Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MADZHAB DALAM QAWAID FIQHIYYAH

Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah

Qawaidul Ahkam

Dosen Pengampu: Enceng Iip Syarifudin, S.Ag, M.A

Tim Penyusun:

Aqfa

Yusup

Dede

Rijal Pebriansyah

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

STAI AL-MUSADDADIYYAH GARUT


1444 H/2023 M

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

banyak nikmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul, “Madzhab Dalam Qawaid Fiqhiyyah” dengan baik tanpa ada

halangan yang berarti.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada

mata kuliah Qawaidul Ahkam, Tugas ini juga sekaligus bertujuan untuk menambah

wawasan mengenai madzhab dalam qawaid fiqhiyyah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah qawaidul ahkam dan

juga kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini

hingga selesai. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini. Oleh karena itu, kritik konstruktif dari para pembaca sangat kami harapkan

untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah

ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Garut, 28 Maret 2023

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................1

DAFTAR ISI................................................................................................................................2

BAB I...........................................................................................................................................3

A. Latar Belakang.................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah............................................................................................................4

C. Tujuan Pembuatan Makalah.............................................................................................4

BAB II..........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN..........................................................................................................................5

A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i...................5

1. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Abu Hanifah...........................................5

2. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Syafi'i.....................................................9

B. Urgensi Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum.......................................................15

1. Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum Menurut Imam Abu Hanifah..................15

2. Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum Menurut Imam Syafi'i.............................18

BAB III......................................................................................................................................20

PENUTUP..................................................................................................................................20

A. Simpulan........................................................................................................................20

B. Saran...............................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................22

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah fiqh merupakan bagian ari studi fiqh. Untuk mempelajari seluruh

hal yang berkaitan dengan hukum isalam, yaitu al Quran dan hadis sebagai

sumber hukum yag disepakati, seajrah hukum islam, ushul al-fiqh, kaidah ushul

fiqh, dan yang lainnya. Atas dasar tersebut, mendalami kaidah fiqh memiliki arti

yang sanagt penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi

hukum islam secara keseluruhuan. Tanpa memahami kaidah fiqh pemahaman

seseorang tidak akan menajfi khomperenshif.

Kaidah fiqh adalah menajdi suatu yang kulli yang bersesuaian dengan

zuriyah yang banyak dari padanya diketahui hukim-hukum juziyah itu, atau

dengan kata lain adalah hkum-hukum yang berkaitan dengan asas huku yang

dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya.

Arti penting yang dimiliki oleh kaidah fiqh dapat di lihat dari dua sudut,

pertama, dari sudut sumber. Dari sudut ini, kaidah merupakan media untuk

memahami dan menguasai maqasid asy-syariah, karena dengan mendalami

beberapa nash dapat ditemukan persoalan esinsial dalam satu persoalan. Kedua,

dari segi istimbhat al ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang

sudah dal belum terjadi. Oleh karena itu, kadiah fiqh dapat dijadikan sebagai

salah satu alat dalam menyelesaiakm persoalan yang telah terjadi dan mungkin

belum terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumannya.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang sosial dan intelektual Imam Abu Hanifah

2. Bagaimana latar belakang sosial dan intelektual Imam Syaafi’i

3. Bagaimana urgensi fiqhiyyah dalam isntimbath hukum menurut madzhab

syafii dan hanafi

C. Tujuan Pembuatan Makalah

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang sosial dan intelektual Imam Abu

Hanifah

2. Untuk mengetahu bagaimana latar belakang sosial dan intelektual Imam

Syaafi’i

3. Untuk mengetahui bagaimana urgensi fiqhiyyah dalam isntimbath hukum

menurut madzhab syafii dan hanafi

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi'i

1. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Abu Hanifah

Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah An-Nu'man bin

Tsabit bin Zautha al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia

berasal dari Persia (Iran) tetapi dilahirkan di Kufah (Irak) pada tahun 699M

dan wafat di Bagdad pada tahun 767M.1 Ia hidup selama 52 tahun di bawah

pemerintahan Bani Umayyah dan 18 tahun di bawah pemerintahan Bani

Abbas (abasiyyah).2 Jadi ia menjalani hidup di dua lingkugan sosial politik,

yakni dimasa akhir dinasti Umayyah dan masa dinasti Abasiyyah. Ia lahir

pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada masa kekuasaan Abdul Malik

bin Marwah. Beliau meninggal pada masa kekuasaan Abbasiyyah.3

Hampir seluruh masa hidup dan kehidupan beliau, sejak lahir sampai

meninggal dunia, sebagian besar dihabiskan di Kufah. Ia hidup dan

dibesarkan di tengah-tengah pedagang kain sutera yang berkecukupan dan

taat menjalankan agama Allah. Semasa kecil, beliau tumbuh, hidup dan

belajar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh anak-anak di Kufah pada

1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 1997), 95.
2
Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin, Menuju Kesatuan Paham tentang Mad-zhab
(Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 43.
3
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rosda Karya, 2000), 71.

5
masa itu.4 Di beberapa bagian kota Bagdad, Basrah dan Kufah terlihat

kegiatan diskusi, tukar pendapat, munazharah dan sebagainya yang diadakan

di tempat-tempat tertentu, maka berkembanglah di sana aliran-aliran

Mu'tazilah, Khawarij, Sunnah, Tasawuf di samping ilmu pengetahuan dan

filsafat. Di sanalah Abu Hanifah dibesarkan.

Pada mulanya Abu Hanifah belajar agama Islam sekedar untuk

keperluan dirinya sendiri dan kesibukan berdagang membantu orang tuanya

lebih menarik perhatiannya dibanding dengan menuntut ilmu. Hal itu terjadi

sampai pada suatu hari Ia bertemu dengan salah seorang gurunya, Amir bin

Syarahil Asy-Sya'bi (wafat tahun 104H/721IM). Asy-Sya'bi mengatakan

bahwa sesungguhnya Ia melihat pada diri Abu Hanifah sebuah harapan dan

dinamisme jadi Ia menyuruh Abu Hanifah untuk menumpahkan

perhatiannya kepada ilmu dan majlis ulama. Apa yang dikatakan oleh Asy-

Sya'bi tersebut membekas dihati Abu Hanifah sehingga sejak saat itu beliau

mulai meninggalkan perdagangan dan menuntut ilmu. Selanjutnya Abu

Hanifah mempelajari dan menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu itu

merupakan pusat pertemuan para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di

Kufah terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas'ud

(wafat 63H/682M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih

kepada ibrahim al-Nakha'i, lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman alAsy'ary (wafat

120H). Hammad Ibn Abi Sulaiman adalah salah seorang Imam besar

terkemuka ketika itu, Ia seorang ulama dalam bidang fiqh yang fikiran dan
4
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1991), 71.

6
pendapatnya banyak dipengaruhi oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Ibn

Mas'ud, Ia murid dari Algamah Ibn gais dan al-Gadhi Syuriah, keduanya

adalah tokoh dan pakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan Tabi'in. 5

Dari Hammad Ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits

tidak kurang dari 18 tahun lamanya.6

Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke hijaz untuk

mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang telah Ia

peroleh di kufah. Sepeninggal Hammad pada tahun 130 H, majlis Madrasah

Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi Kepala Madrasah, Ia

mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-

fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran madzhab Hanafi yang

dikenal sekarang ini.7

Dalam perjalanan hidupnya di Kufah, Abu Hanifah menyaksikan

tragedi-tragedi besar di Kufah. Disatu segi, kota Kufah memberi makna

dalam kehidupannya sehingga Ia menjadi salah seorang ulama besar dan al

Imam al A'zham. Irak adalah pusat kegiatan, kebudayaan dan peradaban

yang banyak mengetengahkan masalah-masalah baru yang belum ada

sebelumnya. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad,

menyelami tujuan-tujuan moral dan banyak mempergunakan rasio sehingga

5
Huzaemah Tahido Yanggo, Op Cit. 96.
6
M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2001), 23.
7
Huzaemah Tahido Yanggo, Op Cit. 97.

7
mampu memberikan jawaban terhadap berbagai perkembangan yang muncul

saat itu.8

Di sisi lain Ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai

dengan pertentangan politik. Kota Basrah dan Kufah di Irak melahirkan

banyak ilmuwan dalam berbagai bidang, seperti ilmu sastra, teologi, tafsir,

fiqh, hadits dan tasawuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu

Hanifah di tengah berlangsungnya proses tranformasi sosio-kultural, politik

dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi.

