Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KEPERAWATAN BENCANA (BANJIR)

PROGRAM pada fase preIMPACT dan BAGAIMANA CARA


PENANGGULANGANNYA

DOSEN PENGAJAR :
DESY SISWATI ANJAR SARI. S.Kep.Ns.M.Kep

OLEH :
RADETYA PRIMA
NIM : 220811013

S1 KEPERAWATAN (PROGRAM ALIH JENJANG) STIKES PEMKAB JOMBANG


2021 / 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang


Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak
hanya terbatas pada pemberian asuhan di rumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu
bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan
keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan
teknik dalam  menghadapi kondisi seperti ini.
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat
dilakukan oleh profesi  keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk.
Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam situasi
tanggap bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap
bencana.

1.2    Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana Bencana?
2. Bagaimana Fase-fase bencana?
3. Bagaimana Kelompok rentan Bencana?
4. Bagaimana Paradigma penanggulangan Bencana?
5. Bagaimana Pengurangan Risiko Bencana?
6. Bagaimana Peran perawat Dalam tanggap Bencana?
7. Bagaimana Jenis Kegiatan siaga Bencana?
8. Bagaimana Managemen Bencana?
9. Bagaimana peran perawat dalam managemen Bencana?

1.3    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui Bencana.
2. Mahasiswa dapat mengetahui Fase-fase bencana.
3. Mahasiswa dapat mengetahui Kelompok rentan Bencana.
4. Mahasiswa dapat mengetahui Paradigma penanggulangan Bencana.
5. Mahasiswa dapat mengetahui Pengurangan Risiko Bencana.
6. Mahasiswa dapat mengetahui Peran perawat Dalam tanggap Bencana.
7. Mahasiswa dapat mengetahui Jenis Kegiatan siaga Bencana.
8. Mahasiswa dapat mengetahui Managemen Bencana.
9. Mahasiswa dapat mengetahui peran perawat dalam managemen Bencana.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1    Bencana
     Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat dan wilayah yang terkena.
     Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Jenis-jenis bencana:
1.      Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan,
gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
2.      Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan
manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, ledakan, sabotase dan
lainnya.
Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas:
1.      Bencan Lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan lainnya.
2.      Bencana regional, jenis bencan ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan leh faktor alam seperti alam, banjir,
letusan gunung dan lainnya.

2.2    Fase-fase bencana


     Menurut Barbara Santamaria (1995),ada tiga fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu
fase pre impact,impact,dan post impact
1. Fase pre impact  merupakan warning phase,tahap awal dari  bencana. Informasi
didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat.
2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase impact ini terus berlanjut hingga
tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat dilakukan.
3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat. Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas normal.
Secara umum pada fase post impact para korban akan mengalami tahap respons fisiologi
mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar –menawar (bargaing), depresi
(depression), hingga penerimaan (acceptance).
Permasalahan dalam penanggulangan bencana
Secara umum masyarakat Indonesia  termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki
keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1.      Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2.      Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3.      Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4.      Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

2.3    Kelompok rentan bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana untuk mencegah,
menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan terbagi atas:
1.     Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
gempa.
2.  Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
3.  Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4.       Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor. 

2.4    Paradigma Penanggulanngan Bencana


     Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigma dari
konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak terelakan dan
korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigma pendekatan holistic yakni
menampakkan bencana dalam tata rangka managerial yang dikenali dari bahaya, kerentanan
serta kemampuan masyarakat. Pada konsep ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan
kejadian yang tak dapat dihindari, namun resiko atau akibat kejadian bencana dapat
diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat yang ada di lokasi rawan bencan
serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penangan bencana.

2.5    Pengurangan Risiko Bencana


Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1.      Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan,
persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan
serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana).
2.      Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadaan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar;  pelayanan psikososial dan kesehatan.
3.      Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana,
prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial, psikologis, pelayanan
kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan
peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.

2.6    Perawat sebagai profesi 


Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan, sesuai dengan makna dari
profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi keperawatan seyogyanya
mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan yang etikal dan sesuai standar profesi
serta sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun
informal, serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukannya
(Nurachmah, E 2004) 
Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam tugasnya harus
berperan sebagai: kolaborator, pendidik, konselor,change agent dan peneliti. Keperawatan
mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body of knowledge yang berbeda dengan
profesi lain, altruistik, memiliki wadah profesi, mempunyai standar dan etika profesi,
akontabilitas, otonomi dan kesejawatan (Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004)
Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan pelayanan
profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang unik dan individualistik
diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah dipersiapkan melalui pendidikan lama dan
pengalaman klinik yang memadai. Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu
competence,confidence, compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam
Nurachmah, 2004). Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah
profesional. 
Peran perawat 
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan
dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai berbagai
peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. Peran adalah seperangkat tingkah laku
yang diharapkan oleh orang lain terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002,).
Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh
perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. 

2.7    Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana


Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan
dalam situasi tanggap bencana.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek
keperawatan saja,  Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat
keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun
memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak melihat
tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu dibandingkan
dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.

2.8 Peran Perawat Dalam Manajemen Kejadian Bencana

 Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam
membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency, dan
postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi
dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang di bawahnya
mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan meteorologi, pemerintah pusat
dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah nasional, tenaga-tenaga
kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran dan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan
penanggulangan bencana.
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple, ialah sebagai bagian dari penyusun rencana,
pendidik, pemberi asuhan keperawatan, dan bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan
tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika seorang perawat
berada di pusat area bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan memberi
pertolongan pertama pada korban

Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung jawab pada evaluasi


kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan, dan mengkondisikan
lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit menular.

