OLEH
KELOMPOK 3
1
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul "Perawatan pada
Kelompok Rentan" pada mata kuliah Manajemen Bencana di Politeknik
Kesehatan Denpasar tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN
2.3.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
7
2.3.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan
menyusui 8
2.3.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia 10
2.3.4 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
kecacatan dan penyakit kronik 13
2.4 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko 18
3
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 20
3.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,
ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati
rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas
misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga
akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang
dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-
anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari
dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan
lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan
merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi
suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan
sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena
kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada
situasi rentan yang setiap saat dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar
dalam penghidupan masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
5
dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Dalam konteks ini, kita akan
membicarakan lebih rinci mengenai perawatan kelompok rentan pra, saat dan pasca
terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul ‘Perawatan Pada
Kelompok Rentan’.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
1.3.2 Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
1.3.3 Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan
1.4 Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu
masyarakat maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada
kelompok rentan karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari sebagai dan dalam mitigasi bencana
6
BAB 2
PEMBAHASAN
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1)
mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini
lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang
lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah
dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang
pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
2.2.2 Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, &
Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak
terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil,
menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik
dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction,
and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak
9
bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon
di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah
terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses mereka
terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah, 2009
dikutip dalam Indriyani, 2014).
2.2.3 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et
al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri
sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana alam
itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
2.2.4 Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan
di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya
tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di bidang
kesehatan (Klynman et al., 2007).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota
pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh
korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran
di California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran tidak
memahani level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang mereka
fahami (Powers & Daily, 2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat
rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
10
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan
intervensi penanganan bencana (Klynman et al., 2007).
2.5.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
kecacatan dan penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang
dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di
tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai
kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur
dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah
berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun manajemen
penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di
pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
11
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang
yang memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang
disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit
kronis seperti diabetes mellitus dan gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi
dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya),
alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD
sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat
yakni:
1) Bantuan evakuasi
12
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka
informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan
kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone
yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag
dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan
menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu
bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek
keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan
bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu
menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau
genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan
tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi,
ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut
13
lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan
bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat
mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan lawan
bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga
gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana
adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang
paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk
menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat dan
mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui
latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang
berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan,
sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan
jantung, ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang
kontrol kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien
penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar
peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat
dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan
didistribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi
pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut
14
tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut
dan obat yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara,
alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat
pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum
obat untuk menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll)
atau tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
15
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau
infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala
infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu
penyakit diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan
yang tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen
makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan
aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen
karena takut peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi
jika pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara
panas/dingin, dan debu)
2.6 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok –
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
16
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk
pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien
dengan penyakit kronis, dsb
c. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
d. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.
17
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/
sekolah, dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas
generasi misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko
isolasi social dan depresi.
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu
dengan keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh
mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit
kronis dan infeksi.
18
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak,
perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat
dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-
peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan
tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang
cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan kelompok-
kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi
hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah
penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat
diakses.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para
pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam
makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat
untuk meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.
19
Daftar Pustaka
20
Morrow, B. H. (1999). Identifying and mapping community vulnerability.
Disasters, 23(1), 1-18.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, hal. 21.
Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for Chemical,
Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New
York, NY: Springer Publishing Company, LLC.
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN).
2009. ICN Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva,
Switzerland: ICN.
21