Anda di halaman 1dari 19

PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA PADA SITUASI BENCANA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses Bencana alam seringkali ttidak terduga. Bencana alam memakan Jiwa Yang
jumlahnya tidak sedikit, sehingga banyak yang tidak siap dan tanggap dalam
memperkirakan bencana alam yang datang tiba-tiba. Profesi keperawatan bersifat luwes
dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian
asuhan di rumah saki saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga
tanggap bencana. Situasi penangan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang
sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik menghadapi
kondisi seperti ini.
Kegiatan pertolongan medis dan perawat dalam kegiatan siaga bencana dapat
dilakukan oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbage
macam bentuk.
Aspek psikologi erat kegiatannya dengan proses kehilangan, tidak hanya fisik:
Kehilangan brang milik, kehilangan orang yang dikasihi tetapi juga sosial, kehilangan
aktivitas, kehilangan ikatan keluargaan dan lain sebagainya. Mengingat dampak
Psikologis bencana sangat besar dalam arti jumlah mereka yang mengalami dampak
besar namun jumlah profesional kesehatan mental terbatas (jumlah psikolog klinis dan
psikiater sedikit). Belum lagi proses penanganan aspek psikologis bencana tidak singkat
melainkan merupakan proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah
strategi penanganan bencana untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan
dengan menggunakan suatu system teknologi modern).
Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam
situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam keadaan
tanggap bencana. Terutama permasalahan dalam mengatasi masalah psikis dari
penderita bencana alam yang dapat mengganggu dan berpengaruh terhadap masalah
kesehatan dari klien.
A. Rumusan Masalah
1. Apa pentingnya peran mahasiswa keperawatan dalam situasi tanggap bencana?
2. Bagaimana bentuk kegiatan yang bisa dilakukan?

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pentingya peran Mahasiswa Keperawatan dlam situasi tanggap Bencana?
2. Bagaimana Bentuk kegiatan yang bisa dilakukan
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui peran penting mahasiswa dalam proses keperawatan jiwa dalam
situasi
2. Untuk mengetahui bentuk peran dan kegiatan yang bisa dilakukan oleh mahasiswa
dalamproses keperawatan jiwa dalam situasi tanggap bencana
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Bencana
Definisi Bencana menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu yang memerlukan respon
dari luar masyarakat dan wilayah yang terkena. Dalam setiap Bencana yang terjadi,
selalu ada implikasi kesehatan jiwa-baik dalam kasus bencana alam, misalnya gempa
bumi, tsunami, angin ribut, atau bencana yang diakibatkan oleh manusia misalnya
perang atau kekerasan interpersonal. Kebutuhan langsung dari populasi yang
terkena bencana alam sering kali kebutuhan fisik: perlindungan, air, makan dan
pelayanan kesehatan dasar. Namun perlu diingat bahwa semua orang yang
mengalamidan hidup dalam situasi yang tidak menentu akan menderita trauma.
Banyak permasalahan migran dan orang-orang terlantar lainnya, berhubungan
dengan konsekuensi dari bencana itu sendiri. Di sini adalah pentingnya pokok
masalah kesehatan jiwa trans-kultural bersama-sama dengan masalah fisik bagi
korban benca.
Bencana alam dapat menyebabkan dampak maslah yang serius dan berkepnjangan
terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada korban bencana yang selamat.
Stress pasca trauma (posttraumatic stress disorder (PTSD)) merupakan kelainan
psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan
adanya gangguan ingatan secara permanen terkait kejadian traumatik, perilaku
menghindar dari rangsangan terkait trauma, dan menggalami gangguan meningkat
terus-menerus. Angka kejaddian PTSD pada korban yang mengalami bencana
langsung yang selamat kurang lebih 30% sampai 40%. Pengamatan pada 262 korban
tsunami di aceh menunjukkan bahwa 83,6% mengalami tekanan emosi berat dan
77,1% menunjukkan gejala depresi. Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi
dankondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Jenis-jenis bencana :
1) Bencana alam (Natural disaster), yaitu kejadian-kejadian seperti banjir,
genanggan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebgainya
2) Bencana ulah Manusia (man-made disaster), yaitu kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran
ledakan, sabotase dan lainnya.

B. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara santamaria ada tiga fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu fase pre
impact, dan post impact

1) Fase pre impact merupakan warning phase, tahap awal bencana. Informasi didapat dari
badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga dan masyarakat.
2) Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase impact ini terus berlanjut
hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat dilakukan
3) Fase post impact merupakan saat dimulainnya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas
normal. Secara umum pada fase post impact para korban akan mengalami tahap
respons fisiologi mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar
(bargaing), deprsei (depression), hingga penerimaan (acceptance).

C. Permasalahan dalam penanggulangan bencana


Secara umum masyarakat indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki
keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut:
1) Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2) Sikap atau perilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3) Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4) Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam mengahadapi ancaman bahaya

D. Kelompok rentan bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
memnyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi
bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi
dampak bahaya tertentu.
Keraentanan terbagi atas:
1) Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi
ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan gempa
2) Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencefahan serta penanggulangan bencana
3) Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya
masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap
ancaman bencan tanah longsor
E. Paradigma penanggulangan bencana
Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigma dari
konfensional yakni anggapan bahwa bencanna merupakan kejadian yang tak relakan
dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, ke paradigma pendekatan
holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka menejerial yang dikenali
dari bahaya, kerentanan serta kemampuan masyarakat. Pada konsep ini di
persepsikan bahwa bencana merupakan kejadian yang tak dpat dihindari, namun
resiko atau akibat kejadian bencana dapat diminimalisasi dengan mengurangi
kerentanan masyarakat yang ada di lokasi rawan bencana serta meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan penanganan bencana.

F. Pengurangan resiko bencana


Tahapan penyelenggaraan bencana meliputi:
1) Pra bencan, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan resiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan
dan pelatihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2) Tanggap daryrat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan dan
sumber daya: penentuan status keadaan darurat: penyelamatan dan evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan dasar: pelayanan psikososial dan kesehatan
3) Pasca bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitas (pemulihan daerah
bencan, prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehtan
G. Peran mahasiswa keperawatan dalam tanggap bencana
Pelayanan keperawatn tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat
dibutuhkan dalam situasi tanggap bencan. Mahasiswa keperawatan untuk bisa
terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak
melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu
dibandingkan dengan mahasiswa keperawatn, walaupun ada itu sudah terkesan
lambat.

