Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia terletak diantara tiga lempeng tektonik yaitu lempeng

Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Hindia-Australia. Kondisi tersebut

menyebabkan Indonesia rentan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan gunung

api, dan jenis-jenis bencana geologi lainnya. Ancaman bahaya gempa bumi

tersebar hampir diseluruh wilayah Kepulauan Indonesia, baik dalam skala kecil

hingga skala besar (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun

2013, 8 dari 10 negara dengan angka kematian ibu tertinggi yang tercatat

baru-baru ini menghadapi bencana. Data Perserikatan Bangsa - Bangsa

(PBB) dan United Nations Population Fund (UNFPA) melaporkan pada

tahun 2015 bahwa sekitar 61% dari kematian ibu terjadi di negara - negara

rawan bencana. Lebih dari sepertiga dari kasus kematian ibu terjadi

ditengah bencana, salah satu penyebabnya adalah kurangnya peralatan dan

personel yang berkualifikasi dalam sistim perawatan kesehatan

(Taghizadeh.Z. 2016).

Gempa bumi yang disebabkan oleh interaksi lempeng tektonik dapat

menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Selama kurun

waktu 1600 – 2000, tercatat 105 kejadian tsunami yang 90% diantaranya

disebabkan oleh gempa tektonik, 9% oleh letusan gunung api, dan 1% oleh

tanah longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat telah

1
terjadi 2.175 kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 2017. Jumlah tersebut

terdiri dari gempa bumi sebanyak 18 kejadian, serta 442 Prosiding Seminar

Nasional Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) 2018 letusan

gunung api yaitu 2 kejadian (BNBP, 2017). Akibat dari kejadian tersebut

jumlah korban meninggal mencapai 335 orang, korban luka-luka sebanyak

969 orang, dan korban mengungsi dan menderita sebanyak 3,22 juta orang.

Sementara itu, kerusakan yang dihasilkan yakni 31,746 rumah rusak, 347.813

unit terendam, ribuan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan peribadatan rusak

(BNPB, 2017).

Sebagai daerah yang dilewati jalur gempa, Provinsi Bengkulu

berada didaerah rawan gempa dimana gempa bumi ringan dan sedang

seringkali terjadi dalam frekuensi yang cukup tinggi. Berdasarkan peta

pembagian wilayah gempa yang ada (SNI 03-1726-2002) dan Pedoman

Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung tahun 1987,

Bengkulu berada pada wilayah zona 5 dan sebagian masuk ke dalam zona

6 yang memiliki koefisien gempa 0,25 dan 0,30, yaitu wilayah yang

memiliki potensi gempa yang tinggi.

Gempa bumi yang pernah terjadi di Provinsi Bengkulu dengan

magnitudo besar dalam kurun waktu ±30 tahun yang lalu, seperti

gempabumi tahun menyebabkan lebih dari 90 orang meninggal dunia,

18.928 tempat tinggal rusak ringan dan 10.460 rusak berat, serta kerusakan

sarana dan prasarana umum lainnya dan gempabumi tahun 2007

menyebabkan 3 orang meninggal dunia, lebih dari 1.400 rumah rusak

ringan dan 2.000 rusak berat.

2
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) tahun 2015 - 2019 disebutkan bahwa untuk mengantisipasi

risiko bencana yang sudah ada dan yang berpotensi terjadi di masa yang

akan datang, bila tidak dikelola atau diminimalisasi, dapat mengakibatkan

terjadinya kemunduran dari pembangunan yang sudah dilakukan. Maka

dari itu arah kebijakan dalam penanggulangan bencana adalah mengurangi

risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan menghadapi bencana

(Kemenkes, 2017).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana yang diikuti dengan beberapa turunan peraturan

di tahun 2008, memberikan berbagai pertanda membaiknya

penanggulangan bencana di Indonesia di tingkat regulasi. Hal tersebut

patut kita hargai, terlepas dari masih adanya celah, seperti hambatan

internal dari kelembagaan formal di semua tingkat sebagai birokrasi yang

tidak efisien, proses pembuatan kebijakan yang top-down dan yang tidak

berbasis hak (Lassa, dkk., 2019).

United Nations International Strategy for Disaster Reduction

(UNISDR) berfungsi sebagai titik pusat koordinasi mitigasi bencana dan

koordinator sinergi di antara kegiatan sistem penanggulangan bencana di

dunia (CFE-DM, 2018). UNISDR menekankan bahwa rumah sakit dan

fasilitas perawatan kesehatan lainnya merupakan aset penting bagi

masyarakat dalam upaya reduksi dampak bencana (Osman and

Ahayalimuddin, 2016). Kompleksitas dari permasalahan bencana

3
memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam

penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan

terpadu (Osman and Ahayalimuddin, 2016).

