Anda di halaman 1dari 7

MAQASYID AL-SYARIAH

SEBAGAI FILSAFAT HUKUM ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Dr. Entol Zaenal Muttaqin, M.H., M.A

OLEH :
ANDRE WAHYU PRATAMA, S.Sos
NIM : 222 611 214

PROGRAM PASCASARJANA
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
Maqosyid Al-Syariah
Sebuah Perspektif Kontemporer

Latar Belakang Awal Lahirnya Konsep Kontemporer

Dibalik hukum islam yang ditetapkan oleh Allah SWT. memiliki maksud
yang mengarah pada keberlangsungan kehidupan manusia. Maqasih syari’ah
menjelaskan tentang tujuan dibalik kebijakan dalam hukum islam dan
keterkaitannya dengan kepentingan kehidupan manusia. Seperti hikmah berpuasa
pada kesejahteraan sosial, perintah bersedekah untuk mendekatkan diri dengan
tuhan yang berimplikasi pada kebutuhan manusia akan rasa aman yang pada
hakikatnya berasal dari tuhannya. Selain sebagai kehendak tuhan, hukum islam
berisi nilai-nilai yang menjaga Kesehatan jiwa dan pikiran manusia yang dengan
demikian berhubungan dengan hak asasi manusia. Perkembangan Maqasid
syari’ah melewati tiga masa pening, yaitu masa para sahabat, masa
berkembangnya studi hukum islam dan berkembang diantara abad ke lima dan ke
delapan.
Maqasyid berasal dari kata “Maqsyid” yang bentuk jamaknya
“Maqasyid” memiliki arti prinsip, tujuan, maksud, objektif dan pencapaian akhir.
Dalam istilah barat seperti Yunani disebut “telos”, dalam bahasa Prancis
“finalite”, dan dalam Bahasa Jerman disebut “zweck”. Sebagian ulama muslim
berpendapat al-maqasid sama dengan al-masalih (maslahat-maslahat) seperti
pendapat dalam terminologin menurut Abd Al-Malik Al-Juwaini (wafat 487
H/1185 M). Fakhrudin Al-Razi (wafat 606 H/1209 M) da al-Amidi (wafat 631
H/1316 M). Sementara Najmudin al-Tuf (Wafat 716 H/1316 M) mendefinisikan
mashalah sebagai ‘what fulfils the perpose of the legislator’ (sebab yang
mengantarkan kepada maksud al-syar’i). Al-Qarafi (wafat 1285 H/1868 M)
menghubungkan mashalah dan Maqasid merupakan “suatu bagian dari hukum
islami, yang didasari oleh syari’at serta harus terpaut dengan sasaran yang sah
untuk meraih kemasalahatan atau mencegah kemafsadatan”.
Dimensi Maqasyid
Tujan dari maqsyid sebagai hukum islam sendiri diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Tingkat dari kebutuhan, yaitu klasifikasi klasik
2. Cakupan keputusan untuk meraih tujuan
3. Cakupan dari masyarakat termasuk dari tujuan
4. Tingkat keuniversalan dari tujuan

Mawasid al-syari’ah al-islamiah (Berdasarkan tingkat ke daruratannya)

Daruriyat Hajjiyat Tahsiniyat


(Kebutuhan Pokok) (Kebutuhan) (Kebaikan)

Hifdz al-Din Hifdz al-Nafs Hifdz al-Mal Hifdz al-Nasl Hifdz al-Ird
(Perlindungan (Perlindungan (Perlindungan (Perlindungan (Perlindungan
Agama) Jiwa) Harta) Keturunan) Kehormatan)

Pada hukum islam klasik mengklasifikasikan Maqasid pada tiga tingkatan,


yaitu Daruriyat (kebutuhan pokok/primer), Hajiyyat (kebutuhan sekunder) dan
Tahsiniyyat (kebaikan/kebutuhan tersier). Pada daruriyyati dibagi lagi menjadi
kebutuhan perlindungan akan agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan.
Abraham Maslow memaparkan tentang ‘hierarchy of needs’ (hirarki kebutuhan)
mnusia yang terdiri dari kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta, pengahargaan dan
aktualisasi diri.
Pembahasan tentang tujuan dari hukum Islam (maqasid) secara sosial
berkembang selama berabad-abad khususnya pada abad ke 20. Ahli kontemporer
mengkritik klasifikasi hukum Islam klasik tentang kebutuhan sebagai berikut:
1. Cakupan hukum Islam klasik (Maqasid) adalah seluruh hukum islam.
Namun mereka gagal memasukkan tujuan khusus yang lebih spesifik
tentang topik atau bab tertentu dari fiqih
2. Maqasid klasik lebih mementingkan individu dari pada keluarga,
masyarakat dan manusia pada umumnya
3. Klasifikasi maqosyid menyimpulkan dari fiqih sastra masa depan, lebih
tepatnya dibandingkan sumber/skrip.
Untuk memperbaiki kekurangan diatas, studi modern menghasilkan
miskonsepsi dan klasifikasi baru maqosyid dengan memberikan pertimbangan
dimensi baru pada ruang lingkup peraturan dan klasifikasi kontemporer yang
membagi maqosyid pada tiga tingkat:
1. Maqosyid Umum
Maqosyid yang diamati oleh hukum islam secara keseluruhan, seperti
kebutuhan manusia yang dipaparkan diatas dan maqasyid yang baru
diusulkan, seperti keadilan dan fasilitasi
2. Maqosyid Spesifik
Maqosyid ini diamati pada seluruh bagian dari hukum islam, seperti
kesejahteraan anak-anak pada hukum keluarga, pencegahan tindak pidana
dalam hukum pidana, dan oencegahan monopoli pada transaksi keuangan
3. Sebagian Maqosyid
Maqosyid ini adalah niat atau maksud dibalik spesifikasi dari naskah atau
aturan. Seperti maksud untuk menemukan kebenaran pada saksi dalam
masalah pengadilan, maksud tersebut ialah meringankan kesulitan
Nila dan prinsip yang lebih tinggi secara luas dari Maqosyid:
1. Rasyid Rida 1354 H/ 1935M mengidentifikasi maqosyid meliputi
pembaruan rukun iman dan menyebarkan kesadaran bahwa Isla adalah
agaman yang murni
2. At-Tahir Ibnu Ashur 1325 H/ 1907 M mengalami kemajuan dibalik
maqosyid hukum Islam adalah menjaga ketertiban dan persamaan
fasilitasi.
Beberapa ulama kontemporer lainnya memandang kebebasan dari
perbudakan bukanlah kebebasan yang sesungguhnya seperti kontemporer dalam
bernalar, Mashalah adalah istilan Islam yang terkenal dan memeiliki sejumlah
kesamaan dengan konsepsi saat ini tentang kebeebasan. Muhammad Al-Ghazali
1416 H/ 1996 M menyimpulkan maqasyid dengan kebutuhan. Yusuf Al-
Qaradhawi 1345 H/ 1962 M menyimpulkan maqosyid lebih luas tentang
keyakinan akan kebenaran, memelihara harga diri dan hak manusia, serta hati
untuk menyembah Allah SWT. Taha Al- Alwani 1354 H / 1935 M
mengidentifikasi maqosyid sebagai keesaan dari Allah SWT, pemurnian jiwa
(tazkiyah). Struktur maqosyid paling tepat digamarkan sebagai multidimensi,
Struktur tingkat kebutuhan dalam ruang lingkup keputusan dan ruang lingkup
manusia dan tingkat universalnya adalah semua dimensi yang sah dalam sudut
pandang dan klasifikasinya. Kemudian elaborasi konsep multi-dimensi disediakan
selanjutnya tentang system teori dan filsafat.
Pandangan abad ke-20 terhadap maqosyid al-syariah sebenarnya
merupakan representasi dari sudut pandang masing-masing ulama sendiri dalam
reformasi dan perkembangan hukum Islam, terlepas kenyataan bahwa semua
maqosyid diinduksi dari naskah. Penggabungan naskah dan kebutuhan
kontemporer untuk reformasi memberikan makna khusus pada maqosyid.

Maqosyid Sebagai Ijtihad


Spekulasi tentang tujuan mendasar atau maksud dari petunjuk Al-Qur’an
atau Nabi kembali ke para sahabat Nabi sebagaimana yang diriwayatkan pada
suatu kisah. Salah satu contoh yag jelas dan popular adalah hadits yang
berantai/bersanad tentang shalat di Bani Qurayah dimana Nabi menirim
sekelompok golongan untuk melarang mereka, Bani Qurairah berdoa di waktu
sore. Menjangkau waktu diizinkan sholat yang hampir habis sebelum Bani
Qurairah. Dengan demikian mereka terbagi menjadi pihak yang mendukung dan
pihak yang berbeda pendapat. Satu pendapat mensyaratkan shalat di Bani
Qurairah dan yang lainnya untuk dapat berdoa pada saat itu. Latar belakang
pendapat Nabi memberikan intruksi dengan jelas bahwa meminta smeua orang
untuk berdoa di Bani Qurairah sedangkan alasan pendaoat kedua adalah tujuan
Nabi berniat untuk bertanya pada sekelompok guna mempercepat dan melarang
Qurairah meunda shalat sampai setelah waktunya. Menurut suatu kisah
diriwayatkan oleh para sahabat Nabi dan disetujui kedua pendapat.
Semua mazhab hukum terkenal kecuali Hanafi menentang hal tersebut,
seperti perluasan kolam amal (wi al-zakh) yang menggambarkan bagaimana
literalisme memiliki pengaruh yang kuat pada metode yuridis tradisional. Ibnu
Azm menegaskan bahwa tidak ada zakat jenis apapun kecuali delapan jenis
kekayaan yang disebutkan dalam sunnah, yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian,
unta, sapi, domba dan kambing. Disana tidak disebutkan kuda, barang komersial
ata jenis lain dari berbagai jenis kekayaan.

Mengenal Sejarah Awal Lahirnya Teori Maqosyid

Setelah masa para sahabat, teori dan klasifikasi maqosyid dimulai dalam
perkembangannya. Namun maqosyid tidak dikembangkan secara jelas dari abad
ke 5 hingga akhir abad ke 8 Islam. Selamat tiga abad pertama ide dilihat dari
tujuan atau penyebab. Beberapa alasan metode yang digunakan oleh imam
mazhab hukum Islam klasik, seperti penalaran dengan analogi (Qiyas), preferensi
yuridis (Istihsan) dan bunga (Malaah). Tujuan tersebut tiak mensubproyek dari
memisahkan monografi atau perhatian khusus sampai akhir abad ke 3 Islam.
Kemudia berkembang teori tingkatan kebutuhan oleh Imam Al-Juwayni 478 H /
1085 M twlah mengambil banyak tempat pada abad ke 5 Islam. Upaya untuk
melacak konsepsi awal Maqosyid diantara abad ke 3 dan ke 5 sebagai berikut:
1. At-Tirmidzi Al-Akim
Berdasarkan volume yang didedikasikan untuk topik Maqosyid, dimana
istilah maqosyid digunakan dalam judul buku Al-Bayah Wa Maqosyiduh
(doa dan tujuan miliknya) yang dulu ditulis sebagai survey dari
kebijaksanaan dan rohani, rahasia dibalik setiap Tindakan doa dengan
kecenderungan sufi dengan bangsa yang jelas. Contoh ‘mengonfirmasi
keindahan hati’ sebagai maqosyid dibalik memuliakan Allah SWT dengan
setiap Gerakan shalat saat berdoa ‘berprestasi’ kesadaran sebagai
maqosyid dibalik memuji Allah, berfokus pada shalat sebagai Maqosyid di
belakang arah Ka’bah dan sebagainya. Al-Tirmidzi Al-Aklm juga menulis
buku serupa pada ziarah yang berjudul Al-Hajj wa Asrruh (ziarah dan
rahasianya).
2. Abu Zaid al-Balkhl
Buku pertama beliau tentang maqosyid mengungkapkan tujuan dari
praktek keagamaan dibalik ketetapan hukum Islam. Al-Balhl juga menulis
buku yang didedikasikan pada Mashalah yang berjudul Mali al-abdn wa
al-Anfus (manfaat bagi tubuh dan jiwa) dimana ia menjelaskan tentang
praktik dan aturan Islam secara fisik dan mental
3. Al-Qaffl Al-Kabir
Naskah yang ditemukan di ujung Mesir kala itu bertema al-maqosyid
adalah al-Qaffl’s Masi al-Syar’i (Keindahan dari Hukum itu sendiri).
4. Ibnu Bbawayh AlQumm
Beberapa peneliti mengklaim bahwa penelitian tentang maqosyid al-
syariah terbatas pada pemikiran sunni dari studi hukum hingga abad ke 20.
Namun monografi pertama diketahui didedikasikan untuk maqosyid
nyatanya ditulis oleh Ibnu Bbawayh al-Badq al-Qumm. Salah satu ahli
hukum Syi’ah pada abad ke 4 Islam, yang menulis buku 335 bab pada 53
kitab yang brjudul Ilal al-shariah (alasan dibalik sebuah aturan)
merasionalisasi keyakinan pada Allah SWT, nabi, surga dan keyakinan
lainnya. Dia juga memberi alasan moral untuk sholat, puasa, haji, sedekah,
merawat orang tua dan lainnya yang masuk kedalam kewajiban moral.
5. Al-Mir al-Faylasfi
Klasifikasi tujuan teoritis diperkenalkan oleh beliau dalam Al-Ilm Al-Islam
(kesadran dari sifat-sifat Islam). Klasifikasi namun terbatas hanya semata-
mata pada sanksi pada hukum Islam. Klasifikasi menurut tingkat
kebutuhan tidak mengalami perkembangan sampai abad ke 5 Islam.
Kemudian seluruh teori mencapai tahap yang paling matang (sebelum
abad ke 20) pada abad ke 8 Islam.

Anda mungkin juga menyukai