Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Ada dua
penyebab terjadinya bencana yakni faktor alam dan ulah manusia.
Bencana alam adalah bencana yang di karenakan oleh suatu kekuatan alam
dan peristiwanya tidak dapat di kontrol oleh manusia. (Iskandar, 2013)
Bencana dapat mengakibatkan kerusakan fisik (Korban dan
infrastruktur) dan gangguan psikologis (Trauma, strees, depresi,
kecemasan, dan sebagainya). Seringkali setelah terjadinya bencana, yang
menjadi titik pusat perhatian hanya penangganan fisik semata, namun
pengunaan psikis korban bencana yang selamat (Survivor) terabaikan.
Pendapat peneliti di atas di dukung oleh Hawari (2013:85-86) yang
mengemukakan bahwa pada umumnya,masyarakat dan pemerintah dalam
menyikapi korban berbagai macam peristiwa, lebih menitik beratkan pada
aspek yang sifatnya fisik: misalnya bantuan pengobatan, sandang, pangan
dan papan. Aspek kejiwaan/mental/psikologik yang mengarah pada
gangguan stress pasca trauma kurang diperhatikan. Stress pasca trauma itu
sendiri bila tidak ditangani dengan sungguh- sungguh dan professional
dapat berlanjut pada gangguan jiwa seperti kacamata, depresi psikosis
(gangguan jiwa berat) bahkan sampai pada tindakan bunuh diri.
Salah satu bencana alam yang terjadi dalam kurun waktu terakhir
ini ialah, Erupsi Gunung Kelud. Gunung Kelud yang terletak di kabupaten
Kediri dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, meletus, Gunung yang
memiliki tinggi 1.731 meter dari permukaan air laut memuntahkan
material vulkanik hingga setinggi 17 kilometer ke udara.
Pada remaja korban bencana yang mengalami masalah psikologis,
didalam pendidikan menunjukkan adanya penurunan prestasi disekolah.
Hal ini dimungkinkan oleh karena prmasalahan yang berat, menekan,
hingga menjadikan ia mengalami stress. Bahkan reaksi emosional sering

1
ditampilkan oleh remaja korban bencana. Selain itu pula fase remaja yang
ditandai dengan emosi yang bergejolak, maka dengan adanya bencana
yang menimpa dirinya, stabilitas emosinya semakin kurang baik.
(Iskandar, 2013)
Dalam kondisi psikis yang tidak stabil pasca bencana dan
mengalami kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumya tersebut
akhirnya tergantung pada resiliensi (daya lentur) survivor remaja. Individu
yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari cukup
ketika menghadapi kesulitan, karena resiliensi merupakan keberhasilan
dalam penyesuaian diri. Resiliensi bagian dari perkembangan seseorang.
Ketika manusia atau individu mengalami suatu kejadian yang tidak
menyenangkan, segi resiliensi menjadi salah satu ukuran dalam
mengetahui kualitas ketahanan jiwa seseorang dalam menghadapi cobaan.
Terlebih lagi apabila individu yang masih menjalani masa
perkembangan remaja yang rentan terkena masalah. Remaja yang
mengalami kondisi yang tidak menyenangkan mempengaruhi
kebahagiaannya. Karena, pada dasarnya masa remaja merupakan masa
yang transisi individu tersebut mampu bertanggungjawab, termasuk ketika
menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Jika dia bisa mengambil
hikmah dari kondisi tak menyenangkan yang menimpanya, bisa jadi
kemalangan atau kesengsaraan akan membuatnya semakin kuat, begitu
juga sebaliknya.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perawatan individu dan komunitas pasca
bencana dan perawatan psikososial dan spiritual pada korban bencana.

2
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui perawatan pada individu dan komunitas pasca
bencana dan saat bencana.
b) Untuk mengetahui perawatan psikososial dan spiritual pada korban
bencana.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perawatan Individu dan Komunitas pada Saat Bencana


