APAITUKEBENARANSebuah Tinjauan Filosofis
APAITUKEBENARANSebuah Tinjauan Filosofis
net/publication/351978163
CITATIONS READS
0 1,339
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Yulius Rustan Effendi on 03 October 2022.
OBJECTIVITY, INQUIRY,
MODELS OF SCIENTIVIC INQUIRY
Oleh
Yulius Rustan Effendi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat dalam mencari kebenaran harus bergulat dengan pertanyaan tentang sifat
dan status kebenaran itu sendiri. Apakah ada, misalnya, hal semacam itu sebagai kebenaran
obyektif sepenuhnya, atau apakah pembicaraan kita tentang "kebenaran" hanyalah sebuah
proyeksi ke dunia tentang apa yang dapat kita temukan dapat diterima dalam argumen
moral, teori ilmiah, wacana matematika? Pertanyaan semacam itu berada dalam pusat
Kebenaran dan Obyektivitas, yang menawarkan perspektif asli tentang "realisme" dalam
penyelidikan filosofis.
Kebenaran perlu dibuktikan melalui penyelidikan. Model inqury/penyelidikan
merupakan adalah proses ilmiah yang bertujuan untuk menambah pengetahuan,
menyelesaikan keraguan, atau memecahkan suatu masalah kebenaran. Sebuah teori inquri
merupakan proses pencaraian data dari berbagai jenis penyelidikan dan perlakuan terhadap
cara-cara penyelidikan dalam mencapai tujuan yitu temuan kebenaran.
Berdasarkan argumentasi filosofi kebenaran di atas, maka fungsi penyelidikan ilmiah
terhadap kebenaran menurut filsafat ilmu mencakup dua hal yaitu pertama, untuk
memberikan penjelasan deskriptif tentang bagaimana penyelidikan ilmiah dilakukan dalam
praktik, dan kedua, untuk memberikan penjelasan mengapa penyelidikan ilmiah berhasil
dalam mencapai pengetahuan yang benar. Bagaimana penyelidikan ilmiah itu dapat
mencapai kebenaran yang obyektif, masalah inilah yanag dikaji dalam makalah ini.
1.2 Masalah atau Topik Bahasan
2
Makalah ini membeda tiga hal dalam pencarian pencarian kebenaran ilmiah. Bagian
pertama berbicara tentang obyektivitas. Objektivitas di sini berkaitan pemikiran aliran
objectivisme yang menegaskan bahwa dianggap benar secara obyektif bila kondisi
kebenarannya "bebas dari pikiran" - yaitu bukan hasil dari penilaian yang dibuat oleh entitas
sadar atau subjek. Cakupan pembahasan objektivitas behubungan dengan pemikiran
rasional, etika, politik dan kehidupan praksis manusia.
Bagian kedua, membahas tentang inquri/penyelidikan terhadap kebenaran.
Penelusuran kebenaran dapat dinilai dalam pola pikir ilmiah yang mencakup pola pikir
abduktif, deduktif dan induktif. Bagian Ketiga, membahas model santifik inquri, dimana
untuk mencapai pengetahuan ilmiah dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1:
membuat observasi 2: membentuk sebuah pertanyaan 3: membentuk hipotesis 4: melakukan
percobaan 5: menganalisis data 6: menggambar sebuah kesimpulan.
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah, pertama bagi kelompok penulis makalah, yaitu
untuk menemukan gagasan-gagasan dasar pencarian pengetahuan ilmiah yang
dikemukakan para filsuf ilmupengetahuan, sehingga dengan demikian gagasan kebenaran
ilmiah dapat dibuktikan landasan teoritisnya. Sedangkan bagi pembaca, melalui makalah ini
dapat menambah wawasan yang berkaitan dengan cara-cara untuk membangun
pengetahuan ilmiah untuk selanjutnya digunakan dalam pengembangan ilmu melalui
pelbagai penelitian yang dilakukannya.
2. PEMBAHASAN
2.1. OBJEKTIVITAS
Objectivism adalah istilah yang menggambarkan sebuah cabang filsafat yang
berasal dari awal abad kesembilan belas. Gottlob Frege adalah orang pertama yang
menerapkannya, ketika dia menjelaskan sebuah teori epistemologis dan metafisik yang
bertentangan dengan teori Immanuel Kant. Rasionalisme Kant mencoba untuk mendamaikan
kegagalan yang dirasakanya dalam realisme, empirisisme, dan idealisme dan untuk
menetapkan metode pendekatan kritis dalam perbedaan antara epistemologi dan metafisika
(Megill, 1994).
