Anda di halaman 1dari 19

Asas-Asas Perjanjian

TUGAS MAKALAH

Dosen

Mahlil Adriaman ,S.H.,M.H

Nama : Ade Johan

Kelas : B2 (Fakultas Hukum)

No. Hp : 0822-8826-8338

No. Tugas : 1 (Satu)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
ASAS-ASAS PERJANJIAN

A. Pengertian Asas Hukum


Pengertian asas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat tiga pengertian asas, yaitu:
1. Dasar, alas, pedoman, misalnya batu yang baik untuk alas
rumah.
2. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir
(berpendapat dan sebagainya); misalnya: bertentangan dengan
asas-asas hukum pidana; pada asasnya yang setuju dengan
usul saudara.
3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan negara dan
sebagainya); misalnya: membicarakan asas dan tujuan.
Pengertian asas yang relevan dengan pembahasan ini adalah
pengertian yang kedua, yaitu suatu kebenaran yang menjadi pokok
atau tumpuan berpikir.
Pengertian asas hukum menurut para ahli.
Pengertian asas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut sejalan dengan beberapa pengertian asas hukum yang
disampaikan oleh para ahli berikut:
Belleford
Menurut Belleford asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak
dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
umum merupakan pengendapan dari hukum positif.
P Scholten
Scholten berpendapat bahwa asas hukum adalah
kencenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan
kesusilaan kita pada hukum yang merupakan sifat-sifat umum
dengan keterbatasannya sebagai pembawaan hukum, tetapi tidak
boleh tidak harus ada.
A. A. Oka Mahendra
Pengertian asas hukum menurut Mahendra adalah dasar-dasar
umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung
nilai-nilai moral dan etis. Asas hukum menjadi petunjuk arah bagi
pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis yang
berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang
sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai
yuridis yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Berdasarkan beberapa pengertian asas hukum di atas, dapat


disimpulkan bahwa asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-
prinsip yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan
konkret dan pelaksanaan hukum. Asas hukum merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang
peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem
hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan konkret tersebut.1

B. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disim pulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kese pakatan
1
Wibowo T.Tunardy S.H, M.Kn, “Asas-Asas Hukum”, dalam https://www.jurnalhukum.com/asas-
asas-hukum/, dikunjungi 26 maret 2022.
adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak. Asas konsen sualisme muncul diilhami dari
hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak
dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan
sebutan perjanjian riil dan perjan jian formal. Perjanjian riil adalah
suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam
hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu
tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam
hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal
dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.2

C. Asas Kebebasan Berkontrak


Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang
mempunyai posisi yang sentral dalam hukum kontrak, meskipun
tidak di tuangkan menjadi aturan hukum tetapi asas kebebasan
berkontrak ini memiliki pengaruh yang sangat kuat didalam
hubungan kontraktual diantara para pihak. Asas kebebasan
berkontrak merupakan tiang sistem hukum perdata, khususnya
hukum perikatan yang diatur
3
Buku III KUPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum kontrak,
seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.4
Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum (i.c. Buku
III BW) memberikan keleluasan kepada para pihak untuk mengatur
sendiri pola hubungan hukumnya. Sistem terbuka Buku III BW ini
tercermin dari Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa,

