Anda di halaman 1dari 16

0

Perkembangan Pemikiran Maqashid Syariah Sebelum Dan Sesudah Syatibi


( Kajian Sejarah Dan Substansinya)

Makalah Diajukan untuk memenuhi syarat penilaian Ujian Akhir Semester (UAS)
Maqashid Syari’ah

Oleh:
Rahmad Achri Subri
NIM. 2120100008

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Firdaus, M.Ag

PROGRAM DOKTOR HUKUM ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
2021
1

Perkembangan Pemikiran Maqashid Syariah Sebelum Dan Sesudah Syatibi


( Kajian Sejarah Dan Substansinya)
Oleh : Rahmad Achri Subri

A, Pendahuluan

Penetapan hokum dalam ranah islam tidak terlepas dari peran disiplisn ilmu
ushul fiqih dan segala bentuk metodenya serta tujuan pensyari‟atan hokum itu sendiri.
Konsep maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan
hukum Islam.

Dalam perkembangan awalnya, tujuan hukum Islam merupakan diskursus


dalam ushul fiqh klasik. Bahkan bisa dikatakan bahwa kajian tentang tujuan
ditetapkannya hukum Islam merupakan kajian yang sangat menarik dan mengundang
perdebatan di kalangan para pakar dalam bidang Ushul Fiqh (Ushuliyyun).1

Dalam kajian Ushul Fiqh ini, terminologi tujuan hukum Islam masuk dalam
kelompok pembahasan maqashid al-syari„ah2 yang berarti maksud atau atau tujuan
disyariatkannya hukum Islam. Diskursus tentang tujuan hukum Islam dalam
perkembangan lebih lanjut, yang semula merupakan kajian intensif dalam bidang
Ushul Fiqh, menjadi kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa istilah maqashid al-syari„ah identik dengan istilah filsafat hukum
Islam.2

Maqashid syariah menempati urgensitas tersendiri, bahkan al Syathibi


menganggap al Maqasid sebagai usul al din wa qawaid al syari‟ah wa kulliyat al
millah. Lebih lanjut, dalam konteks kajian hukum al Syathibi berpendapat bahwa

1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 123.
2
Isma'il Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 65
2

pengetahuan tentang al Maqasid adalah syarat utama bagi keahlian ijtihad, mujtahid,
pada segala tingkatan.3

B. Pembahasan

1. Maqashid Syari’ah sebelum As-Syatibi

Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur‟an diturunkan dan
hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah
meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat
“wa ma arsalnaka illa rahmatan lil‟alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan
syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan
hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada
masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari
sandarannya pada ayat-ayat al Qur‟an maupun hadits, dan jika mereka tidak
menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur‟an maupun hadits,
maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat
maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya
maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi
persolan baru tadi.

3
Seperti dikutip oleh Jaser ‘Audah dalam Al Maqasid Untuk Pemula, penjt. ‘Ali ‘Abdelmon’im,
(Yogyakarta: SUKA-Pres UIN Sunan Kalijaga, 2013), hal. 46-47; bandingkan dengan Agustianto Mingka,
Maqashid Syariah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah, (Jakarta: Ttp, tt.), hal, 1
3

Adapun sejarah perkembangan maqashid syariah sebelum Imam Asy-Syatibi


dibagi dalam beberapa masa, diantaranya :

a. Awal Abad Hijriyah

Pada masa kodifikasi alquran setelah peperangan yamamah, banyak para


hafizh qur‟an yang syahid. dengan mempertimbangkan secara teliti kebaikan dan atau
kemaslahatan umat sekarang dan yang akan datang, maka Umar menemui Abu Bakar,
saat itu menjabat sebagai khalifah pertama, mengajukan usul agar segera
memerintahkan kodifikasi al Qur‟an. Karena itu, ia berpendapat sebaiknaya aku
segera memerintahkan kodifikasi al Qur‟an‟. Kukatakan kepada Umar: „Bagaimana
mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW?! Umar
menjawab: „Demi Allah, itu (kodifikasi al Qur‟an) adalah kebajikan,
„kemaslahatan‟.Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah
membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya”.

Dalam kesaksian itu, Zaid bin Tsabit lebih jauh mengatakan: “Kepadaku Abu
Bakar berkata: „Kamu seorang muda, cerdas dan terpercaya. Dahulu kamu bertugas
sebagai pencatat wahyu, membantu Rasulullah SAW.Dan seterusnya kamu mengikuti
al Qur‟an, karena itu laksanakanlah tugas menghimpun (kodifikasi) al Qur‟an. Demi
Allah, kata Zaid lebih lanjut, seumpama orang membebani kewajiban kepadaku untuk
memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat dari pada perintah kodifikasi
al Qur‟an yang diberikan kepadaku! Kukatakan kepada Abu Bakar r.a. :‟Bagaimana
kita boleh melakukan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?!‟ Abu
Bakar menjawab: „Demi Allah, pekerjaan itu adalah kebajikan/ „kemaslahatan‟! Abu
Bakar terus-menerus mengimbau sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana
Allah telah membukakan dada Abu Bakar dan Umar. . . “4

4
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, III, (Bandung: Diponegoro, t.t.),
hal. 2068-2069; Al Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, juz
XI, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah:tt. ), hal. 12- 13; Shubhi al Shalih, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an,
4

Dalam riwayat tersebut Umar mengajukan usul kodifikasi al Qur‟an dengan


alasaan kebaikan/ kemaslahatan, ‫ خيز وهلال هذا‬, dengan kalimat itu ia meyakinkan
khalifah Abu Bakar ketika beliau ini merespon usul Umar dengan mengatakan: ‫كيف‬
‫تفعل شيئأ لم يفعله رسول هلال صلى‬melakukan kita bagaimana , ‫هلال عليه وسلم‬sesuatu yang
Rasulullah SAW sendiri tidak melakukannya. Dengan kalimat itu juga Abu Bakar
ketika meyakinkan Zaid bin Tsabit selaku kordinator tim pengkodifikasian al Qur‟an.
Sudah diketahui orang kalimat al khair dalam riwayat tersebut berari al faidah.5
bermanfaat.Dan al faidah sendiri berarial mashlahah.6 Dengan demikian, kodifikasi al
Qur‟an dalam pandangan Umar bin al Khatthab mengandung kermanfaatan dan
kemaslahatan bagi umat sekarang dan yang akan datang.

Setelah masa sahabat, teori dan klasifikasi al maqasid mulai berkembang.


Akan tetapi seperti kata Jaser „Audah, al Maqasid, sebagaimana kita kenal sekarang,
tidak kunjung matang sebelum masa para ulama Ushuluddin; yakni antara abad ke-5
sampai abad ke-8 H. Meski demikian, selama tiga abad pertama, gagasan tentang
tujuan/ maksud, atau yang dikenal dengan istilah hikmah, „ilal, munasabat, atau
ma‟ani, telah muncul di dalam berbagai metode berpikir yang digunakan oleh para
imam klasik hukum Islami.7

Seperti dijelaskan Jaser „Audah, al Tirmizi menulis naskah pertama yang


diketahui didedikasikan untuk topik al Maqasid. Dalam naskah tersebut, istilah „al
Maqasid‟ sendiri terlihat pada judulnya, yakni al Salah wa Maqasiduha. Buku itu
berisi penelusuran hikmah dan rahasia spiritual di balik setiap gerakan dan zikir salat,

(Beirut: Dar al Ilmi li al Malayin, 1995), hal. 85; M.M. al A’zami, The History of The Qur’anic Text: From
Revelation to Compilation, Edisi tarjmh. Sejarah Teks al Qur’an: Dari Wahyu sampai Kompilasi,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 84
5
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hal. 378
6
Ahmad Warson Munawwir, ibid.hal 789.
7
Jaser ‘Audah, Al Maqasid Untuk Pemula, penjt. ‘Ali ‘Abdelmon’im, (Yogyakarta: SUKAPres UIN Sunan
Kalijaga, 2013), hal. 29
5

dengan penjelasan sangat sufistik.8 Contoh dalam buku itu al Maqasiddari salat;
seperti “penegasan kerendah-hatian” sebagai maksud dibalik pengagungan Allah
SWT dalam setiap gerakan salat..

Setelah al tirmidzi mengenalkan topic maqashid dalam naskahnya yang ditulis


untuk menjelaskan zikir dalam shalat dalam ranah sufistik, dilanjutkan oleh Abu
Zayd al Balkhi (w. 322 H/ 933M), Al Bakhi penulis naskah pertama tentang al
Maqasid dalam ranah muamalat.Beliau memberi judul bukunya al Ibnah „an „ilal al
Diyanah.Dalam karyanya itu, al Balkhi menelusuri tujuan-tujuan di balik hukum-
hukum islami. Karya senada berjudul Masalih al Abdan wa al Anfus; pada buku ini
beliau membahas bagaimana praktik agama Islam dan hukum-hukumnya berdampak
positif terhadap fisik dan kejiwaan9

Setelah Abu Zayd al Balkhi, dilanjutkan oleh Al Qaffal al Kabir Syayhi (w.
365 H/ 975 M), Jaser „Audah menjelaskan, al Qaffal menulis manuskrip tertua
tentang al Maqasid yang ditemukan di Dar al Kutub Kairo, Mesir. Manuskrip
berjudul Mahasin al Syara‟i (Keindahan-keindahan tujuan-tujuan Syariat)
menjelaskan secara singkat setiap aturan dan tujuan serta hikmah dibaliknya.
Sistematika pembahasan dalam manuskrip ini seperti sistematika fikih klasik yang
dimula dengan taharah, wudu, dst. Manuskrip ini setebal 400 halaman.10
Pengembangan konsep-konsep al Daruriyat, al Siyasah, dan al Makrumat oleh al
Qaffal dalam manuskripnya itu merupakan langkah awal yang memperhalus jalan
bagi al Juwayni dan al Gazali dalam mengembangkan teori fikih mazhab Syafi‟i dan
teori al Maqasidnya; di mana keduanya mengembangkan ketiga konsep al Qaffal itu
untuk mengemukakan konsep al daruriyyat, al hajiyat, dan al tahsiniyyat.

Pasca al Qaffal dilanjutkan Ibnu Babawayh al Qummi (w. 381 H/ 991


M).Ulama ternama abad ke-4 H bermazhab Syiah ini, sebagai orang pertama di
8
Jaser ‘Audah,Ibid., hal. 30
9
Jaser ‘Audah,Ibid., hal. 31.
10
Jaser ‘Audah, Ibid., hal. 32
6

kalangan Syiah yang membahas tentang al Maqasid dalam bukunya „Ilal al Syar‟i.11
(Sebab musabab di balik tujuan-tujuan Syariat), meski sebagian peneliti mengklaim
bahwa kajian al Maqasid sebelum abad ke-20, hanya terbatas pada kalangan
Sunni.Namun faktanya tidak demikian. „Ilal al Syar‟i menjelaskan rasionalisasi moral
terhadap salat, puasa, haji, zakat, dst

b. Abad ke 5 sampai abad ke 8 hijriyah

Para ulama fikih yang paling berpengaruh dalam teori al Maqasid antara abad
ke-5 dan ke-8 H adalah Abu al Ma‟ali al Juwayni (w. 478 H/ 1085 M), Abu Hamid al
Gazali (w. 505 H/ 1111 M), al „Izz ibn „Abd al Salam (w. 660 H/ 1209 M), Syihab al
Din al Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), dan Syamsuddin ibn al Qayyim (w. 748 H/ 1347
M), dan al Syathibi (w. 790 H/ 1388 M). Berikut uraian singkat peran masing-masing
mereka.

1. Imam al Juwayni Pencetus Teori „Kebutuhan Publik‟

Abu al Ma‟ali al Juwayni menulis buku al Burhan fi Usul al Fiqh (Bukti


Nyata tentang Asas Metode Hukum Islam).Buku tersebut dianggap sebagai karya
fikih pertama yang mengemukakan sebuah teori tentang „jenjang-jenjang kebutuhan
dasar‟ dalam nuansa makna yang kita kenal saat ini. Al Juwayni menyarankan 5
jenjang al Maqasid, yaitu: al darurat, al hajat al „ammah, al makrumat, al mandubat,
dan apa yang tidak dapat dikembalikan kepada maksud yang spesifik.19Al Juwayni
juga menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah al ismah, proteksi yang nyata,
terhadap keimanan, jiwa, akal, ranah-ranah kepribadian, dan harta. Karya al Juwayni
yang juga signifikan dalam upaya pengembangan teori al Maqasid adalah Giya al
Umam (Penyelamat Umat-umat).

11
Jaser ‘Audah, Ibid, hal. 35.
7

2. Imam al Gazali pencetus „Jenjangjenjang Keniscayaan‟

Sebagai seorang murid al-Juwayni, Abu Hamid al Gazalimengembangkan


teori gurunya dalam bukunya alMustasfa(Sumber yang Murni).Diawali dengan
mendefinisikan al Maslahah, yang berarti suatu ibarat menarik manfaat dan menolak
mafsadat, kemudaratan.Dan yang dihendaki dengan pemaknaan tersebut bahwa
menarik manfaat dan menolak kemudaratan itu adalah maksud-maksud makhluk itu
sendiri.Dan kemaslahatan makhluk merupakan hasil dari tujuantujuan akhirnya.
Dengan demikian, kata al Gazali, kemaslahatan dalam konteks tersebut adalah
memelihara tujuantujuan syariat.

Dan tujuan-tujuan syariat dari pada makhluk itu ada 5 macam, yakni: (1)
memelihara keimanan (agama), (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta12
Walaupun mengemukakan analisis yang cukup mendalam, al Gazali enggan untuk
memberikan sifat hujjiyyah (sifat untuk dalil yang dapat berdiri sendiri) terhadap
satupun al-Maqasid yang Beliau ajukan.Bahkan, beliau menyebutkannya sebagai al-
masalih almawhumah (maslahat-maslahat terduga).13

3. Al-„Izz ibn „Abd al-Salam dan „Hikmah di Balik Hukum Syariat‟

Al-„Izz ibn „Abd al-Salam (w.660 H/1209 M) menulis 2 buku kecil tentang al-
Maqasid yang bernuansa „Hikmah di balik aturan Syariat‟: yaitu: Maqasid al-Salah
(Tujuan-tujuan Pokok Salat) dan Maqasid al-Sawn (Tujuantujuan Pokok Puasa)14

Akan tetapi, sumbangansumbagan besar Beliau dalam mengembangkan teori


al-Maqasid adalah karyanya tentang kemaslahtankemaslahatan, yang diberi judul
Qawa‟id al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kaidahkaidah Dasar tentang
Kemaslahatankemaslahatan Manusia). Dalam karyanya itu, disamping

12
Husin Hamid Hasan, Nazariat al Maslahah fi al Fiqh al Islami, (Kairo: Dar al Nahdah al ‘Arabiah,
1971), hal. 5-
13
Jaser ‘Audah, Op. Cit., hal. 40.
14
Jaser ‘Audah, Ibid, hal. 41.
8

pembahasannya yang luas tentang maslahat dan mudarat, al-„Izz menghubungkan


kesahan aturan dengan tujuannya dan hikmah dibaliknya..

4. Imam Ibnu Qayyim al Jawziyah

Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jawziyah, bermazhab Ahmad bin Hanbal, juga


berkontribusi dalam pengembangan teori al Maqasid melalui kritik beliau yang
mendalam terhadap praktik al hiyal, fiksi hukum/ rekayasa hukum. Al Hiyal adalah
sesuatu yang dijadikan sebagai perantara untuk menghalalkan yang diharamkan.
Menurut Ibnu al Qayyim, hukum itu tidak bisa berubah dengan cara merubah bentuk,
haiatnya, dan penggantian namanya.15 Karena itu, orang-orang Yahudi ketika Allah
mengharamkan kepada merekalemak bangkai, mereka mencairkannya, menjualnya,
kemudian memanfaatkan harganya, Allah melaknat mereka melalui lisan Rasulillah
SAW tentang siasat, hilah, yang telah mereka lakukan, karena melihat tujuannya. Dan
hukum haramnya itu tidak berbeda apakah lemak itu berbentuk padat maupun
berbentuk cair. Menurut Ibnu Qayyim, siasat yang demikian, termasuk perbuatan
yang mendurhakai dan menipu Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut nyata sekali
tidak terdapat di dalam syariat.16

Ibnu al Qayyim kemudian menjelaskan kesempurnaan dan maksud syariat


Islam yang bertolak belakang dengan praktik dan maksud al hiyal.Maha suci Allah
yang telah mewajibkan beberapa kewajiban, mengharamkan beberapa yang
diharamkan, mewajibkan terlaksananya hak demikemaslahatan hidup hambahamba-
Nya baik di dunia maupun di akhirat.Allah telah menjadikan syariatNya yang
sempurna ini sebagai pedoman bagi manusia, aturan untuk menjaga kelangsungan
hidup, obat penawar untuk menghilangkan berbagai penyakit, sebagai pelindung

15
Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan Ibnu Qayyim al
Jawziyah, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, tt), hal. 545.
16
Ibnu Qayyim al Jawziyah, Ibid, hal. 546.
9

orang yang meminta perlindungan dengannya, dan sebagai perisai yang


menyelamatkan orang yang berlindung di dalamnya dari berbagai macam kejahatan.17

Dia memerintahkan segala kemaslahatan, melarang segala kerusakan,


membolehkan segala yang baik, dan mengharamkan segala yang buruk, . . . syi‟arnya
kejujuran, tiangnya adalah hak, mizannya keadilan, dan hukumnya rinci, sehingga
tidak memerlukan penyempurnaan yang bersifat politis oleh para penguasa, dan
siasatnya orang-orang yang melakukan siasat18

2. Maqashid setelah masa Imam Asy-syatibi (Era Kontemporer)

kodifikasi maqashid syariah setelah masa Imam Asy-syatibi disebut juga


dengan periode kontemporer dimana maqashid syariah menjadi sebuah obyek kajian
menarik sehingga banyak bermunculan karya-karya ilmiah yang mengupas tuntas
tentang maqashid syariah. Tidak hanya itu, kajian terhadap disiplin ilmu baru
bernama maqashid syariah telah banyak melahirkan Ulama-ulama handal dalam
bidang ini seperti Muhammad At Thohir Ibnu Asyur (W: 1393 H / 1973 M), 'Alal Al
Fasi (W: 1394 H/1974 M), Ahmad Ar Raisuni dan lain sebagainya. Kitab-kitab karya
para ulama tersebut banyak menjadi rujukan pembahasan tentang maqashid syariah
lintas negara. Berikut penulis paparkan tentang beberapa literatur kajian maqashid
syariah dalam periode kontemporer:

a. Maqasid As Syari'ah Al Islamiyah karya Muhammad At Thohir Ibnu Asyur

Syeh Muhammad Thohir Ibnu Asyur merupakan Ulama kontemporer asal


Tunisia dan alumnus Universitas Ezzitouna Tunisia. Ibn Asyur dalam proyek
maqashid syariah lebih berkosentrasi kepada proyek independen kan maqashid

17
Ibnu Qayyim al Jawziyah, Ibid, hal. 598.
18
Ibnu Qayyim al Jawziyah, Ibid, hal. 599.
10

Syariah sebagai suatu disiplin keilmuan tersendiri lepas dari kerangka ilmu usul
Fiqih, dengan merumuskan konsep, kaidah serta substansi kajiannya.19

Kitab ini terbagi dalam dua pembahasan, yakni pembahasan tentang Syariah
serta beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan maqashid syariah. Secara khusus
pula, Ibnu asyur membahas tentang hubungan ilmu usul Fiqih dengan maqashid
syariah. Sedangkan pembahasan kedua, secara fokus membahas tentang maqashid
syariah baik dalam ranah landasan teologisnya hingga aplikasinya dalam berbagai
aspek seperti muamalah, putusan peradilan dan lain sebagainya.20 Selain kitab ini,
Ibnu Asyur juga mengarang kitab at Tandzir al Maqashidi. Pemikiran Ibnu Asyur
tentang maqashid syariah kemudian ditulis dalam sebuah kitab bernama Nadzariyyat
Al Maqashid 'inda Ibnu Asyur karya Ismail Al Hasani. Kitab ini juga dapat menjadi
referensi dalam mengkaji tentang maqashid syariah.

b. Maqasid As Syari'ah Wa Makarimuha karya Muhammad Alal Al Fasi

Muhammad 'Alal Al Fasi merupakan Ulama kontemporer asal Maroko dan


alumnus Universitas al Kairouiyien Maroko. Dalam kajian terhadap maqashid syariah
pada periode kontemporer, Alal al Fasi lebih berkonsentrasi pada penjabaran tuntas
seputar tujuan syar'iat Islam, hikmah dan rahasianya, tidak mewacanakan integrasi
atau independensinya dari ilmu ushul fiqh.21

Kitab ini berbicara tentang maqashid syariah Secara komprehensif. Mulai dari
informasi-informasi yang bersifat sebagai pendahuluan seperti syariat-syariat dalam
beberapa agama termasuk selain Islam, kondisi sosial pada masa kenabian dan lain
sebagainya hingga yang bersifat substansial seperti pembahasan tentang dasar-dasar
landasan syariah lengkap dengan penjelasannya, hingga bebrapa teori tentang ijtihad

19
Dikutip dari tulisan Dr. Arwani dalam http://arwani-syaerozi.blogspot.com
20
Muhammad Thohir Ibnu Asyur, Maqashid As Syari’ah Islamiyah, (dar An Nafais, 2001)
21
Dikutip dari tulisan Dr. Arwani dalam http://arwani-syaerozi.blogspot.com
11

dalam lintas sejarah kajian ushul fikh. Beliau menjadikan akhlakul karimah sebagai
alat pengukur Mashlahah Al ‘Ammah serta landasan dari beberapa tujuan syariah. 22

c. Nadzariyat Al Maqashid Inda As Syatibi Karya Ar Raisuni

Ahmad Raisuni merupakan guru besar Ushul Fiqh di Universitas Muhammad


V Rabat Maroko. Beliau terkenal sebagai pakar maqashid syariah pada akhir abad 20
hingga sekarang. Kitab ini sebenarnya merupaka disertasi doktoral beliau yang pada
akhirnya menyimpulkan bahwa imam Syatibi yang dianggap sebagai founding father
kajian maqasid syari'ah ternyata dalam membangun idenya ia tidak berangkat dari
ruang kosong, akan tetapi ada pengaruh dari diskursus ulama fiqh dan ushul fikih
sebelumnya, baik dalam setting ideologi maupun dalam penggunaan terminologi, dan
unsur ini telah memberikan andil cukup besar dalam ide maqasidnya.23

Dalam kitab ini dibahas secara lengkap tentang maqashid syariah terutama
dalam sejarahnya, pemikiran maqashidnya, masalah ta'lil dan nadzariyyah Imam
Syatibi dan lain sebagainya. Ar Raisyuni juga menjelaskan dalam kitab ini tentang
sumber-sumber penggalian maqashid syariah seperti melalui teori istiqra', perintah
dan larangan, dan lain sebagainya. Dalam kitab ini. Raisyuni juga menjelaskan tokoh
tokoh kajian maqashid syariah terutama pada masa klasik.24 Selain kitab ini, Raisyuni
juga mengarang kitab al Fikr al Magashidi, Qawaiduhu wa fawaiduh.

d. Asy Syatibi ewa Maqashid Asy Syari’iyah

Kitab karya Dr. Hammadi al Ubaidi ini banyak menjelaskan tentang


pemikiran maqashid syariah dan mashlahah Imam Asy Syathibi. Biografi Asy
Syathibi sebagai tokoh obyek pembahasan dalam kitab ini tercover secara lengkap. Di
samping itu, kitab ini juga menjelaskan secara komprehensif tentang maqashid

22
Muhammad ‘Alal Al Fasi, Maqashid As-Syari’ah Wa Makarimuha, (Dar Al Gharb Al Islami, 1993)
23
Dikutip dari tulisan Dr. Arwani dalam http://arwani-syaerozi.blogspot.com
24
Raisyuni, Nadzariyat Al Maqashid Inda As Syatibi ,( Al Ma’had Al Alami li Al Fikr Al Islami: 1995), hal.
40
12

syariah dari definisi, tujuan, hubungannya dengan ilmu ushul, ta'lil al ahkam hingga
pembahasan maqashid yang dihubungkan dengan ijtihad.25

Selain para pakar yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa pakar
hukum Islam yang memiliki karya dalam kajian maqashid syariah. Salah satunya
adalah Ramadhan al Buthi dengan karyanya Dhawabith al Mashlahah fi As Syariah al
Islamiyyah yang merupakan disertasi beliau di universitas al Azhar pada tahun 1965.

Ada lagi Dr. Abdullah Ibnu Bayyah yang membahas secara spesifik tentang
hubungan ilmu maqashid syariah dengan ushul fikh dalam kitabnya Alaqah Maqashid
al Syariah bi Ushul Al Fikh. Dalam kitab ini, juga dimuat keterangan tentang
pendapat para Imam Madzhab tentang maqashid.26 Kemudian Izzuddin ibn Zagibah
dengan karyanya yang berjudul Al Maqashid Al Ammah Li as Syariah al Islamiyyah.
Dalam kitab tersebut, dijelaskan secara komprehensif kajian tentang maqashid
syariah termasuk literatur-literatur yang menjadi sumber inspirasi pembahasan
tentang maqashid syariah.27

Tren kajian maqashid syariah sebenarnya mengalami perkembangan pesat di


daerah Maroko dan sekitarnya yang oleh Dr. Arwani Syaerozi dalam salah satu
tulisannya diistilahkan sebagai Arab Maghribi. Hal itu tidak dapat terlepas dari fakta
bahwa ide besar tentang maqashid syariah sendiri muncul dari Imam Asy syatibi yang
notabenenya berasal dari Andalusia.28 Hingga pada saat perkembangannya, Negara-
negara tersebut banyak melahirkan tokoh-tokoh spesialis maqashid syari‟ah
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Selain itu, perkembangan kajian maqashid
syariah juga terjadi di dunia barat. Salah satu kitab hasil kajian maqashid syariah di
dunia barat ialah Ad dalil al Irsyadi ila Maqashid as Syari’ah al Islamiyah karya

25
Hammadi al Ubaidi. Asy Syathibi wa Maqashid Asy Syariah, (Beirut: Dar Qutaibah. 1992)
26
Abudullah Ibnu Bayyah, ‘Alaqatu Maqashid As Syari’ah bi ushulil Fiqh, (Muassasah Al Furqan, 2006),
h. 23
27
Ibnu Zagibah, Al Maqashid Al Ammah Li As Syari’ah Al Islamiyyah, (Dar As Shofwah: 1996), h. 20
28
Dikutip dari tulisan Dr. Arwani dalam http://arwani-syaerozi.blogspot.com
13

Prof. Dr. Mohammad Kamal Imam. Kitab ini diterbitkan oleh Markaz Dirasat
Maqashid as Syari‟ah London.29

C. Kesimpulan

Dari beberapa literature yang telah penulis lampirkan pada tulisan ini dapat
disimpulkan bahwa, dasar dan substansi dari perkembangan maqashid syari‟ah adalah
Al-Mashlahatul ‘Ammah dan pengembangannya dimulai sejak masa sahabat
Radhiallahu ‘anhum, berdasarkan data-data otentik dan valid mengenai beberapa
kebijakan Umar bin Khatthab r.a yang didasarkan atas pertimbangan al maslahah al
„ammah, roh/ embrio kajian-kajian teori maqasid al syariah telah ada sejak awal
perkembangan Islam.

Kemudian perkembangan maqashid syariah masuk kepada era Klasik yang


dimulai pada abad ke 5 Hijriyah hingga 8 Hijriyyah diantara ulamanya adalah : Abu
al Ma‟ali al Juwayni (w. 478 H/ 1085 M), Abu Hamid al Gazali (w. 505 H/ 1111 M),
al „Izz ibn „Abd al Salam (w. 660 H/ 1209 M), Syihab al Din al Qarafi (w. 684 H/
1285 M), dan Syamsuddin ibn al Qayyim (w. 748 H/ 1347 M), dan al Syathibi (w.
790 H/ 1388 M)

Setelah era klasik, dilanjutkan pada era kontemporer, di antara ulamanya


adalah : Muhammad At Thohir Ibnu Asyur (w.1393 H /1973 M). Muhammad Alal
Al Fasi (w. 1394 H/1974 M), Ar Raisuni (Lahir 1953 M), Dr. Hammadi al Ubaidi.

29
Dikutip dari tulisan Dr. Arwani dalam http://arwani-syaerozi.blogspot.com
14

Bibliografi

A‟zami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation, Edisi
tarjmh. Sejarah Teks al Qur‟an: Dari Wahyu sampai Kompilasi, Jakarta:
Gema Insani, 2005
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, III, Bandung:
Diponegoro
Abudullah Ibnu Bayyah, ‘Alaqatu Maqashid As Syari’ah bi ushulil Fiqh, Muassasah
Al Furqan, 2006
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Al Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari,
juz XI, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah
Ali „Abdelmon‟im,Terj. Al Maqasid Untuk Pemula, Yogyakarta: SUKA-Pres UIN
Sunan Kalijaga, 2013 Agustianto Mingka, Maqashid Syariah dalam Ekonomi
dan Keuangan Syariah, Jakarta
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997
Hammadi al Ubaidi. Asy Syathibi wa Maqashid Asy Syariah, Beirut: Dar Qutaibah.
1992
Husin Hamid Hasan, Nazariat al Maslahah fi al Fiqh al Islami, Kairo: Dar al Nahdah
al „Arabiah, 1971
Ibnu Qayyim al Jawziyah, I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin, Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiah
Ibnu Zagibah, Al Maqashid Al Ammah Li As Syari’ah Al Islamiyyah, Dar As
Shofwah: 1996
Isma'il Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Muhammad „Alal Al Fasi, Maqashid As-Syari’ah Wa Makarimuha, Dar Al Gharb Al
Islami, 1993
15

Muhammad Thohir Ibnu Asyur, Maqashid As Syari’ah Islamiyah, dar An Nafais,


2001
Raisyuni, Nadzariyat Al Maqashid Inda As Syatibi , Al Ma‟had Al Alami li Al Fikr
Al Islami: 1995
Shubhi al Shalih, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an, Beirut: Dar al Ilmi li al Malayin, 1995

Anda mungkin juga menyukai