Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik
bencana alam maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis
dan faktor-faktor lain seperti keragaman sosial budaya dan politik. Wilayah
Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut, Secara geografis merupakan
negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu
lempeng benua Asia dan benua Australia serta lempeng samudera Hindia dan
samudera Pasifik, Terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi
dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus
sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif
digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih
aktif tetapi belum pernah meletus dan tipe C adalah gunung api yang masih di
indikasikan sebagai gunung api aktif, Terdapat lebih dari 5.000 sungai besar
dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan
berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada saat
musim penghujan.
Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain, Gempa
bumi dan tsunami yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 yang melanda
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Provinsi Sumatera Utara
telah menelan korban yang sangat besar yaitu 120.000 orang meninggal,
93.088 orang hilang, 4.632 orang luka-luka, Gempa bumi Nias, Sumatera
Utara terjadi pada awal tahun 2005 mengakibatkan 128 orang meninggal, 25
orang hilang dan 1.987 orang luka-luka, Gempa bumi DI Yogyakarta dan
Jawa Tengah terjadi tanggal 27 Mei 2006 mengakibatkan 5.778 orang
meninggal, 26.013 orang luka di rawat inap dan 125.195 orang rawat jalan,
Gempa bumi dan tsunami terjadi pada tangal 17 Juli 2006 di pantai Selatan
Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar, Cilacap, Kebumen,
Gunung Kidul dan Tulung Agung) telah menelan korban meninggal dunia 684

1
orang, korban hilang sebanyak 82 orang dan korban dirawat inap sebanyak
477 orang dari 11.021 orang yang luka-luka, Tanah longsor sampai
pertengahan tahun 2006 terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali dan Papua dengan jumlah korban 135 orang meninggal dunia, Banjir
bandang seperti yang terjadi secara beruntun pada pertengahan tahun 2006 di
Kab. Sinjai (Sulsel), banjir di Kab. Bolaang, Mongondow (Sulut), Kota
Gorontalo (Gorontalo) Kab. Tanah Bumbu dan Banjar (Kalsel), Kab. Katingan
(Kalteng), Gunung Merapi di Jawa Tengah sepanjang tahun 2006
menunjukkan peningkatan aktivitas yang mengakibatkan 4 orang meninggal,
5.674 orang pengungsian dengan permasalahan kesehatannya, Sejak awal
tahun 1999 telah terjadi konflik vertikal dan konflik horizontal di Indonesia
yang ditandai dengan timbullnya kerusuhan sosial, misalnya di Sampit,
Sambas Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Poso, Sulawesi, Nusa Tenggara
Timur, Papua dan berbagai daerah lainnya yang berdampak pada terjadinya
pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar. Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat
kerja, ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga
mengalami dampak psikologis akibat bencana , misalnya ketakutan,
kecemasan akut perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan yang
mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalanannya
waktu . Tapi untuk banyak orang lain bencana memberikan dampak psikologis
jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi, psikosomatis
(keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak
langsung seperti konflik hingga perceraian.
Menurut deparetemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM),
kelompok rentan adalah orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemansiaan dan berlaku
umum bagi suatu masyarakat yang berperadapan.Jadi kelompok rentan dapat
di defenisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerinta karena kondisi sosial yang mereka hadapi.konteks kerentanan

2
merujuk kepada situasirentan yang setiap saat dapat mempengaruhi atau
membawa perubahan besar dalam penghidupan Masyarakat.setiap orang yang
termaksud kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebi berkenaan dengan kekhususan.kelompok masyarakat
yang rentan adalah orang lanjut usia,anak-anak,perempuan,dan penyandang
cacat.(buku pedoman teknis penanggulangan krisis bencana)

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan acuan bagi petugas kesehatan dalam penanganan krisis
kesehatan akibat bencana.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui bagaimana perawatan untuk populasi rentan
(lansia, wanita hamil, anak-anak, orang dengan penyakit
kronis,disabilitas, sakit mental)
2) Untuk mengetahui bagaimana perlindungan dan perawatan bagi
petugas dan caregiver.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 kelompok rentan dalam
situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat
diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang
pada saat bencana terjadi menjadi berisiko lebih besar, meliputi: bayi,
balita, dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyususi,
penyandang cacat (disabilitas) dan orang lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan dijelaskan
secara rinci. Hanya dalam UU No 39 tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan
bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar
Husein disubutkan bahwa yang tergolong kedalam
Kelompok rentan adalah:
1. Refugees (pengungsi)
2. Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang
terlantar/pengungsi
3. National Minorities (kelompok minoritas)
4. Migrant Workers (pekerja migrant)
5. Women (perempuan)
6. Children (anak-anak)
Menurut Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefenisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan

4
perlindungan dari pemerintah karena kondisi social yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan
sebagai mudah terkena penyakit, dan peka, mudah merasa. Kelompok
yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga
memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan
sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan
konsekuensi logis dan pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok
lemah sehingga mudah dipengaruhi.

