Anda di halaman 1dari 16

KONSEP MAQASHID SYARI’AH MENURUT AL-SYATIBI

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Maqashid Syari’ah

Oleh:
Sabrina Putri Hidayat (07040322139)
Syafina Nurul Izza (07020322083)

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Iffah, M. Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
yang berjudul “Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi”. Tidak lupa
sholawat serta salam kami curahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. yang mana
syafaat Rasulullah lah kelak yang akan kita harapkan.

Tujuan dari Makalah “Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi” ini,


disusun guna untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Maqashid Syari’ah.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan, khusus nya tentang
Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi kepada pembaca dan juga penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Hj. Iffah, M. Ag yang


telah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan mata kuliah yang kami pelajari. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
pengetahuannya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, kami menerima adanya kritik dan saran
dari pihak manapun demi perbaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah
ini bermanfaat dan memenuhi harapan dari berbagai pihak.

Surabaya, 01 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Biografi Imam Al-Syatibi ....................................................................... 3
B. Maqashid Syari’ah Perspektif Al-Syatibi................................................ 4
BAB III PENUTUP .........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Imam al-Syatibi juga disebut sebagai Bapaknya Maqashid Syariah

pertama sekaligus peletak dasar ilmu Maqashid Syariah. Bukan berarti bahwa

sebelumnya tidak ada ilmu Maqashid Syariah. Akan tetapi lebih tepatnya lagi Imam

al-Syatibi disebut sebagai orang yang pertama yang menyusun Maqashid Syariah

secara sistematis didalam kitab beliau yaitu Al-Muwafaqat.1

Secara terminologi, maqashid al-Syari’ah dapat diartikan sebagai nilai dan

makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syari’ah

(Allah SWT) dibalik pembuatan Syari’at dan hukum, yang diteliti oleh para ulama’

mujtahid dari teks-teks Syari’ah. Al-Syatibi membagi maqashid menjadi dua:

tujuan Allah (qashdu al-Syari’) dan tujuan mukallaf (qashdu almukallaf). Tujuan

Allah (qashdu al- Syari’) terbagi menjadi empat bagian: Pertama; qashdu al- Syar’i

fi wadl’i al-syari’ah (tujuan Allah dalam menetapkan hukum). Kedua; qashdu al-

Syar’i fi wadl’i alsyari’ah li al-ifham (tujuan Allah dalam menetapkan hukum

adalah untuk difahami). Ketiga; qashdu al- Syar’i fi wadl’i alsyariah li al-taklif bi

muqtadlaha (tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung

dengan segala konsekuensinya). Keempat; qashdu al-Syar’i fi dukhuli almukallaf

tahta ahkami al-syari’ah (tujuan Allah ketika memasukkan mukallaf pada hukum

syari’ah). Sedangkan yang berhubungan dengan tujuan mukallaf (qashdu al-

1
Agung Kurniawan dan Hamsah Hudafi, “Konsep Maqashid Syariah Imam Asy-Syatibi dalam Kitab
al-Muwafaqat”, al-Mabsut, Vol. 15 No. 1, (2021), 30.

1
2

mukallaf) Syatibi hanya membahas beberapa masalah saja. Pada tulisan ini

pembahasan akan difokuskan pada teori maqashid syari’ah menurut al-Syatibi.

Dengan harapan agar bisa mengetahui karakteristik dan keunikan teori tersebut.

Imam al-Syatibi juga disebut sebagai Bapaknya Maqashid Syariah

pertama sekaligus peletak dasar ilmu Maqashid Syariah. Bukan berarti bahwa

sebelumnya tidak ada ilmu Maqashid Syariah. Akan tetapi lebih tepatnya lagi Imam

al-Syatibi disebut sebagai orang yang pertama yang menyusun Maqashid Syariah

secara sistematis didalam kitab beliau yaitu Al-Muwafaqat.2

Dengan adanya pemaparan tersebut, penulis ingin menjelaskan sedikit

tentang riwayat Imam al-Syatibi, karya-karyanya, pemikirannya dalam kitab Al-

Muwafaqat dan tentang Maqashid Syariah menurut Imam al-Syatibi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang singkat di atas, maka dalam tulisan

kali ini ditemukan dua rumusan masalah yang akan dikaji, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana riwayat hidup imam al-Syatibi?

2. Bagaimana konsep Maqashid Syari’ah menurut pandangan al-Syatibi?

C. Tujuan Penulisan

Merujuk paparan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka

tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan secara singkat riwayat hidup imam al-Syatibi.

2. Untuk mendeskripsikan konsep Maqashid Syari’ah menurut pandangan imam

al-Syatibi.

2
Ibid.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Al-Syatibi

Imam al-Syatibi mempunyai nama lengkap Abu Ishak Ibrahim bin Musa

bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Keterangan mengenai hidup beliau tidak

terlalu banyak. Sampai sekarang tanggal kelahiran Asy-Syatibi juga belum

diketahui dengan pasti, karena pada umumnya orang hanya menyebutkan saat dia

wafat yaitu pada 790 H/1388 M. Beliau merupakan seorang hafidz Qur’an,

mujtahid, ahli ushuliyah, tafsir, fiqh, hadits, dan Bahasa.3 Dinisbahkan dari

julukannya, Imam Al-Syatibi lahir di Syatiba, dan kemudian tumbuh besar di

Gharnathah atau Granada. Granada pada saat itu menjadi pusat keilmuan.

Dinisbahkan dari julukannya, Imam Al-Syatibi lahir di Syatiba, dan kemudian

tumbuh besar di Gharnathah atau Granada. Granada pada saat itu menjadi pusat

keilmuan.

Pendidikan pertama yang didapat oleh Syatibi adalah pelajaran Bahasa

Arab. Guru pertamanya dalam pelajaran Bahasa Arab dan Nahwu adalah Abu

Abdullah Muhammad Al-Biri yang terkenal sebagai master Nahwu (Syaikh al-

Nuhat) di Andalus hingga ia meninggal pada tahun 754 H/1353 M. Selanjutnya

Syatibi melanjutkan studinya mempelajari fiqh. Ia mempelajari fiqh di Granada dari

seorang mufti dan khatib yaitu Abu Sa’id bin Lubb. Syatibi juga mempelajari ilmu

rasional atau ulum al- aqliyyah. Ia mempelajarinya dari dua ilmuwan besar Abu Ali

3
Nabila Zatadini dan Syamsuri, “Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi dan Kontribusinya
dalam Kebijakan Fiskal”, Jurnal Masharif al-Syariah, Vol. 4 No. 1 (2019), 3.

3
4

Mansur al-Zawawi dan Abu Abdulllah al-Sharif al-Tilmisani. Adapun murid yang

belajar dari Syatibi hanya diketahui tiga orang dari keseluruhan. Dua bersaudara

Imam ternama yaitu Abu Yahya bin ‘Asim dan Abu Bakar bin ‘Asim, serta

muridnya yang ketiga adalah Abu Abdullah al-Bayani.4

Imam al-Syatibi juga merupakan ulama yang produktif dalam

menghasilkan buku-buku keagamaan, sehingga beliau mempunyai karya-karya

diantaranya adalah, al-Muwafaqat, al-I’tisam, al-Ifadat wa al-Inshadat, Kitab al-

Majalis, Sharah al-Khulasah,‘Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Ishtiqaq, Fatawa al-

Syatibi. Keseluruhan buku ini sudah tidak ada lagi atau sulit ditemukan. Yang ada

dan dapat dilacak sekarang dan banyak dibaca dan dikaji adalah 3 kitab seperti pada

urutan diatas yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al- I’tisam dan al-Ifadat wa al-

Inshadat. Perlu diketahui bahwa kitab yang paling monumental sekaligus paling

dikenal diantara banyaknya karya imam al-Syatibi adalah kitab al-Muwafaqat.5

B. Maqashid Syari’ah Perspektif al-Syatibi

Berbicara masalah Maqashid Syariah adalah berbicara apa maksud dari

Pensyariatan Agama. Memperhatikan bebagai persoalan yang dibicarakan al-

Qur’an dan berbagai tujuan dari penjelasan al-Qur’an. Dapat kita tangkap bahwa

tujuan dari pensyariatan Islam itu adalah untuk memberi rahmat lil alamiin. Konsep

al-Syatibi yang paling mashur ialah Maqashid al-Syariah yang secara literal berarti

tujuan penerapan hukum. Sejak terbitnya kitab Al-Muwafaqat karya al-Syatibi.

4
Ibid., 4.
5
Milhan, “Maqashid Syari’ah Menurut Imam Syatibi dan Dasar Teori Pembentukannya”, al-Usrah,
Vol. 06 No. 01 (2021), 86.
5

Maqashid Al-Syariah menjadi suatu konsep baku dalam ilmu ushul fiqh yang

berorientasi kepada tujuan hukum (syariah). Secara etimologi maqashid berasal dari

kata qa-sa-da yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologi

adalah sasaran-sasaran yang dituju dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh syari’

dalam setiap hukum- hukumnya untuk menjaga kemaslahatan manusia.

Pembagian Maqashid Syari'ah Menurut Al-Syatibi secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua katagori yaitu: pertama yang berkaitan dengan tujuan

syariah (Qashdu Syar'i). Kedua yang berkaitan dengan tujuan para Mukallaf

(Qashdu Mukallaf). Jadi, dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu:

1. Maqashid al-Syariah (Qashdu Syar’i), maqashid al-syariah mengandung

empat aspek yaitu:

a. Qashdu al-Syari’ fi wadl’i al-syari’ah

Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemashlahatan

hamba di dunia dan akhirat. Syatibi menjelaskan lebih lanjut bahwa beban-

beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqashid (tujuan) hukum dalam

diri makhluk. Maqashid ini hanya ada tiga yaitu dlaruriyat, hajiyat,

tahsiniyat. Daruriyat harus ada untuk menjaga kemashlahatan dunia dan

akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di dunia dan

akhirat. Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dlaruriyat

tersebut hilang. Maqashid al-dlaruriyat ini ada lima yaitu: menjaga Agama,

menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga akal. Maqashid

al-hajiyat adalah untuk menghilangkan kesusahan dari kehidupan mukallaf.


6

Sedangkan Maqashid tahsiniyat adalah untuk menyempurnakan kedua

Maqâshid sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat kebiasaan, dan

akhlak yang mulia.

b. Qashdu al- Syar’i fi wadl’i al-syari’ah li al-ifham

Untuk memahami hukum dan tujuan-tujuannya, seseorang harus

memahami bahasa Arab karena al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan

bahasa Arab. Orang Arab lebih bisa memahami mashlahat ketimbang orang

non Arab.

c. Qashdu al- Syar’i fi wadl’i al-syari’ah li al-taklif bi muqtadlaha

Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan

syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya.

Terdapat dua masalah pokok yaitu: Pertama, taklif yang di luar kemampuan

manusia (al-taklif bima la yuthaq). Sebagaimana telah diketahui bersama

bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan

manusia. Dalam hal ini Syatibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas

kemampuan manusia, maka secara syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal

membolehkannya. Apabila dalam teks syar’i ada redaksi yang

mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat

pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, sabda

Nabi Muhammad saw: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang

marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat

dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri

ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah. Kedua,


7

taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqat (kesulitan) (al-taklif bima fīhi

masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh

Syatibi. Menurutnya, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud

menimbulkan masyaqqat bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya

di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Dalam masalah agama

misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak

dimaksudkan untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk

kemashlahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar ma’ruf nahi

al- munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak

dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya

harta orang lain.

d. Qashdu al-Syar’i fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkami al-syari’ah

Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan yang

mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum

syari’ah?”. Abdullah Bin Daraz meringkas menjadi dua jawaban. Pertama

adalah untuk meletakkan aturan yang bisa mengantarkan manusia pada

kebahagian dunia dan akhirat bagi orang yang menjalankannya. Dan yang

kedua seseorang dituntut untuk masuk pada aturan dan mentaatinya bukan

mentaati hawa nafsunya. Pada akhir jawabannya Syatibi menambahkan

bahwa tujuan syar’i dari peletakan syariah adalah untuk mengeluarkan

mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi

seorang hamba yang ikhtiyâran di samping juga sebagai hamba Allah yang

idṭirâran. Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia
8

batal dan tidak ada manfaatnya. Karena setiap amal harus ada tendensi dan

motifasi yang melatar belakanginya. Jika tendensi tersebut tidak berdasarkan

hukum syara’ maka ia adalah berdasarkan hawa nafsu.

2. Tujuan Mukallaf (Qashdu Mukallaf), pada bagian ini terdapat beberapa

masalah yang akan dibahas:

a. Masalah pertama membahas beberapa hal seperti urgensi niat, tujuan ibadah

terealisasi dalam tasarufât (beberapa perbuatan), beberapa hal tentang

ibadah dan adat. Tujuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan

menentukan perbuatannya itu benar atau batal termasuk ibadah atau riya',

fardu atau nâfilah, menjadikan orang tersebut beriman atau kufur seperti

sujud kepada Allah atau pada selain Allah. Selanjutnya suatu perbuatan

ketika berhubungan dengan suatu tujuan maka ia akan berhubungan juga

dengan hukum taklif, jika suatu perbuatan tidak ada tujuannya maka ia tidak

ada hubungannya dengan taklif seperti orang tidur, orang lalai, dan orang

gila.

b. Masalah kedua dan ketiga adalah tujuan mukallaf dalam beramal harus

sesuai dengan tujuan Syari’ dalam menetapkan syariah. Ketika syariah

tujuannya adalah untuk kemashlahâtan hamba, maka seorang mukallaf

dalam perbuatannya dituntut sesuai dengan syariah. Begitu juga tujuan Syari’

adalah menjaga daruriyat, hâjiyat,dan tahsîniyât, yang dibebankan kepada

hamba. Maka dari itu, manusia dituntut untuk menjalankan ketiganya karena

segala perbuatan tergantung kepada niatnya. Selanjutnya bahwa manusia


9

adalah sebagai khalifah dalam jiwa, keluarga, dan hartanya dan segala apa

yang ada pada kekuasaannya, maka ia dituntut untuk menjalankan posisi

Dzat yang digantikan; dengan menjalankan hukum dan tujuan sesuai dengan

kehendak-Nya.

c. Masalah keempat adalah kesesuaian dan pertentangan antara mukallaf

dengan Syar'i, serta hukum dari segala kondisi sebagai berikut: Pertama,

mukallaf sesuai dengan Syar'i baik dari segi tujuan maupun perbuatan,

sehingga perbuatan tersebut tidak dipertanyakan keabsahannya. Kedua,

bertentangan dengan Syar'i baik tujuan maupun perbuatan, sehingga

hukumnya batal. Ketiga, perbuatan sesuai dengan Syar'i, tetapi berbeda

dalam hal tujuan. Karenanya dalam hal ini ia berdosa menurut Allah karena

jeleknya tujuan, namun tidak berdosa di mata makhluk karena tidak

melakukan kerusakan yang menghilangkan kemashlahâtan. Keempat, sama

dengan poin ketiga tetapi ia mengetahui persesuaian dalam perbuatan,

karenanya masuk kategori riya', nifaq, dan mensiasati hukum Allah. Kondisi

yang kelima bertentangan dengan Syar'i baik dalam suatu perbuatan maupun

tujuannya, sedangkan ia mengetahui pertengahan dalam perbuatan. Orang

yang dalam kondisi seperti ini biasanya men-ta'wil-kan perbuatnnya dan

berpegang pada kebaikan tujuannya. Kondisi keenam; seperti kondisi ke

lima hanya saja ia tidak mengetahui pertentangan tersebut. Dalam hal ini ada

dua pandangan, yaitu (1) Melihat pada kesesuaian niat dan tujuan, karena

seluruh amal tergantung kepada niat sedangkan pertentangan terjadi tanpa


10

disengaja dan tidak diketahui; (2) Melihat pertentangan antara Syar'i dengan

perbuatan, sehingga tujuannya tidak bisa merealisasikan tujuan Syar'i.

d. Masalah kelima adalah ada tidaknya pertentangan antara ke-mashlahat-an

dan ke-mafsadat-an pribadi mukallaf dan ke-mashlahat-an serta ke-

mafsadat-an orang lain dengan menjaga ada tidaknya suatu tujuan.

Pertentangan-pertentangan antara ke-mashlahat-an manusia ini dijelaskan

Syatibi sebagai berikut: pertama mendatangkan maslahah atau menolak

mafsadah ketika dimungkinkan terbagai menjadi dua bagian:

1) Jika hal tersebut tidak membahayakan orang lain;

2) Membahayakan orang lain, hal ini terbagai menjadi dua: (a) Orang

tersebut bertujuan untuk membahayakan orang lain seperti orang yang

memberikan harga murah pada dagangannya untuk mencari

penghidupan dan bertujuan untuk membahayakan orang lain; (b) Tidak

bertujuan membahayakan orang lain.

Hal ini terbagi menjadi dua; (i) Bahaya tersebut bersifat umum seperti

mencampur dagangan, menjualnya hâdir (pedagang yang muqim)

kepada badiy (pembeli pelancong), dan mencegah menjual rumah atau

tanah sementara masharakat sangat membutuhkan untuk masjid atau

lainnya; (ii) Selanjutnya bahaya bersifat khusus yang terbagi menjadi:

(1) Orang tersebut akan mendatangkan bahaya kepada orang lain, yaitu

orang yang membela diri dengan menyakiti orang lain atau orang yang

mendahului membeli makanan yang jika makanan tersebut habis maka

akan membahayakan orang lain. Begitupula sebaliknya, jika ia tidak


11

mendapatkan makanan tersebut maka bahaya akan menerpa dirinya; (2)

Tidak menimbulkan bahaya yang hal ini terbagi menjadi tiga bagian: (a)

Jika perbuatan itu mendatangkan mafsadah secara pasti seperti menggali

sumur di belakang pintu rumah sehingga orang yang masuk pasti akan

tercebur; (b) Apa yang dilakukan akan jarang mendatangkan mafsadah,

seperti orang menggali sumur di tempat yang tidak memungkinkan orang

terperosok di dalamnya atau menanam makanan yang tidak

membahayakan orang yang memakannya; (c) Perbuatan yang sering

mendatangkan bahaya, seperti: (a) Menjual senjata pada orang yang

berperang; (b) Mendatangkan bahaya tetapi tidak secara mayoritas

seperti masalah perdagangan secara tempo.

e. Masalah berikutnya adalah inti dari tema ini yaitu hukum dan hubungan hilah

dengan tujuan Syar'i. Hal ini dikarenakan tujuan dari syariat bukanlah

seluruh amalan syar'iyyah itu sendiri, akan tetapi ada tujuan lain yaitu

maslahah yang diperoleh dari pensyariatan suatu amalan. Karenanya apabila

seseorang mengamalkan suatu amalan yang tidak sesuai dengan tujuan

syariatnya, berarti ia tidak melakukan syariat.6

Moh. Toriquddin, “Teori Maqashid Syari’ah Perspektif Al-Syatibi”, de Jure: Jurnal Syariah dan
6

Hukum, Vol. 6 No. 1 (2014), 33-47.


BAB III
PENUTUP

Imam Al-Syatibi bernama lengkap Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin

Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Keterangan mengenai hidup beliau tidak

terlalu banyak. Sampai sekarang tanggal kelahiran al-Syatibi juga belum diketahui

dengan pasti, karena pada umumnya orang hanya menyebutkan saat dia wafat yaitu

pada 790 H/1388 M. Beliau merupakan seorang hafidz Qur’an, mujtahid, ahli

ushuliyah, tafsir, fiqh, hadits, dan Bahasa. Syatibi mempunyai karya yang sangat

monumental yaitu al- Muwafaqat.

Pembagian Maqashid Syari'ah Menurut al-Syatibi secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua katagori yaitu: pertama yang berkaitan dengan tujuan

syariah (Qashdu Syar'i). Kedua yang berkaitan dengan tujuan para Mukallaf

(Qashdu Mukallaf). Namun pada maqashid syari’ah dibagi lagi menjadi empat

aspek yaitu Qashdu al-Syari’ fi wadl’i al-Syariah, Qashdu al- Syar’i fi wadl’i al-

Syari’ah li al- Ifham, Qashdu al- Syar’i fi wadl’i al-Syari’ah li al-Taklif bi

Muqtadlaha. Kitab yang paling monumental oleh al-Syatibi adalah al-Muwafaqat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hudafi, A. K. (2021). Konsep Maqashid Syariah Imam Asy-Syatibi dalam Kitab al-
Muwafaqat. al-Mabsut, 15(1).
Milhan. (2021). Maqashid Syari'ah Menurut Imam Syatibi dan Dasar Teori
Pembentukannya. al-Usrah, 6(1).
Syamsuri, N. Z. (2019). Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi dan
Kontribusinya dalam Kebijakan Fiskal. Jurnal Masharif al-Syariah, 4(1).
Toriquddin, M. (2014). Teori Maqashid Syari'ah Perspektif al-Syatibi. de Jure:
Jurnal Syariah dan Hukum, 6(1).

13

Anda mungkin juga menyukai