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) memiliki peran aktif

dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam upaya

penanggulangan bencana sebagai unit pelayanan kesehatan terdekat di

masyarakat (BNPB, 2015). Puskesmas bertugas untuk memberikan

pelayanan kesehatan saat krisis bencana dengan melakukan berbagai

kegiatan seperti: pelayanan gawat darurat 24 jam, pendirian pos kesehatan

24 jam di sekitar lokasi bencana, upaya gizi, Kesehatan Ibu dan Anak

(KIA) dan sanitasi pengungsian, upaya kesehatan jiwa serta upaya

kesehatan rujukan sesaat setelah terjadinya bencana. Karenanya tenaga

kesehatan di puskesmas memiliki peran untuk mempersiapkan kelompok

rentan pada fase akut bencana (Tatuil, Mandagi and Engkeng, 2015).

Mereka perlu untuk membekali diri dengan skill manajemen bencana yang

baik (Tatuil, Mandagi, & Engkeng, 2015).

Banyak pihak telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan

pada kondisi krisis akibat bencana, namun masih terbatas pada

penanganan masalah kesehatan secara umum, sedangkan kesehatan

reproduksi belum menjadi prioritas dan sering kali tidak tersedia. Risiko

komplikasi pada perempuan ketika melahirkan dapat meningkat, karena

terpaksa harus melahirkan ditempat yang tidak layak dan tanpa bantuan

tenaga kesehatan terlatih. Dalam upaya mengintegrasikan kesehatan

4
reproduksi pada awal respon bencana tersebut, diperlukan adanya

peningkatan pengetahuan dan kemampuan dari pihak-pihak yang bekerja

langsung dalam penanganan permasalahan di bidang kesehatan, khususnya

untuk bidang kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana

(Kemenkes, 2015).

Bidan merupakan tenaga kesehatan yang pada umumnya bekerja di

Puskesmas atau yang berada di masyarakat atau komunitas yang paling

dekat terkena dampak dari bencana. Kontribusi Bidan terhadap

bencana/pengurangan risiko darurat atau kesiapsiagaan sangat penting.

Namun, Bidan sering tidak termasuk dalam tenaga kesiapsiagaan bencana

di tingkat lokal, nasional dan internasional. Hal ini didukung oleh fakta

yang dari WHO yang menyebutkan bahwa kesehatan ibu, bayi baru lahir

dan perempuan perlu diperhatikan dalam manajemen korban masal

sehingga International Confrederation of Midwives (ICM) dan asosiasi

anggotanya untuk memastikan bahwa Bidan dapat berpartisipasi dan

mengambil peran dalam kesiapsiagaan bencana (ICM.2016).

Faktor utama yang mengakibatkan timbulnya banyak korban akibat

bencana gempa adalah karena kurangnya kesiapsiagaan masyarakat

tentang bencana dan kurangnya kesiapan masyarakat dalam

mengantisipasi bencana tersebut. Faktor utama yang menjadi kunci

kesiapsiagaan adalah pengetahuan, sikap dan kepedulian siap siaga dalam

menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah satu proses

manajemen bencana, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu

5
elemen penting dari kegiatan penurangan resiko terjadinya bencana

(Firmasnyah, 2016).

Terdapat beberapa hal pada kesiapan bencana diantaranya

pengetahuan personal, komunitas yang berhubungan dengan mitigasi

bencana dan ketentuannya. Hal lain yang diperlukan ialah pendidikan

kebencanaan berupa sosialisasi, pelatihan, maupun melalui pendidikan

formal, tanggap bencana, sistem peringatan dini bencana. Beberapa hal

tersebut menjadi dasar pengetahuan terkait bencana yang perlu diketahui

oleh individu dan komunitas.

Sebelumnya telah ada penelitian yang dilakukan Hesti, dkk tahun

2018 dalam judul “faktor- faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan

bidan dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di puskesmas Kota

Padang” penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan

tingkat pengetahuan, sikap dan pelatihan dengan dengan kesiapsiagaan

bidan dalam menghadapi bencana.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah

penelitian ini adalah sebagai berikut : “Hubungan Pengetahuan Dengan

Kesiapsiagaan Bidan Dalam Menghadapi Gempa Bumi di Puskesmas”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

6
Penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Antara

Pengetahuan Dengan Kesiapsiagaan Bidan Dalam Menghadapi

Gempa Bumi di Puskesmas.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendeskripsikan Pengetahuan Bidan Dalam Menghadapi

Gempa Bumi di Puskesmas.