Oleh sebab itu pola pemikiran Abu Hanifah dalam menetapkan hukum,

sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang serta pendidikannya, juga

tidak terlepas dari sumber hukum yang ada.

Dari paparan di atas maka dapat diketahui bahwa beberapa hal yang

merupakan faktor-faktor yang membantu dan memudahkan Abu Hanifah

belajar mendalami agama Islam dan ilmu pengetahuan yaitu:9

1) Dorongan yang cukup besar dari keluarganya sehingga beliau dapat

menumpahkan seluruh perhatiannya pada pelajaran, tidak ada yang

mengganggu pikirannya termasuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Di samping hasil perdagangannya yang lebih dari yang diperlukan.

2) Kayakinan agama yang mendalam di lingkungan keluarganya.

8
Mun'im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 90.
9
Muslim Ibrahim, Op Cit, 71.

8
3) Kedudukan kota-kota Kufah, Basrah dan Bagdad, sebagai kota yang

berdekatan tempatnya, yang waktu itu merupakan pusat ilmu

pengetahuan dan pusat memperdalam ajaran Islam.

2. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Imam Syafi'i

Nama asli dari Imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris, gelar

beliau Abu Abdillah, orang Arab kalau menuliskan nama biasanya

mendahulukan gelar dari nama, sehingga berbunyi Abu Abdillah

Muhammad bin Idris.10 Sedangkan nama lengkapnya adalah Muhammad bin

Idris Bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Said bin Abu Yazid bin Hakim

bin Muthallib bin Abdul Manaf bin Qushai.11 Abdul Manaf bin Qushai yang

menjadi kakek ke 9 dari Imam Syafi'i adalah Abdul Manaf bin Qushai kakek

ke 4 dari Nabi Muhammad Saw.12 Dalam silsilah ini telah dapat diketahui

bahwa Imam Syafi'i senenek moyang dengan Nabi Muhammad Saw. Oleh

karena itu beliau masih termasuk golongan suku Quraisy.

Adapun dari pihak ibu, Imam Syafi'i bin Fathimah binti Abdullah bin

Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. 13 Dengan demikian ibu Imam

Syafi'i adalah cucu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi

dan khalifah keempat yang terkenal. Dalam sejarah juga ditemukan bahwa
Sirajuddin Abbas. Sejarah dan Keagungan Madshab Syafi'i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
10

1994),13.
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Op Cit. 121. Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i
(Selanjutnya disebut Imam Syafi'i). Al Umm (Barut: Al Maktabah Al Ilmu yah. tt). 14.

Sirajuddim Abbas. Op Cit. 14: Lahmuddin Nasunon, Pembaharuan Hukum Islam dalam
12

Madzhab Syafi'i (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 4.


13
Imam Syafi'i “AI Umm”, Op Cit, 16.

9
Saib bin Yazid kakek Imam Syafi'i yang kelima adalah sahabat Nabi

Muhammad Saw.

Imam Syafi'i lahir di Ghaza, salah satu kota di daerah Palestina di

pinggir laut Tengah pada pertengahan abad kedua Hijriyah yakni tahun 150H

(767M).14 Beliau dilahirkan pada tahun di mana Abu Hanifah, imam Ahiur

Ra'yu (pemimpin para fugaha yang banyak menggunakan akal) wafat di Irak

dan pada saat itu banyak terjadi perdebatan antara ahlu hadits dan ahlu

ra'yu.15 Ayah beliau meninggal ketika beliau masih kecil dan dalam keadaan

demikian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah dan menetap di

sana.

Dalam asuhan Ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur

tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qur'an. Selanjutnya atas persetujuan

ibunya, maka pergilah beliau ke perkampungan kabilah Hudzail untuk

mempelajari bahasa Arab karena waktu itu orang-orang Arab kabilah

Hudzail terkenal ahli dalam tata bahasa dan sastra Arab. Imam Syafi'i tinggal

di Hudzail selama kurang lebih 10 tahun.16

Sekembali dari perkampungan kabilah Hudzail, beliau kembali

menekuni pelajaran agama Islam dengan mendatangi ulama-ulama yang

terkenal pada waktu itu. Di Mekkah beliau belajar kepada Muslim bin

Khalid az Zanjilah dan kepadanyalah Imam Syafi'i paling lama menimba


14
Muslim Ibrahim, Op Cit. 88.

Abdurrahman AsySyarqawi, “A'immatul Figh At Tis'ah”. diterjemahkan oleh Al Hamid Al


15

Husaini, Riwayat Sembilan Imam Figih (Cet.I, Bandung Pustaka Hidayah, 2000), 378.
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Loc Cit: Lahmuddin Nasuton. Op Cu, 17.

10
ilmu. Muslim bin Khalid az Zanjilah adalah seorang ahli fikih yang terkenal

pada waktu itu dan menjabat sebagai mufti kota Mekkah. Dalam usia yang

sangat muda beliau telah dianggap menguasai ilmu agama Islam, sehingga

pada umur 15 tahun beliau telah diberi wewenang oleh gurunya untuk

memberikan fatwa dan bertindak sebagai wakil mufti. Di samping berguru

kepada muslim bin Khalid az Zanji beliau juga menekuni pelajaran hadits

kepada Sufyan bin Uyaynah.17

Sekalipun ia telah menghafal kitab Muwaththa pada usia 13 tahun

dibawah bimbingan Sufyan bin Uyaynah, beliau belum merasa puas jika

belum belajar dibawah bimbingan pengarang kitab itu sendiri. Oleh karena

itu berangkatlah beliau ke Madinah ketika berusia 20 tahun dengan

membawa surat pengantar wali kota Mekkah dan dari gurunya Muslim bin

Khalid az Zanji untuk berguru dan menuntut ilmu kepada Imam Malik.

Demikianlah ia belajar hadits dari Imam Malik di Madinah.

Menurut Khudlary Bek, sebelum Imam Syafi'i pergi ke Baghdad ia

telah mempelajari hadits dari dua orang ahli hadits kenamaan, yaitu Sufyan

bin Uyaynah di mekkah dan Imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan

Syaikh Imam Syafi'i yang terbesar sekalipun masih ada Syaikh yang

lainnya.18

17
Muslim Ibrahim, Op Cit, 89.

Muhammad Al Hudlory, Tarikh at Tasyri al Isl Yany, (tt: DWr Ihya al Kutub al Arabiyah,
18

1981), 252.

11
Imam Syafi'i juga mendengar bahwa di Baghdad berdiam dua orang

ulama yang terkenal yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, murid dan

sahabat terdekat Abu Hanifah. Timbul keinginan Imam Syafi'i untuk

menuntut ilmu kepadanya, keinginan itu disampaikan kepada gurunya, Imam

Malik. Imam Malik menyetujuinya dan berangkatlah beliau ke Baghdad

dengan biaya Imam Malik. Selama tinggal di Kufah beliau bertempat tinggal

di rumah Muhammad bin Hasan, mempelajari naskah-naskah dan buku-buku

yang berhubungan dengan madzhab Hanafi. Selain itu beliau juga

mempelajari sesuatu yang baru yang belum pernah beliau pelajari

sebelumnya yaitu tentang peradilan dan hukum-hukum acara yang berlaku di

peradilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya.19

Irak pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan dunia, jalan lalu

lintas antara timur dan barat, tempat bertemunya aneka ragam kebudayaan

yang berkembang di dunia. Di sana terdapat bermacam bentuk kehidupan

dan pergaulan, adapt istiadat, tingkah laku manusia, yang tidak diketahui dan

dialaminya sewaktu beliau berada di Hijaz. Semua itu memperluas

pandangan dan cakrawala beliau dalam memecahkan persoalan-persoalan

agama Islam vang timbul akibat suasana, keadaan dan tempat.

Atas izin dari guru beliau Muhammad bin Hasan, beliau pergi

mengunjungi daerah-daerah Persia, beliau mengunjungi Anathul, Hirah,

Ramlah dan kenegeri di bagian selatan Bantul Maqdis. Di daerah-daerah

yang beliau kunjumgi diajarkanlah kitab Muwarhtha dan pendapar-pendapat


19
Muslim Ibrahim, Loc Cit.

12
beliau sendiri. Dari kota Ramlah beliau langsung kembah ke Madimah

kerumah Imam Malik. Sejak itu beliau kembali memperdalam ilmunya di

samping membantu Imam Malik mengajar, sampai Imam Malik meninggal

dunia pada pada tahun 179H.

Pada tahun 181H. beliau kembali ke Mekkah dan beliau dapati ibu

beliau telah meninggal dunia. Setelah itu beliau kembali lagi ke Baghdad

pada tahun 198H dan menetap di sana selama beberapa bulan, di sana beliau

mengadakan pertukaran pikiran dengan ulama-ulama Baghdad waktu itu.

Pada saat inilah Muhammad bin Hanbal berguru kepada beliau. Kemudian

beliau kembali lagi ke Mesir dan menetap di mesir sampai wafat pada

tanggal 29 Rajab (dalam tarekh masehi bertepatan dengan tanggal 28 Juni

819M)20 sesudah menunaikan shalat Isya, Imam Syafi'i dimakamkan di suatu

tempat di Qal'ah yang bernama Mishru Alqadimah.21

Pada saat ia kembali ke Mesir untuk terakhir kalinya, itulah hal

penang yang termasuk dalam karier keilmuannya, saat itu khalifah Harun al

Rasvid telah meninggal dan digantikan oleh al Ma' mun. dan gurunya

Muhammad bin Hasan juga telah wafat. Lawatan ini tidak berlangsung lama,

tetapi momentum yang terpenting adalah ia memproklamasikan

kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia tampil dengan ijtihadnya

sendiri dalam fatwa-fatwanya. Hal ini terjadi pada tahun 198H. sejak itu ia

dikenal dengan mujtahid mutlak. Saat inilah ia menyusun kitabnya al


20
Sirajuddin Abtas, Op Cit, 44.
21
Huzaemah Tahido Yanggo, Op Cit, 123.

13
Risalah. Kitab ini dilukiskan oleh banyak ahli sebagai kitab pertama dalam

bidang ushul al fiqh22 dengan susunan yang teratur. Pendapat-pendapat yang

diutarakannya sampai pada saat ini dinamakan dengan qaul al qadim, yang

diperlawankan dengan pendapat-pendapatnya sesudah itu yang dinamakan

gaul al jadid.23

Kehadiran Imam Syafi'i yang terakhir ini sudah membawa metode

fikih yang baru. Ia tidak hanya berbicara tentang rincian-rincian hukum

dalam fikih, tetapi juga menawarkan kaidah-kaidah pokok dan dasar-dasar

pemikiran. Gagasan-gagasan inilah yang ia terapkan untuk menghasilkan

hukum-hukum furu'. Ia berhasil menampilkan fikih sebagai satu kesatuan

sebuah bangunan yang utuh, bukan ilmu tentang hukum-hukum yang

berserakan. Ia juga menawarkan kaidah-kaidah umum bukan fatwa-fatwa

lepas.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Imam Syafi'i mempunyai

pengetahuan sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di samping

pengetahuan hadits yang ia peroleh dari beberapa ulama dan dari berbagai

negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqh meliputi fiqh Ashabal

Ra'yi di Irak dan fiqh Ashab al Hadits di Hijaz.24

Abdul Wahab Kholaf, “Sejarah Legislasi Islam”. Op Cit, 123: Abdul Mun'im Saleh, Madzhab
22

Svaf'i, Kajian Konsep Al Maslahah (Yogyakarta: Ittaqa Press. 2001), 12.


23
Abdul Mun'im Saleh, Ibid.
24
Ibid.

14
B. Urgensi Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum

1. Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum Menurut Imam Abu

Hanifah

Metode penerapan hukum oleh Imam Abu Hanifah dengan

penggunaan daya rasio dalam membahas hukum-hukum yang tidak

ditentukan nashnya, mempunyai karakteristik tersendiri dalam istinbath yang

relevan dengan persoalan-persoalan yang tumbuh. Pada era Abu Hanifah dan

rekan25rekannya dari ahli fiqh Irak, ilmu fikih dan ilmu ushul fukih

mengalami perkembangan dan kemajuan-kemajuan baru.

Dalam kitab-kitab mutaakhir dikemukakan dasar-dasar yang

terperinci tentang dasar-dasar istinbath dalam madzhab Hanafi, dan mereka

menerangkan pula dalam kitab-kitab tersebut dasar-dasar Abu Hanifah,

apabila diperhatikan tentang tulisan-tulisan tersebut kita akan mengetahui

bahwa furu' itu didirikan atas beberapa dasar dan beberapa kaidah istinbath,

kita tidak memperoleh sanad yang muttashil yang sampai kepada Abu

Hanifah. Hal yang tidak dapat diragukan lagi bahwa Abu Hanifah

mempunyai kaidah-kaidah yang diatasnyalah dibina hukum-hukum furu' Al-

Khatib alBaghdad dalam tarikhnya menerangkan sebagaimana yang dikutip

oleh Hasbi ash-Shiddiqy, Imam Abu Hanifah berkata:

ْ ‫آح‬
H‫دت يسئة َرسُول اللو صلى هللاُ عليه َوسل َم واالئار‬ ُُ ‫ت يكتاب هللا إذا َو َج‬
َ ‫ ف َمالم آجذهُ ف ْي ِه‬,‫دت‬ ْ ‫ِإثى أ َح ْد‬

‫ فإذا ل ْم آجذ في كيتاب الل وكاس رمئول هللا حتت بقول‬.‫الصبّحاح َع ْنهُ الى فشنت في لَيْدى التفات‬

25
Muslim Ibrahim, Op Cit, 71.

15
‫ إلى قول َغي َْر ِه ْم فإذاثتهى اآلمر إلى ِإيْراهي َم‬H‫أصنحابه من ثيت وأ َذغ َم ْن شينت مم ااخرا ٌج عَن قولهم‬

H‫ب فعل ّي أن اجتهد كمااجْ تهدُوا‬


ٍ ّ‫ بن ال َمي‬H‫ي َوالحسّن َوابْن سييْرين َو َسع ْيد‬
Hَ ِ‫ َوالشمب‬.

Artinya: “Aku berpedoman kepada Kitabullah apabila aku

mendapatkannya. Pegangan yang aku tidak mendapatkannya di dalam

Kitabullah, maka aku berpegangan kepada Sunnah Rasulullah Saw dan

atsar-atsar yang shahih dari beliau yang sudah tersebar dibawa oleh

perawi-perawi yang terpercaya. Apabila aku tidak mendapatkannya di

dalam kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw, maka aku berpedoman

kepada kata-kata sahabat beliau yang aku kehendaki dan meninggalkan

kata-kata sahabat beliau yang aku kehendaki pula. Selagi ada kata-kata

sahabat itu, maka aku tidak bisa berpegang pedoman kepada kata-kata lain

mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim atau al-Sya'bi atau

Hasan atau Ibnu Sirin atau Sa'id ibnu al-Musyyab, maka saya berijtihad

sebagaimana mereka berijtihad."

Dari keterangan di atas kita mengetahui cara yang ditempuh oleh

Imam Abu Hanifah untuk beristinbath adalah al Kitab, as Sunnah, ijma dan

fatwa para sahabat. Di dalam hal-hal yang diperselisihkan para sahabat Abu

Hanifah mengambil mana yang lebih dapat diterimanya atau yang lebih dekat

kepada apa yang diistinbathkan dari al Kitab dan as Sunnah.

Dalam madzhab Abu Hanifah tidak ada kesepakatan di antara para

ulama mereka terhadap boleh tidaknya berfatwa atau berhujjah dengan

menggunakan gawa'id fighiyyah. Mereka yang tidak setuju, beralasan bahwa

16
gaidah itu bersifat aghlabiyah (mayoritas), tidak bersifat kulliyyah (universal

menyeluruh). Di antaranya Ibn al-Nujaim sebagaimana dikutip al-Hamawi

yang mengatakan: “tidak boleh berfatwa dengan menggunakan gawa'id

fighiyyah dan dhawabith karena sifatnya aqhlabiyah.26 Tapi bagi ulama

madzhab Hanafi yang setuju qawa'id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai

hujjah, beralasan bahwa bila diperhatikan ternyata tidak semua ga'idah itu

bersifat aghlabiyah, namun ada juga ga'idah yang sifatnya kulliyyah

sebagaimana dinyatakan oleh al-Qarafi dengan menukil dari alAmiri.27

Di sini, sayangnya ia tidak memberikan contoh kongkrit ga'idah yang

bersifat kulliyyah tersebut. Oleh sebab itu, ibn alNujaim hanya secara implisit

menyatakan bahwa ga'idah yang sifatnya kulliyyah boleh dijadikan hujjah

hukum Islam. Begitu pula dengan penyusun kitab Majallat al-Ahkam

alAdliyyah sebagaimana dikutip al-Zarqa—yang mayoritasnya bermadzhab

Hanafi, mereka sependapat dengan mengatakan: "para ahli hukum Islam

sebelum menemukan dalil yang kongkrit, tidak boleh menetapkan hukum

dengan hanya berpegang kepada salah satu kondisi dari qa'idah itu. Ini

artinya, bagi madzhab Hanafi, qawa'id fiqhiyyah tidak dapat dijadikan dalil

hukum yang berdiri sendiri.

Mustafa Ahmad al-Zarga. al-Madkhal al Fiqh alAm. (Damaskus: Mathbu' ah Jamr uh, 1982),
26

Cet ke-7 Jilid 1 h. 103.

Ahmad bin Muhammad al-Hamawi, Ghuma “Uvun al-Basha'ir Svarh alNasibah wa al-
27

Nasha'ir, (Kairo: Dar ah-Thaba'ah al Amurah. 1 th ). Jilid 1 h. 17, 32.

17
2. Qawaid Fiqhiyyah dalam Istinbath Hukum Menurut Imam Syafi'i

Adapun pegangan Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah al

Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan

Imam Syafi'i dalam kitabnya al Risalah, sebagai berikut:

‫ فى ال ِكتاب و السنّة‬H‫ليس أِل َح ٍد أن يَقول أبَدَا فِئ شنيء َح ّل أو َحرم ِإنَا ِمن جهة العلم َو ِحهَ َمالخَ بَر‬

‫ والقِيّاس‬H‫ َواِإل جْ َماع‬.

Artinya: “Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini


halal, ini haram, kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengatahuan itu
adalah kitab suci Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas."

Al-Juwaini dari madzhab Syafi'i dalam kitabnya al-Ghayatsi

berpendapat bahwa tujuan akhir dari qawa'id fiqhiyyah adalah untuk memberi

isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu,

bukan untuk beristidial dengannya. Ini sebagai indikator bahwa bagi al-

Juwaini, qawa'id fiqhiyyah tidak dapat dijadikan hujjah, tapi hanya sebagai

sarana untuk mengenal metode ijtihad dalam madzhab Syafi'i.

Senada dengan itu, alZarkasyi dengan lebih moderat berpendapat

bahwa gawa'id fighiyyah dapat dijadikan semacam instrumen bagi seorang

fagih (pakar hukum Islam) dalam mengidentifikasi ushul al madzhab dan

menyingkap dasar-dasar fiqh.128 Hal ini bisa dimaklumi, sebab pada dasarnya

masing-masing madzhab figh memiliki gawa'id fighiyyah yang beragam yang

28
Jabal Abd Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta Amzah. 2010). Cet ke-1 1 Taj al-Din Abd al-
Wahab bin Al bin Abd al-Kafi alSubki, Al-Anbah wa al Nazha'ir, (Beirut. Dar al-Kutub al-
Imiyah. 1991). Cet. jilid II, h. 24.

18
diciptakan oleh para ulama mereka dengan berpatokan pada ushul

madzhabnya. Walaupun begitu, bukan berarti seluruh ulama madzhab Syafi'i

menolak qawa'id fiqhiyyah untuk dijadikan sebagai hujjah. Karena

mayoritasnya justru lebih cenderung dapat menerima gawa'id fighiyyah untuk

dijadikan sebagai dalil hukum. Ini tampak misalnya dari pernyataan

alBannani, “menurut madzhab Syafi'i, qawa'id fiqhiyyah dapat dijadikan

hujjah dan sangat penting keberadaannya dalam fiqh."29

Begitu juga al-Suyuthi yang menjetaskan bahwa ilmu al-Asybah wa

al-Nazha'ir adalah ilmu yang agung, dapat menyingkap hakikat, dasar-dasar

dan rahasia fiqh, mempertajam analisa fiqh serta mampu membekali

seseorang untuk mampu mengidentifikasi berbagai persoalan yang tak

terhingga banyaknya sepanjang masa dengan cara al-ilhag dan al-takhrij. 30

Oleh sebab itu, al-Suyuthi menyimpulkan bahwa gawa'id fighiyyah dapat

dijadikan sebagai hujjah.

BAB III

PENUTUP

Abdurrahman bin Jadillah al-Bannane. Hanifah al-Bannam. (Beirut: Darud Fiqh) jilid ll h.
29

387.
30
Al-Din ibn Abd al-Salam, Jawa'id al-Ahkam. (Mesir: Dar al-Ma'anf) h. 5-7.

19
A. Simpulan

1. Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit bin

Zautha al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari

Persia (Iran) tetapi dilahirkan di Kufah (Irak) pada tahun 699M dan wafat di

Bagdad pada tahun 767M. Hampir seluruh masa hidup dan kehidupan

beliau, sejak lahir sampai meninggal dunia, sebagian besar dihabiskan di

Kufah.

2. Nama asli dari Imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris, gelar beliau Abu

Abdillah, orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar

dari nama, sehingga berbunyi Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Di

Mekkah beliau belajar kepada Muslim bin Khalid az Zanjil.ah dan

kepadanyalah Imam Syafi'i paling lama menimba ilmu. Muslim bin Khalid

az Zanjilah adalah seorang ahli fikih yang terkenal pada waktu itu dan

menjabat sebagai mufti kota Mekkah.

3. Metode penerapan hukum oleh Imam Abu Hanifah dengan penggunaan daya

rasio dalam membahas hukum-hukum yang tidak ditentukan nashnya,

mempunyai karakteristik tersendiri dalam istinbath yang relevan dengan

persoalan-persoalan yang tumbuh. Pada era Abu Hanifah dan

rekan31rekannya dari ahli fiqh Irak, ilmu fikih dan ilmu ushul fukih

mengalami perkembangan dan kemajuan-kemajuan baru.

4. Al-Juwaini dari madzhab Syafi'i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat

bahwa tujuan akhir dari qawa'id fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat
31
Muslim Ibrahim, Op Cit, 71.

20
dalam rangka mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu, bukan

untuk beristidial dengannya. Ini sebagai indikator bahwa bagi al-Juwaini,

qawa'id fiqhiyyah tidak dapat dijadikan hujjah, tapi hanya sebagai sarana

untuk mengenal metode ijtihad dalam madzhab Syafi'i.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

21
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos.

Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin. 1987. Menuju Kesatuan Paham tentang

Madzhab. Surabaya: Bina Ilmu.

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam Bandung: Rosda

Karya.

Ibrahim, Muslim. 1991. Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta: Erlangga.

Mughniyah, M. Jawad. 2001. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.

Sirry, Mun'im A. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Abbas, Sirajuddin. 1994 Sejarah dan Keagungan Madshab Syafi'i. Jakarta: Pustaka

Tarbiyah.

Abbas, Sirajuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi'i (Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Abdurrahman, AsySyarqawi. 2000. “A'immatul Figh At Tis'ah”. diterjemahkan oleh Al

Hamid Al Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih Cet.I, Bandung Pustaka Hidayah.

Al Hudlory, Muhammad. 1981. Tarikh at Tasyri al Isl Yany. DWr Ihya al Kutub al

Arabiyah.

Kholaf, Abdul Wahab. 2001. “Sejarah Legislasi Islam”. Op Cit, 123: Abdul Mun'im

Saleh, Madzhab Svaf'i, Kajian Konsep Al Maslahah. Yogyakarta: Ittaqa Press.

Mustafa Ahmad al-Zarga. 1982. al-Madkhal al Fiqh alAm. Damaskus: Mathbu' ah

Jamruh. Cet ke-7 Jilid 1.

Ahmad bin Muhammad al-Hamawi, Ghuma “Uvun al-Basha'ir Svarh alNasibah wa al-

Nasha'ir, Kairo: Dar ah-Thaba'ah al Amurah. Jilid 1.

22
.

23

Anda mungkin juga menyukai