1). Peran dalam Pencegahan Primer

Ada 2 hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:

a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam


penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya (preimpact, impact, postimpact).

b. Para perawat ini, khususnya perawat komunitas mendapat pelatihan tentang berbagai
tindakan dalam penanggulan ancaman dan dampak bencana. Misalnya mengenali
instruksi ancaman bahaya; mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency
(makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda) dan mengikuti pelatihan
penanganan pertama korban bencana.

Perawat ikut terlibat bersama berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang
merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan
dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.

EDUCATION
Program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapai
bencana seharusnya merupakan bagian dari perencanaan perawat komunitas. Penyuluhan atau
usaha edukasi publik harus meliputi:

a. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)

b. Keluarga

c. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga


dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar.
Pelatihan ini akan lebih baik jika keluarga juga diberikan informasi mengenai
perlengkapan kesehatan (first aid kit) yang seharusnya ada di rumah seperti obat-obat
penurun panas (parasetamol), tablet antasida, obat antidiare, alkohol antiseptik, laksatif,
pencuci mata, termometer, perban, plester, bidai, dan sarung tangan.

d. Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan


makanan, penggunaan air yang aman.

e. Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, RS dan ambulans.

f. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian


seperlunya, portable radio, senter, baterai).

g. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko


bencana.

2.9    Jenis Kegiatan Siaga Bencana


Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis
dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting. Berikut
beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana:
1.        Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan
kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan
umum,  yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para
relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu  adalah pengobatan dari
tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga
perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan bersama
perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang
dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya
sesuai dengan profesi keperawatan.
2.      Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan
menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat
obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan
langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan.
Selain itu,  Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di
tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak
akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan
yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
3.    Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat kejadian
yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan
kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang
sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang
dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang
dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan
sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan
sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara
yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat
sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah
taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan
lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.

4.    Pemberdayaan masyarakat


Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan
menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat
kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka  yang patah
arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan
tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan
fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan
pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun
LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah
bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.

Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang perawat, diantaranya:
1.      Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana,
haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu
memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
2.      Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat
termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau berkontribusi
secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan semangat
kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan korban bencana.
3.      Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang
terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang secara tak
terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang
dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat dituntut
untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal
yang berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir
dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep
siaga bencana.

2.10    Managemen Bencana


Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:
1.        Respons terhadap bencana
2.        Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3.        Mitigasi efek bencana

Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan
yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1.      Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian,
hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan,
seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau menjadi
tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan mengenai alat alat,
tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi
masyarakat serta medan yang akan ditempuh.

2.      Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.


Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang
dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang disepakati.

3.      Evaluasi kegiatan


Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang
dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan
selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari
sebelumnya.

2.11 Peran perawat dalam managemen bencana


1.      Peran perawat dalam fase pre-impect
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang
merah nasional, maupun lembaga-lembaga pemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dalam mengahdapi bencana.
2.      Peran perawat dalam fase impact
a. Bertindak cepat
b. Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan
maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat mendiskusikan dan
merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
3.      Peran perawat dalam fase post impact
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi korban
b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post traumatic stress
disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3 kriteria utama. Pertama, gejala
trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya
melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga,
individu akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat
mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan
unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat paska gawat darurat serta
mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat dan aman.

2.12 Epidemiologi Bencana

         Seperti yang tertulis, bahwa bencana itu bisa murni sebagai kejadian alam ( gempa
bumi, topan, volcano, badai, banjir ) bisa juga karena perbuatan dan kelalaian manusia seperti
kebakaran, perang, kecelakaan transportasi. Agen primer termasuk angin, air, lumpur, asap,
dan panas. Sedangkan agen sekunder termasuk bakteri dan virus yang menkontaminasi/
menginfeksi akibat yang ditimbulkan oleh agen primer tersebut.Faktor-faktor host (manusia)
juga mempengaruhi efek dari bencana tersebut, sebut saja usia, status kesehatan, status
imunisasi, tingkat mobilisasi, dan kondisi psikologis. Secara langsung maupun tidak langsung
bencana ikut dipengaruhi oleh agen-agen lingkungan yang sifatnya fisik, kimia, biologi
maupun sosial.

Secara fisik bencana dipengaruhi oleh kondisi cuaca, ketersediaan makanan dan air.
Secara kimia termasuk kebocoran zat kimia ke dalam air, udara, dan ke dalam suplai
makanan. Secara biologi termasuk kontaminasi pada makanan dan air, pembuangan akhir dan
pengelolaan sampah yang tidak layak, dan penyimpanan makanan yang tidak sesuai. Faktor
sosial termasuklah perbedaan pendapat tentang keyakinan, fanatisme, strata sosial dan
lainnya.
BAB III
GAMBARAN KASUS NYATA

Sekitar 929 Orang Terdampak Banjir di Kalimantan Selatan

Abraham Utama , CNN Indonesia

Rabu, 18/05/2016 10:20 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Banjir bandang yang menerjang tiga desa di Kecamatan Pamukan
Barat, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, memaksa 929 orang mengungsi. Hingga
Rabu (18/5) pagi, banjir itu juga menyebabkan tiga korban meninggal.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kotabaru,
Ahmad Muslim, mengatakan, seluruh korban banjir itu berasal dari 254 keluarga.

"Mereka berasal dari tiga desa, yakni, Desa Batuah, Mangka dan Sengayam, Kecamatan
Pamukan Barat," ujarnya, seperti dilansir Antara.

Tiga korban tewas adalah Jali (21 tahun), Uti (25) dan seorang nenek berusia 67 tahun.

Ahmad menuturkan, banjir bandang yang sudah terjadi lebih dari satu pekan itu juga merusak
254 rumah. Sebanyak 22 rumah di antaranya rusak berat, sementara sisanya rusak ringan.
Di Desa Mangka, kata Ahmad, terdapat 15 rumah yang terendam banjir hingga bagian atap. 

Ahmad berkata, lembaganya menyiapkan dapur umum untuk mensuplai konsumsi para
korban banjir. Dapur tersebut juga menjadi titik kumpul korban.

Sebelumnya, Kepala Polsek Pamukan Barat dan Pamukan Utara, Inspektur Satu Boni Fasius,
mengatakan, hujan deras yang turun selama dua jam, Selasa (10/5), menyebabkan Sungai
Samihin meluap hingga empat meter.

Air sungai yang meluap, kata Boni, meruntuhkan Jembatan Samihin. Ia berkata, peristiwa
itulah yang menyebabkan Uti kehilangan nyawa. 

"Pengendara sepeda motor itu terjatuh dan meninggal dunia," ujarnya.

Jembatan Samihin merupakan penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan


Timur. Untuk sementara, pemerintah setempat membangun jembatan darurat dengan material
kayu dan bambu.

Menurut catatan, banjir memang kerap melanda Kotabaru. Badan Perencanaan Pembangunan
di kabupaten tersebut telah mencatat kecenderungan itu sejak awal dekade 2000-an.

"Setiap tahun, Kotabaru selalu menghadapi persoalan banjir di musim hujan serta kekurangan
air dan kekeringan di musim kemarau," demikian tertuang pada dokumen Survey dan Desain
Penanggulangan Banjir Kotabaru tahun 2003.

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160518102044-20-131550/sekitar-929-orang-
terdampak-banjir-di-kalimantan-selatan/
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

4.1 Bencana Banjir


4.1.1 Definisi Bencana Banjir
Menurut Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana dapat
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.
Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang
melebihi kapasitas pembuangan air disuatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial
dan ekonomi (Rahayu dkk, 2009). Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila
meluapnya tubuh air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir
adalah ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari segi
kemanusiaan maupun ekonomi (IDEP, 2007).

4.1.2 Kategori Banjir


Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya dan
berdasarkan mekanisme terjadinya banjir :
1. Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya, terdiri dari :
a.Banjir kiriman (banjir bandang) yaitu banjir yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan
didaerah hulu sungai.

b.Banjir lokal yaitu banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang melebihi
kapasitas pembuangan disuatu wilayah.

2. Berdasarkan mekanisme terjadinya banjir yaitu

a.Regular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh hujan.

b.Irregular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti tsunami,
gelombang pasang, dan hancurnya bendungan.
4.1.3 Penyebab Banjir

Penyebab banjir antara lain :


1. Hujan, dimana dalam jangka waktu yang panjang atau besarnya hujan selama berhari-
hari.

2. Erosi tanah, dimana menyisakan batuan yang menyebabkan air hujan mengalir deras
diatas permukaan tanah tanpa terjadi resapan.

3. Buruknya penanganan sampah yaitu menyumbatnya saluran-saluran air sehingga tubuh


air meluap dan membanjiri daerah sekitarnya.

4. Pembangunan tempat pemukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan atau
tempat parkir yang menyebabkan hilangnya daya serap air hujan. Pembangunan tempat
pemukiman bisa menyebabkan meningkatnya risiko banjir sampai 6 kali lipat
dibandingkan tanah terbuka yang biasanya mempunyai daya serap tinggi.

5. Keadaan tanah dan tanaman dimana tanah yang ditumbuhi banyak tanaman mempunyai
daya serap air yang besar. (IDEP, 2007)

4.1.4 Dampak Banjir

Banjir akan terjadi gangguan-gangguan pada beberapa aspek berikut :


1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam,
luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya penyakit seperti penyakit
kulit, demam berdarah, malaria, influenza, gangguan pencernaan dan penduduk
terisolasi.

2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip,
peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan.

3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya
pasar tradisional, kerusakan atau hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya
perekonomian masyarakat.

4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan,


jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi
listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata,
persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan
irigasi (Mistra, 2007; Rahayu dkk, 2009).
4.2 Kesiapsiagaan
4.2.1 Definisi Kesiapsiagaan
Menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007, kesiapsiagaan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Menurut Ditjen
Binkesmas Depkes (2005), kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan
berdayaguna.
Menurut FEMA dalam Haddow dan Bullock (2006), kesiapsiagaan dalam wilayah
manajemen darurat dapat dinyatakan sebagai pernyataan kesediaan untuk berespon terhadap
suatu bencana, krisis atau tipe situasi emergensi lainnya. Kesiapsiagaan bukan hanya
pernyataan kesiapan tetapi juga suatu topik dimana didalamnya terdapat banyak aspek-aspek
manajemen darurat.
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di
dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan
merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat
pro-aktif, sebelum terjadi bencana. Konsep kesiapsiagaan yang digunakan lebih ditekankan
pada kemampuan untuk melakukan tindakan persiapan menghadapi kondisi darurat bencana
secara cepat dan tepat (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006).

