Hasil Survey
Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Gunung Merapi Wilayah Bencana
di Sleman Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
dengan luas wilayah 7574,82 km2 atau 18% dari luas wilayah DIY. Di sebelah utara,
berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kuloprogo dan
Kabupaten Magelang, dan sebelah selatan berbatasan dengan kota Yogyakarta, Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Sleman secara administratif, terbagi atas 17
kecamatan, 86 desa, dan 1.212 pedukuhan. Wilayah Kabupaten Sleman merupakan kawasan
Lereng Gunung Merapi, di mulai dari jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan
Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan (rightbelt) sampai dengan Puncak Gunung Merapi.
Wilayah ini kaya sumberdaya air dan potensi ekowisata yang beorientasi pada aktivitas
Gunung Merapi dan ekosistemnya. Daerah yang terkena erupsi Merapi pada tanggal 26
Oktober 2010 adalah Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten. Kabupaten Sleman
merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak letusan Gunung Merapi. Kerusakan
akibat letusan Gunung Merapi tersebut mencapai sekitar 2.300 kepala keluarga yang
kehilangan rumah dan ratusan orang meninggal. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) merilis data yang dilaporkan pada tanggal 6 Nopember 2010 mencapai 116 orang,
jumlah korban meninggal, di Sleman tercatat sebanyak 104 orang. Sementara jumlah total
pengungsi Merapi hingga saat itu sebanyak 198 ribu, 56 ribu orang diantaranya di Kabupaten
Sleman. Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menyebutkan jumlah
korban bencana erupsi Gunung Merapi bertambah menjadi 277 orang sampai dengan tanggal
2 Desember 2010. Bertambahnya data korban meninggal ini diantaranya merupakan hasil
evakuasi di lokasi bencana dan dari barak pengungsian, baik yang meninggal karena sakit
maupun karena usia lanjut dan juga kehamilan .
Pemenuhan kebutuhan psikis Selain kebutuhan fisik, hal yang tidak kalah penting adalah
pemenuhan kebutuhan psikis sebagai dampak terjadinya gangguan psikologis pengungsi.
Gangguan psikologis yang dialami pengungsi antara lain perasaan sedih akibat kehilangan
keluarga yang mereka sayangi, kehilangan harta benda, rumah, matapencaharian, dan merasa
asing di tempat pengungsian. Kondisi pengungsian atau tempat berlindung yang tidak
memadai, berdesakdesakan dan tidak adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan, anak-
anak dan lansia membuat mereka stress. Keamanan atas kepemilikan ternak, rumah dan harta
benda lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan khawatir bagi sebagian pengungsi. Berbagai
permasalahan tersebut memicu timbulnya gangguan psikologis dikalangan pengungsi.
Penanganan yang dibutuhkan untuk mengurangi gangguan psikologis tersebut adalah
menghilangkan trauma bagi para korban dengan menghibur mereka, memberi pelatihan dan
pembinaan serta aktivitas lain agar mereka tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani/peternak dengan rutinitas pekerjaannya membuat mereka
sibuk, sementara di tempat pengungsian rutinitas pekerjaannya tidak bisa dilakukan. Mereka
tidak terbiasa tanpa aktivitas sehingga bosan, jenuh dan stress berada di pengungsian. Kondisi
tersebut menjadikan pengungsian kehilangan ekologi sosial yaitu kehilangan rutinitas harian
yang biasa dijalani. Untuk menghilangkan kejenuhan tersebut mereka diberi hiburan dan
pencerahan, walaupun hiburan hanya sementara sifatnya paling tidak mereka mendapatkan
ketenangan dan melupakan sejenak beban mental mereka. Mereka diberi konseling ringan
untuk mengurangi stress atau depresi. Melibatkan pengungsi khususnya para ibu dan remaja
putri dalam kegiatan dapur umum sangat membantu untuk mengisi waktu sehingga tidak jenuh.
Demikian juga bagi bapak-bapak dan pemuda dilibatkan sebagai relawan membantu evakuasi
korban yang masih berada di lokasi bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi kesedihan
dan memperkuat mental mereka karena berguna bagi orang lain. Penanganan trauma juga
dilakukan bagi anak-anak karena mereka belum tahu cara mengontrol emosi dan mungkin
belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Relawan mengadakan aktivitas bermain seperti
menggambar, mewarnai, dan permainan kelompok serta menyanyi.
1. Strategi Jangka pendek dan pencegahan yang menitik beratkan terhadap penggunanan alat
kontrasepsi dan pencegahan penularan HIV
2. Strategi jangka Panjang diantaranya:
Membangun layanan kesehatan obstetric gynekologi dengan tenaga yang terlatih di
tempat penampungan atau pengungsian
Memberikan informasi dan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang
harus dipenuhi di pengungsian
Memastikan perlengkapan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual
Menyusun Pedoman kesiapsiagaan ibu hamil saat bencana
3. Strategi Prenatal care dan distribusi korban diantaranya:
Menyusun standar prosedur pendataan (sensus) untuk mengidentifikasi wanita
hamil dan setelah melahirkan
Mengidentifikasi Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) dan tanggal perkiraan
persalinan
Mengidentifikasi kehamilan berisiko tinggi
Mengidentifikasi atau mendirikan pusat perawatan prenatal
Mengidentifikasi tenaga kerja, tenaga kesehatan, dan tempat rujukan perawatan
kesehatan dengan pertimbangan fasilitas yang sesuai dan memiliki kemampuan
pelayanan, untuk melakukan kelahiran sesar disertakan dengan ketersediaan darah
Meningkatkan kompetensi dalam melakukan resusitasi neonatal
Menginformasikan ibu hamil tentang tanda-tanda dan gejala persalinan normal dan
tidak normal
Berikan tetanus toksoid kepada semua pasien ibu hamil
Memastikan ketersediaan air bersih untuk wanita hamil dan menyusui
Mendorong dan mendukung program menyusui.
Strategi tersebut diperkuat oleh pendapat yang menitikberatkan pada kesiapsiagaan
prenatal: kesiapsiagaan Keluarga yang memiliki wanita hamil atau anak-anak, akses ke
pelayanan kesehatan, dan penekanan terhadap breast feeding emergency. Menyusui
merupakan satu-satunya sumber makanan dapat dipercaya untuk bayi dan anak-anak kecil
saat bencana. Menyusui dapat dilakukan secara eksklusif selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, ASI
dapat dilanjutkan bersama makanan pendamping ASI hingga tahun kedua kehidupan. Oleh
karena itu harus di upayakan pemberian makanan dengan ASI saat bencana dengan cara:
Pelatihan pekerja kemanusiaan, perawat, tenaga kesehatan dan bidan untuk memahami
pentingnya mempertahankan menyusui sangat penting untuk membantu bayi bertahan
hidup.
Menyusui harus diintegrasikan ke dalam darurat nasional rencana di semua negara.
Para pekerja kemanusiaan dan pelayanan kesehatan perlu memiliki pengetahuan pentingnya
menyusui.
Merujuk dari pernyataan diatas dan mengingat angka kejadian bencana di Indonesia yang
tinggi diperlukan suatu sistem untuk menyelamatkan generasi bangsa dengan cara menjaga
wanita, wanita hamil, dan anak-anak sebelum atau selama kejadian bencana. Pembangunan
sistem tersebut diawali dengan penyusunan perencanaan yang berkelanjutan diantaranya:
a) Masalah Biologis
Ketakutan akan kehilangan sang bayi
Ketakutan kehilangan pendamping hidup
Ketakutan kehilangan keluarga
b) Masalah Psikologis
Berfikir akan tidak dapat bertemu keluarga
Stress kehilangan mata pencaharian
Stress akan ketakutan tidak memiliki anak
Stress bagaimana akan melahirkan di tengah kondisi bencana ini
c) Masalah Sosiologis
Kehilangan teman teman terdekat
Kehiilangan pekerjaan
Kehilangan hubungan komunikasi dengan masyarakat
d) Masalah Spiritual
Menyalahkan Tuhan dalam kondisi bencana
Tidak percaya bahwa ini semua ada hikmatnya
Referensi:
Amalia.V, Ema, Elsi. Hubungan dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif: analisa pada kejadian erupsi Gunung Merapi,
BIMIKI Jurnal, 2012 1 Maret-4 Oktober;Vol. 1(No. 1).
Depkes RI. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana ( Mengacu
Pada Standar Internasional) : Panduan Bagi Petugas Kesehatan yang Bekerja Dalam
Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Di Indonesia. Jakarta. 2007.
Munthe, Pasaribu, & Widyastuti. (2000). Pengalaman Ngidam dan Hamil Pertama:
Dilengkapi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti.
Nour.N. Maternal Health Considerations During Disaster Relief. . reviews in obstetrics &
gynecology. 2011;Vol. 4(No. 1).
KELOMPOK RENTAN : LANSIA
Menurut Departeman Tukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah senua orang
yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat di definisikan sebagai kelompok yang hanus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebaga : (1) mudah terkena
penyakit dan. (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimmva tidak sanggup
menolong din sendin. sehinga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan
juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertan kedua merupakan
konsekuensi logis dan pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah schingga
mudah i dipengaruhi.
Identifikasi Kelompok Beresiko
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencanai mengartikan bencana
sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan i mengancam kehidupan dan
penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia. ataupun keduanya. Untuk
menrunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutulhkan dukungn berbagai pihak
termasuki keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya i terbanyak
di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lin terdepani saat bencana terjadi
(Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai sejaki tahap mitigasi (pencegahan),
tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dani hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih rentan
terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukani perhatian dan penanganan
khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pascai bencana. Relompok-kelompok ini
diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama i bu hamil dan menyusul, lansia, Individu-
individu yang mendenta penyakit kronis i dan kecacatan. ldentiikasi dan pemetaan kelompok
beresiko melalui l pengumpulan Informasi dan data demograli akan mempermudah perencanan
tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat i (Morrow, 1999;
Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing
(ICN), 2009).
Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik saat dan
setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau
karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih
dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300
lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia senng terabikan dan mengalami i diskriminasi, contohnya
dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pascai bencana. Hak-hak dan kebutuhan
spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang i dapat memperparah masalah kesehatan dan
kondisi depresi pada lansia tersebut i (KIynman et al, 2007).
Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurang dampak bencana pada individu dan kelompok-kelompok i rentan diatas,
petugas-petugas yang terlbat dalam perencanaan dan penanganani bencana perlu :
Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesual dengan kebutuhan kelompok-
keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, i alat bantu untuk individu
yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasl dan
komunikasi
Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia Pra bencana lansia dalam
pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di rumah Mempertimbangkan kebutuhan
lansia dalam perencanaan penanganani bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Seiak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antarai penduduk dengan
cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan secara
sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang
disebut i kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga i mercka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan
pelatihan keperawatan supaya pemanfaatani yang realistis dan bermanfaat akan
tercapai. (Farida, Ida. 2013) Saat hencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindarii trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursimroda,
tongkat, dll.
Referensi:
Powers, R., & Daily, E.. (Eds.). 2010. International Disaster Narsing. Cambridge, i UK: The
World Assocation for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal. 21
Veenema. TG. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness i Chemical, Biological,
and Radiological Terorism and Other Hazards (2n ed.). New York, NY: Springer Publishing
Company, LLC.
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framwork of Disaster Nursing Competencies. Geneva, i Switzerland: ICN.
KELOMPOK RENTAN : WANITA ANAK ANAK
Selama ini banyak relawan dari masyarakat terutama dari kalangan mahasiswa ataupun
dari organisasi atau komunitas manapun yang terjun langsung membantu korban bencana alam.
Mereka juga turut andil dalam penanganan masalah trauma pada korban anak-anak. Namun
penanganan trauma pada anak yang selama ini dilakukan dinilai kurang efektif, karena tidak
berdasarkan sumber masalahnya dan juga tidak semua di tempat terjadinya bencana ada
relawan yang melakukan penanganan trauma pada anak. Usaha yang dilakukan hanya sekedar
menghibur anak-anak dengan kegiatan yang spontanitas dan seadanya, seperti bermain dan
kegiatan seni agar anak-anak lupa akan masalahnya (pengalihan sementara). Kegiatan-
kegiatan tersebut tidak bertujuan untuk menghilangkan trauma secara permanen. Selain itu,
kegiatan-kegiatan tersebut biasanya hanya berlangsung beberapa minggu pasca bencana dan
kurang ditindak lanjuti perkembangannya. Hal di atas terjadi karena sebagian besar relawan
kurang memahami psikologi anak, sehingga penanganan dampak traumatis pada anak-anak
kurang terstruktur. Dalam hal ini pemerintah sudah mengatur penanganan anak-anak korban
bencana alam dalam bentuk Undang-Undang. Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengamanatkan dalam beberapa pasal, sebagai berikut: Pertama, pada
pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya, berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat.
Kedua, pada pasal 60 dinyatakan antara lain bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak
korban bencana alam. Ketiga, pada pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan khusus tersebut
dilaksanakan melalui: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan
perlakuan; dan 2. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak
Petra. Program Sekolah Petra memiliki beberapa tahapan dalam menangani trauma pada anak-
anak korban bencana alam antara lain : Tahap pertama. Langkah awal program ini adalah
identifikasi masalah, yaitu mengumpulkan data korban anak-anak yang meliputi usia, jenis
kelamin, kondisi fisik, dan kondisi keluarganya melalui survei lapangan atau wawancara
Tahap kedua. Melakukan spesifikasi masalah. Setelah data terkumpul maka anak-anak korban
bencana alam dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai kriteria-kriteria dari masing-
masing anak yang memiliki kurang lebih kriteria yang sama ataupun mirip.
Tahap Ketiga. Setelah identifikasi dan spesifikasi masalah, tahap ketiga adalah penanganan
trauma disesuaikan dengan permasalahan yang dimiliki anak. Penanganan ini memiliki empat
titik poin dalam pencarian solusi masalah trauma, yaitu fisik, emosional, intelektual dan
spiritual. Karena keempat titik poin tersebut merupakan prinsip keseimbangan dalam hidup
manusia. Dengan pemulihan fisik diharapkan korban mampu menerima pembinaan dan
penanganan tahap selanjutnya. Titik poin dalam pencarian masalah dengan fisik misalnya jika
ada korban yang terluka atau cacat akibat bencana solusinya untuk anak adalah dengan
memberikan semangat dan motivasi dan juga memberikan sesuatu yang bisa membuat korban
bisa tetap sehat dan kuat. Emosional, anak biasanya memiliki emosi yang labil sehingga untuk
meredakan emosi pada anak bisa dilakukan dengan bermain agar anak selalu gembira.
Intelektual, akibat terjadinya bencana biasanya aktivitas sekolah terganggu sehingga dalam
Sekolah Petra ini perlu adanya proses belajar mengajar agar aktivitas belajar terus berjalan dan
agar korban bencana tetap menambah pengetahuan mereka dengan hal-hal baru yang diberikan
sekolah petra.
Perawatan psikologis pada korban bencana pada kelompok rentan (anak) yaitu :
1. Tetap berkomunikasi seperti biasa. Menghadapi anak korban bencana tentu harus lebih
berhati-hati agar tidak membuatnya makin sedih. Langakh awalnya adalah dengan tetap
dan apa yang sedang mereka pikirkan dan rasakan. Padahal kamu pasti tahu kalau saat itu
mungkin dia sedang bingung dan belum mengerti apa yang sedang terjadi.mDengan
membuka komunikasi, si kecil tidak akan merasa sendiri. Pancing dia untuk menceritakan
apa yang sedang ia rasakan. Terutama bagi anak yang telah kehilangan anggota keluarda
atau mengalami luka karena bencana. Kuatkan dia dan berikan motivasi positif untuk bisa
menghadapinya. Pasca bencana anak-anak sebaiknya jangan terpisah dari kelompok anak-
anak lain agar dia bisa merasakan kebersamaan. Hal ini untuk menghindari jangan sampai
anak memendam perasaannya yang pada akhirnya membuat trauma dan rasa sedihnya tidak
2. Ceritakan fakta yang terjadi sebenarnya. Cara terbaik untuk menghadapi anak pasca
bencana adalah dengan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi syaratnya adalah
dengan kalimat yang mudah dipahami. Jujur menceritakan kepada si kecil apa yang telah
terjadi adalah salah satu cara untuk mencegah anak mengira-ngira dan berimajinasi
berlebihan tentang bencana alam. Ketika anak takut dan sedih dengan penjelasan mengenai
bencana alam yang telah mereka lewati, biarkanlah emosi mereka lepas. Itu tandanya dia
masih memiliki iDengan cara ini, anak akan bisa lebih tenang ke depaannya dan bisa jujur
dengan apa yang dia rasakan. Memberikatahukan fakta dan kebenarannya, membuat anak
jadi tahu tentang bencana alam. Si kecil akan akan belajar menghadapi bencana alam jika
sewaktu-waktu terjadi lagi dan rasa empati dia akan terbangun untuk menolong.
bencana adalah dengan melakukan aktivitas anak yang seru. Ajak anak-anak untuk
berkumpul dan bermain bersama akan membantunya melupakan kejadian yang cukup
membuat mereka bersedih dan trauma.Seperti Andien yang mengunggah kebersamaannya
dengan anak-anak korban gempa bumi Lombok kemarin. Andien lewat akun instagramnya
Andien menuliskan “Sesi trauma healing untuk anak-anak korban gempa. Semoga dalam
kondisi apapun, cahaya selalu menyelinap di relung hati mereka.” Terlihat Andien tertawa
dan bermain bersama dengan anak-anak di tenda pengungsian. Hal sederhana seperti yang
Andien lakukan, tentunya cukup menghibur anak-anak dan membuat mereka tersenyum.
Pentingnya trauma healing jangan disepelekan karena jika trauma pada anak tidak
4. Biarkan si kecil bermain dengan teman seumurnya. Bagaimana pun kondisi daerah
pasca bencana dan pengungsian, anak-anak akan tetap menjadi anak-anak. Mereka akan
tetap mencari kesenangan. Apalagi jika mereka memiliki teman seumuran, tentu akan lebih
bermain dan belajar anak, walaupun di tempat pengungsian. Dengan adanya tempat
tersebut, si kecil bisa diarahkan untuk melakukan kegiatan positif bersama-sama. Bisa
dengan bernyanyi bersama, bermain, belajar atau mendengarkan cerita-cerita menarik dari
5. Tidak menunjukan rasa sedih berlebihan. Sedih, iba, kasihan tentu akan dirasakan oleh
orang dewasa ketika melihat anak-anak ikut mengungsi dan harus hidup di tenda-tenda
pengungsian. Mereka tepaksa berada di tempat yang kurang nyaman karena rumah mereka
sudah tidak bisa ditinggali dan juga untuk menghindari bencana susulan. Dibalik semua
kondisi yang sangat menyentuh, sebaiknya tidak memperlihatkan rasa sedih berlebihan
kepada anak. Dengan tetap tenang akan membuat anak merasa terlindungi dan tidak panik
Misalnya dengan mengadakan pengajian atau belajar tentang agama dan doa bersama serta
menyanyikan lagu-lagu pujian bersama yang diajarkan oleh tim penanggulangan bencana.
Referensi : https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jim/article/download/10756/8531.
https://lib.unnes.ac.id/29824/1/1601410029.pdf
KELOMPOK RENTAN : PENYAKIT KRONIS
Bencana gempa bumi memang menjadi momok yang menakutkan untuk kita, dibalik semua
hal burukyang terjadi setelah bencana adalah efek yang ditimbulkan, yaitu dapat berupa
kernugian materi,fisik maupun kondisi psikologis yang memburuk. Pada kesempatan ini kami
akan membahas mengenai kerugian akibat bencana gempa bumi pada korban yang mengalami
penyakit stroke dan cara menangani psikologis dan spiritual korban.
A. Hal yang dilakukan untuk menangani korban gempa
pertama, membuat crisis center bagl korban gempa. Orang yang mengalami peristiwa traumatis
mengalami berbagai geiolak iwa. Dalam situasi seperti itu mereka mengharapkan pelayanan
kesehatan maupun dukungan emosional(emotional support) dai orang lan. Keluarga, kawan-
kawan dekat, dan relawan (orang-orang yang memllki kerelan untuk membantu mereka) akan
menhadirkan dukungan emosional.
Kehadiran crisis center akan memiliki manfaat yang signifikan bagi mereka. i Dimaksudkan
untukmemberikan pertolongan fisik, pdsikologi dan spintual, yang bersifat segera bagi korban
gempa, karenanya perlu melibatka dokter dan perawat, psikologi dan psikiater serta ustadz dan
kiyai, atau pastor dan pendeta.
Kedua, pengembangan pendampingkorban. Menghadirkan pendamping bagi parai korban yang
mengalami syndroma psikologis. Salah satu kemampuan pokok yang perlu i dimiliki
pendamping adalah kemampuan memberikan dukungan emosional kepada korban (seperti
empati, mendengar cerita dengan kesabaran, meyakinkan keadaan akan segera membaik, dan
bahwa setiap orang diciptakan tuhan memiliki kemanpuan untuk menanggung derita).
Ketiga, pemberdayaan masyarakat setepat melalui multivel help. Saat korban merasakan
penderitaan, yang diharapkan pertama memberikan pertolongan adalah masyarakat dimana
bencana gempa bumi terjadi. Pertimbangannya adalah sering kali bantuan dari luar terlambat
datangnya, disamping tidak merata, dan sekalipun yang banyak tapi yang sampai sedikit.
Disamping itu, relawan dari masyarakat setempat lebith mudah diorganisir dari pada menunggu
datangnya orang yang profesional (dokter, psikolog, dan sebagainya), jumlahnya juga cukup
banyak.
khusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap
emosi dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai
berikut: syok, rasa takut, sedih, marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasai
tidak berdaya, kehilangan emos seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan atau perhatian
pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognitif, korban bencana ini juga mengalami
perubahan seperti: pikiran kacau, salah persepsi, menurunnya kemampuan untuk mengambil
keputusan, daya konsentrasi dan daya ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak
menyenangkan, dan terkadang menyalahkan dirinya sendiri
d. Dampak bencana pada aspek spiritual
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang kompleks yaitu
kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual. Spiritual digambarkan sebagai
pengalaman seseorang atau i keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang
ada pada i diri seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams, 1993). Dyson, Cobb, dan Forman
(1997) menyatakan bahwa
spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain
dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.
SUMBER:
Dampak psikososial, Mandikadir, FIK UI, 2009.
KELOMPOK RENTAN : DISABILITAS
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus
(cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran
televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk
tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai
kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang
jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti
satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan
si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali
mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti
(Farida, Ida. 2013).
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi
roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban,
dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK
untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan
pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan
jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah
komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit
diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat,
dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian
tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan
debu)
Referensi:
Powers, R., & Daily, E.. (Eds.). 2010. International Disaster Narsing. Cambridge, i UK: The
World Assocation for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal. 21
Veenema. TG. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness i Chemical, Biological,
and Radiological Terorism and Other Hazards (2n ed.). New York, NY: Springer Publishing
Company, LLC.
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framwork of Disaster Nursing Competencies. Geneva, i Switzerland: ICN.
KELOMPOK RENTAN : SAKIT MENTAL
Bencana alam gempa bumi meningkatkan perhatian akan masalah kesehatan yang ditimbulkan
secara global (Saleema, 2012). Lebih dari 500.000 kali gempa dilaporkan terjadi di seluruh
penjuru dunia dalam tiap (Ramirez, 2005). Korban gempa tidak hanya mengalami masalah
darurat seperti pembangunan, makanan, kondisi fisik akibat gempa namun juga masalah
kesehatan mental (Surendra, 2017). Sebuah survey menunjukkan bahwa, setelah peristiwa
bencana, sebagian besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang
normal, sekitar 15-20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk
pada kondisi PTSD, sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, depresi
berat dan kecemasan yang tinggi (WHO, 2013). Sebuah systematic review masalah kesehatan
mental setelah gempa bumi di Jepang pada tahun 2011 menemukan bahwa kondisi PTSD
sekitar 10-53,5% dialami oleh korban gempa, sementara kondisi depresi dialami oleh sekitar
3-43,7% korban gempa (Ando, 2011).
Tanggal 5 Agustus 2018 terjadi gempa bumi berkekuatan 7 SR yang melanda Pulau Lombok,
Indonesia dengan kedalaman 32 km, setelah serangkaian gempa sejak awal Juli 2018 dengan
kekuatan 6,4 SR. Sekitar 390 orang meninggal dunia, 1447+ lukaluka, 67.875 rumah rusak,
468 sekolah rusak dan 352.793 orang mengungsi (Damanik, 2018). Berdasarkan hasil survey
menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang ketakutan atau khawatir jika gempa
terulang kembali sehingga masih belum ingin kembali ke rumah. Selain itu masyarakat
merasakan kesedihan tidak memiliki tempat tinggal akibat rumah yang hancur atau retak.
Trauma psikologis setelah bencana alam akan semakin memperburuk kondisi atau masalah
psikologis yang telah ada sebelum gempa terjadi (Surendra, 2017). Distress yang berkaitan
dengan bencana alam akan berlangsung lama setelah insiden (Ando, 2011 & Jordan, 2010).
Kondisi tersebut akan semakin memburuk bila tidak dideteksi sejak dini dan ditangani dengan
baik, sehingga membutuhkan pelayanan kesehatan mental (trauma healing) (Surendra, 2017).
Sebuah intervensi penanganan trauma psikologis paska bencana dilakukan untuk
menindaklanjuti kebutuhan pelayanan kese0hatan mental bagi korban bencana melalui
tindakan pelatihan petugas kesehatan untuk menyediakan dukungan psikososial (Walker,
2016). Petugas kesehatan yang telah menerima pelatihan akan mengaplikasikan layanan
kesehatan mental sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan layanan dalamm jangka waktu
panjang dan berkelanjutan. Hal tersebut merupakan bagian dari usaha perbaikan sistem
kesehatan di masyarakat (Surendra, 2017). Salah stau bentuk layanan kesehatan trauma healing
yang dapat diimplementasikan oleh perawat untuk mengatasi masalah psikososial atau
gangguan mental yaitu
mindfulness spiritual. Berdasarkan hasil studi literature, Mindfulness mampu mendorong
perilaku yang positif dan dapat menurunkan masalah psikologis diantaranya; stress, kecemasan
dan depresi (Walker, 2016). Sebuah penelitian tentang Mindfullness menunjukkan bahwa klien
yang mendapatkan terapi mindfulness dengan pendekatan spiritual dapat mengontrol marah
dan menenangkan hati klien, serta mampu meningkatkan kemandirian pasien dalam
menjalankan fungsi kehidupannya (Dwidiyanti, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ijaz
et al. pada tahun 2017 menemukan bahwa individu yang beribadah, shalat secara rutin dengan
mindfulness atau penuh kesadaran memiliki kesehatan mental yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan individu yang tidak melakukan ibadah secara rutin dan dengan
mindfulness (Ijaz, 2017). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi risiko gangguan
jiwa, masalahmasalah yang muncul pada korban gempa Lombok Nusa Tenggara Barat.
HASIL Survey
dilakukan pada sekitar 88 korban bencana alam gempa di wilayah kerja Puskesmas Penimbung
dan Puskesmas Gangga. Karakteristik Hasil menunjukkan bahwa 23,86% responden berjenis
kelamin laki-laki dan 76,14% berjenis kelamin perempuan. Sebagian responden berstatus
pekerjaan tidak bekerja (52,27%), 18,18% responden berstatus sebagai buruh dan sisanya -
responden memiliki pekerjaan sebagai petani, siswa, pedagang, guru, dosen, bidan desa,
perawat, mahasiswa dan pegawai swasta. Sebesar 30,68% responden korban gempa bumi tidak
bersekolah, 17,05% berpendidikan SD, 13,64% SMP, 20,45% SMA, D3 dan S1 masing-
masing sebesar 5,68%, dan 6,82% berpendidikan S2.
Deteksi Risiko Gangguan Jiwa Korban Bencana Alam Gempa Bumi di Lombok, Nusa
Tenggara Barat, September 2018 (N=88)
Bahwa sebanyak 13 orang dengan kriteria normal, 75 responden mengalami gangguan
neurosis, 26 responden mengalami gejala psikosis dan 57 responden mengalami gejala PTSD
(Post traumatic stress disorder). Penggunaan narkotika tidak ditemukan pada responden korban
bencana alam gempa bumi.
Bagan 1. Masalah yang timbul akibat bencana alam gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara
Barat, September 2018.
Masalah Yang Ditemukan
Dampak Gempa
Takut gempa akan terulang
Sulit melupakan gempa
Kecemasan, gemetar, pusing, sedih, tidak bisa tidur , gelisah memikirkan gempa Takut
masuk rumah, mendengar suara atau bila malam datang
Masalah Keluarga
Masalah dengan suami
Masalah dengan anak
Masalah dengan cucu
Kekhawatiran terhadap keluarga
Tidak jadi menikah
Masalah Pribadi
Merasa sendiri, menyendir
Isu Makhluk Halus Adanya telapak tangan dan wajah di dinding-dinding rumah
Ekonomi
Kehilangan pekerjaan Sakit Fisik
Masalah Akibat Bencana Alam Gempa Bumi Masalah-masalah yang ditemukan pada korban
setelah bencana alam gempa bumi diantaranya yaitu pertama masalah dampak gempa yang
meliputi ketakutan akan kembali terjadinya gempa bumi, kesulitan melupakan peristiwa
gempa, kecemasan, kegelisahan memikirkan gempa, ketakutan untuk masuk ke dalam rumah,
mendengar suara gemuruh atau ketakutan bila malam tiba. Kedua, setelah terjadinya gempa
para korban mengalami masalah keluarga seperti masalah dengan suami, anak, cucu,
kekhawatiran terhadap keluarga, dan termasuk juga gagal menikah. Ketiga, masalah dengan
diri sendiri pun muncul seperti merasa sendiri. Selain itu, kehilangan pekerjaan juga menjadi
masalah ekonomi yang muncul dampak terjadinya gempa bumi. Masalah tersebut yang
menyebabkan korban sering menyendiri, merasa pusing dan juga sedih. Keempat, isu makhluk
halus merupakan salah satu masalah yang muncul yang meresahkan masyarakat pasca gempa
bumi di Lombok. Isu muncul setelah ditemukannya cap telapak tangan di dinding - dinding
rumah warga. Isu makhluk halus ini merupakan masalah dalam aspek spiritual masyarakat yang
dialami setelah peristiwa gempa bumi. Aspek spiritual lain yaitu kondisi sakit yang dialami
oleh warga, warga menyebutkan keluhan fisik seperti pegal-pegal, sakit punggung, kaki dan
juga hipertensi. Mindfulness Spiritual Islam Hasil pengkajian masalah yang dialami oleh
korban bencana alam gempa bumi, para relawan yang telah dilatih memberikan latihan
mindfulness spiritual islam pada responden. Tujuan mindfulness spiritual islam diberikan
sebagai trauma healing untuk membuat para korban lebih fokus pada permasalahan saat ini,
lebih tenang, ikhlas dan tetap mensyukuri apa yang terjadi. Kemudian, masing-masing
responden memiliki rencana tindak lanjut sebagai target sehat mandiri agar dapat menjalani
aktivitas sehari-hari dengan perasaan lebih tenang dan bahagia. Adapun target sehat mandiri
yang telah ditentukan yaitu dzikir, shalawat, mengaji, shalat lima waktu, mengingat Alaah,
tidak mudah marah, mampu berkomunikasi dengan baik, sabar, ikhlas, pasrah, beristighfar dan
semangat.
PEMBAHASAN
Penelitian sering dilakukan mengenai isu kesehatan mental yang dialami oleh korban gempa
bumi (Feder, 2013). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar responden
adalah perempuan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami ansietas akibat trauma (Cheng, 2014). Meskipun sebuah
penelitian lain menyebutkan bahwa perempuan bukanlah
faktor risiko untuk peningkatan gangguan jiwa akibat trauma. Neem et al. dalam penelitiannya
menemukan bahwa perempuan lebih banyak memikirkan tentang bencana dan memiliki
keterikatan emosi yang dalam terhadap keluarga disbanding laki-laki (Neem, 2011).
Responden penelitian ini kebanyakan tidak bersekolah atau berpendidikan rendah dan juga
tidak bekerja, hal ini menjadi faktor risiko stress, gangguan kesehatan jiwa akibat rendahnya
pengetahuan mengenai manajeman paska bencana, trauma healing, dan lemahnya kondisi
ekonomi korban (Breewin, 2011). Masalah kesehatan jiwa seperti kecemasan dan depresi
dialami oleh para korban bencana (Anwar, 2011). Penelitian ini menjukkan bahwa sebagian
besar korban bencana mengalami gangguan jiwa paska gempa bumi. Takut, Cemas Memasuki
Rumah Akibat Peristiwa Gempa. Seseorang yang mengalami peristiwa gempa secara langsung
cenderung menghindari kontak langsung atau situasi yang dapat mengingatkan kembali pada
mereka peristiwa tersebut (Faroouqi, 2017). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dalam
konteks paska gempa bumi, fobia biasanya dihubungkan dengan suara keras atau gemuruh, dan
ketakutan gempa bumi lnjutan yang mungkin terjadi (Faroouqi, 2017). Masalah Keluarga dan
Ekonomi Akibat Gempa. Perpisahan antara keluarga biasanya terjadi akibat bencana alam,
masalah keluarga yang terjadi sebelum bencana membuat kondisi psikologis korban gempa
memburuk (Faroouqi, 2017). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa perpisahan dengan
keluarga suami, anak akibat bencana dapat meningkatkan risiko PTSD (Faroouqi, 2017). Selain
itu tingkat ekonomi yang rendah paa korban bencana menjadi faktor yang berkontribusi pada
kondisi psikologis korban bencana (Kun, 2009). Sebuah penelitian menemukan bahwa
ekonomi yang rendah pada korban bencana dikaitkan dengan kesulitan perkembangan
psikologis yang positif (Yuan, 2013). Isu Makhluk Halus dan Sakit Merupakan Aspek Spiritual
yang Ada di Masyarakat. Isu yang berkaitan dengan makhluk halus dan sakit menjadi salah
satu faktor risiko peningkatan risiko gangguan jiwa. Hal tersebut dikarenakan menambah
ketakutan dan beban pikiran para korban bencana gempa. Korban bencana yang menganggap
bahwa gempa bumi merupakan suatu bencana alami yang diberikan oleh Tuhan dan
mendekatkan diri kepada tuhan akan membantu korban pulih dari trauma bencana lebih cepat,
meningkatkan emosi yang positif dan meningkatkan koneksi sosial (Calhoun, 2000; Vasquez,
2005 & Richman, 2012). Target sehat mandiri yang dibuat oleh korban setelah melakukan
mindfulness dapat meningkatkan kedekatan, kenyamanan antara individu dan kepercayaannya
pada
Tuhan sehingga dapat lebih pasrah dan menerima dengan iklhlas, serta semangat menjalani
kehidupan sehari-harinya (Richman, 2012).
REFERENSI
Journal of Holistic Nursing And Health Sience. Volume 1, Nomor 2, Oktober 2018 Available
Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/hnhs