Anda di halaman 1dari 16

A.

DEFINISI

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang

tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa dini

sulit untuk ditegakkan (Roezin, C. H.& Iskan, A. 2019). Kanker Nasofaring adalah

jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit

rongga mulut. Penyebab kanker nasofaring belum diketahui dengan pasti. Kanker

nasofaring juga dikaitkan dengan adanya virus epstein barr (EBV) (Kemenkes, 2016).

Hal ini kemudian dapat meluas di dalam atau keluar dari nasofaring ke dinding

lateral lain dan/ atau sekankerra posterosuperioris ke dasar tengkorak atau langit-

langit rongga mulut, rongga hidung atau orofaring. Ditemukan hubungan yang erat

antara kejadian KNF dengan ditemukannya antibodi terhadap EBV dan konsumsi

ikan asin yang merupakan makanan yang tersering dimakan di Cina Selatan dan

Indonesia. Nitrosamin yang terdapat di dalam ikan asin diketahui sebagai media yang

baik untuk tumbuhnya EBV.

B. ETIOLOGI

Kanker nasofaring disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

1. Epstein-Barr virus (EBV) Epstein-Barr Virus (EBV)

Adalah virus herpes yang dapat menyerang semua organ tubuh manusia,

virus ini menginfeksi 90% populasi orang dewasa di dunia. Sebagian besar

sampel pada penderita kanker nasofaring terdeteksi adanya EBV terutama pada

tipe undifferential. International Agency for Research on Kankerncer (IARC)

mengkategorikan EBV sebagai kelompok karsinogenik karena keterkaitannya


dengan kanker nasofaring. pada penelitian in vitro didapatkan bahwa infeksi EBV

yang menetap pada sel epitel yang mengakibatkan sel epitel menjadi rentan

terhadap paparan zat karsinogenik (Sudiono, Hassan., 2013).

2. Life Style

Life style (gaya hidup) yang tidak sehat juga menjadi salah satu faktor

pencetus kejadian kanker nasofaring. Sebagai contoh merokok atau mengonsumsi

tembakau, sejak tahun 1950 hingga saat ini dinyatakan bahwa rokok menjadi

salah satu penyebab penyakit kanker. Merokok mengakibatkan kematian dengan

angka kejadian 4 sampai 5 juta pertahun dan akan meningkat menjadi 10 juta

pertahun pada 2030. Tembakau atau rokok memiliki lebih dari 4000 zat

karsinogenik, salah satunya adalah nitrosamin yang meningkatkan faktor risiko

terjadinya kanker nasofaring (Xue, dkk., 2013).

3. Pajanan Pekerjaan

Pajanan pekerjaan seperti debu, asap, atau bahan kimia lain dapat

meningkatkan risiko kanker nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Diperkuat dengan

penelitian yang dilakukan pada tikus, bahwa pajanan pekerjaan formaldehide

meningkatkan risiko kanker nasofaring 2 samai 4 kali. Formaldehide

menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, berkurangnya kemampuan pembersihan

mukosiliar, dan perubahan pada sel epitel karena tertumpuknya debu, asap, dan

pelarut serta pengawet kayu (Ariwibowo, 2013).

4. Makanan

Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker

nasofaring karena kandungan nitrosiamin. Nitrosiamin merupakan suatu molekul


yang terdiri dari nitrogen dan oksigen. Nitrosiamin dibagi menjadi 2, yaitu

nitrosiamin endogen dan eksogen. Nitrosiamin endogen berasal dari berbagai

makanan yang di cerna, sedangkan nitrosiamin eksogen berasal dari bahan

makanan, kosmetik, limbah industri, rokok (tembakau) yang mengandung bahan

nitrosiamin. Ikan asin juga mengandung bakteri mutagen dan komponen yang

dapat mengaktifkan Epstein-Barr virus. Apabila dikonsumsi dalam jangka waktu

lama dan terus-menerus akan meningkatkan risiko kanker nasofaring.

5. Genetik

Genetik juga tidak kalah berpengaruh terhadap risiko terjadinya kanker

nasofaring. Human leucocyt antigen (HLA) menjadi salah satu faktor yang

membuat genetik berisiko terhadap kanker nasofaring. Riwayat keluarga dengan

kaner nasofaring membuat peningkatan risiko 2 sampai 4 kali. Selain itu, kelainan

genetik juga dapat menjadi risiko terjadinya kanker nasofaring. reseptor

immunoglobulin PIGR (Polymeric Immunoglobulin Receptor) pada sel epitel

dapat menjadi penghantar masuknya Epstein-Barr virus ke nasofaring (Rahman,

Budiman, dan Subroto., 2015).

6. Riwayat infeksi di area nasofaring

Riwayat infeksi di area nasofaring memperlihatkan adanya proses menahun

yang berpotensi berubah menjadi kanker sel epitel nasofaring. Berdasarkan hasil

penkankerrian dari beberapa sumber tidak didapatkan data spesifik yang

menyebutkan bahwa infeksi kronis nasofaringitis dapat menyebabkan kanker

nasofaring, namun sekankerra patologis umum jelas dapat diketahui bahwa


infeksi yang kronis memainkan peranan yang penting pada karsinogenis (Prasetyo

et al., 2013).

7. Jenis Kelamin

Angka Insiden kanker nasofaring pada populasi pria dua sampai tiga kali

lipat dibandingkan dengan wanita. Beberapa sumber menyebutkan bahwa jenis

kelamin dapat mempengaruhi kanker nasofaring karena wanita memiliki angka

kesintasan yang lebih baik. Namun, terdapat sebuah penelitian yang

menghubungkan efek proteksi dari esterogen sebagai penyebab angka insiden

kanker nasofaring lebih rendah pada wanita (Faisal, 2016).

C. TANDA DAN GEJALA

Penelitian yang dilakukan Wijaya dan Soeseno (2017) tanda dan gejala yang

sering muncul pada penderita kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 (empat),

yaitu:

1. Leher

Lebih dari 50% pasien kanker nasofaring datang ke tenaga medis dengan

keluhan benjolan di leher. Benjolan ini tidak menimbulkan nyeri, dan terjadi

akibat pembesaran kelenjar getah bening yang terletak di bagian atas leher.

2. Hidung

Gejala yang dapat muncul pada telinga, antara lain hidung tersumbat,

epistaksis (dalam bahasa awam sering disebut dengan mimisan), dan post nasal

drip berkankermpur dengan darah.


3. Telinga

Gejala yang muncul pada telinga, antara lain gangguan pendengaran,

otalgia (nyeri pada telinga dengan sensasi terbakar), otore (kankeriran yang keluar

dari telinga dapat berupa nanah atau darah berkankermbur dengan nanah), tinnitus

(telinga berdenging namun dengan intensitas yang sering dan sudah berlangsung

lama).

4. Saraf kranial

Kanker nasofaring melibatkan kelainan pada saraf-saraf kranial. Apabila

tumor melebar ke arah superior akan melibatkan saraf kranial III sampai VI, dan

bila tumor melebar kearah lateral akan melibatkan saraf kranial IX sampai XII.

Jadi, saraf kranial yang sering terlibat dalam penyakit kanker nasofaring adalah

III, VI, IX, dan XII.

Gejala lain dari kanker nasofaring dapat beruba gejala umum pada

penderita kanker, antara lain anoreksia dan penurunan berat badan yang tidak

normal. Namun, gejala awal pada kanker nasofaring sering tidak spesifik. Hal

tersebut yang menyebabkan penderita kanker nasofaring terlambat dalam

mengobati penyakitnya karena datang ke tenaga medis sudah pada stadium lanjut

dengan benjolan di leher (Rahman, 2014).