2. Mendeskripsikan Kesiapsiagaan Bidan Dalam Menghadapi

Gempa Bumi di Puskesmas.

3. Menganalisis Hubungan Pengetahuan Dengan Kesiapsiagaan

Bidan Dalam Menghadapi Gempa Bumi di Puskesmas.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan yang dapat menambah wawasan khususnya mengenai

hubungan pengetahuan dengan kesiapsiagaan bidan dalam

menghadapi gempa bumi di Puskesmas.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Puskesmas

Diharapkan hasil penelitian ini dapat disampaikan kepada

Puskesmas lokasi penelitian berupa laporan akhir yang dapat

menjadi dasar dalam pertimbangan peningkatan manajemen

dan kompetensi kesiapsiagaan bencana bagi tenaga kesehatan

terutama bidan di puskesmas.

7
2. Bagi Peneliti

Dapat menggunakan penelitian ini sebagai barometer untuk

mengukur pengetahuan, pemahaman dan kesiapsiagaan dalam

menghadapi potensi bencana dalam kehidupan sehari-hari.

3. Bagi STIKES Tri Mandiri Sakti

Hasil penelitian dapat menjadi acuan dan dasar

pengembangan penelitian selanjutnya.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gempa Bumi

2.1.1. Pengertian

Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat

pelepasan energi dari dalam perut bumi secara tiba-tiba, sehingga

menciptakan gelombang seismik, yang ditandai dengan patahnya

lapisan batuan pada kerak bumi (Anies, 2018).

2.1.2. Sifat gempa bumi

Adapun sifat dari gempa bumi menurut Anies (2018),

sebagai berikut :

a. Secara geografis, distribusinya terstruktur terdapat daerah

gempa bumi atau dengan gempa bumi yang besar

b. Melepaskan energi yang sangat besar Pelepasan energi bisa

terjadi di benua (daratan) maupun di lautan, pelepasan energi di

lautan menyebabkan tsunami.

c. Datang secara berkelompok baik terhadap waktu maupun ruang

d. Kedalam fokus (titik api) gempa bervariasi sampai 700 km

e. Distribusi frekuensi gempa merupakan fungsi dari kedalam

fokus namun tidak seragam terhadap kedalam maupun geologis

2.1.3. Penyebab gempa bumi

a. Aktivitas gunung berapi yang meningkat

9
b. Pelepasan energi karena konsentrasi tegangan tinggi pada kerak

bumi.

c. Pergerakan terus menerus dari magma dan cairan yang bersifat

hidrotermal (peka terhadap panas) di bawah gunung berapi.

d. Aktivitas magma pada gunung berapi dapat menimbulkan

gempa.

e. Pergeseran lempeng tektonik, sehingga biasa disebut gempa

tektonik.

2.1.4. Dampak gempa bumi

Bencana Gempa bumi dapat mengakibatkan trauma psikis

atau mental. Ternyata bencana gempa bumi tidak hanya

mengakibatkan kerusakan fisik atau bangunan, harta benda, dan

jiwa manusia, tetapi juga kondisi kejiwaan bagi para korban.

Akibat bencana tersebut, sebagian besar korban dapat mengalami

penderitaan gangguan psikologis berupa trauma (Anies, 2018).

2.1.5. Akibat gempa bumi

Menurut Anies (2018) dan Kusumasari, beberapa akibat

dari gempa bumi adalah sebagai berikut :

a. Goncangan dan retakan tanah: hal ini dapat mengakibatkan

kerusakan pada bangunan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.

b. Longsor: dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan dan

infrastruktur lainnya, serta dapat menyebabkan sungai

tersumbat.

10
c. Tsunami: menimbulkan gelombang tinggi di pantai.

d. Banjir: dapat disebabkan karena sungai tersumbat longsoran

atau jebolnya dam, tanggul atau waduk.

e. Kebakaran: guncangan gempa dapat menyebabkan kerusakan

listrik dan/atau kebocoran gas dan tumpahan kompor minyak.

f. Gunung meletus: gempa di atas 9 SR dapat memicu gunung

meletus, terutama bila pusat gempa terjadi dekat suatu gunung

berapi.

2.2. Kesiapsiagaan Bencana

2.2.1. Pengertian

Kesiapsiagaan bencana merupakan kemampuan atau

ketrampilan dan pengetahuan yang dikembangkan oleh pemerintah,

intitusi terkait kebencanaan, komunitas, dan individu. Tujuannya dari

kesiapsiagaan bencana ialah untuk mengantisipasi dan memberikan

respon yang efektif terhadap dampak yang mungkin terjadi dari

ancaman bencana (United Nation, 2015).