Dampak bencana alam tidak hanya dirasakan pada individu,
keluarga atau komunitas yang mengalami paparan bencana alam secara
langsung namun juga yang tidak langsung karena melihat bencana dan
dampaknya melalui media televisi atau koran dapat menyebabkan
merasakan bencana meskipun tidak seberat mengalami langsung.
Psychological first aid merupakan suatu pendekatan untuk
membantu individu atau komunitas yang mengalami kondisi darurat
(emergency), bencana,atau traumatic. Pendekatan tersebut meliputi prinsip
dasar untuk membantu proses recovery secara alamiah meliputi;
1. Membantu untuk memberikan rasa aman dan nyaman
2. Menghubungkan dengan orang-orang yang dapat membantu sesuai
dengan kondisi yang dibutuhkan
3. Hangat dan membangkitkan harapan
4. Memberiakan bantuan fisik, emosi, dukungan sosial, dan perasaan
mampu membantu diri sendiri
Terdapat juga konsep pendekatan manajemen resiko yaitu mengenali,
mengkaji, dan mengurangi kemungkinan atau dampak dari resiko dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Fokus psychological first aid
utamanya diberikan pada individu atau komunitas yang mengeami
bencana alam dan berpotensi mengalami masalah kesehatan fisik ataupun
mental.hal ini juga didasari oleh pemikiran bahwa individu atau komunitas
mengalami serangkaian reaksi awal ketika mengalami bencana yang
meliputi, fisik, emosi, psikologis, spiritual, perilaku.

4
Pelayanan Kesehatan di Pengungsian
Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis
bencana, lama pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola
sisipan yaitu pengungsi menumpang di rumah sanak keluarga.
Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat umum atau di barak-
barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda
darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana.
Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap
menimbulkan masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari
kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan
sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan beberapa penyakit
menular. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga memengaruhi
pemenuhan kebutuhan gizi seseorang serta akan memperberat proses
terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:
1. Pelayanan Pengobatan
Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau
tempat-tempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi
pengungsian dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan
pengobatan dilakukan di Puskesmas bila fasilitas kesehatan
tersebut masih berfungsi dan pola pengungsianya tersebar berada
di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi.
2. Pelayanan Imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi
campak tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun
kegiatan vaksinasi lainnya tetap dilakukan sesuai program untuk
melindungi kelompokkelompok rentan dalam pengungsian.
3. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:
a. Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan,
nifas dan pasca-keguguran)

5
b. Keluarga berencana (KB)
c. Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
d. Kesehatan reproduksi remaja
4. Pelayanan Gizi
Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan
balita melalui pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan
identifikasi terhadap kelompok bumil dan balita, petugas kesehatan
menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status
gizi.Pada bayi tidak diperkenan diberikan susu formula, kecuali
bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit
berat.

B. Perawatan Psikososial dan Spiritual pada Korban Bencana


1. Pengertian
Konsep psikososial terdiri dari dua hal, yaitu psiko dan sosial. Kata
psiko mengacu pada jiwa, pikiran, emosi atau perasaan, perilaku, hal-
hal yang diyakini, sikap persepsi, pemahaman akan diri. Kata sosial
merujuk pada orang lain, tatanan sosial, norma nilai aturan, sistem
ekonomi, sistem kekerabatan, agama atau religi serta keyakinan yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Psikososial diartikan sebagai
hubungan yang dinamis dalam interaksi antara manusia, dimana
tingka laku, pikiran dan emosi individu akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh orang lain atau pengalaman sosial
Secara khusus dampak bencana pada aspek psikis adalah terhadap
emosi dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala
sebagai berikut: syok, rasa takut, sedih, marah, dendam, rasa bersalah,
malu, rasa tidak berdaya, kehilangan emosi seperti perasaan cinta,
keintiman, kegembiraan atau perhatian emosi seperti perasaan cinta,
keintiman, kegembiraan atau perhatian pada kehidupan sehari-hari.
Pada aspek kognitif, korban bencana ini juga mengalami
perubahan seperti: pikiran, kacau, salah persepsi, menurunnya