B. Identifikasi Kelompok Berisiko


Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancan kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam
ataupun manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang
ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak
termasuk keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang
jumlahnya terbanyak didunia dan salah satu petugas kesehatan yang
berada di lini terdepan saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2010) peran
perawa dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat
bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat yang lebih rentan terhadap efek lanjud dari kejadian bencana
yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah
kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok ini
diantaranya anak-anak, permpuan, terutama ibu hamil dan menyusui,
lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan.
Identifikasi dan pemetaan kelompok berisiko melalui pengumpulan
informasi dan data demografi akan mempermudah perencnaan tindakan
kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat
(Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization
(WHO0 & International Council of Nursing (ICN), 2009).

5
1. Bayi Dan Anak-Anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe
bencana karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah
bahaya. Selain menjadi korban anak-anak juga rentan terpisah dari orang
tua atau wali mereka saat bencana terjadi. Berbagai batasan anak dapat
ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai
implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut
Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan". Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun
1990 "anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali
berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal".
Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999
Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya". Berbagai pelanggaran
terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih
adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi. Hal yang menarik perhatian untuk dibahas di dalam makalah
ini adalah pelanggaran Hak Asasi yang menyangkut masalah Pekerja
Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak
jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar
dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat. Jumlah anak umur antara 10 sampai 14
tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang bekerja dan
yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak
umur antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan,
namun pada tahun 1998-1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4
tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari krisis multidimensional yang
menimpa Indonesia.

6
Lapangan pekerjaan yang melibatkan anak, antara lain, dibidang
pertanian mencapai 72,01 %, industri manufaktur sebesar 11,62%, dan
jasa sebesar 16,37%. Pemetaan masalah anak mengindikasikan jumlah
anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30% dari total
prostitusi, yakni sekitar 40.000 – 70.000 orang atau bahkan lebih (anak
adalah berumur dibawah 18 tahun) 4. Farid (1999) memperkirakan jumlah
anak yang dilacurkan dan berada di komplek pelacuran, panti pijat, dan
lain-lain sekitar 21.000 orang. Angka tersebut bisa mencapai 5 sampai 10
kali lebih besar jika ditambah pelacur anak yang mangkal di jalan, cafe,
plaza, bar, restoran dan hotel5. lrwanto et al (1997) mengindikasikan
ketika orang tua memperdagangkan anaknya, biasanya didukung oleh
peran tokoh formal dan informal setempat misalnya untuk mendapat KTP
atau memalsukan umur anak. Fenomena sosial anak jalanan terutama
terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis ekonomi di
Indonesia sejak lima tahun terakhir. Hasil kajian Departemen Sosial tahun
1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah anak jalanan sebanyak
39.861 orang dan sekitar 48% rnerupakan anak-anak yang baru turun ke
jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak
60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos mencatat bahwa 60% anak
jalanan telah putus sekolah (drop out) dan 80% masih ada hubungan
dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan
yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di
luar nikah dan terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) serta
HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak mempunyai akses
terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan. Keberadaan
mereka cenderung ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami
penggarukan (sweeping) oleh pemerintah kota setempat.
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis
karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan
hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri,
kurangnya kekutan fisik, imunitas dan kekuatan koping. Kondisi tersebut

7
dapat mengancam nyawa jika tidak didefenisikan dan ditangani dengan
segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007)
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko untuk bayi dan anak
pra bencana
a. Mensosalisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiapsiagaan bencana misalnya misalnya dalam simulasi bencana
kebakaran atau gempa bumi.
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang kusus pada bayi dan anak
pada saat bencana.
c. Perlunya di adakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani.
Kelompok beresiko saat bencana.
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam system
triase standar yang di gunakan saat bencana.
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan
anak sesuai dengan tingkat kegawat dan kebutuhan dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya.
c. Selama proses evakuasi,transportasi sheltering dan dalam
pemberian pelayanan fasilitas kesehatan ,hindari
memisakan anak dari orang tua,keluarga atau wali mereka.
Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat di
lakukan segera.
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran
antropometri
c. Dukung dan berikan semangat pada orangtua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan
adekuat cairan dan emosional.
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang
mungkin ada di lokasi evakuasi sebagai voluntir
untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.

8
Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka. Kegiatan yang harus
dilaksanakan adalah:
Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas
dan pasca-keguguran)
Keluarga berencana (KB)
Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS ▪ Kesehatan
reproduksi remaja
2. Wanita Hamil
Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah
lama berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum
diketahui jumlahnya, seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami
terhadap pembantu rumah tangga perempuan. Bentuk kekerasannyapun
beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya.
Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang rentan tidak hanya
terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangga, tetapi juga
berhubungan dengan reproduksi perempuan. Secara sosiologis sebagian
besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh budaya masyarakat,
dimana peran tradisional masih melekat kuat, yang mengindikasikan
bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu rumah tangga semata.
Dalam kehidupan masyarakat, kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Hal ini tercermin dalam
kasus penganiayaan terhadap isteri yang diartikan sebagai bentuk
pengajaran. sehingga kekerasan itu akan berlanjut terus tanpa seorangpun
mencegahnya. Kekerasan dalam bentuk penganiayaan dalam lingkungan
keluarga maupun dalam masyarakat merupakan suatu pelanggaran hukum
sebagaimana telah diatur dalatn Kitab Undang-undang Hukum Pidana
berikut sanksinya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Karyamitra tahun 1996
tercatat 37 kasus KDRT dan menurut Biro Pusat Statistik tercatat jumlah
kasus KDRT pada tahun 1998 terdapat 101 kasus, tahun 1999 terdapat 113
kasus dan tahun 2000 terdapat 259 kasus. Di luar catatan ini terdapat

9
cukup banyak kasus yang tidak dilaporkan oleh para korban, karena
dianggap hal itu merupakan urusan dalam rumah tangga.
Situasi kesehatan reproduksi perempuan yang tergolong miskin
masih memprihatinkan, meskipun telah banyak usaha dari pemerintah
untuk meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Di samping itu terdapat
fenomena semakin meningkatnya kasus aborsi/illegal di kalangan
masyarakat. Diperkirakan akhir tahun 2002 terdapat sekitar tiga juta kasus
aborsi, baik yang legal maupun illegal. Angka kematian ibu dan anak juga
masih relatif tinggi, yaitu: Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia
adalah 45 per 1000 kelahiran hidup, Angka kematian anak absolut di
Indonesia adalah lebih kurang 220.000 setiap tahun; dan Angka Kematian
Ibu (AKI) di Indonesia adalah 350 per 100.000 kelahiran.
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada ibu
hamil
Menurut Ida farida (2013)hal-hal yang perlu di perhatikan dalam
penangulangan ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu .tubuh ibu hamil
yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk
membantu menyelamatkan nyawanya sendiri dari pada nyawa
si janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana petugas harus mendapatkan informasi
yang jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat
melahirkan adalah keamananya .hal yang perlu di persiapkan
adalah air bersih,alat-alat yang bersih dan steril dan obat-
obatan ,yang perlu di perhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat
perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam menyusun perencanaan
penanganan bencana

10
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai
kelompok rentan
c. Membuat disaster plans di rumah yang di sosialisasikan
kepada seluru anggota keluarga.
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduksi dalam
mitigasi bencana.
saat bencana
a. Melakukan usaha /bantuan penyelamatan yang tidak
mengatakan risiko kerentanan bumil dan busui.
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong
korban bumil dan busui .
Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat
cairan dan emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa
konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan
menyusui.
3. Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental,
dan eonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan
kronis. Di Aerika serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari
badai. Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan
finansial pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-
kadang terlupakan yang dapat memperarah masalah kesehatan dan kondisi
depresi pada lansia tersebut (Klynman et al, 2007)

11
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan
penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia
sebelum bencana yakni:
1. Memfasilitasi rekontruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan
penyelamatan antara penduduk dengan cepat dan akurat, dan
distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan secara
sistematis.
2. Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan
pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan
supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat akan
tercapai. (Farida, Ida 2013)
Saat bencana:
1. Melakukan usaha atau bantuan penyelamatan yang tidak
meningkatkan resiko kerentanan lansia, misalnya
meminimalkan guncangan atau trauma pada saat melakukan
mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma
sekunder.
2. Identifikasi lansia dengan bantuan atau kebutuhan khusus
cotohnya kursi roda, tongkat, dll.
Pasca bencana
1. Program inter-generasionaluntuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi social lansia,
diantaranya:

12
Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dengan
kegiatan social bersama lansia untuk memfasilitasi
empati dan interaksi orang muda dan lansia
Libatkan lansia sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang di organsir oleh
agency perlindungan anak di posko perlindungan
korban bencana.
2. Menyediakan dukungan social melalui pengembangan jaringan social
yang sehat di lokasi penampungan korban bencana.
3. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setela
bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang di sebabkan
oleh fungsi fisik yang di bawa oleh setiap individu sebelum
bencana dan perubahan lingkungan hidup.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat penggungsian mengundang hanya tidak
kecocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia,tetapi
juga keadaan yang serius pada tubuh.seperti penumpukan
kelelahan kerna kurang tidur dan kegelisaan.
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di ruma
sendiri
Lansia yang suda kembali ke ruamahnya, pertma membereskan
perabotanya di luar dan dalam ruamah.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ek pemukiman sementara terpaksa
menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru.

13
5. Mental care
Orang lansia mengalami penurunan day kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh
sressor.

4. Orang Dengan Penyakit Kronis


Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita
kecacatan diseluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi
global. 80% diantaranya tinggal di Negara berkembang. Angka ini terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan
hidup dan kemajuan di bidang kesehatan (Klynman et al, 2007)
Di Amerika serikat, setelah kejadian banjir barulah dibangun
rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban bencana yang
menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran banyak
individu cacat pendengaran tidak memahami level bahaya bencana
tersebut karena kurangnya informasi yang mereka fahami (Powers &
Daily, 2010;).
Orang-orang cacat , karena keterbatasan fisik yang mereka alami
beresiko sangat rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering
mengalami diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua
level kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana
(Klynman et al, 2007).
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada orang
dengan kecacatan dan penyakit kronik.
Menurut ida farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis
akan member pengaruh besar pada kehidupan dan lingkungn bagi orang-
orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi terpaksa hidup di
tempat pengunggsian dan dalam waktu lama atau terpaksa memulai
kehidupan yang jauh berbeda dengn pr-bencana ,sangat sulit mengatur
dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana.

14
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan darimkelompok individu yang
cacat dan penyakit kronis.
b. Sediakan informasi bencana yang bias di akses oleh orang-
orang dengan keterbatsan fisik seperti tuna runggu dan tuna
netra.
c. Perlu adanya pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menangani korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis).
Pasca bencana
 Sedapat mungkin, asediakan fasilitas yang dapat
mnegembaliakn kemandirian individu dengan
keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara.
 Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada
perlindungan individu dengan keterbatasan fisik dan
penyakit kronis.
Menurut ida farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bgi korban dengan penyakit kronis adalah
a. Mempersiapkan catatan self care- mereka sendiri,terutama nama
pasien, alamat ketika darurat,rumah sakit dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatat mengenaai isi dan
obat yang di minum
c. Memberikan pendidikan bagi pasien keluarga mengenai penanganan
bencana sejak masa normal.
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergensi dan evakuasi yang khususnya untuk
orang cacat dan penyakit kronis
b. Tetap mencaga dan meningkatkan kewaspadaan universal untuk
petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.

15
Menurut Ica Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat yakni;
a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana,penyandang cacat membutuhkan waktu
yang lama untuk mengevakuasi diri sehinga supaya tidak
terlambat dalam mengmbil keputusan
b. Informasi dalam penyampaian informasi di gunkan bermacam-
macam alat yang disessuaikan dengn cirri-ciri penyandang
cacat.
Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada orang dengan
kecacatan dan penyakit kronik
Menurut ida farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat adalah
1. Kebutuhan rumah tangga
Air minum,susu bayi,sanitasi,air bersih dan sabun unttuk mandi cuci
kakus ,alat untuk memasak,pakayan,selimut,tempat tidur
2. Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum seperti perlengkapan medis ,tenaga medis,
pos kesehtan dan perawatan kehiwaan.
3. Tempat ibada sementara
4. Kebutuhan air
5. Kebutuhan sarana dan prasarana
Keperawatan bagi pasien diabetes
1. Mnegkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus minum obat
untuk menurunkan kandungan gulah dara
2. Memgkonfirmasi apakah pasien memiliki penyakit luka fisik atau infeksi
dan jika ada perlu perawatan.
3. Mmemahami situasi manajemen diri.
4. Memnberikan istruksi tertentu mengensai konsusmsi obat.
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis
1. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakain tabung oksigen untuk berjalan yang di milikinya dengan aman.
2. Menghindari nekrosis CO2 dengan menaikan konsentrasi oksigen

