Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMIKIRAN ULAMA MAQASHID SYARI’AH DAN ULAMA TAFSIR


MAQASHIDI

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Maqashidi

Dosen Pengampu: Zaim Kholilatul Ummi, S. Th. I. M. Ag.

Disusun Oleh:

Nurul Basithah Al-Karimah (220204110078)

Alima Rahmafillah (220204110080)

Muhammad Amirul Isnaini (220204110109)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Bismillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
sehat dan tak kalah penting yakni nikmat Iman dan Islam. Karena nikmat tersebut, kita dapat
berkumpul dan berdisukusi tentang ilmu yang telah Allah berikan kepada kita semua.
Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad
SAW. yang telah membimbing dan menuntun kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang benderang yakni agama Islam. Semoga kelak kita semua mendapat syafa’atnya di
yaumul qiyamah.
Tak lupa pula ungkapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen kita yakni Ibu Zaim
Kholilatul Ummi, S. Ag. M.Th.I, yang telah memberikan ilmunya kepada kami.Dengan
adanya makalah ini, penulis berharap dapat memberikan manfaatkepada pembaca dan dapat
menambah wawasan serta ilmu pengetahuan. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan
mohon dimaklumi karena penulis masih belajar. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita dan juga pembaca.

Malang, 05 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
C. Tujuan Pembahasan..................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
A. Pemikiran Ulama’ Terhadap Maqashid al-Syari’ah .................................................... 6
B. Pemikiran Ulama terhadap Tafsir Maqashidi............................................................ 10
BAB III .................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, teori-teori tafsir Al-Qur’an yang dirumuskan oleh beberapa
ulama ahli, dapat dipetakan ke dalam tiga arus kecenderungan, yakni kecenderungan
pada analisis teks; kecenderungan pada pemahaman konteks dan kecenderungan pada
analisis teks dan konteks. Kecenderungan pada analisis teks dan konteks saja
merupakan yang paling ekstrem di antara ketiganya, karena kecenderungan pertama
lebih memandang teks sebagai pokok dan konteks sebagai cabang, sehingga terkesan
mengabaikan konteks dan dimensi maqashid. Sedangkan kecenderungan yang kedua
lebih mengutamakan tuntutan konteks, sehingga dapat mengarah kepada pengabaian
teks dan menyebabkan timbulnya sikap desakralisasi teks, dan sangat longgar terhadap
pendekatan-pendekatan yang lahir dari luar khazanah intelektual Islam, seperti
hermeneutika.

Di tengah kontestasi pemikiran tafsir Al-Qur’an yang ada, kemudian muncul


istilah “Tafsir Maqashidi” sebagai respon atas dua kecenderungan ekstrem di atas
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penggunaan istilah Tafsir Maqashidi muncul setelah
dasar maqashid syari’ah mengalami perkembangan pada awal pertengahan abad ke-2
dan menguat di pertengahan akhir abad tersebut. Sehingga Tafir Maqashidi dipandang
sebagai fenomena modern yang merupakan bagian dari perkembangan maqashid
syari’ah, terutama pada masa Imam Al-Ghazali dan Asy-Syatibi. Diskusi dan kajian
tentang Tafsir Maqashidi itu sendiri sudah banyak dilakukan oleh para tokoh terkenal,
seperti Washfi Asyur, Imam Al-Ghazali, Imam Asy-Syatibi, Ibnu Asyur, Muhammad
Abduh, Thaha Jabir Al-Alwani, Jasser Auda dan sebagainya.

Penggunaan istilah “Tafsir Maqashidi” dalam tradisi tafsir, merupakan sesuatu


yang sangat memungkinkan, karena keduanya (tafsir dan maqashid al-Qur’an)
bukanlah sesuatu yang berbeda, justru keduanya memiliki kesamaan tujuan; cakupan
serta batasan konstruksi Ilahi. Hal ini karena sejatinya konsep maqashid dapat
memelihara signifikasi Islam bagi manusia dan juga merupakan cita-cita ideal tafsir al-
Qur’an. Oleh karena itu, para pemikir kontemporer saat ini banyak yang sedang
mengembangkan penafsiran Al-Qur’an berbasis maqashid syari’ah, karena maqashid
syari’ah dianggap mampu menjembatani kesenjangan antara teks dan konteks.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Ulama tentang Maqashid Syari’ah?
2. Bagaimana pemikiran Ulama tentang Tafsir Maqashidi?

C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan pemikiran Ulama tentang Maqashid Syari’ah.
2. Menjelaskan pemikiran Ulama tentang Tafsir Maqashidi.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ulama’ Terhadap Maqashid al-Syari’ah
1. Menurut Imam Asy-Syatibi
Al-Syathibi adalah salah satu pionir Maqashid Syari’ah. Dalam Al-Muwafaqat,
kitab yang merupakan magnum opusnya di bidang maqashid syariah, al-Syathibi
membagi maqashid menjadi dua kategori pokok, yaitu1:
a. Qasd al-Syari’ (maksud dari syari’at Allah dan rasul-Nya).
Dalam kategori ini, al-Syathibi membagi lagi menjadi empat bagian.
Pertama, Qashd al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari’ dalam
menurutkan syariat). Menurut al-Syathibi, syari’at yang diturunkan oleh syari’
(Allah dan Rasul-Nya) adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan
menghindari mafsadat. Kedua, Qashd al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah al-Ifham
(maksud syari’ dalam menurunkan syariat supaya bisa dipahami).
Ketiga, Qashd al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah bi Muqtadhoh (maksud
syari’ dalam menurunkan syari’at untuk dilaksanakan sesuai dengan permintaan
syari’). Oleh karena itu, syari’ tidak pernah menetapkan syari’at di atas kadar
kemampuan manusia. Keempat, Qashd al-Syari’ fi Dukhul al- Mukallaf tahta
Ahkam al-Syari’ah (tujuan syari’ agar bagaimana menarik manusia itu masuk
kepada syariat, supaya terhindar dari menuruti hawa nafsu, sehingga bisa
menjadi hamba Allah yang ikhtiyaran (bebas melakukan pilihan), dan bukan
karena idhtiraran (terpaksa).
b. Qasd al-Mukallaf (maksud dari manusia sebagai objek taklif)
menurut al-Syathibi, perbuatan seorang manusia harus sesuai dengan
tuntutan syari’. Dalam artian, apabila manusia itu melakukan perbuatan di luar
panduan syariat, maka perbuatannya batil dan tidak diterima di sisi Allah.
2. Menurut Ibnu ‘Asyur
Ibnu ‘Asyur adalah seorang ahli tafsir berkebangsaan Tunisia2. Ia mempunyai
langkah untuk menemukan maqashid syariah, sehingga beliau menawarkan
beberapa langkah tersebut melalui:

1 Ahmad Muhammad, Al-Ijtihad Al-Maqasid, (Qatar: Wizarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiah, 1998), vol. 1,
hlm. 106.
2 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsi: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006), hlm. 313.

6
a. Melakukan observasi secara induktif atau istiqra’, dengan cara mengkaji
syari’at dari semua aspek. Ibnu Asyur memetakan objek induksi pada dua
kategori. Pertama, meneliti semua hukum yang diketahui alasan hukumnya
melalui masalik al-‘illah (penetapan ‘illah). Kedua, meneliti dalil-dalil
hukum yang sama ‘illat-nya, hingga yakin bahwa ‘illat tersebut adalah
maqshad (tujuan) yang dikehendaki syar’i.
b. Menemukan dalil-dalil melalui petunjuk tekstual al-Qur’an. Untuk itu, Ibnu
Asyur mensyaratkan adanya kemungkinan tersebut di luar teks al-Qur’an.
c. Menemukan dalil-dalil sunah yang mutawatir, baik secara maknawi melalui
kesaksian para sahabat terhadap Nabi, maupun secara ‘amali melalui
kesaksian sahabat secara individu terhadap perbuatan Nabi secara berulang-
ulang.
Selanjutnya Ibnu Asyur menawarkan langkah-langkah untuk mendeteksi
maqashid, di antaranya adalah menetapkan beberapa hukum yang diketahui ‘illat-
nya dan menggali hikmah yang dimaksud syara’ serta menetapkan dalil-dalil
hukum yang bersekutu dalam satu ‘illat, hingga adanya kemungkinan bahwa ‘illat
tersebut adalah maksud syar’i.3
3. Menurut Jasser Auda
Jasser Auda adalah pemikir muslim kontemporer yang konsen pada reformasi
filsafat hukum Islam (ushul al-fiqh), yang menggunakan maqashid syariah sebagai
metode berfikir atau pisau analisisnya. Ada enam fitur yang digagas oleh Jasser
Auda sebagai pisau analisisnya, di antaranya:
a. Fitur dimensi kognisi dari pemikiran keagamaan (al-idrakiyyah)
Fitur ini mengusulkan sistem hukum Islam yang memisahkan wahyu
dari kognisinya. Hal ini berarti fikih digeser dari klaim sebagai bidang
pengetahuan Ilahiah menuju bidang kognisi (pemahaman rasio) manusia
terhadap pengetahuan Ilahiah. Perbedaan yang jelas antara syariah dan fikih
ini berimplikasi pada tidak adanya pendapat fikih praktis yang
dikualifikasikan atau diklaim sebagai suatu pengetahuan Ilahi.
b. Fitur kemenyeluruhan (al-kulliyyah)

3Azmil Mufidah, Tafsir Maqashid: Pendekatan Maqashid Al-Syari’ah Tahrir Ibn Asyur dan Aplikasinya dalam
Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, (Skripsi Sarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), hlm. 126. Diakses dari
http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7657

7
Fitur ini membenahi kelemahan ushul fiqh klasik yang sering
menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik. Pendekatan atomistik
terlihat dari sikap mengandalkan satu nash untuk menyelesaikan kasus-
kasus yang dihadapinya, tanpa memandang nash-nash lain yang terkait.
Solusi yang ditawarkan adalah menerapkan prinsip holisme melalui
operasionalisasi tafsir tematik yang tidak lagi terbatas pada ayat-ayat
hukum, melainkan menjadikan seluruh ayat al- Qur’an sebagai
pertimbangan dalam memutuskan hukum Islam.
c. Fitur keterbukaan (al-infitahiyyah)
Fitur ini berfungsi untuk memperluas jangkauan ‘urf (adat kebiasaan).
Jika sebelumnya ‘urf dimaksudkan untuk mengakomodasi adat kebiasaan
yang berbeda dengan adat kebiasaan Arab (titik tekannya hanya pada
tempat, waktu dan wilayah), maka ‘urf dalam konteks saat ini titik tekannya
lebih pada pandangan dunia dan wawasan keilmuan seorang faqih
(nadhariyyat al-ma’rifat yang dimiliki seorang faqih), selain ruang, waktu
dan wilayah. Akan tetapi, pandangan dunia harus kompeten, sebagaimana
yang dibangun di atas basis ilmiah.
d. Fitur hierarki berfikir yang saling mempengaruhi (al-harakiriyyah al-
mu’tamadah tabaduliyyan)
Fitur ini setidaknya memberi perbaikan pada dua dimensi maqashid
syariah. Pertama, perbaikan jangkauan maqashid. Jika sebelumnya
maqashid tradisional bersifat partikular atau spesifik saja sehingga
membatasi jangkauan maqashid, maka fitur hierarki saling berkaitan. Dan
yang mengklasifikasi maqashid secara hierarkis meliputi maqashid umum
yang ditelaah dari seluruh bagian hukum Islam, maqashid khusus yang
diobservasi dari seluruh isi bab hukum Islam tertentu, dan maqashid
partikular yang diderivasi dari suatu nash atau hukum tertentu.
Kedua, perbaikan jangkauan manusia yang diliputi maqashid. Jika
maqashid tradisional bersifat individual, maka fitur hierarki-saling
berkaitan memberi dimensi sosial dan publik pada teori maqashid
kontemporer.
e. Fitur berfikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi (ta’addud al-
ab’ad)

8
Fitur ini dikombinasikan dengan pendekatan maqashid, yang dapat
menawarkan solusi atas dilema dalil-dalil yang bertentangan (ta’arudl al-
adillah), contohnya sebuah atribut jika dipandang secara mono-dimensi,
seperti perang dan damai, perintah dan larangan, kelaki-lakian atau
kewaanitaan dan seterusnya, maka akan menimbulkan kemungkinan besar
pertentangan antar-dalil. Padahal jika seseorang mau memperluas
jangkauan penglihatannya dengan memasukkan satu dimensi lagi, yaitu
maqashid, bisa jadi dalil-dalil yang seolah-olah bertentangan antara satu dan
lainnya, sesungguhnya tidaklah demikian jika dilihat dan dibaca dalam
konteks yang berbeda-beda. Jadi, kedua dalil yang tampaknya bertentangan
dapat direkonsiliasi (al-jam’u) pada suatu konteks baru, yaitu maqashid.
f. Fitur kebermaksudan (al-maqasidiyyah)
Fitur ini ditujukan kepada sumber-sumber primer, yaitu al-Qur’an dan
Hadis, dan juga ditujukan pada sumber-sumber rasional, yaitu qiyas,
istihsan, dan lain-lain. Contoh reformasi ini adalah al-Qur’an ditelaah
dengan pendekatan holistik, sehingga surat-surat maupun ayat-ayat yang
membahas tentang keimanan; kisah-kisah para Nabi; kehidupan akhirat; dan
alam semesta, seluruhnya akan menjadi bagian dari sebuah gambar utuh,
sehingga memainkan peranan dalam pembentukan hukum-hukum yuridis.
Autentitas hadis tidak sekedar mengacu pada koherensi sanad dan matan
saja, melainkan ditambah juga dengan koherensi sistematis. Oleh karena itu,
koherensi sistematis dapat menjadi sebutan bagi metode yang diusulkan
oleh banyak reformis modern, yang berpendapat bahwa autentitas hadis
Nabi Saw. perlu didasarkan pada sejauh mana hadis-hadis tersebut selaras
dengan prinsip-prinsip al-Qur’an. Jadi, koherensi sistematis harus
ditambahkan kepada persyaratan autentitas matan hadis Nabi saw.
Sedangkan reformasi maqashid syariah yang dilakukan Jasser Auda menurut
M. Amin Abdullah4, yaitu (1) Mereformasi maqashid syariah dalam perspektif
kontemporer, dari maqashid syariah yang dulunya bernuansa protection
(penjagaan) dan preservation (pelestarian) menuju maqashid syariah yang bercita
rasa development (pengembangan) dan pemuliaan human rights (hak-hak asasi).

4M. Amin Abdullah, Pengantar Buku Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syariah Karya Jasser
Auda, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm. 11-12.

9
Jasser Auda menawarkan tingkatan otoritas dalil dan sumber hukum Islam terkini,
di antaranya hak-hak asasi manusia sebagai landasan dalam menyusun tipologi teori
hukum Islam kontemporer. Menurut Jasser Auda, ada tiga kecenderungan (aliran)
hukum Islam, yaitu tradisionalisme, modernisme dan posmodernisme. Jasser Auda
mengusulkan sistem hukum Islam yang berbasis maqashid syariah.
4. Menurut Muhammad al-Thalibi (Talbi)5
Menurut Al-Thalibi, al- Qur’an sejatinya memang berdialog dengan seluruh
umat manusia dengan konsep maqashid-nya yaitu qira’at tarikhiyah yang
dipetakan ke dalam dua hal, yaitu seorang mufassir harus berusaha memahami ayat
al-Qur’an dalam konteks ketika ia diturunkan (fii dzurufi nuzulihi) bukan dalam
isolasi abstrak dari konteks tersebut. Pada tahapan ini, ilmu asbab nuzul mikro dan
makro merupakan bahan utama. Seorang mufassir harus selamanya memegang
prinsip maqashid (muqarabah maqashidiyah) dalam mengekstrak pesan suatu ayat
al-Qur’an. Dalam artian, mind-set yang harus ada dalam diri mufassir adalah
sesuatu yang harus diekstrak dari ayat al-Qur’an, seperti ide-ide dasar yang
berlandaskan materi historis. Sebisa mungkin ia harus menghindari produk
penafsiran yang “membelenggu” historisitas manusia.

B. Pemikiran Ulama terhadap Tafsir Maqashidi


Di era modern ini, kerap kali muncul ilmu-ilmu baru yang tidak ada pada zaman
sebelumnya. Ini semua disebabkan karena berkembangngnya zaman. Selain itu, hal ini
juga terjadi karena kebutuhan manusia yang terus berkembang. Contohnya seperti yang
terjadi pada ilmu tafsir. Pada awalnya, tafsir hanya sebatas untuk menjelaskan atau
mengungkap makna suatu ayat di dalam al-Qur’an. Namun seiring berjalanannya
waktu, ilmu tafsir terus mengalami perkembangan hingga pada zaman modern ini
muncul istilah Tafsir Maqashidi, yaitu menafsirkan maksud-maksud pada ayat al-
Qur’an secara mendalam.
Tafsir Maqashidi mencoba menafsirkan suatu ayat yang maknanya tidak ada
pada ayat tersebut secara kontekstual. Persoalan ini memunculkan perbedaan pendapat
di kalangan para ulama tafsir. Ada yang mendukung atau sepakat pada Tafsir Maqashidi
ini dan ada juga yang tidak setuju, karena menganggapnya telah keluar atau tidak sesuai
dengan tafsir pada umumnya. Sebelum mengetahui pemikiran para ulama tersebut,

5Muhammad al-Thalibi (Talbi), ‘Iyal Allah, Afkar Jadidah fi ‘Alaqah al-Muslim bi Nafsihi wa bi al- Akharin,
(Tunisia: Dar saras al-Muntasyir, 1992), hlm. 40.

10
seyogyanya perlu diketahui dan disepakati dahulu terkait definisi Tafsir Maqashidi
tersebut.
Menurut beberapa literatur, Tafsir Maqasidhi adalah sebuah paradigma
penafsiran yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
mengungkapkan maksud-maksud yang tidak ada pada ayat tersebut (tersirat) dengan
metode al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya, suatu ayat ditafsirkan dengan ayat yang lain
atau dengan hadist yang sesuai dengan maksud ayat tersebut. Tafsir ini juga disebut
dengan “tafisr bi ar-riwayat”. Sebagian lainnya mengatakan bahwa tafsir maqashidi
adalah proses menafsirkan suatu ayat al-qur’an dengan pikiran atau akal manusia atau
dengan maslahat mereka, yang juga disebut sebagai Tafsir ini disebut “tafsir bi ar-
ra’yi”.
Dengan demikian, jika menelisik secara lebih dalam, Tafsir Maqashidi telah ada
sejak lama. Hanya saja, nama atau wajahnya yang baru. Apabila Tafsir Maqashidi
didefinisikan sebagai “tafsir bi al-riwayat” (bil-ma’tsur), maka para ulama telah
sepakat dan tidak ada masalah akan hal itu, karena telah sesuai dengan kaidah tafsir itu
sendiri. Adapun Tafsir Maqasidhi dengan definisi yang lain, ulama berbeda pendapat.
Dan ini kembali terhadap pendapat tafsir “bi ar-ra’yi”. Ada ulama yang sepakat dan
ada yang bertentangan. Berikut dipaparkan pandangan beberapa ulama mengenai Tafsir
Maqashidi.
1. Tafsir Maqashidi menurut Muhammad Abduh
Menurut Muhammad Abduh, prinsip utama syari‘ah adalah keadilan
dan kesetaraan. Atas dasar ini, gagasan keagamaan dimasukkan meliputi
dua hal, yskni akidah dan muamalah. Akidah bersifat statis dan muamalah
bersifat dinamis (berubah-ubah sesuai waktu dan tempat). Titik fokus
maslahah bagi Abduh adalah tentang penggunaan akal dalam penelusuran
maqashid syariah. Ia lebih mengutamakan pertimbangan aspek
kemanfaatan yang dipahami seseorang secara saksama.
Kendati ‘Abduh tidak memformulasikan konsep maqashid syari’ah-nya
sendiri, pertimbangan istihsân atau istișlâh dapat dikaitkan dengan
maqașhid al-syar’‘ah dalam bentuk hubungan yang lebih operational, yaitu
memposisikan maqașhid al-syarî‘ah sebagai prinsip umum hukum, dan

11
istihsân sebagai salah satu operasional kerja akal untuk menurun pesan ilahi
secara rational dan objektif. 6
2. Tafsir Maqashidi menurut Rasyid Ridha
Menurut Muhammad Rasyid Rida, implementasi tafsir didasarkan pada
kerangka atas tantangan zaman secara internal dan eksternal yang
bersumber dari dalil naqli untuk urusan ibadah dan berasas pada aspek
kebutuhan untuk urusan muamalah. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa Islam menghargai kefitrahan, pengetahuan, kebijaksanaan, akal,
pembuktian, kemerdekaan, kebebasan, reformasi di bidang sosial, politik,
ekonomi, dan hak-hak wanita. Sebuah model implementasi tafsir yang tidak
saja berdimensi teologis tetapi juga sosialis. 7
3. Tafsir Maqashidi menurut Muhammad Tahir Ibn Ashur
Aplikasi Ibn ‘Âshûr atas maqâshid syarîʻah sebagai manhaj pemikiran
keagamaan tersendiri dalam tafsir Al-Qur’an adalah dengan mendudukkan
tujuan tafsir untuk perbaikan keadaan manusia baik dari sisi individu, sosial,
maupun peradabannya dengan cara mencari makna yang dianggap benar
dan menerangi akal yang baru.
Walupun obyek analisis Tafsir Maqâshidî adalah bahasa, tapi pencarian
kebahasaannya dibangun dengan berdasar pada pemahaman fitrah dan
kemaslahatan, yang dalam penggaliannya bersinggungan dengan banyak hal
selain kebahasaan. Singkatnya, Tafsir Maqâsidî di tangan Ibn ‘Âshûr
didedikasikan untuk menyingkap hikmah, ‘illat, dan makna Al-Qur’an yang
sesuai dengan maqâshid al-syari’ah dengan jalan deduktif kebahasaan dan
induktif pencarian relevansi makna dengan realitas. 8
4. Tafsir Maqashidi menurut Jasser Auda
Jasser Auda mendudukkan maqâshid sebagai pembaharuan hukum
Islam dengan model-model pengembangan untuk agenda tajdîd, yang
tampak dalam bukunya “Maqâshid syarîʻah: Dalîl li al-Mubtadi’în”.
Berkaitan dengan penafsiran al-Qu’ran, Auda menyetujui aplikasi metode
tematik yang berupaya menangkap pesan utuh atas suatu tema tertentu.

6 Made Saihu, “Tafsir Maqâșhidî Perspektif Muhammad Abduh dan Rasyid Rida”, Studi dan Keislaman, vol. 5
no. 2, (2021), hlm. 256.
7 Made Saihu, “Tafsir Maqâșhidî Perspektif Muhammad Abduh dan Rasyid Rida”, hlm. 257.
8
Muhammad Tahir Ibn ʼAshûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz I, (Tunisia: Dar al-Tunisiah li al-Nashir,
1984), hlm. 119.

12
Metode ini dianggap sejalan dengan semangat penafsiran maqâshidî yang
menjaga tujuan universal pesan dan fleksibilitas norma Islam. Melalui
pendekatan sistematikanya, Auda pada dasarnya menawarakan perspektif
Islam atau lebih jauh tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
konstruksi keilmuan, yang diambil dalam tradisi berpikir Islam.
Secara metodologis, Tafsir Maqâshidî memagari proses tafsir dengan
cara mendudukkan mana yang menjadi tujuan Allah dalam wahyu-Nya pada
bentuk nilai yang bersifat universal dan tetap, dan mana yang merupakan
norma yang bersifat dinamis dan fleksibel, sehingga berpotensi untuk selalu
dapat menjaga relevansi ajaran Islam. Hubungan nilai yang universal dan
norma yang dinamis adalah bagian integral yang menyeluruh dari sifat
fleksibilitas ajaran Islam.9

9Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqâshidî”, Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 6, No. 2,
(Desember 2016), 227-228.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada dasarnya, Tafsir Maqashidi itu berasal dari gagasan maqashid syari’ah
yang terus berkembang setiap waktunya. Oleh karena itu, para ulama yang konsen
atau mendalami Tafsir Maqashidi juga merupakan para ulama maqashid syari’ah,
karena dari sanalah cikal bakalnya. Para ulama tersebut juga tidak lepas dari
perbedaan pendapat dalam menjelaskan makna maqashid syari’ah dan Tafsir
Maqashidi. Beberapa ulama yang konsen terhadap pembahasan maqashid syari’ah di
antaranya adalah Imam Asy-Syatibi, Ibnu Asyur, Jasser Auda dan Muhammad Al-
Thalibi.

Jika menelisik secara lebih dalam, Tafsir Maqashidi telah ada sejak lama.
Hanya saja, nama atau wajahnya yang baru. Apabila Tafsir Maqashidi didefinisikan
sebagai “tafsir bi al-riwayat” (bil-ma’tsur), maka para ulama telah sepakat dan tidak
ada masalah akan hal itu, karena telah sesuai dengan kaidah tafsir itu sendiri. Adapun
Tafsir Maqasidhi dengan definisi “bi ar-ra’yi”, maka ulama berbeda pendapat. Ada
ulama yang sepakat dan ada yang bertentangan. Beberapa ulama yang mendalami
kajian Tafsir Maqashidi adalah Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Muhammad Tahir
Ibn Ashur dan Jasser Auda.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2008. Pengantar Buku Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid
Syari'ah Karya Jasser Auda. Bandung: Mizan Pustaka.
Al-Thalibi, Muhammad. 1992. Iyal Allah Afkar Jadidah fi 'Alaqah al-Muslim bi Nafsihi wa bi
al-Akharin. Tunisia: Dar Saras Al-Muntasyir.
'Ashur, Muhammad Tahir Ibn. 1984. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Juz 1. Tunisia: Dar al-
Tunisiah li al-Nashir.
Kusmana. Desember, 2016. "Epistemologi Tafsir Maqashidi." Mutawatir: Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadits. Vol. 6 No. 2: 227-228.
Mahmud, Mani' Abd Halim. 2006. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir. Terj. Syahdianor dan Faisal Saleh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mufidah, Azmil. 2013. "Tafsir Maqashidi: Pendekatan Maqashid al-Syari'ah Tahrir Ibnu
Asyur dan Aplikasinya dalam Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir." (Skripsi Sarjana, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta) hlm. 126. http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/7657.
Muhammad, Ahmad. 1998. Al-Ijtihad Al-Maqasid. Vol. 1. Qatar: Wizarah al-Auqaf wa al-
Syuun al-Islamiah.
Saihu, Made. 2021. "Tafsir Maqashidi Perspektif Muhammad Abduh dan Rasyid Rida." Studi
dan Keislaman. Vol. 5 No. 2: 256.

15

Anda mungkin juga menyukai