Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
bencana. Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan
saja, Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di
butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun
memberikan pertolongan dalam situasi bencana. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat
berbeda, kita lebih banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih
dahulu dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.
Fase Preimpact (sebelum), merupakan warning phase , tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase
inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga
masyarakat. Saat ini perawat memiliki berbagai jalur pendidikan, mulai dari D3, D4, S1,
Spesialis, dan Master. Namun apa yang ditemui di lapangan masih ada perawat yang bekerja
tidak sesuai dengan keilmuannya. Bila perawat itu adalah S1 maka tugas utamanya adalah
peneliti, bila D3 maka tugas utamanya adalah perawat pelaksana. Posisi perawat sendiri dalam
manajemen bencana fase ini adalah sebagai tenaga medis
formal yang bekerja dalam disiplin ilmunya atau tenaga medis informal yang dapat sewaktu-
waktu melayani masyarakat.
Fase Impact (Saat) merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan. Posisi perawat
dalam manajemen bencana fase impact adalah sebagai
bagian dari komunitas dalam masyarakat yang mampu menjadi katalisator untuk mengatasi
persoalan medis dan non medis pertolongan bencana.
dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan
mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga
penerimaan. Posisi perawat fase ini adalah sebagai team kesehatan yang
bekerja sama dengan lintas sektoral lainnya menangani masalah kesehatan dan sebagai model
untuk penyembuhan trauma masyarakat pasca bencana.
Efendi & Makhfudli, 2009 mengemukakan bahwa peran perawat pada pre, intra dan pasca bencana
meliputi:
Peran Perawat Pada Fase Pre-Impact
Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan
bencana untuk setiap fasenya.
Perawat ikut serta dalam berbagai dinas pemerintahan , organisasi lingkungan, palang merah
nasional, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
Bertindak cepat
Don’t promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti, dengan
maksud memberikan harapan yang besar bagi para korban.
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial dan psikologis tertentu.
Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post-trumatic stress disorder
(PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat
dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya
melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya. Ketiga, individu akan
menunjukkan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami
penurunan konsentrasi, perasaan bersalah, dan gangguan memori.
Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsur lintas
sektor menangani masalah kesehatan masyarakat pasca gawat daruratserta mempercepat fase
pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat dan aman