16
3. Mengatur pemasuakan oksign
4. Membantu untuk memenajemen obat.

5. Disabilitas
Penyandang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang
memiliki keterbatasan yang dapat menghambat partisipasi dan peran serta
mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Konvensi tentang Hak-Hak
Penyandang Disabilitas yang telah ikut ditandatangani oleh Indonesia
mengamanahkan Negara untuk mengambil kebijakan yang diperlukan
untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan
kesehatan yang sensitif gender, termasuk rehabilitasi kesehatan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara
sosial, ekonomis, dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang
cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan
ekonomis.
Disabilitas bukan merupakan kecacatan semata namun merupakan
hasil interaksi dari keterbatasan yang dialami seseorang dengan
lingkungannya, bukan hanya fisik atau jiwa, namun merupakan fenomena
multi dimensi yang terdiri dari fungsi tubuh, keterbatasan aktivitas,
hambatan partisipasi dan faktor lingkungan.
Perkembangan dan perbedaan konsep, definisi dan tujuan
menyebabkan data mengenai penyandang disabilitas yang dikumpulkan
oleh kementerian/lembaga yang berkepentingan, antara lain Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan
Kementerian Kesehatan dapat berbeda. Perbedaan tersebut bukan untuk
dipertentangkan namun dapat disandingkan dengan disertai keterangan
pendukung yang dibutuhkan agar dapat saling mengisi.
Dengan memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai bagi
penyandang disabilitas, diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan dan

17
hambatan yang ada sehingga dapat memunculkan potensi-potensi yang
dimiliki. Potensi yang tersembunyi akibat kurangnya dukungan terhadap
penyandang disabilitas merupakan kerugian sumber daya bagi Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik telah
menunjukkan upaya yang signifikan dalam mengakui disabilitas sebagai
sebuah isu hak asasi manusia dan dalam menangani tantangan yang
dihadapi oleh para penyandang disabilitas dalam upayanya berkontribusi
secara ekonomis, sosial dan politis kepada masyarakat. Kemajuan yang
ditunjukkan oleh Indonesia dalam melibatkan penyandang disabilitas
dapat dilihat dalam upaya mereka menandatangani Konvensi PBB
mengenai Hak-hak Penyandang disabilitas (UNCPRD), dan membuat
Rencana Aksi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dari
Penyandang disabilitas di indonesia (2004-2013) dan meratifikasi
Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan).
Langkah awal untuk meratifikasi Konvensi ILO No.159 mengenai
Rehabilitasi dan pelatihan Keterampilan (bagi Penyandang disabilitas)
telah juga dilakukan.
Gambaran pertama yang akan kita dapatkan jika melakukan
pemetaan persoalan penyandang disabilitas di Indonesia adalah kondisi
rendahnya kualitas hidup yang dialami para penyandang disabilitas
tersebut. Namun ternyata pendataan serius untuk mengetahui kondisi
sejelas-jelasnya, sampai saat ini belum dilakukan, baik oleh pemerintah
maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Bahkan lembaga seperti UNDP
(United Nations Development Programme) pun belum mendata
penyandang disabilitas di Indonesia. Pengukuran terhadap kondisi
penyandang disabilitas sebenarnya dapat dilakukan dengan tiga tolak ukur
yaitu: pendidikan, kesehatan,dan masalah daya beli atau bidang ekonomi.
Untuk bidang ekonomi ini terkait dengan kesempatan atau peluang kerja
maupun peluang untuk membangun usaha mandiri atau wira usaha dalam
skala sekecil apapun. Dari bidang pendidikan saja, kita akan menemukan
begitu banyak kenyataan memprihatinkan dan persoalan besar yang

18
mungkin belum pernah ditangani dengan baik, apalagi jika meninjau
bidang kesehatan dan ekonomi.
Berbagai data mengenai situasi terkini tentang penyandang
disabilitas di Indonesia tidak dapat diakses secara mudah. Kurangnya
upaya untuk mengumpulkan data dan menindaklanjuti data tersebut
menjadikannya sulit untuk menilai situasi yang dialami oleh penyandang
disabilitas. Dalam tataran strategis, tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia adalah untuk menyediakan lingkungan yang memudahkan dan
inklusif terhadap mereka, yang menjamin bahwa kaum muda dan
penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses yang sama pada
pendidikan, pengembangan keterampilan dan pasar kerja.14 Serangkaian
pilihan dan model pekerjaan seperti pekerjaan yang dibantu (supported
employment) dan perusahaan sosial (social enterprises) bisa menjadi
pilihan yang dapat dilakukan di Indonesia.

C. Perlindungan Dan Perawatan Bagi Petugas Dan Caregiver


Pengertian caregiver adalah seorang Individu yang secara umum
merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya
merupakan caregiver (Awad dan Voruganti, 2008 : 87). Caregiver
mempunyai tugas sebagai emotional support, merawat pasien
(memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makan, mempersiapkan
obat), mengatur keuangan, membuat keputusan tentang perawatan dan
berkomunikasi dengan pelayanan kesehatan formal.
1. Pencarian Dan Penyelamatan
Kegiatan pencarian dan penyelamatan terutama dilakuka oleh tim
dan dapat berasal dari tenaga sukarela bila dibutuhkan. Tim ini akan:
1. Melokalisasi korban
2. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan atau penampungan jika diperlukan
3. Memeriksa status kesehatan korban (triase ditempat kejadian)
4. Memberikan pertolongan pertama jika diperlukan
5. Memindahkan korban k epos medis lanjutan jika diperlukan.

19
Bergantung pada situasi yang dihadapi (gas beracun, material
berbahaya), tim ini akan menggunaka pakaian pelindung dan
peralatan khusus. Jika tim ini bekerja dibawa kondisi yang sangat
berat, penggantian anggota tim dengan tim pendukungharus lebih
sering dilakukan.
2. Perawatan Di Lapangan
Jika di daerah dimana terjadi bencana tidak tersedia fasilitas
kesehatan yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana
masal (misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe C/ tipe B),
memindahkan seluruh korban kesarana tersebut hanya akan
menimbulkan hambatan bagi perawatan yang harus segera diberikan
kepada korban dengan cedera serius. Lebih jauh, hal ini juga akan
sangat mengganggu aktifitas RS tersebut dan membahayakan kondisi
para penderita dirawat disana.
3. Triase
Triase dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang
membutuhkan stabilisasi segera (perawatan dilapangan) dan
mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat. Dalam aktivitasnya digunakan kartu merah,
hijau, dan hitam sebagai kode identifikasi korban, seperti berikut.
a) Merah sebagai penanda korban yang membutuhkan stabilisasi
segera dan korban yang mengalami:
 Syok oleh berbagai kuasa
 Gangguan pernapasan
 Trauma kepala denga pupil anisikor
 Perdarahan eksternal massif
b) Kuning sebagai penanda korban yang memerlukan
pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara
c) Hijau sebagai penanda kelompok korban yang tidak
memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat
ditunda.
d) Hitam sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia.

20
4. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama dilakukan oleh para sukarelawan, petugas
pemadam kebakaran, polisi, tenaga dari unit khusus, tim medis gawat
darurat, dan tenaga perawat gawat darurat terlatih.
Pertolongan pertama dapat diberikan dilokasi seperti berikut;
1. Lokasi bencana, sebelum korban dipindahkan
2. Tempat penampungan sementara
3. Pada “tempat hijau” dari pos medis lanjutan
4. Dalam ambulans saat korban dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
Pertolongan pertama yang diberikan pada korban dapat
berupa control jalan napas, fungsi pernapasan dan jantung,
pengawasan posisi korban, control perdarahan, imobilisasi fraktur,
pembalutan dan usaha-usaha untuk membuat korban merasa lebih
nyaman. Harus selalu di ingat bahwa, bila korban masih berada
dilokasi yang paling penting adalah memindahkan korban segera
mungkin, membawa korban gawat daryrat ke pos medis lanjutan
sambil melakuka usaha pertolongan pertama utama, seperti
mempertahankan jalan napas dan control perdarahan. Resusitasi
kardiopulmoner tidak boleh dilakukan di lokasi kecelakaan pada
bencana massal karena membutuhkan waktu dan tenaga.
5. Pos Medis Lanjutan
Pos medis lanjutan di dirikan sebagai upaya untuk
menurunkan jumlah kematian dengan memberikan perawatan
efektif (stabilisasi) terhadap korban secepat mungkin. Upaya
stabilisasi korban mencakup intubasi, pemasangan drain thoraks,
pemasangan ventilator, pemberian infus, imobilisasi fraktur,
pembalutan luka, pencucian luka bakar.
Lokasi pendirian pos mediss lanjutan sebaiknya cukup
dekat untuk di tempuh dengan berjalan kaki dari lokasi bencana
(50-100 meter) dan daerah tersebut harus;

21
1. Termasuk daerah yang aman
2. Memiliki akses langsung ke jalan raya tempat evakuasi
dilakukan
3. Berada di dekat dengan pos komando
4. Berada dalam jangkauan komunikasi radio
Pada beberapa keadaan tertentu, misalnya adanya paparan material
berbahaya, pos mediss lanjutan dapat di dirika di tempat yang lebih
jauh. Sekalipun demikian tetap harus diusahakan untuk didirikan
sedekat mungkin dengan daerah bencana.
Sumber daya yang tersedia di lingkungan untuk kebutuhan kelompok
beresiko
Untuk menguranggi dampak yang lebih akibat bencana terhadap
kelompok-kelompk beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
amupun jangkan panjang :
a. Terbukanya desa siaga dan oragniasassi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasiakn kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadiaan bencana.
b. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan meneriam korban
bencana darim kelompok beresiko baik itu dari segi fasilitas maupun
ketenagaan.
c. Adanya symbol atau bahasa yang di mengerti oleh individu denagan
kecacatan tentang peringkat bencana.
d. Adanya system support berupa konseling yang khusu
menanganimkelompok beresiko.
e. Adanya agensi-agensi baik itu pemerintah maupun non pemerintah.
Lingkungaan yang sesuai kelompok beresiko
1. Menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk
terus memberikan ASI pada anaknya dengan cara memberikan dukungan
moril, menyedikan kionsul laktasi dan pencegahan depresi.

22
Pelayanan Kesehatan Di Pengungsian
1. Pelayanan Pengobatan
Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-
tempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian
dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di
Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola
pengungsianya tersebar berada di tenda-tenda kanan kiri rumah
pengungsi.
2. Pelayanan Imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan
vaksinasi lainnya tetap dilakukan sesuai program untuk melindungi
kelompokkelompok rentan dalam pengungsian.
3. Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak
Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:
Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan,
nifas dan pasca-keguguran)
Keluarga berencana (KB)
Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS ▪
Kesehatan reproduksi remaja
4. Pelayanan Gizi
Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita
melalui pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi
terhadap kelompok bumil dan balita, petugas kesehatan menentukan
strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi.Pada bayi tidak
diperkenan diberikan susu formula, kecuali bayi piatu, bayi terpisah
dari ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit berat.
5. Pemberantasan Penyakit Menular Dan Pengendalian Vektor
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan
memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB
antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus.
Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di

23
lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan
insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Pada
pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit
menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian
harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi
Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan
dan pengendalian.
6. Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban
bencana, umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana.
Bagi korban bencana yang memerlukan pertolongan pelayanan
kesehatan jiwa dapat dilayani di pos kesehatan untuk kasus kejiwaan
ringan. Sedangkan untuk kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit
terdekat yang melayani kesehatan jiwa.
7. Pelayanan Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup:
 Kebersihan diri
 Pengolahan makanan
 Pengolahan air minum bersih dan aman
 Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin,
imunisasi)
Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan
kesehatan lainnya.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan
atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadapan. Jadi kelompok dapat didefenisikan sebagai krlompok yang
harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi social
yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat yang rentan adalah
orang lanjud usia, anak-anak, perempuan dan penyandang cacat.
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-
kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan
dan penanganan bencana perlu mempersiapkan peralatan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan kelompok-kelompok rentan tersebut, contihnya
ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat
bantuan persalinan, melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan,
merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang
dapat diakses, meyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada
pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan
dalam makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebuat
sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf kelompok rentan.

25

Anda mungkin juga menyukai