Anda di halaman 1dari 11

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia. Lebih dari  17.

504
pulau besar dan kecil tersebar diseluruh kepulauan nusantara, dari Sabang sampai  Merauke,
dari Miana sampai ke Pulau Rote. Kekayaan  alam yang bersumber pada hasil bumi dan
budaya masyarakat nusantara melimpah diseluruh gugusan kepulauan tersebut. Tanah yang
subur, musim yang variatif, dan dukungan sumber daya lingkungan beragam  menjadikan
wilayah nusantara sebagai anugrah yang tidak terkira, sehingga muncul adagium “Nusantara
sebagai tanah surga dunia, karena dikelilingi oleh lautan (kolam susu),  tongkat, batu dan
kayupun jadi tanaman. Di sisi lain, patut dicermati, selain menjanjikan surga bagi
penghuninya, Wilayah kepulauan nusantara yang kaya dan indah ini  memberikan ancaman
bencana yang  nyata dan besar.  Letak geografis dan demografis yang strategis, juga
memberikan kondisi rawan bancana, baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana
yang disebabkan ulah manusia (manmade disaster). Kondisi dan letak geografis Indonesia 
yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yang relative tidak stabil, terdapat
sekitar 130 gunung api aktif yang tersebar diseluruh Wilayah Kepulauan Indonesia, lebih dari
5000 sungai besar dan kecil yang 30% diantaranya melewati kawasan padat penduduk
ditambah dengan heterogenitas budaya, etnik, kodisi  sosial kultural masyarakat Indonesia
merupakan faktor alamiah yang tidak bisa dihindari, menempatkan Indonesia sebagai area
yang rawan bencana alam. Rentetan bencana  alam  besar dalam skala nasional dan
internasioanal yang  terjadi di Indonesia pada rentang waktu 2004– 2014 telah mengokohkan
Indonesia sebagai supermarket bencana yang mengancam masyarakat Indonesia sepanjang
tahun.
Bencana tidak dapat dicegah, karena bencana bisa datang kapan saja, dimanapun dan 
kepada siapapun, bahkan  tidak terdeteksi  dan menelan  banyak korban jiwa. Masyarakat
perlu memperoleh informasi yang utuh tentang permasalahan bencana, agar  korban dapat
diminimalkan. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa masyarakat perlu tahu ancaman
apa saja yang terjadi  akibat bencana, termasuk mengetahui siapa saja  kelompok yang paling
rentan (prioritas untuk ditolong). Berbagai kelompok yang ada di masyarakat, wanita dan ibu
hamil merupakan salah satu kelompok yang dianggap paling rentan menjadi korban  bencana
sekaligus menjadi kelompok prioritas  untuk ditolong. Pengalaman membuktikan, hampir
pada setiap kejadian bencana, korban wanita dan ibu hamil selalu menunjukan angka yang
tinggi dibandingkan kelompok lain, belum lagi kerugian psikologis akibat trauma
berkepanjangan yang menyebabkan kualitas pribadi anak-anak terdegradasi pada level yang
sangat memprihatinkan.
Wanita hamil dan melahirkan menjadi prioritas  untuk diselamatkan saat bencana
karena membantu seorang wanita hamil berarti juga menyelamatkan bayi yang
dikandungnya.  Dengan kata lain, meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dalam
siklus bencana dapat melindungi kehidupan janinnya dalam berbagai hal, ini berarti
menyelamatkan generasi bangsa dari kualitas yang rendah,  atau menjaganya agar tetap.
Persiapan persalinan dan kelahiran harus dilakukan dengan perubahan drastis untuk keadaan
darurat,  terutama  jika seorang wanita terpisah dari  keluarga, sarana dan fasilitas pelayanan
kesehatan.

Masalah menyusui  harus  dipertimbangkan dalam perencanaan bencana bagi wanita


hamil, bersama dengan  kejadian  kekurangan pangan dan wabah penyakit  yang disebabkan
oleh kepadatan lingkungan selama dipengungsian. Dalam bencana peristiwa Badai Katrina
(2005) di Ohio Amerika Serikat, menunjukkan bahwa seorang bidan, perawat
maternitas/anak perlu lebih sadar tentang manajemen bencana dengan memberdayakan
wanita dan ibu hamil  untuk meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana menjaga dan
menyelamatkan mereka  dan memenuhi kebutuhan khusus pada saat krisis akibat bencana.

2.1 Analisa situasi


Kenyataan menunjukkan bahwa bencana tidak dipengaruhi jenis kelamin dalam hal
biologis, sosial, budaya, dan perbedaan kesehatan reproduksi. Beberapa riset menjelaskan
bahwa aspek sosial mempengaruhi perbedaan laki-laki dan wanita. Sebagai contoh, di tahun
1993 gempa bumi di Maharashtra India, lebih banyak perempuan dan anak-anak yang
meninggal dibandingkan laki-laki karena perempuan berada di rumah, sedangkan laki-laki
yang di ladang. Sebaliknya, peran sosial menentukan bahwa laki-laki lebih dipengaruhi
dibandingkan perempuan, contohnya selama bencana Chernobyl tahun 1985. Para prajurit
dan warga sipil laki-laki diprioritaskan ditangani dari terkena radiasi.

Budaya telah membatasi perempuan dalam mencari bantuan setelah bencana,


terutama di daerah-daerah tertentu yang melarang berinteraksi dengan laki-laki. Norma sosial
telah menunjukkan bahwa perempuan menanggung lebih dari tanggung jawab mengasuh
anak-anak, orang tua, dan orang sakit atau terluka. Selain itu, faktor reproduksi jelas
mempengaruhi perempuan, misalnya pasca bencana, penelitian menunjukkan bahwa wanita
memiliki angka kejadian abortus yang meningkat, kelahiran prematur, dan gangguan
pertumbuhan intrauterin.

Ketika bencana terjadi dinegara-negara yang miskin sumber daya, wanita seringkali
yang paling terpengaruh.Sebagian besar dari mereka adalah orang miskin, kurang gizi, dan
berpendidikan rendah. Lebih dari 75% pengungsi adalah wanita. Fungsi keluarga terhadap
masalah perempuan pada fase prabencanadiperbesar dandiperluas.  Pada fase pasca bencana,
mereka menanggung tanggung jawab merawat anak-anak, orang tua, korban luka, dansakit.
Selain itu perempuan menjadi lebih rentan terhadap masalah kesehatan reproduktif dan
seksual.Perempuanmenjadi korban bencana tetapi juga menjadi pengasuhutama. Praktisi
kesehatansering tidakmenyadari masalah inisaat memberikanperawatan darurat. Sehingga,
mengembangkanpelayanan bantuan bencanabagi wanita dan ibu hamil diperlukanuntuk
meningkatkankesehatan wanita.

Perencanaan dalam keadaan darurat  tentang kebutuhan khusus wanita, anak dan bayi selama
bencana sedang dikembangkan di Amerika Serikat.  Wanita hamil, bayi dan anak-anak paling
merasakan dampak buruk dari bencana yang meningkatkan  jumlah kejadian gangguan
pertumbuhan intra uterine, berat badan bayi lahir rendah, dan lingkar kepala bayi yang kecil,
sebagai akibat meningkatnya kejadian keterlambatan  tindakan dan pengiriman kepusat
rujukan. Menjaga kesehatan ibu hamil dan sistim rujukan,  memberikan jaminan
keberlanjutan perawatan prenatal.

