KEPERAWATAN BENCANA
ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Bencana, pada
semester 7 tahun akademik 2022/2023
yang diampuh oleh:
Ns.Prstia Riana Putri, S.Kep., M.Kep.
Disusun Oleh:
Dewanti Utami Putri (020319607)
Oktaviani Kusliana (020319633)
Tiarah Asriningrum (020319644)
Ilham Saepul Akbar (020319651)
Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
serta Taufiq Hidayah - Nya kepada kita semua, shalawat serta salam kita
sampaikan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW berserta keluarganya,
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Bencana tentang
Perawatan Pada Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil,Anak-Anak, Orang
Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas,Sakit Mental), yang akan membahas lebih
jauh mengenai unsur – unsur dan manfaat makalah. Pada dasarnya, tujuan
dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Bencana.
Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing ibu Ns. Prstia
Riana Putri, S.Kep., M.Kes. Sebagai pembimbing mata kuliah Keperawatan
Bencana. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua teman-teman yang
telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kritik dan saran kiranya kami terima, masih banyak kekurangan dan
kesulitan yang kami hadapi dalam makalah ini. Semoga dengan diselesaikan
makalah ini kami dapat mengatahui lebih dalam mengenai Perawatan Pada
Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil,Anak-Anak, Orang Dengan Penyakit
Kronis, Disabilitas,Sakit Mental), dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
D. Manfaat Penulisan 2
A. Kesimpulan 24
B. Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar. Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah,
tempat kerja, ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban
juga mengalami dampak psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan,
kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan
yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan
berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan
dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya
depresi, psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis)
ataupun yang tidak langsung: konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan
menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang
ynag dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan
yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada interensi yang dirancang
dengan baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah,
gangguan kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi
lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis
dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan
semangat hidup, kemampuan sosial dan merusak nilai-nilai luhur yang
mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadapan. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
1
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap
saat dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam
penghidupan masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang
rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, permepuan, dan penyandang
cacat. Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai
perawatan kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam
makalah kami yang berjudul “perawatan pada kelompok rentan”
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Yang Dimaksud Dengan Kelompok Rentan?
2. Bagaimanakah Mengidentifikasi Masalah Pada Kelompok Rentan?
3. Apa Sajakah Tindakan Yang Sesuai Dengan Kelompok Rentan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Yang Dimaksud Dengan Kelompok Rentan.
2. Untuk Mengetahui Cara Mengidentifikasi Masalah Pada Kelompok
Rentan.
3. Untuk Mengetahui Tindakan Yang Sesuai Dengan Kelompok Rentan.
D. Manfaat
Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu masyarakat
maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada
kelompok rentan, karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari sebagai dan dalam mitigasi bencana.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,
kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang beradapan.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang
sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan
sebagai : (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang ain. Selain itu, kelompok rentana
juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena
sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
4
lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan
Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan
informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan
tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di
masyarakat (Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health
Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).
5
anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan
orang tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-
masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan
psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya
skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi
diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik imunitas dan kemampuan
koping.Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan
(Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).
2. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah
menjadi isu vital yang memerlukan perhatian dan penanganan
khusus. Oleh karena itu intervensi-intervensi kemanusiaan dalam
penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase
penanganan bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati
bahwa pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender
yang ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan
perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih
beresiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi
darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul “Women, Disaster
Reductuin, and Sustainble Devalopment” menyebutkan bahwa
permepuan menerima dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu
orang yang meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun 1991,
korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini
disebabkan karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap
peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
6
Dampak bencana pada perempuan terutama pada ibu hamil akan
berdampak terhadap stabilitas tatanan kelompok masyarakat rentan
harus mendapatkan prioritas pada saat bencana, dampak yang sering
terjadi yaitu adalah abortus, dan lahir prematur disebabkan karena ibu
muda mengalami stres, baik karena perubahan hormon maupun karena
tekanan lingkungan strees disekitarnya.selain itu juga bencana akan
mengakibatkan benturan dan luka yang mengakibatkan perdarahan
atau pelepasan dini plasenta dan rupture uteri. Keadaan inilah yang
dapat mengakibatkan gawat janin dan mengancam kehidupan ibu dan
janin.
3. Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik,
mental dan ekonomi saat dan setelah bencana yang disebabkan karena
penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami
masalah kesehatan kronis (Klynman et al.,2007). Di Amerika Serikat,
lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah
lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri
sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan
mengalami diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan
hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik
lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah
kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al.,
2007).
Dampak bencana pada kelompok lanjut usia (lansia) terbentuk dari
setiap individu yang dipengaruhi oleh gaya hidup, ciri khas keluarga,
sumber daya sosial dan ekonomi, budaya dan adaptasi, lingkungan,
struktur gen, dan sebagainya. Peningkatan usia akan menurunkan
homeostasis, penurunan fungsi berbagai organ tubuh, daya kesiapan
dan daya adaptasi menurun, melemah dan sering sakit karena banyak
7
stresor akan bermunculan pada saat bencana. Efek dari bencana akan
berbeda tergantung pada level penurunan fungsi tubuh, homeosatits,
adaptasi dan sebagainya.
a. Fisik Lansia
Pertambahan usia adalah normal, dan fungsi fisiologis menurun
secara perlahan-lahan. Namun demikian, derajat tersebut tidak sama
dan terdapat perbedaan antara setiap individu. Oleh karena itu,
pengaruh dari bencana terhadap lansia pun beraneka ragam sesuai
dengan fungsi fisiologis yang dimiliki oleh setiap individu.
b. Mental Lansia
Lansia telah memiliki beberapa pengalaman kehilangan. Bencana
pun akan menjadi pengalaman kehilangan. Bettis, dkk mengatakan
bahwa pada proses menua terdapat dua proses, yakni proses
memungkinkan beradaptasi diri pada kehilangan dan proses yang
membuat yang bersangkutan sulit mengadaptasikan diri terhadap
kehillangan.
c. Sosial Lansia
Jika melihat sisi ekonomi, penyokong nafkah di rumah lansia adalah
lansia itu sendiri, dan banyak yang hidup dari uang pensiunan.
Kehilangan rumah dan harta akan mengakibatkan harapan untuk
membangkitkan kehidupan dan harapan untuk masa depan.
8
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North
Dakota pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang
dapat diakses oleh korban bencana yang menggunakan kursi roda.
Pada saat terjadi bencana kebakaran di California, tahun 2003, banyak
individu-individu cacat pendengaran tidak memahani level bahaya
bencana tersebut karena kurangnya informasi yang mereka fahami
(Powers & Daily, 2010)
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko
sangat rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami
diskriminasi di masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level
kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan bencana (Klynman
et al., 2007).
9
1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan
anak Pra bencana
a. Pra Bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana
kebakaran atau gempa bumi.
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan
anak pada saat bencana.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-
kelompok berisiko.
b. Saat Bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase
standar yang digunakan saat bencana.
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak
sesuai dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa.
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam
pemberian pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan
anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka.
c. Pasca Bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur,
tidur, bermain dan sekolah.
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri.
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua.
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan
dan emosional.
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di
lokasi evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah,
10
mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak
pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan
penjaga yang terpercaya serta lingkunganyang aman untuk
mereka.
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan
menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas
harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya
dengan menolong janinnya sehingga meningkatkab kondisi fisik dan
mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan
janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan
sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga
lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil
yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk
membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si
janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang
jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah
keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-
alat yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan
adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang lebih
memadai.
11
a. Pra Bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan
penanganan bencana.
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok
rentan.
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada
seluruh anggota keluarga.
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam
mitigasi bencana.
b. Saat Bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak
meningkatkan risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
a) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi
dan transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu
hamil.
b) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong
korban bumil dan busui.
c. Pasca Bencana
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat,
cairan dan emosional.
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa
konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan
menyusui.
3) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca
bencana.
12
3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
a. Pra Bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan
penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia
sebelum bencana yakni
a) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas Sejak sebelum
bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang
bantuan setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai
hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang
cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana tidak
pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di
pengungsian dengan tenang.
b) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian Diperlukan
upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida.
2013)
b. Saat Bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka
meningkatkan risiko kerentanan lansia, misalnya
meminimalkan guncangan/trauma pada saat melakukan
mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma
sekunder.
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana
adalah
13
1) Tempat aman Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana
adalah memindahkan orang lansia ke tempat yang aman. Orang
lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman daya
pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar.
2) Rasa setia Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang
dalam pada tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk
mengungsi pun berkecenderungan terlambat dibandingkan
dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat (Triage, treatment, and transportation)
dengan cepat. Fungsi indera orang lansia yang mengalami
perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala
rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa.
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia,
diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan
kegiatankegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi
empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness)
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator
dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh
agency perlindungan anak di posko perlindunga korban
bencana.
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana.
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan
dan skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri.
14
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia
setelah bencana adalah
a) Lingkungan Dan Adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang
disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap
individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup
di tempat pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi,
sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia
yang lebih parah lagi.
b) Manajemen Penyakit Dan Pencegahan Penyakit Sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak
hanya ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi
orang lansia,
tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti
penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan
kegelisahan.
c) Orang Lanjut Usia Dan Perawatan Pada Kehidupan Di
Rumah Sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama
membereskan perabotannya di luar dan dalam rumah.
Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia
tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan,
sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan
optimal.
d) Lanjut Usia Dan Perawatan Di Pemukiman Sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap
lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan
lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat.
15
e) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun
daya adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik
oleh stressor. Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah
terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan
keluhan.
16
2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-
orang dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra,
dll.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan
kegawatdaruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus
untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat dan
penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan
sebelum bencana bagi korban dengan penyakit kronik.
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama
nama pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter
yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat
mengenai isi dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan
data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya
mengenai penanganan bencana sejak masa normal
b. Saat Bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk
orang cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit
infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal
(universal precaution) untuk petugas dalam melakukan
tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
penyandang cacat yakni:
a) Bantuan evakuasi Saat terjadi bencana, penyandang cacat
membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri
sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
17
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
penyandang cacat dan penolong evakuasi.
b) Informasi Dalam penyampaian informasi digunakan
bermacam-macam alat disesuaikan dengan ciri-ciri
penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat
membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi
dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
1) Pertolongan pada penyandang cacat
a) Tuna daksa
adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat
melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi
roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi
roda dan keluarga.
b) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut
karena menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu
diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat
aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah,
peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan
mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya
karena tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai
metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa
18
membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat.
d) Gangguan intelektual Atau perkembangannya sulit
dipahami oleh orang pada umunya karena kurang mampu
untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri
dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka
mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan
lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang
mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit
kronis saat bencana adalah:
a) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu
hal yang paling penting adalah berkeliling antara orang-
orang untuk menemukan masalah kesehatan mereka
dengan cepat dan mencegah penyakit mereka
memburuk. Perawat harus mengetahui latar belakang
dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada di
tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses
pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan
pernapasan. Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat
terjadinya bencana, diperkirakan munculnya gejala
khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol
kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien
penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
b) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada
pasien untuk memastikan apakah mereka diperiksa
dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak
obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat
19
pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien
penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat
tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi
antara obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah
sakit.
c. Pasca Bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi
evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll.
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan
individuindividu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis.
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan
kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
penyandang cacat:
a) Kebutuhan rumah tangga. Air minum, susu bayi, sanitasi,
air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus), alat-
alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
b) Kebutuhan kesehatan Kebutuhan kesehatan umum – seperti
perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga
medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan.
c) Tempat ibadah sementara.
d) Keamanan wilayah.
e) Kebutuhan air.
f) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti
air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
20
2) Keperawatan bagi pasien diabetes:
a) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus
minum obat untuk menurunkan kandungan gula darah
(contoh: insulin, dll) atau tidak, dan identifikasi obat apa
yang dimiliki pasien tersebut.
b) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik
atau infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan
pada gejala infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari
penyakit diabetes)
c) Memahami situasi manajemen diri (self-management)
melalui kartu penyakit diabetes (catatan pribadi)
d) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat,
makanan yang tepat, dan memberikan pedoman mengenai
manajemen makanan.
e) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat.
21
D. Sumber Daya Yang Tersedia Dilingkungan Untuk Kebutuhan
Kelompok Beresiko
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka
pendek maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat
dalam penanganan rencana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa
saja yang tersedia di lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan menerima korban
bencana dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun
ketenagaan seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir,
tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb c. Adanya
symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh
individuindividu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur
evakuasi, lokasi pengungsian dll.
3. Adanya system support beberapa konseling dari ahli-ahli voluntir yang
khusus menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan
mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana pada kelompok
tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk
merawat mereka.
4. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non
pemerintah (NGO) yang membantu korban bencana terutama
kelompok-kelompok beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan
perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana ( tracking
centre), dll.
Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang
berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan
22
legawatdaruratan dan bencana pada kelompok-kelompok dengan
kebutuhan khusus dan beresik
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan
atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok
yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi
sosial yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat yang rentan
adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat.
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-
kelompok rentan diatas, petugaspetugas yang terlibat dalam perencanaan
dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-peralatan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan tersebut,
contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat,
alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-
kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi
hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah
penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang apat
diakses.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para
pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan
dalam makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat
bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.
24
DAFTAR PUSTAKA
pdfcoffee.com_makalah-perawatan-populasi-amp-klp-rentan-pdf-free.pdf
pdf-makalah-kel3-perawatan-bencana-pd-populasi-rentan_compress.pdf
https://www.scribd.com/document/418669838/Bencana-pada-Lansia
Perawatan Populasi Rentan | PDF (scribd.com)
25