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan tujuan untuk mengantisipasi bencana melalui

pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya guna

(UU 24/2007). Sedangkan kesiapsiagaan menurut Carter (1991)

adalah berbagai tindakan yang memungkinkan pemerintahan,

organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampun

menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna.

Contohnya:

11
1. Penyiapan sarana komunikasi

2. Pos komando

3. Penyiapan lokasi evakuasi

4. Rencana kontinjensi

5. Sosialisasi peraturan/pedoman penanggulangan bencana

Komunitas dan masyarakat memiliki peran dalam mengurangi

resiko kebencanaan. Komunitas dan masyarakat perlu memperkuat

dan meningkatkan kemampuan dalam kesiapsiagaan bencana pada

tingkat komunitasnya. Setiap tingkat kesiapan dan sistem respon

membutuhkan kemampuan masing – masing individu dalam

memahami perannya pada manajemen kebencanaan. Upaya yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

dalam kesiapsiagaan bencana diantaranya dengan melakukan

pembelajaran, pelatihan, dan diskusi baik ditingkat regional, nasional,

maupun internasional. Proses pembelajaran dapat diberikan oleh

institusi pemerintah, komunitas yang bergerak pada bidang

kebencanan, sekolah, media massa, pembelajaran informal, dan di

kampus (United Nation, 2015).

2.2.2. Komponen kesiapsiagaan bencana

Salah satu kecepatan penyelenggaraan operasi

penanggulangan bencana (respons time), yaitu menyelenggarakan

siaga penanggulangan bencana yang meliputi kesiagaan pada 5

(lima) komponen utama penanggulangan bencana, antara lain:

1. Kesiapan manajemen operasi penanggulangan bencana.

12
2. Kesiapan fasilitas penanggulangan bencana.

3. Kesiapan komunikasi penanggulangan bencana.

4. Kesiapan pertolongan darurat penanggulangan bencana.

5. Dokumentasi.

Termasuk ke dalam tindakan kesiapsiagaan adalah

penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan, dan

pelatihan personel. Kesiapsiagaan merupakan bagian tak

terpisahkan dari manajemen bencana secara terpadu (Khambali,

2017).

2.2.3. Tugas sistem kesiapsiagaan bencana

Tugas sistem kesiapsiagaan, antara lain sebagai berikut:

1. Mengevaluasi risiko yang ada pada suatu negara/daerah tertentu

terhadap bencana.

2. Menjalankan standar dan peraturan.

3. Mengatur sistem komunikasi, informasi, dan peringatan.

4. Menjamin mekanisme koordinasi dan tanggapan.

5. Menjalankan langkah-langkah untuk memastikan bahwa sumber

daya keuangan dan sumber daya lain yang tersedia untuk

meningkatkan kesiapan dan dapat dimobilisasikan saat situasi

bencana.

6. Mengembangkan program pendidikan masyarakat.

7. Mengoordinasi penyampaian informasi pada media massa.

13
8. Mengoordinasi latihan simulasi bencana yang dapat menguji

mekanisme respons/tanggapan (Khambali, 2017).

2.2.4. Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana

Hesti, dkk pada tahun 2018 menemukan beberapa faktor yang

mempengaruhi kesiapsiagaan bencana, yaitu:

a. Pengetahuan

.Kontribusi perawat dan bidan didapatkan beberapa

komponen yang dirasakan masih kurang yaitu tentang

pembentukan gugus dan tim siaga bencana. Pendidikan dan

pelatihan terehadap para perawat dan bidan untuk

meningkatkan kapasitas dalam manajemen kesiagaan bencana.

Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi seseorang

melakukan tindakan, pengetahuan dapat diperoleh dari hal yang

bersifat formal misalnya pendidikan, seminar, pelatihan

sedangkan non formal dapat diperoleh seseorang dari orang lain,

media cetak maupun elektonik. Di era modern ini semua orang

dapat mengakses informasi atau pengetahuan dengan sangat

mudah melalui internet. Hasil penelitian ini masih ditemukan

responden dengan pengetahuan yang rendah tentang

kesiapsiagaan bencana terutama berkaitan dengan perencanaan

kesehatan reproduksi komprehensif pasca bencana dan alat yang

harus dipersiapkan tenaga kesehatan baik pada tahap

prabencana, tanggap darurat maupun pasca bencana.

14
b. Sikap

Sika terhadap kesiapsiagaan darurat pada umumnya positif,

karena kebanyakan dari mereka percaya bahwa mereka perlu

tahu tentang perencanaan darurat. Manajemen sadar akan

kesiapsiagaan bencana dan memiliki sikap terhadap rencana

kesiapsiagaan yang positif.

