MELALUI PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN IPTEK Pengertian Dakwah bil Hal dakwah → menyeru, memanggil. al-Haal → keadaan. dakwah bil hal → “memanggil, menyeru dengan menggunakan keadaan, atau menyeru, mengajak dengan perbuatan nyata”. dakwah bi al-hal : aktivitas dakwah Islam yang dilakukan dengan tindakan nyata atau amal nyata terhadap kebutuhan penerima dakwah, sehingga tindakan nyata tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penerima dakwah. Contoh dakwah bil hal: dakwah dengan membangun rumah sakit untuk keperluan masyarakat sekitar yang membutuhkan keberadaan rumah sakit. Tema utama dakwah ke lapisan bawah adalah dakwah bi al-hal, dakwah yang diletakkan kepada perubahan dan perhatian kondisi material lapisan masyarakat miskin. Dengan perbaikan kondisi material itu diharapkan dapat mencegah kecenderungan ke arah kekufuran karena desakan ekonomi. Dalam Muyawarah Nasional pada 1985 dan Rakernas 1987, MUI telah mengambil keputusan tentang program "dakwah bi al-hal". Salah satu rumusannya disebutkan bahwa tujuan "dakwah bi al-hal", antara lain,"untuk meningkatkan harkat dan martabat umat, terutama kaum duafa atau kaum berpenghasilan rendah. A. SETIAP MUSLIM ADALAH DA’I Firman Allah SWT: ﻗُ ْل َھ ِذ ِه ﺳَ ﺑِﯾﻠِﻲ أَدْ ﻋُو إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠ ِﮫ ۚ ﻋَ ﻠَﻰ ﺑَﺻِ ﯾرَ ٍة أَﻧَﺎ َو َﻣ ِن ا ﱠﺗﺑَﻌَ ﻧِﻲ ۖ َو ُﺳﺑْﺣَ ﺎنَ اﻟﻠﱠ ِﮫ ََوﻣَﺎ أَﻧَﺎ ﻣِنَ ا ْﻟ ُﻣﺷْرِ ﻛِﯾن Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf: 108) Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa dakwah merupakan sunnah, jalan, dan cara hidup Rasululah. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, dengan ayat ini Allah menyuruh Rasululah agar mendeklarasikan kepada jin dan manusia bahwa inilah satu-satu nya jalan beliau. Yakni, menyeru kepada tauhid. Setiap orang yang mengikuti beliau pun harus menyeru kepada apa yang diserukan beliau . Setiap muslim adalah Da'i. Sebab, setiap muslim berkewajiban untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Firman-Nya, "Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran [3] : 110). Maksud utama dari ayat ini adalah menegaskan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar bagi umat ini. Karenanya perintah ini disebutkan lebih dahulu. Jadi syarat utama agar umat ini menjadi lebih mulia daripada umat lainnya, maka kita harus melakukan perintah tersebut. Mencegah kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim. Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barang siapa melihat kemunkaran dilakukan dihadapannya maka hendaklah ia mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu cegahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka hendaklah dia merasa benci di dalam hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim). Selain menegaskan kewajiban dakwah, hadits itu mejelaskan pula tentang proses pelaksanaan dakwah yaitu sesuai kemampuannya. Berkata Hasan Al Banna: ﺊ ٍ ﻧَﺣْ نُ دُﻋَ ﺎةٌ َﻗ ْﺑ َل ُﻛ ﱢل َﺷ ْﯾ “Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun”. Pada dasarnya, kita adalah seorang da’i sebelum kita menjabat suatu profesi apapun. Hal tersebut dapat menjadi cerminan, bahwa pada hakikatnya, seorang muslim adalah pendakwah. Ketika seseorang menuntut ilmu dan memiliki pengetahuan, saat itu pula ia memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya tersebut. Kita yang tidak mampu dakwah langsung dihadapan jamaah banyak, masih tetap menyandang hukum wajib berdakwah. Minimal kita harus mampu melaksanakan dakwah nafsiyah (diri sendiri) dan dakwah fardiyah (orang per orang). Sebagaimana Allah menyuruh kita untuk saling menasehati di antara kita. Sebagaimana firman-Nya, "... Dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS. Al-'Ashr [103] : 3). B. BEKERJA ADALAH DAKWAH Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika sang pekerja bersikap konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya, dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga bahkan masyarakat dan negara. Dengan bekerja, masyarakat dapat melakukan tugas kekhalifahan, menjaga diri dari maksiat, dan meraih tujuan yang lebih besar. Dalam hadits disebutkan: “…kalau ada seseorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiayai anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah fisabili syaithan atau karena mengikuti jalan Syaithan.” (HR. Thabrani) Bekerja Adalah Ibadah. “Hai anak Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkan kamu dari kemelaratan. Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkan kamu dari kemelaratan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Dalam pandangan Islam, bekerja merupakan suatu tugas yang mulia, yang akan membawa diri seseorang pada posisi terhormat, bernilai, baik di mata Allah SWT maupun di mata kaumnya. Oleh sebab itulah, Islam menegaskan bahwa bekerja merupakan sebuah kewajiban yang setingkat dengan Ibadah. Orang yang bekerja akan mendapat pahala sebagaimana orang beribadah. Lantaran manusia yang mau bekerja dan berusaha keras untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, akan dengan sendirinya hidup tentram dan damai dalam masyarakat. Sedangkan dalam pandangan Allah SWT, seorang pekerja keras di jalan yang diridhai Allah tentu lebih utama ketimbang orang yang hanya melakukan ibadah (berdo’a saja), tanpa mau bekerja dan berusaha, sehingga hidupnya melarat penuh kemiskinan. Kerja adalah Ibadah, merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisah. Kita tidak mengartikan bahwa kerja itu adalah untuk dunia sedangkan ibadah adalah soal akhirat. Pekerjaan yang dilakukan diperusahaan ini juga berupa ibadah, bukan semata mencari materi. kerja dan ibadah adalah dua hal yang tak boleh terpisah. Untuk mewujudkan bahwa kerja adalah ibadah dibutuhkan 5 pilar yaitu tauhid, amanah, ikhlas, adil dan istiqamah. 1. Tauhid, yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang benar dengan segala kekhususannya. 2. Amanah, amanah adalah tuntutan iman yang harus di pegang teguh. Seseorang yang amanah akan berusaha untuk memenuhi dasar, kode etika, undang-undang dan janji-janji mereka. Sabda Rasulullah Saw. menegaskan tentang amanah yang artinya: “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.”(Ahmad dan Ibnu Hibban) 3. Ikhlas, seseorang yang ikhlas akan menghadap kepada Allah dengan hatinya dan hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah SWT atas setiap perbuatan, langkah, kata-kata, dan doanya. 4. Adil, Adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara),maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku. 5. Istiqomah, Istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan Allah. firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah ” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. ”(QS. Fushilat: 30) Di dalam dunia pekerjaan, seorang Muslim adalah bertanggungjawab untuk berdakwah, dimanapun ia bekerja dan apapun jabatannya. karena tanggungjawab sebagai Da’i itu terletak di bahu kita. Kita perlu dakwah di tempat kerja. Adapun pahala berdakwah sebagaimana Firman-Nya dalam surah Ali-Imran ayat104 yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." Sebagai da’i di dalam konteks dunia pekerjaan, seseorang itu perlulah terlebih dahulu membekali dirinya supaya usaha dakwahnya akan menjadi sempurna. C. KEWAJIBAN MENGEMBANGKAN DAN MENYAMPAIKAN ILMU KESEHATAN Belajar kedokteran/kesehatan hukumnya wajib kifayah. Artinya, apabila sebagian orang telah melakukannya maka gugurlah kewajiban yang lain. Berkata Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 505 H) di awal-awal kitab beliau Ihya’ Ulumiddin, ketika beliau berbicara tentang ilmu yang hukumnya fardu kifayah, “Ketahuilah, sesungguhnya sesuatu yang wajib tidaklah diistimewakan dari yang lain kecuali dengan menyebutkan pembagian ilmu. Ilmu dikaitkan dengan tujuan yang hendak kita tuju terbagi menjadi ilmu syar’i dan selain ilmu syar’i. ilmu syar’i adalah ilmu yang dibawa oleh Nabi saw dan akal tidak bisa mencapainya lewat perhitungan atau penelitian layaknya ilmu kedokteran/kesehatan, ataupun lewat pendengaran seperti halnya ilmu bahasa. Adapun ilmu selain ilmu syar’i dikelompokkan menjadi ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela, dan ilmu yang mubah. Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebaikan dalam urusan dunia seperti ilmu kesehatan dan ilmu hitung. Jika Mendatangkan Kebaikan untuk Umat Islam, Hukum Mempelajari Ilmu Duniawi adalah Fardhu Kifayah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala- pernah ditanya, ”Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala,?” Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab, “Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk dalam ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam. Jika seseorang sudah belajar ilmu kesehatan maka kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan ilmu tersebut, Rasulullah berpesan dalam sebuah hadits: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ًﺑَﻠﱢﻐُﻮا َﻋﻨﱢﻰ َوﻟَﻮْ آﯾَﺔ “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) D. AYAT DAN HADITS YANG RELEVAN QS. Al-Baqarah: 222 ِﯾض َو َﻻ َﺗﻘْرَ ﺑُوھُنﱠ ِ ِﯾض ﻗُ ْل ھ َُو أَذًى ﻓَﺎﻋْ ﺗَزِ ﻟُوا اﻟﻧﱢﺳَ ﺎ َء ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻣﺣ ِ َوﯾَﺳْ ﺄَﻟُوﻧَكَ ﻋَ ِن ا ْﻟ َﻣﺣ َﺣَ ﺗﱠﻰ ﯾَطْ ﮭُرْ نَ َﻓﺈِذَ ا ﺗَطَ ﮭﱠرْ نَ َﻓﺄْﺗُوھُنﱠ ﻣِنْ ﺣَ ﯾْثُ أَﻣَرَ ُﻛ ُم اﻟﻠﱠ ُﮫ إِنﱠ اﻟﻠﱠ َﮫ ُﯾﺣِبﱡ اﻟﺗﱠوﱠ اﺑِﯾن ََو ُﯾﺣِبﱡ ا ْﻟ ُﻣﺗَطَ ﮭﱢرِ ﯾن “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Ada dua bacaan yang diperkenalkan ayat ini, َﻄﮭُﺮْ ن ْ َ))ﯾ dan َ ) )ﺗَﻄَﮭﱠﺮْ نyang pertama berarti suci, yakni berhenti haidnya; dan yang kedua berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua lebih ketat dari pada yang pertama, dan agaknya lebih baik dan memang lebih suci. Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran bathin, sedang menyucikan diri dari kotoran lahir adalah mandi atau berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan rohani digabung oleh penutup ayat ini, sekaligus memberi isyarat bahwa hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri telah mandi. QS. : Al-Muddatsir: 4-5 (5) ْ( وَاﻟﺮﱡ ﺟْ َﺰ ﻓَﺎ ْھﺠُﺮ4) ْﻚ ﻓَﻄَﮭﱢﺮ َ ََوﺛِﯿَﺎﺑ “Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” Kata ٌ ) )ﺛِﯿَﺎبadalah bentuk jama’ dari ٌ ) )ﺛَﻮْ بyang berarti pakaian. Di samping makna tesebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri Kataَ ) )اﻟﺮﱡ ﺟْ ﺰdengan dhammah pada ra’ atau)اﻟّﺮﱢﺟْ َﺰ dengan kasrah pada ra’) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini, dan sebagian ulama’ tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama’ yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama’ yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala Kata ْ ) )ﻓَﺎ ْھﺠُﺮfahjur, terambil dari kataٌ ) )ھَﺠْ ﺮyang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian kepadanya”