2
M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, Vol. 26
No 1, Mei 2014, Hal 48.
3
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dan Kebebasan Berkontrak, (Universitas Indonesia, Fakultas
Hukum, Pasca Sarjana, 2003) Hlm 86.
4
Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, semarang, 1986, Hlm 3.
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”5
Menurut Subekti, cara menyimpulkan kebebasan berkontrak
ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang
ada dimuka perkataan “perjanjian”. Bahwa didalam ketentuan Pasal
1338 memuat pengertian bahwa kita diperbolehkan membuat suatu
perjanjian apapun dan perjanjian yang dibuat akan mengikat para
pihak seperti undang-undang.6
Didalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang
bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak sebagai berikut :
 Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
 Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin
membuat perjanjian;
 Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan
dibuatnya;
 Kebebasan untuk menentukan obyek suatu perjanjian;
 Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
 Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional.7
Perkembangan kebebasan berkontrak saat ini menimbulkan
ketidak adilan, karena untuk mencapai suatu asas kebebasan
berkontrak harus melalui posisi tawar yang seimbang. Tetapi dalam
praktiknya para pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi
akan memaksakan semua kehendaknya, mereka akan memaksakan
pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah untuk mengikuti
kehendaknya dalam membuat isi perjanjian.8
5
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjianl, Cet 1, (Jakarta, Prenamedia Group, 2010) Hlm 94.
6
Subekti, Aneka Perjanjian, cet. Keenam, (Alumni, Bandung, 1995), Hlm 4-5.
7
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Vol18, No.3, 2003, Hlm31
8
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hlm. 47.
Pemerintah sudah mengambil tindakan dengan membatasi
ketentuan asas kebebasan berkontrak untuk melindungi pihak yang
lemah melalui peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan. Pasal 1320 KUHPerdata membatasi asas kebebasan
berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya suatu perjanjian
yang harus di penuhi:
 Adanya kata sepakat para pihak;
 Kecakapan para pihak untuk membuat kontrak
 Adanya obyek tertentu; dan
 Adanya kausa yang tidak bertantangan dengan hukum.9
Setiawan menyatakan bahwa pembatasan kebebasan
berkontrak di pengaruhi oleh :
 Berkembangnya doktrin itikad baik;
 Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan;
 Makin banyaknya kontrak baku;
 Berkembangnya hukum ekonomi.10
Selain pembatasan tersebut diatas, Ridwan Khairandy
mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas
kebebasan berkontrak:
1. Makin berpengaruhnya ajakan itikad baik, di mana itikad baik
tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah
harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam
kontrak.11
Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya
berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan:
 Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan-
persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan-
perseroan dan golongangolongan masyarakat lain (misal:
golongan buruh dan tani);
9
Ridwan Khairandy, Op.cit, Hlm 89.
10
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, cet 1, (Alumni Bandung, 1992)
Hlm. 179-180.
11
Ridwan Khairady, Op.cit,Hlm. 3.
 Terjadinya pemasyarakatan (vermaatschappelijking) keinginan
adanya keseimbangan antara individu dan masyarakat yang
tertuju kepada keadilan sosial;
 Timbulnya formalisme perjanjian;
 Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara.12
Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan , pembatasan
kebebasan berkontrak akibat adanya:

A. Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal:


karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan);
B. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi
kepentingan umum atau pihak yang lemah;
C. Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya
kesejahteraan sosial.13
Pada perkembangannya asas kebebasan berkontrak lebih
mengarah kepada ketidakseimbangan diantara para pihak yang
membuat perjanjian, kemudian dibuat berbagai ketentuan yang
bersifat memaksa agar terciptanya hak dan kewajiban di antara para
pihak dapat terlaksana secara proporsional. Sebagai suatu kesatuan
yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas
kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari subtansi Pasal
1338 ayat (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman
pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, yaitu:
A. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak);
B. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa,
atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang
terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan;
C. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;
D. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus
dilaksanakan dengan itikad baik;

12
Ibid.
13
Ibid.
E. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat,
kebiasaan, dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud
dalam Pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan
tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu
selalu diperhatikan;
F. Pasal 1347 BW, yang mengatur mengenai hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-
diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk
beding).14
Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat
perjanjian (kontrak) perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;
 Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai
causa;
 Tidak mengandung causa palsu atau dilarang undang-undang;
 Ketidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan
dan ketertiban umum;
 Harus dilaksanakan dengan itikad baik.15
Sebagai asas yang universal, asas kebebasan berkontrak juga
diakui dalam UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) mengakui kebebasan
berkontrak sebagai asas fundamental dalam hubungan kontraktual
para pihak.16 Kebebasan tersebut mencakup isi maupun
formalitasnya sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1.1 UPICC
dan RUU Kontrak (ELIPS) yang menyatakan bahwa “Para pihak bebas
untuk mengadakan suatu kontrak dan untuk menentukan isinya”.
Demikian pula dalam Pasal 1.2 dinyatakan bahwa, “ Tidak satupun
dalam asasasas ini yang mensyaratkan suatu kontrak harus diadakan
atau dinyatakan atau dibuktikan dengan cara apapun, termasuk
dengan saksi”.
Harus dipahami secara baik bahwa asas kebebasan berkontrak
yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) sebaiknya ditafsirkan dengan

14
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 102-103.
15
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 103.
16
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 104.
menempatkan posisi para pihak dalam kontrak atau perjanjian dalam
keadaan yang proporsional.

D. Asas Itikad Baik


Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Didalam perundang-
undangan tidak memberikan definisi secara jelas apa yang dimaksud
itikad baik. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), yang
dimaksud dengan “itikad” adalah kepercayaan, keyakinan yang
teguh, maksud, kemampuan (yang baik).17
Didalam pengaturan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata perjanjian
itu harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata ini pada umumnya selalu dihubungkan dengan
Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat
apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga
segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”. 18 Itikad baik
yang bersifat nisbi memperhatikan tingkah laku dan sikap yang nyata
dari subjek. Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu:
 Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan
hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau
anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi
dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks
ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang
beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te
kwader trouw) harus bertanggungjawab dan menanggung
risiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan
Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata dan Pasal 1963 KUHPerdata, di
mana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak

17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Balai Pustaka, Jakarta, 1995), Hlm. 368.
(Selanjutnya di sebut KBBI).
18
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 188-189.
milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat
subyektif dan statis;
 Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu.
Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bersifat obyektif dan
dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik
berat itikat baik disini terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai
pelaksanaan sesuatu hal.19
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada perbedaan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata dengan Pasal 1963 KUHPerdata dan 1977 ayat (1)
KUHPerdata. Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata dalam arti obyektif dan dinamis, sedangkan menurut
Pasal 1963 KUHPerdata dan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata itikad
baik dalam arti subyektif dan statis.
Sehubungan dengan fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3)KUHPerdata, menurut beberapa sarjana antara lain P. L. Werry,
Arthur S. Hartkamp, dan Marianne M. M. Tillem, terdapat tiga fungsi
utama itikad baik, yaitu:
 Fungsi yang mengajarkan bahwa kontrak harus ditafsirkan
menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum),
artinya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair);
 Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van
de geode trouw), artinya itikad baik dapat menambah isi atau
kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang
timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan
didalam kontrak;
 Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en
gerigerende werking van de geode trouw), artinya fungsi ini
hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang
amat penting (alleen in spreekende gevallen).20
19
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perdata,( Sumur, Bandung, 1992), Hlm 56.
20
Ridwan Khairandy, Op.cit, Hlm. 216.
Dalam Simposium Hukum Perdata Nasonal yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nsional (BPHN),
itikad baik hendaknya diartikan sebagai :
 Kejujuran pada waktu membuat kontrak;
 Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat
dihadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik
(meskipun ada juga pendapat yang meyatakan keberatan);
 Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait
suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam
melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak,
semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak
patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.21
Selanjutnya setelah pembahasan mengenai masing-masing
asas, maka asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas
kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik mempunyai pelaksanaan
saling berkaitan dalam kontrak yang memiliki sungsi sebagai “check
and balance”.

E. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt


Servanda)
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian disebut juga dengan
asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan
akibat dari suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda termuat dalan
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUPerdata yang menyatakan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya bahwa
undangundang mengakui dan menempatkan posisi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak sejajar dengan pembuatan undang-undang.
Kekuatan perjanjian yang dibuat secara sah (vide Pasal 1320
BW) mempunyai daya berlaku seperti halnya undang-undang yang
dibuat oleh legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak,
21
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1981), dikutip dari Agus Yudho Hernoko, Op.cit, Hlm. 123.
bahkan jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan
sarana penegakan hukum (hakim, jurusita). 22 Ketentuan tersebut
pada dasarnya memberikan pengakuan terhadap kebebasan dan
kemandirian para pihak dalam membuat perjanjian untuk bebas
menentukan : (i) isi, (ii) berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, (iii)
dengan bentuk tertentu atau tidak, dan (iv) bebas memilih undang-
undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.23
Sebagai konsekwensi dari asas pacta sunt servanda ini adalah
bahwa Hakim maupun pihak ketiga “dilarang mencampuri isi” dari
perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam perjanjian yang
bersangkutan. Konsekwensi lain, tidak ada pihak ketiga yang boleh
mengurangi hak orang lain untuk menentukan isi dari perjanjian yang
dibuatnya.24
Menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum masehi sampai
sekarang terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai
kekuatan mengikatnya kontrak, yaitu :
 Tahap pertama, disebut dengan contracts re;
 Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis;
 Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris;
 Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus.25
Tahap pertama (contracts re), atau menurut L.B. Curzon
disebut sebagai obligationes re (real contracts – the word “real” is
derived from res), didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan
mengikat kontrak ditekankan pada penyerahan barang (res) bukan
pada janji. Contracts re atau obligationes re ini meliputi :
 Mutuum, meminjamkan barang untuk dikonsumsi (termasuk
didalamnya meminjam uang);
 Commodatum, meminjamkan barang untuk dipakai;

22
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 111.
23
Ibid.
24
Djohari Santoso, dan Ahmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, (Perpustakaan Fak Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989), Hlm. 49.
25
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 108
 Depositium, menyerahkan barang untuk dijaga tanpa imbalan
dan dikembalikan sesuai permintaan pihak yang menyerahkan
barang;
 Pinus, menyerahkan barang sebagai jaminan pelaksanaan
kewajiban.26
Tahap kedua (contracts verbis atau obligationes verbis),
didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak
digantungkan pada kata-kata (verbis) yang diucapkan. Contracts
verbis atau obligationes verbis ini meliputi :
 Stipulatio, yaitu interaksi kata-kata dari dua orang atau lebih
yang berupa pertanyaan dan jawaban (pertanyaan: spondesne
– do you promise?; jawaban: Spondeo – I promise);
 Dictio Dotis (dotis dictio) yaitu pertanyaan sungguh-sungguh
(solemn declaration) yang melahirkan semacam tanda
mengikat atau mahar (dowry);
 Ius Iurandum Liberti (jurata promissio liberti), yaitu semacam
kesaksian tersumpah oleh pihak ketiga untuk kepentingan
dirinya;
 Votum, yaitu janji di bawah sumpah kepada Tuhan.27
Tahap ketiga (contracts litteris atau obligationes litteris),
didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak itu
terletak pada bentuknya yang tertulis. Contracts litteris atau
obligationes litteris ini meliputi:
 Expensilatio, yaitu suatu bentuk pemberitahuan yang dicatat
dalam buku kreditor, yang atas dasar catatan itu debitor terikat
untuk membayar;
 Synographae atau Chirographae, yaitu kewajiban yang ditulis
secara khusus yang dipinjam dari kebiasaan bangsa Yunani dsn
tidak terdapat dalam kebiasaan masyarakat Roma.28
Tahap keempat (contracts consensu atau obligationes
consensu), didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat
26
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 108
27
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 109
28
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 110
kontrak karena adanya kesepakatan atau consensus para pihak. Ada
empat bentuk kontrak jenis ini, yaitu:
 Emptio Venditio, yaitu kontrak jual beli;
 Locatio Conductio, yaitu kontrak yang membolehkan
penggunaan atau penyewaan barang atau jasa;
 Societas, yaitu kontrak kerja sama (partnership);
 Mandatum, yaitu suatu mandat pelayanan yang dilakukan
untuk orang lain (misalnya: keagenan).29

F. Asas Kepribadian (personality)


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas
bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini
mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian,
ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir
dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian
diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan
bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh
hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317

29
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 111
KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan
dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki
ruang lingkup yang luas.

G. Asas Persamaan Hukum


Yaitu bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mengenai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum.
Mereka tidak boleh membeda-bedakan antara satu sama lainnya,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

H. Asas Kepercayaan (Vertrouwens Beginsel)


Yaitu bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian
akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di
belakang hari.

I. Asas Keseimbangan
Yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi
dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

J. Asas Kepastian Hukum


Yaitu asas ini mengandung maksud bahwa perjanjian sebagai
figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap
dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya.
K. Asas Moralitas
Adalah asas yang berkaitan dengan perikatan wajar, yaitu
suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak
baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat
dalam zaakwar-neming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban
hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah
satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan
(moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

L. Asas Kepatutan
Yaitu asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

M. Asas Kebiasaan
Yaitu dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur,
akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.30

30
M. Muhtarom, Asas Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, dalam
https://www.jurnalhukum.com/asas-asas-hukum/ di kunjungi 26 Maret 2022.
KESIMPULAN
Hukum perjanjian di atur dalam buku III KUHPerdata yang
berjudul tentang perikatan pada umumnya. Istilah perjanjian
merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Asas-asas
perjanjian menjadi dasar terbentuknya sebuah perjanjian, dengan
adanya asas ini maka terbentuklah perjanjian yang ingin di sepakati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo T.Tunardy S.H, M.Kn, Asas-Asas Hukum, dalam
https://www.jurnalhukum.com/asas-asas-hukum/
2. M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan
Dalam Pembuatan Kontrak, Vol. 26 No 1, Mei 2014.
3. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dan Kebebasan Berkontrak,
Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana, 2003.
4. Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik Dan Kepatutan Dalam
Perjanjian, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, semarang,
1986.
5. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. Keenam, Alumni, Bandung,
1995.
6. Prof. DR. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. Hukum perjanjian,
Jakarta, Prenamedia Group, 2010.
7. Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,
Yuridika, Vol18, No.3, 2003.
8. Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993.
9. Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata,
Alumni Bandung, 1992.
10.Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
11.Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perdata,Sumur,
Bandung, 1992.
12.Djohari Santoso, dan Ahmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia,
Perpustakaan Fak Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1989.
ESSAY & JAWABAN
Apa fungsi asas dalam suatu perjanjian?
Jawab: Apabila dilihat dari segi fungsinya, maka asas dalam hukum
perjanjian/kontrak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu Pertama,
membangun fondasi bagi kontruksi hukum kontrak yang kokoh, yang
menempatkan kedudukan hukum para pihak yang membuat kontrak
dalam hubungan-hubungan hukum kontekstual yang setara, jelas dan
konkrit.

Anda mungkin juga menyukai