Sikap merupakan respon atau reaksi tertutup dari seseorang

yang ditunjukan dengan adanya kesesuaian terhadap suatu

stimulus atau objek yang dalam kehidupan sehari-hari, dimana

reaksinya bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap

belum merupakan suatu tindakan, tetapi merupakan

predisposisisi tindakan suatu perilaku, jadi sikap merupakan

kesiapan untuk bertindak terhadap objek di lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Banyak petugas kesehatan memiliki sikap positif tentang

kesiapsiagaan menghadapi bencana dikarenakan rasa tanggung

jawab dan kepedulian yang sangat tinggi terhadap pasien

ataupun masyarakat yang terkena bencana. Hal ini dapat dilihat

dari jawaban responden melalui kuesioner dimana responden

bersedia terlibat dan menjadi tim jika terjadi bencana dan

bersedia bekerja di luar jam rutin. Meskipun tingkat

pengetahuan yang didapatkan masih banyak yang rendah

sedangkan sikap mereka merespon dengan baik hal ini

15
dikarenakan mereka juga menyadari akan profesi mereka

sebagai pemberi pelayanan kesehatan baik didalam kondisi

normal maupun saat terjadi bencana.

c. Pelatihan

Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang

termasuk dalam tim bantuan kesehatan. Oleh karena itu

diperlukan kesiapsiagaan bidan dalam menangani krisis

kesehatan sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Menteri

Kesehatan RI. No.066/MENKES/SK/II/2006 tentang pedoman

sumber daya manusia kesehatan dalam penanggulangan

bencana.

Pelatihan atau kompetensi minimal yang diikuti bidan

untuk kesiapsiagaan bencana antara lain Asuhan Persalinan

Normal (APN), Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar

(PONED). Pelatihan lain yang diperlukan antara lain yaitu

PPAM kesehatan reproduksi krisis kesehatan, Basic Training

Cardiac Live Support (BTCLS), Pertolongan pertama

kegawatdaruratan obstetrik dan neonatus (PPGDON),

Pencegahan infeksi, pelatihan manajemen bencana dan pelatihan

penunjang lainnya.

2.2.5. Peningkatan kesiapsiagaan

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana diantaranya:

16
a. Pelatihan mengenai bagaimana menyelamatkan diri sendiri dan

orang di sekitar kita saat terjadi bencana.

b. Koordinasi antara pihak-pihak terkait, siapa melakukan apa saat

keadaan darurat, serta upaya evakuasi ke tempat yang aman.

c. Menyiapkan perlengkapan darurat saat terjadinya bencana.

d. Bagaimana memberikan pertolongan pertama pada orang yang

terluka saat terjadi bencana.

e. Upaya yang dilakukan untuk pemulihan mental.

2.3. Bidan

2.3.1. Pengertian Bidan

Pengertian bidan menurut ICM (International Confederation

Of Midwives), bidan adalah seseorang yang telah mengikuti

program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus

dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk di

daftar (register) dan atau memiliki ijin yang sah (lisensi) untuk

melakukan praktik kebidanan (Lestari, et al , 2017).

Bidan adalah seseorang yang telah menjalani program

pendidikan bidan, yang di akui oleh Negara tempat dia tinggal, dan

telah berhasil menyelesaikan studi terkait kebidanan serta

memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan memiliki izin formal

untuk praktik bidan (Hidayat, 2009) dalam (Anne, 2019).

2.3.2. Peran Bidan

17
Bidan mempunyai peran, fungsi dan kompetensi dalam

memberikan asuhan kebidanan kepada wanita. Peran Bidan adalah

sebagai pelaksana, pengelola, pendidik dan peneliti. Peran bidan

sebagai pendidik diantaranya adalah memberikan pendidikan dan

penyuluhan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat tentang penanggulangan masalah kesehatan khususnya

yang berhubungan dengan kesehatan ibu termasuk wanita usia

subur, anak dan keluarga berencana (Depkes RI, 2007).

Menurut Estiwidani.D, dkk (2018) peran, fungsi bidan

dalam pelayanan kebidanan adalah sebagai : pelaksana, pengelola,

pendidik, dan peneliti. Sedangkan tanggung jawab bidan meliputi

pelayanan konseling, pelayanan kebidanan normal, pelayanan

kebidanan abnormal, pelayanan kebidanan pada anak, pelayanan

KB,dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sedemikian

kompleksnya peran, fungsi, dan tanggung jawab seorang bidan

dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kebidanan

yang terbaik dan professional kepada masyarakat maka untuk

keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan landasan

yang kuat berupa kompetensi bidan.

2.4. Pengetahuan

2.4.1. Definisi

Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau

hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya

18
(mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada

waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut

sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek

(Notoadmojo, 2017).

2.4.2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Kratwohl dan Anderson (2017) pengetahuan di

dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

a. Mengingat (Rembember)

Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali

pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah lampau, baik

yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan.

Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam

proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan

pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan ini

dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang

jauh lebih kompleks.

Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan memanggil

kembali (recalling). Mengenali berkaitan dengan mengetahui

pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang

konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah, dan usia, sedangkan

memanggil kembali (recalling) adalah proses kognitif yang

membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat dan tepat.

b. Memahami (Understand)

19
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

mengklarifikasi dan membandingkan tentang objek yang diketahui,

serta dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus mampu

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,

dan mengetahui ciri-ciri tiap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Apply)

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Cara

yang dilakukan dalam proses mengaplikasikan ilmu adalah dengan

memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk

melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan.

Aplikasi berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural

(procedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan

menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan

(implementing). Contohnya penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Contohnya dapat menggambarkan bagan, membedakan,

memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

20
e. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengecek

dan melakukan penilaian atau kritisi terhadap suatu materi atau

objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kreteria yang ditentukan

sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

f. Menciptakan (Create)

Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan

unsur-unsur secara bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang

koheren dan mengarahkan siswa untuk menghasilkan suatu produk

baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur menjadi bentuk

atau pola yang berbeda dari sebelumnya.

2.4.3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan perilaku

individu ataupun kelompok serta menajadi salah satu upaya proses

pendewasaan melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan formal

memiliki peran penting dalam mempromosikan kesiapsiagaan

bencana melalui tenaga pengajar yang medapatkan pelatihan terkait

kebencanaan. Pendidikan formal yang ditempuh selama beberapa

tahun oleh masyarakat memiliki peran yang penting dalam

pendidikan kebencanaan baik di tingkat sekolah maupun

universitas. Selain pendidikan formal pendidikan kebencaan dapat

ditempuh melalui pendidikan non – formal melalui komunitas atau

21
lembaga yang berfokus pada kebencanaan berupa memberikan

edukasi dan pelatihan (Sunarti, 2015).

Menurut hasil penelitian Maryanti dan Hoffman (2017)

tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesiapan

yang lebih baik karena individu dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi dapat mengakses informasi yang lebih beragam dari

beberapa sumber.

b. Informasi

Pengetahuan individu akan baik apabila semakain banyak

informasi yang diterima dalam suatu pembelajaran. Informasi dapat

diperoleh melalui pembelajaran formal maupun informal

(Budiman, 2016).

c. Sosial, budaya, ekonomi

Sosial dan budaya yang baik maka akan meningkatkan

pengetahuan individu melalui cara berpikir yang sesuai dengan

ilmu yang dipelajari. Status ekonomi seseorang akan

mempengaruhi ketersediaan fasilitas belajar apabila fasilitas

memadai maka proses pembelajaran akan berjalan dengan baik

(Hoffman, 2017).

d. Lingkungan

Proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh lingkungan

apabila lingkungan mendukung proses pembelajaran maka akan

lebih baik hasil pembelajaran yang dicapai (Hoffman, 2017).

e. Pengalaman

22
Pengalaman merupakan pembelajaran bagi individu untuk

mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Pengalaman

dapat dirasakan oleh individu itu sendiri atau orang lain. 37

Pengalaman dapat meningkatkan kesadaran tentang potensi

kehancuran, menunjukkan manfaat dari persiapan dan evakuasi,

dan meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana memulikan

kondisi pasca bencana serta bagaimana menghadapi ancaman

bencana (Hoffman, 2017).

f. Usia

Pertambahan usia akan berbanding lurus dengan pertambahan

ilmu atau pengetahuan karena adanya peningkatan pola pikir dan

daya tangkap dari individu tersebut (Budiman, 2016).

2.4.4. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menayakan tentang isi materi yang

ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Menurut

Nurhasim (2015) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang yang ingin diketahui atau diukur

dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan responden yang

meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Adapun pertanyaan yang dapat dipergunakan untuk pengukuran

pengetahuan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis

yaitu pertanyaan subjektif, misalnya jenis pertanyaan essay dan

pertanyaan objektif, misalnya pertanyaan pilihan ganda, (multiple

23
choice), betul-salah dan pertanyaan menjodohkan. Cara mengukur

pengetahuan dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan,

kemudian dilakukan penilaian 1 untuk jawaban benar dan nilai 0

untuk jawaban salah. Penilaian dilakukan dengan cara

membandingkan jumlah skor yang diharapkan (tertinggi) kemudian

dikalikan 100% dan hasilnya prosentase kemudian digolongkan

menjadi 3 kategori yaitu kategori baik (76 -100%), sedang atau

cukup (56 – 75%) dan kurang (≤55%) (Arikunto, 2013).

