Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATAKULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : Angga Ihza Fahlevi

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043800033

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204/Hukum Adat

Kode/Nama UPBJJ : 47Pontianak

Masa Ujian : 2020/21.2 (2022.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1.1 Hukum adat atau hukum kebiasaan adalah serangkaian aturan yang mengikat pada
suatu masyarakat yang tidak tertulis dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan
berkembang pada suatu masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum
secara turun temurun.
Berdasarkan contoh kasus Ninik Mamak pada masyarakat Minangkabau yang mencari
pemecahan masalah melalui musyawarah mufakat. Merupakan contoh asli dimana
peran petinggi adat Menentukan hukum adat aturan ataupun sanksi sesuai dengan adat
dan kebiasaan masyarakat Minangkabau sendiri. Hukum itu disepakati dan taati bagi
masyarakat dan kian tumbuh dan berkembang menjadi suatu kesaturan aturan dan
kebiasaan yang mengikat bagi masyarakat Minangkabau.

1.2 Norma hukum bisa digunakan sebagai pedoman untuk memberi tindakan bagi
pelanggar hukum. Pelanggaran yang dilakukan mungkin dianggap sebagai
penyelewengan dari aturan yang ada sehingga masyarakat akan melaporkan kepada
pihak terkait supaya ada pemberlakuan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pengertian
norma bisa diartikan sebagai petunjuk atau pedoman tingkah laku yang harus dilakukan
atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan suatu alasan
tertentu.
Begitu pula untuk hukum adat penerapan norma tentu yang menjadi akar timbulnya
hukum adat bagis suatu masyarakat.
Seperti Norma Agama pada masyarakat Minangkabau. Nilai nilai agama seperti
melibatkan tokoh tokoh agama Islam yang ada di sana. Selain itu adat minang identik
dengan ajaran Islam sebagaimana tercermin dalam filosofi adat Minangkabau yakni adat
basandi syarak-syarak basandi Kitabullah. Ajaran Islam begitu kental dengan
kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Demikian juga halnya dengan
konsistensi masyarakat Minangkabau dalam
menjalankan serta mematuhi peraturan adatnya.
Begitu pula untuk Norma kesopanan terlihat pada adat Proses integrasi seseorang
dengan orang lain dalam pergaulan di Minangkabau sering diumpamakan dengan suatu
“ jalan ” . Jalan mendaki adalah tata cara seseorang dalam bersikap, bertingkah laku
kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Jalan menurun adalah sikap sopan santun
dari yang tuda terhadap yang lebih muda, Jalan mendatar, ialah tata cara pergaulan
sesama besar, baik dipandang dari usia maupun status dan Jalan melereng adalah sopan
santun melalui kiasan, pantun, mamang, bidal, pepatah-petitih.
Begitulah peran norma bagi adat yang berkembang di Minangkabau, norma tersebut
menjadi pedoman dalam menentukan hukum dan adat kebiasaan.

2.1 sekira abad ke-15 di sekitar pesisir barat Minangkabau. Dakwah Islam terjadi dengan
perantaraan para saudagar Aceh. Memang, daerah di ujung Pulau Sumatra itu lebih
dahulu menerima risalah Islam. Pada tahap inilah dakwah Islam berkembang pesat dan
lebih sistematis dalam menjangkau seluruh penduduk Minangkabau.
Pada masa pemerintahan Ananggawarman (anak Aditiawarman, sang pendiri Kerajaan
Pagaruyung), pengaruh Hindu-Buddha mulai pudar. Hal ini seiring dengan melemahnya
Majapahit di Pulau Jawa. Namun, Majapahit di bawah pimpinan Wikramawardhana
(menantu Hayam Wuruk) sempat menyerang Pagaruyung, meski pada akhirnya kalah.
Dengan demikian akbat hubungan dengan aceh yang semakin intensif masyarakat
Minangkabau menjadi Muslim, Islam mulai dikenal kalangan istana Pagaruyung sejak
abad ke-17. Dalam Tambo dijelaskan, raja pertama yang memeluk agama ini bergelar
Sultan Alif. Dengan demikian, muncul lembaga baru yang disebut Raja Ibadat sebagai
perimbangan daripada Raja Adat yang mengurus persoalan tradisi dan Raja Alam
sebagai eksekutif pemerintahan.

2.2. Akibat dari pencampuran hukum adat dan hukum agama Dasar pengaturan
masyarakat Minangkabau pun bertransformasi. Sebelum kedatangan Islam, filsafat adat
Minangkabau mengambil acuan dari ketentuan alam. Para cerdik cendekia mengamati
alam, menemukan hukum-hukum alam, untuk kemudian dipetik hikmahnya.

Setelah Islam diterima, adat Minangkabau disempurnakan dengan ketentuan agama,


yakni sesuai Alquran dan Sunah. Dengan begitu, ada dua kutub yang menjadi rujukan
masyarakat setempat, yakni adat dan agama. Keduanya saling berdampingan tanpa
harus saling meniadakan.

Pepatah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” merupakan sintesis dari oposisi
biner tersebut. Adat berjalan seiring dengan tuntunan agama (syara’/syariat).

Seorang pemuka adat mesti seorang Muslim yang taat menjalankan syariat Islam. Di
saat yang sama, seorang ulama harus memahami adat Minangkabau secara
komprehensif.

3.1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Bab II Syarat-syarat
Perkawinan, dalam Pasal 6 ayat (2) menyatakan: untuk melangsungkan Perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari
kedua orang tua. Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai
kebolehan untuk melakukan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2), yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perkawinan diizinkan bila
pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dalam pasal ini,
dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua
orang tua pihak pria atau pihak wanita. Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan
batas usia minimal seseorang dapat melangsungkan perkawinan. Secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bahwa syarat melangsungkan
perkawinan untuk pihak pria adalah 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Menurut Undang-undang Perkawinan
Undang-undang no. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), ― Anak yang
belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya. dan pasal 50 ayat (1). ― Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Artinya dewasa ketika
sudah diperbolehkan menikah, usianya 18 tahun. (UU. no. 01 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1), hal. 8).
Sedangkang awalnya pemerintah hanya mengatur batas usia minimal perempuan untuk
menikah yakni 16 tahun. Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan . Kemudian, UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019
yang berlaku sejak 15 Oktober 2019.

Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah
adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Kemen PPPA, dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa
kategori anak adalah mereka yang usianya di bawah 18 tahun.

3.2 sampaikan bahwa saat ini masih terdapat perbedaan dalam hal batasan usia dewasa
atau batasan usia anak dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Misalnya, menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), mereka
yang belum dewasa adalah yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin
sebelumnya. Sedangkan, berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ( “ UU Perkawinan ” ), anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun. Jadi, orang yang berusia 18 tahun masih dikategorikan anak
menurut KUHPer, tapi usia tersebut tidak dikategorikan sebagai anak menurut UU
Perkawinan.
dalam Pasal 330 KUHPer diatur mengenai kedewasaan seseorang, yaitu seseorang
dianggap dewasa jika telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin.

Pasal 330 KUHPer:


“Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak kawin sebelumnya.”

Dalam hal seseorang telah menikah dan bercerai sebelum sebelum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, berdasarkan Pasal 330 ayat (2) KUHPer, orang-orang tersebut tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa:

“Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.”

Dengan demikian, secara hukum perdata, seseorang yang bercerai sebelum usianya
dewasa, tidak kembali menjadi orang yang berstatus sebagai belum dewasa atau anak.

Anda mungkin juga menyukai