2 Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan ......................................................... 6
2.3 Etiologi Atresia Ani........................................................................................... 9
2.4 Patofisiologi Atresia Ani ................................................................................. 10
2.5 Pathway......................................................................................................... 11
2.6 Klasifikasi ...................................................................................................... 13
2.7 Tanda dan gejala ........................................................................................... 14
2.8 Manifestasi Klinik ........................................................................................... 16
2.9 Komplikasi ..................................................................................................... 17

BAB 3 ASKEP
3.1 Fokus Pengkajian .......................................................................................... 18
3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................................. 18
3.3 Intervensi ...................................................................................................... 19

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan .................................................................................................... 24
4.2 Saran ............................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia ani adalah malformasi kongenital di mana rektum tidak
mempunyai lubang keluar. Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal .sumber lain juga menyebutkan atresia ani adalah
kondisi dimana rektal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama
petumbuhan dalam kandungan. dengan kata lain tidak adanya
lubang pada anus atau buntunya saluran rongga tubuh,hal ini bisa
terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena
proses penyakit yang mengenai saluran pencernaan.Atresia dapat
terjadi pada saluran tubuh.atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan
tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan
normalnya (Judarwanto, 2009).
Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang tergolong
rendah angka kejadianya di bandingkan penyakit lain dalam
saluran pencernaan . Data yang di dapatkan kejadian atresian ani
ini timbul dengan perbandingan 1 dari 5000 kelahiran hidup dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 per
mil maka di predisikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit atresia ani.Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
atresia ani ini yang di rujuk setiap tahunya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta dengan rasio laki-laki : Perempuan adalah
4:1 . Insiden ini di pengaruhi oleh grup etnik, untuk Afrika dan
Amerika adalah 2,1 daam 10.000 keahiran,Chaucassian 1,5 dalam
10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran. Menurut
catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang di teliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Borwn menemukan tendensi
faktor keturunan pada penyakit ini yakni di temukan 57 kasus
dalam 24 keluarga . Sedangkan di indonesia sendiri kasus yang

4
terbanyak di temukan pada pengamatan dari tahun 2000-2013
kasus atresia ani meningkat menjadi 29,3 kasus/tahun dan 9 bayi di
antaranya meninggal (lihat laporan Madi dkk, 2005., sarkar dkk,
2013: Sawrdekar, 2005: dan Takasande dkk, 2010)

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Atresia Ani?
1.2.2 Bagaimana Anatomi dan fisiologi Atresia Ani?
1.2.3 Apa etiologi Atresia Ani?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi Atresia Ani?
1.2.5 Bagaimana pathway Atresia Ani?
1.2.6 Apa saja klasifikasi Atresia Ani?
1.2.7 Apa saja tanda dan gejala Atresia Ani?
1.2.8 Apa saja manifestasi klinis Atresia Ani?
1.2.9 Apa saja komplikasi Atresia Ani?
1.2.10 Bagaimana penatalaksanaan Atresia Ani?
1.2.11 Apa saja pemeriksaan penunjang Atresia Ani?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Mengetahui Pengertian Atresia Ani?
1.3.2 Mengetahui anatomi dan fisiologi dari sistem pencernaan
1.3.3 Mengetahui etiologi dari Atresia Ani?
1.3.4 Mengetahui patofisiologi Atresia Ani?
1.3.5 Mengetahui pathway Atresia Ani?
1.3.6 Mengetahui klasifikasi Atresia Ani?
1.3.7 Mengetahui tanda dan gejala Atresia Ani?
1.3.8 Mengetahui manifestasi klinis Atresia Ani?
1.3.9 Mengetahui komplikasi Atresia Ani?
1.3.10 Mengetahui penetalaksanaan Atresia Ani?
1.3.11 Mengetahui pemeriksaan penunjang Atresia Ani?

5
BAB 2
TINJAUAN KONSEP

2.1 Pengertian Atresia Ani

Atresia ani merupakan kelainan berupa tiadanya anus atau lubang


dubur pada seorang bayi yan g baru lahir (Suriadi, 2001). Tertutupnya anus
secara abnormal ini terjadi karena faktor-faktor yang banyak, yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan (multifaktorial) yang bekerja dan menyebabkan
putusnya saluran pencernaan dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur. Kegagalan pembentukan anus ini terjadi pada periode
pertumbuhan janin dalam kandungan usia tiga bulan terdpat tiga kasus yang
ditemukan pada tahun 2000,dan meningkat menjadi 10 kasus pada tahun
2013, atau terjadi lebih dari tiga kali peningkatan kejadian Gastroschisis di
Bengkulu.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz,
2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak
terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus
tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
.

6
2.2 Anatomi dan fisiologi

Susunan saluran pencernaan terdiri dari:


2.2.1 Jejunum dan ileum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima
bagian atas adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan
panjang 4-5 m. Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding
abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang
berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
2.2.2 Usus besar
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya
56 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar: selaput lendir,
lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus
besar adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.
2.2.3 Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk
seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm.
Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak
mempunyai mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen
pada orang yang masih hidup.
2.2.4 Kolon asendens
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan,
membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke
kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon
transversum.

7
2.2.5 Apendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung
sekum, mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan
dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang
pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak
horizontal dibelakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap
infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa
menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.
2.2.6 Kolon transversum
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada
dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah
kiri terdapat fleksura lienalis.
2.2.7 Kolon desendens
Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri
membujur dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum
kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.
2.2.8 Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S,
ujung bawahnya berhubungan dengan rektum.
2.2.9 Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os
sacrum dan os koksigis. Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan
feses sementara.
2.2.10 Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar
pelvis, dindingnya diperkuat oleh sfingter:
a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.
b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak.

8
2.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan
oleh :
2.3.1 Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
2.3.2 Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anu` s.
2.3.3 Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia
12 minggu atau 3 bulan.
2.3.4 Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih
jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab
atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier
penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi
carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi
yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto,
2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan
kongenital saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan
anomali pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada
genitourinari.

9
2.4 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan
struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan
migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang
keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari
atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator): rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai
dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate: rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

10
2.5 Pathway

11
2.6 Klasifikasi

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :


2.6.1 Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2.6.2 Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
2.6.3 Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
2.6.4 Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

2.7 Tanda dan gejala


2.7.1 Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
2.7.2 Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectalk pada bayi
2.7.3 Mekonium keluar melalui sebuah vistula atau anus yang salah letaknya
2.7.4 Distensi bertahap dan aanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
vistula)
2.7.5 Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
2.7.6 Pada pemeriksaan rectak touche terdapat adanya membrane anal
2.7.7 Perut kembung

2.8 Manifestasi Klinik


Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

12
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan
timbul:

1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.


2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

2.9 Komplikasi
2.9.1 Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2.9.2 Obstruksi intestinal
2.9.3 Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
2.9.4 Komplikasi jangka panjang:
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu:
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli
bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan
lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau
colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari
setelah lahir.

13
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12


bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah
baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB
akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.

2.11 Pemeriksaan Penunjang


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untukmengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan

14
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

15
BAB 3
ASKEP
3.1 Pengkajian Fokus
3.1.1 Pengkajian
Konsep teori yang digunakan penulis adalah model konseptual
keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan
menjadi 11 konsep yang meliputi:
a. Pola Persepsi Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan
perawatan di rumah.
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi
pada pasien dengan atresia ani post tutup kolostomi.
Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual
dan muntah dampak dari anastesi.
c. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan
paru maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi
kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena itu pada
pasien atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,
sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari
kelemahan otot.
e. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran,
penciuman dan daya ingatan masa lalu dan ketanggapan
dalam menjawab pertanyaan.
f. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena
nyeri pada luka insisi.
g. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri

16
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body
image, body comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah,
penolakan karena dampak luka jahitan operasi.
h. Pola Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum
dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung
jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
i. Pola Reproduksi dan Seksual
Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat
reproduksi.
j. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah
keuangan, dan rumah.
k. Pola Keyakinan
Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam
melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya
dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam
upaya pelaksanaan ibadah.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam setelah
bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
1. Pre Operasi
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
muntah.
b. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.