24
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka konsep

Kerangka konsep penelitian adalah abstraksi dari suatu realitas

agar dapat dikomunikasikan dan membetuk suatu teori yang menjelaskan

keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2017). Adapun kerangka konsep

dari penelitian ini dapat dijabarkan seperti gambar 1 di bawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat
Tingkat Kesiapsiagaan
Pengetahuan Bidan Menghadapi
Gempa Bumi

Gambar 3. Kerangka Konsep

3.2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah karakteristik-karakteristik yang diamati dari

subjek penelitian yang diteliti secara empiris karena mempunyai nilai

maupun operasionalisasi dari suatu konsep.

a. Variabel Bebas Variabel bebas (independent) merupakan variabel yang

nilainya menentukan variabel lain. (Nursalam, 2017). Dalam

penelitian ini variabel bebasnya adalah tingkat pengetahuan.

b. Variabel Terikat Variabel terikat (dependent) merupakan faktor yang

dinikmati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau

pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2017). Dalam penelitian ini

25
variabel terikatnya adalah tingkat kesiapsiagaan bidan menghadapi

gempa bumi.

3.3. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

Definisi operasional merupakan identifikasi dari variabel penelitian

agar pembaca mudah dalam memahami dan mengartikan suatu variabel.

Setiap orang memiliki pemikiran masing-masing dalam menilai sesuatu,

oleh karena itu definisi operasional dibuat untuk kepentingan akurasi atau

menyamakan persepsi dari setiap orang. Pada definisi operasional dijelaskan

cara penentuan variabel dan bagaimana mengukur suatu variabel tersebut,

oleh karena itu definisi operasional juga merupakan suatu informasi ilmiah

yang dapat membantu peneliti selanjutnya jika ingin menggunakan variabel

penelitian yang sama. Definisi operasional bertujuan menjelaskan semua

variabel dan istilah yang digunakan dalam penelitian secara operasional

sehingga mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian.

Adapun definisi operasional pada penelitian ini, yaitu:

Variabel Definisi Alat Hasil Ukur Skor Skala


Ukur
Pengetah Suatu proses dari Kuesione Kategori Baik: Ordinal
uan responden yang r pada hasil 76
didapatkan dari ukur -100%
sekedar tahu, ditentukan
kemudian setelah Sedang:
memahami dan melakukan 56 –
menerjemahkannya uji 75%
menurut normalitas
kemampuan data yang Kurang
individu menunjuk : ≤55%
kan data
terdistribu
si secara
normal,
kemudian

26
peneliti
mencari
nilai mean
sebagai
nilai ukur

Kesiapsia Penerapan Kuesione Kategori ≥ 3,3 = Ordinal


gaan kesiapsiagaan r pada hasil Baik
bidan dalam ukur
menghad menghadapai ditentukan < 3,3 =
api bencana gempa setelah Kurang
gempa bumi melakukan
bumi uji
normalitas
data yang
menunjuk
kan data
terdistribu
si secara
normal,
kemudian
peneliti
mencari
nilai mean
sebagai
nilai ukur

3.4. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pernyataan penelitian (Nursalam, 2017).

Hipotesis merupakan kesimpulan yang berasal dari tinjauan teoritis,

sehingga harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-

bukti empiris. Terdapat dua bentuk hipotesis yaitu, hipotesis nol dan

hipotesis alternatif. Hipotesis nol adalah hipotesis yang diartikan sebagai

tidak adanya hubungan antara variabel yang diteliti dan diberi simbol H0.

Sementara hipotesis alternatif adalah hipotesis yang diartikan sebagai

adanya hubungan antara variabel yang diteliti dan diberi simbol Ha (Setiadi,

27
2016). Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah terdapat

hubungan antara pengetahuan dengan kesiapsiagaan bidan dalam

menghadapi gempa bumi”

3.5. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yang

menekankanwaktu pengukuran atau observasi data variabel independen

dan dependen hanya satu kali dalam satu waktu (Nursalam, 2017). Setiap

objek penelitian hanya diobservasi satu kali dan pengukuran dilakukan

terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan dan

tidak ada tindak lanjut.

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian

3.6.1. Populasi penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas;

obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2017). Populasi dalam penelitian ini yaitu

bidan yang berada dipuskesmas X.

3.6.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi penelitian (Sugiyono, 2017). Sampel yang

digunakan pada penelitian ini adalah bidan yang berada di puskesmas

X.