H. Jenis kegiatan siaga bencan


Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan
medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian
penting.
Berikut beberapa tindakan yang bisa dilakukan mahasiswa keperawatan dlam situasi
tanggap bencana:
1) Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan
kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka-luka, kerusakan fasilitas
peribadi atau umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga
sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen orang dibutuhkan oleh
korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Mahasiswa
keperawatan bisa turut adil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga
perawat ataupun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan
pengobatan bersama mahasiswa keperawatan lainnya secara cepat, menyeluruh
dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa
beragam, ,ulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai
dengan profesi keperawatan
2) Pemberian bantuan
Mahasiswa keperawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban
bencana, dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai
bentuk, seperti makanan, obat-obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh mahasiswa
keperawatan secara langsung di lokasi bencana dengan mendirikan posko
bantuan. Selain itu, hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah
pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang dibutuhkan oleh
para korban saat itu, sehingga tidak akan ada lagi para korban yang tidak
mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk atau
tidak tepat sasaran
3) Pemulihan Kesehatan Mental
Para korban suatu bencan biasanya akan mengalami trauma psikolgis akibat
kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa merupakan kesedihan yang
mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa
wanita, ibu-ibu, dan anak-anak maka mengakibatkan stress berat dan gangguan
mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutuhkan adalah dalam
penanganan situasi ini adalah pemulihan kesehtan mental yang dapat dilakukan
oleh mahasiswa keperawatan. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan
dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan-keluhan yang di hadapinya,
selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap
bangkit. Sedangkan pada anak-anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak-
anak yang berada pada masa bermain. Mahasiwa keperawatan dapat
mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak-anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainya. Sehingga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
4) Pemberdayaan Masyarakat
Kondisi masyarakat disekitar daerah yang terkena musibah pasca benca biasanya
akan menjadi terkatung-katung tidak jelas akibat memburuknya keadaan pasca
bencana, akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. Sehingga banyak
diantara mereka yang patah arh dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal ini
bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill
yang dapat menjadi berkal bagi mereka kelak. Mahasiswa keperawatan dpat
melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan kolaborasi
dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinggga
diharapkan masyarakat disekitar daerah akan mampu membangun kehidupan
kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk Mewujudkan tindakan yang diatas perlu adanya beberapa hal yang
harus dimiliki oleh seorang mahasiswa keperawatan, diantaranya:
1) Mahasiswa Keperawatan harus memiliki skill keperawatan yang baik, sebagai
mahasiswa keperawatan yang akan memberikan pertolongan dalam penanganan
bencana, haruslah mengapuni dalam skill keperawatan, dengan bekal tersebut
mahasiswa akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal
2) Mahasiswa keperawtan harus memiliki jiwa dan sika kepedulian. Pemulihan daerah
bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat termasuk
mahasiswa keperawatan , keperdulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau
berkontribusi seacara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa
dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan
korban bencana
3) Mahasiswa keperawatan harus memahami managemen bencan
Kondisi siaga bencana membutuhkan pennaganan yang berbeda, segala hal yang
terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datan
secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan
sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia-sia. Dalam melakukan tindakan
didaerah bencana, mahasiswa keperawatan dituntut untuk mampu memiliki
kesiapan dalam situasi apapun jika terjadi bencana ala. Segala hal yang berhubungan
dengan peralata dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam
waktu yang mendesak. oleh karena itu, mahasiswa keperawatan harus mengerti
konsep siaga benca.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan
berkepanjangan terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada
korban bencana yang selamat. Menurut barbara santamaria ada tiga
fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu fase impact, impact, dan
post impact. Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan
pada instansi pelayanan kesehatan seperti di Rumah Sakit. Tetapi,
pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam
situasi tanggap bencana. Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu
adanya beberapa hal yang harus dimemiliki oleh seorang mahasiswa
keperawatan diantaranya: mahasiwa keperawtan harus memiliki skill
keperawtan yang baik, mahasiswa keperawtan memiliki jiwa dan
sikap keperdulian, mahasiswa keperawtan harus memahami
managemen siaga bencana

B. Saran
Sebagai seorang calon tenaga kesehatan , mahasiswa keperawatan
diharapkan bisa turut andil dalam melakukan kegiatan tanggap
bencan, sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki kemampuan
intelektual namun harus memiliki jiwa kemanusiaan melalui aksi
siaga bencana
Daftar Pustaka
Keliat Budi,dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan jiwa Komunitas.
Yogyakarta : EGC
LEGAL DAN ETIK DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai wujud
kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam tingkatan
preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya maka keperawatan
dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya setiap saat.
American nurse’s association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu
bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai
ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Asuhan yang kompeten.

B. Tujuan
1 Untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Jiwa
2 Mahasiswa dapat memahami tentang Konteks Legal Etik dalam Asuhan Keperawatan Jiwa

C. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman perawat terhadap hak-hak pasien dan hak legal perawat
2. Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan jiwa.
3. Mengetahui keterkaitan keperawatan jiwa tentang konteks legal etik dalam asuhan
keperawatan jiwa.
4. Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik dan preklinik
BAB II

ISI
Pertimbangan Legal Dan Etik
Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti klien ditempat lain. Isu legal dan etik yang
dibahas pada bagian ini terutama berkaitan dengan topik klien yang menunjukkan sikap
bermusuhan dan agresif, tetapi berlaku untuk semua klien di lingkungan kesehatan jiwa.