Objectivism, dalam konteks ini, adalah nama alternatif untuk realisme filosofis.
Menurut pandangan objectivism, ada realitas atau sifat ontologis objek dan fakta yang ada
3
terlepas dari pikiran. Versi yang lebih kuat dari klaim ini berpendapat bahwa hanya ada satu
deskripsi yang benar mengenai kenyataan ini. Jika benar kenyataan itu bebas dari pikiran,
maka ini termasuk objek yang tidak diketahui dan bukan subjek intensionalitas. Rujukan
objektivitas dalam membutuhkan definisi kebenaran. Menurut objektivitas metafisik, sebuah
objek dapat dikatakan benar memiliki atribut ini atau, seperti dalam pernyataan "Benda ini
ada," sedangkan pernyataan "Benda ini benar" atau "salah" tidak ada artinya. Jadi, hanya
proposisi yang memiliki nilai kebenaran. Intinya, istilah "objektivitas" dan "objektivisme" tidak
sama, dengan objektivisme menjadi teori ontologis yang menggabungkan komitmen
terhadap objektivitas objek.
Menurut Rorty (1991) objektivitas adalah kategori pemahaman dasar filosofis yang
sulit dipahami. Meskipun tidak ada artikulasi obyektif yang diterima secara universal,
proposisi pada umumnya dianggap benar secara obyektif bila kondisi kebenarannya "bebas
dari pikiran" - yaitu, bukan hasil dari penilaian yang dibuat oleh entitas sadar atau subjek.
Realisme Plato berkaitan dengan bentuk objektivisme metafisik, berpendapat bahwa
gagasan ada secara obyektif dan independen. Sedangkan idealisme empiris Berkeley,
berkaitaan dengan subjektivisme menegaskan bahwa segala sesuatu hanya ada sejauh
mereka dianggap. Kedua teori yang ada (realisme Plato dan idealisme Berkeley) sama-sama
mengklaim metode objektivitas. Definisi objektivitas Plato dapat ditemukan dalam
epistemologinya, yang menganggapnya sebagai model matematika, dan metafisika, di mana
pengetahuan tentang status ontologis benda dan gagasan tahan terhadap perubahan. Plato
menganggap pengetahuan geometri sebagai kondisi pengetahuan filosofis, keduanya
berkepentingan dengan kebenaran universal (Popper, 1972).
Penentangan Plato antara pengetahuan obyektif dan doxa (opini) akan menjadi dasar
filosofi selanjutnya untuk menyelesaikan masalah realitas, pengetahuan dan eksistensi
manusia. Plato membedakan antara apa dan bagaimana kita mengetahui sesuatu
(epistemologi) dan status ontologis sebagai sesuatu (metafisika). Sedangkan subjektivisme
Berkeley dengan pemahamanan tentang ketergantungan pikiran akan pengetahuan dan
kenyataan gagal membuat perbedaan antara apa yang diketahui dan apa yang akan
diketahui, atau paling tidak menjelaskan perbedaan secara dangkal. Dalam istilah Plato,
dalam kritiknya terhadap subjektivisme dimana pemahaman subjektivieme sulit
membedakan antara pengetahuan, doxa, dan pengetahuan subjektif (true belief).
4
Prinsip sentral objektivisme adalah kenyataan itu terlepas dari kesadaran, bahwa
manusia memiliki kontak langsung dengan realitas melalui persepsi indra, bahwa seseorang
dapat mencapai pengetahuan objektif dari persepsi melalui proses pembentukan konsep
dan logika induktif. Bahwa tujuan moral yang benar dari kehidupan seseorang adalah
mengejar kebahagiaan seseorang (kepentingan pribadi yang rasional), bahwa satu-satunya
sistem sosial yang sesuai dengan moralitas ini adalah pandangan yang menghormati
sepenuhnya hak-hak individu yang terkandung dalam kapitalisme laissez-faire, dan bahwa
peran seni dalam kehidupan manusia adalah mengubah gagasan metafisik manusia dengan
reproduksi selektif realitas ke dalam bentuk fisik - sebuah karya seni - yang dapat dipahami
seseorang dan yang dapat dia respons secara emosional (Rescher, 1977).
memihak. Subjektivisme etis lainnya, berpendapat bahwa sebuah akhir adalah baik (untuk
seseorang) kalau-kalau diinginkan oleh orang itu (lihat juga egoisme etis). Menurut versi non
kognitif dari subjektivisme etis, seperti emotivisme, prescriptivism, dan expressivism,
pernyataan etis tidak dapat benar atau salah, sama sekali: lebih tepatnya, itu adalah
ungkapan perasaan atau perintah pribadi (Nozick, 2001).
2.1.2.2 Objektivisme Etis
Menurut objektivis etis, kebenaran atau kepalsuan penilaian moral yang khas tidak
bergantung pada kepercayaan atau perasaan seseorang atau sekelompok orang. Pandangan
ini berpendapat bahwa proposisi moral serupa dengan proposisi tentang kimia, biologi, atau
sejarah: mereka menggambarkan (atau gagal menggambarkan) realitas pikiran-independen.
Ketika mereka menggambarkannya secara akurat, mereka benar-tidak peduli apa yang orang
percaya, harapkan, harapkan, atau rasakan.
Ketika mereka gagal menggambarkan realitas moral independen-pikiran ini, mereka
salah-tidak peduli apa yang orang percaya, harapkan, atau rasakan. Ada banyak versi
objektivisme etis, termasuk berbagai pandangan religius tentang moralitas, intuisisme
Platonistik, Kantianisme, utilitarianisme, dan bentuk egoisme etis tertentu. Platonis
mendefinisikan objektivisme etis dengan cara yang lebih sempit, sehingga memerlukan
adanya nilai intrinsik. Akibatnya, mereka menolak gagasan bahwa kaum kontraktual atau
egois bisa menjadi objektivis yang etis. (Nozick, 2001).
Kesimpulannya, dimana obyektivisme berpendapat, pada dasarnya, bahwa setiap
orang harus hidup dengan usaha mereka sendiri, tidak menerima hadiah dari orang lain atau
memberi mereka, karena kedua tindakan tersebut dianggap sebagai kelemahan moral. Rand
membuat pengecualian untuk kasus-kasus di mana ada "kepentingan pribadi rasional" yang
terlibat. Metode yang tepat untuk menilai kapan atau apakah seseorang harus membantu
orang lain adalah dengan mengacu pada kepentingan pribadi rasional dan hierarki nilai
dirinya sendiri: waktu, uang atau usaha yang diberikan atau risiko yang diambil harus
proporsional dengan nilai orang yang berhubungan dengan kebahagiaan seseorang.
2.1.3 Objektivitas Ilmu
Objektivitas Ilmu adalah nilai yang menginformasikan bagaimana ilmu pengetahuan
dipraktekkan dan bagaimana kebenaran ilmiah ditemukan. Ini adalah gagasan bahwa para
ilmuwan, dalam usaha untuk menemukan kebenaran tentang dunia alami, harus bercita-cita
untuk menghilangkan bias pribadi, komitmen apriori, keterlibatan emosional, dan
6
sebagainya. (Daston, Lorraine; Galison, Peter, 2010). Objektivitas sering dikaitkan dengan
pengukuran ilmiah, karena keakuratan suatu pengukuran dapat diuji independensinya dari
temuan ilmuwan yang pertama. Oleh karena itu, hal itu berkaitan erat dengan tujuan uji
kemampuan dan kemampuan reproduksibilitas. Agar benar dianggap objektif, hasil
pengukuran harus dikomunikasikan dari orang ke orang, dan kemudian ditunjukkan untuk
pihak ketiga, sebagai kemajuan dalam memahami dunia objektif. Pengetahuan yang bisa
dibuktikan semacam itu biasanya akan memberikan kekuatan prediksi atau konstruksi
ditunjukkan yang melalui teknologi.
Menurut Kuhn (1962), masalah timbul dari tidak memahami batas objektivitas dalam
penelitian ilmiah, terutama bila hasilnya digeneralisasi. Mengingat bahwa pemilihan objek
dan proses pengukuran biasanya subjektif, ketika hasil dari proses subyektif itu digeneralisasi
ke sistem yang lebih besar dari mana objek dipilih, kesimpulan yang dinyatakan harus bias.
