Anda di halaman 1dari 12

PERAN, TUGAS, DAN FUNGSI KUA DALAM MELAKSANAKAN BIDANG

PEMERINTAHAN DI BIDANG AGAMA ISLAM


Nama:
Email :

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran, tugas, dan fungsi Kantor Urusan
Agama dalam melaksanakan bidang pemerintahan di bidang agama islam. Fungsi KUA
sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 PMA Nomor 34 2016 ayat (1) adalah: Pelaksanaan
pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk. Penyusunan statistik
layanan dan bimbingan masyarakat Islam. Pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi
manajemen KUA Kecamatan. Peran KUA tidak hanya urusan mencatat nikah saja, padahal
harus melakukan pelayanan-pelayanan keagamaan. Dengan adanya program revitalisasi
KUA, diharapkan masyarakat tidak lagi menganggap peran KUA hanya sebatas pelayanan
pencatatan nikah saja.
Kata Kunci : Peran, fungsi, KUA
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the role, duties, and functions of the Office of
Religious Affairs in carrying out the field of government in the field of Islam. KUA functions
as stated in Article 3 PMA Number 34 2016 paragraph (1) are: Implementation of services,
supervision, recording, and reporting of marriage and reconciliation. Compilation of
statistics on services and guidance of the Islamic community. Management of the
documentation and management information system of the District KUA. The role of the
KUA is not only a matter of registering marriages, even though they must carry out religious
services. With the KUA revitalization program, it is hoped that the community will no longer
consider the role of KUA only as a marriage registration service.
Keywords: Role, function, KUA
A. PENDAHULUAN
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan etalase terdepan Kementerian Agama 1.
Baik buruknya instansi ini dipengaruhi oleh performance atau kinerja KUA yang
keberadaannya di setiap kecamatan, KUA Garda terdepan dalam membangun citra
atau image Kemenag. KUA langsung memberi pelayanan terhadap masyarakat.
Permasalahan yang di hadapi semakin komplek, maka komitmen bersama bahwa
tahun 2015 harus menjadi momentum pelayanan terbaik kepada masyarakat,
mengingat KUA Sebagai ujung tombak pelayanan di tingkat kecamatan dipandang
masyarakat sebagai cermin kualitas pelayanan Kementerian Agama, sehingga wajar
jika KUA dituntut untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat2.
Pola pikir yang masih ada di masyarakat tidak ingin direpotkan oleh pengurusan
persyaratan-persyaratan seperti yang diungkapkan di atas. Karakter masyarakat kita
yang serba ingin praktislebih cenderung memilih yang serba instant, atau “tau beres”
dengan berbagai alasan entah karena sibuk pekerjaan ataupun alasan lainnya.
Sebagian masyarakat memiliki budaya ingin dilayani dalam segala hal termasuk
pengurusan persyaratan pendaftaran nikah yang berimplikasi kepada keluarnya biaya
jasa pengurusan surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan.
Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan
di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama/kerohanian3. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama
terhadap semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh
terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan yang menjadi
landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta
benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.1 Pencatatan pernikahan di Indonesia
diatur dalam beberapa pasal peraturan perundangundangan berikut ini. Pasal 2 ayat
(2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur : Tiaptiap pernikahan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor
1
Linda Dewi Purnama Sari, L. (2018). UPAYA BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM PRANIKAH DI
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN BONE-BONE DALAM MEMINIMALISIR
PERCERAIAN (Doctoral dissertation, Institut Agama Islam Negeri Palopo). Halaman 23
2
Nur, I. (2018). Peranan Kantor Urusan Agama Dalam Sistem Pengelolaan Administrasi Pernikahan
Di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar). Halaman 18
3
Rachman, A., Thalib, P., & Muhtar, S. (2020). Hukum Perkawinan Indonesia Dalam Perspektif
Hukum Perdata, Hukum Islam Dan Hukum Administrasi. Prenada Media Group.halaman 20
32 Tanhun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan tata cara
pencatatannya berpedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975. Selanjutnya, pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
menentukan bahwa pernikahan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang
dihadiri oleh dua orang saksi.Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan
bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-
masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah.
Fungsi pencatat disebutkan pada angka 4 huruf b Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 19744: “Pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta juga
dimuat dalam daftar pencatatan ” Perintah pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu pernikahan tersebut
ditujukankepada segenap warga negara Indonesia apakah ia berada di Indonesia atau
di luar Indonesia. Di Indonesia pencatatan nikah dilaksanakan pada Kantor Urusan
Agama (KUA) kecamatan memiliki tata cara dan prosedur sesuai dengan KMA 298
Tahun 2003 yang disesuaikan dengan PMA 477 Tahun 2004 dan disempurnakan
dengan PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Sahnya sebuah
perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
memiliki dua sisi mata uang yang tidak boleh terpisahkan, yaitu pertama sah apabila
dilakukan menurut hukum agama. Kedua, sah apabila dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Artinya sebuah perkawinan dianggap sah apabila
memenuhi ketentuan dan persyaratan agama dan juga secara administrasi layak dan
memenuhi ketentuan untuk dicatat. Guna melindungi dan menjamin keabsahan
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat, maka kegiatan yang berkaitan dengan
perkawinan hendaknya disertai dengan bukti administrasi yang lengkap dan diproses
melalui pencatatan yang tertib. Tertib administrasi tersebut meliputi kelengkapan
formulir dan tertib proses. Kantor Urusan Agama merupakan unit kerja yang
bernaung dan membantu kegiatan Kementerian Agama di setiap kecamatan baik di

4
Sodiq, M. (2014). DUALISME HUKUM DI INDONESIA: Kajian Tentang Peraturan Pencatatan Nikah
dalam Perundang-Undangan. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 7(2), halaman 111
Kabupaten /Kota terutama dalam bidang urusan agama Islam.
Selain itu, Kantor Urusan Agama (KUA) juga dituntut benar-benar mampu
menjalankan tugas di bidang pencatatan nikah dan rujuk secara apik. Pelayanan ini
merupakan tugas pokok Kantor Urusan Agama (KUA) karena pelayanan itu sangat
besar pengaruhnya dalam membina kehidupan beragama, disitulah cikal bakal
terbentuknya keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Dalam melaksanakan tugas
di bidang urusan Agama Islam ini, Kantor Urusan Agama (KUA) tidak sekedar
melakukan pencatatan nikah/rujuk saja, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas lainnya
seperti mengurus dan membina tempat ibadah uamt Islam seperti, masjid dan
langgar/mushalla, membina pengalaman agama islam, zakat, wakaf, baitul mal dan
ibadah sosial, pangan halal, kemitraan umat Islam kependudukan serta pengembangan
keluarga sakinah sesuai kebijakan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sama halnya seperti instansi yang lain, Kantor Urusan Agama sebagai pemberi
layanan juga dituntut untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada
masyarakat. Tetapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang mengeluhkan
pelayanan yang ada di Kantor Urusan Agama tersebut terutama pada pengurusan
pernikahan. Demikian halnya dengan Kantor Urusan Agama di Kecamatan masih
banyak masyarakat yang masih merasa bahwa pelayanan yang diberikan belum
memuaskan atau masih di bawah standar pelayanan terutama di bidang pencatatan
pernikahan, maka dari itu penulis memfokuskan penelitian di bidang pencatatan
pernikahan. Dari fungsi pelayanan pencatatan pernikahan tersebut, ternyata masih ada
permasalahan-permasalahan yang muncul, yaitu 5:
1. Kurangnya sosialisasi tentang cara pengurusan pernikahan sehingga banyak
masyarakat yang kurang paham tentang pengurusan pernikahan,
2. Banyak masyarakat yang tidak tahu persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pengurusan pernikahan tersebut,
3. Tidak mengertinya masyarakat tentang batas usia yang diharuskan untuk
melangsungkan pernikahan,
4. Banyak masyarakat yang mendaftarkan pernikahannya kurang dari 10 hari masa
kerja sesuai dengan persyaratan yang ada di dalam pengurusan pernikahan,
5. Keterlambatan kehadiran penghulu dalam prosesi akad nikah calon pengantin.

5
Hijriani, H. (2015). Implementasi Pelayanan Pencatatan Pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara. J. Adm. Negara, 3(2), halaman 540
Jika dikaitkan dengan tugas pemerintahan, maka fungsi dan tugas KUA tidak hanya
dalam hal pencatatan nikah saja, melainkan banyak lagi yang lainnya. Tugas utama
dari KUA selain pencatatan nikah, telah diatur dalam peraturan yang berhubungan
dengan KUA antara lain: Keputusan Menteri Agama Nomor: 517 Tahun 2001 tentang
Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan pada pasal 2 Jo Peraturan
Menteri Agama Nomor: 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 1 huruf ayat
(1). Jo. Peraturan Menteri Agama Nomor: 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama menurut PMA Nomor 39 Tahun 2012 dalam
melaksanakan tugasnya, KUA menyelenggaran fungsi: Pasal 2: Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat
atau mitsaqanghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Sedangkan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal
(1) dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal
dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 2 Terkait dengan keabsahan
fotokopi Kutipan Akta Nikah anggota TNI dan kewenangan Camat, Lurah, serta
Kepala Desa dalam melegalisasi fotokopi buku nikah, merupakan langkah maju
memberi kepercayaan setelah Surat Edaran Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan
Haji Nomor :D/2/Pw.01/1864/1992 yang memberi wewenang kepada
Camat/Lurah/Kepala Desa setempat mengesahkan/melegalisasi Kutipan Akta Nikah
TNI.
Kewenangan legalisasi kutipan akta nikah oleh camat/lurah/kepala desa mendorong
untuk dipertanyakan kedudukan hukum dan kekuatan hukum dari surat edaran
direktur jendral. Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 menjelaskan 6 :
pengertian surat edaran adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal
tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Mengingat isi Surat Edaran hanya
berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan
norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh
karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir
peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk
memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. Surat Edaran
mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk
6
Imron, M. (2021). KEDUDUKAN HUKUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM
MELAKSANAKAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG AGAMA ISLAM. Inrichting Recht: Wahana
Wacana Bidang Hukum, 3(2).
atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada.
Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.Merujuk
pada ketentuan pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. maka dapat dipertegas bahwa surat edaran bukan dan
tidak termasuk peraturan perundang-undangan pada tata hukum Indonesia.Karena
surat edaran tidak termasuk dalam tata hukum Indonesia, maka surat edaran tidak
memiliki konsekuensi hukum bila tidak patuhi atau tidak ditaati. Guna memahami
urgensi suatu surat edaran perlu lebih awal diketahui apa itu surat edaran. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2013 merumuskan arti surat edaran sebagai
naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan atau petunjuk cara
melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Memperhatikan
pengertian surat edaran, maka sejatinya penyelenggara pemerintahan daerah tidak
panik atas adanya surat edaran, akan tetapi mencermati isi dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang memuat norma perintah, larangan, izin atau dispensasi
terkait dengan efektivitas dan efisiensi kerja aparatur negara, penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
B. PEMBAHASAN
a. Peran KUA dalam Menjalankan Bidang Pemerintahan
Peran merupakan aspek yang dinamis dalam kedudukan terhadap sesuatu
apabila. Sesorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran7. Teori peran (Role Theory)
adalah teori yang merupakan perpaduan teori, orientasi maupun disiplin ilmu,
selain dari psikologi, teori peran berawal dan masih tetap digunakan dalam
sosiologi dan antropologi. Dalam ketiga ilmu tersebut, istilah peran diambil
dari dunia teater. Dalam teater, seseorang harus bermain sebagai sebagai
seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia mengharapkan
berperilaku tertentu.
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan kementrian agama RI
(kemenag) yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang agama di wilayah
kecamatan (KMA No.517/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan,
karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena itu
wajar bila keberadaan KUA dinilai sangat penting seiring keberadaan

7
Subagyo, W., & Wahyuningsih, D. (2016). Peran kader dalam memotivasi ibu balita berkunjung ke
posyandu. Jurnal Keperawatan Soedirman, 10(3), halaman 159
Depag.Fakta dan sejarah juga menunjukkan kelahiran KUA, hanya berselang
sepuluh bulan dari kelahiran Depag, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. ini
menunjukkan peran KUA sangat strategis,
bila dilihat dari keberadaannya yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat, terutama yang yang memerlukan pelayanan dibidang Urusan
Agama Islam. Konsekuensi dari peran itu otomatis aparat KUA harus mampu
mengurus rumah tangga sendiri denganmenyelenggarakan manajemen
kearsipan, administrasi surat menyurat serta dokumentasi yang mandiri .
Kantor Urusan Agama (KUA) mempunyai sejarah yang cukup panjang di
Indonesia, baik berkenaan dengan kelembagaan maupun peran dan fungsinya.
Keberadaannya dapat dilihat pada permulaan Islammasuk ke Indonesia.
b. Fungsi KUA dalam Menjalankan Pemerintahan
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan8. Pelayanan publik sering kali dilihat sebagai representasi dari
eksistensi birokrasi pemerintahan, karena hal ini berhubungan langsung
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Filosofi dari pelayanan publik
menempatkan rakyat sebagai subjek dalam penyelenggaraan pemerintahan. 3
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 25 Tahun
2004, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya menurut UndangUndang No. 25 tahun
2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peratuaran perundan
undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sementara menurut Kurniawan yang dimaksud pelayanan publik adalah

8
Aini, D. N., & Kurboyo, J. R. A. (2019). IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR 63 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN UMUM
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI PUSKESMAS ARJASA KABUPATEN
SITUBONDO. ACTON, 15(1), halaman 5
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan
tata cara yang telah ditetapkan. 4 Pemberi pelayanan publik adalah pegawai
instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari beberapa definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan
oleh aparatur pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan publik/masyarakat
yang dapat berupa pelayanan bentuk barang, jasa dan juga pelayanan dibidang
administratif. Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik Dalam pelayanan publik,
pemerintah merupakan pihak pemberi pelayanan pada masyarakat. Di dalam
pelaksanaannya pelayanan ini terdiri dari beberapa bentuk. Menurut Moenir
bentuk pelayanan itu terdiri dari9 :
1. Pelayanan lisan
Pelayanan dengan lisan dilakukan oleh petugaspetugas dibidang hubungan
masyarakat, dibidang layanan informasi dan di bidang-bidang lain yang
tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang
memerlukan.
2. Pelayanan berbentuk tulisan
Ini merupakan jenis pelayanan dengan memberikan penjelasan melalui
tulisan di dala pengelolahan masalah masyarakat. Pelayanan dalam bentuk
tulisan ini terdiri dari dua jenis yakni: 1) Pelayanan yang berupa petunjuk,
informasi dan yang sejenis ditujukan kepada orangorang yang
berkepentingan agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan
institusi atau lembaga. 2) Pelayanan yang berupa reaksi tertulis atas
permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan
lain sebagainya.
3. Pelayanan berbentuk perbuatan
Dalam kenyataan sehari-hari jenis layanan ini memang tidak terhindar dari
layanan lisan , jadi antara layanan perbuatan dan layanan lisan sering
bergabung. Hal ini disebabkan karena hubungan lisan paling banyak
dilakukan dalam hubungan pelayanan secara umum. Hanya titik berat
terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh orang yang

9
Ramadhani, W. (2017). Penegakan hukum dalam menanggulangi pungutan liar terhadap pelayanan
publik. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 12(2), halaman 270
berkepentingan. Jadi tujuan utama yang berkepentingan ialah mendapatkan
pelayanan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan hanya
sekedar penjelasan dan kesanggupan secara lisan. Disini faktor kecepatan
dalam pelayanan menjadi dambaan setiap orang, disertai dengan kualitas
hasil yan memadai. Dari pendapat Moenir di atas dapat disimpulkan
bahwa bentuk-bentuk pelayanan publik ada 3, yaitu: pelayanan lisan,
pelayanan berbentuk tulisan dan pelayanan berbentuk perbuatan.5 Azas
Pelayanan Publik Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan
bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi azas-azas
pelayanan sebagai berikut :
a. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. .
c. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektifitas
d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat. e.Kesamaan Hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak
membedabedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
f.Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik
harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Setiap penyelenggara pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar
pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Adapun standar
pelayanan publik menurut Keputusan Menpan Nomor 63 tahun 2003 yaitu meliputi :
a. Prosedur pelayanan, yang dibakukan dan termasuk dengan pengaduan.
b. Waktu penyelesaian, yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai
dengan penyelesaian.
c. Biaya pelayanan, termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian
pelayanan.
d. Produk pelayanan, yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
e. Sarana dan prasarana, yang memadai.
f. Kompetensi petugas, yang harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

c. Tugas KUA dalam Menjalankan Fungsi Bidang Pemerintahan


Dalam PMA No. 34 tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Urusan Agama, pasal 1 dinyatakan bahwa Kantor Urusan Agama yang
selanjutnya disingkat KUA adalah Unit Pelaksana Teknis pada Kementerian
Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan secara operasional dibina oleh Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/ Kota .yang bertugas melaksanakan, layanan
dan bimbingan masyarakat Islam di wilayah kerjanya10.
Adapun fungsi KUA sebagaimana di sebutkan dalam pasal 3 PMA Nomor 34
2016 ayat (1) adalah:

1. Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk


2. Penyusunan statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam
3. Pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi manajemen KUA Kecamatan
4. Pelayanan bimbingan keluarga sakinah
5. Pelayanan bimbingan kemasjidan
6. Pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syari’ah
7. Pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam
8. Pelayanan bimbingan zakat dan wakaf; dan
9. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan.

C. PENUTUP
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah instansi Departemen Agama yang bertugas
melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten/kota di bidang
urusan agama islam untuk wilayah kecamatan.1 KUA memiliki tugas dan fungsi yang
telah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 untuk
mengurusi perkara berikut ini di wilayah kecamatannya ; (1) Menyelenggarakan

10
HABIBILLAH, M. R. (2021). TUGAS DAN FUNGSI KUA DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN
KEPADA MASYARAKAT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 34 TAHUN
2016 DI KUA KECAMATAN PAYUNG SEKAKI MENURUT PERSPEKTIF FIQH SIYASAH (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
statisitik dan dokumentasi, (2) Menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan,
pengetikan, dan rumah tangga KUA (3) Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk,
mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal, dan ibadah sosial,
kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
Linda Dewi Purnama Sari, L. (2018). UPAYA BIMBINGAN DAN KONSELING
ISLAM PRANIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN BONE-
BONE DALAM MEMINIMALISIR PERCERAIAN (Doctoral dissertation, Institut
Agama Islam Negeri Palopo).
Nur, I. (2018). Peranan Kantor Urusan Agama Dalam Sistem Pengelolaan Administrasi
Pernikahan Di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).
Rachman, A., Thalib, P., & Muhtar, S. (2020). Hukum Perkawinan Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam Dan Hukum Administrasi. Prenada Media
Group.
Sodiq, M. (2014). DUALISME HUKUM DI INDONESIA: Kajian Tentang Peraturan
Pencatatan Nikah dalam Perundang-Undangan. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 7(2), 109-120.
Hijriani, H. (2015). Implementasi Pelayanan Pencatatan Pernikahan di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara. J. Adm.
Negara, 3(2), 534-538.
Imron, M. (2021). KEDUDUKAN HUKUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG AGAMA
ISLAM. Inrichting Recht: Wahana Wacana Bidang Hukum, 3(2).
Subagyo, W., & Wahyuningsih, D. (2016). Peran kader dalam memotivasi ibu balita
berkunjung ke posyandu. Jurnal Keperawatan Soedirman, 10(3), 158-166.
Aini, D. N., & Kurboyo, J. R. A. (2019). IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR 63 TAHUN 2003
TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
DI PUSKESMAS ARJASA KABUPATEN SITUBONDO. ACTON, 15(1), 1-13.
Ramadhani, W. (2017). Penegakan hukum dalam menanggulangi pungutan liar terhadap
pelayanan publik. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 12(2), 263-276.
HABIBILLAH, M. R. (2021). TUGAS DAN FUNGSI KUA DALAM MEMBERIKAN
PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT BERDASARKAN PERATURAN
MENTERI AGAMA NOMOR 34 TAHUN 2016 DI KUA KECAMATAN PAYUNG
SEKAKI MENURUT PERSPEKTIF FIQH SIYASAH (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Anda mungkin juga menyukai