Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Disaster

Di susun oleh :

ERNIATI (BOB0181744)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

PROGAM STUDI DIII KEBIDANAN

KELAS LILY

Jl. Raden Panji Suroso No. 6, Polowijen, Blimbing, Kota Malang

Tahun Pelajaran 2019-2020


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Paradigma Penanggulangan Bencana”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Manajemen Disaster dan tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Mulyohadi Sungkono, SpOG (K), selaku Pembina Yayasan Kendedes Malang.
2. drg. Suharwati, selaku Ketua Yayasan Kendedes Malang.
3. dr. Endah Puspitorini, MScIH., DTMPH, selaku Ketua PLH Yayasan Kendedes Malang.
4. Dr. Edi Murwani, AMd.Keb., SPd., MMRS, selaku Ketua STIKes Kendedes Malang.
5. Lilik Winarsih, SST., M.Keb., selaku Ketua Progam Studi Diploma III Kebidanan
STIKes Kendedes Malang.
6. Eka Yuni Indah Nurmala, SST., M.Keb., selaku Wakil Ketua I STIKes Kendedes
Malang.
7. Riski Akbarani, SKM.,M.Kes., selaku Wali Kelas Lily STIKes Kendedes Malang.
8. Dian Hanifah,SST.,M.Keb, selaku penanggung jawab mata kuliah Manajemen Disaster
9. Ns.Eny Rahmawati,S.Kep.,M.kep, selaku tim mata kuliah Manajemen Disaster
10. C.Galuh S, SST.,M.Kes, selaku tim mata kuliah Manajemen Disaster
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Untuk itu mohon masukan yang positif
demi kesempurnaan penyusunan makalah ini. Terimakasih.

Malang, 20 maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4

Latar Belakang........................................................................................................................................4

BAB II.........................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6

Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana Di Indonesia................................................................6

Sejarah Penanggulangan Bencana Di Indonesia......................................................................................9

PENGURANGAN RISIKO BENCANA...............................................................................................12

TAHAP PENANGGULANAGAN BENCANA....................................................................................13

BAB III......................................................................................................................................................16

PENUTUP.................................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia,
seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena ketidakberdayaan manusia,
akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam
bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan
tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan
mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman
bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya
tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga
ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan
manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai
dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor
besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.

Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta
memiliki kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi
dampak yang hebat / luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap
bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan
sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-
tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana
dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana
yang cukup.
Dengan terjadinya hal tersebut dapat menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian
ini, sekaligus menganalisis sebab bencana dan cara penaggulangan bencana alam yang terjadi
di Indonesia

1.1 Rumusan Masalah


1.1.1 Untuk Mengetahui apa itu perubahan paradigma penanggulangan bencana di
Indonesia?
1.1.2 Untuk Mengetahui apa itu sejarah penanggulangan bencana?
1.1.3 Untuk Mengetahui apa itu prinsip pengurangan resiko bencana?
1.1.4 Untuk Mengetahui Fase/tahapan dalam penanggulangan bencana?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PERUBAHAN PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Berbagai pandangan tentang bencana berkembang dari waktu ke waktu, terkait dengan
tingkat pemahaman terhadap kejadian bencana, yaitu:
1. Paradigma konvesional
Pandangan ini menganggap bahwa bencana merupakan takdir dari Tuhan Yang
Maha Esa. Bencana dianggap sebagai takdir (musibah atau kecelakaan). Karena dianggap
sebagai takdir berupa musibah/kecelakaan, menurut pandangan ini bencana tidak dapat
diprediksi karena tidak menentu datangnya dan tidak dapat dihindari serta dapat
dikendalikan. Menurut pandangan ini pula, masyarakat adalah korban yang berhak
menerima bantuan dari pihak luar.
2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Pandangan ini mengemukakan tentang bencana berdasarkan ilmu pengetahuan
alam yang menganggap bahwa bencana sebagai unsur lingkungan fisik yang
membahayakan kehidupan manusia. Bencana dipandang sebagai kekuatan alam yang luar
biasa. Dalam periode ini mulai dipahami bahwa bencana merupakan proses geofisik,
geologi dan hydro-meterology. Dari aspek ilmu pengetahuan alam, pandangan ini
memang berkembang dan menganggap semua bencana adalah peristiwa alamiah yang
tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab terjadinya bencana.
3. Pandangan Ilmu Terapan
Perkembangan ilmu alam murni mulai bervariasi dengan berkembangnya ilmu-
ilmu terapan. Pandangan ilmu terapan melihat bencana didasarkan pada besarnya
ketahanan atau tingkat kerusakan akibat bencana. Pandangan ini melatarbelakangi oleh
ilmu-ilmu teknik sipil bangunan/konstruksi. Pengkajian bencana lebih ditujukan pada
upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.
4. Pandangan Progresif
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga berkembang
sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap bencana sebagai bagian yang
biasa dan selalu terjadi dalam pembangunan. Artinya, bencana merupakan masalah yang
tidak pernah berhenti dalam proses pembangunan. Peran pemerintah dan masyarakat
dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.
5. Pandangan Ilmu Sosial
Pandangan ini memfokuskan pada sisi manusianya, bagaimana sikap dan kesiapan
masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman bahaya adalah fenomena alam, akan tetapi
bahaya itu tidak akan berubah menjadi bencana jika manusianya siap atau tanggap.
Besarnya bencana tergantung pada perbedaan tingkat kerentanan masyarakat menghadapi
bahaya atau ancaman bencana.
6. Pandangan Holistik
Pendekatan ini menekankan pada adanya bahaya, kerentanan dan risiko serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko. Gejala alam dapat
menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya jika bertemu dengan
kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat akan menjadi risiko bencana. Risiko
bencana akan berubah menjadi bencana, jika ada pemicu kejadian.

Selain berkembang pandangan tentang bencana, juga berkembang paradigma


tentang tindakan/cara untuk menanggulangi bencana, yakni:
1) Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini berkaitan dengan pandangan konvensional yang menyatakan bahwa
bencana itu takdir ilahi sehingga masyarakat dipandang sebagai korban dan penerima
bantuan. Paradigma ini memfokuskan pada saat kejadian bencana melalui pemberian
bantuan darurat (relief) berupa evakuasi/pertolongan korban, bantuan pangan,
penampungan, dan layanan kesehatan. Tujuan utamanya adalah untuk meringankan
penderitaan korban, mencegah meluasnya kerusakan dan segera mempercepat pemulihan.
2) Paradigma Mitigasi
Paradigma ini memfokuskan pada pengenalan daerah rawan ancaman bencana
dan pola perilaku individu.masyarakat yang rentan terhadap bencana. Tujuan utama
mitigasi terhadap ancaman bencana dilakukan antara lain melalui pembuatan struktur
bangunan, sedangkan mitigasi terhadap pola perilaku yang rentan dilakukan antara lain
melalui relokasi permukiman, peraturan-peraturan bangunan dan penataan ruang.
3) Paradigma Pembangunan
Paradigma ini memfokuskan pada faktor penyebab dan proses terjadinya
kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat di berbagai aspek non-struktural misalnya pengentasan
kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, pemilikan lahan, akses terhadap modal, dan
inovasi teknologi.
4) Paradigma Pengurangan Risiko
Paradigma ini memfokuskan pada analisis risiko bencana, ancaman, kerentanan
dan kemampuan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan
dalam rangka mengelola dan mengurangi risiko dan juga mengurangi terjadinya bencana.
Hal ini dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak (stakeholder) melalui
pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan untuk pergeseran pardigma, terdapat empat hal fundamental yang


berubah atas paradigma awal dalam penanggulangan bencana, diantaranya:
a. Dari Tanggap Darurat menjadi Kesiapsiagaan.
Tanggap darurat sampai hari ini memang penting dilakukan dan memang
dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana. Tidak cukup berhenti di sini semata.
Ada bencana, ada proses pertolongan, kemudian selesai. Namun, yang lebih penting
adalah bagaimana menyiapkan masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi
bencana, mengurangi dampak risiko yang akan dahapinya, serta mengelola pengetahuan
menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat sehingga tahan dan tangguh dalam
mengahadapi bencana yang menimpa. Jadi, bukan hanya tanggap darurat tetapi juga
keseluruhan manajemen risiko dan pembangunan.
b. Dari Sentralistik menjadi Otonomi Daerah
Pemerintah menyadari bahwa kejadian bencana haruslah direspon secara cepat
dan tepat. Penanganan selama ini yang semuanya diurus oleh pemerintah pusat, maka
banyak terjadi keterlambatan dalam memberikan pertolongan dan bantuan. Di sinilah
muncul paradigma baru , yakni penanganan bencana bisa dilaksanakan melalui
pemerintah daerah yang bersifat otonom.
c. Dari Pemerintah Sentris menjadi Partisipatori
Kemampuan pemerintah tidaklah cukup besar, untuk menggelontorkan
anggarannya guna membantu begitu banyak korban bencana yang terjadi hampir secara
bersamaan dan berkesinambungan. Oleh karenanya, peran serta masyarakat lokal,
nasional, maupun internasional dibutuhkan guna membantu memulihkan korban bencana
tersebut. Inilah yang disebut dengan pergeseran paradigma dari pemerintah sentris
menjadi partisipatori. Karena dengan adanya demokratisasi serta otonomi daerah
penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah bersama dengan
masyarakat.
d. Dari Kemurahan menjadi Hak Dasar
Awalnya, pemerintah menyangka bahwa membantu korban bencana adalah
sebuah kemurahan hati semata. Padahal ini adalah anggapan salah, sedangkan yang benar
adalah bahwa membantu korban bencana itu memang karena hal itu merupakan hak dasar
dari setiap warga negara Indonesia. Maka, tak salah jika disebutkan bahwa perlindungan
merupakan bagian dari hak dasar, dan pengurangan risiko adalah bagian dari
pembangunan.
2.2 SEJARAH PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Sejarah Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terbentuk tidak


terlepas dari perkembangan penanggulangan bencana pada masa kemerdekaan hingga bencana
alam berupa gempa bumi dahsyat di Samudera Hindia pada abad 20. Sementara itu,
perkembangan tersebut sangat dipengaruhi pada konteks situasi, cakupan dan paradigma
penanggulangan bencana. Melihat kenyataan saat ini, berbagai bencana yang dilatarbelakangi
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis mendorong Indonesia untuk membangun
visi untuk membangun ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana. Wilayah Indonesia
merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia.

Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan
Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-
pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki
129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga
lempeng tektonik aktif dunia?Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ring of fire dan
berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan negara kepulauan ini berpotensi
terhadap ancaman bencana alam.

Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis
memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir,
tanah longsor, dan kekeringan. Tidak hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana
non alam sering melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun
kegagalan teknologi. Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah Indonesia berperan
penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di tanah air. Pembentukan lembaga
merupakan salah satu bagian dari sistem yang telah berproses dari waktu ke waktu. Lembaga ini
telah hadir sejak kemerdekaan dideklarasikan pada tahun 1945 dan perkembangan lembaga
penyelenggara penanggulangan bencana dapat terbagi berdasarkan periode waktu sebagai
berikut.
1. Pada tahun 1945-1966
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi
perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban
perang dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
2. Pada tahun 1966-1967
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam
Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung
jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada
penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini,
paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana
yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
3. Pada tahun 1967-1979
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam
Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung
jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada
penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini,
paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana
yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
4. Pada tahun 1979-1990
Pada periode ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam
(TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap
pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari
Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun
1979 membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam
(Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
5. Pada tahun 1990-2000
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta sosial.
Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik
sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini. Hal tersebut yang
melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB
diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan sosial.
Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999.
Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas
disiplin yang terkoordinasi.
6. Pada tahun 2000-2005
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial
yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru.
Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan
pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas
PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang
kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
7. Pada tahun 2005-2008
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun
2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional
dalam manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi
koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana
penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko
bencana menjadi perhatian utama.
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia
sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala,
unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana.
BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
2.3 PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Pengurangan risiko bencana (PRB) atau disaster risk reduction (DRR) adalah pendekatan
untuk mengindentifikasi, mengevaluasi, dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana.
Praktiknya adalah dengan melakukan upaya-upaya sistematis dalam menganalisis dan
mengelola faktor-faktor penyebab bencana. Termasuk melalui pengurangan kemungkinan
keterpaan bahaya, mengurangi kerentanan, manajemen tanah dan lingkungan secara bijaksana,
serta memperbaiki kesiapsiagaan terhadap kejadian bencana. Tujuan utamanya untuk
mengurangi risiko fatal di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.
Risiko bencana dapat diartikan sebagai kerugian potensi akibat bencana seperi nyawa,
harta, kesehatan, aset, mata pencaharian, layanan publik, dan lain-lain yang terjadi kepada
masyarakat pada waktu tertentu. Definisi risiko bencana ini mencerminkan konsep bahwa
bencana adalah hasil dari kondisi berisiko yang terjadi terus-menerus. Risiko bencana terdiri
dari berbagai tipe potensi kerugian yang seringkali sulit dihitung. Meskipun demikian, melalaui
pengetahuan yang memadai terhadap bencana sebelumnya dan pola perkembangan populasi dan
sosial-ekonomi, risiko bencana dapat dipetakan dan diukur.
Perkembangan PRB sangat dipengaruhi oleh penelitian massal pada berbagai malapetaka
di masa lalu. Konsep PRB berkembang dari paradigma penanggulangan bencana sebelumnya.

2.4 TAHAP PENANGGULANAGAN BENCANA

a. Tahap Pencegahan dan Mitigasi


Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi serta menanggulangi resiko
bencana. Rangkaian upaya yang dilakukan dapat berupa perbaikan dan modifikasi lingkungan fisik
maupun penyadaran serta peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural maupun kultural (non
struktural). Secara struktural upaya yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan (vulnerability)
terhadap bencana adalah rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Sedangkan secara kultural upaya
untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah dengan cara mengubah
paradigma, meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun masyarakat yang tangguh.
Mitigasi kultural termasuk di dalamnya adalah membuat masyarakat peduli terhadap lingkungannya
untuk meminimalkan terjadinya bencana.
Kegiatan yang secara umum dapat dilakukan pada tahapan ini adalah:
1. membuat peta atau denah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana
2. pembuatan alarm bencana
3. membuat bangunan tahan terhadap bencana tertentu
4. memberi penyuluhan serta pendidikan yang mendalam terhadap masyarakat yang berada di wilayah
rawan bencana.
b. Tahap Kesiapsiagaan
Tahap kesiapsiagaan dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. Pada tahap ini alam
menunjukkan tanda atau signal bahwa bencana akan segera terjadi. Maka pada tahapan ini, seluruh
elemen terutama masyarakat perlu memiliki kesiapan dan selalu siaga untuk menghadapi bencana
tersebut.
Pada tahap ini terdapat proses Renkon yang merupakan singkatan dari Rencana Kontinjensi.
Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga
tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi berarti suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang
didasarkan pada keadaan kontinjensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi mungkin
tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak terjadi.
Secara umum, kegiatan pada tahap kesiapsiagaan antara lain:
1. menyusun rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan persediaan dan pelatihan
personil.
2. menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana evakuasi untuk daerah yang
mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang.
3. melakukan langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum  peristiwa bencana terjadi dan
ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan layanan, dan kerusakan saat bencana terjadi.
c. Tahap Tanggap Darurat
Tahap tanggap darurat dilakukan saat kejadian bencana terjadi. Kegiatan pada tahap tanggap darurat
yang secara umum berlaku pada semua jenis bencana antara lain:
1. Menyelamatkan diri dan orang terdekat.
2. Jangan panik.
3. Untuk bisa menyelamatkan orang lain, anda harus dalam kondisi selamat.
4. Lari atau menjauh dari pusat bencana tidak perlu membawa barang-barang apa pun.
5. Lindungi diri dari benda-benda yang mungkin melukai diri
d. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi biasa dilakukan setelah terjadinya bencana. Kegiatan inti pada
tahapan ini adalah:
1. Bantuan Darurat
o Mendirikan pos komando bantuan
o Berkoordinasi dengan Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan Bencana
(SATKORLAK PBP) dan pemberi bantuan yang lain.
o Mendirikan tenda-tenda penampungan, dapur umum, pos kesehatan dan pos koordinasi.
o Mendistribusikan obat-obatan, bahan makanan dan pakaian.
o Mencari dan menempatkan para korban di tenda atau pos pengungsian.
o Membantu petugas medis untuk pengobatan dan mengelompokan korban.
o Mencari, mengevakuasi, dan makamkan korban meninggal.
2. Inventarisasi kerusakan
o Pada tahapan ini dilakukan pendataan terhadap berbagai kerusakan yang terjadi, baik bangunan,
fasilitas umum, lahan pertanian, dan sebagainya.
3. Evaluasi kerusakan
o Pada tahapan ini dilakukan pembahasan mengenai kekurangan dan kelebihan dalam
penanggulangan bencana yang telah dilakukan. Perbaikan dalam penanggulangan bencana
diharapkan dapat dicapai pada tahapan ini.
4. Pemulihan (Recovery)
o Pada tahapan ini dilakukan pemulihan atau mengembalikan kondisi lingkungan yang rusak atau
kacau akibat bencana seperti pada mulanya. Pemulihan ini tidak hanya dilakukan pada
lingkungan fisik saja tetapi korban yang terkena bencana juga diberikan pemulihan baik secara
fisik maupun mental.
5. Rehabilitasi (Rehabilitation)
o Mulai dirancang tata ruang daerah (master plan) idealnya dengan memberi kepercayaan dan
melibatkan seluruh komponen masyarakat utamanya korban bencana. Termasuk dalam kegiatan
ini adalah pemetaan wilayah bencana.
o Mulai disusun sistem pengelolaan bencana yang menjadi bagian dari sistem pengelolaan
lingkungan
o Pencarian dan penyiapan lahan untuk permukiman tetap
o Relokasi korban dari tenda penampungan
o Mulai dilakukan perbaikan atau pembangunan rumah korban bencana
o Pada tahap ini mulai dilakukan perbaikan fisik fasilitas umum dalam jangka menengah
o Mulai dilakukan pelatihan kerja praktis dan diciptakan lapangan kerja
o Perbaikan atau pembangunan sekolah, sarana ibadah, perkantoran, rumah sakit dan pasar mulai
dilakukan
o Fungsi pos komando mulai dititikberatkan pada kegiatan fasilitasi atau pendampingan.
6. Rekonstruksi
o Kegiatan rekonstruksi dilakukan dengan program jangka menengah dan jangka panjang guna
perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi
yang lebih baik dari sebelumnya
7. Melanjutkan pemantauan
o Wilayah yang pernah mengalami sebuah bencana memiliki kemungkinan besar akan
mengalami kejadian yang sama kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan terus-
menerus untuk meminimalisir dampak bencana tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia,
seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena ketidakberdayaan manusia,
akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam
bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung
pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya
bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan
menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di
wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena
peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya
potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang
mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi
mengakhiri peradaban umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 Tahun
2012 http://www.google.com//sejuta_bencana_terencana_di_Indonesia.

http://www.bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-bencana

Anda mungkin juga menyukai