TUGAS MAKALAH
Dosen
No. Hp : 0822-8826-8338
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA BARAT
ASAS-ASAS PERJANJIAN
B. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disim pulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kese pakatan
1
Wibowo T.Tunardy S.H, M.Kn, “Asas-Asas Hukum”, dalam https://www.jurnalhukum.com/asas-
asas-hukum/, dikunjungi 26 maret 2022.
adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak. Asas konsen sualisme muncul diilhami dari
hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak
dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan
sebutan perjanjian riil dan perjan jian formal. Perjanjian riil adalah
suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam
hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu
tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam
hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal
dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.2
2
M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, Vol. 26
No 1, Mei 2014, Hal 48.
3
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dan Kebebasan Berkontrak, (Universitas Indonesia, Fakultas
Hukum, Pasca Sarjana, 2003) Hlm 86.
4
Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, semarang, 1986, Hlm 3.
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”5
Menurut Subekti, cara menyimpulkan kebebasan berkontrak
ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang
ada dimuka perkataan “perjanjian”. Bahwa didalam ketentuan Pasal
1338 memuat pengertian bahwa kita diperbolehkan membuat suatu
perjanjian apapun dan perjanjian yang dibuat akan mengikat para
pihak seperti undang-undang.6
Didalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang
bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak sebagai berikut :
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin
membuat perjanjian;
Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan
dibuatnya;
Kebebasan untuk menentukan obyek suatu perjanjian;
Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional.7
Perkembangan kebebasan berkontrak saat ini menimbulkan
ketidak adilan, karena untuk mencapai suatu asas kebebasan
berkontrak harus melalui posisi tawar yang seimbang. Tetapi dalam
praktiknya para pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi
akan memaksakan semua kehendaknya, mereka akan memaksakan
pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah untuk mengikuti
kehendaknya dalam membuat isi perjanjian.8
5
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjianl, Cet 1, (Jakarta, Prenamedia Group, 2010) Hlm 94.
6
Subekti, Aneka Perjanjian, cet. Keenam, (Alumni, Bandung, 1995), Hlm 4-5.
7
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Vol18, No.3, 2003, Hlm31
8
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hlm. 47.
Pemerintah sudah mengambil tindakan dengan membatasi
ketentuan asas kebebasan berkontrak untuk melindungi pihak yang
lemah melalui peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan. Pasal 1320 KUHPerdata membatasi asas kebebasan
berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya suatu perjanjian
yang harus di penuhi:
Adanya kata sepakat para pihak;
Kecakapan para pihak untuk membuat kontrak
Adanya obyek tertentu; dan
Adanya kausa yang tidak bertantangan dengan hukum.9
Setiawan menyatakan bahwa pembatasan kebebasan
berkontrak di pengaruhi oleh :
Berkembangnya doktrin itikad baik;
Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan;
Makin banyaknya kontrak baku;
Berkembangnya hukum ekonomi.10
Selain pembatasan tersebut diatas, Ridwan Khairandy
mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas
kebebasan berkontrak:
1. Makin berpengaruhnya ajakan itikad baik, di mana itikad baik
tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah
harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam
kontrak.11
Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya
berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan:
Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan-
persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan-
perseroan dan golongangolongan masyarakat lain (misal:
golongan buruh dan tani);
9
Ridwan Khairandy, Op.cit, Hlm 89.
10
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, cet 1, (Alumni Bandung, 1992)
Hlm. 179-180.
11
Ridwan Khairady, Op.cit,Hlm. 3.
Terjadinya pemasyarakatan (vermaatschappelijking) keinginan
adanya keseimbangan antara individu dan masyarakat yang
tertuju kepada keadilan sosial;
Timbulnya formalisme perjanjian;
Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara.12
Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan , pembatasan
kebebasan berkontrak akibat adanya:
12
Ibid.
13
Ibid.
E. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat,
kebiasaan, dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud
dalam Pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan
tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu
selalu diperhatikan;
F. Pasal 1347 BW, yang mengatur mengenai hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-
diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk
beding).14
Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat
perjanjian (kontrak) perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;
Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai
causa;
Tidak mengandung causa palsu atau dilarang undang-undang;
Ketidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan
dan ketertiban umum;
Harus dilaksanakan dengan itikad baik.15
Sebagai asas yang universal, asas kebebasan berkontrak juga
diakui dalam UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) mengakui kebebasan
berkontrak sebagai asas fundamental dalam hubungan kontraktual
para pihak.16 Kebebasan tersebut mencakup isi maupun
formalitasnya sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1.1 UPICC
dan RUU Kontrak (ELIPS) yang menyatakan bahwa “Para pihak bebas
untuk mengadakan suatu kontrak dan untuk menentukan isinya”.
Demikian pula dalam Pasal 1.2 dinyatakan bahwa, “ Tidak satupun
dalam asasasas ini yang mensyaratkan suatu kontrak harus diadakan
atau dinyatakan atau dibuktikan dengan cara apapun, termasuk
dengan saksi”.
Harus dipahami secara baik bahwa asas kebebasan berkontrak
yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) sebaiknya ditafsirkan dengan
14
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 102-103.
15
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 103.
16
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 104.
menempatkan posisi para pihak dalam kontrak atau perjanjian dalam
keadaan yang proporsional.
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Balai Pustaka, Jakarta, 1995), Hlm. 368.
(Selanjutnya di sebut KBBI).
18
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 188-189.
milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat
subyektif dan statis;
Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu.
Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bersifat obyektif dan
dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik
berat itikat baik disini terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai
pelaksanaan sesuatu hal.19
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada perbedaan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata dengan Pasal 1963 KUHPerdata dan 1977 ayat (1)
KUHPerdata. Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata dalam arti obyektif dan dinamis, sedangkan menurut
Pasal 1963 KUHPerdata dan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata itikad
baik dalam arti subyektif dan statis.
Sehubungan dengan fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat
(3)KUHPerdata, menurut beberapa sarjana antara lain P. L. Werry,
Arthur S. Hartkamp, dan Marianne M. M. Tillem, terdapat tiga fungsi
utama itikad baik, yaitu:
Fungsi yang mengajarkan bahwa kontrak harus ditafsirkan
menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum),
artinya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair);
Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van
de geode trouw), artinya itikad baik dapat menambah isi atau
kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang
timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan
didalam kontrak;
Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en
gerigerende werking van de geode trouw), artinya fungsi ini
hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang
amat penting (alleen in spreekende gevallen).20
19
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perdata,( Sumur, Bandung, 1992), Hlm 56.
20
Ridwan Khairandy, Op.cit, Hlm. 216.
Dalam Simposium Hukum Perdata Nasonal yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nsional (BPHN),
itikad baik hendaknya diartikan sebagai :
Kejujuran pada waktu membuat kontrak;
Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat
dihadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik
(meskipun ada juga pendapat yang meyatakan keberatan);
Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait
suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam
melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak,
semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak
patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.21
Selanjutnya setelah pembahasan mengenai masing-masing
asas, maka asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas
kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik mempunyai pelaksanaan
saling berkaitan dalam kontrak yang memiliki sungsi sebagai “check
and balance”.
22
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 111.
23
Ibid.
24
Djohari Santoso, dan Ahmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, (Perpustakaan Fak Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989), Hlm. 49.
25
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 108
Depositium, menyerahkan barang untuk dijaga tanpa imbalan
dan dikembalikan sesuai permintaan pihak yang menyerahkan
barang;
Pinus, menyerahkan barang sebagai jaminan pelaksanaan
kewajiban.26
Tahap kedua (contracts verbis atau obligationes verbis),
didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak
digantungkan pada kata-kata (verbis) yang diucapkan. Contracts
verbis atau obligationes verbis ini meliputi :
Stipulatio, yaitu interaksi kata-kata dari dua orang atau lebih
yang berupa pertanyaan dan jawaban (pertanyaan: spondesne
– do you promise?; jawaban: Spondeo – I promise);
Dictio Dotis (dotis dictio) yaitu pertanyaan sungguh-sungguh
(solemn declaration) yang melahirkan semacam tanda
mengikat atau mahar (dowry);
Ius Iurandum Liberti (jurata promissio liberti), yaitu semacam
kesaksian tersumpah oleh pihak ketiga untuk kepentingan
dirinya;
Votum, yaitu janji di bawah sumpah kepada Tuhan.27
Tahap ketiga (contracts litteris atau obligationes litteris),
didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat kontrak itu
terletak pada bentuknya yang tertulis. Contracts litteris atau
obligationes litteris ini meliputi:
Expensilatio, yaitu suatu bentuk pemberitahuan yang dicatat
dalam buku kreditor, yang atas dasar catatan itu debitor terikat
untuk membayar;
Synographae atau Chirographae, yaitu kewajiban yang ditulis
secara khusus yang dipinjam dari kebiasaan bangsa Yunani dsn
tidak terdapat dalam kebiasaan masyarakat Roma.28
Tahap keempat (contracts consensu atau obligationes
consensu), didasarkan pada pendapat bahwa kekuatan mengikat
26
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 108
27
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 109
28
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 110
kontrak karena adanya kesepakatan atau consensus para pihak. Ada
empat bentuk kontrak jenis ini, yaitu:
Emptio Venditio, yaitu kontrak jual beli;
Locatio Conductio, yaitu kontrak yang membolehkan
penggunaan atau penyewaan barang atau jasa;
Societas, yaitu kontrak kerja sama (partnership);
Mandatum, yaitu suatu mandat pelayanan yang dilakukan
untuk orang lain (misalnya: keagenan).29
29
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 111
KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan
dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki
ruang lingkup yang luas.
I. Asas Keseimbangan
Yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi
dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
L. Asas Kepatutan
Yaitu asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
M. Asas Kebiasaan
Yaitu dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur,
akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.30
30
M. Muhtarom, Asas Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, dalam
https://www.jurnalhukum.com/asas-asas-hukum/ di kunjungi 26 Maret 2022.
KESIMPULAN
Hukum perjanjian di atur dalam buku III KUHPerdata yang
berjudul tentang perikatan pada umumnya. Istilah perjanjian
merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Asas-asas
perjanjian menjadi dasar terbentuknya sebuah perjanjian, dengan
adanya asas ini maka terbentuklah perjanjian yang ingin di sepakati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo T.Tunardy S.H, M.Kn, Asas-Asas Hukum, dalam
https://www.jurnalhukum.com/asas-asas-hukum/
2. M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan
Dalam Pembuatan Kontrak, Vol. 26 No 1, Mei 2014.
3. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dan Kebebasan Berkontrak,
Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pasca Sarjana, 2003.
4. Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik Dan Kepatutan Dalam
Perjanjian, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, semarang,
1986.
5. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. Keenam, Alumni, Bandung,
1995.
6. Prof. DR. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. Hukum perjanjian,
Jakarta, Prenamedia Group, 2010.
7. Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,
Yuridika, Vol18, No.3, 2003.
8. Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993.
9. Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata,
Alumni Bandung, 1992.
10.Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
11.Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perdata,Sumur,
Bandung, 1992.
12.Djohari Santoso, dan Ahmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia,
Perpustakaan Fak Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1989.
ESSAY & JAWABAN
Apa fungsi asas dalam suatu perjanjian?
Jawab: Apabila dilihat dari segi fungsinya, maka asas dalam hukum
perjanjian/kontrak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu Pertama,
membangun fondasi bagi kontruksi hukum kontrak yang kokoh, yang
menempatkan kedudukan hukum para pihak yang membuat kontrak
dalam hubungan-hubungan hukum kontekstual yang setara, jelas dan
konkrit.