4.2.2 Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas Menghadapi Bencana Banjir


Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan : (1) pra bencana, (2) saat
bencana, (3) pasca bencana (Ramli, 2010). Kesiapsiagaan sebagai kegiatan pra bencana yang
dilakukan di Puskesmas melakukan ketiga fungsi Puskesmas yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan bertujuan agar semua bidang


pembangunan diwilayah kerja puskesmas selalu mempertimbangkan aspek kesehatan.
Pembangunan yang dilaksanakan di kecamatan, seyogyanya yang berdampak positif terhadap
lingkungan sehat dan perilaku sehat, yang muaranya adalah peningkatan kesehatan
masyarakat (Trihono, 2005). Puskesmas harus melaksanakan fungsi penanggulangan bencana
melalui kegiatan :
a. Surveilans kesehatan

Menurut WHO dalam Kemenkes RI Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003, surveilans adalah


proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus
menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
tindakan. Menurut PKK-Kemenkes (2011), surveilans penyakit dan faktor resiko pada
umumnya merupakan suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan
kesehatan dilokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan untuk tindakan kesehatan segera.
Kegiatan ini meliputi :
1) Melakukan analisis mengenai dampak kesehatan, dimana skala sederhananya berupa
penilaian apakah tatanan diwilayah kerja Puskesmas tergolong rawan/beresiko bencana
banjir (Trihono, 2005 dan Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

2) Melakukan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab Puskesmas


meliputi peta rawan bencana, peta sumber daya kesehatan diwilayah kerja, peta resiko
bencana, peta elemen-elemen masyarakat yang kemungkinan menjadi korban bencana,
dan peta potensi masyarakat dan lingkungan (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005 dan Sea
Defence Consultants, 2009)

3) Mengartikan rambu-rambu bencana meliputi :

• Warna : orange untuk tempat rawan, hijau untuk tempat aman


• Anak panah (kearah kanan/kiri) untuk jalur evakuasi
• Lokasi pemasangan rambu adalah di lokasi rawan bencana, lokasi aman/tempat
evakuasi,jalur/jalan menuju tempat aman/evakuasi (IOM, 2011)

4) Memperhatikan sistem peringatan dini/isyarat-isyarat dini sebagai pertanda


kemungkinan bencana akan terjadi. Sistem peringatan dini adalah sistem (rangkaian
proses) pengumpulan dan analisis data serta penyebaran informasi tentang keadaan
darurat atau kedaruratan. Sumber informasi dini berasal dari dua instansi yaitu BMKG
yang mengeluarkan potensi cuaca ekstrim dan Dinas PU yang mengeluarkan data tinggi
muka air. Di tingkat masyarakat, media untuk system peringatan dini yang sesuai
dengan kearifan budaya setempat misalnya kentongan, pengumuman melalui mesjid
ataupun membuat sistem peringatan dini dengan ketinggian air, mulut ke mulut/lisan,
dan juga peralatan komunikasi elektronik (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005; Promise,
2009; IOM, 2011; LIPI-UNESCO/ISDR,2006)
b. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan menghadapi banjir
(DitjenBinkesmas Depkes, 2005 dan PROMISE, 2009)
c. Kerjasama lintas sektoral

Koordinasi lintas sektoral ditingkat kecamatan bertujuan untuk menggalang kerjasama


dan berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor. Bentuk kerjasama tersebut
antara lain dalam bentuk tim penanggulangan bencana ditingkat kecamatan yang
ditetapkan dengan surat keputusan camat (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005).
Kerjasama dapat juga dilakukan kepada LSM, tokoh masyarakat, organisasi profesi,
dan dunia usaha.

2. Pusat pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non-instruktif


guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi
masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi
setempat dan fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM dan tokoh
masyarakat (Trihono, 2005). Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, Puskesmas dapat
melibatkan peran aktif masyarakat dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana baik
perorangan, kelompok masyarakat maupun masyarakat secara umum (Ditjen Binkesmas
Depkes, 2005). Fungsi pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan dilakukan dengan cara:
a. Memotivasi, memfasilitasi, menggali partisipasi aktif masyarakat dibidang kesehatan,
yang antara lain ditandai dengan pengembangan berbagai bentuk upaya kesehatan
berbasis masyarakat (Trihono, 2005). Bentuk UKBM yang didanai oleh bantuan
operasional kesehatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat menghadapi
bencana adalah Poskesdes. Bentuk UKBM lainnya dapat berupa Dasipena (Pemuda
Siaga Peduli Bencana) (Kemenkes, 2012). Didalam wadah UKBM, tenaga kesehatan
melatih masyarakat untuk menjadi kader terlatih dalam rangka agar kader terlatih
dapat membantu petugas kesehatan dalam memberikan pertolongan awal kasus gawat
darurat dan dapat melayani sesama anggota masyarakat dalam menghadapi
kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang diberikan mencakup : kesehatan
lingkungan, pemberantasan penyakit menular, promosi kesehatan mengenai perilaku
hidup bersih dan sehat, penanganan gawat darurat untuk awam, penanganan gizi, dan
penanganan kesehatan jiwa, kesehatan reproduksi (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)
b. Kemitraan dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi
kemasyarakatan lainnya.

c. Kemitraan dengan konkes (konsil kesehatan) atau BPKM (Badan Peduli Kesehatan
Masyarakat) atau BP (Badan Penyantun Puskesmas). Konsil kesehatan atau badan
peduli kesehatan masyarakat (BPKM), atau badan penyantun Puskesmas (BPP)
adalah suatu organisasi masyarakat yang merupakan mitra kerja Puskesmas yang
berfungsi sebagai penyantun dan pemberi masukan kepada Puskesmas.
Konkes/BPKM/BPP beranggotakan tokoh masyarakat yang peduli kepada
pembangunan kesehatan diwilayahnya (Trihono, 2005)

d. Puskesmas peduli keluarga

Puskesmas peduli keluarga adalah puskesmas yang proaktif mendeteksi, memantau


dan meningkatkan kesehatan tiap keluarga diwilayah kerjanya dan memberlakukan
keluarga sebagai mitra pembangunan kesehatan. Tujuan umum dari puskesmas peduli
keluarga adalah meningkatnya jumlah keluarga sehat diwilayah kerja Puskesmas
(Trihono, 2005)

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan dasar yang


sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat strategis dalam upaya
meningkatkan status kesehatan masyarakat secara umum (Trihono, 2005). Pelayanan yang
dilakukan sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama mencakup Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).
a. Upaya Kesehatan Perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan yang lebih mengutamakan pelayanan kuratif dan


rehabilitatif dengan pendekatan individu. Pengobatan merupakan wujud dari pelayanan
kesehatan perorangan di puskesmas (Trihono, 2005). Upaya pelayanan gawat darurat
sehari-hari merupakan bentuk awal kesiapsiagaan pelayanan gawat darurat dalam
bencana. Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban
gawat darurat dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana dan prasarana pelayanan gawat
darurat yang dimiliki, dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas dalam teknisi
medis, latihan kesiapsiagaan protap penanggulangan bencana (Ditjen Binkesmas
Depkes, 2005).
b. Upaya Kesehatan Masyarakat

Pelayanan yang bersifat publik (public good) dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat minimal yang
bisa dilakukan meliputi upaya kesehatan wajib, yaitu : promosi kesehatan, kesehatan
lingkungan, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular
(Trihono, 2005). Pelayanan lain yang erat kaitannya peran tenaga kesehatan pada pasca
bencana adalah pelayanan kesehatan jiwa (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005) Menurut
Ditjen Binkesmas Depkes (2005) , kesiapan Puskesmas dalam Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari (SPGDT-S) disuatu wilayah akan menentukan
kemampuan wilayah tersebut pada penanganan gawat darurat bencana. Puskesmas
sebagai lini terdepan yang berperan pada pertolongan pertama pada korban,
mempersiapkan masyarakat dalam upaya pencegahan terjadinya kasus gawat darurat
maupun memberikan ketrampilan dalam memberikan pertolongan sesuai dengan
kemampuan. Apabila Puskesmas tidak sanggup melakukan pertolongan, perlu
dilakukan rujukan ke RS Kabupaten/Kota, Propinsi atau Rumah Sakit Regional
maupun swasta.
Peran Puskesmas dalam penanggulangan bencana berdasarkan tahapan bencana.
1. Pra Bencana

a. Pemetaan Kesehatan (Geo Mapping)

Merupakan kegiatan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab Puskesmas,
yang didalamnyan terdapat :
a) Peta rawan bencana (Hazard Map) yaitu gambaran wilayah kerja yang berisikan jenis
bencana dan karakteristik ancaman bencana.
b) Peta Sumber Daya Kesehatan diwilayah kerjanya yaitu gambaran distribusi jenis
sumber daya kesehatan (tenaga medis, perawat, sanitarian, gizi, alat kesehatan,
ambulans, dan lain-lain) dan lokasinya
c) Peta Resiko Bencana (Risk Map) yaitu peta rawan bencana yang dilengkapi resiko
yang mungkin terjadi termasuk kejadian penyakit menular diwilayah tersebut.
d) Peta elemen-elemen masyarakat yang memiliki kemungkinan mengalami/menjadi
korban akibat peristiwa.
e) Peta potensi masyarakat dan lingkungan yaitu gambaran atau informasi lebih rinci
tentang masyarakat dan lingkungan suatu area.

b. Melakukan koordinasi dengan lintas sektoral

Koordinasi lintas sektor ditingkat kecamatan untuk menggalang kerjasama dan


berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor.

c. Pelayanan gawat darurat sehari-hari

Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban gawat


darurat dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana prasarana pelayanan gawat darurat yang
dimiliki, dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas didalam teknis medis.

d. Pemberdayaan masyarakat

Penyuluhan/pelatihan pada masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat


agar masyarakat dapat melayani sesama anggota masyarakat dalam menghadapi
kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang diberikan mencakup : 1) Kesehatan
lingkungan, 2) Pemberantasan penyakit menular, penanggulangan DBD, 3) Promosi
kesehatan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, 4) Penanganan gawat darurat bagi
awam, 5) Penanganan gizi, 6) Penanganan kesehatan jiwa, kesehatan reproduksi.
e. Latihan kesiapsiagaan/gladi

Latihan kesiapsiagaan dilakukan melalui simulasi protap-protap yang telah disusun


oleh tim penanggulangan bencana maupun simulasi tim kesehatan Puskesmas agar
mampu memberikan pelayanan gawat darurat.
f. Melakukan pemantauan (Surveilens) Pemantauan lokasi-lokasi rawan bencana, melalui
kegiatan surveilens secara rutin diwilayah kerja Puskesmas. Pada kondisi tertentu
bersama sektor terkait dan masyarakat perlu memperhatikan isyarat-isyarat dini
sebagai pertanda kemungkinan bencana akan terjadi.
2. Saat Bencana

Pada saat terjadinya bencana disuatu wilayah, Puskesmas harus segera memberi informasi
awal ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kegiatan mencakup :

a. Operasi pertolongan terhadap korban berdasarkan triase

Operasi pertolongan pertama dilakukan oleh tim Puskesmas bersama masyarakat yang sudah
terlatih dalam penanganan gawat darurat. Pertolongan awal pada korban dilakukan dilokasi
kejadian bila kondisi memungkinkan (lokasi aman, tidak ada bahaya susulan, tidak dalam
komando Polri/TNI). Pertolongan ynag diberikan berupa pertolongan bantuan hidup dasar
yaitu resusitasi jantung paru (RJP). Bila tidak memungkinkan dengan bantuan masyarakat,
tim SAR, polisi dan aparat setempat, korban dipindahkan kearea yang dianggap aman
disekitar lokasi atau langsung ke Puskesmas terdekat untuk dilakukan pertolongan pertama.
Pertolongan pertama korban dilapangan didasarkan pada triase yang bertujuan seleksi korban
dan jenis pertolongan yang diperlukan berdasarkan tingkat keparahan, kedaruratan dan
kemugkinan korban untuk hidup. Korban akibat bencana dapat diseleksi menjadi :
1) Kelompok Label Merah (Gawat Darurat)

Kelompok korban gawat darurat yang memerlukan pertolongan stabilisasi segera,


antara lain korban dengan syok, gangguan pernapasan, trauma kepala dengan
pupil anisokor, perdarahan eksternal masif untuk mencegah kematian dan
kecacatan. Pembebasan jalan nafas (airway), pemberian nafas buatan (breathing),
mengatasi syok (circulation) dan mencegah kecacatan (disability) dengan prioritas
pada korban yang kemungkinan hidup lebih besar. Stabilisasi dilakukan sambil
menunggu pertolongan tim gabungan. Pada kondisi korban perlu dirujuk dan
keadaan memungkinkan, Puskesmas dapat segera melakukan rujukan dengan
tepat melakukan stabilisasi selama perjalanan ke sarana yang lebih mampu (RS).

2) Kelompok Label Kuning

Kelompok korban yang memerlukan pengawasan ketat tetapi


perawatan/pengobatan dapat ditunda sementara. Yang termasuk kategori ini
adalah korban dengan resiko syok, fraktur multipel, fraktur femur/pelvis, luka
bakar luas, gangguan kesadasaran/trauma kepala, korban dengan status tidak jelas.
Korban pada kelompok ini, harus diberikan cairan infus, dan pengawasan ketat
terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi dan diberikan perawatan sesegera
mungkin.
3) Kelompok Label Hijau

Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau perawatan segera.


Kelompok ini mencakup korban dengan fraktur minor, luka minor, trauma psikis.
Kadang korban memerlukan pembidaian dan atau pembalutan sebelum
dipindahkan.
4) Kelompok Label Hitam

Merupakan kelompok korban yang tidak memerlukan pertolongan medis karena


sudah meninggal. Korban perlu dikelompokkan tersendiri untuk dilakukan evaluasi
dan identifikasi oleh aparat yang berwenang.
Upaya pertolongan korban melalui triase oleh tim Puskesmas dilaksanakan dengan
menggunakan obat dan perbekalan kesehatan yang tersedia diPuskesmas.

Pengumpulan
1. Lokasi terdekat dan aman untuk pertolongan pertama kasus gawat darurat
2. Bawa korban ke area perawatan melalui triase

Triase
1. Temukan kegawatan korban
2. Gunakan label yang disepakati
3. Tulis diagnose & instruksi untuk tindakan dalam stabilisasi korban

Kejadian
1. Nilai apakah mungkin pertolongan pertama dilakukan dilokasi
2. Bila mungkin lakukan RJP
3. Pindahkan korban ke area pengumpulan yang aman
Perawatan
1. Lakukan pemeriksaaan ulang & prioritaskan kasus dengan kegawatan
2. Lakukan tindakan stabilisasi
3. Lakukan komunikasi untuk rujukan
4. Tentukan alat & petugas untuk evakuasi korban
5. Buat pengelompokkan untuk perawatan sementara

Transportasi
1.Kelompokkan ambulan & kru sesuai fasilitas
2.Letakkan ambulan gadar didekat area perawatan
3.Atur tujuan evakuasi

b. Penilaian Awal secara Cepat (Initial Rapid Health Assessment)

Kegiatan ini bertujuan untuk menilai suatu kejadian awal dari bencana yang terjadi diwilayah
kerja. Penilaian awal tersebut dilakukan sesegera mungkin dan mencakup : 1) jenis kejadian
bencana, 2) sumber bencana, 3) siapa yang terkena dampak, 4) berapa besar dampak yang
ditimbulkan (jumlah korban), 5) kemampuan respon oleh puskesmas, 6) resiko potensial
tambahan, 7) bantuan yang diperlukan. Penilaian awal kejadian bencana merupakan
tanggungjawab Puskesmas dan harus segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk dilakukan penilaian cepat lanjutan dan pemberian bantuan.

c. Survailans Penyakit Menular dan Gizi

Pengamatan terhadap suatupenyakit yang potensial menimbulkan terjadinya kejadian luar


biasa (KLB) dan Gizi, dilakukan mulai terjadinya bencana dengan mengintensifkan kegiatan
survailans rutin.

d. Bergabung dengan Satgas Kesehatan di Pos Lapangan

Adanya peningkatan/eskalasi SPGDT-S menjadi SPGDT-B maka pelayanan gawat darurat


dalam penanggulangan bencana diambil alih oleh Satgas Kesehatan dibawah koordinasi
Satlak PBP di Pos Medis Lapangan. Pos Medis Lapangan dapat memanfaatkan gedung
Puskesmas, tenda darurat atau bangunan lain.
e. Pemberdayaan Masyarakat
Pada tahap bencana peran serta aktif masyarakat ditujukan untuk membantu petugas
kesehatan melalui kader-kader yang sudah terlatih dalam kegawatdaruratan. Kader terlatih
sebagai komponen SPGDT diharapkan bersma Puskesmas dapat memberikan pertolongan
awal kasus gawat darurat sambil menunggu bantuan tim Kabupaten/Kota, dan selanjutnya
bergabung dengan tim kesehatan bencana dipos medis lapangan, membantu tim gabungan
dalam memberi bantuan darurat yaitu pangan, sandang, tempat tinggal, kebutuhan air bersih,
sanitasi.