6
kemampuan untuk mengambil keputusan, daya konsentrasi dan daya
ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan
terkadang menyalahkan dirinya sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari
bencana dapat diketahui berdasarkaan dua faktor yaitu faktor pra
bencana, faktor bencana (Tomoko, 2009)
a) Faktor Pra Bencana
Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dapat ditinjau dari
beberapa hal dibawah ini:
1) Jenis Kelamin, perempuan mempunyai resiko lebih tinggi
terkena dampak psikologis dibanding laki-laki dengan
perbandingan > 2:1
2) Usia dan pengalaman hidup, kecenderungan kelompok usia
rentan stress masing–masing negara berbeda karena perbedaan
kondisi sosial, politik, ekonomi, dan latar belakang sejarah
negara yang bersangkutan. Adanya pengalaman berhasil dalam
menghadapi bencana masa lalu dapat meringankan rasa cemas
pada saat timbulnya bencana, dan pengalaman ini ditambah
dengan pengetahuan dan pelatihan tentang bencana.
3) Faktor budaya, ras, karakter khas etnis, dampak yang
ditimbulkan bencana ini lebih besar di negara berkembang
dibandingkan dengan di negara maju. Pada kelompok usia
muda tidak ada gejala khas untuk etnis tertentu baik pada etnis
mayoritas maupun etnis minoritas, sedangkan pada kelompok
usia dewasa, etnis minoritas cenderung mengalami dampak
psikologis dibanding mayoritas.
4) Sosial ekonomi, dampak bencana pada individu berbeda
menurut latar belakang pendidikan, proses pembentukan,
keperibadian, penghasilan dan profesi. Individu dengan
kedudukan sosio-ekonomi yang rendah akan mempengaruhi
kedudukan sosio-ekonomi seseorang atau keluarga.

7
5) Keluarga, pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas
keluarga seperti tingkat stres dalam perkawinan, posisi sebagai
orangtua perempuan. Gejala psikis pada orang tua ini akan
berdampak pada anak sehingga perhatian pada orang tua dalam
keluarga akan berdampak positif pada anak.
6) Tingkat kekuatan mental dan keperibadian, hampir semua hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental pra
bencana dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak
patologis pasca bencana. Individu dengan masalah kesehatan
jiwa akan mengalami stress yang lebih berat dibandingkan
dengan individu dengan kondisi psikologis yang stabil.
b) Faktor Bencana
Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari beberapa hal
di bawah ini:
1) Tingkat keterpaparan
Keterpaparan seseorang akan masalah yang dihadapi
merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak
psikologis korban bencana
2) Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat
3) Diri sendiri atau keluarga terluka
4) Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami
ketakutan yang luar biasa
5) Mengalami situasi panik pada saat bencana
6) Pengalaman berpisah dengan keluarga, terutama pada korban
usia muda
7) Kehilangan harta benda dalam jumlah besar
8) Pindah tempat tinggal akibat bencana
9) Bencana yang menimpa seluruh komunitas. Hal ini
mengakibatkan rasa kehilangan pada individu dan memperkuat
perasaan negatif dan memperlemah perasaan positif.

8
2. Dampak Bencana
a. Dampak Bencana pada Aspek Spiritual
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki
kebutuhan yang kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis,
sosial kultural dan spiritual. Spiritual digambarkan sebagai
pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang , dan merupakan
bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang, dan merupakan
bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam
memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams,
1993). Dayson, Cobb, dan Forman (1997) menyatakan bahwa
spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya
sendiri, dengan orang lain dan kekuatan yang lebih tinggi.
Bencana adalah fenomena kehidupan yang maknanya
sangat tergantung dari mana seseorang memakainya. Disinilah
aspek spiritual ini berperan. Dalam kondisi bencana, spiritualitas
seseorang merupakan kekuatan yang luar biasa, karena spiritualitas
seseorang mempengaruhi persepsi dalam memaknai bencana selain
faktor pengetahuan, pengalaman, dan sosial ekonomi.
Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas
seseorang. Ada yang bertambah meningkat aspek spiritualitasnya
ada pula yang sebaliknya. Bagi yang meningkatkan aspek
spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang terjadi
merupakan kehendak dan kuasa sang Pencipta yang tidak mampu
ditandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan cara
meningkatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan
pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang
dialaminya. Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar
keimanan atau keyakinan terhadap sang Pencipta rendah, atau
karena putus asa.

9
b. Dampak Bencana pada Aspek Psikososial
Psikososial merupakan salah satu istilah yang merujuk pasa
perkembangan psikologis manusia dan interaksinya dengan
lingkungan sosial. Hal ini terjadi karena tidak semua individu
mampu berinteraksi atau sepenuhnya menerima lingkungan sosial
dengan baik. Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada
individu yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya
secara terintegrasi. Aspek kejiwaan berasal dari dalam diri kita,
sedangkan aspek sosial berasal dari luar, dan kedua aspek ini
sangat saling berpengaruh kala mengalami masa pertumbuhan dan
perkembangan.
c. Layanan Dukungan Pasca Bencana
Layanan dukungan psikososial dilaksanakan dalam beberapa
tahapan, sebagai berikut:
1) Rapid Assesment
Kaji cepat dapat dilakukan kepada sasaran/penyintas mulai dari
kelompok rentan, penyintas yang kehilangan anggota keluarga
saat terjadi bencana, penyintas yang mengalami lika berat,
penyintas yang rumahnya hancur atau rusak berat, orang
dewasa, ibu hamil, penyandang disabilitas.
Assesmen dilakukan dengan teknik :
a) Wawancara terbuka
b) Wawancara tertutup dengan menggunakan instrument
kaji cepat
c) Activity Daily Living Mapping
Metode ini digunakan untuk assesmen pada kelompok
wanita dan pria dewasa dengan menuliskan akivitas
penyintas sehari-hari sebelum bencana, aktivitas saat ini
setelah pengunsian, masalah dan harapan penyintas.