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi karsinoma nasofaring diduga berhubungan erat dengan infeksi

Epstein-Barr Virus (EBV). Meskipun demikian, mekanisme pasti terjadinya masih

belum diketahui secara pasti. Infeksi EBV primer biasanya terjadi pada masa anak-

anak awal yang bersifat asimptomatik dan dapat menyebabkan virus persisten dalam
jangka waktu lama. EBV memiliki ikatan kuat dengan limfosit manusia dan pada

epitelium saluran pernapasan atas. EBV pada awalnya akan menginfeksi limfosit B

yang tidak aktif dan menyebabkan infeksi laten. EBV kemudian berproliferasi dan

bertumbuh pada sel B tersebut. Secara in vitro, EBV akan tinggal di limfosit B dan

melakukan transformasi sehingga membentuk sel limfoblastoid, suatu proses

terjadinya transformasi ke arah kanker. Infeksi EBV laten dipercayai terlibat dalam

tumorgenesis. Pada sel-sel yang terinfeksi EBV terdapat ekspresi gen EBV, seperti

EBER, EBNA1, LMP1, LMP2, dan EBV-encoded miRNAs yang terlibat dalam

berkembangnya tumorgenesis. Infeksi laten dari EBV dapat menyebabkan perubahan

epigenetik pada genom sel host dan menyebabkan berkembangnya tumor. Selain itu,

terdapat gen lisis EBV, seperti BZLF1, yang bersifat karsinogenesis. Ekspresi gen

lisis EBV ini dapat menyebabkan instabilitas genomik pada sel yang terinfeksi. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom, yang berkontribusi pada

perkembangan tumor.
E. PATHWEY

pembelahan sel tidak

terkonttrol

Kankerrcinoma nasofaring

Kemoterapi

Merusaksel mukosa
Merusak sel-selepitel kulit
system pencernaan

kerusakan pada
kulit kepala

Mual/muntah ketidakcukupan diet


alopesia

ketidak mampuan menelan Resiko


harga diri rendah konstipasi

Deficit nutrisi
F. KLASIFIKASI

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh World Health

Organization (WHO) tahun 2005 dibagi atas 3 tipe, yaitu:

1. Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Kankerrcinoma). Merupakan karsinoma invasif dengan gambaran diferensiasi

skuamosa yang jelas dengan mikroskop kankerhaya. Tampak jembatan

interseluler atau keratinisasi pada sebagian besar tumor. Tingkat diferensiasi

digolongkan menjadi: diferensiasi baik, diferensiasi moderat, dan diferensiasi

buruk.

2. Karsinoma Non-Keratinisasi (Non-Keratinizing Kankerrcinoma). Tipe ini dibagi

menjadi dua subtipe yaitu terdapat diferensiasi (diffierentiated) dantidak terdapat

diferensiasi (undifferentiated). Apabila dijumpai kedua subtipe dalam satu

spesimen maka dapat diklarifikasikan sesuai dengan gambaran subtipe yang

mendominasi, atau dapat disebut sebagai karsinoma non-keratinisasi dengan

kedua subtipe.

3. Karsinoma sel skuamosa basaloid (Basaloid Squamous Cell Kankerrcinoma) Tipe

ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel skuamosa. Sel-sel

basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan tidak dijumpai anak inti

dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Endoskopi

Pemeriksaan dengan endoskopi akan memberikan gambaran terkait

metastasis tumor dan keterlibatan mukosa. Pemriksaan ini juga akan sangat

membantu pada saat dilakukan biopsi. Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan

dengan anastesi lokal. Namun, pemeriksaan endoskopi tidak dapat melihat

metastasis tumor ke arah dalam dan penyebaran tumor pada dasar kranial

(Wijaya, Soeseno., 2017)

2. Pencitraan Cross-Sectional.

Kemajuan teknologi membuat berbagai alat pemeriksaan penunjang

menjadi semakin maju dan modern, salah satunya adalah pencitraan cross-

sectional. Pencitraan cross-sectional dapat melakukan pemeriksaan yang tidak

bisa dilakukan oleh beberapa pemeriksaan klinis seperti endoskopi. Pada

pemeriksaan ini dapat memperlihatkan metastasis tumor primer dan regional

(Wihartato 2016).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan dengan MRI dapat memperlihatkan bagian lunak superfisial

dan regional dari kanker nasofaring, selain itu juga dapat membedakan antara

tumor dengan jaringan normal pada nasofaring (Rahman, 2014).

4. Computed Tomography (CT-Skankern)

CT-Skankern juga sangat penting digunakan untuk melihat adanya erosi

tulang akibat kanker nasofaring dan juga dapat digunakan untuk melihat perluasan

(metastasis) tumor ke parafaring (Rahman, 2014). Beberapa pemeriksaan diatas


dapat digunakan sebagai penunjang untuk menegakkan diagnosa kanker

nasofaring.

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Penelitian yang dilakukan Rahman (2014), terdapat beberapa

penatalaksanaan untuk kanker nasofaring, antara lain:

1. Radioterapi

Radioterapi merupakan salah satu penatalaksanaan kanker nasofaring yang

masih terbatas lokoregional karena kanker nasofaring bersifat radiosensitif.

Namun, sudah terdapat kemajuan dibidang teknologi kesehatan yang penting bagi

radioterapi yaitu IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy). Kelebihan dari

IMRT adalah dapat memberikan radioterapi conformal pada target yang tidak

beraturan (irregular).

2. Kombinasi

Kemoradiasi Kemoradisi konkuren dapat menjadi terapi pilihan pada

kanker nasofaring lokoregional yang advance. Kemoradiasi ini dapat dibedakan

menjadi induction/neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama), dan adjuvan

(sesudah).

3. Nasofaringektomi

Terapi ini menjadi pilihan terakhir apabila berbagai terapi sudah tidak

dapat dilakukan. Nasofaringektomi diindikasikan pada pasien dengan tumor

persisten atau rekuren yang sudah terlalu besar dan sudah bermetastasis ke

parafari
I.

1. Indentitas

a. Biodata klien : nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, suku, agama,

pendidikan, pekerjaan, alamat.

b. Biodata penanggung jawab : nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin,

suku, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien.

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama :

Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan,

hidung terasa tersumbat, telinga seperti tidak bisa mendengar, penglihatan

berkunang-kunang, badan terasa lemas,serta BB turun drastic dalam waktu

singkat.

b. Riwayat kesehatan sekarang

P : nyeri karena ganggun nasofaring

Q : nyeri tak terbayangkan dan tak dapat di ungkapkan, terlihat membesar

pada bagian leher dan terasa banyak gngguan pada hidung, teling dan

mata, nyeri dirasakan setiap waktu.

R : keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan menyebar

S : keluhan yang dirasakan menganggu aktifitas, skala nyeri 1o.

T : nyeri hilang timbul dan lebih seringsat bernafas dan menelan, keluhan

muncul secara bertahap.

c. Riwayat kesehatan masa lalu

Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang kronis nasofaring


d. Riwayat kesehatan keluarga

Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada penderia penyakit turunan

e. Riwayat kesehatan lingkunngan

Terbiasa terhadap lingkunngan kersinogen.

3. Pola kesehatan fungsional

a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan

Pada kllien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup

sehat krena kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga menimbulkan

persepsi negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi

prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya

penjelasan yang benar dan mudah di mengerti oleh klien dan keluarga.

b. Pola meabolisme nutrisi

Akibat adanya pembengkakan pada saluran pernafasan atas sehingga

menimbulkan keluhan nyeri pada leher, susah menelan, berat badan menurun

dan lemas. Keadaan tetrsebut dapat mengakibatkan tetrjadinyaganguaan

nutrisi dan metabolism yang dapat memepengaruhi status kesehatan penderita.

c. Pola eliminasi

Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume kencing

berkurang, susah kencing. pada eliminasiterdapat gangguan klien buang air

besar tidak teratur.

d. Pola aktivitas

Adanya ca nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan

aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah dan


letih. Klien biasanya bekerja di luar rumah, tapi saat ini klien hanya bias

beristirahat di rumah sakit.

e. Pola stirahat-tidur

Adanya ca nasofaring membuat klien mengalami adanya perubhan pada

popla tidur. Klien kurang tidur baik pada waktu siang atauapun malam hari.

Klien tampak

f. Pola kognetif-persepsi

Klien mampu menenrima pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Klien

mampu melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.

g. Pola persepsi diri- konsep diri

Adanya oerubahan fungsi dan struktur tutbuh akan menyebabkan

penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan,

banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami

kecemasan dan gangguan peran pada keluarga.

h. Pola hubungan-peran

Ca nasofaring yang suka sembuh menyebabkan penderita malu dan

menarik diri.

i. Pola seksual-reproduksi

Angiopati dapat terjadi pada system pembuluh darah di organ reproduksi

sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas mampu

ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.

j. Pola penanganan masalah-stres-toleransi


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik perasaan tidak

berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negative

berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung, kehilangan control dan

menarik diridapat meneyebabkan penderita tidak mampu menggunakan

mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.

k. Pola keyakinan/nilai-nilai

Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta ca

nasofaring tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi

mempengaruhi ibadah penderita

4. Pemeriksaan diagnostika

a. Pemeriksaan labolaturium

1) Hb : 11,9g/dl

2) Leukosit : 3000 sel/mm

3) Trombosit : 556000/mm

4) Ht : 35,4%
5) Eritrosit : 4,55x106/mm
6) Led : 10
b. Pemeriksaan diagnostiik
1) Otoskopi : melihat liang telinga, membrane timpani
2) Nasofaringoskopi : ada massa di hidung atau nasofaring
3) Rinoskopi anterior : pada tumor endofolik tak jelas kelainan di rongga
hidung mungkin banyak secret.
4) Rinoskopi posterior : pada tumor endofolik tak terlihat massa, mukosa
nasofaring tampak lebih menonjol, tak rata, dan puskularisasi meningkat.
5) Biopsi multiple
6) Radiologi : thorax PA, foto tengkorak, CT Scan
7) Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui peluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau inflitrasi kesaraf
otak, manifestasitergantung dari saraf yang di kena.
5. Rencana keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Nyeri akut kategoris : Control nyeri Menejemen nyeroi
psikologis Definisi : Definisi:
Subkategori : nyeri dan Tindakan untuk Mengidentifikasi dan
kenyamanan meredakan mengelola
Definisi : pengalaman pengalaman sensorik pengalaman sensorik
sensorik atau atau emosional yang atau emosional yang
emosionaalyang menyenangkan akibat berkaitan dengan
berkaitan dengan kerusakan jaringan. kerusakan jaringan
kerusakan jaringan Setelah di lakukan atau fungsional
actual atau fungsional tindakan keperawatan, dengan onset
dengan onset mendadak control nyeri dengan mendadak atau
atau lambat dan kriteria hasil : lambat dan
berintesitas ringan 1. Melaporkan nyeri berintesitas ringan
hingga berat yang terkontrol (3) hingga berat dan
berlangsung kurang dari 2. Kemampuan konstan
3 bulan. mengenali onset Tindakan :
Penyebab: nyeri (3) 1. Identifikasi
Angen pecendera 3. Kemampuan lokasi,
fisiologis (missal, mengenali karakteristik,
inflamasi, iskemia, penyebab nyeri (3) durasi, frekuensi,
neoplasma) 4. Kemampuan kualitas,
Tanda dan gejala : menggunakan intensitas nyeri.
1. Mengeluh nyeri teknik non- 2. Identifikasi skala
2. Tampak meringis farmakologi(3) nyeri
3. Bersikap protektif 5. Keluhan nyeri (3) 3. Identifikasi
(missal. Waspada 6. Penggunaan factor
posisi menghindari analgesic (3) memperberat
nyeri) Keterangan : nyeri
4. Gelisah 1= menurun 4. Jelaskan
5. Frekunsi nadi 2= cuckup penyebab,
meningkat menurun periode, dan
6. Sulit tidur 3= sedang pemicu nyeri
Kondisi klinik tarkait : 4= cukup 5. Jelaskan strategi
Kondisi pembedahan meningkat meredakan nyeri
5= meningkat 6. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
7. Ajarkan teknik
nonfarmakologi

Resiko infeksi Control resiko : Pencegahan infeksi


Kategori : lingkungan Definisi : Definisi:
Subkategori : Kemampuan untuk Mengidentifikasi dari
Keamanan dan proteksi mengerti mencegah menurunkan resiko
Definisi : mengeliminasi atau terserang organisme
Beresiko mengalami mengurangi ancaman petogenik
peningkatan terserah kesehatan yang dapat Tindakan :

Anda mungkin juga menyukai