2. Post Operasi

17
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi
pembedahan.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
c. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan
kebutuhan perawatan dirumah.

3.3 Intervensi keperawatan


1. Pre Operasi

a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.


Tujuan : Volume cairan terpenuhi
KH: 1.) Turgor kulit baik dan bibir tidak kering
2.) TTV dalam batas normal
Intervensi :
a.) Awasi masukan dan keluaran cairan.
Rasional : Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan
cairan.
b.) Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.
Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung,
TD dan nadi turun.
c.) Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.
Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada
jaringan.
d.) Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi.
Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.
b. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.
KH: 1.) Ansietas berkurang
2.) Klien tidak gelisah
Intervensi :
a.) Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.
Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana
informasi tersebut diterima.
b.) Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum
dilakukan operasi.

18
Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika
tindakan operasi tersebut dilakukan.
c.) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan
perasaan takutnya.
Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana
rasa takut dapat ditujukan.
d.) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi
ansietas.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi
pembedahan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang
KH: 1.) Klien mengatakan nyeri berkurang
2.) Skala nyeri 0-1
3.) Ekspresi wajah terlihat rileks

Intervensi:
a.) Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.
Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam
pengkajian.
b.) Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi
atau respon nyeri.
c.) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk istirahat.
Rasional: Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.
d.) Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.
Rasional: Untuk mengurangi rasa nyeri.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.


Tujuan: Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi
KH: 1.) Tidak ada tanda-tanda infeksi
2.) Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.
3.) Luka post operasi bersih
Interversi :
a.) Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).

19
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.
b.) Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan menggunakan
sabun anti mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk mencegah
infeksi di rumah sakit.
c.) Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
d.) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.
e.) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan perawatan
dirumah.
Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah

KH: 1.) Kelurga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan


untuk bayi di rumah.
2.) Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada
klien.
Intervensi:
a.) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.
Rasional: Agar keluarga dapat melakukannya.
b.) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
Rasional: Agar segera dilakukan tindakan.
c.) Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.
Rasional: Dapat memberikan pengetahuan keluarga
d.) Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.
Rasional: untuk melatih pasien.
e.) Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
Rasional: Membantu klien memperlancar defekasi.

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Atresia ani artinya tidak ada atau tidak berada pada tempatnya.
Atresia ani merupakan kelainan dalam perkembangan bayi saat masih
dalam kandungan, penyebabnya tidak diketahui, namun diduga faktor
genetik sedikit berperan. Diagnosis dibuat segera setelah bayi
dilahirkan (rutinitas/SOP), dimana tiap bayi baru lahir diperiksa anusnya
ada atau tidak, tersumbat atau tidak.
Namun demikian, terjadi juga keadaan ini tidak terdeksi, dan baru
diketahui setelah bayi tidak bisa BAB dan terlihat gejala sumbatan
diusus. Untuk memastikan jenis atresia dan posisinya pastinya,
dilakukan pemeriksaan rongsen plus zat kontras. MRI atau CT scan dan
juga bisa menentukan jenis dan ukuran atresia.
Tindakan pembedahan merupakan satu-satunya cara pengobatan
atresia ani. Yaitu berupa membuat saluran darurat didinding perut bayi
(colostomy) untuk mengeluarkan feses, setelah bayi berusia 1 tahun
baru bisa dilakukan operasi pembuatan anus.
4.2 saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui tentang penyakit atresia ani dan dengan sigap menangani
dan mengetahui bagaimana cara menangani bayi dengan masalah
atresia ani.

21
DAFTAR PUSTAKA

Haryono. Rudi, 2013. Jurnal Penanganan Atresia Ani Pada Anak. Vol. 1. No. 1.
Diakses pada Agustus 2016
Muslim. Choirul dkk. 2016. Jurnal Beberapa Kejadian cacat Bawaan Lahir.
Makassar. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3. EGC. Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai