Anda di halaman 1dari 21

Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika dua orang melakukan suatu tindakan hukum untuk kepentingan


mereka , maka akan timbul adalah hubungan kehendak terhadap kepentingan,
maka secara tidak sadar kita di setiap harinya melakukan gubugan hukum
entah itu berupa perikatan, perjanjian atau pun yang lain, contoh kecilnya
seperti membeli sebuah barang, sewamenyewa, pinjam meminjam, bias di
katakana hal tersebut di namakan perikatan1

Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata (BW).


Dalam hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah
perikatan. Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban ataas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber dari perjanjian,


perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang diatur dalam undang-
undang ataupun tidak, dan itu di jelaskan dalam hukum perikatan buku ke tiga
III KUH Perdata (BW), dari sini kita pahami bahwa ini lah yang di sebut
kebebasan berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang
dengan tegas ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
diatur didalamnya.
1
Agus Pandoman, Sistem hukum perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta, cet I,
2017, hlm 1

1
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep perikatan dan
hal-hal yang terkait di dalamnya sampai dengan berakhirnya atau terhapusnya
suatu perikatan.

B. Rumusan Masalah

a. Apa definisi dari perikatan dan perjanjian ?


b. Apa saja subjek dan objek dalam perikatan ?
c. Apa saja syarat sahnya suatu perjanjian itu ?
d. Apa saja asas dalam suatu perjanjian itu ?
e. Apa definisi dari resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa ?
f. Bagaimana suatu perikatan itu berakhir ?

C. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari perikatan dan perjanjian
b. Bias membedakan dan mengerti tentang subjek dan objek perikatan
c. Mengerti tentang syarat , asas, suatu perjanjian

2
BAB II

Pembahasan

A. Konsep Perikatan
a. Istilah Perikatan dan Definisi Perikatan

Istilah Perikatan berasal dari bahasa belanda verbintenis. Namun


demikian dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam
istilah untuk menterjemahkan Verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibjo,
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk
Overeenkomst. Dan verbintenis dalam istilah BW di namakan Obligation
yang di ambil dari hukum Romawi,2 Dengan demikian, verbentesis ini
dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu :

a. Perikatan.

b. Perutangan dan

c. Perjanjian.3

Sedangkan untuk overeenkomst dipakai untuk dua istilah yaitu


perjanjian dan persetujuan. Jadi jika berhadapan dengan istilah
verbintenis dan overeenkomst, haruslah berusaha menjawab pengertian
apakah yang tersimpul dalam istilah tersebut. Secara terminologi,
verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat.
Dengan demikian verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau
hubungan.
Hukum Perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata. Namun
demikian dalam bab III KUH Perdata tersebut tidak ada satu pasal pun
yang merumuskan makna tentang perikatan. Menurut Subekti, perkataan
“perikatan” dalam Buku III KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas

2
R. Soetojo Prawirohamidjojo SH, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1979, hal 10.
3
Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta, cet I,
2017, hlm 23

3
dari "perjanjian", sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan
hukum yang Sama sekali tidak bersumber pada suatu persetutujuan atau
perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang
melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul
dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).

Tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan yang
timbul dari persetujuan atau perjanjian. Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum
Perdata perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi di antara
2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan di
mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi itu. Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum
Perdata berpendapat, bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara
dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Perikatan sendiri merupakan suatu pengertian yang abstrak.4

Hukum Islam memiliki istilah sendiri tentang perikatan, yaitu 'aqdun


atau akad. Adapun akad sendiri mempunyai beberapa pengertian. Menurut
pendapat para ulama ahli Fiqh, bahwa akad adalah sesuatu yang dengannya
akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata
atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada
dua sisinya. Perkataan aqdu mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau
lebih, yaitu apabila seorang mengadakan janji , kemudian ada orang lain
yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang
berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua
buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang
lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd).5

4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 2002), hlm 122.
5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
hlm 19.

4
Begitu juga dalam harta kekayaan dalam tata kehidupan islam adalah
segala sesuatu yang dapat di peroleh dalam kehidupan dunia yang berbentuk
materi dan memiliki nilai dan mutlak milik tuhan, oleh karena itu cara
memperolehnya harus sesuai dengan norma islam6

Berikutnya juga di bahas tentang unsur yang tercantum dalam hukum


perikatan meliputi hal-hal sebagai berikut:7

a. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam perikatan dapat


dibedakan menjadi dua macam yaitu tertulis dan tertulis. Kaidah
hukum perikatan tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
Kaidah hukum perikatan tidak tertulis adalah kaidah hukum
perikatan yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam praktek kehidupan
masyarakat (kebiasaan).

b. Adanya subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum dapat dibagi


menjadi dua macam yaitu, manusia dan badan hukum. Subjek
hukum dalam hukumperikatan terdiri dari kreditor dan debitor.
Kreditor adalah orang atau badan hukum yang berhak atas prestasi,
sedangkan debitor adalah orang atau badan hukum yang
berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

c. Adanya prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditor dan
kewajiban debitor.

d. Dalam bidang kekayaan. Harta kekayaan adalah menyangkut hak


dan kewajiban yang mempunyai nilai uang.

Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas
18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan 1864 dan

6
Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta, cet I,
2017, hlm 157
7
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm
151-152.

5
masing masing bab dibagi menjadi beberapa bagian. Hal yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata, meliputi hal-hal berikut ini:8

a. Perikatan pada umumnya (pasal 1233-1312 KUH Perdara). Hal yang


diatur dialamnya meliputi sumber perikatan, prestasi, penggantian
biaya rugi, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan dan
jenis-jenis perikatan.

b. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (pasal 1313-1351 KUH


Perdata). Hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuaan umum,
syarat sahnya perjanjian, akibat perjanjian, dan penafsiran
perjanjian.

c. Perikatan yang dilahirkan dari UU (pasal 1352-1380 KUH Perdata).

d. Hapusnya perikatan (pasal 1381-1456 KUH Perdata).

e. Jual beli (pasal 1457-1540 KUH Perdata). Meliputi ketentuan


umum, kewajiban penjual, kewajiban pembeli, hak membeli
kembali, jual beli piutang, dan lain-lain.

f. Tukar menukar (pasal 1541-1546 KUH Perdata).

g. Sewa menyewa (pasal 1548-1600 KUH Perdata).

h. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (pasal 1601-1617 KUH


Perdata).

i. Persekutuan (pasal 1618-1652 KUH Perdata).

j. Perkumpulan (pasal 1653-1665 KUH Perdata).

k. Hibah (pasal 1666-1693 KUH Perdata).

l. Penitipan barang (pasal 1694-1739 KUH Perdata).

m. Pinjam pakai (pasal 1740-1753 KUH Perdata).

n. Pinjam-meminjam (pasal 1754-1769 KUH Perdata).


8
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 152-154.

6
o. Bunga tetap atau bunga abadi (pasal 1770-1773 KUH Perdata).

p. Perjanjian untung-untungan (1774-1791 KUH Perdata).

q. Pemberian kuasa (pasal 1792-1819 KUH Perdata).

r. Penanggungan utang (pasal 1820-1850 KUH Perdata).

s. Perdamaian (pasal 1851-1864 KUH Perdata).9

b. Definisi Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda)


dan contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang
pengertian perjanjian. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. Dari definisi tersebut telah tampak adanya konsensualisme dan
timbulnya akibat hukum (tumbuh atau lenyapnya hak dan kewajiban).
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah
suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Dari pengertian perjanjian di atas,
terdapat beberapa unsur mengenai perjanjian, antara lain:10

a. Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua pihak.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.

c. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan


pihak-pihak.

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan.

e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

9
Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta,
cet I, 2017, hlm 25
10
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2010), 222.

7
f. Ada syarat sebagai isi perjanjian.

B. Subjek dan Objek Perikatan


1. Objek Perikatan

Objek perikatan yaitu yang merupakan hak dari kreditur dan


kewajiban debitur. Yang menjadi objek perikatan yaitu prestasi atau hal
pemenuhan perikatan. Macam-macam prestasi itu antara lain adalah :11

a. Memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan kekuasaan nyata atas benda


dari debitur kepada kreditur seperti membayar harga dan lainnya.

b. Melakukan perbuatan, yaitu melakukan perbuatan seperti yang telah


ditetapkan dalam perikatan (perjanjian), misalnya memperbaiki
barang yang rusak.

c. Tidak melakukan suatu perbuatan, yaitu tidak melakukan suatu


perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, misalnya tidak
mendirikan bangunan dan lainnya.12

Agar suatu prestasi dapat tercapai, artinya suatu kewajiban akan


prestasi dipenuhi oleh debitur, maka prestasi harus memiliki sifat-sifat
diantaranya ialah harus sudah tertentu atau dapat ditentukan, harus
mungkin, harus diperbolehkan (halal), harus ada manfaatnya bagi
kreditur.

2. Subjek Perikatan

Subjek perikatan adalah para pihak dalam suatu perikatan, yaitu


kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi.
Apabila seorang debitur tidak memenuhi perikatan tersebut maka
debitur disebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera

11
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, 205.
12
Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi,
Yogyakarta, cet I, 2017, hlm 26

8
janji, terlebih dahulu dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu
peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Ada tiga
cara terjadinya somasi, antara lain:13

a. Debitur melaksanakan prestasi yang keliru.

b. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah ditetapkan.

c. Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi


kreditur karena kadaluarsa.

Isi yang harus dimuat dalam surat somasi diantaranya ialah:14

a. Apa yang dituntut.

b. Dasar tuntutan.

c. Tanggal paling lama untuk memenuhi prestasi.

Sementara itu, peristiwa yang tidak memerlukan somasi antara lain:15

a. Debitur menolak pemenuhan.

b. Debitur mengakui kelalaian.

c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos).

e. Debitur tidak melakukan prestasi sebagaimana mestinya.

C. Syarat Sah Perjanjian

Agar sesuatu perjanjian dianggap sah, harus memenuhi beberapa


persyaratan. Menurut Hukum Kontrak (law of contract) USA ditentukan
empat syarat syahnya perjanjian yaitu:16

1. Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)

13
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 178.
14
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, 206.
15
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 179-180.
16
Ibid, 161-162.

9
2. Adanya persesuaian kehendak (metting of minds)

3. Adanya konsiderasi atau prestasi

4. Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties)


dan pokok persoalan yang sah (legal subject parties).

Sedangkan dalam KUH Perdata syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam
pasa 1320 KUH Perdata yang menentukan syarat sahnya sebagai berikut:17

1. Adanya kesepakatan (toesteming / izin) kedua belah pihak. Yang


dimaksud kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara
satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

2. Kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau


kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum
adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang
yang mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana telah
ditentukan oleh UU. Orang yang cakap atau wewenang adalah orang
yang dewasa. Ukuran kedewasaaan adalah telah berumur 21 tahun dan
sudah kawin.

3. Adanya suatu hal atau adanya objek perjanjian (onderwerp der


overeentskoms). Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang
menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak
kreditor. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan
tidak berbuat sesuatu. Misalnya, jual beli rumah yang menjadi prestasi
atau pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah itu.

4. Adanya causa yang halal (Geoorloofde oorzaak). Suatu sebab yang


halal merupakan syarat ke 4 suatu perjanjian yang menjadi pokok

17
KUH Perdata dan KUHA Perdata, (tk: Pustaka Buana, 2015), 295.

10
dalam hal ini pengertian perkataan “sebab” akan di jelaskan sebagai
berikut

a. Perkataan Sebab sebagai salah satu pengertiaan Ilmu Hukum yang


berbeda dengan ilmu Pengetahuan
b. Perkataan Sebab itu bukan pula Motif karena motif adalah soal
batin yang tidak di pedulikan oleh hukum
c. Perkataan seba secara letterlijkberasal dari kata oorazaak (Bahasa
Belanda) yang di maksud adalah tujuan yakni apa yang di maksud
oleh keda pihak dengan mengadakan perjanjian, dengan kata lain
sebab adalah isi dari perjanjian itu18

D. Asas Asas Perjanjian

Didalam hukum perjanjian dikenal tiga asas, yaitu asas


konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak.19

1. Asas konsensualisme (kesepakatan).

Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada)


sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain
bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak
saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok
perikatan. Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua
belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak.
Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan
dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti.
Perjanjian yang dibuat secara lisan didasarkan pada asas bahwa
manusia itu dapat dipegang mulutnya, artinya dapat dipercaya dengan
kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada beberapa perjanjian tertentu
18
Dr. Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi,
Yogyakarta, cet I, 2017, hlm 53
19
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 157-158.

11
yang harus dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian,
perjanjian penghibahan, perjanjian pertanggungan dan sebagainya.
Tujuannya ialah sebagai alat bukti lengkap dari pada yang
diperjanjikan.

2. Asas pacta sunt servada

Asas Pacta Sunt Servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian.


Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan : Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dari
ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah :

a. Pertama, istilah “semua perjanjian” berarti bahwa pembentuk


Undang-Undang menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi
juga perjanjian yang tidak bernama. Seiain itu juga
mengandung suatu asas partij autonomie.

b. Kedua, istilah “secara sah” artinya bahwa pembentuk Undang-


Undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan bersifat
mengikat sebagai Undang-Undang terhadap para pihak
sehingga terealisasi asas kepastian hukum.

c. Ketiga, istilah “itikad baik” hal ini berarti memberi


perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara
kreditor dan debitor menjadi seimbang. Ini merupakan
realisasi dari asas keseimbangan.

12
3. Asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak (freedom of contract), adalah salah satu asas


yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia. Di
dalam hukum perjanjian internasional, asas kebebasan berkontrak
yang bertanggung jawab, yang manpu memelihara keseimbangan
tetap perlu dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang
serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak merupakan asas kebebasan kepada para pihak
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratan, serta menentukan bentuknya perjanjian secara lisan
atau tertulis.

Selain ketiga asas diatas, dalam lokakarya hukum perikatan yang


diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum
perikatan nasional yaitu asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatuhan, asas
kebiasaan dan asas perlindungan.20

20
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 158.

13
E. Resiko,

Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena


suatu kejadian di luar salah satu pihak, yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam kontrak.21 Jadi pokok pangkalnya resiko adalah keadaan
memaksa. Sementara titik pangkalnya dalam jika dalam wanprestasi adalah
ganti rugi.

Mengenai resiko, sebenarnya dapat disimak dalam pasal 1237 KUH


Perdata yang menyatakan bahwa dalam hal adanya kontrak untuk
memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu tersebut semenjak
kontrak dilahirkan, adalah atas tanggungan berpiutang (tanggungan=resiko).
Dengan begitu, dalam kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu jika
barang ini sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa diluar
kesalahan salah satu pihak, maka kerugian harus dipikul oleh si berpiutang,
yaitu pihak penerima barang.

Resiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni resiko dalam


perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbal balik. Lebih jelasnya
adalah seperti berikut ini:22

a. Resiko dalam perjanjian sepihak yakni resiko ditanggung oleh


kreditur. Resiko ini diatur dalam pasal 1237 KUH Perdata.

b. Resiko dalam perjanjian timbal balik. Resiko dalam jenis ini dibagi
menjadi tiga bagian yaitu resiko jual beli yang diatur dalam pasal
1460 KUH Perdata yakni resiko ini ditanggong oleh pembeli,
resiko dalam tukar menukar yang diatur dalam pasal 1545 KUH
Perdata yakni resiko ditanggung oleh pemilik barang, dan yang
terakhir adalah resiko dalam sewa menyewa, yang diatur dalam
pasal 1553 yakni resiko ditanguung oleh pemilik barang.

21
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, (Malang: Setara Press, 2016), 77.
22
Elsi Kartika Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), 34-
35.

14
F. Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie” yang berarti


prestasi buruk atau cedera janji. Dalam bahasa Inggris, wanprestasi disebut
breach of contract, yang berarti tidak dilaksanakannya kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak.23 Secara etimologi,
wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam kontrak. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah
sebagai berikut:

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi

b. Tidak tunai memenuhi prestasi

c. Terlambat memenuhi prestasi

d. Keliru memenuhi prestasi.24

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi,


perlu diperhatikan apakah dala kontrak itu ditentukan trnggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan perlu memperingatkan
debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan
tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur
dianggapp lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan.
Akibat hukum dari wanprestasi adalah:25

a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi (pasal 1243 KUH Perdata).

b. Kreditur dapat meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan


(pasal 1266 KUH Perdata).

23
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, 75.
24
Dr. Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi,
Yogyakarta, cet I, 2017, hlm 36
25
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, 76.

15
c. Kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak atau pemenuhan
kontrak disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti rugi
(pasal 1267 KUH Perdata)

Apabila seorang debitur yang dituduh cidera janji dan dituntut


hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari
hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan.
Pembelaan tersebut ada tiga macam yaitu:26

a. Karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptio non


adimpleti contractus).

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk


menuntut ganti rugi (rechtvenverking).

G. Keadaan Memaksa (Overmacht)

Keadaan memaksa atau overmacht yaitu ketika dalam suatu kontrak


bisnis, ketika debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak
dapat memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, maka debitur tidak dapat
dipersalahkan. Dengan perkataan lain, debitur tidak dapat memenuh
kewajiban karena overmacht. Dengan demikian kreditur tidak dapat
menuntut ganti rugi sebagaiamana hak yang dimiliki oleh kreditur dalam
wanprestasi. Adapun yang termasuk unsur-unsur overmacht adalah sebagai
berikut:

a. Ada halangan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban.

b. Halangan itu bukan karena kesalahan debitur.

c. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko bagi debitur.

26
Ibid, 77.

16
Overmacht mengakibatkan suatu kontrak berhenti. Overmacht tidak
melenyapkan adanya kontrak akan tetapi, hanya menghentikan kontrak.
Dalam suatu kontrak timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena
Overmacht terhalang untuk berprestasi, maka lawan juga harus dibebaskan
untuk berprestasi. Ketentuan dalam Overmacht diatur dalam KUH Perdata
pasal 1244 dan pasal 1245.27 Pada pasal 1244 berbunyi: “Debitur harus
dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya
waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang
tidak terduga, yang dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun tidak ada
iktikad buruk padanya”. Selanjutnya pada pasal 1245 berpunyi: “Tidak ada
penggantian biaya kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau
karena hal yang secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukakan suatu perbuatan yang
terlarang olehnya”.28

Keadaan memaksa dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

a. Keadaan memaksa absolut

Keadaan memaksa absolut yaitu suatu keadaaan di mana debitur


sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditur, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
Contohnya adalah si A Ingin menjual kuda kepada si B akan tetapi
dalam perjalanan Kuda di sambar petir, sehingga mati seketika.
Karenanya Si A bagaimanapun tidak mungkin memenuhi prestasi.

b. Keadaan memaksa relatif

Keadaan memaksa relatif yaitu memaksa yang menyebabkan suatu


perikatan hanya dapat di laksanakan oleh debitur dengan
pengorbanan yang demikian besarnya, sehingga tidak lagi
sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaaan perikatab
27
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 182.
28
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 183.

17
tersebut, Contohnya seorang penyanyi telah mengikatkan dirinya
untuk suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia
menerima bahwa anaknya meninggal.29

H. Terhapusnya Perikatan

Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata suatu perikatan baik yang
lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa
hal diantaranya adalah:30

a. Pembayaran, yaitu jika kewajiban terhadap perikatan itu telah


dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata).

b. Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan atau penitipan.

c. Pembaharuan utang, yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh


utang yang baru.

d. Kompensasi atau imbalan, yaitu apabila kedua belah pihak saling


berhutang, maka utang mereka masing-masing diperhitungkan.

e. Percampuran utang yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan


kreditur dan debitur ada di satu tangan seperti warisan.

f. Pembebasan utang, yaitu apabila kreditur membebaskan segala


utang-tang dan kewajiban hak debitur.

g. Batal dan pembatalan, yaitu apabila perikatan itu batal atau


dibatalkan.

h. Hilangnya benda yang diperjanjikan, yaitu apabila benda yang


diperjanjikan binasa, hilang, atau menjadi tidak dapat
diperdagangkan.

29
Dr. Agus Pandoman, Sistem hukum Perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi,
Yogyakarta, cet I, 2017, hlm 61
30
Elsi Kartika Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi, 36-37

18
i. Timbul syarat yang membatalkan, yaitu ketentuan si perjanjian yang
disetujui kedua belah pihak.

j. Kedaluarsa atau lewat waktu.

Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan,


karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang
merupakan sumbernya masih tetap ada.31 Misalnya, pada persetujuan jual
beli, dengan dibayarkanya harga maka perikatan mengenai pembayaran
menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan
mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Suatu perjanjian akan
berakhir atau hapus apabila:32

a. Telah lampau waktunya (kadaluarsa).

b. Telah mencapai tujuannya.

c. Dinyatakan berhenti. Para pihak atau undang-undang dapat


menentukan bahwa terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian
akan hapus.

d. Dicabut kembali.

e. Diputuskan oleh hakim.

31
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, 237.
32
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, 237-238.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang
lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian
maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya
adalah karena pembayaran, kompensasi, pembayaran utang dll. Sementara
itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu
perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya
masih tetap ada.

20
Daftar Pustaka

Agus Pandoman, Sistem hukum perikatan BW dan Islam, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta,
cet I, 2017

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012),

KUH Perdata dan KUHA Perdata, (tk: Pustaka Buana, 2015), 295.

Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan, (Malang: Setara Press, 2016),

R. Soetojo Prawirohamidjojo SH, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1979,

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 2002),

Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana,

21

Anda mungkin juga menyukai