 
2.2 Efek Bencana Pada Wanita
Dampak umum yang muncul terhadap wanita hamil, bayi baru lahir, dan anak-anak
akibat kurangnya sumberdaya saat bencana alam diantaranya ketersediaan makanan yang
cukup, air bersih, dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terhambat bahkan terjadi
peningkatan angka kematian ibu hamil selama bencana. Lebih jauh dijelaskan oleh  Red
Cross America. bahwa ibu hamil harus memiliki stok air bersih 1-3 galon per hari, hal
tersebut diindikasikan bahwa air sangat penting bagi janin, plasenta cairan ketuban, dan
peningkatan volume darah di vaskular dan cairan diintra sel, serta membatu membuang racun
yang ada di dalam tubuh. Selain itu air sangat dibutuhkan waktu hidrasi ibu post partum, dan
laktasi, selain untuk kebersihan diri.
Dampak lainnya yaitu ketersediaan makanan. Sumber energi tersebut sangat
diprioritaskan bagi wanita hamil ataupun wanita melahirkan sebagai energi pemulihan pasca
persalinan atau laktasi bagi bayi baru lahir. Management laktasi sangat membantu
ketersediaan makanan yang baik bagi bayi  disaat ketersediaan makanan pendamping setelah
lebih dari 6 bulan minum, ASI menjadi alternatif makanan yang diberikan, akan tetapi hal
tersebut harus berbanding lurus dengan yang dikonsumsi ibunya. Selain itu ketersediaan
vitamin bagi ibu hamil menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya.

Dari paparan diatas dampak bencana pada wanita hamil, bayi dan anak-anak terjadi
disemua elemen baik  biologis, psikologis maupu sosialogis. Oleh karena itu sangat perlu
pemikiran  serius  dimulai dari perencanaan strategis dalam penanggulangan bencana bagi
kelompok umur dan karakteristik wanita hamil, karena menyelamatkan ibu hamil dan anak-
anak berarti menyelamatkan dua generasi sekaligus dan mempertahankan generasi yang baik.

2.3 Kesiap Siagaan Pelayanan Kesehatan bagi ibu hamil selama bencana
Dampak bencana terhadap wanita hamil dan anak-anak telah diulas dalam bahasan
sebelumnya, menegaskan bahwa kelompok tersebut merupakan yang paling rentan terkena
dampak bencana, Oleh karena itu kesiapsiagaan dari fasilitas dan tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab dalam keadaan tersebut harus terstandarisasi dengan baik.

Komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan plasenta akreta, retensi plasenta,
partus dengan penyulit, dan gawat janin merupakan tantangan dalam keadaan darurat. Dalam
dikembangkan langkah-langkah untuk melindungi dan menyelamatkan wanita, wanita hamil
dan anak-anak selama bencana diantaranya:

1. Strategi Jangka pendek dan pencegahan yang menitik beratkan terhadap penggunanan
alat kontrasepsi dan pencegahan penularan HIV
2. Strategi jangka Panjang diantaranya:
 Membangun layanan kesehatan obstetric gynekologi dengan tenaga yang terlatih di
tempat penampungan atau pengungsian
 Memberikan informasi dan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi  yang
harus dipenuhi di pengungsian
 Memastikan perlengkapan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual
 Menyusun Pedoman kesiapsiagaan ibu hamil saat bencana
3. Strategi Prenatal care dan distribusi korban diantaranya:
 Menyusun standar prosedur pendataan (sensus) untuk mengidentifikasi wanita hamil
dan setelah melahirkan
 Mengidentifikasi Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) dan tanggal perkiraan
persalinan
 Mengidentifikasi kehamilan berisiko tinggi
 Mengidentifikasi atau mendirikan pusat perawatan prenatal
 Mengidentifikasi tenaga kerja, tenaga kesehatan, dan tempat rujukan perawatan
kesehatan dengan pertimbangan fasilitas yang sesuai dan memiliki kemampuan
pelayanan, untuk melakukan kelahiran sesar disertakan dengan ketersediaan darah
 Meningkatkan kompetensi dalam melakukan resusitasi neonatal
 Menginformasikan ibu hamil tentang tanda-tanda dan gejala persalinan normal dan
tidak normal
 Berikan tetanus toksoid kepada semua pasien ibu hamil
 Memastikan ketersediaan air bersih untuk wanita hamil dan menyusui
 Mendorong dan mendukung program menyusui.

Strategi tersebut diperkuat oleh pendapat yang menitikberatkan pada kesiapsiagaan


prenatal: kesiapsiagaan Keluarga yang memiliki wanita hamil atau anak-anak, akses ke
pelayanan kesehatan, dan penekanan terhadap breast feeding emergency. Menyusui
merupakan satu-satunya sumber  makanan  dapat dipercaya untuk bayi dan anak-anak kecil
saat bencana. Menyusui dapat dilakukan secara eksklusif selama 6 bulan. Setelah 6 bulan,
ASI dapat dilanjutkan bersama makanan pendamping ASI hingga tahun kedua kehidupan.
Oleh karena itu harus di upayakan pemberian makanan dengan ASI saat bencana dengan
cara:
 Pelatihan pekerja kemanusiaan, perawat, tenaga kesehatan dan bidan untuk
memahami pentingnya mempertahankan menyusui sangat penting untuk membantu
bayi bertahan hidup.
 Menyusui harus diintegrasikan ke dalam darurat nasional rencana di semua negara.
 Para pekerja kemanusiaan dan pelayanan kesehatan perlu memiliki pengetahuan
pentingnya menyusui.
Merujuk dari pernyataan diatas dan mengingat angka kejadian bencana di Indonesia
yang tinggi diperlukan suatu sistem untuk menyelamatkan generasi bangsa dengan cara
menjaga wanita, wanita hamil, dan anak-anak sebelum atau selama kejadian bencana.
Pembangunan sistem tersebut diawali dengan penyusunan perencanaan yang berkelanjutan
diantaranya:

Pra Bencana:
Sistem Promotif dan preventif  bagi tenaga kesehatan dan wanita hamil seperti:
1. Pendidikan kesehatan mengenai alat kontrasepsi, HIV/AIDS, Perawatan Bayi Baru
Lahir, dan laktasi
2. Kesiapsiagaan ibu hamil terhadap keadaan darurat melahirkan
3. Pelatihan manajemen dan konsep kebencanaan
4. Pelatihan terhadap tenaga medis, perawat, dan bidan tentang penanganan kegawat
daruratan obstetri
5. Menentukan relawan dengan kualifikasi obstetri ginekologi jika terjadi bencana.
6. Merencanakan pemetaan transportasi rujukan dan ketersediaan kebutuhan pokok yang
dikhususkan bagi ibu hamil dan anak-anak.

Saat Bencana /Tanggap darurat:


Beberapa hal yang harus dilakukan pada fase tanggap darurat adalah :

1. Memaparkan sistem informasi bencana


2. Menjalankan pemetaan sistem rujukan dengan mengkhususkan penanganan obstetrik
ginekologi
3. Memfasilitasi pelayanan kesehatan di pengungsian dengan
peralatan emergency obstetrik ginekologi.
4. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan khusus obstetri ginekologi
5. Pemenuhan ASI terhadap anak selama bencana dengan pojok ASI
Jika dalam situasi bencana dan memiliki kenalan atau anggota keluarga yang hendak
melahirkan, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk membantu ibu hamil tersebut.

1. Kenali tanda persalinan

Tak semua orang mengerti tanda persalinan, bahkan si ibu hamil sendiri belum tentu
menyadari bahwa dirinya hendak bersalin.  Seorang ibu hamil akan bersalin jika
mengalami gejala berikut ini:

 Keluarnya lendir darah dari vagina.


 Ibu hamil merasakan rasa mules yang makin lama, makin sering,  dan makin nyeri
intensitasnya.
 Pada beberapa kasus, keluar air dalam jumlah banyak dari vagina. Air ini merupakan
air ketuban yang pecah keluar. Sering skali air ketuban sudah pecah tapi tidak
dihiraukan oleh ibu hamil karena dikira sebagai air seni (mengompol).

Jika tanda ini sudah muncul, artinya secara perlahan mulut rahim akan membuka makin
lebar dan bayi akan lahir setelah pembukaan lengkap. Pada ibu yang baru melahirkan
untuk pertama kali, umumnya dibutuhkan waktu 12-24 jam dari tanda-tanda tersebut
hingga bayi bisa dilahirkan.

Sementara itu, pada ibu yang sudah pernah melahirkan, waktu yang dibutuhkan untuk
melahirkan bayi lebih pendek, berkisar antara 6-12 jam. Mengetahui perkiraan waktu
persalinan ini sangatlah penting agar Anda bisa memperkirakan, apakah ibu hamil masih
memungkinkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang aman dan lengkap, atau harus
dibantu untuk bersalin di daerah bencana.

2. Pindahkan ibu ke lokasi yang aman

Sebisa mungkin pindahkan ibu ke lokasi yang aman. Hal ini penting terutama jika
gempa-gempa susulan masih terjadi. Jika memungkinkan pindahkan ibu ke lokasi yang
jauh dari pusat gempa. Jika ide untuk memindahkan ibu dari lokasi gempa tidak
memungkinkan untuk dilakukan, carilah lokasi yang paling aman untuknya. Jika berada di
dalam rumah, baringkan ibu di bawah meja agar tidak terkena benda berjatuhan bila
gempa susulan terjadi. Apabila berada di ruang terbuka, carilah lapangan yang luas, jauh
dari bangunan, gedung, dan tiang-tiang.

3. Tenangkan ibu

Sesungguhnya, jika tak ada penyulit dalam persalinan, maka bersalin sendiri tanpa
bantuan (unassisted birth) sebenarnya bisa dilakukan asal ibu tidak panik. Oleh karena itu,
sebisa mungkin tenangkan ibu hamil. Dampingi ia terus, berikan teh manis hangat, dan
usap-usap punggungnya agar ia merasa relaks. Jika ada anggota keluarga yang memiliki
hubungan keluarga yang lebih dekat, mintalah orang tersebut mendampingi ibu terus.

4. Panggil bantuan

Hubungi ambulans gawat darurat untuk meminta pertolongan tim medis dan
paramedis. Jika menggunakan telepon, Anda dapat menghubungi 118 atau 119. Jika Anda
menggunakan telepon seluler, Anda bisa menghubungi 112.

5. Siapkan air bersih, makanan, dan kotak P3K

Melahirkan membutuhkan banyak energi. Pastikan ibu hamil dalam keadaan kenyang
saat akan melakukan proses persalinan. Jika belum, mintalah ia untuk makan dahulu.
Pastikan ada persediaan air bersih agar proses persalinan dapat berjalan aman dan jauh
dari bahaya infeksi. Lalu pastikan juga tersedia kotak pertolongan pertama pada
kecelakaan (P3K). Setidaknya di dalam kotak P3K tersebut harus ada kain kasa steril,
povidon iodin atau antiseptik lainnya, plester, alkohol, dan sarung tangan. Benda-benda
tersebut dibutuhkan, terutama untuk memotong dan merawat tali pusat bayi setelah lahir.

Bersalin adalah suatu proses alamiah yang tidak bisa ditunda-tunda. Kondisi yang
mendesak bisa memaksa persalinan terjadi di mana pun – termasuk di lokasi bencana.
Dengan mengetahui lima hal di atas, Anda dapat menjadi penolong bagi ibu hamil yang
hendak melahirkan di tengah bencana.

Pasca Bencana/Rehabilitasi:
Kegiatan yang harus dilakukan pada fase pasca bencana, adalah :