3. Pasca Bencana

Penanganan masalah kesehatan yang terkait kegiatan paska bencana Puskesmas


merupakan bagian dari Satgas Kesehatan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pasca bencana
meliputi :
a. Surveilans Penyakit Potensial Kejadian Luar Biasa Lanjutan

Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat


seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan vektor penyebar
penyakit yang merupakan potensi menimbulkan kejadian luar biasa. Untuk mencegah
terjadinya terjadinya KLB maka Puskesmas bersama Satgas Kesehatan melakukan
pemantauan terhadap kejadian beberapa kasus penyakit seperti Diare, Malaria, ISPA,
Kholera, keracunana makanan melalui hasil kegiatan pelayanan kesehatan, faktor-faktor
resiko yang dapat menimbulkan masalah penyakit antara lain vektor penyakit (nyamuk, lalat,
tikus), kecukupan air bersih, sarana jamban, sarana pembuangan air limbah dan status gizi
penduduk rentan (bayi, anak, balita ibu hamil, ibu bersalin)

b. Pemantauan Sanitasi Lingkungan

Kegiatan pemantauan sanitasi lingkungan paska bencana ditujukan terhadap kecukupan


air bersih, kualitas air bersih, ketersediaan dan sanitasi sarana mandi, cuci kakus, sarana
pembuangan air limbah termasuk sampah dilokasi pemukiman korban bencana. Pemantauan
juga dilakukan terhadap vektor penyebab penyakit
c. Upaya Pemulihan Masalah Kesehatan Jiwa dan Masalah Gizi pada Kelompok Rentan

Stress paska trauma yang banyak dialami oleh korban bencana dapat diatasi melalui
konseling dan intervensi psikologis lainnya, agar tidak berkembang menjadi gangguan stress
paska trauma. Masalah gizi pada kelompok rentan (Balita, ibu hamil dan ibu menyusui serta
usia lanjut) memerlukan pemantauan dan pemulihan melalui pemberian makanan tambahan
yang sesuai dengan kelompok umur untuk menghindari terjadinya kondisi yang lebih buruk.

d. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat paska bencana yang dilakukan oleh Puskesmas ditujukan


agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong diri sendiri, keluarga dan
masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya masalah kesehatan. Upaya pemberdayaan
tersebut mencakup :

1) Perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari dipenampungan


darurat/pengungsian

2) Pertolongan pertama pada kecelakaan dan penyakit yang timbul paska bencana

3) Perbaikan kualitas air dengan penjernihan dan kaporisasi sumber daya air yang
tersedia

4) Membantu pengendalian vector penyakit menular dalam rangka system


kewaspadaan dini KLB. (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

Dukungan tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana di Puskesmas mencakup


penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten dalam penanggulangan bencana melalui
pelatihan-pelatihan :
a. Tenaga dokter dengan pelatihan minimal PPGD bagi dokter

b. Tenaga perawat dengan pelatihan minimal PPGD bagi perawat

c. Tenaga perawat/sanitarian dengan pelatihan surveilans

d. Tenaga bidan dengan pelatihan PPGD Bidan

e. Tenaga gizi dengan pelatihan penanganan gizi pengungsian


f. Tenaga dokter/perawat dengan kompetensi konselor kesehatan jiwa (Ditjen Binkesmas
Depkes, 2005)

Jumlah minimal sumber daya manusia (SDM) kesehatan untuk penanganan korban bencana
berdasarkan :
1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang meliputi dokter
umum 4 orang, perawat 10-20 orang, bidan 8-16 orang, apoteker 2 orang, asisten
apoteker 4 orang, pranata laboratorium 2 orang, epidemilogi 2 orang, entomology 2
orang, sanitarian 4 -8 orang, ahli gizi 2 -4 orang.
2. Untuk jumlah penduduk /pengungsi 5000 orang dibutuhkan :
• Bagi pelayanan kesehatan 24 jam dibutuhkan dokter 2 orang, perawat 6 orang,
bidan 2 orang, sanitarian 1 orang, gizi 1 orang, asisten apoteker 2 orang dan
administrasi 1 orang.
• Bagi pelayanan kesehatan 8 jam dibutuhkan dokter 1 orang, perawat 2 orang,
bidan 1 orang, sanitarian 1 orang dan gizi 1 orang. (Depkes RI, 2007)

Dukungan obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana di


Puskesmas mencakup obat, bahan habis pakai, bahan sanitasi, MP-ASI, sediaan farmasi
untuk gawat darurat dan perbekalan kesehatan lain. Dukungan obat dan perbekalan tersebut
meliputi :
a. Kebutuhan untuk triase (tanda pengenal, kartu dan label triase, peralatan administrasi,
tandu, alat penerangan)

b. Peralatan resusitasi jalan nafas (oksigen tabung, peralatan intubasi, peralatan


trakeostomi, ambubag)

c. Peralatan resusitasi jantung (infuse set, cairan infuse RL, NaCL, Dektrose, obat-obatan
penatalaksanaan syok)

d. Perlengkapan perawatan luka (kapas, verban elastik, sarung tangan, minor surgery set,
antiseptik, bidai/spalk, collar neck, selimut)

e. Alat evakuasi (alat penerangan, tandu)

f. Peralatan pelayanan pengobatan (tensimeter, stetoskop, lampu senter, minor surgery


set)

g. Dukungan sarana komunikasi, transportasi (radio komunikasi, ambulans), dan identitas


petugas
h. Obat-obatan pelayanan pengobatan (antibiotik, analgetik, antipiretik, antasida,
antialergi, antiradang, obat kulit, obat mata, oralit, obat batuk, obat-obat psikofarmaka
sederhana, dan lain-lain sesuai kebutuhan)

i. Dukungan logistik untuk pemberian makanan tambahan pada sasaran rentan (ibu hamil,
ibu bersalin, bayi, balita)

(Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

2.3 Teori Pembentukan Kesiapsiagaan

Menurut Citizen Corps (2006), perilaku kesiapsiagaan dapat diuji dengan


menggunakan Transtheoritical Model dari Perilaku Berubah, yang juga disebut sebagai
tahap-tahap model perubahan. Pada model ini, individu mendemonstrasikan berbagai tingkat
kesiapan untuk berubah atau berbagai tingkat aktifitas saat ini. Model ini menempatkan
individu dalam 5 (lima) tahap yang mengindikasikan kesiapan untuk mengupayakan,
membuat atau mendukung perubahan perilaku. Kelima tahap tersebut adalah :
1. Precontemplation (Pra Renungan), dimana pada tahap ini individu tidak berniat
untuk berubah atau bahkan berfikir tentang perubahan dalam waktu dekat (biasanya
diukur 6 bulan berikutnya)
2. Contemplation (Renungan), dimana individu belum dipersiapkan untuk mengambil
tindakan pada saat ini, tetapi berniat untuk mengambil tindakan dalam jara kenam
bulan kedepan.
3. Preparation (Persiapan), dimana individu secara aktif mempertimbangkan untuk
mengubah perilakunya kedepan dengan segera
4. Action (Tindakan), dimana individu benar-benar membuat suatu perubahan
perilakunya beberapa waktu yang lalu, namun perubahan tersebut belum
dipertahankan dengan baik (dipertahankan 6 bulan atau kurang).
5. Maitenance (Pemeliharaan), dimana individu telah berubah perilakunya, telah
dipertahankan lebih dari 6 bulan, dan sedang bekerja untuk menjaga perubahannya.

Menurut Merriam-Webster, kesiapan dapat didefinisikan sebagai persiapan secara


mental dan fisik pada suatu pengalaman atau tindakan. Antonovsky (1987), Bandura (1977),
Rosenbaum (1988), Meichenbaum & Cameron (1983), seorang individu dindikasikan siap
untuk berubah mencakup kemampuan untuk berkoping, menyelesaikan masalah, dan
ditunjukkan dengan perilaku yang baik/sehat (Walinga, 2008) Menurut Mc.Kiernan et al
(2005), teori perkembangan evolusi dari kesiapsiagaan dan plastisitas Brunswikian
menyatakan bahwa perilaku berhubungan antara terbentuknya kebiasaan dan punahnya
kebiasaan. Perilaku tersebut disebabkan tampilan domain independen dan domain dependen.
Domain independen berada pada dalam prinsip pengorganisasian yang digunakan untuk
mengolah berbagai bentuk indikator data yang masih terdapat ketidaksesuaian/kekeliruan.
Sedangkan domain dependen berada antara pemberlakuan lingkungan yang unik dan
pemanfaatan indikator fungsi dari lingkungan tersbut.

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Menghadapi


Bencana
Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps
(2006), faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah 1) external
motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana, 2) pengetahuan, 3) sikap, 4)
keahlian. Menurut Sutton dan Tierney (2006), kegiatan kesiapsiagaan hendaknya didasarkan
kepada pengetahuan tentang potensial dampak bahaya bencana dalam kesehatan dan
keselamatan, kegiatan pemerintahan, fasilitas dan infrastruktur, pemberian pelayanan, kondisi
lingkungan ekonomi, serta dalam peraturan dan kebijakan. Menurut LIPI-UNESCO/ISDR
(2006) parameter pertama faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam
adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama
dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat
memengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap siaga menghadapi bencana.
a. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atua penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps,
2006, pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki pengetahuan tentang
tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.

b. Sikap
Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar (2011), sikap
adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seorang terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau
tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan reaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Menurut
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok, yakni :
a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :


1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggungjawab (Responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi.

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen


Corps (2006), sikap diartikan individu meyakini bahwa mampu untuk mengambil tindakan-
tindakan kesiapsiagaan, meyakini dalam efektifitas dan penggunaan tindakan kesiapsiagaan,
meyakini bahwa tindakan-tindakan kesiapsiagaan sebanding dengan investasi waktu dan
sumber daya.
Menurut Maarif (2011), setiap orang yang bekerja dalam penanggulangan bencana
atau agen membutuhkan sikap kepemimpinan dan 3 (tiga) kriteria atau nilai yang melekat
pada dirinya. Ketiga kriteria itu adalah skill , social responsibility, dan spirit of corp. Melalui
kepemimpinan yang melihat penanggulangan bencana secara komprehensif, niscaya
penanggulangan bencana tersebut dapat menempatkan para korban atau masyarakat
terdampak sebagai manusia bermartabat.
BAB V
PENUTUP

3.1  Simpulan
Bencana alam  merupakan sebuah musibah  yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya.  Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat.

3.2  Saran
Sebagai seorang calon perawat diharapkan bisa turut andil dalam melakukan kegiatan
tanggap bencana. Sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki kemampuan intelektual
namun harus memilki jiwa kemanusiaan melalui aksi siaga bencana.
DAFTAR PUSTAKA

1. Efendi,Ferry.2009.Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam


keperawatan.Jakarta.Penerbit Salemba Medika
2. Mepsa,Putra.2012.Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Tanggap
Bencana.20http://fkep.unand.ac.id/images/peran_mahasiswa_keperawatan_dalam_tan
ggap_bencana.docx. Diakses tanggal 2 Juni 2017
3. Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. 2015.Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan
Bencana.Jakarta:Salemba Medika
4. http://dc126.4shared.com/doc/ZPBNsmp_/preview.html. Diakses tanggal 2 Juni 2017
5. Mursalin.2011.Peran Perawat Dalam Kaitannya Mengatasi Bencana. Diakses
tanggal 2 Juni 2017
Bencana, Pujiono. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.

Blogspot. (2010). Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/
bencana.html.

Fendi,Ferry.(2007).Konsep Bencana Disaster.


www.ferryefendi.blogspot.com/2007/12/konsep-bencana-disaster.html. 

Munawar.(2011).Pengertian Dan Istilah-istilah Bencana.


www.kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana.

Weenbee.(2011). Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana.


http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-manajemen-bencana/#more-
94. 

Wikipedia.(2011).Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana.

Anda mungkin juga menyukai