Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan adanya
kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi
beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang
mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia Pada
dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan
adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein
disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/ pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : mudah
terkena penyakit dan, peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak
sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu,
kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai
kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

B. Identifikasi Kelompok Beresiko


Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun
manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat
bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat yang
merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak di dunia dan salah satu petugas
kesehatan yang berada di lini terdepan saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2010)
Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat
bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery. Terdapat individu
atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih rentan terhadap efek
lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk
mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok ini diantaranya:
anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui, lansia, individu-individu yang
menderita penyakit kronis dan kecacatan. Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko
melalui pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan
tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat (Morrow,
1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) & International
Council of Nursing (ICN), 2009).
1. Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu vital
yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-
intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar
internasional perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase
penanganan bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007). Studi kasus bencana alam
yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola kematian akibat bencana
dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini
menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko
karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000;
Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Perempuan menjadi kelompok rentan dalam bencana karena keterbatasan fisik
sehingga kesulitan menyelamatkan diri dalam situasi darurat bencana, memerlukan
pemulihan yang lebih lama dan dan menghadami masa yang lebih sulit paska bencana
dari pada laki-laki. Dampak bencana stunami tahun 2004 di Srilanka diketahui jumlah
kematian perempuan dua kali lebih besar daripada laki-laki. Tenaga kesehatan dapat
melakukan tindakan saat Pra-bencana yaitu melibatkan perempuan dalam penyusunan
perencanaan penanganan bencana (disaster plan), (Risnawati, dkk 2021)
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction, and
Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana
yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon di Bangladesh
tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan
karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke
tempat perlindungan (Fatimah, 2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).

Pengurangan risiko bencana pada perempuan dapat diupayakan dengan melibatkan peran
perempuan dalam strategi pengurangan risiko bencana, hal ini dapat dilakukan melalui
peningkatan (Hastuti, 2016) :
1) Kesadaran perempuan dalam memahami situasi lingkungan dan ancaman bahaya
2) Pemahaman tentang kerentanan dan kemampuan untuk mengukur kapasitas yang
dimiliki perempuan.
3) Kemampuan untuk menilai risiko yang dihati perempuan sebagai individu, anggota
keluarga dan masyarakat.
4) Kemampuan untuk merencanakan dan melakukan tindakan untuk mengurangi risiko
yang dimiliki baik melalui peningkatan kapasitas dan mengurangi kerentanan.
5) Kemampuan perempuan untuk memantau, mengevaluasi dan menjamin
keberlangsungan upaya pengurangan risiko sehingga dampak bencana dapat dikurangi
atau dicegah.
Penguatan peran perempuan sangat diperlukan ketika menghadapi bencana, mulai
dari penguatan sosial, ekonomi, dan budaya. Peran perempuan perempuan dalam
mitigasi bencana seharusnya ditingkatkan sehingga dapat menekan terjadinya kerentanan
yang ditimbulkan akibat dari bencana seperti kelaparan, keterbatasan akses, kehilangan
tempat tinggal, masalah kesehatan. (Hastuti, 2016). Peran perempuan dapat difokuskan
pada ketahanan pangan saat bencana, peningkatan pendapatan rumah tangga sehingga
tidak jatuh pada kondisi yang lebih miskin, dan mitigasi dampak bencana . (Siregar and
Wibowo 2019)

2. Wanita Hamil dan Menyusui


Ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan dalam penanggulangan bencana
alasannya karena ada dua kehidupan dan adanya perubahan fisiologis. Perawat harus
ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya.
Sehingga, meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan.
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan,
ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan
sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat
bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013). Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami
keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya
sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan,
yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang
lebih memadai.
Pra bencana :
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana.
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana

Saat bencana:

1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko kerentanan


bumil dan busui, misalnya:
 Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
 Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan busui.

Pasca bencana

1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban
bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil
dan menyusui.
3) Melibatkan petugas- petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.

C. Dampak bencana pada kelompok rentan

1. Dampak Bencana pada Ibu Hamil dan Bayi Kejadian bencana akan berdampak terhadap
stabilitas tatanan masyarakat. Kelompok masyarakat rentan (vulnerability) harus
mendapatkan prioritas. Salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang harus
mendapatkan prioritas pada saat bencana adalah ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi.
Penelitian di beberapa negara yang pernah mengalami bencana, menunjukan adanya
perubahan pada kelompok ini selama kejadian bencana. Bencana berdampak terhadap
kejadian BBLR (berat bayi lahir rendah) pada ibu-ibu melahirkan. Beberapa hal yang
berkaitan dengan dampak bencana pada ibu hamil, melahirkan dan bayi. Dampak
bencana yang sering terjadi adalah abortus dan lahir prematur disebabkan oleh ibu mudah
mengalami stres, baik karena perubahan hormon maupun karena tekanan lingkungan atau
stres di sekitarnya. Efek dari stres ini diteliti dengan melakukan riset terhadap ibu hamil
di antara korban gempa bumi.

Melihat dampak bencana yang dapat terjadi, ibu hamil dan bayi perlu dibekali
pengetahuan dan ketrampilan menghadapi bencana. Beberapa hal yang dapat dilakukan
antara lain:

1) Membekali ibu hamil pengetahuan mengenai umur kehamilan, gambaran proses


kelahiran, ASI eksklusif dan MPASI
2) Melibatkan ibu hamil dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana, misalnya dalam
simulasi bencana.
3) Menyiapkan tenaga kesehatan dan relawan yang trampil menangani kegawat
daruratan pada ibu hamil dan bayi melalui pelatihan atau workshop.
4) Menyiapkan stok obat khusus untuk ibu hamil dalam logistik bencana seperti tablet
Fe dan obat hormonal untuk menstimulasi produksi ASI.

Penelitian sebelumnya telah mengamati efek stres pada wanita hamil, namun yang
berikut ini memfokuskan pada dampak stres pada waktu kelahiran bayi serta
dampaknya pada kelahiran bayi perempuan atau laki-laki. Hasilnya, ibu hamil yang
tinggal di area pusat gempa, dan mengalami gempa bumi terburuk pada masa kehamilan
dua dan tiga bulan, memiliki risiko melahirkan prematur yang lebih besar dari
kelompok lainnya. Pada ibu hamil yang terekspos bencana alam di bulan ketiga
kehamilan, peluang ini meningkat hingga 3,4%.
Tidak hanya itu, stres juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
keguguran. Selain itu, saat bencana ibu hamil bisa saja mengalami benturan dan luka
yang me- ngakibatkan perdarahan atau pelepasan dini pada plasenta dan rupture uteri.
Keadaan ini dapat mengakibatkan gawat janin dan mengancam kehidupan ibu dan janin.
Itulah sebabnya ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan dalam penang-gulangan
bencana alasannya karena di situ ada dua kehidupan. (Setyaningrum, et al. 2022)
Sumber:

Risnawati, dkk. Keperawatan Bencana Dan Gawat Darurat. Jawa Barat: Media Sains Indonesia,
2021.
Setyaningrum, Niken, Andri Setyorini, Suryati, and Dian Nur Adkhana sari. Manajemen Bencana
Dalam Keperawatan. Sumatra Barat: Yayasan Pendidikan Cendekia Muslim, 2022.
Siregar, Juli Sapitri, and Adik Wibowo. "UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA PADA KELOMPOK
RENTAN." Fakultas Kesehatan, Universitas Indonesia, 2019: Vol.10 Hal. 30-38.

Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku
Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Disajikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003.

Anda mungkin juga menyukai