Objektivitas jangan sampai bingung dengan konsensus ilmiah. Para ilmuwan mungkin setuju
pada satu titik waktu namun kemudian menemukan bahwa konsensus ini mewakili sudut
pandang subjektif.
2.1.4 Objektivitas Politis
Karena akal adalah alat pengetahuan manusia, maka akal digunakan sebagai strategi
bertahan hidup masing-masing orang yang paling mendasar dan diperlukan untuk
pencapaian nilai-nilai. Penggunaan atau ancaman kekuatan menetralkan efek praktis dari
alasan individu, apakah kekuatan itu berasal dari negara atau dari penjahat. Oleh karena itu,
satu-satunya jenis perilaku manusia yang terorganisir yang sesuai dengan operasi akal
adalah kerjasama sukarela. Persuasi adalah metode akal. Dengan sifatnya, yang tidak rasional
tidak bergantung pada penggunaan persuasi dan pada akhirnya harus memaksa untuk
menang (Richard, 2003).
Menurut Megil (1994) objectivism dalam konteks politik memandang pemerintah
sebagai "alat untuk menempatkan penggunaan kekuatan berdasarkan kontrol objektif yaitu
berdasarkan undang-undang yang didefinisikan secara obyektif. Dengan demikian,
pemerintah yang sah perlu kritis untuk melindungi hak-hak individu.
2.1.5 Objektivitas Dalam Kehidupan
Contoh objektivisme dalam kehidupan sehari-hari dikemukakan oleh Castillejo
(1982) sebagai berikut.
7
Bila tiga hal saling terkait satu sama lain sehingga yang terakhir sepenuhnya ada di
tengah dan bagian tengah sepenuhnya termasuk atau dikecualikan dari yang pertama,
ekstrem harus mengakui silogisme yang sempurna. Dengan 'istilah tengah', berarti keduanya
terkandung di dalam yang lain dan mengandung unsur lain, dan juga merupakan posisi
tengah dengan posisinya; dan oleh 'ekstrem' (a) yang terkandung di dalam yang lain, dan (b)
di mana yang lain terkandung. Karena jika A didasarkan pada semua B, dan B dari semua C,
A pasti harus didasarkan pada semua C. (Aristoteles, Prior Analytics, 1.4)
2.2.1.2 Induksi
Alasan induktif terdiri dari membangun hubungan antara satu istilah ekstrim dan
istilah tengah dengan cara ekstrem yang lain; misalnya, jika B adalah istilah tengah A dan C,
dalam membuktikan dengan menggunakan C bahwa A berlaku untuk B; Untuk ini adalah
bagaimana kita mempengaruhi induksi. (Aristoteles, Prior Analytics, 2.23)
2.2.1.3 Abduktif
Dua jenis langkah inferensi abduktif yang dijelaskannya secara abstrak:
1. Misalnya, ayo berdiri: A untuk "apa yang bisa diajarkan", B untuk "pengetahuan", dan
C untuk "moralitas". Maka pengetahuan yang bisa diajarkan itu nyata; Tetapi apakah
kebajikan itu pengetahuannya tidak jelas. Kemudian jika BC tidak kurang mungkin atau
lebih mungkin daripada AC, kita memiliki pengurangan; karena kita lebih dekat dengan
pengetahuan karena telah memperkenalkan istilah tambahan, padahal sebelumnya kita
tidak tahu bahwa AC itu benar.
2. Selain itu memiliki pengurangan jika tidak banyak istilah antara B dan C; Karena
dalam kasus ini juga kita semakin dekat dengan pengetahuan. Sebagai contoh,
anggaplah D adalah "untuk persegi", E "bentuk linier", dan F "lingkaran". Dengan
asumsi bahwa antara E dan F hanya ada satu istilah menengah - bahwa lingkaran
menjadi sama dengan bentuk linier dengan cara lunulum - kita harus mendekati
pengetahuan. (Aristoteles, "Prior Analytics")
Untuk maksud ini, hal pertama yang perlu diperhatikan dalam membedakan tiga
model utama penalaran yaitu apakah masing-masing model penalaran mendekati
karakternya. Dalam hal ini, deduksi adalah satu-satunya dari tiga jenis penalaran yang dapat
dibuat secara tepat, dan pada dasarnya selalu menghasilkan kesimpulan yang benar dari
premis dasar, sementara abduktif dan induksi tidak dapat dihindari mendekati model operasi
yang melibatkan unsur-unsur keputusan yang salah dalam praktek dan kesalahan yang tak
terhindarkan dalam penerapannya.
Alasannya karena deduksi, dalam batas ideal, dapat menjadi proses sumber internal
penalaran murni, sementara dua model penalaran lainnya pada dasarnya menuntut interaksi
konstan/tetap dengan dunia luar. Perbedaannya, dimana deduksi merupakan bentuk
kesimpulan demonstratif, sementara abduktif dan induksi digolongkan sebagai bentuk
10
penalaran non-demonstratif. Sebenarnya, dua model penalaran terakhir sama sekali tidak
disebut inferensi. Keduaanya seperti kumpulan kata atau gagasan terkontrol yang kebetulan
dipertahankan sebagai strategi heuristik yang berguna Tetapi cara berpikir non-demonstratif
pada dasarnya berada pada posisi kesalahan, dan harus terus diperiksa dan diperbaiki sesuai
kebutuhan dalam praksis.
Dalam terminologi klasik, bentuk keputusan yang memerlukan perhatian pada
konteks dan tujuan keputusan dikatakan melibatkan unsur "seni", dalam arti yang dinilai
membedakannya dari "sains", dan dalam penampilannya sebagai ekspresif penilaian dalam
gaya retorika, berlawanan dengan logika. Dalam pengertian ini berarti bahwa hanya logika
deduktif yang dapat direduksi menjadi teori ilmu yang tepat, sementara praktik ilmu empiris
selalu ada pada suatu tingkat seni.
2.2.3 Contoh penyelidikan
Seorang pria sedang berjalan di hari yang panas. Langit sudah jelas kapan terakhir
dilihatnya; Tetapi saat ia sibuk mencatat hal-hal lain, udara semakin dingin. Terpikir olehnya
bahwa itu mungkin akan hujan; Saat melihat ke atas, dia melihat awan gelap antara dia dan
matahari, dan dia kemudian mempercepat langkahnya. Apakah, jika ada, dalam situasi
seperti itu bisa disebut pemikiran? Baik tindakan berjalan maupun tidak ada dingin adalah
sebuah pemikiran. Berjalan adalah satu arah aktivitas; Melihat dan mencatat adalah model
aktivitas lainnya. Kemungkinan hujan akan turun, bagaimanapun, ada yang disarankan.
Pejalan kaki terasa dingin; Dia memikirkan awan dan hujan yang akan datang
B B
Sebelum Hujan Sebelum Hujan
C→D
C→B umum B→D umum
khusus
C D=Awan Gelap
Situasi Saat Ini Muncul
12
Kasus
Aturan
Fakta
• Pertama, kita perlu menyadari bahwa pertanyaan yang lebih kecil biasanya ditenun
menjadi pertanyaan yang lebih besar, apakah kita melihat keseluruhan pola pertanyaan
seperti yang dilakukan oleh pribadi sendiri atau ruang lingkup yang kompleks.
• Selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan berbagai cara di mana kasus penyelidikan
tertentu dapat dikaitkan dengan pertanyaan yang sedang berlangsung pada skala
yang lebih besar. Tiga mode interaksi induktif antara pertanyaan mikro dan pertanyaan
makro yang menonjol di sini dapat dijelaskan di bawah judul "Belajar", "Transfer", dan
"Pengujian" peraturan.
2.2.5.1 Belajar
Sekarang dipertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran, transfer, dan
pengujian ini berlaku untuk contoh "Sign of Rain" John Dewey. Belajar aturan dalam basis
14
pengetahuan, sejauh konten berjalan efektif, dapat diperoleh dengan cara apapun dari
kesimpulan. Misalnya, aturan seperti:
2.2.5.2 Transfer
Apa itu yang memberi karakter khas induktif untuk mengakuisisi basis
pengetahuan? Ini jelas merupakan "analogi pengalaman" yang mendasari aplikasi yang
bermanfaat. Kapan pun kita menemukan diri kita melakukan prefacing sebuah argumen
dengan ungkapan "Jika pengalaman masa lalu adalah panduan ..." maka kita dapat yakin
bahwa asas ini telah mulai berperan.
Sebuah analogi antara pengalaman masa lalu, yang dianggap sebagai keseluruhan,
dan pengalaman saat ini, yang dianggap sebagai titik penerapan. Yang dimaksudkan dalam
praktik ini adalah: "Jika pengalaman masa lalu adalah contoh pengalaman yang mungkin,
maka pengetahuan yang didapat di dalamnya berlaku untuk pengalaman saat ini". Ini adalah
mekanisme yang memungkinkan basis pengetahuan dibawa melalui pengalaman yang tidak
peduli dengan isi peraturan yang efektif.
Berikut adalah rincian bagaimana gagasan transfer ini bekerja dalam kasus.
Contoh: "Tanda Hujan":
Misalkan K (pres) menjadi bagian basis pengetahuan para pemikir yang secara logis setara
dengan gabungan dua peraturan, sebagai berikut:
• K (pres) adalah basis pengetahuan saat ini, yang dinyatakan dalam bentuk
kendala logis pada dunia wacana sekarang. Lebih mudah untuk memiliki pilihan
untuk mengekspresikan semua pernyataan logis dalam hal model logis, yaitu,
dalam hal keadaan primitif atau elemen pengalaman di mana hanya memegang
kebenaran.
• Biarkan E (past/masa lalu) menjadi rangkaian pengalaman yang dipilih, atau
keadaan yang ada dalam pikiran kita saat kita mengacu pada "pengalaman masa
lalu".
• Biarkan E (poss) menjadi kumpulan pengalaman kolektif, atau perkiraan total
keadaan yang mungkin terjadi.
• Biarkan E (pres) menjadi pengalaman saat ini, atau keadaan yang hadir pada si
pelaku pada saat ini. Jika kita memikirkan basis pengetahuan K (pres) yang
mengacu pada "fakta pengalaman" yang dengannya valid, maka semua rangkaian
model ini dapat dibandingkan dengan hubungan sederhana dari inklusi yang
ditetapkan atau implikasi logis.
| / | \ |
| / | \ |
| / | \ |
| / E(poss) \ |
| Fact / o \ Fact |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * Case Case * \ |
| / * * \ |
| /* *\ |
| /* *\ |
| o<<<---------------<<<---------------<<<o |
| E(past) Analogy Morphism E(pres) |
| More Known Less Known |
| |
o-----------------------------------------------------------o
Figure 5. Analogy of Experience
Dalam istilah ini, "analogi pengalaman" berjalan dengan mendorong sebuah aturan
tentang keabsahan basis pengetahuan terkini dan kemudian menyimpulkan sebuah Fakta,
penerapannya terhadap pengalaman saat ini, seperti dalam urutan berikut:
2.2.5.2.1 Tahap Induktif:
Kasus yang Diberikan: E (masa lalu) → E (poss), Acara terpilih cukup contoh kejadian
kolektif.
Fakta yang diberikan: E (masa lalu) → K (pres), Acara terpilih mendukung fakta
Pengetahuan.
-------------------------------------------------- -------------------------------------------
------- ------Menunjukkan Aturan: E (poss) → K (pres), Peristiwa kolektif
mendukung fakta pengetahuan saat ini
-------------------------------------------------- -------------------------------------------
------- --------
Fakta Deduktif: E (pres) → K (pres), Peristiwa terkini mendukung fakta Pengetahuan.
2.2.5.3 Pengujian
Jika pengamat melihat ke atas dan tidak melihat awan gelap, atau jika dia berjalan
untuk berlindung tetapi tidak hujan, maka ada kesempatan yang baik untuk
mempertanyakan utilitas atau keabsahan dasar pengetahuannya.
pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis tema. Secara visual
proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
2.3.2 Model Pragmatik
Istilah Pragmatisme آberasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action)
atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti
aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau
“manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa
suatu hasil. sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama
dalam bukunya The Meaning Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu
ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya uintuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah
sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan
manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide.
Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan
konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh
manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.
Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan
menafikan dirinya sendiri.
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan. Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan
diperoleh lewat indra. Indra memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian
kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia, sehingga menjadi pengalaman. Aspek
penyelidikan ilmiah dalam Logika empirisme mencakup.
2.3.3.1 Induksi
Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Metode berpikir induktif adalah
20
metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada,
maka disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena perlu proses penalaran yang
ilmiah dalam penalaran induktif.
Pengertian fenomena sebagai landasan induktif harus diartikan sebagai data maupun
sebagai pernyataan-pernyataan yang tentunya bersifat factual. Sehingga induksi dapat
berasal dari fenomena yang berbentuk fakta atau berbentuk pernyataan–pernyataan
(proposisi-proposisi). Pendekatan induktif adalah pendekatan yang dilakukan untuk
membangun sebuah teori berdasarkan hasil pengamatan atau observasi. Suatu observasi
yang dilakukan berkali-kali akan membentuk sebuah pola tertentu. Dari pola tersebut akan
lahir hipotesis sementara atau hipotesis tentatif. Hipotesis yang terbentuk berasal dari pola
pengamatan yang dilakukan. Setelah dilakukan berulang-ulang, barulah diperoleh sebuah
teori. Langkah penelitian seperti ini disebut sebagai pendekatan ’dari bawah ke atas (bottom
up)’.
2.3.3.2 Deduksi
Tahap kedua dalam penyelidikan ilmiah, kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik
melalui induksi dipergunakan sebagai premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-
pernyataan tentang observasi yang pertama. Aristoteles memberikan suatu pembatasan
yang penting pada macam-macam pernyataan yang dapat digunakan sebagai premis-
premis dan kesimpulan dari penalaran deduktif dalam ilmu. Dia hanya memperbolehkan
jenis pernyataan-pernyataan ilmiah tersebut yang menegaskan bahwa sebuah kelas
dimasukkan dalam sebuah kelas yang kedua atau yang dikeluarkan dari kelas kedua
tersebut. Jika “S” dan “P” di pilih untuk mewakili dua kelas pernyataan-pernyataan yang
diperbolehkan oleh Aristoteles adalah jenis pernyataan-pernyataan seperti tampak pada
table berikut.
Keterangan:
21
3. PENUTUP
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : berpikir alamiah
dan berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada
kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Di sisi lain, dalam proses berpikir
ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu secara teratur dan sistematis.
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar
sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan yang obyektif (Suriasumantri,
2005). Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan
sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh dalam proses penyelidikan/inquiri.
Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan
sarana berpikir ilmiah melalui model penyelidikan ilmiah, maka tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
22
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana
berpikir ilmiah berupa: bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (Yuwono,
1994)). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses
berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang
pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode
ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan
penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berpikir ilmiah adalah untuk membantu
proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.
DAFTAR RUJUKAN
Castillejo, David. 1982. The Formation of Modern Objectivity. Madrid: Ediciones de Arte y
Bibliofilia
Dewey, John .1910. How We Think, D.C. Heath, Lexington, MA, 1910. Reprinted, Prometheus
Books, Buffalo, NY, 1991.
Gardner, Howard.1987. The Minds New Science: A History of the Cognitive Revolution. New
York: Basic Books.
Haack, Susan. 1993. Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology, Blackwell
Publishers, Oxford, UK.
Hanson, Norwood Russell. 1958. Patterns of Discovery, An Inquiry into the Conceptual
Foundations of Science, Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan.
Kuhn, Thomas S.. 1996. The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago
Press, , 3° ed. ISBN 0-226-45808-3
Lasiyo dan Yuwono. 1994. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Megill, Allan. 1994. Rethinking Objectivity. London: Duke UP
Miller, G. A. 2003. The cognitive revolution: a historical perspective. Trends in Cognitive
Sciences, 7, 141-144.
Moleong, Lexy, J. 2005 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Nozick, Robert. 2001. Invariances: the structure of the objective world. Cambridge: Harvard
UP,.
23
Popper, Karl. R.. 1972. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Oxford University
Press, , trade paperback, 395 pages, ISBN 0-19-875024-2 , hardcover is out of print. See
libraries.
Rescher, Nicholas. 1977. Objectivity: the obligations of impersonal reason. Notre Dame:
Notre Dame Press
Rorty, Richard. 1991Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University
Press,