Di susun oleh :
ERNIATI (BOB0181744)
KELAS LILY
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Manajemen Disaster dan tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Mulyohadi Sungkono, SpOG (K), selaku Pembina Yayasan Kendedes Malang.
2. drg. Suharwati, selaku Ketua Yayasan Kendedes Malang.
3. dr. Endah Puspitorini, MScIH., DTMPH, selaku Ketua PLH Yayasan Kendedes Malang.
4. Dr. Edi Murwani, AMd.Keb., SPd., MMRS, selaku Ketua STIKes Kendedes Malang.
5. Lilik Winarsih, SST., M.Keb., selaku Ketua Progam Studi Diploma III Kebidanan
STIKes Kendedes Malang.
6. Eka Yuni Indah Nurmala, SST., M.Keb., selaku Wakil Ketua I STIKes Kendedes
Malang.
7. Riski Akbarani, SKM.,M.Kes., selaku Wali Kelas Lily STIKes Kendedes Malang.
8. Dian Hanifah,SST.,M.Keb, selaku penanggung jawab mata kuliah Manajemen Disaster
9. Ns.Eny Rahmawati,S.Kep.,M.kep, selaku tim mata kuliah Manajemen Disaster
10. C.Galuh S, SST.,M.Kes, selaku tim mata kuliah Manajemen Disaster
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Untuk itu mohon masukan yang positif
demi kesempurnaan penyusunan makalah ini. Terimakasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
Latar Belakang........................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
BAB III......................................................................................................................................................16
PENUTUP.................................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia,
seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena ketidakberdayaan manusia,
akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam
bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan
tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan
mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman
bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya
tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga
ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan
manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai
dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor
besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta
memiliki kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi
dampak yang hebat / luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap
bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan
sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-
tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana
dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana
yang cukup.
Dengan terjadinya hal tersebut dapat menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian
ini, sekaligus menganalisis sebab bencana dan cara penaggulangan bencana alam yang terjadi
di Indonesia
PEMBAHASAN
Berbagai pandangan tentang bencana berkembang dari waktu ke waktu, terkait dengan
tingkat pemahaman terhadap kejadian bencana, yaitu:
1. Paradigma konvesional
Pandangan ini menganggap bahwa bencana merupakan takdir dari Tuhan Yang
Maha Esa. Bencana dianggap sebagai takdir (musibah atau kecelakaan). Karena dianggap
sebagai takdir berupa musibah/kecelakaan, menurut pandangan ini bencana tidak dapat
diprediksi karena tidak menentu datangnya dan tidak dapat dihindari serta dapat
dikendalikan. Menurut pandangan ini pula, masyarakat adalah korban yang berhak
menerima bantuan dari pihak luar.
2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Pandangan ini mengemukakan tentang bencana berdasarkan ilmu pengetahuan
alam yang menganggap bahwa bencana sebagai unsur lingkungan fisik yang
membahayakan kehidupan manusia. Bencana dipandang sebagai kekuatan alam yang luar
biasa. Dalam periode ini mulai dipahami bahwa bencana merupakan proses geofisik,
geologi dan hydro-meterology. Dari aspek ilmu pengetahuan alam, pandangan ini
memang berkembang dan menganggap semua bencana adalah peristiwa alamiah yang
tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab terjadinya bencana.
3. Pandangan Ilmu Terapan
Perkembangan ilmu alam murni mulai bervariasi dengan berkembangnya ilmu-
ilmu terapan. Pandangan ilmu terapan melihat bencana didasarkan pada besarnya
ketahanan atau tingkat kerusakan akibat bencana. Pandangan ini melatarbelakangi oleh
ilmu-ilmu teknik sipil bangunan/konstruksi. Pengkajian bencana lebih ditujukan pada
upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.
4. Pandangan Progresif
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga berkembang
sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap bencana sebagai bagian yang
biasa dan selalu terjadi dalam pembangunan. Artinya, bencana merupakan masalah yang
tidak pernah berhenti dalam proses pembangunan. Peran pemerintah dan masyarakat
dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.
5. Pandangan Ilmu Sosial
Pandangan ini memfokuskan pada sisi manusianya, bagaimana sikap dan kesiapan
masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman bahaya adalah fenomena alam, akan tetapi
bahaya itu tidak akan berubah menjadi bencana jika manusianya siap atau tanggap.
Besarnya bencana tergantung pada perbedaan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi
bahaya atau ancaman bencana.
6. Pandangan Holistik
Pendekatan ini menekankan pada adanya bahaya, kerentanan dan risiko serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko. Gejala alam dapat
menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya jika bertemu dengan
kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat akan menjadi risiko bencana. Risiko
bencana akan berubah menjadi bencana, jika ada pemicu kejadian.
Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan
Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-
pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki
129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga
lempeng tektonik aktif dunia?Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ring of fire dan
berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan negara kepulauan ini berpotensi
terhadap ancaman bencana alam.
Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis
memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir,
tanah longsor, dan kekeringan. Tidak hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana
non alam sering melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun
kegagalan teknologi. Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah Indonesia berperan
penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di tanah air. Pembentukan lembaga
merupakan salah satu bagian dari sistem yang telah berproses dari waktu ke waktu. Lembaga ini
telah hadir sejak kemerdekaan dideklarasikan pada tahun 1945 dan perkembangan lembaga
penyelenggara penanggulangan bencana dapat terbagi berdasarkan periode waktu sebagai
berikut.
1. Pada tahun 1945-1966
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi
perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban
perang dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
2. Pada tahun 1966-1967
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam
Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung
jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada
penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini,
paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana
yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
3. Pada tahun 1967-1979
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam
Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung
jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada
penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini,
paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana
yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
4. Pada tahun 1979-1990
Pada periode ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam
(TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap
pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari
Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun
1979 membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam
(Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
5. Pada tahun 1990-2000
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta sosial.
Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik
sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini. Hal tersebut yang
melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB
diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan sosial.
Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999.
Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas
disiplin yang terkoordinasi.
6. Pada tahun 2000-2005
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial
yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru.
Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan
pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas
PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang
kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
7. Pada tahun 2005-2008
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun
2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional
dalam manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi
koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana
penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko
bencana menjadi perhatian utama.
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia
sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala,
unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana.
BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
2.3 PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Pengurangan risiko bencana (PRB) atau disaster risk reduction (DRR) adalah pendekatan
untuk mengindentifikasi, mengevaluasi, dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana.
Praktiknya adalah dengan melakukan upaya-upaya sistematis dalam menganalisis dan
mengelola faktor-faktor penyebab bencana. Termasuk melalui pengurangan kemungkinan
keterpaan bahaya, mengurangi kerentanan, manajemen tanah dan lingkungan secara bijaksana,
serta memperbaiki kesiapsiagaan terhadap kejadian bencana. Tujuan utamanya untuk
mengurangi risiko fatal di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.
Risiko bencana dapat diartikan sebagai kerugian potensi akibat bencana seperi nyawa,
harta, kesehatan, aset, mata pencaharian, layanan publik, dan lain-lain yang terjadi kepada
masyarakat pada waktu tertentu. Definisi risiko bencana ini mencerminkan konsep bahwa
bencana adalah hasil dari kondisi berisiko yang terjadi terus-menerus. Risiko bencana terdiri
dari berbagai tipe potensi kerugian yang seringkali sulit dihitung. Meskipun demikian, melalaui
pengetahuan yang memadai terhadap bencana sebelumnya dan pola perkembangan populasi dan
sosial-ekonomi, risiko bencana dapat dipetakan dan diukur.
Perkembangan PRB sangat dipengaruhi oleh penelitian massal pada berbagai malapetaka
di masa lalu. Konsep PRB berkembang dari paradigma penanggulangan bencana sebelumnya.
3.1 Kesimpulan
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia,
seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena ketidakberdayaan manusia,
akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam
bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung
pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya
bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan
menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di
wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena
peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya
potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang
mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi
mengakhiri peradaban umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 Tahun
2012 http://www.google.com//sejuta_bencana_terencana_di_Indonesia.
http://www.bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana