Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Pengertian Anak

Pengertian anak mengandung berbagai arti, apabila kata anak diikuti


dengan kata lain, misal anak turunan, anak sungai, anak negri, dan anak
kecil, dan sebagainya. Selain itu terdapat pengertian lain yaitu pengertian
anak dalam hukum keperdataan, terutama dalam hubungannya dengan
keluarga, seperti anak kandung, anak lelaki dan anak perempuan, anak
sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak
pungut, anak kemenakan, anak pisang, anak sumbang dan sebagainya
(Hilman Hadikusuma, 1992 : 83).

Sedangkan di dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia


memakai tolak ukur yang beragam dalam menentukan seseorang
digolongkan sebagai seorang anak ataupun seseorang digolongkan sebagai
orang dewasa, antara lain yaitu :

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330


disebutkan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tolak ukur
yang dipakai dalam menetukan seseorang digolongkan sebagai anak
adalah usia belum mencapai 21 tahun dan belum kawin (menikah).

b. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan


seseorang dapat dianggap dewasa dan wenang bertindak. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hukum adat ukuran

14
15

kedewasaan tidak berdasarkan usia melainkan perbuatan tertentu yang


nyata.

Harus diingat bahwa yang dimaksud dengan anak dalam keluarga


atau kerabat adat tidak diukur menurut batas umur, dewasa atau belum
dewasa, belum kawin atau sudah kawin, begitu juga apakah anak
kandung atau anak adat, anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak pungut
dan sebagainya (Hilman Hadikusuma,2003 : 153 ).

c. Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, batasan kedewasaan tidak berdasarkan


hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah, baik
bagi anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan (Irma
Setyowati Soemitro, 1990 : 20).

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tolak ukur yang


dipakai dalam menetukan seseorang digolongkan sebagai orang
dewasa bukan berdasarkan usia tetapi adanya tanda-tanda perubahan
badaniah,bentuk tubuh tidak seperti anak-anak lagi,dan yang pasti
sudah baligh.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan

Dalam undang-undang ini tidak terdapat ketentuan yang


mengatur bilamana seseorang digolongkan sebagai seorang anak.
Undang-Undang ini hanya menyebutkan bahwa,

1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai


umur 21 (dua puluh satu ) tahun harus mendapat izin dari kedua
orang tuanya (Pasal 6 ayat 2).
2) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki berumur 19
tahun dan pihak perempuan berumur 16 tahun (Pasal 7 ayat 1).
3) Mereka belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan di bawah kekuasaan orang tuanya
16

selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya (Pasal 47


ayat 1).
4) Bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali (Pasal 50
ayat 1).

Dengan demikian dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan


bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan tolak ukur yang dipakai dalam menentukan
seseorang sebagai orang dewasa adalah 16 tahun bagi wanita dan 19
tahun bagi pria.

c. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang


Kesejahteraan Anak

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang pada


dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
menikah.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002


tentang Perlindungan Anak terdapat penjelasan mengenai anak. Anak
adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 ( delapan belas ) tahun,
termasuk anak yang masih dimulai sejak anak masih dalam kandungan
sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

e. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dalam Undang-undang ini menjelaskan mengenai pengertian anak


yaitu sebagai berikut :
17

1) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
2) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
3) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum
anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
4) Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia
dan seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

2. Tinjauan Umum tentang Pengangkatan Anak

a. Pengertian Pengangkatan Anak

1) Secara Etimologi

Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda dan istilah


pengangkatan anak berkembang di Indonesia sebagai terjemahan
dari bahasa Inggris "Adoption", yang berarti mengangkat seorang
anak, anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri dan
mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Dalam bahasa
Arab disebut dengan istilah 'tabanni' yang berarti mengambil anak
angkat.

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum,


berarti pengangkatan seorang anak sebagai anak kandungnya
sendiri. Jadi di sini penekanannya pada persamaan dan status anak
angkat dari hasil pengangkatan anak kandung. Ini adalah
pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi), diover ke dalam bahasa
18

Indonesia berarti anak angkat atau mengankat anak (Muderis Zaini,


1992 : 4).

2) Secara Terminologi

Anak angkat, anak orang lain yang diangkat / diambil sehingga


kedudukannya sama dengan anak kandungnya sendiri (Hilman
Hadikusuma, 1992 : 86).

Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa adopsi, suatu cara


untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan
untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang
tua yang tidak memiliki keturunan. Akibat dari adopsi yang demikian
itu ialah bahwa anak yang adopsi kemudian memilki status sebagai
anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajibannya. Sebelum
melaksanakan adopsi tersebut calon orang tua harus memenuhi syarat
untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak ( Muderis
Zaini, 1992: 5).

Selanjutnya, beberapa ahli memberikan pengertian yang beragam


mengenai pengangkatan anak atau adopsi. Menurut Soerjono Soekanto
di dalam bukunya Intisari Hukum Keluarga, adopsi dirumuskan
sebagai berikut,

“Adopsi adalah mengangkat anak untuk dijadaikan anak sendiri, atau


secara umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu
yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan
pada factor hubungan darah” (Soerjono Soekanto, 1992 : 52).

Menurut Surojo Wigjodipuro yang dikutip Muderis Zaini dalam


bukunya yang berjudul Adopsi : Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem
Hukum, memberikan batasan sebagai berikut,

“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan


pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut
19

anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan


kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandungnya sendiri” (Muderis Zaini, 1992 :
5).
Dari rumusan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, adopsi
memberikan anak angkat kedudukan yang sama dengan anak kandung.
Sedangkan Soedaryo Soimin dalam bukunya Hukum Orang Dan
Keluarga Perspektif Hukum Perdata/BW-Hukum Islam Dan Hukum
Adat, memberikan rumusannya sebagai berikut,

“Pengangkatan anak atau adopsi adalah suatu perbuatan mengambil


anak orang lain ke dalam keluaganya sendiri, sehingga dengan
demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul
suatu hubungan hukum”(Soedaryo Soimin, 1992 : 38).

Dari rumusan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa


pengangkatan anak akan menimbulkan suatu hubungan antara orang
tua angkat dengan anak angkat.

b. Pengaturan tentang Pengangkatan Anak

Tidak semua orang tua memiliki kemampuan dalam memenuhi


kebutuhan pokok anak guna mewujudkan kesejahteraan anak. Realita
kehidupan yang demikian, dapat mengakibatkan perkembangan anak
baik perkembangan fisik, mental maupun sosialnya menjadi tidak baik.
Terkait dengan hal tersebut, pengangkatan anak diharapkan menjadi
salah satu usaha di dalam mewujudkan kesejahteraan anak, agar anak
dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada dirinya.

Di Indonesia pengaturan tentang pengangkatan anak berbagai


ketentuan untuk menertibkan pelaksanaan pengangkatan anak, yang
antara lain adalah sebagai berikut :

a) Staatblad 1917 Nomor 129 tentang Pengangkatan Anak atau


Adopsi Bagi Golongan Tionghoa.
20

Dalam Bab II Staatblad tersebut diatur tentang Pengangkatan


Anak Bagi Golongan Tionghoa. Menurut ketentuan tersebut, yang
dapat mengangkat adalah laki-laki beristeri atau tidak mempunyai
keturunan anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum
diambil sebagai anak angkat oleh orang lain. Dengan demikian
maka anak perempuan jelas tidak diperbolehkan, bahkan mendapat
ancaman batal demi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat
(2) Staatblad tersebut :

“Pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan


dengan cara lain daripada dengan akta notaris, adalah batal demi
hukum”.

Dari kententuan tersebut di atas dapat kita pahami bahwa


masyarakat Tionghoa menganut garis keturunan laki-laki dengan
perkawinan exogam. Adanya cucu laki-laki dari anak perempuan,
belum memenuhi syarat adat Tionghoa, untuk mengupayakan
cabang keluarga tidak putus dan tidak memenuhi kewajiban
merawat abu leluhur. Lain halnya kalau ia memiliki anak laki-laki,
tetapi anak laki-laki itu meninggal lebih dahulu dari dirinya dan
ada meninggalkan keturunan laki-laki jadi ada cucu laki-laki dari
anak laki-laki, maka orang tersebut tidak bisa mengadopsi anak
berdasarkan ketentuan tersebut di atas ( J.Satrio, 2000 : 195).

b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983 tentang


penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang
Pemeriksaan Permohonan Pengesahan / Pengangkatan Anak.

Dinyatakan tentang syarat-syarat permohonan pengesahan


atau penetapan pengangkatan anak WNI (Warga Negara Indonesia)
oleh orang tua angkat WNA (Warga Negara Asing), pengangkatan
anak WNA (Warga Negara Asing) oleh WNI (Warga Negara
Indonesia), maupun pengangkatan anak antar WNI (Warga Negara
Indonesia).
21

c) Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 tentang


Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai


pengangkatan anak perlu ditetapkan suatu ketentuan yang
mengatur tentang pelaksanaan anak dan pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak yang diundangkan tanggal 3 Oktober 2007.

Ketentuan tersebut memuat mengenai jenis-jenis


pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak antar WNI (Warga
Negara Indonesia), pengangkatan anak antara WNI (Warga Negara
Indonesia) dengan WNA (Warga Negara Asing), yaitu
pengangkatan anak WNA (Warga Negara Asing) di Indonesia oleh
WNI (Warga Negara Indonesia) dan Pengangkatan anak WNI
(Warga Negara Indonesia) oleh WNA (Warga Negara Asing);
syarat-syarat pengangkatan anak; tata cara pengangkatan anak;
bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak; pengawasan
dalam pelaksanaan pengangkatan anak serta pelaporan kelayakan
orang tua angkat dan perkembangan anak dalam pengasuhan
keluarga orang tua angkat.

b. Prosedur tentang Pengangkatan Anak

Di Indonesia belum ada pengaturan mengenai pengangkatan anak


yang bersifat nasional sehingga dalam praktek dikenal pengangkatan
anak melalui prosedur formal ( penetapan Pengadilan Negeri ) dan
prosedur informal ( menurut adat kebiasaan ).

Contoh prosedur pengangkatan anak menurut hukum adat yaitu


pengangkatan anak di Jawa Tengah. Hukum adat daerah Jawa Tengah
tidak memberikan ketentuan tentang cara mengangkat anak. Pada
umumnya pengangkatan anak dilakukan dengan adanya persetujuan
kedua belah pihak antara orang tua kandung dengan orang tua angkat.
22

Adanya persetujuan tersebut, mereka pergi ke balai desa untuk


memberitahukan maksud dan tujuannya (Bastian Tafal, 1989 : 72).

Kepala desa membuat surat pernyataan penyerahan anak yang


disetujui oleh kedua belah pihak (tidak dibubuhi tanda tangan tetapi
hanya dibubuhi cap jempol). Surat pernyataan ditandatangani oleh
saksi-saksi dan diketahui kepala desa dan camat. Serah terima anak
dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dilaksanakan
dihadapan kepala desa dan stafnya. Kemudian diadakan selamatan (
Jawa : kenduren : Temenggung : brokohan ) di rumah orang tua angkat
dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dari orang tua
angkat tersebut. Selamatan dilaksanakan dengan dibacakan doa
selamat terlebih dahulu atas pengangkatan anak tersebut. Syarat-syarat
mengenai pembayaran / pemberian tidak ada dalam pengangkatan
anak. Hanya di daerah Kendal terdapat ketentuan tambahan, yaitu
orang tua angkat seharusnya mampu menghidupi anak tersebut dan
dalam pengangkatan harus ada persetujuan suami istri karena yang
mengangkat anak adalah suami istri ( Bastian Tafal, 1989 : 72-73 ).

c. Syarat-Syarat tentang Pengangkatan Anak

1) Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 tentang Pengangkatan Anak


Bagi Golongan Tionghoa, yaitu :

a) Bagi calon orang tua angkat

Pada Pasal 5 ayat (1) lembar negara tersebut mengatakan


bahwa apabila seorang laki-laki dari garis laki-laki, baik
keturunan karena kelahiran, maupun keturunan karena
pengangkatan, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki
sebagai anaknya. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa yang dapat mengangkat anak hanya seorang laki-laki
yang telah / pernah menikah saja.
23

Sedangkan Pasal 5 ayat (2) mengatur bahwa bagi mereka


yang masih dalam ikatan perkawinan, pengangkatan anak harus
dilakukan bersama-sama. Kemungkinan seorang janda untuk
mengangkat anak juga telah diatur dalam Pasal 5 ayat (3), yaitu
janda yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak ada
wasiat dari suaminya yang melarang si janda untuk
mengangkat anak.

b) Bagi calon anak angkat

Calon anak angkat yang dapat diadopsi adalah seorang anak


laki-laki yang masuk dalam golongan Tionghoa. Anak tersebut
juga harus tidak beristri, tidak mempunyai anak dan belum
diadopsi oleh orang lain.

Selanjutnya diperlukan kesepakatan dari pihak pengangkat


anak dan pihak yang memberikan anak adopsi. Namun dalam
Pasal 8 ayat (3) lembar negara tersebut ditambahkan juga,
apabila calon anak angkat telah berumur 15 (lima belas) tahun,
maka ia harus memberikan kesepakatan pengangkatan anak
atas dirinya.

2) Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983


tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2
Tahun 1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan /
Pengangkatan Anak.

a) Syarat-syarat bagi pengangkatan anak antar Warga Negara


Indonesia, yaitu :

(1) Syarat bagi calon orang tua angkat (pemohon) :

(a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara


orang tua kandung dan orang tua angkat (private
adoption) diperbolehkan.
24

(b) Pengangkatan anak dilakukan oleh seorang yang tidak


terikat dalam perkawinan sah / belum menikah (single
parent adoption) diperbolehkan.

(2) Syarat bagi calon anak angkat :

(a) Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam


asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat ijin
tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang
bersangkutan telah diijinkan bergerak di bidang
pengangkatan anak.

(b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan


sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai ijin
tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk
bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai
anak angkat.

b) Syarat untuk pengangkatan anak WNA (Warga Negara Asing)


oleh orang tua angkat WNI (Warga Negara Indonesia) yaitu :

(1) Syarat bagi orang tua angkat WNI (pemohon)

(a) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui


suatu yayasan sosial yang memiliki ijin dari
Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah
diijinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan
anak. Sehingga pengangkatan anak WNA yang
langsung dilakukan antara orang tua kandung WNA
dengan calon orang tua WNI (private adoption) tidak
diperbolehkan.

(b) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak


terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah
(single parent adoption) tidak diperbolehkan.

(2) Syarat bagi calon anak angkat WNA yang diangkat :


25

(a) Usia calon anak angkat harus mencapai umur lima tahun.

(b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat


yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA yang
bersangkutan diijinkan untuk diangkat sebagai anak angkat
oleh calon orang tua angkat WNI yang bersangkutan.

c) Syarat bagi pengangkatan anak WNI (Warga Negara Indonesia)


oleh orang tua WNA (Warga Negara Asing), yaitu :

(1) Syarat bagi calon orang tua angkat WNA (pemohon) :

(a) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia


sekurang-kurangnya tiga tahun.

(b) Harus disertai ijin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang
ditunjuk bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh
ijin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak
seorang WNI.

(c) Pengangkatan anak WNI harus dilakukan melalui suatu


yayasan sosial yang memiliki ijin dari Departemen Sosial
bahwa yayasan tersebut telah diijinkan bergerak di bidang
kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak
WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dan calon orang tua angkat (private adoption) tidak
diperbolehkan.

(d) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang tidak


terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single
parent adoption) tidak diperbolehkan.

(2) Syarat bagi calon anak angkat WNI yang diangkat :

(a) Usia calon anak angkat harus belum berumur lima tahun.

(b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat


yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI yang
26

bersangkutan diijinkan untuk diangkat sebagai anak angkat


oleh calon orang tua angkat WNA yang bersangkutan.

3) Syarat-syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah


Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
yaitu:

a) Syarat-syarat bagi calon anak angkat, yaitu :

(1) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

(a) Anak belum berusia 6 tahun merupakan prioritas


utama.
(b) Anak berusia 6 sampai 12 tahun, sepanjang ada alasan
mendesak.
(c) Anak berusia 12 sampai 18 tahun, sepanjang anak
memerlukan perlindungan khusus.
(2) Merupakan anak terlantar / diterlantarkan.

(a) Berada dalam asuhan keluarga / dalam lembaga


pengasuhan anak.
(b) Memerlukan perlindungan khusus.

b) Syarat-syarat bagi calon orang tua angkat (pemohon), yaitu :

(1) Sehat jasmani dan rohani.


(2) Berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun.
(3) Beragama sama dengan agama calon anak angkat.
(4) Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak kejahatan.
(5) Berstatus menikah paling singkat 5 tahun.
(6) Tidak merupakan pasangan sejenis.
(7) Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki
satu orang anak.
(8) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.
27

(9) Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua /


wali anak.
(10) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan,
dan perlindungan anak.
(11) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.
(12) Telah mengasuh anak paling singkat 6 bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan.
(13) Memperoleh izin Menteri Sosial dan/atau kepala instansi
sosial.

c) Syarat-syarat pengangkatan anak WNI (Warga Negara


Indonesia) oleh WNA (Warga Negara Asing), yaitu :

(1) Memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal


pemohon melalui kedaulatan / perwakilan negara pemohon
yang ada di Indonesia.

(2) Memperoleh izin tertulis dari Menteri Sosial.

(3) Melalui lembaga pengasuhan anak.

d) Syarat-syarat pengangkatan anak oleh WNA (Warga Negara


Asing) oleh WNI (Warga Negaran Indonesia), yaitu :

(1) Memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah RI.


(2) Memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara
asal.
e) Selain itu calon orang tua angkat juga harus memenuhi syarat-
syarat, sebagai berikut :

(1) Telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2


tahun.
(2) Memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara
pemohon.
28

(3) Membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembanggan


anak kepada untuk Departemen Luar Negeri melalui
Perwakilan RI setempat.
f) Syarat-syarat pengangkatan anak oleh orang tua tunggal, yaitu :

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan oleh WNI


setelah mendapat izin Menteri Sosial.

(2) Pemberian izin tersebut dapat didelegasikan kepada kepala


instansi di propinsi.

d. Ketentuan permohonan pengangkatan anak antara WNA dengan


WNI (intercountry adoption).

1) Pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI.

Ketentuan pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat


WNI (intercountry adoption) menurut Surat Edaran Mahkamah
Agung No.6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran
Mahkmah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan
Permohonan Pengesahan / Pengangkatan Anak adalah sebagai
berikut:

a) Syarat dan bentuk surat permohonan (sifatnya voluntair).

(1) Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan


seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan
hokum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri atau
permohonan secara tertulis.
(2) Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri
atau kuasanya. Di samping itu pemohon dapat didampingi
atau dibantu seseorang. Dalam hal didampingi atau dibantu
maka hal itu berarti calon orang tua angkat atau pemohon
harus hadir dalam pemeriksaan persidangan. Begitu juga
meskipun pemohon memakai seorang kuasa, namun ia
29

wajib untuk dalam pemeriksaan sidang pengadilan


Pengadilan Negeri.
(3) Dibubuhi materai secukupnya.
(4) Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau
domisili anak WNA yang akan diangkat.

b) Isi surat permohonan

(1) Surat permohonan tersebut, dalam bagian dasar hukum dari


permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang
mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak tersebut.
(2) Harus dijelaskan bahwa permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk
kepentingan calon anak angkat WNA yang bersangkutan,
dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si
anak setelah pengangkatan anak terjadi.
(3) Isi petitum bersifat tunggal, tidak disertai petitum lain.
Misalnya : “Agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak
angkat dari C’, atau “Agar pengangkatan anak yang telah
dilakukan oleh pemohon(C) terhadap anak B bernama A
dinyatakan sah.”

Tanpa ditambah tuntutan lain seperti:

“Agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan


sebagai ahli waris dari….C.” atau “Agar anak bernama A
tersebut ditetapakn berwarga negara RI mengikuti status
kewarganegaraan ayah angkatnya bernama C tersebut”.

Prosedur pemeriksaan permohonan pengangkatan anak WNA


oleh orang tua angkat WNI di Pengadilan Negeri menurut Surat
30

Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 tentang


Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan /
Pengangkatan Anak adalah sebagai berikut:
a) Pengadilan Negeri mendengar langsung.

(1) Calon orang tua angkat WNI(suami istri) dan orang tua
kandung WNA.

(2) Badan/yayasan sosial yang telah mendapatkan izin dari


Departemen Sosial/Pejabat Instansi Sosial untuk bergerak
di bidang kegiatan pengangkatan anak tersebut.

(3) Seorang petugas/Pejabat Instansi Sosial setempat yang akan


memberi penjelasan tentang latar belakang kehidupan sosial
ekonomi anak WNA yang dimohonkan untuk diangkat,
kalau oarang tua angkat WNI.

(4) Calon anak angkat WNA kalau menurut umurnya sudah


dapat diajak bicara.

(5) Petugas/Pejabat Imigrasi dan bilamana tidak ada pejabat


Imigrasi di suatu daerah petugas/pejabat tertentu dari
Pemerintah Daerah yang ditunjuk untuk memberikan
penjelasan tentang status imigrasi dari calon anak WNA
dan calon orang tua angkat WNI.

(6) Pihak kepolisian setempat.


b) Pengadilan Negeri memeriksa dan meneliti alat-alat bukti lain
yang dapat menjadi dasar permohonan ataupun pertimbangan
putusan Pengadilan Negeri antara lain sebagai berikut:

(1) Surat-surat berupa akta kelahiran, akta kenal lahir yang


ditandatangani oleh Bupati atau Walikota setempat. Dalam
hal calon anak angkat lahir di luar negeri, maka yang
diperlukan sebagai surat bukti adalah akta kelahiran yang
31

sah menurut peraturan di negara asing tersebut, yang


diketahui oleh KBRI/Perwakilan RI setempat.

(2) Akte-akte, surat-surat resmi Pejabat lainnya yang


diperlukan (surat izin Departemen Sosial).

(3) Akta notaries, surat-surat dibawah tangan.

(4) Surat-surat keterangan, Laporan Sosial, pernyataan-


pernyataan.

(5) Surat keterangan dari kepolisian tentang calon orang tua


angkat WNI dan calon anak angkat WNA.

c) Selanjutnya dalam acara pemeriksaan terhadap permohonan


pengesahan /pengangkatan anak, maka Pengadilan Negeri di
dalam persidangan akan mengarahkan pemeriksaan kepada
hal-hal sebagai berikut:

(1) Untuk memperoleh gambaran sebenarnya tentang latar


belakang / motif dari pihak-pihak yang akan melepaskan
anak ataupun pihak yang akan menerima anak yang
bersangkutan sebagai anak angkat.

(2) Untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa dalam


kesungguhan, ketulusan dan kesadaran kedua belah pihak
tersebut akan akibat-akibat dari perbuatan hokum
melepaskan dan mengangkat anak tersebut, Hakim
menjelaskan hal-hal tersebut kepada kedua belah pihak.

(3) Untuk mengetahui keadaan ekonomi, keadaan rumah


tangga (kerukuanan, keserasian kehidupan keluarga) serta
cara mendidik dan mengasuh dari kedua belah pihak calon
orang tua angkat WNI tersebut.

(4) Untuk menilai bagaimana tanggapan anggota keluarga yang


terdekat (anak-anak yang telah besar) dari kedua belah
32

pihak calon orang tua tersebut.

(5) Untuk memperoleh keterangan dari pihak Departemen Luar


Negeri, imigrasi dan kepolisian setempat.

(6) Untuk mengadakan pemeriksaan setempat dimana calon


anak angkat WNA itu berada.

2) Pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA

Ketentuan pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat


WNA (intercountry adoption) menurut Surat Edaran Mahkamah
Agung No.6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan
Permohonan Pengesahan / Pengangkatan Anak adalah sebagai
berikut:

a) Syarat dan bentuk surat permohonan (sifatnya voluntair).

(1) Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan


seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri atau
permohonan secara tertulis.
(2) Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri
atau kuasanya. Di samping itu pemohon dapat didampingi
atau dibantu seseorang. Dalam hal didampingi atau dibantu
maka hal itu berarti calon orang tua angkat atau pemohon
harus hadir dalam pemeriksaan persidangan. Begitu juga
meskipun pemohon memakai seorang kuasa, namun ia
wajib untuk dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
(3) Dibubuhi materai secukupnya.
33

(4) Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat


yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau
domisili anak WNI yang akan diangkat.

b) Isi surat permohonan

(1) Surat permohonan tersebut, dalam bagian dasar hukum dari


permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang
mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak tersebut.
(2) Harus dijelaskan bahwa permohonan pengesahan atau
pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk
kepentingan calon anak angkat WNI yang bersangkutan,
dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si
anak setelah pengangkatan anak terjadi.
(3) Isi petitum bersifat tunggal, tidak disertai petitum lain.
Misalnya : “Agar si anak dari B ditetapkan sebagai anak
angkat dari C’, atau “Agar pengangkatan anak yang telah
dilakukan oleh pemohon(C) terhadap anak B bernama A
dinyatakan sah.”

Tanpa ditambah tuntutan lain seperti:

“Agar ditetapkan anak bernama A tersebut, ditetapkan


sebagai ahli waris dari….C.” atau “Agar anak bernama A
tersebut ditetapakn berwarga negara RI mengikuti status
kewarganegaraan ayah angkatnya bernama C tersebut”.

Prosedur pemeriksaan permohonan pengangkatan anak WNI


oleh orang tua angkat WNA di Pengadilan Negeri menurut Surat
Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 tentang
34

Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun


1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan /
Pengangkatan Anak adalah sebagai berikut:

a) Pengadilan Negeri mendengar langsung.

(1) Calon orang tua angkat WNA(suami istri) dan orang tua
kandung WNI.

(2) Badan/yayasan sosial yang telah mendapatkan izin dari


Departemen Sosial/Pejabat Instansi Sosial untuk bergerak
di bidang kegiatan pengangkatan anak tersebut.

(3) Seorang petugas/Pejabat Instansi Sosial setempat yang akan


memberi penjelasan tentang latar belakang kehidupan sosial
ekonomi anak WNI yang dimohonkan untuk diangkat,
kalau orang tua angkat WNA.

(4) Calon anak angkat WNI kalau menurut umurnya sudah


dapat diajak bicara.

(5) Petugas/Pejabat Imigrasi dan bilamana tidak ada pejabat


Imigrasi di suatu daerah petugas/pejabat tertentu dari
Pemerintah Daerah yang ditunjuk untuk memberikan
penjelasan tentang status imigrasi dari calon anak WNI dan
calon orang tua angkat WNA.

(6) Pihak kepolisian setempat.

b) Pengadilan Negeri memeriksa dan meneliti alat-alat bukti lain


yang dapat menjadi dasar permohonan ataupun pertimbangan
putusan Pengadilan Negeri antara lain sebagai berikut:

(1) Surat-surat berupa akta kelahiran, akta kenal lahir yang


ditandatangani oleh Bupati atau Walikota setempat.

(2) Akte-akte, surat-surat resmi Pejabat lainnya yang


diperlukan (surat izin Departemen Sosial).
35

(3) Akta notaries, surat-surat dibawah tangan.

(4) Surat-surat keterangan, Laporan Sosial, pernyataan-


pernyataan.

(5) Surat keterangan dari kepolisian tentang calon orang tua


angkat WNA, termasuk bahwa calon orang tua angkat
WNA tersebut telah berada dan bekerja tetap sekurang-
kurangnya 3 tahun, dan calon anak angkat WNI tersebut.

(6) Surat-surat resmi tentang pribadi calon orang tua angkat


WNA, yaitu:

(a) Surat nikah calon orang tua angkat.

(b) Surat lahir mereka.

(c) Surat keterangan kesehatan.

(d) Surat-surat keterangan dan penghasilan calon orang tua


angkat.

(e) Persetujuan/izin untuk mengangkat anak/bayi Indonesia


dari instansi yang berwenang dari negara asal orang tua
angkat.

(f) Surat keterangan atas dasar penelitian social worker


dari instansi/lembaga sosial yang berwenang dari
negara asal calon orang tua angkat WNA.

(g) Surat pernyataan calon orang tua angkat WNA bahwa


mereka tetap berhubungan dengan Departemen Luar
Negeri/Perwakilan RI setempat sungguhpun anak
tersebut telah memperoleh kewarganegaraan orang tua
angkat WNA-nya.

(h) Surat-surat yang tersebut dalam syarat-syarat bagi


perbuatan pengangkatan anak WNI oleh orang tua
angkat WNA.
36

c) Pengadilan Negeri mengarahkan pemeriksaan di persidangan


antara lain sebagai berikut :

(1) Untuk memperoleh gambaran sebenarnya tentang latar


belakang / motif dari pihak-pihak yang akan melepaskan
anak WNI, termasuk badan/yayasan sosial dari mana anak
angkat WNI tersebut berasal, ataupun pihak orang tua
angkat WNA.

(2) Untuk mengetahui seberapa jauh dan sberapa dalam


kesungguhan, ketulusan dan kesadaran kedua belah pihak
tersebut akan akibat-akibat dari perbuatan hokum
melepaskan dan mengangkat anak tersebut, Hakim
menjelaskan hal-hal tersebut kepada kedua belah pihak.

(3) Untuk mengetahui keadaan ekonomi, keadaan rumah


tangga (kerukuanan, keserasian kehidupan keluarga) serta
cara mendidik dan mengasuh dari kedua belah pihak calon
orang tua angkat tersebut.

(4) Untuk menilai bagaimana tanggapan anggota keluarga yang


terdekat (anak-anak yang telah besar) dari kedua belah
pihak calon orang tua angkat WNA tersebut.

(5) Untuk memperoleh keterangan dari pihak Departeman Luar


Negeri, imigrasi dan kepolisian setempat.

(6) Untuk mengadakan pemeriksaan setempat dimana calon


anak angkat WNI itu berada.

e. Akibat Hukum Mengenai Pengangkatan Anak


Masalah kedudukan anak angkat di dalam pengangkatan anak
adalah sangat penting, hal ini mengingat perbuatan anak menimbulkan
akibat hukum, pengangkatan menimbulkan akibat hukum, seyogyanya
37

harus mewujudkan adanya kepastian hukum, baik bagi orang tua


kandung, orang tua angkat, maupan bagi anak angkat itu sendiri.

Akibat hukum dari pengangkatan anak adalah bahwa anak itu


mempunyai kedudukan hukum terhadap orang tua yang
mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia mempunyai
kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya sendiri, juga
termasuk hak untuk mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang tua
angkatnya pada waktu meninggal dunia. Oleh karena adanya akibat
hukum yang terlalu jauh dan luas inilah, disamping faktor-faktor lain
dari hal pengangkatan anak itu sendiri seperti faktor sosial, faktor
psikologis dan faktor lainnya, pengangkatan anak menimbulkan juga
problem dalam masyarakat.

Terdapat beberapa negara yang menggantungkan pengangkatan


anak ini dari berbagai syarat yang berat (misalkan Nederland) dan ada
yang ringan syarat-syaratnya. Yang syaratnya berat dalam akibat
hukumnya adalah yang paling jauh, seperti memutuskan sama sekali
hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya
(adopsi plena), sedangkan tidak demikian halnya dengan adopsi yang
syarat-syaratnya ringan (adopsi minus plena). Berkaitan dengan hak
mewaris dari adopsi ini atas harta peninggalan dari ayah angkatnya
ataupun dari orang tua kandungnya, terlihat jelas perbedaan-perbedaan
makna dari berbagai lembaga adopsi (Soedargo Gautama, 1995 : 138-
139).

Staatblad 1917 Nomor 129 tentang Pengangkatan Anak Bagi


Golongan Tionghoa menjelaskan mengenai akibat hukum
pengangkatan anak, yaitu :

1) Anak angkat secara hukum memperoleh hak dari bapak angkat


(Pasal 11);
2) Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat;
38

3) Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari


perkawinan orang tua angkat (Pasal 12 ayat 1);
4) Putusnya segala hubungan perdata yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua
angkatnya). Hal ini diatur dalam Pasal 14 dengan maksud bahwa
akibat dari pengangkatan anak adalah status anak yang
bersangkutan berubah menjadi seorang anak sah.

Pengangkatan anak menurut hukum adat dilakukan menurut adat


kebiasaan setempat, jadi tidak ada kesatuan cara untuk seluruh wilayah
Indonesia. Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam hukum adat
adalah, bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir
dari perkawinan suami isteri yang mengangkatnya, sama seperti anak
kandung dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus.
Sebagai perkecualian di daerah Minahasa, di mana pengangkatan anak
merupakan kontrak dalam bidang hukum kekayaan dan karenanya
anak angkat tidak termasuk dalam keluarga yang mengangkat anak,
tetapi tetap memakai nama keluarga sendiri (J. Satrio, 2000 : 262).

Pernyataan tersebut di atas menjelaskan bahwa akibat hukum


yang ditimbulkan dari pengangkatan anak secara adat, masing-masing
daerah menentukan akibat hukum yang berlainan sesuai dengan
kebiasaan adat setempat.

Akibat hukum pengangkatan anak berdasarkan Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
membawa akibat status anak yang mengikuti status publik orang tua
angkatnya bagi pengangkatan anak Warga Negara Asing dengan
Warga Negara Indonesia. Dalam Undang-undang tersebut di atas
dijekaskan akibat hukum pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

1) Memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila anak


Warga Negara Asing yang belum berumur 5 tahun diangkat oleh
seorang Warga Negara Indonesia dan pengangkatan anak tersebut
39

dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang


yang mengangkat anak tersebut (Pasal 2 ayat 1).

2) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, karena anak


yang diangkat oleh Warga Negara Asing sebagai anaknya,jika anak
yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan (Pasal 7 (d)).

Akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah bahwa
pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan keluarga dengan
orang tua angkatnya.

Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan,


pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak;
dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan
keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai
akibat hukum apa-apa dalam hubungan darah, hubungan wali-mewali
dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat. Anak tetap
menggunakan nama dari bapak kandung dan tetap menjadi ahli waris
dari orang tua kandungnya, ia tetap anak dan kerabat orang tua
kandungnya (H.M. Fauzan, 2007 : 43 )

B. Kerangka Pemikiran

Dalam pemikiran hukum ini peneliti mempunyai kerangka pemikiran


seperti yang tertuang dalam bagan sebagai berikut :

Pemohon

Pengadilan
Negeri

Syarat
40

Prosedur
Pemeriksaan

SEMA No. 6 Tahun 1983


tentang Pemeriksaan
Permohonan
Pengesahan/Pengangkatan
dan PP No. 54
Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan
Anak

Ditolak Diterima

• Batasan Penetapan /
umur putusan
• Hakim tidak
yakin
• Dokumen
tidak lengkap

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Realita kehidupan bermasyarakat banyak terjadi pengangkatan


anak. Penulis di sini akan memberikan penjelasan mengenai proses
pengangkatan anak.

Pemohon, yaitu calon orang tua angkat telah mendapat respon yang
baik dari calon anak serta persetujuan dari orang tua kandung anak atau
dari yayasan di mana anak tersebut diasuh. Selanjutnya pemohon
mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri
setempat di mana anak bertempat tinggal. Pengadilan Negeri, sesuai
prosedur / peraturan-peraturan yang ada, memberitahukan kepada
pemohon mengenai syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang harus
41

dipenuhi oleh pemohon maupun calon anak angkat. Adapun syarat-syarat


tersebut berdasarkan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan
SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan /
Pengangkatan Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Kemudian diselenggarakan
proses pemeriksaan oleh hakim pengadilan. Pemeriksaan ini dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku serta pertimbangan-
pertimbangan hakim yang memeriksa. Dalam proses pemeriksaan ini
dapat diketahui kekurangan-kekurangan maupun hambatan-hambatan /
kendala yang ada. Dari pengangkatan anak hal tersebut dapat ditentukan
apakah permohonan pengangkatan anak tersebut diterima atau ditolak.
Apabila dalam pemeriksaan tersebut terbukti bahwa pemohon atau calon
anak tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku dan atau hakim menyatakan bahwa pengangkatan anak tersebut
tidak dapat dilakukan maka permohonan pemohon akan ditolak. Namun
jika pemohon dan calon anak telah memenuhi persyaratan serta
pertimbangan hakim menyatakan bahwa permohonan tersebut layak, maka
hakim akan mengeluarkan penetapan atau putusan pengangkatan anak.
Adanya penetapan atau putusan hakim yang telah dikeluarkan akan
menimbulkan akibat hukum bagi calon orang tua angkat dan calon anak
angkat tersebut yang harus dipatuhi.

Anda mungkin juga menyukai