Anda di halaman 1dari 31

Perawatan Yang Berkaitan Dengan Psikologis dan Spiritual pada

Korban Bencana pada Kelompok Rentan


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 4
1. Balbina Hulu
2. Handoko Sitorus
3. Ilham Wahyu
4. Milda
5. Santi Melia
6. Theresia Yuni
7. Yurike Sebayang

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2019/2020
MEDAN
KELOMPOK RENTAN : WANITA HAMIL

Hasil Survey

Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Gunung Merapi Wilayah Bencana
di Sleman Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
dengan luas wilayah 7574,82 km2 atau 18% dari luas wilayah DIY. Di sebelah utara,
berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kuloprogo dan
Kabupaten Magelang, dan sebelah selatan berbatasan dengan kota Yogyakarta, Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Sleman secara administratif, terbagi atas 17
kecamatan, 86 desa, dan 1.212 pedukuhan. Wilayah Kabupaten Sleman merupakan kawasan
Lereng Gunung Merapi, di mulai dari jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan
Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan (rightbelt) sampai dengan Puncak Gunung Merapi.
Wilayah ini kaya sumberdaya air dan potensi ekowisata yang beorientasi pada aktivitas
Gunung Merapi dan ekosistemnya. Daerah yang terkena erupsi Merapi pada tanggal 26
Oktober 2010 adalah Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten. Kabupaten Sleman
merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak letusan Gunung Merapi. Kerusakan
akibat letusan Gunung Merapi tersebut mencapai sekitar 2.300 kepala keluarga yang
kehilangan rumah dan ratusan orang meninggal. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) merilis data yang dilaporkan pada tanggal 6 Nopember 2010 mencapai 116 orang,
jumlah korban meninggal, di Sleman tercatat sebanyak 104 orang. Sementara jumlah total
pengungsi Merapi hingga saat itu sebanyak 198 ribu, 56 ribu orang diantaranya di Kabupaten
Sleman. Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menyebutkan jumlah
korban bencana erupsi Gunung Merapi bertambah menjadi 277 orang sampai dengan tanggal
2 Desember 2010. Bertambahnya data korban meninggal ini diantaranya merupakan hasil
evakuasi di lokasi bencana dan dari barak pengungsian, baik yang meninggal karena sakit
maupun karena usia lanjut dan juga kehamilan .

Pemenuhan kebutuhan psikis Selain kebutuhan fisik, hal yang tidak kalah penting adalah
pemenuhan kebutuhan psikis sebagai dampak terjadinya gangguan psikologis pengungsi.
Gangguan psikologis yang dialami pengungsi antara lain perasaan sedih akibat kehilangan
keluarga yang mereka sayangi, kehilangan harta benda, rumah, matapencaharian, dan merasa
asing di tempat pengungsian. Kondisi pengungsian atau tempat berlindung yang tidak
memadai, berdesakdesakan dan tidak adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan, anak-
anak dan lansia membuat mereka stress. Keamanan atas kepemilikan ternak, rumah dan harta
benda lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan khawatir bagi sebagian pengungsi. Berbagai
permasalahan tersebut memicu timbulnya gangguan psikologis dikalangan pengungsi.
Penanganan yang dibutuhkan untuk mengurangi gangguan psikologis tersebut adalah
menghilangkan trauma bagi para korban dengan menghibur mereka, memberi pelatihan dan
pembinaan serta aktivitas lain agar mereka tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani/peternak dengan rutinitas pekerjaannya membuat mereka
sibuk, sementara di tempat pengungsian rutinitas pekerjaannya tidak bisa dilakukan. Mereka
tidak terbiasa tanpa aktivitas sehingga bosan, jenuh dan stress berada di pengungsian. Kondisi
tersebut menjadikan pengungsian kehilangan ekologi sosial yaitu kehilangan rutinitas harian
yang biasa dijalani. Untuk menghilangkan kejenuhan tersebut mereka diberi hiburan dan
pencerahan, walaupun hiburan hanya sementara sifatnya paling tidak mereka mendapatkan
ketenangan dan melupakan sejenak beban mental mereka. Mereka diberi konseling ringan
untuk mengurangi stress atau depresi. Melibatkan pengungsi khususnya para ibu dan remaja
putri dalam kegiatan dapur umum sangat membantu untuk mengisi waktu sehingga tidak jenuh.
Demikian juga bagi bapak-bapak dan pemuda dilibatkan sebagai relawan membantu evakuasi
korban yang masih berada di lokasi bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi kesedihan
dan memperkuat mental mereka karena berguna bagi orang lain. Penanganan trauma juga
dilakukan bagi anak-anak karena mereka belum tahu cara mengontrol emosi dan mungkin
belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Relawan mengadakan aktivitas bermain seperti
menggambar, mewarnai, dan permainan kelompok serta menyanyi.

Efek Bencana Pada Wanita


Menurut Dinkes Sleman erupsi Merapi berdampak pada kondisi psikologi masyarakat.
Sebanyak 756 orang dilaporkan mengalami gangguan mental, dan 52 orang di antaranya
diklasifikasikan sebagai gangguan mental berat. Masyarakat Kelurahan Kaliadem yang
berjarak 5 km dari puncak gunung, pasca erupsi Gunung Merapi ini memiliki kecenderungan
mengalami PTSD. Dampak umum yang muncul terhadap wanita hamil, bayi baru lahir, dan
anak-anak akibat kurangnya sumberdaya saat bencana alam diantaranya ketersediaan makanan
yang cukup, air bersih, dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terhambat bahkan terjadi
peningkatan angka kematian ibu hamil selama bencana. Lebih jauh dijelaskan oleh Red Cross
America. bahwa ibu hamil harus memiliki stok air bersih 1-3 galon per hari, hal tersebut
diindikasikan bahwa air sangat penting bagi janin, plasenta cairan ketuban, dan peningkatan
volume darah di vaskular dan cairan diintra sel, serta membatu membuang racun yang ada di
dalam tubuh. Selain itu air sangat dibutuhkan waktu hidrasi ibu post partum, dan laktasi, selain
untuk kebersihan diri.
Dampak lainnya yaitu ketersediaan makanan. Sumber energi tersebut sangat diprioritaskan
bagi wanita hamil ataupun wanita melahirkan sebagai energi pemulihan pasca persalinan atau
laktasi bagi bayi baru lahir. Management laktasi sangat membantu ketersediaan makanan yang
baik bagi bayi disaat ketersediaan makanan pendamping setelah lebih dari 6 bulan minum,
ASI menjadi alternatif makanan yang diberikan, akan tetapi hal tersebut harus berbanding lurus
dengan yang dikonsumsi ibunya. Selain itu ketersediaan vitamin bagi ibu hamil menjadi faktor
yang tidak kalah pentingnya.
Dari paparan diatas dampak bencana pada wanita hamil, bayi dan anak-anak terjadi
disemua elemen baik biologis, psikologis maupu sosialogis. Oleh karena itu sangat perlu
pemikiran serius dimulai dari perencanaan strategis dalam penanggulangan bencana bagi
kelompok umur dan karakteristik wanita hamil, karena menyelamatkan ibu hamil dan anak-
anak berarti menyelamatkan dua generasi sekaligus dan mempertahankan generasi yang baik.

Kesiap Siagaan Pelayanan Kesehatan bagi ibu hamil selama bencana


Dampak bencana terhadap wanita hamil dan anak-anak telah diulas dalam bahasan
sebelumnya, menegaskan bahwa kelompok tersebut merupakan yang paling rentan terkena
dampak bencana, Oleh karena itu kesiapsiagaan dari fasilitas dan tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab dalam keadaan tersebut harus terstandarisasi dengan baik.
Komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan plasenta akreta, retensi plasenta, partus
dengan penyulit, dan gawat janin merupakan tantangan dalam keadaan darurat. Dalam
dikembangkan langkah-langkah untuk melindungi dan menyelamatkan wanita, wanita hamil
dan anak-anak selama bencana diantaranya:

1. Strategi Jangka pendek dan pencegahan yang menitik beratkan terhadap penggunanan alat
kontrasepsi dan pencegahan penularan HIV
2. Strategi jangka Panjang diantaranya:
 Membangun layanan kesehatan obstetric gynekologi dengan tenaga yang terlatih di
tempat penampungan atau pengungsian
 Memberikan informasi dan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang
harus dipenuhi di pengungsian
 Memastikan perlengkapan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual
 Menyusun Pedoman kesiapsiagaan ibu hamil saat bencana
3. Strategi Prenatal care dan distribusi korban diantaranya:
 Menyusun standar prosedur pendataan (sensus) untuk mengidentifikasi wanita
hamil dan setelah melahirkan
 Mengidentifikasi Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) dan tanggal perkiraan
persalinan
 Mengidentifikasi kehamilan berisiko tinggi
 Mengidentifikasi atau mendirikan pusat perawatan prenatal
 Mengidentifikasi tenaga kerja, tenaga kesehatan, dan tempat rujukan perawatan
kesehatan dengan pertimbangan fasilitas yang sesuai dan memiliki kemampuan
pelayanan, untuk melakukan kelahiran sesar disertakan dengan ketersediaan darah
 Meningkatkan kompetensi dalam melakukan resusitasi neonatal
 Menginformasikan ibu hamil tentang tanda-tanda dan gejala persalinan normal dan
tidak normal
 Berikan tetanus toksoid kepada semua pasien ibu hamil
 Memastikan ketersediaan air bersih untuk wanita hamil dan menyusui
 Mendorong dan mendukung program menyusui.
Strategi tersebut diperkuat oleh pendapat yang menitikberatkan pada kesiapsiagaan
prenatal: kesiapsiagaan Keluarga yang memiliki wanita hamil atau anak-anak, akses ke
pelayanan kesehatan, dan penekanan terhadap breast feeding emergency. Menyusui
merupakan satu-satunya sumber makanan dapat dipercaya untuk bayi dan anak-anak kecil
saat bencana. Menyusui dapat dilakukan secara eksklusif selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, ASI
dapat dilanjutkan bersama makanan pendamping ASI hingga tahun kedua kehidupan. Oleh
karena itu harus di upayakan pemberian makanan dengan ASI saat bencana dengan cara:
 Pelatihan pekerja kemanusiaan, perawat, tenaga kesehatan dan bidan untuk memahami
pentingnya mempertahankan menyusui sangat penting untuk membantu bayi bertahan
hidup.
 Menyusui harus diintegrasikan ke dalam darurat nasional rencana di semua negara.
 Para pekerja kemanusiaan dan pelayanan kesehatan perlu memiliki pengetahuan pentingnya
menyusui.
Merujuk dari pernyataan diatas dan mengingat angka kejadian bencana di Indonesia yang
tinggi diperlukan suatu sistem untuk menyelamatkan generasi bangsa dengan cara menjaga
wanita, wanita hamil, dan anak-anak sebelum atau selama kejadian bencana. Pembangunan
sistem tersebut diawali dengan penyusunan perencanaan yang berkelanjutan diantaranya:

Pra Bencana Pada Ibu Hamil:


Sistem Promotif dan preventif bagi tenaga kesehatan dan wanita hamil seperti:
1. Pendidikan kesehatan mengenai alat kontrasepsi, HIV/AIDS, Perawatan Bayi Baru Lahir,
dan laktasi
2. Kesiapsiagaan ibu hamil terhadap keadaan darurat melahirkan
3. Pelatihan manajemen dan konsep kebencanaan
4. Pelatihan terhadap tenaga medis, perawat, dan bidan tentang penanganan kegawat daruratan
obstetri
5. Menentukan relawan dengan kualifikasi obstetri ginekologi jika terjadi bencana.
6. Merencanakan pemetaan transportasi rujukan dan ketersediaan kebutuhan pokok yang
dikhususkan bagi ibu hamil dan anak-anak.
Saat Bencana /Tanggap darurat Pada Ibu Hamil:
Beberapa hal yang harus dilakukan pada fase tanggap darurat adalah :

1. Memaparkan sistem informasi bencana


2. Menjalankan pemetaan sistem rujukan dengan mengkhususkan penanganan obstetrik
ginekologi
3. Memfasilitasi pelayanan kesehatan di pengungsian dengan
peralatan emergency obstetrik ginekologi.
4. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan khusus obstetri ginekologi
5. Pemenuhan ASI terhadap anak selama bencana dengan pojok ASI

Pasca Bencana/Rehabilitasi Pada Ibu Hamil :


Kegiatan yang harus dilakukan pada fase pasca bencana, adalah :
1. Pengembalian kesehatan mental akibat trauma bencana dengan Logo Therapy.
2. Pemeriksaan kesehatan reproduksi secara berkelanjutan untuk ibu hamil terssebut.
3. Melakukan pendampingan kesehatan bagi wanita resiko tinggi dan anak-anak
PERMASALAHAN

Dampak Gunung Merapi

a) Masalah Biologis
 Ketakutan akan kehilangan sang bayi
 Ketakutan kehilangan pendamping hidup
 Ketakutan kehilangan keluarga
b) Masalah Psikologis
 Berfikir akan tidak dapat bertemu keluarga
 Stress kehilangan mata pencaharian
 Stress akan ketakutan tidak memiliki anak
 Stress bagaimana akan melahirkan di tengah kondisi bencana ini
c) Masalah Sosiologis
 Kehilangan teman teman terdekat
 Kehiilangan pekerjaan
 Kehilangan hubungan komunikasi dengan masyarakat
d) Masalah Spiritual
 Menyalahkan Tuhan dalam kondisi bencana
 Tidak percaya bahwa ini semua ada hikmatnya

Referensi:

Amalia.V, Ema, Elsi. Hubungan dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif: analisa pada kejadian erupsi Gunung Merapi,
BIMIKI Jurnal, 2012 1 Maret-4 Oktober;Vol. 1(No. 1).

Arimastuti. A. Tahapan proses komunikasi fasilitator dalam sosialisasi pengurangan risiko


bencana. Journal Penanggulangan Bencana BNPN. 2011;Vol. 2(No.2):15-23.

Chatarina (2012). PENANGANAN DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS KORBAN


BENCANA MERAPI (Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi Disaster Victims).
Vol. 17, No. 02 Tahun 2012
Committee Opinion. Preparing For Disaster: Perspectives on Woman, . The American College
of Obstetricians and Gynecologists. 2010 Juni:457.

Depkes RI. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana ( Mengacu
Pada Standar Internasional) : Panduan Bagi Petugas Kesehatan yang Bekerja Dalam
Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Di Indonesia. Jakarta. 2007.

Ewing.B, Susan. B, R. R. Assisting Pregnant Women To Prefare For isaster. 2008


Maret/April;Vo. 33(No. 2).

Marjono.(2010). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Merapi, http://www.


jatengprov.go.id/?mid = wartadaera & listStyle = gallery & category = 4254 & document_srl
= 11905

Munthe, Pasaribu, & Widyastuti. (2000). Pengalaman Ngidam dan Hamil Pertama:
Dilengkapi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti.

Nour.N. Maternal Health Considerations During Disaster Relief. . reviews in obstetrics &
gynecology. 2011;Vol. 4(No. 1).
KELOMPOK RENTAN : LANSIA

Menurut Departeman Tukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah senua orang
yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat di definisikan sebagai kelompok yang hanus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebaga : (1) mudah terkena
penyakit dan. (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimmva tidak sanggup
menolong din sendin. sehinga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan
juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertan kedua merupakan
konsekuensi logis dan pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah schingga
mudah i dipengaruhi.
Identifikasi Kelompok Beresiko
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencanai mengartikan bencana
sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan i mengancam kehidupan dan
penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia. ataupun keduanya. Untuk
menrunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutulhkan dukungn berbagai pihak
termasuki keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya i terbanyak
di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lin terdepani saat bencana terjadi
(Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai sejaki tahap mitigasi (pencegahan),
tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dani hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih rentan
terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukani perhatian dan penanganan
khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pascai bencana. Relompok-kelompok ini
diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama i bu hamil dan menyusul, lansia, Individu-
individu yang mendenta penyakit kronis i dan kecacatan. ldentiikasi dan pemetaan kelompok
beresiko melalui l pengumpulan Informasi dan data demograli akan mempermudah perencanan
tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat i (Morrow, 1999;
Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing
(ICN), 2009).
Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik saat dan
setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau
karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih
dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300
lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia senng terabikan dan mengalami i diskriminasi, contohnya
dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pascai bencana. Hak-hak dan kebutuhan
spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang i dapat memperparah masalah kesehatan dan
kondisi depresi pada lansia tersebut i (KIynman et al, 2007).
Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurang dampak bencana pada individu dan kelompok-kelompok i rentan diatas,
petugas-petugas yang terlbat dalam perencanaan dan penanganani bencana perlu :
 Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesual dengan kebutuhan kelompok-
keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, i alat bantu untuk individu
yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
 Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
 Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasl dan
komunikasi
 Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
 Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pra bencana lansia dalam
pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di rumah Mempertimbangkan kebutuhan
lansia dalam perencanaan penanganani bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Seiak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antarai penduduk dengan
cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan secara
sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang
disebut i kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga i mercka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan
pelatihan keperawatan supaya pemanfaatani yang realistis dan bermanfaat akan
tercapai. (Farida, Ida. 2013) Saat hencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindarii trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursimroda,
tongkat, dll.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah


1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia ke tempat yang
aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman daya pendengaran dan
penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu. karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan ruma sendin, maka
tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi
yang ain. i
3) Penyelamatan darurat
Tnage, treatment, and transporlation) dengan cepat. Fungsi inderai orang lansia yang orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala rangsangan luar
untuk memunculkan responi pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa
Pasca Bencana
Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas i dengan lansia dan
mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya: l) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia
dan kegiatan kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
interaksi orang muda dan lansia (communiy avareness
2) Libatkan lansia sebagai sebaga storytellers dan animator dalam kegiatan bersama anak-anak
yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat di lokasi
penampungan korban bencana
Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandini Berikan konseling
unuk meningkatkan scmangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Fanida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap
individu sebelum bencana dan perubalan lingkungan hidup di tempat pengungsian.
Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penununan fungsti fisik
orang lansia yang lebih paral lagi.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder Lingkungan di tempat
pengungsian mengundang tidak hanya i ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari
bagi orang lansta, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan
kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kchidupan di rumah sendir Lansia yang sudah
kembali ke rumahnya, pertama membereskanmengalami perubahan fisik berdasarkan
proses menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan responi pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa perabotannya di luar dan
dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa
memperoleh informasi mengenai relawan. sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga i
tersebut dengan optmal.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara lansia yang masuk ke sementara
terpaksa pemukiman mengadaptasikan/menyesuaikan diri agi terhadap lingkungan
baru (lingkungan hubngan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat
5. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya i adaptasi, sehingga
mudah terkena dampak secana fisik oleh stressor. Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.

Referensi:
Powers, R., & Daily, E.. (Eds.). 2010. International Disaster Narsing. Cambridge, i UK: The
World Assocation for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal. 21
Veenema. TG. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness i Chemical, Biological,
and Radiological Terorism and Other Hazards (2n ed.). New York, NY: Springer Publishing
Company, LLC.
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framwork of Disaster Nursing Competencies. Geneva, i Switzerland: ICN.
KELOMPOK RENTAN : WANITA ANAK ANAK

Selama ini banyak relawan dari masyarakat terutama dari kalangan mahasiswa ataupun

dari organisasi atau komunitas manapun yang terjun langsung membantu korban bencana alam.

Mereka juga turut andil dalam penanganan masalah trauma pada korban anak-anak. Namun

penanganan trauma pada anak yang selama ini dilakukan dinilai kurang efektif, karena tidak

berdasarkan sumber masalahnya dan juga tidak semua di tempat terjadinya bencana ada

relawan yang melakukan penanganan trauma pada anak. Usaha yang dilakukan hanya sekedar

menghibur anak-anak dengan kegiatan yang spontanitas dan seadanya, seperti bermain dan

kegiatan seni agar anak-anak lupa akan masalahnya (pengalihan sementara). Kegiatan-

kegiatan tersebut tidak bertujuan untuk menghilangkan trauma secara permanen. Selain itu,

kegiatan-kegiatan tersebut biasanya hanya berlangsung beberapa minggu pasca bencana dan

kurang ditindak lanjuti perkembangannya. Hal di atas terjadi karena sebagian besar relawan

kurang memahami psikologi anak, sehingga penanganan dampak traumatis pada anak-anak

kurang terstruktur. Dalam hal ini pemerintah sudah mengatur penanganan anak-anak korban

bencana alam dalam bentuk Undang-Undang. Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak mengamanatkan dalam beberapa pasal, sebagai berikut: Pertama, pada

pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya, berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat.

Kedua, pada pasal 60 dinyatakan antara lain bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak

korban bencana alam. Ketiga, pada pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan khusus tersebut

dilaksanakan melalui: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan

perlakuan; dan 2. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak

yang mengalami gangguan psikososial. (http://www.komnasperempuan.or.id) Permasalahan


penanganan anak korban bencana alam ini dijawab dengan menggunakan program Sekolah

Petra. Program Sekolah Petra memiliki beberapa tahapan dalam menangani trauma pada anak-

anak korban bencana alam antara lain : Tahap pertama. Langkah awal program ini adalah

identifikasi masalah, yaitu mengumpulkan data korban anak-anak yang meliputi usia, jenis

kelamin, kondisi fisik, dan kondisi keluarganya melalui survei lapangan atau wawancara

kepada korban bencana.

Tahap kedua. Melakukan spesifikasi masalah. Setelah data terkumpul maka anak-anak korban

bencana alam dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai kriteria-kriteria dari masing-

masing anak yang memiliki kurang lebih kriteria yang sama ataupun mirip.

Tahap Ketiga. Setelah identifikasi dan spesifikasi masalah, tahap ketiga adalah penanganan

trauma disesuaikan dengan permasalahan yang dimiliki anak. Penanganan ini memiliki empat

titik poin dalam pencarian solusi masalah trauma, yaitu fisik, emosional, intelektual dan

spiritual. Karena keempat titik poin tersebut merupakan prinsip keseimbangan dalam hidup

manusia. Dengan pemulihan fisik diharapkan korban mampu menerima pembinaan dan

penanganan tahap selanjutnya. Titik poin dalam pencarian masalah dengan fisik misalnya jika

ada korban yang terluka atau cacat akibat bencana solusinya untuk anak adalah dengan

memberikan semangat dan motivasi dan juga memberikan sesuatu yang bisa membuat korban

bisa tetap sehat dan kuat. Emosional, anak biasanya memiliki emosi yang labil sehingga untuk

meredakan emosi pada anak bisa dilakukan dengan bermain agar anak selalu gembira.

Intelektual, akibat terjadinya bencana biasanya aktivitas sekolah terganggu sehingga dalam

Sekolah Petra ini perlu adanya proses belajar mengajar agar aktivitas belajar terus berjalan dan

agar korban bencana tetap menambah pengetahuan mereka dengan hal-hal baru yang diberikan

sekolah petra.

Perawatan psikologis pada korban bencana pada kelompok rentan (anak) yaitu :
1. Tetap berkomunikasi seperti biasa. Menghadapi anak korban bencana tentu harus lebih

berhati-hati agar tidak membuatnya makin sedih. Langakh awalnya adalah dengan tetap

mengajak si kecil berkomunikasi seperti biasanya dengan pertanyaan mengenai kondisinya

dan apa yang sedang mereka pikirkan dan rasakan. Padahal kamu pasti tahu kalau saat itu

mungkin dia sedang bingung dan belum mengerti apa yang sedang terjadi.mDengan

membuka komunikasi, si kecil tidak akan merasa sendiri. Pancing dia untuk menceritakan

apa yang sedang ia rasakan. Terutama bagi anak yang telah kehilangan anggota keluarda

atau mengalami luka karena bencana. Kuatkan dia dan berikan motivasi positif untuk bisa

menghadapinya. Pasca bencana anak-anak sebaiknya jangan terpisah dari kelompok anak-

anak lain agar dia bisa merasakan kebersamaan. Hal ini untuk menghindari jangan sampai

anak memendam perasaannya yang pada akhirnya membuat trauma dan rasa sedihnya tidak

tuntas dan selesai.

2. Ceritakan fakta yang terjadi sebenarnya. Cara terbaik untuk menghadapi anak pasca

bencana adalah dengan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi syaratnya adalah

dengan kalimat yang mudah dipahami. Jujur menceritakan kepada si kecil apa yang telah

terjadi adalah salah satu cara untuk mencegah anak mengira-ngira dan berimajinasi

berlebihan tentang bencana alam. Ketika anak takut dan sedih dengan penjelasan mengenai

bencana alam yang telah mereka lewati, biarkanlah emosi mereka lepas. Itu tandanya dia

masih memiliki iDengan cara ini, anak akan bisa lebih tenang ke depaannya dan bisa jujur

dengan apa yang dia rasakan. Memberikatahukan fakta dan kebenarannya, membuat anak

jadi tahu tentang bencana alam. Si kecil akan akan belajar menghadapi bencana alam jika

sewaktu-waktu terjadi lagi dan rasa empati dia akan terbangun untuk menolong.

3. Kuatkan mental dengan membangun semangatnya. Cara memulihkan kondisi pasca

bencana adalah dengan melakukan aktivitas anak yang seru. Ajak anak-anak untuk

berkumpul dan bermain bersama akan membantunya melupakan kejadian yang cukup
membuat mereka bersedih dan trauma.Seperti Andien yang mengunggah kebersamaannya

dengan anak-anak korban gempa bumi Lombok kemarin. Andien lewat akun instagramnya

@andienaisyah membagikan foto anak-anak Lombok yang membutuhkan trauma healing.

Andien menuliskan “Sesi trauma healing untuk anak-anak korban gempa. Semoga dalam

kondisi apapun, cahaya selalu menyelinap di relung hati mereka.” Terlihat Andien tertawa

dan bermain bersama dengan anak-anak di tenda pengungsian. Hal sederhana seperti yang

Andien lakukan, tentunya cukup menghibur anak-anak dan membuat mereka tersenyum.

Pentingnya trauma healing jangan disepelekan karena jika trauma pada anak tidak

disembuhkan, akan mempengaruhi kondisi psikologis anak di masa depan.

4. Biarkan si kecil bermain dengan teman seumurnya. Bagaimana pun kondisi daerah

pasca bencana dan pengungsian, anak-anak akan tetap menjadi anak-anak. Mereka akan

tetap mencari kesenangan. Apalagi jika mereka memiliki teman seumuran, tentu akan lebih

mudah untuk melewati hari-harinya. Itulah mengapa pentingnya membangun tempat

bermain dan belajar anak, walaupun di tempat pengungsian. Dengan adanya tempat

tersebut, si kecil bisa diarahkan untuk melakukan kegiatan positif bersama-sama. Bisa

dengan bernyanyi bersama, bermain, belajar atau mendengarkan cerita-cerita menarik dari

mereka yang menolong anak-anak trauma healing.

5. Tidak menunjukan rasa sedih berlebihan. Sedih, iba, kasihan tentu akan dirasakan oleh

orang dewasa ketika melihat anak-anak ikut mengungsi dan harus hidup di tenda-tenda

pengungsian. Mereka tepaksa berada di tempat yang kurang nyaman karena rumah mereka

sudah tidak bisa ditinggali dan juga untuk menghindari bencana susulan. Dibalik semua

kondisi yang sangat menyentuh, sebaiknya tidak memperlihatkan rasa sedih berlebihan

kepada anak. Dengan tetap tenang akan membuat anak merasa terlindungi dan tidak panik

menghadapi kondisi pasca bencana.


Perawatan spiritual pada korban bencana pada kelompok rentan (anak) yaitu :

Misalnya dengan mengadakan pengajian atau belajar tentang agama dan doa bersama serta

menyanyikan lagu-lagu pujian bersama yang diajarkan oleh tim penanggulangan bencana.

Referensi : https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jim/article/download/10756/8531.

https://lib.unnes.ac.id/29824/1/1601410029.pdf
KELOMPOK RENTAN : PENYAKIT KRONIS

Bencana gempa bumi memang menjadi momok yang menakutkan untuk kita, dibalik semua
hal burukyang terjadi setelah bencana adalah efek yang ditimbulkan, yaitu dapat berupa
kernugian materi,fisik maupun kondisi psikologis yang memburuk. Pada kesempatan ini kami
akan membahas mengenai kerugian akibat bencana gempa bumi pada korban yang mengalami
penyakit stroke dan cara menangani psikologis dan spiritual korban.
A. Hal yang dilakukan untuk menangani korban gempa
pertama, membuat crisis center bagl korban gempa. Orang yang mengalami peristiwa traumatis
mengalami berbagai geiolak iwa. Dalam situasi seperti itu mereka mengharapkan pelayanan
kesehatan maupun dukungan emosional(emotional support) dai orang lan. Keluarga, kawan-
kawan dekat, dan relawan (orang-orang yang memllki kerelan untuk membantu mereka) akan
menhadirkan dukungan emosional.
Kehadiran crisis center akan memiliki manfaat yang signifikan bagi mereka. i Dimaksudkan
untukmemberikan pertolongan fisik, pdsikologi dan spintual, yang bersifat segera bagi korban
gempa, karenanya perlu melibatka dokter dan perawat, psikologi dan psikiater serta ustadz dan
kiyai, atau pastor dan pendeta.
Kedua, pengembangan pendampingkorban. Menghadirkan pendamping bagi parai korban yang
mengalami syndroma psikologis. Salah satu kemampuan pokok yang perlu i dimiliki
pendamping adalah kemampuan memberikan dukungan emosional kepada korban (seperti
empati, mendengar cerita dengan kesabaran, meyakinkan keadaan akan segera membaik, dan
bahwa setiap orang diciptakan tuhan memiliki kemanpuan untuk menanggung derita).
Ketiga, pemberdayaan masyarakat setepat melalui multivel help. Saat korban merasakan
penderitaan, yang diharapkan pertama memberikan pertolongan adalah masyarakat dimana
bencana gempa bumi terjadi. Pertimbangannya adalah sering kali bantuan dari luar terlambat
datangnya, disamping tidak merata, dan sekalipun yang banyak tapi yang sampai sedikit.
Disamping itu, relawan dari masyarakat setempat lebith mudah diorganisir dari pada menunggu
datangnya orang yang profesional (dokter, psikolog, dan sebagainya), jumlahnya juga cukup
banyak.
khusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap
emosi dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai
berikut: syok, rasa takut, sedih, marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasai
tidak berdaya, kehilangan emos seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan atau perhatian
pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognitif, korban bencana ini juga mengalami
perubahan seperti: pikiran kacau, salah persepsi, menurunnya kemampuan untuk mengambil
keputusan, daya konsentrasi dan daya ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak
menyenangkan, dan terkadang menyalahkan dirinya sendiri
d. Dampak bencana pada aspek spiritual
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang kompleks yaitu
kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual. Spiritual digambarkan sebagai
pengalaman seseorang atau i keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang
ada pada i diri seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams, 1993). Dyson, Cobb, dan Forman
(1997) menyatakan bahwa
spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain
dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.

1. Definisi Penyakit Kronis


Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan
dengan gejala-gejala atau keca catan yang membutuihkan penatalaksnaan jangka
panjang.sebagian dari penatalaksanaan ini mencakup belaijar untuk hidup dengan gejala i
kecacatan,sementara juga menghadapi scgala bentuk penubahan identitas yang diakibatkan
oleh penyakit.Sebagian lagi mencakup menjalani perubahan gaya hidup dan I regimen yang
dirancang untuk tetap menjaga agar tanda dan gejala terkontrol dan untuk dan untuk mencegah
komplikasi.(Brunner dan Suddarth)
Penyebab Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia,tingkat social ekonoml, i dan budaya.
Telah dilaporkan bahwa setidaknya 34,2 juta orang mengalami keterbatasan aktifitas karna
kondisi kronis (disability abstracts, 191 ). Tabel 17-1 menyajikan dattar i kondisi kronis yanng
paling sering disebutkan oleh populasi umum scbagai penyebabl keterbatasan aktifitas.tabel
I7-2 menunjukan bagaimana beberapa kondisi disebarkan melalui kelompok umur. Seperti
yang tampak pada table 17-2,insiden dan jenis kondisi berbeda sesuai usia,pada mercka yang
mmasuk kategori berusia lebih tua mengalaml kondisi kronis dalam jumlah yang terbesar.
informasi ini berguna dalam merencanakan promosi keschatan dan program pen yulluhan serta
untuk mengalokasi sumber-sumber dan pelayanan.
Fase-Fase Penyakit Kronis Fase pre-trajectory
Menggambarkan tahap dimana individu beresiko terhadap penyakit kronis kama i faktor-faktor
genctik atau perlaku yang meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penyakit kronis.
Fase trajectory
Ditandai dengan tampaknya gjala-gjala yang berkaitan dengan penyakit kronis.Fase ini sering
disertai dengan ketidakpastian kama gejala sedang dietakuasi dan pemeriksaan diagnostik
sedang dilakukan.
Fase stabil
Terjadi ketika gajala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. Fase tidak stabil
Ditandai dengan ketidak stabilan dari penyakit kronis,kekambuhan gejala-gejala atau i progresi
penyakit-penyakit.selama fase ini, aktifitas schari-hari pasicn mungkin i terganggu oleh
penyakitnya dan dibutulhkan strategi untuk mengatasinya. i Fase akut i
Ditandai dengan gejala-gjala yang berat dan tidak dapat pulih atau komplikasi yanng i berat
yang membutulhkan perawatan dirumah sakit.untuk menanganinya. Fasc inii membutulkan
modifikasi mayor aktifitas schari-hari pasicn.
Fase krisisi
Situasi krisis yanng akan mengancam jwa seseorang yang membutuhkan pengobatan dan
perawatan kegawadaruratan.
Fase pulih
Pulih kembali pada cara hidup yang dapat diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit
lronis.
Fase penurunani
Teriadi etika perjalanan penyakit penyakit berkembang dan disertai dengan i ketidakmampuan
dan kesulitan dalam mengatasi gejala gejala
Fase kematian Penurunan bertahap atau cepat fiungsi tubuh dan penghentian hubungan
individuali

4. Rentang Respon Harapan


Adalah mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal.engan adanya i harapan dapat
mengurang stress sehingga klien dapat mengunakan koping yang i adekuat i
Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasai tidak aman
dan putus asa.
Putus Asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah olah tidak ada lagi upaya yang dapat i berhasil
untuk mengenal penyakitnya.
Masalah Psikososial Sehubungan Dengan Penyakit Kronis
Dampak pada psikososial yang ditimbulkan akibat penyakit kronis adalah kehilangan dan
perubahan dimana kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan.
Berbagai macam kehilangan yang dapat ditimbulkan akibat penyakit kronis adalah: Kehilangan
keschatan atau kesejahteraan
Kehilangan kemandirian Kehilangan keramahan lingkungan Kehilangan rasa nyaman
Kehilangan fungsi fisik dan mentali Kchilangan konscp diri Kehilangan peran social
Kehilangan peran dalam keluarga
Respon Psikososial Sehubungan Dengan Penyakit Kronis Ada beberapa hal yang
mempengaruhi respon klien yaitu: Persepsi klien terhadap situasi
Sifat dan kepribadian klien Beratnya penyakit Persepsi keluarga terhadap situasi Sikap
lingkungan
Efisiensi dan efektifitas pember pelayanan hatan g. Sarana social yang tersedia
Tahapan Respon Psikososial
Respon psikososial pada klien yang mengalami penyakit kronis ada beberapa tahapan antara
lain:
Protes dan denial
Pada tahapan ini klien tidak menerima dan mempercayai diagnose yang diderita. klieni
terdorong untuk tidak melakukan hal-hal yang disarnkan dan seringkali protes Depresi, cemas
dan marah
Pada tahap ini klien mulai berfikir tentang kehilangan dan perubahan yang terjadi pada dirinya
akibat penyakitnya, tetapi klien masih bersikap emosional dan pesimis sehingga timbul
kecemasan pada dirinya yang diekspresikan dengan kemarahan atau I depresi.
Penguatan dan pelepasan
Setelah melewati tahapan diatas, maka pada tahap ini klien sudah berfikir secara rasional atau
menerima kenyataan terhadap kehilangan dan perubahan yang terjadl pada dirinya akibat
penyakit kronis yang dideritanya. Klien mulai berfikir danl
berusaha melakukan sesuatu kesembuhan agar tercapai keschatan yang optimal. i Peran
Perawat Dalam Masalah Psikososial Pada Klien Dengan Penyakit Kronis i Dalam memberikan
asuhan kepetawatan pada klien dengan penvakit kronis, perawat memegang peanan sangat
penting. pengenalan, pencerimaan, pengertian dan respon klien, keluarga, lingkungan terhadap
penyakit kronis. Tersebut mempengaruhi sensitifitas perawat dalam mengenali kebutuhan dan
masalah yang dihadapi klien dan selanjutnya dapat mencntukan intervensi keperawatn yang
tepat.
Peran perawat pada klien penyakit kronis
Tanggung jawab yang utama adalah mengerti perasaan duka dan proses berduka. Peran perawat
pada keluarga
Keluarga perlu diberi informasi, kapan, bagaimana dan kemana keluarga mencarii pertolongan,
schingga keluarga merasa beban yang dipikulnya terbagi. Mengajaki keluarga untuk terlibat
dan bekerjasama dengan tim keschatan lainnya.

SUMBER:
Dampak psikososial, Mandikadir, FIK UI, 2009.
KELOMPOK RENTAN : DISABILITAS

Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus
(cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran
televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk
tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai
kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang
jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti
satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan
si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali
mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti
(Farida, Ida. 2013).
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi
roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban,
dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK
untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan
pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan
jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah
komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit
diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat,
dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian
tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan
debu)
Referensi:
Powers, R., & Daily, E.. (Eds.). 2010. International Disaster Narsing. Cambridge, i UK: The
World Assocation for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal. 21
Veenema. TG. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness i Chemical, Biological,
and Radiological Terorism and Other Hazards (2n ed.). New York, NY: Springer Publishing
Company, LLC.
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framwork of Disaster Nursing Competencies. Geneva, i Switzerland: ICN.
KELOMPOK RENTAN : SAKIT MENTAL

Bencana alam gempa bumi meningkatkan perhatian akan masalah kesehatan yang ditimbulkan
secara global (Saleema, 2012). Lebih dari 500.000 kali gempa dilaporkan terjadi di seluruh
penjuru dunia dalam tiap (Ramirez, 2005). Korban gempa tidak hanya mengalami masalah
darurat seperti pembangunan, makanan, kondisi fisik akibat gempa namun juga masalah
kesehatan mental (Surendra, 2017). Sebuah survey menunjukkan bahwa, setelah peristiwa
bencana, sebagian besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang
normal, sekitar 15-20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk
pada kondisi PTSD, sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, depresi
berat dan kecemasan yang tinggi (WHO, 2013). Sebuah systematic review masalah kesehatan
mental setelah gempa bumi di Jepang pada tahun 2011 menemukan bahwa kondisi PTSD
sekitar 10-53,5% dialami oleh korban gempa, sementara kondisi depresi dialami oleh sekitar
3-43,7% korban gempa (Ando, 2011).
Tanggal 5 Agustus 2018 terjadi gempa bumi berkekuatan 7 SR yang melanda Pulau Lombok,
Indonesia dengan kedalaman 32 km, setelah serangkaian gempa sejak awal Juli 2018 dengan
kekuatan 6,4 SR. Sekitar 390 orang meninggal dunia, 1447+ lukaluka, 67.875 rumah rusak,
468 sekolah rusak dan 352.793 orang mengungsi (Damanik, 2018). Berdasarkan hasil survey
menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang ketakutan atau khawatir jika gempa
terulang kembali sehingga masih belum ingin kembali ke rumah. Selain itu masyarakat
merasakan kesedihan tidak memiliki tempat tinggal akibat rumah yang hancur atau retak.
Trauma psikologis setelah bencana alam akan semakin memperburuk kondisi atau masalah
psikologis yang telah ada sebelum gempa terjadi (Surendra, 2017). Distress yang berkaitan
dengan bencana alam akan berlangsung lama setelah insiden (Ando, 2011 & Jordan, 2010).
Kondisi tersebut akan semakin memburuk bila tidak dideteksi sejak dini dan ditangani dengan
baik, sehingga membutuhkan pelayanan kesehatan mental (trauma healing) (Surendra, 2017).
Sebuah intervensi penanganan trauma psikologis paska bencana dilakukan untuk
menindaklanjuti kebutuhan pelayanan kese0hatan mental bagi korban bencana melalui
tindakan pelatihan petugas kesehatan untuk menyediakan dukungan psikososial (Walker,
2016). Petugas kesehatan yang telah menerima pelatihan akan mengaplikasikan layanan
kesehatan mental sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan layanan dalamm jangka waktu
panjang dan berkelanjutan. Hal tersebut merupakan bagian dari usaha perbaikan sistem
kesehatan di masyarakat (Surendra, 2017). Salah stau bentuk layanan kesehatan trauma healing
yang dapat diimplementasikan oleh perawat untuk mengatasi masalah psikososial atau
gangguan mental yaitu
mindfulness spiritual. Berdasarkan hasil studi literature, Mindfulness mampu mendorong
perilaku yang positif dan dapat menurunkan masalah psikologis diantaranya; stress, kecemasan
dan depresi (Walker, 2016). Sebuah penelitian tentang Mindfullness menunjukkan bahwa klien
yang mendapatkan terapi mindfulness dengan pendekatan spiritual dapat mengontrol marah
dan menenangkan hati klien, serta mampu meningkatkan kemandirian pasien dalam
menjalankan fungsi kehidupannya (Dwidiyanti, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ijaz
et al. pada tahun 2017 menemukan bahwa individu yang beribadah, shalat secara rutin dengan
mindfulness atau penuh kesadaran memiliki kesehatan mental yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan individu yang tidak melakukan ibadah secara rutin dan dengan
mindfulness (Ijaz, 2017). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi risiko gangguan
jiwa, masalahmasalah yang muncul pada korban gempa Lombok Nusa Tenggara Barat.

HASIL Survey
dilakukan pada sekitar 88 korban bencana alam gempa di wilayah kerja Puskesmas Penimbung
dan Puskesmas Gangga. Karakteristik Hasil menunjukkan bahwa 23,86% responden berjenis
kelamin laki-laki dan 76,14% berjenis kelamin perempuan. Sebagian responden berstatus
pekerjaan tidak bekerja (52,27%), 18,18% responden berstatus sebagai buruh dan sisanya -
responden memiliki pekerjaan sebagai petani, siswa, pedagang, guru, dosen, bidan desa,
perawat, mahasiswa dan pegawai swasta. Sebesar 30,68% responden korban gempa bumi tidak
bersekolah, 17,05% berpendidikan SD, 13,64% SMP, 20,45% SMA, D3 dan S1 masing-
masing sebesar 5,68%, dan 6,82% berpendidikan S2.

Deteksi Risiko Gangguan Jiwa Korban Bencana Alam Gempa Bumi di Lombok, Nusa
Tenggara Barat, September 2018 (N=88)
Bahwa sebanyak 13 orang dengan kriteria normal, 75 responden mengalami gangguan
neurosis, 26 responden mengalami gejala psikosis dan 57 responden mengalami gejala PTSD
(Post traumatic stress disorder). Penggunaan narkotika tidak ditemukan pada responden korban
bencana alam gempa bumi.

Bagan 1. Masalah yang timbul akibat bencana alam gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara
Barat, September 2018.
Masalah Yang Ditemukan
Dampak Gempa
 Takut gempa akan terulang
 Sulit melupakan gempa
 Kecemasan, gemetar, pusing, sedih, tidak bisa tidur , gelisah memikirkan gempa  Takut
masuk rumah, mendengar suara atau bila malam datang

Masalah Keluarga
 Masalah dengan suami
 Masalah dengan anak
 Masalah dengan cucu
 Kekhawatiran terhadap keluarga
 Tidak jadi menikah

Masalah Pribadi
 Merasa sendiri, menyendir

Isu Makhluk Halus Adanya telapak tangan dan wajah di dinding-dinding rumah

Ekonomi
Kehilangan pekerjaan Sakit Fisik

Keluhan fisik (pegal-pegal, sakit punggung, kaki sakit), Hipertensi.

Masalah Akibat Bencana Alam Gempa Bumi Masalah-masalah yang ditemukan pada korban
setelah bencana alam gempa bumi diantaranya yaitu pertama masalah dampak gempa yang
meliputi ketakutan akan kembali terjadinya gempa bumi, kesulitan melupakan peristiwa
gempa, kecemasan, kegelisahan memikirkan gempa, ketakutan untuk masuk ke dalam rumah,
mendengar suara gemuruh atau ketakutan bila malam tiba. Kedua, setelah terjadinya gempa
para korban mengalami masalah keluarga seperti masalah dengan suami, anak, cucu,
kekhawatiran terhadap keluarga, dan termasuk juga gagal menikah. Ketiga, masalah dengan
diri sendiri pun muncul seperti merasa sendiri. Selain itu, kehilangan pekerjaan juga menjadi
masalah ekonomi yang muncul dampak terjadinya gempa bumi. Masalah tersebut yang
menyebabkan korban sering menyendiri, merasa pusing dan juga sedih. Keempat, isu makhluk
halus merupakan salah satu masalah yang muncul yang meresahkan masyarakat pasca gempa
bumi di Lombok. Isu muncul setelah ditemukannya cap telapak tangan di dinding - dinding
rumah warga. Isu makhluk halus ini merupakan masalah dalam aspek spiritual masyarakat yang
dialami setelah peristiwa gempa bumi. Aspek spiritual lain yaitu kondisi sakit yang dialami
oleh warga, warga menyebutkan keluhan fisik seperti pegal-pegal, sakit punggung, kaki dan
juga hipertensi. Mindfulness Spiritual Islam Hasil pengkajian masalah yang dialami oleh
korban bencana alam gempa bumi, para relawan yang telah dilatih memberikan latihan
mindfulness spiritual islam pada responden. Tujuan mindfulness spiritual islam diberikan
sebagai trauma healing untuk membuat para korban lebih fokus pada permasalahan saat ini,
lebih tenang, ikhlas dan tetap mensyukuri apa yang terjadi. Kemudian, masing-masing
responden memiliki rencana tindak lanjut sebagai target sehat mandiri agar dapat menjalani
aktivitas sehari-hari dengan perasaan lebih tenang dan bahagia. Adapun target sehat mandiri
yang telah ditentukan yaitu dzikir, shalawat, mengaji, shalat lima waktu, mengingat Alaah,
tidak mudah marah, mampu berkomunikasi dengan baik, sabar, ikhlas, pasrah, beristighfar dan
semangat.

PEMBAHASAN

Penelitian sering dilakukan mengenai isu kesehatan mental yang dialami oleh korban gempa
bumi (Feder, 2013). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar responden
adalah perempuan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami ansietas akibat trauma (Cheng, 2014). Meskipun sebuah
penelitian lain menyebutkan bahwa perempuan bukanlah

faktor risiko untuk peningkatan gangguan jiwa akibat trauma. Neem et al. dalam penelitiannya
menemukan bahwa perempuan lebih banyak memikirkan tentang bencana dan memiliki
keterikatan emosi yang dalam terhadap keluarga disbanding laki-laki (Neem, 2011).
Responden penelitian ini kebanyakan tidak bersekolah atau berpendidikan rendah dan juga
tidak bekerja, hal ini menjadi faktor risiko stress, gangguan kesehatan jiwa akibat rendahnya
pengetahuan mengenai manajeman paska bencana, trauma healing, dan lemahnya kondisi
ekonomi korban (Breewin, 2011). Masalah kesehatan jiwa seperti kecemasan dan depresi
dialami oleh para korban bencana (Anwar, 2011). Penelitian ini menjukkan bahwa sebagian
besar korban bencana mengalami gangguan jiwa paska gempa bumi. Takut, Cemas Memasuki
Rumah Akibat Peristiwa Gempa. Seseorang yang mengalami peristiwa gempa secara langsung
cenderung menghindari kontak langsung atau situasi yang dapat mengingatkan kembali pada
mereka peristiwa tersebut (Faroouqi, 2017). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dalam
konteks paska gempa bumi, fobia biasanya dihubungkan dengan suara keras atau gemuruh, dan
ketakutan gempa bumi lnjutan yang mungkin terjadi (Faroouqi, 2017). Masalah Keluarga dan
Ekonomi Akibat Gempa. Perpisahan antara keluarga biasanya terjadi akibat bencana alam,
masalah keluarga yang terjadi sebelum bencana membuat kondisi psikologis korban gempa
memburuk (Faroouqi, 2017). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa perpisahan dengan
keluarga suami, anak akibat bencana dapat meningkatkan risiko PTSD (Faroouqi, 2017). Selain
itu tingkat ekonomi yang rendah paa korban bencana menjadi faktor yang berkontribusi pada
kondisi psikologis korban bencana (Kun, 2009). Sebuah penelitian menemukan bahwa
ekonomi yang rendah pada korban bencana dikaitkan dengan kesulitan perkembangan
psikologis yang positif (Yuan, 2013). Isu Makhluk Halus dan Sakit Merupakan Aspek Spiritual
yang Ada di Masyarakat. Isu yang berkaitan dengan makhluk halus dan sakit menjadi salah
satu faktor risiko peningkatan risiko gangguan jiwa. Hal tersebut dikarenakan menambah
ketakutan dan beban pikiran para korban bencana gempa. Korban bencana yang menganggap
bahwa gempa bumi merupakan suatu bencana alami yang diberikan oleh Tuhan dan
mendekatkan diri kepada tuhan akan membantu korban pulih dari trauma bencana lebih cepat,
meningkatkan emosi yang positif dan meningkatkan koneksi sosial (Calhoun, 2000; Vasquez,
2005 & Richman, 2012). Target sehat mandiri yang dibuat oleh korban setelah melakukan
mindfulness dapat meningkatkan kedekatan, kenyamanan antara individu dan kepercayaannya
pada
Tuhan sehingga dapat lebih pasrah dan menerima dengan iklhlas, serta semangat menjalani
kehidupan sehari-harinya (Richman, 2012).

REFERENSI
Journal of Holistic Nursing And Health Sience. Volume 1, Nomor 2, Oktober 2018 Available
Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/hnhs

Anda mungkin juga menyukai