Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT PADA FASE SAAT BENCANA

Dosen Pembimbing:

Nurma Alfiani.,S.Kep.,Ners.,M.KeP

Disusun Oleh :

Marzella Inriany Clarita Milla

1608.14201.498

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan
inayahnya kepada kita semua. Sehingga tugas makalahini dapat terselesaikan.
Makalah yang berjudul “Peran dan Fungsi Perawat Pada Fase Saat Bencana” ini
dengan tujuan untuk mengetahui teori tentang Peran dan Fungsi Perawat Pada
Fase Saat Bencana.

Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini


terdapat banyak kesalahan didalamnya. Kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana menjadi topik perbincangan banyak kalangan saat ini. Bencana
merupakan peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam dan non alam yang
merusak fungsi sosial, material dan lingkungan serta menimbulkan korban jiwa
sehingga dibutuhkan bantuan penanganan (CRED, 2014 ; WHO, 2013 ; UU No
24 tahun 2007). Sampai saat ini bencana baik di indonesia maupun di dunia
belum mampu dikendalikan sehingga angka kejadian bencana ini selalu
meningkat.
Indonesia sebagai negara kepulauan rawan terhadap bencana alam.
Kejadian bencana alam mengalami peningkatan setiap tahun, dilaporkan sejak
tahun 2012 terdapat 1.811 kejadian dan meningkat hingga tahun 2016 dengan
1.986 kejadian bencana (BNPB, 2016 ; Gaffar, 2015 ; BNPB, 2013). Sumatera
Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5 provinsi tertinggi
kejadian bencana. Kondisi ini disebabkan karena geografis Sumbar yang berada
pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap bencana, dan Kota Padang
menjadi urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi. (BNPB, 2014).
Besarnya angka kejadian bencana membutuhkan upaya dalam penanggulangan
bencana.
Kejadian bencana membutuhkan penanggulangan untuk meminimalisir
kerugian bencana. Penanggulangan bencana adalah upaya sistematis dan
terpadu untuk mengelola bencana dan mengurangi dampak diantaranya.
penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan resiko berupa usaha
pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan serta upaya pemulihan berupa
rehabilitasi dan rekontruksi (Veenema, 2016 ; Loke, 2014 ; KPBD, 2005).
Penanggulangan bencana akan maksimal apabila dilakukan upaya
kesiapsiagaan yang terus menerus dalam bencana.
Upaya kesiapsiagaan menjadi aspek penting untuk mengelola dan
mengurangi dampak dari bencana. Menurut Usher (2016) kesiapsiagaan adalah
perpaduan antara ilmu, keterampilan, kemampuan dan tindakan yang perlu
dipersiapkan dalam menghadapi bencana baik alam ataupun non alam.
Sedangkan Magnaye (2011) menyebutkan kesiapsiagaan adalah tindakan
antisipasi terkait sistem, prosedur dan sumber daya yang tersedia dalam
memberikan bantuan kepada korban bencana. Fung (2008) mendefenisikan
kesiapsiagaan merupakan langkah penting dan efektif untuk mempersiapkan diri
dalam mengurangi dampak bencana. Jadi kesiapsiagaan adalah aktivitas yang
perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana. Upaya kesiapasiagaan
dibutuhkan untuk semua disiplin ilmu dalam penanggulangan bencana salah
satunya ilmu bagian kesehatan.
Bidang kesehatan menjadi salah satu disipin ilmu yang mempersiapkan
pelayanan kesehatan dalam kesiapsiagaan bencana. Pelayanan kesehatan pada
saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya
kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat bencana. Sharma (2016)
menyebutkan kesiapsiagaan bidang kesehatan adalah persiapan untuk
menangani korban akibat bencana. Magnaye (2011) menyebutkan
kesiapsiagaan kesehatan adalah garda utama melawan hilangnya nyawa
manusia akibat bencana. Sedangkan Depkes (2006) menyatakan kesiapsiagaan
kesehatan adalah upaya untuk meminimalkan jumlah, penderitaan, masalah
kesehatan dan pemulihan yang cepat pada korban. Jadi kesiapsiagaan dalam
kesehatan adalah pengembangan rencana bidang kesehatan untuk
meminimalisir terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat
bencana. Untuk memaksimalkan kesiapsiagaan bidang kesehatan, pelayanan
kesehatan harus mempersiapkan tenaga kesehatan yang profesional dalam
kesiapsiagaan bencana.
Perawat sebagai tenaga kesehatan terbesar mempunyai peran yang sangat
penting dalam kesiapsiagaan bencana. Veenema (2016) menyebutkan perawat
merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam penanggulangan
bencana yang terangkum dalam disaster nursing. Rokkas (2014) menyebutkan
perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran sebagai first responden dalam
menangani korban bencana. Selanjutnya International Council of Nurses (2009)
menyatakan perawat memiliki kompetensi dalam keperawatan bencana untuk
memberi tindakan keperawatan pada individu, keluarga dan masyarakat dalam
setiap fase bencana. Jadi, perawat memiliki kompetensi dalam memberikan
tindakan keperawatan yang terangkum dalam keperawatan bencana. Peran
perawat dalam kompetensi keperawatan bencana salah satunya adalah
kesiapsiagaan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi dampak
bencana (mitigasi) adalah dengan melibatkan berbagai multi disiplin ilmu dalam
penanganan bencana, perawat sebagai profesi kesehatan terbesar di Indonesia
yang tersebar mulai dari perkotaan sampai dengan desa terpencil dapat
berperan aktif dalam penanganan bencana (Emaliyawati dkk, 2016).
Salah satu teknologi dalam mitigasi bencana untuk mengurangi korban jiwa
ataupun luka-luka adalah dengan mengaktifkan teknologi informasi dengan
melibatkan sumber daya layanan kesehatan, baik sumber daya manusianya,
sarana dan prasarana yang tersedia, dan kemudahan dalam mengakses layanan
kesehatan tersebut. Data dan informasi mengenai sarana dan layanan
kesehatan sangat dibutuhkan pada seluruh fase bencana, baik pada fase
prabencana, tanggap darurat maupun paskabencana.Informasi tersebut dapat
membantu dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat pada saat
penanganan korban bencana, untuk menyelamatkan korban cedera maupun
mengurangi korban jiwa (Emaliyawati dkk, 2016)

BAB II
TINJAUAN KONSEP

A. Bencana
Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang
terkena.
Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dankondisi yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Jenis-jenis bencana:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti banjir,
genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaiut kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, ledakan, sabotase dan lainnya.
3. Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas:
a) Bencan Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan
lainnya.
b) Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor
alam seperti alam, banjir, letusan gunung dan lainnya.

B. Fase-fase bencana
Menurut Barbara santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu fase pre impact, impact dan post impact.
1. Fase pre impact merupakan warning phase, tahap awal
dari bencana.Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi
cuaca.Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan dengan baik
oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat.
2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana.inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup.fase impact
ini terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat
dilakukan.
3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan
dari fase darurat.Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali
pada fungsi kualitas normal.Secara umum pada fase post impact para korban
akan mengalami tahap respons fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah
(angry), tawar –menawar (bargaing), depresi (depression),hingga
penerimaan (acceptance).

C. Permasalahan dalam penanggulangan bencana


Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut:
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya

D. Kelompok rentan bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari
potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan
menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan terbagi atas:
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi
ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan
bencana.
3. Kerentanan sosial, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya
masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap
ancaman bencana tanah longsor.

E. Paradigma Penanggulanngan Bencana


Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigm
dari konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak
terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigm
pendekatan holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka
menejerial yang dikenali dari bahaya, kerentanan serta kemampuan
masyarakat. Pada konsep ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan
kejadian yang tak dapat dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana
dapat diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada
dilokasi rawan bencan serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
pencegahan dan penangan bencana.

F. Perawat sebagai profesi


Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan , sesuai dengan
makna dari profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi
keperawatan seyogyanya mempunyai kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang etikal dan sesuai standar profesi serta sesuai dengan
kompetensi dan kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun
informal, serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang
dilakukannya (Nurachmah, E 2004).
Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam
tugasnya harus berperan sebagai: kolaborator, pendidik, konselor, change agent
dan peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body
of knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah
profesi, mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan
kesejawatan (Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004).
Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan
pelayanan profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang
unik dan individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah
dipersiapkan melalui pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai.
Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu competence, confidence,
compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam Nurachmah,
2004). Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah
profesional.

G. Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana


Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan
tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar
praktek keperawatan saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga
sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal
bagi perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih
banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan
lebih dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan
lambat.
Kesiapsiagaan perawat secara profesional dalam penanggulangan bencana
menjadi hal yang penting. Ada delapan aspek kesiapsiagaan bagi perawat
diantaranya:
1) kesiapsiagaan dalam tindakan keselamatan,
2) kesiapsiagaan dalam komando bencana di rumah sakit,
3) kesiapsiagaan mengakses sumber kritis,
4) kesiapsiagaan dalam support psikologis yaitu kemampuan perawat
dalam menangani psikologis korban,
5) kesiapsiagaan dalam komunikasi,
6) kesiapsiagaan dalam deteksi agen biologis,
7) kesiapsiagaan dalam isolasi dan dekontaminasi dan
8) kesiapsiagaan dalam pengambilan keputusan klinis kepada korban
(Georgino, 2015 ; Baack, 2011 ; Depkes, 2006).

H. Jenis Kegiatan Siaga Bencana


Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan
pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang
menjadi perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh
perawat dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan
isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling
urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga
kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi
dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun
juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat,
menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan
pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan
lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,
seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara
langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain itu,
Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan
ditempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban
saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan
bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat
sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma
psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam
massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka
akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban
bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah
pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada
orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah
anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan
sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan
permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri
mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda
yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah
dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat
menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan
pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan
masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus
dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan
bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut
perawat akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen
masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati
dan mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana.
Sehingga dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu
meringankan beban penderitaan korban bencana.
c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal
yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana
datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang,
jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan
tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan
dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan
dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan
baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti
konsep siaga bencana.

I. Peran perawat dalam managemen bencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Pasal 25 meliputi
(Setyowati dkk, 2013)
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya ( Pasal 25 a )
2. Penentuan status keadaan darurat bencana, ditetapkan dengan keputusan
Bupati (Pasal 25 b) Penyelamatan dan.
3. Evakuasi masyarakat terkena bencana ( Pasal 25 c )
4. Pemenuhan kebutuhan dasar ( Pasal 25 d )
5. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital ( Pasal 25 f ) yang
dilakukan oleh lembaga/instansi terkait dengan dikoordinasikan oleh kepala
BPBD ( Pasal 47 )
BAB III
PEMBAHASAN

Indonesia adalah negara yang rentan terjadinya bencana, hal ini dikarenakan
kondisi geologi dimana perairan Indonesia sepanjang pantai bagian barat Sumatera,
pantai selatan Jawa hingga perairan Nusa Tenggara, Papua dan Sulawesi terletak
diantara lempenglempeng tektonik aktif diantaranya lempeng Eurasia, Indo Australia
dan lempeng dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempenglempeng tektonik
tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif
serta patahan patahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi
dan tanah longsor (Haryadi P, 2007).
Penatalaksanaan penanganan korban bencana saat ini belum tertangani secara
maksimal, dimana evakuasi korban bencana sangat sulit dilakukan dan seringkali
menimbulkan keterlambatan penanganan (Murni, T.W, 2010). Hal ini terjadi selain
kondisi infrastruktur yang rusak juga koordinasi dengan tempat layanan kesehatan
terdekat masih sulit dilakukan, sumber daya manusia, dan fasilitas kesehatan yang
tersedia tidak terinformasikan secara jelas, sehingga penanganan korban menjadi
terlambat. Berdasarkan fenomena tersebut, maka masyarakat dan pemerintah
daerah pun seharusnya sudah menyadari dan mewaspadai, dan siap siaga terhadap
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi akibat bencana di daerahnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah upaya meningkatkan mitigasi
bencana di daerahnya.Mitigasi yang cepat dan tepat ketika terjadi bencana terbukti
dapat meminimalkan korban akibat bencana, baik korban jiwa, korban luka-luka
maupun kerugian fisik dan material.
Salah satu teknologi dalam mitigasi bencana untuk mengurangi korban jiwa
ataupun luka-luka adalah dengan mengaktifkan teknologi informasi dengan
melibatkan sumber daya layanan kesehatan, baik sumber daya manusianya, sarana
dan prasarana yang tersedia, dan kemudahan dalam mengakses layanan kesehatan
tersebut. Data dan informasi mengenai sarana dan layanan kesehatan sangat
dibutuhkan pada seluruh fase bencana, baik pada fase prabencana, tanggap darurat
maupun paskabencana.Informasi tersebut dapat membantu dalam pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat pada saat penanganan korban bencana, untuk
menyelamatkan korban cedera maupun mengurangi korban jiwa (Emaliyawati dkk,
2016)
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), informasi sarana
kesehatan yang dibutuhkan terdiri dari: instansi/lembaga pengelola, sumber daya
manusia (SDM), sarana prasarana, logistik, dan peralatan (Wibowo, 2011). Dalam
manajemen mitigasi bencana memerlukan kerjasama lintas sektoral dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Profesi keperawatan merupakan profesi yang anggotanya
berjumlah besar, tersebar di berbagai wilayah dari mulai perkotaan, pedesaan dan
dusun terpencil. Peran perawat ketika bencana yaitu sebagai agen pemberdayaan
masyarakat dan atau pemberi bantuan kesehatan langsung baik pada tahap pra–
bencana, bencana dan pasca–bencana. Perawat mempunyai kewajiban untuk
melakukan intially assessment korban bencana, mengidentifikasi kebutuhan korban,
memberikan pertolongan dalam upaya life saving, evakuasi korban sampai korban
mendapatkan penanganan perawatan/kesehatan yang tepat (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, 2012; Putra. 2011). Dalam evakuasi korban perawat perlu
melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan, pemilihan layanan kesehatan hendaknya
yang sesuai dengan kemampuan dalam penanganan korban. Selama ini hal
tersebut tidak terinformasikan dan belum ada sistem informasi kesehatan terpadu
dalam menghadapi kondisi bencana.
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi
kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan
menimbulkan kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan
melalui tindakan tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.
Sistem informasi bencana terkait aspek kesehatan telah tersedia dengan
nama Sistem Informasi Bencana Padjadjaran “SIMBARAN” yang menggunakan
sistem informasi geopraphic yang di dalamnya berisi kontent informasi
kesehatan untuk penanganan kondisi bencana. Informasi ini dapat digunakan
sebagai informasi dasar untuk mengambil keputusan dalam manajemen
penanganan bencana, terutama berkaitan dengan sistem rujukkan. Data yang
ada di dalam sistem sudah memadai dalam menghadapi kondisi bencana
terutama pada fase akut. Sistem Informasi Bencana Padjadjaran “SIMBARAN”
ini tidak dapat berdiri sendiri harus dikembangkan dengan bekerjasama
bersama-sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) dan Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN).
B. Saran
Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam melakukan
kegiatan tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki
kemampuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui aksi
siaga bencana.
DAFTAR PUSTAKA

Emaliyawati E, dkk. 2016. Manajemen Mitigasi Bencana Dengan Teknologi


Informasi di Kabupaten Ciamis.jurnal: Fakultas Keperawatan
Padjajaran.
Efendi, Ferry. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam
keperawatan.Jakarta.Penerbit Salemba Medika, 2009.
Setyowati A, dkk. 2013. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana
Pada Tahap Tanggap Darurat Bencana Tanah Longsor Di Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Semarang. Jurnal:
Universitas Diponerogo.
Depkes RI. (2006). Pedoman manajemen sumber daya dan kesehatan dalam
penanggulangan bencana. Jakarta: Depkes
Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. Prosedur Tetap Pelayanan Medik
Penanggulangan Bencana.
http://dc126.4shared.com/doc/ZPBNsmp_/preview.html. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2013.
Mursalin.2011.Peran Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana. Diakses
pada tanggal 12 Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai