LAPORAN PENDAHULUAN
DISUSUN OLEH:
PERI MATARAM
NIM. 020319634
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Nasofaring
Disusun Oleh:
Peri Mataram
NIM. 020319634
_________________________________
Etiologi
Daktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya KNF (Arlini, Muklis. 2020) yaitu:
1) Virus Epstein-Barr Di daerah-daerah yang endemik, EBV kerapkali berkaitan dengan kejadian
karsinoma. Virus ini merupakan family dari Herpes virus dan merupakan penyebab dari beberapa
penyakit keganasan seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, Karsinoma
Nasofaring (KNF) serta karsinoma mammae dan karsinoma gaster.5 Transmisi utama virus ini
melalui air liur (saliva), kemudian EBV memasuki sel-sel epitel orofaring dan melakukan replikasi
yang sifatnya menetap (persisten), tersembunyi (laten), dan sepanjang masa (long life).
2) Genetik merupakan salah satu faktor resiko dari KNF. Bila seseorang memiliki riwayat anggota
keluarga yang terkena KNF, maka akan meningkatkan risiko terkena KNF lebih besar pada
keturunan anggota keluarga setelahnya. Faktor yang berperan terhadap hal ini yaitu HLA (Human
Leukocyt Antigen). Pada literatur lainnya disebutkan bahwa kelainan genetik metabolisme enzim
seperti kelainan enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), sitokrom P450 2A6 (CYP2A6) dan tidak
adanya enzim glutathione S-transferase M1 (GSTM1) serta GSTT1 berkontribusi untuk terjadinya
KNF. Adanya reseptor immunoglobulin PIGR (Polymeric Immunoglobulin Receptor ) pada sel
epitel nasofaring dapat meningkatkan kejadian karsinoma nasofaring. PIGR merupakan reseptor
permukaan pada sel epitel nasofaring yang berfungsi menghantarkan Epstein Barr Virus kedalam
epitel nasofaring sehingga dapat meningkatkan kejadian karsinoma nasofaring. 3.) 3) Lingkungan
Faktor lingkungan seperti kebiasaan merokok, asap pada kayu bakar, infeksi saluran pernafasan
atas yang berulang, serta konsum
3) Lingkungan Faktor lingkungan seperti kebiasaan merokok, asap pada kayu bakar, infeksi saluran
pernafasan atas yang berulang, serta konsumsi makanan yang diawetkan seperti ikan asin, ikan/
daging asap, serta makanan berkaleng berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring
(KNF).7,14 Pada penelitian yang dilakukan oleh Amstrong dkk didapatkan hasil bahwa konsumsi
ikan asin dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya\
Karsinoma Nasofaring sebesar 2 kali dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi ikan asin
(OR: 2.52; CI: 95%; p value 0,001).15 Konsumsi ikan asin dilaporkan berkaitan dengan substansi
zat karsinogenik yang terdapat di dalamnya yaitu Nitrosamin. Nitrosamin merupakan suatu
molekul yang terdiri atas nitrogen dan oksigen. Nitrosamin dapat ditemukan dalam dua bentuk,
yaitu endogen yang berasal dari sintesis di dalam lambung dari prekursor yang berasal dari
makanan yang dicerna, sedangkan nitrosamin eksogen berasal dari makanan, rokok, emisi industry
dan bahan kosmetik yang mengandung nitrosamin itu sendiri. Proses keganasan dapat terjadi akibat
metabolisme nitrosamin yang diaktivasi oleh mekanisme oksidasi sehingga terjadi mutasi DNA.
Faktor risiko KNF lainnya adalah rokok yang di dalamnya terkandung lebih dari 4000 bahan
Klasifikasi TNM
Menurut AJCC edisi 7 2010, Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring, pembagian TNM adalah
sebagai berikut:
Nl = Metastatis ke kelenjar getah bening pada sisi yang sama, mobil, soliter dan berukuran
kurang/sama dengan 3 cm.
N2 = Metastatis pada satu kelenjar pada sisi yang sama dengan ukuran lebih dari 3 cm tetapi kurang
dari 6 cm, atau multiple dengan ukuran besar kurang dari 6 cm, atau bilateral/kontralateral dengan
ukuran terbesar kurang dari 6 cm.
Manifestasi klinis
Penyebab pasti kanker nasofaring (karsinoma nasofaring) masih belum diketahui. Namun, kondisi ini
diduga terkait dengan infeksi virus Epstein-Barr (EBV). EBV umumnya terdapat di dalam air liur.
Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang lain atau melalui benda yang
terkontaminasi.
Kanker nasofaring diduga muncul karena adanya infeksi EBV di dalam sel nasofaring penderitanya.
Akibatnya, sel yang telah terinfeksi virus ini mengalami pertumbuhan sel yang tidak normal.EBV
merupakan penyebab beberapa penyakit, seperti mononukleosis. Namun, pada kebanyakan kasus, EBV
tidak menyebabkan infeksi yang berkepanjangan. Hingga saat ini, kaitan EBV dengan kanker nasofaring
masih terus diteliti.Selain EBV, ada beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang
terkena kanker nasofaring, yaitu:
Memiliki riwayat gangguan telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), seperti rhinitis, otitis media, dan
polip hidung
Anatomi dan Fisiologi Nasofaring Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang
terletak di belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Terletak di
bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung.
Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan yang akhirnya ke paru
paru.Bagian atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilaros oksipital. Sebelah
anterior oleh koana dan pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra vertikalis, sebelah
inferior nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orificium tuba eustachius terletak pada dinding lateral dari
nasofaring, dibelakang ujung konka inferior. Pada bagian atas dan belakang dari orifisium tuba eustachius
terdapat penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius. Dibawah dari ujung posterior penonjolan
tersebut terdapat suatu lipatan yang kuat yaitu membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa
yang tidak terlalu menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di depan orifisium
eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago eustachius dan dinding posterior
dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan adenoid juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba.
Atap serta dinding posterior nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid. Nasofaring
sendiri diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis semu (ACS, 2013)
Patofisiologi
Patofisiologi karsinoma nasofaring diduga berhubungan erat dengan infeksi Epstein-Barr Virus (EBV).
Meskipun demikian, mekanisme pasti terjadinya masih belum diketahui secara pasti.
Infeksi EBV primer biasanya terjadi pada masa anak-anak awal yang bersifat asimptomatik dan dapat
menyebabkan virus persisten dalam jangka waktu lama. EBV memiliki ikatan kuat dengan limfosit
manusia dan pada epitelium saluran pernapasan atas. EBV pada awalnya akan menginfeksi limfosit B
yang tidak aktif dan menyebabkan infeksi laten. EBV kemudian berproliferasi dan bertumbuh pada sel B
tersebut. Secara in vitro, EBV akan tinggal di limfosit B dan melakukan transformasi sehingga
membentuk sel limfoblastoid, suatu proses terjadinya transformasi ke arah kanker.
Pathway
Komplikasi Kanker Nasofaring
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat kanker nasofaring dapat berbeda-beda pada setiap pasien. Jika
ukurannya makin besar, kanker nasofaring dapat menekan organ lain di dekatnya, seperti saraf,
Apabila kanker atau kelenjar getah bening yang terkena kanker menekan saraf, pasien dapat merasakan
nyeri menjalar yang sangat mengganggu. Kanker nasofaring juga bisa memicu penggumpalan darah di
Kanker nasofaring umumnya menyebar ke kelenjar getah bening di sekitar leher. Namun tidak menutup
kemungkinan, kanker nasofaring menyebar ke organ yang lebih jauh, seperti tulang, paru-paru, dan hati.
Radioterapi yang digunakan sebagai metode pengobatan kanker nasofaring juga dapat menimbulkan
Hipotiroidisme
Mulut kering
Hipoparatiroidisme
Gangguan pertumbuhan
Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Penegakkan diagnosis kanker nasofaring adalah biopsi nasofaring dengan bantuan nasoendoskopi sebagai
gold standar bukan operasi pada benjolan leher. Pemeriksaan penunjang seperti rontgen thoraks, USG
abdomen dan Bone Survey juga diperlukan untuk menentukan stadium kanker nasofaring.
B. Pemeriksaan radiologi
Jenis kanker ini diduga muncul karena kontaminasi virus bernama EBV dalam sel nasofaring. Alhasil, sel
yang sudah terkontaminasi menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal. Virus ini sendiri
sebenarnya jarang menyebabkan infeksi berkepanjangan, dan umumnya hanya menyebabkan penyakit,
seperti mononukleosis. Kaitan antara infeksi virus ini dengan kanker nasofaring masih diteliti.
Selain infeksi virus, ada beberapa kondisi yang disebut bisa meningkatkan risiko penyakit ini. Karsinoma
nasofaring disebut lebih rentan terjadi pada orang yang sudah berusia lanjut (lansia) di atas 50 tahun,
memiliki riwayat penyakit kanker nasofaring dalam keluarga, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol,
serta sering mengonsumsi makanan berpengawet. Ada beberapa gejala yang sering muncul sebagai tanda
penyakit ini, tetapi gejala yang khas adalah munculnya benjolan pada tenggorokan.
C. Pemeriksaan CT Scan
MRI atau CT Scan daerah kepala dan leher sampai dengan klavikula diperlukan untuk menilai ekstensi
CT Scan thoraks mungkin diperlukan apabila terdapat kecurigaan metastasis. Bone scan dapat dilakukan
Asuhan keperawatan
2. Faktor langsung
Pola konsumsi
Pola konsumsi yang tidak teratur dan tercukupi gizi pada pasien
gizi lainnya.
1. Pengkajian
a. Identitas
c. Keluhan Utama
pengkajian
rumah sakit
Data yang diperoleh dari pasien, apakah pasien mempunyai penyakit di masa lalu maupun sekarang
Data yang diperoleh dari pasien maupun keluarga pasien, apakah keluarga ada yang memiliki Riwayat
Analisis Data
1) Pola istrirahat/tidur
sakit.
dapat dikaji pada saat pasien sebelum sakit dan pada saat
Pengkajian keperawatan
nyenyak.
2) Pola eliminasi
konsumsi
- Waktu pemberian makanan: Rentang waktu yang diperlukapasien untuk dapat mengkonsumsi makanan
yang di berikan
maupun minuman
5) Data Psikososial
Diagnose Keperawatan
metabolisme.
2) Objektif
1) Subjektif
b) Kram/nyeri abdomen
2) Objektif
a) Bising usus hiperaktif
e) Sariawan
h) Diare
Luaran Utama :
4) Intervensi
Observasi
Terapeutik
makanan)
sesuai
Edukasi
Rencana keperawatan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis:
Damayanti, B S., Afiati., Hasan A A., & Hernowo B S. 2015. Imunoekspresi Bcl-2 sebagai Prediktor
Respons Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring yang Tidak Berdiferensiasi. Journal of Medicine
and Health Vol 1 (1): Hal 1-11
Hasibuan, S. 2011. Komplikasi Oral Pada Klien yang Menjalani Radioterapi Kanker Nasofaring Di RSUP H.
Adam Malik Medan. USU Institutional Repository
Cloria M. Bulechek, Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman, Cheryl M. Wagner. 2013. Nursing
Interventions Classification. Edisi Keenam, CV. Mecomedia.
FKUI. 2016 Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Dan Leher. Edisi Ketuju.
Herdman, T. Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi Dan Klasifikasi 2015-2016. Edisi Kesepuluh.
Jakarta : EGC
Imam Subekti, Ngesti W. Utami, Sugianto Hadi. 2017. Sistem Dokumen Proses Keperawatan. Penerbit
Universitas Muhammadiyah Malang.
R.I., Kemenkes 2016 Paduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. Komite Penanggulangan Kanker
Nasional
Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson. 2013 Nursing Outcomes
Classification. Edisi Kelima, CV. Mecomedia.
Suzanne C. Smeltzer Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi Kedelapan,
Jakarta : EGC.