3.6. Besar Sampel

28
Besar sampel adalah jumlah dari subjek penelitian yang digunakan

untuk sampel penelitian (Susanto, 2017).

3.7. Waktu dan Tempat Penelitian

3.7.1. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan april 2021.

3.7.2. Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Puskesmas X.

3.8. Metode Pengumpulan Data

3.8.1. Data Primer

Pengertian data primer menurut Sugiyono (2015) adalah

sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul

data. Cara pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara penyebaran koesioner kepada responden.

3.8.2. Data Sekunder

Pengertian data sekunder menurut Sugiyono (2015) adalah

sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.

3.9. Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh akan diolah melalui beberapa tahap (Hastono,

2018) yaitu:

3.9.1. Pemeriksaan (Editing)

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian

kuesioner apakah sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

29
3.9.2. Pengkodean (Coding)

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

data berbentuk angka/bilangan.

3.9.3. Pemrosesan (Processing)

Setelah semua keusioner terisi penuh dan benar, serta sudah

melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah

memproses data agar data yang sudah di entry dapat dianalisis.

3.9.4. Pembersihan (Cleaning)

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

di entry apakah ada kesalahan atau tidak.

3.10. Analisa Data

3.10.1. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi

dan presentase dari tiap variabel yaitu variabel independen

(pengetahuan) dan variabel dependen (kesiapsiagaan bidan

menghadapi gempa bumi).

3.10.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara

variabel independen (pengetahuan) dengan variabel dependen

(kesiapsiagaan bidan menghadapi gempa bumi) dengan

menggunakan uji statistik chi square. Dengan tingkat kemaknaan α

= 0,05 dan tingkat kepercayaan 95%.

Dengan keputusan statistik :

30
1. Jika p.value ≤ α (0,05), maka H 0 ditolak artinya ada hubungan

bermakna antara variabel yang diuji.

2. Jika p.value > α (0,05), maka H 0 diterima artinya tidak ada

hubungan bermakna antara variabel yang diuji.

3.11. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian merupakan salah satu komponen yang penting

di dalam penelitian, hal ini dikarenakan penelitian berhubungan secara

langsung dengan manusia atau masyarakat. Kode etik dalam penelitian

secara khusus belum dinyatakan secara universal, akan tetapi ada beberapa

kriteria etik yang dapat diterapkan dalam melaksanakan penelitian

(Swarjana, 2015). Berikut merupakan beberapa etika penelitian yang

diharapkan dapat diterapkan oleh peneliti, yaitu:

3.11.1. Anonimity

Anonimity merupakan prinsip dalam etika penelitian yang

memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan

cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan. Kode

diberikan oleh peneliti untuk mempermudah pengolahan data.

3.11.2. Beneficience (kemanfaatan)

Penelitian ini bermanfaat bagi subyek penelitian, masyarakat

dan ilmu pengetahuan. Seluruh proses yang dilakukan dalam

penelitian ini mengandung prinsip kebaikan yaitu mengetahui tingkat

kesiapsigaan bidan menghadapi bencana gempa bumi dipuskesmas.

31
nilai kebermanfaatan bagi responden adalah mengetahui pentingnya

pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

3.11.3. Non-maleficience (bukan kejahatan)

Penelitian ini dilakukan dengan menghindari bahaya terhadap

responden dan bersifat mengurangi risiko-risiko berat yang mungkin

dapat terjadi pada responden. Penelitian ini tidak melakukan

perlakuan terhadap responden dan selama penelitian berlangsung

tidak terdapat unsur bahaya atau merugikan responden penelitian.

3.11.4.Confidentiality (kerahasiaan)

Confidentiality merupakan prinsip dalam etika penelitian

dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian. Seluruh

informasi yang berupa data-data penelitian dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan dalam

hasil riset.

3.11.5.Veracity (kejujuran)

Peneliti menjelaskan dengan jujur mengenai tujuan, manfaat

dan dampak penelitian serta hak subjek juga dijelaskan apakah akan

terlibat atau tidak terlibat dalam penelitian yang termasuk ke dalam

informed consent. Pertanyaan yang disampaikan oleh responden juga

dijawab dengan jujur oleh responden.

3.11.6. Justice (keadilan)

Justice adalah prinsip dalam etika penelitian dimana peneliti

memperlakukan seluruh responden dengan sama tanpa membedakan

jenis kelamin, ras, agama, dan lainnya baik sebelum dan selama

32
maupun setelah penelitian. Hak-hak diwakili dalam sampel penelitian

yang meliputi hak-hak untuk mempergunakan pengetahuan yang

sama, dan hak untuk tidak didiskriminasi menurut kelas atau kategori

tertentu.

33

Anda mungkin juga menyukai