1. Pengembalian kesehatan mental akibat trauma bencana dengan Logo Therapy.


2. Pemeriksaan kesehatan reproduksi secara berkelanjutan
3. Melakukan pendampingan kesehatan bagi wanita resiko tinggi dan anak-anak
Sedangkan kompetensi yang harus dimiliki tenaga kesehatan adalah:
1. Menjelaskan peran dalam merespon berbagai keadaan darurat yang mungkin timbul.
2. Mengetahui rantai komando dalam tanggap darurat.
3. Mengidentifikasi dan menemukan rencana tanggap darurat
4. Menjelaskan peran tanggap darurat, fungsi pelatihan dilakukan secara teratur
5. Menunjukkan penggunaan peralatan (termasuk pelindung diri) dan keterampilan yang
dibutuhkan dalam tanggap darurat selama latihan rutin.
6. Menjelaskan peran komunikasi dalam tanggap darurat, seperti di kantor, media berita,
dan masyarakat umum (termasuk pasien dan keluarga dan kontak pribadi).
7. Mengidentifikasi batas-batas pengetahuan sendiri, keterampilan, otoritas dan
mengidentifikasi sumber.
8. Terapkan pemecahan masalah secara kreatif dan fleksibilitas untuk situasi dalam
batas-batas peran dan mengevaluasi efektivitas tindakan yang diambil.
9. Kenali penyimpangan dari norma yang mungkin mengindikasikan darurat dan
menjelaskan tindakan yang tepat.
10. Berpartisipasi dalam melanjutkan pendidikan untuk mempertahankan dan
meningatkan pengetahuan di bidang yang relevan.
11. Berpartisipasi dalam mengevaluasi setiap latihan dan respon dan mengidentifikasi
perubahan yang diperlukan untuk rencana tersebut.
12. Pastikan bahwa ada rencana tertulis untuk kategori utama keadaan darurat.
13. Pastikan bahwa semua bagian dari rencana darurat dipraktekkan secara teratur.
 
KESIMPULAN

Bencana merupakan kejadian yang dapat mengubah stabilitas kehidupan yang


disebabkan oleh alam atau ulah manusia sendiri. Diperlukan prosedur perencanaan untuk
menyelamatkan nyawa khususnya kelompok rentan yang diantaranya wanita hamil dan anak
karena populasi tersebut memiliki penanganan khusus baik secara fisik maupun psikososial.

Persiapan yang dibuat untuk proses  persalinan dan kelahiran mungkin harus diubah
secara drastis dalam keadaan darurat, terutama jika seorang wanita dipisahkan dari
kebiasaannya saat tidak terjadi bencana dalam bentuk penyedia layanan dan fasilitas
kesehatan. Selain itu masalah menyusui juga harus  dipertimbangkan dalam perencanaan
bencana bagi wanita hamil, bersama dengan kejadian seperti kekurangan pangan dan wabah
penyakit yang disebabkan oleh kepadatan pengungsi.

 
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana


( Mengacu Pada Standar Internasional) : Panduan Bagi Petugas Kesehatan yang Bekerja
Dalam Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Di Indonesia. Jakarta. 2007.
2. Amalia.V, Ema, Elsi. Hubungan dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif: analisa pada kejadian erupsi Gunung
Merapi, BIMIKI Jurnal, 2012 1 Maret-4 Oktober;Vol. 1(No. 1).
3. William, all. Ma. Health Concerns of Women and Infants in Times of Natural
Disasters: Lessons Learned from Hurricane Katrina. Matern Child Health J.
2007;11((4):):307-311.
4. Ewing.B, Susan. B, R. R. Assisting Pregnant Women To Prefare For isaster. 2008
Maret/April;Vo. 33(No. 2).
5. Nour.N. Maternal Health Considerations During Disaster Relief. . reviews in
obstetrics & gynecology. 2011;Vol. 4(No. 1).
6. Committee Opinion. Preparing For Disaster: Perspectives on Woman, . The American
College of Obstetricians and Gynecologists. 2010 Juni:457.
7. Wijoyo. E, Reny. N, Anisa.H, Cahyani.B, Uki.N. Logoterapi meningkatkan purpose
in life pada masyarakat dengan post traumatic stress disorder pasca erupsi merapi di
shelter gondang 1, sleman, Yogyakarta, . BIMIKI Jurnal,. 2012;Vol. 1(No. 1).
8. Arimastuti. A. Tahapan proses komunikasi fasilitator dalam sosialisasi pengurangan
risiko bencana. Journal Penanggulangan Bencana BNPN. 2011;Vol. 2(No.2):15-23.

Anda mungkin juga menyukai