10
d) Tools berupa Body Mapping
Body mapping digunakan untuk assesmen pada
kelompok anak dan remaja, dengan menggambar secara
utuh bentuk manusia secara abstrak, kemudian
menuliskan apa yang mereka fikirkan, mereka lihat,
mereka dengar, mereka cium, mereka rasakan pada saat
bencana, dan menuliskan harapan mereka.
e) Cerita dan menggambar pada anak
2) Intervensi
Intervensi yang dilakukan berupa:
a) Intervensi individu dan kelompok
1. Teknik kataris dan ventilation
Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan
perasaan yang dialaminya sehubungan dengan bencana
yang terjadi
2. Teknik Support
Memberikan semangat bahwa apa yang sedang
dihadapinya sekarang bukanlah akhir dari
kehidupannya.
3. Teknik Debriefing
Agar mampu mengungkapkan perasaan/kesedihan yang
dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi,
kalau bisa kesedihan tersebut dialami secara penuh dan
utuh, tidak tertunda.
4. Teknik Motivasi dan Support
5. Mengajak untuk meningkatkan kembali motivasi
hidupnya kearah ke depan bersama keluarganya
6. Play Therapy
Untuk anak-anak seperi bernyanyi, menggambar,
mendengarkan dongeng dan lain-lain dengan tujuan
utama agar anak-anak memiliki keceriaan.

11
b) Pemulihan Korban Pasca Bencana
Penanganan korban stress akibat bencana memang
tidak mudah. Penanganan traumatis karena bencana telah
menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu
dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-
hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik, dan mental,
aspek keperibadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang mnjadi korban dari suatu bencana
cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan
emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh
para korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka
tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.
Munculnya gejala-gejala stress, seperti rasa takut,
cemas, duka yang mendalam, tidak berdaya, putus asa,
kehilangan kontrol, frustasi sampai depresi semuanya
bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai
suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut
adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar.
Korban bencana yang tingkat spiritualnya tinggi
akan menjadikan mereka senantiasa hidup dalam nuansa
keimanan pada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya
dalam kehidupannya ini sebagai ibadah kepada Tuhan.
Merekapun akan tegas dan konsisten dalam sikap dan
langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan sang
pencipta dengan perasaan redha dan tentram. Perasaan itu
akan menjadikannya kuat dalam menghadapi segala
persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas
musibah yang menimpahnya, tidak putus asa, dan
menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-

12
bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru.
Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari
segalanya.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam
mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup. Dengan
adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar
biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu
mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus
atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan
individu untuk memaknai kembali hidupannya dengan
membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi
setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan
tertentu pada masa yang datang.
3) Cara Mengelola Stress
Dalam kedaruratan, baik orang dewasa maupun anak-anak
dapat mengalami stres. Hal ini adalah normal, apalagi saat awal
terjadinya bencana yang mungkin tidak terpikirkan
sebelumnya.
Untuk itu orang tua perlu dibekali cara sederhana untuk
mengatasi stres sebelum mereka dapat melakukannya kepada
anak-anaknya.
a) Pengertian Stress Stres adalah perubahan hidup yang
memerlukan penyesuaian. Stres merupakan realitas
kehidupan setiap hari, tidak dapat dihindarkan, namun
dapat dikelola dengan baik sehingga kita mampu
beradaptasi.
b) Tanda-tanda Stress
1. Konsentrasi dan pikiran menurun
2. Tidak tanggap terhadap pertanyaan atau perintah
yang diberikan.

13
3. Menimbulkan reaksi perasaan seperti takut, marah,
sedih,bingung.
4. Timbul reaksi fisik seperti sakit kepala, sakit ulu
hati, rasa lemas, keringat dingin, gemetaran,
berdebar-debar dan susah/tidak bisa tidur.
5. Mudah cemas dan berpikir negatif terhadap suatu
peristiwa.
c) Bagaimana Mendukung dan Mendampingi Para Korban
Bencana untuk Mengatasi Stress
1. Membantu menyadarkan korban:
a. untuk memiliki kemampuan dan daya tahan
untuk menghadapi situasi sulit seperti bencana.
b. untuk mengakui dan menerima perasaan yang
dialami sebagai suatu hal yang wajar.
Ekspresikan marah, sedih, kecewa dengan wajar
c. untuk menuliskan apa yang dirasakan pada
selembar kertas atau buku harian. Hal ini
membantu saat korban belum siap membuka diri
kepada orang lain
d. untuk mampu membuka diri dan menerima
dukungan yang diberikan oleh keluarga, teman
atau orang-orang disekitar korban
e. untuk berbagi dengan orang lain yang
mengalami peristiwa serupa
f. melakukan kegiatan positif yang dapat membuat
penyintas merasa nyaman dan rileks
g. untuk menjaga kesehatan dengan makan, tidur
dan olah raga teratur. Jika kesulitan tidur,
sebaiknya hindari minuman berkafein, alkohol
atau obat tidur yang justru dapat membahayakan
kesehatan

14
2. Berempati dengan lebih banyak mendengarkan
korban dari pada menasehati, hal ini membantu
mengurangi beban, sehingga merasa lebih baik
3. Hargai kemajuan yang berhasil dicapai, sekecil
apapun itu. Misalnya: memberi pujian jika korban
sudah berani keluar rumah dan mau terlibat dalam
kegiatan di lingkungan sekitar
4. Ajak korban untuk:
a. Bersyukur karena masih diberikan kesempatan
untuk bangun pagi, menghirup udara segar
b. Meningkatkan kegiatan Ibadah

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas perlu adanya aktivitas penanganan kesehatan
mental sebelum maupun sesudah bencana:
1. Menilai dan memonitor cakupan kebutuhan kesehatan mental,
melakukan menilaian cepat dan memonitoring laporan kesehatan
mental secara berkelanjutan:
a. Mengidentifikasi kebutuhan pelayanan sehehatan mental dan
spiritual serta melakukan pemetaan siapa melakukan apa dan di
mana.
b. Mengidentifikasi sumber daya dan pelayanan kesehatan mental dan
spiritual yang telah ada.
2. Membangun koordinasi dengan semua stake horder dibidang
kesehatan mental dan spiritual
3. Memperkuat kapasitas kesehatan mental dan spiritual untuk individu,
komunitas dan system kesehatan:
a. Melakukan trening kesehatan mental
b. Mengembangkan system reveral yang sesuai
c. Mengembangkan protokol dan pedoman penanganan kesehatan
mental dan spiritual
Dampak bencana alam tidak hanya dirasakan pada individu, keluarga atau
komunitas yang mengalami paparan bencana alam secara langsung namun
juga yang tidak langsung karena melihat bencana dan dampaknya melalui
media televisi atau Koran dapat menyebabkan merasakan bencana
meskipun tidak seberat mengalami langsung.

16
B. Saran
Upaya peningkatan kesehatan mental dan spiritual sudah
seharusnya dilakukan dengan atau tanpa adanya bencana. Pendidikan
kesehatan mental di keperawatan perlu mengajarkan kesiapan maupun
penanganan kesehatan mental pasca bencana (Disaster Psikiatri) dalam
porsi yang lebih sesuai. Dan semoga dengan makalah ini dapat menjadi
penunjang untuk mata kuliah keperawatan bencana.

17
DAFTAR PUSTAKA

Heru (2006). Bencana dan Penanganannya, Jurnal Pusdiklat Kesos, Vol.1.No 2,


Juni 2006, Departemen Sosial

Marjono. (2010). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Merapi


http://www. Pulih.or.id/res/publikasi/news letter 14.pdf

Ministry of Health. General Guidance Book for Steering and Organizing


Committee on Community Mental Health, 2001

Humanitarian Accountability Partnership.(2007). Standar HAP dalam


akuntabilitas dan Manajemen Kualitas (Hepi Rahmawati, Pengahli
Bahasa). Geneva: HAP Internasional .

Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktek dalam
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

18

Anda mungkin juga menyukai