Anda di halaman 1dari 3

KEWARGANEGARAAN

Aplikasikan pernikahan antar suku bangsa kedalam pancasila dan kewarganegaraan

II C MANAJEMEN SORE
NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

I Kadek Riki Mahardika (1902013798)


I Gusti Ngurah Rangga Sudewa (1902013801)
I Nyoman Adi Swardika (1902013750)
I Komang Ariawan (1902013801)

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN PARIWISATA
PRODI MANAJEMEN
2020
Pertanyaan

1. Aplikasikan pernikahan antar suku bangsa kedalam pancasila dan kewarganegaraan.

Jawaban

1. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia merupakan standar
hukum utama dalam membentuk peraturan perundangundangan di Indonesia. Hal
ini secara tegas dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004
tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan bahwa:
“Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara serta sekaligus
dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila.
Mengingat banyak aspek penting yang terdapat dalam perkawinan, maka setiap
suku dan agama di indonesia mengatur secara terperinci tentang persyaratan
perkawinan tersebut, bahkan untuk mendukung hal itu, pemerintah juga telah
menerbitkan beberapa aturan yang terkait dengan perkawinan. Melihat begitu
pentingnya perkawinan maka perkawinan di Indonesia memiliki kedudukan yang
sangat jelas dan konstitusional dengan dicantumkannya dalam suatu undang-undang
tersendiri, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ada
di pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bahwa ikatan batin merupakan hal penting dari perkawinan menunjukkan bahwa
menurut undang-undang ini, tujuan perkawinan bukanlah semata-mata untuk
memenuhi hawa nafsu dan hubungan perdata saja, akan tetapi perkawinan itu
bertujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Hukum Agama
Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan terdapat di dalam pasal 2
ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dan pasal 2 hingga pasal 9 peraturan
pelaksanaan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
mengatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”, tujuan pencatatan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam
no 4 huruf B penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
adalah sebagai berikut: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan
Masalah pencatatan perkawinan yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 yang berbunyi
“Agar dapat menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat suku bangsa , setiap
perkawinan harus dicatatkan”, kemudian hal ini dipertegas lagi dalam pasal 6 ayat 1
menegaskan bahwa “Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Dalam hal ini tentang pencatatan
perkawinan juga lebih sepesifik lagi, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama , dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk”.10 Dalam hal ini, Negara Indonesia dan
dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak hanya membahas
tentang perkawinan saja, akan tetapi di dalamya mengatur tentang putusnya suatu
perkawinan, hal itu dijelaskan dalam pasal 38 bab VIII tentang Putusnya perkawinan
serta akibatnya, yang berbunyi “Perkawinan dapat putus karena: (1) kematian salah
satu pihak; (2) Perceraian; (3) Keputusan Pengadilan;”. Dalam hal perceraian, pasal
39 Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menjelaskan: “(1) Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan
perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami istri. (3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri”.

Anda mungkin juga menyukai