A. Hospitalisasi Involunter
Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini berarti mereka
ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien tidak
mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka
berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain (misalnya : mereka mengancam atau
berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain). Klien yang dirawat di rumah sakit
di luar kemauan mereka dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke rumah sakit untuk
perawatan psikiatri sampai mereka tidak lagi berbahaya bagi diri mereka sendiri atau
orang lain. Setiap negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil,
tetapi sama di setiap Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri selama
48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk
menentukkan apakah klien harus dimasukkan ke fasilitas psikiatri untuk menjalani terapi
selama periode waktu tertentu. Banyak negara bagian memiliki hukum yang sama, yang
mengatur komitmen klien dengan masalah penyalahgunaan zat yang membahayakan diri
mereka sendiri atau orang lain ketika di bawah pengaruh zat. Komitmen sipil atau
hospitalisasi involunter mengurangi hak klien untuk bebas atau meninggalkan rumah
sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang lain tetap utuh.

B. Keluar dari Rumah Sakit

Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk meninggalkan
rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien dapat
menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari rumah sakit tanpa
saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang masuk rumah sakit secara
sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain menandatangani surat
permintaan untuk pulang, psikiater dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan
klien terhadap keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal
tersebut.
Selama berada di rumah sakit, klien tersebut minum obat-obatan dan membaik
cukup cepat sehingga ia memenuhi syarat untuk pulang ketika ia tidak lagi berbahaya.
Beberapa klien berhenti minum obat-obatan setelah pulang dari rumah sakit dan kembali
mengancam, agresif, atau berbahaya. Klinisi kesehatan jiwa semakin bertanggung jawab
secara hukum untuk tindak kriminal klien tersebut, yang meningkatkan perdebatan
tentang komitmen sipil yang luas untuk klien yang berbahaya. Studi yang di lakukan
Weinberger et al. (1998) menunjukkan bahwa pengadilan menerima kurang dari 50%
petisi profesional kesehatan jiwa untuk komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri
yang berbahaya. Perhatian pengadilan adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan tanpa
alasan yang kuat tidak boleh ditahan di rumah sakit jika mereka tidak menginginkannya
ketika mereka tidak lagi berbahaya. Masyarakat menentang dengan menuntut bahwa
mereka patut dilindungi dari individu yang berbahaya, yang memiliki riwayat tidak
mengkonsumsi obat-obatan sehingga dapat menjadi ancaman bagi masyarakat.

C. Hak-hak Klien

Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada
semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus komitmen
involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan menerima surat yang
masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung. Setiap larangan ( misalnya :
surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi dokter untuk
alasan yang dapat diverifikasi dan didokumentasikan. Contohnya sebagai berikut :
• Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat pinggang, tali
sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan untuk membahayakan
dirinya.
• Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang dikunjungi orang
tersebut selama suatu periode waktu.
• Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon diizinkan
menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.

Hak-hak Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992) :

1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat dan perhatian.
2. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat dipahami,
terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari dokter dan pemberi perawatan
langsung lainnya.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan sebelum dan
selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan atau rencana perawatan sejauh
yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit dan diinformasikan tentang
konsekuensi medis tindakan ini. Bila pasien menolak terapi, pasien berhak memperoleh
perawatan dan pelayanan lain yang tepat, yang disediakan rumah sakit, atau dipindahkan ke
rumah sakit lain. Rumah sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap kebijakan yang dapat
memengaruhi pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
4. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi ( misalnya living will,
perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk pengacara untuk mengatur perawatan kesehatan
selama waktu tertentu), dengan harapan bahwa rumah sakit akan menerima maksud petunjuk
tersebut sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah sakit.

5. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus, konsultasi,
pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap pasien terlindungi.

6. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan yang berhubungan
dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit, kecuali pada kasus seperti
kecurigaan tentang penganiayaan dan bahaya kesehatan masyarakat, ketika pelaporan kasus
tersebut diizinkan atau diwajibkan oleh hukum. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa
rumah sakit akan menegaskan kerahasiaan informasi ini ketika memberi tahu pihak lain yang
berhak meninjau informasi dalam catatan tersebut.

7. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan perawatan medisnya
dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi sesuai kebutuhan, kecuali jika dilarang oleh
hukum.

8. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya, rumah sakit
akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh perawatan dan pelayanan
yang tepat dan diindikasikan secara medis.

9. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya hubungan bisnis
antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan kesehatan lain, atau pihak pembayar
yang dapat memengaruhi terapi dan perawatan pasien.

10. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi penelitian yang
diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi perawatan dan terapi atau
memerlukan keterlibatan pasien secara langsung, dan meminta penjelasan sepenuhnya tentang
studi tersebut sebelum memberi persetujuan. Pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam
penelitian atau eksperimen tetap berhak mendapat perawatan yang paling efektif, yang dapat
diberikan rumah sakit.

11. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak jika tepat dan
mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain tentang pilihan perawatan pasien
yang realistis dan tersedia ketika perawatan rumah sakit tidak lagi tepat.

12. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik di rumah sakit
yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan tanggung jawab. Pasien memiliki hak
untuk mendapat informasi tentang sumber yang tersedia untuk mengatasi perselisihan, keluhan,
dan konflik, misalnya komite etik, perwakilan pasien, dan mekanisme lain yang tersedia di
instusi. Pasien memiliki hak mendapat informasi tentang biaya rumah sakit untuk pelayanan
yang diberikan dan metode pembayaran yang digunakan.
Hak pasien jiwa secara umum (Stuart & Laraia, 2001) :
• Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan berkorespondensi,
telepon dan mendapatkan kunjungan
• Hak untuk berpakaian
• Hak untuk beribadah
• Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
• Hak untuk menyimpan dan membuang barang
• Hak untuk melaksanakan keinginannya
• Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
• Hak untuk membeli barang
• Hak untuk pendidikan
• Hak untuk habeas corpus
• Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
• Hak pelayanan sipil
• Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
• Hak untuk memuntut dan dituntut
• Hak untuk menikah dan bercerai
• Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
• Hak untuk review status secara periodik
• Hak untuk perwalian hukum
• Hak untuk privasi
• Hak untuk informend consent
• Hak untuk menolak perawatan

D. Konservator
Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang terpisah dari
komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti tidak kompeten tidak
dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri
walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat bertindak sesuai keinginan mereka
sendiri, dapat memerlukan pengangkatan seorang konservator. Pada kasus ini, pengadilan
menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai pelindung hukum. Petugas ini memiliki
banyak tanggung jawab untuk individu tersebut, seperti memberi persetujuan tindakan,
menulis cek, dan membuat kontrak. Klien yang memiliki pelindung hukum tidak lagi
memiliki hak untuk membuat kontrak atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau
penggadaian) yang memerlukan tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak aktivitas
sehari-hari yang kita anggap benar. Karena konservator atau pelindung hukum berbicara
atas nama klien, perawat harus mendapat persetujuan atau izin dari konservator klien.

E. Lingkungan yang Kurang Restriktif


Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang restriktif yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak harus dirawat
di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat jalan atau group home. Hal ini
juga berarti bahwa klien harus bebas dari restrein atau seklusi kecuali hal tersebut
dibutuhkan.
Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa izin individu
tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya. Kekuatan fisik ini dapat menggunakan
tenga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya. Restrein dengan tenaga manusia
terjadi ketika anggota staf secara fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke
ruang seklusi. Restrein mekanis adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan kaki
dan pergelangan tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik
klien, seperti memukul, menendang, dan menjambak rambut.
Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam ruangan terkunci yang dibangun
secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera pengaman untuk memantau
klien secara langsung (JCAHO, 2000). Ruangan tersebut sering kali dilengkapi dengan
tempat tidur yang diikatkan ke lantai dan sebuah kasur untuk keamanan. Setiap benda
tajam atau berpotensi berbahaya seperti pena, kacamata, ikat pinggang, dan korek api
dijauhkan dari klien sebagai tindakan kewaspadaan keselamatan. Seklusi membuat
stimulasi berkurang, melindungi orang lain dari klien, mencegah perusakan properti, dan
memberi privasi kepada klien.
Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh kembali pengendalian
diri secara fisik dan emosional.
Perawat juga harus menawarkan dukungan kepada keluarga klien. Keluarga mungkin
marah atau malu ketika klien direstrein atau diseklusi. Penting untuk memberi penjelasan
yang menyeluruh dan cermat tentang perilaku klien dan penggunaan restrein atau seklusi
selanjutnya. Akan tetapi, apabila klien adalah orang dewasa, diskusi tentang hal ini
memerlukan persetujuan pemberian informasi yang ditanda tangani. Pada kasus anak-
anak, persetujuan yang ditanda tangani tidak diperlukan untuk menginformasikan orang
tua atau pelindung tentang penggunaan restrein atau seklusi. Dengan memberi informasi
kepada keluarga dapat membantu menghindari kesulitan legal atau etik dan membuat
keluarga tetap terlibat dalam terapi klien.
Hirarki Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart & Laraian, 2001) :
Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi pilihannya. Hirarki dari
yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.
• Ekstrimitas tubuh
• Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)
• Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok, komunikasi
• Aktivitas yang bermakna, misal akses untuk ikut rekreasi
• Pilihan perawatan
• Kontrol sumber keuangan
• Ekspresi verbal dan emosional
F. Kewajiban untuk Memperingatkan Pihak Ketiga
Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban untuk
memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California, dalam
Tarasoff vs. Regents of the University of California. Akibat keputusan ini ialah klinisi
kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga yang dapat
diidentifikasi tentang ancaman yang dilakukan seseorang walaupun ancaman tersebut
didiskusikan selama sesi terapi, yang sebaliknya dilindungi oleh pihak istimewa.

Klinisi harus mengajukan empat pertanyaan untuk menentukan apakah terdapat


kewajiban untuk memperingatkan (Felthous, 1999) :
• Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?
• Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
• Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
• Apakah bahaya tersebut ditargetkan pada korban yang dapart diidentifikasi ?
Misalnya, jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia bermaksud
membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk memperingatkan istrinya.
Akan tetapi, jika individu paranoid yang masuk fasilitas psikiatri mengatakan, “ Saya
akan menangkap mereka sebelum mereka menangkap saya” tetapi tidak memberikan
informasi lain, tidak ada pihak ketiga spesifik yang diperingatkan. Keputusan tentang
kewajiban untuk memperingatkan pihak ketiga biasanya dibuat oleh psikiater, atau
dilingkungan rawat jalan, keputusan dibuat oleh ahli terapi kesehatan jiwa yang
berkualifikasi.

G. Peran Legal Perawat


Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal:
1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2. Perawat sebagai pekerja
3. Perawat sebagai warga Negara.
Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini.
Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks
asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan alternative
yang mungkin dilakukan perawat.
Masalah Legal Dalam Praktek Keperawatan
• Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak tersedia standar
praktek dan tidak ada kontrak kerja.
• Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri dan melindungi
hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi praktek keperawatan.
• Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No 1239 dan Hukum
adat.
H. Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang
• Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang diduga memiliki kelainan jiwa
perlu mendapatkan penyelididkan dari seorang ahli kesehatan jiwa ( Visum et repertum
psikiatrikum; VER)
• Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan tindakan
kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa mengontrol
perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan salah yang dikenal sebagai
Peraturan M’Naghten.
• Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah karena
mengalami gangguan jiwa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada
institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, dan jenis penerimaan masuk rumah
sakit, tabel memperlihatkan karakteristik yang membedakan dua jenis penerimaan masuk
rumah sakit jiwa: sukarela dan paksaan.
• Hak-hak pasien mencakup hak untuk menerima dan menolak terapi, terlibat dalam
rencana keperawatan, menolak berpartisipasi dalam penelitian, serta pengunjung, surat,
dan telepon tidak dibatasi.
• Penggunaan seklusi dan restrein termasuk dalam domain hak pasien untuk lingkungan
yang kuran restriktif. Penggunaan jangka pendek restrein dan seklusi diizinkan hanya jika
klien terlihat akan melakuan tindakan agresif dan berbahaya bagi dirinya dan orang lain.
• Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal, yaitu Perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan, Perawat sebagai pekerja, dan Perawat sebagai
warga Negara.
DAFTAR PUSTAKA
• http://nuryantinoviana.wordpress.com/2010/05/15/prinsip-asuhan-keperawatan-jiwa/
• Vidbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Psychiatric mental health
nursing. Jakarta : EGC.
• Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
• Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai