Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351978163

APA ITU KEBENARAN? (Sebuah Tinjauan Filosofis) OBJECTIVITY, INQUIRY,


MODELS OF SCIENTIVIC INQUIRY

Chapter · May 2021

CITATIONS READS

0 1,339

1 author:

Yulius Rustan Effendi


Universitas PGRI Kanjuruhan Malang
33 PUBLICATIONS   20 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Yulius Rustan Effendi on 03 October 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

APA ITU KEBENARAN?


(Sebuah Tinjauan Filosofis)

OBJECTIVITY, INQUIRY,
MODELS OF SCIENTIVIC INQUIRY

Oleh
Yulius Rustan Effendi

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat dalam mencari kebenaran harus bergulat dengan pertanyaan tentang sifat
dan status kebenaran itu sendiri. Apakah ada, misalnya, hal semacam itu sebagai kebenaran
obyektif sepenuhnya, atau apakah pembicaraan kita tentang "kebenaran" hanyalah sebuah
proyeksi ke dunia tentang apa yang dapat kita temukan dapat diterima dalam argumen
moral, teori ilmiah, wacana matematika? Pertanyaan semacam itu berada dalam pusat
Kebenaran dan Obyektivitas, yang menawarkan perspektif asli tentang "realisme" dalam
penyelidikan filosofis.
Kebenaran perlu dibuktikan melalui penyelidikan. Model inqury/penyelidikan
merupakan adalah proses ilmiah yang bertujuan untuk menambah pengetahuan,
menyelesaikan keraguan, atau memecahkan suatu masalah kebenaran. Sebuah teori inquri
merupakan proses pencaraian data dari berbagai jenis penyelidikan dan perlakuan terhadap
cara-cara penyelidikan dalam mencapai tujuan yitu temuan kebenaran.
Berdasarkan argumentasi filosofi kebenaran di atas, maka fungsi penyelidikan ilmiah
terhadap kebenaran menurut filsafat ilmu mencakup dua hal yaitu pertama, untuk
memberikan penjelasan deskriptif tentang bagaimana penyelidikan ilmiah dilakukan dalam
praktik, dan kedua, untuk memberikan penjelasan mengapa penyelidikan ilmiah berhasil
dalam mencapai pengetahuan yang benar. Bagaimana penyelidikan ilmiah itu dapat
mencapai kebenaran yang obyektif, masalah inilah yanag dikaji dalam makalah ini.
1.2 Masalah atau Topik Bahasan
2

Makalah ini membeda tiga hal dalam pencarian pencarian kebenaran ilmiah. Bagian
pertama berbicara tentang obyektivitas. Objektivitas di sini berkaitan pemikiran aliran
objectivisme yang menegaskan bahwa dianggap benar secara obyektif bila kondisi
kebenarannya "bebas dari pikiran" - yaitu bukan hasil dari penilaian yang dibuat oleh entitas
sadar atau subjek. Cakupan pembahasan objektivitas behubungan dengan pemikiran
rasional, etika, politik dan kehidupan praksis manusia.
Bagian kedua, membahas tentang inquri/penyelidikan terhadap kebenaran.
Penelusuran kebenaran dapat dinilai dalam pola pikir ilmiah yang mencakup pola pikir
abduktif, deduktif dan induktif. Bagian Ketiga, membahas model santifik inquri, dimana
untuk mencapai pengetahuan ilmiah dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1:
membuat observasi 2: membentuk sebuah pertanyaan 3: membentuk hipotesis 4: melakukan
percobaan 5: menganalisis data 6: menggambar sebuah kesimpulan.
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah, pertama bagi kelompok penulis makalah, yaitu
untuk menemukan gagasan-gagasan dasar pencarian pengetahuan ilmiah yang
dikemukakan para filsuf ilmupengetahuan, sehingga dengan demikian gagasan kebenaran
ilmiah dapat dibuktikan landasan teoritisnya. Sedangkan bagi pembaca, melalui makalah ini
dapat menambah wawasan yang berkaitan dengan cara-cara untuk membangun
pengetahuan ilmiah untuk selanjutnya digunakan dalam pengembangan ilmu melalui
pelbagai penelitian yang dilakukannya.

2. PEMBAHASAN
2.1. OBJEKTIVITAS
Objectivism adalah istilah yang menggambarkan sebuah cabang filsafat yang
berasal dari awal abad kesembilan belas. Gottlob Frege adalah orang pertama yang
menerapkannya, ketika dia menjelaskan sebuah teori epistemologis dan metafisik yang
bertentangan dengan teori Immanuel Kant. Rasionalisme Kant mencoba untuk mendamaikan
kegagalan yang dirasakanya dalam realisme, empirisisme, dan idealisme dan untuk
menetapkan metode pendekatan kritis dalam perbedaan antara epistemologi dan metafisika
(Megill, 1994).
Objectivism, dalam konteks ini, adalah nama alternatif untuk realisme filosofis.
Menurut pandangan objectivism, ada realitas atau sifat ontologis objek dan fakta yang ada
3

terlepas dari pikiran. Versi yang lebih kuat dari klaim ini berpendapat bahwa hanya ada satu
deskripsi yang benar mengenai kenyataan ini. Jika benar kenyataan itu bebas dari pikiran,
maka ini termasuk objek yang tidak diketahui dan bukan subjek intensionalitas. Rujukan
objektivitas dalam membutuhkan definisi kebenaran. Menurut objektivitas metafisik, sebuah
objek dapat dikatakan benar memiliki atribut ini atau, seperti dalam pernyataan "Benda ini
ada," sedangkan pernyataan "Benda ini benar" atau "salah" tidak ada artinya. Jadi, hanya
proposisi yang memiliki nilai kebenaran. Intinya, istilah "objektivitas" dan "objektivisme" tidak
sama, dengan objektivisme menjadi teori ontologis yang menggabungkan komitmen
terhadap objektivitas objek.
Menurut Rorty (1991) objektivitas adalah kategori pemahaman dasar filosofis yang
sulit dipahami. Meskipun tidak ada artikulasi obyektif yang diterima secara universal,
proposisi pada umumnya dianggap benar secara obyektif bila kondisi kebenarannya "bebas
dari pikiran" - yaitu, bukan hasil dari penilaian yang dibuat oleh entitas sadar atau subjek.
Realisme Plato berkaitan dengan bentuk objektivisme metafisik, berpendapat bahwa
gagasan ada secara obyektif dan independen. Sedangkan idealisme empiris Berkeley,
berkaitaan dengan subjektivisme menegaskan bahwa segala sesuatu hanya ada sejauh
mereka dianggap. Kedua teori yang ada (realisme Plato dan idealisme Berkeley) sama-sama
mengklaim metode objektivitas. Definisi objektivitas Plato dapat ditemukan dalam
epistemologinya, yang menganggapnya sebagai model matematika, dan metafisika, di mana
pengetahuan tentang status ontologis benda dan gagasan tahan terhadap perubahan. Plato
menganggap pengetahuan geometri sebagai kondisi pengetahuan filosofis, keduanya
berkepentingan dengan kebenaran universal (Popper, 1972).
Penentangan Plato antara pengetahuan obyektif dan doxa (opini) akan menjadi dasar
filosofi selanjutnya untuk menyelesaikan masalah realitas, pengetahuan dan eksistensi
manusia. Plato membedakan antara apa dan bagaimana kita mengetahui sesuatu
(epistemologi) dan status ontologis sebagai sesuatu (metafisika). Sedangkan subjektivisme
Berkeley dengan pemahamanan tentang ketergantungan pikiran akan pengetahuan dan
kenyataan gagal membuat perbedaan antara apa yang diketahui dan apa yang akan
diketahui, atau paling tidak menjelaskan perbedaan secara dangkal. Dalam istilah Plato,
dalam kritiknya terhadap subjektivisme dimana pemahaman subjektivieme sulit
membedakan antara pengetahuan, doxa, dan pengetahuan subjektif (true belief).
4

Pentingnya persepsi dalam mengevaluasi dan memahami realitas obyektif


diperdebatkan. Realism berpendapat bahwa persepsi adalah kunci dalam mengamati realitas
obyektif secara obyektif, sementara para instrumentalism berpendapat bahwa persepsi tidak
harus berguna dalam mengamati secara langsung realitas obyektif, namun berguna dalam
menafsirkan dan memprediksi realitas. Konsep yang mencakup gagasan ini penting dalam
filsafat ilmu.

2.1.1 Objektivitas Rasional

Prinsip sentral objektivisme adalah kenyataan itu terlepas dari kesadaran, bahwa
manusia memiliki kontak langsung dengan realitas melalui persepsi indra, bahwa seseorang
dapat mencapai pengetahuan objektif dari persepsi melalui proses pembentukan konsep
dan logika induktif. Bahwa tujuan moral yang benar dari kehidupan seseorang adalah
mengejar kebahagiaan seseorang (kepentingan pribadi yang rasional), bahwa satu-satunya
sistem sosial yang sesuai dengan moralitas ini adalah pandangan yang menghormati
sepenuhnya hak-hak individu yang terkandung dalam kapitalisme laissez-faire, dan bahwa
peran seni dalam kehidupan manusia adalah mengubah gagasan metafisik manusia dengan
reproduksi selektif realitas ke dalam bentuk fisik - sebuah karya seni - yang dapat dipahami

seseorang dan yang dapat dia respons secara emosional (Rescher, 1977).

2.1.2 Objektivitas dalam Etika


2.1.2.1 Subjektivisme Etis
Istilah "subjektivisme etis", mencakup dua teori etika yang berbeda. Menurut versi
kognitif subjektivisme etis, kebenaran pernyataan moral bergantung pada nilai, sikap,
perasaan, atau keyakinan orang lain. Beberapa bentuk subjektivitasme kognitifvisual kognitif
dapat dihitung sebagai bentuk realisme, ada pula bentuk anti-realisme. David Hume adalah
tokoh dasar untuk subjektivisme etis kognitif. Pada interpretasi standar teorinya, sifat
karakter dihitung sebagai kebajikan moral ketika membangkitkan sentimen persetujuan pada
pengamat manusia yang simpatik, berpengetahuan, dan rasional.
Demikian pula, teori pengamat ideal Roderick Firth berpendapat bahwa tindakan
yang benar adalah tindakan yang tidak dapat diterima oleh pengamat rasional yang tidak
5

memihak. Subjektivisme etis lainnya, berpendapat bahwa sebuah akhir adalah baik (untuk
seseorang) kalau-kalau diinginkan oleh orang itu (lihat juga egoisme etis). Menurut versi non
kognitif dari subjektivisme etis, seperti emotivisme, prescriptivism, dan expressivism,
pernyataan etis tidak dapat benar atau salah, sama sekali: lebih tepatnya, itu adalah
ungkapan perasaan atau perintah pribadi (Nozick, 2001).
2.1.2.2 Objektivisme Etis
Menurut objektivis etis, kebenaran atau kepalsuan penilaian moral yang khas tidak
bergantung pada kepercayaan atau perasaan seseorang atau sekelompok orang. Pandangan
ini berpendapat bahwa proposisi moral serupa dengan proposisi tentang kimia, biologi, atau
sejarah: mereka menggambarkan (atau gagal menggambarkan) realitas pikiran-independen.
Ketika mereka menggambarkannya secara akurat, mereka benar-tidak peduli apa yang orang
percaya, harapkan, harapkan, atau rasakan.
Ketika mereka gagal menggambarkan realitas moral independen-pikiran ini, mereka
salah-tidak peduli apa yang orang percaya, harapkan, atau rasakan. Ada banyak versi
objektivisme etis, termasuk berbagai pandangan religius tentang moralitas, intuisisme
Platonistik, Kantianisme, utilitarianisme, dan bentuk egoisme etis tertentu. Platonis
mendefinisikan objektivisme etis dengan cara yang lebih sempit, sehingga memerlukan
adanya nilai intrinsik. Akibatnya, mereka menolak gagasan bahwa kaum kontraktual atau
egois bisa menjadi objektivis yang etis. (Nozick, 2001).
Kesimpulannya, dimana obyektivisme berpendapat, pada dasarnya, bahwa setiap
orang harus hidup dengan usaha mereka sendiri, tidak menerima hadiah dari orang lain atau
memberi mereka, karena kedua tindakan tersebut dianggap sebagai kelemahan moral. Rand
membuat pengecualian untuk kasus-kasus di mana ada "kepentingan pribadi rasional" yang
terlibat. Metode yang tepat untuk menilai kapan atau apakah seseorang harus membantu
orang lain adalah dengan mengacu pada kepentingan pribadi rasional dan hierarki nilai
dirinya sendiri: waktu, uang atau usaha yang diberikan atau risiko yang diambil harus
proporsional dengan nilai orang yang berhubungan dengan kebahagiaan seseorang.
2.1.3 Objektivitas Ilmu
Objektivitas Ilmu adalah nilai yang menginformasikan bagaimana ilmu pengetahuan
dipraktekkan dan bagaimana kebenaran ilmiah ditemukan. Ini adalah gagasan bahwa para
ilmuwan, dalam usaha untuk menemukan kebenaran tentang dunia alami, harus bercita-cita
untuk menghilangkan bias pribadi, komitmen apriori, keterlibatan emosional, dan
6

sebagainya. (Daston, Lorraine; Galison, Peter, 2010). Objektivitas sering dikaitkan dengan
pengukuran ilmiah, karena keakuratan suatu pengukuran dapat diuji independensinya dari
temuan ilmuwan yang pertama. Oleh karena itu, hal itu berkaitan erat dengan tujuan uji
kemampuan dan kemampuan reproduksibilitas. Agar benar dianggap objektif, hasil
pengukuran harus dikomunikasikan dari orang ke orang, dan kemudian ditunjukkan untuk
pihak ketiga, sebagai kemajuan dalam memahami dunia objektif. Pengetahuan yang bisa
dibuktikan semacam itu biasanya akan memberikan kekuatan prediksi atau konstruksi
ditunjukkan yang melalui teknologi.
Menurut Kuhn (1962), masalah timbul dari tidak memahami batas objektivitas dalam
penelitian ilmiah, terutama bila hasilnya digeneralisasi. Mengingat bahwa pemilihan objek
dan proses pengukuran biasanya subjektif, ketika hasil dari proses subyektif itu digeneralisasi
ke sistem yang lebih besar dari mana objek dipilih, kesimpulan yang dinyatakan harus bias.
Objektivitas jangan sampai bingung dengan konsensus ilmiah. Para ilmuwan mungkin setuju
pada satu titik waktu namun kemudian menemukan bahwa konsensus ini mewakili sudut
pandang subjektif.
2.1.4 Objektivitas Politis
Karena akal adalah alat pengetahuan manusia, maka akal digunakan sebagai strategi
bertahan hidup masing-masing orang yang paling mendasar dan diperlukan untuk
pencapaian nilai-nilai. Penggunaan atau ancaman kekuatan menetralkan efek praktis dari
alasan individu, apakah kekuatan itu berasal dari negara atau dari penjahat. Oleh karena itu,
satu-satunya jenis perilaku manusia yang terorganisir yang sesuai dengan operasi akal
adalah kerjasama sukarela. Persuasi adalah metode akal. Dengan sifatnya, yang tidak rasional
tidak bergantung pada penggunaan persuasi dan pada akhirnya harus memaksa untuk
menang (Richard, 2003).
Menurut Megil (1994) objectivism dalam konteks politik memandang pemerintah
sebagai "alat untuk menempatkan penggunaan kekuatan berdasarkan kontrol objektif yaitu
berdasarkan undang-undang yang didefinisikan secara obyektif. Dengan demikian,
pemerintah yang sah perlu kritis untuk melindungi hak-hak individu.
2.1.5 Objektivitas Dalam Kehidupan
Contoh objektivisme dalam kehidupan sehari-hari dikemukakan oleh Castillejo
(1982) sebagai berikut.
7

❖ Seseorang yang bekerja keras di pertanian sepanjang hidupnya untuk benar-benar


mandiri.
❖ Seseorang yang menolak aturan agama dan kebahagiaan tertinggi dengan Tuhan
dan malah berfokus pada kebahagiaan utamanya sendiri.
❖ Seorang wanita yang mengukir rencana untuk sisa hidupnya yang mencakup prinsip-
prinsip akal, tujuan dan harga diri.
❖ Perusahaan yang, meski menggunakan praktik bisnis etis, tetap memiliki tujuan
utama menjadi yang terbaik di lapangan.
❖ Terlibat dalam tindakan yang akan menyebabkan kebahagiaan jangka panjang
dibandingkan dengan kesenangan jangka pendek.
❖ Membuat keputusan yang didasarkan pada alasan yang bertentangan dengan emosi
dan apa yang tidak dapat dilihat.
❖ Jika seseorang diserang, mereka harus menggunakan kekuatan atau senjata yang
tersedia untuk menghentikan penyerang.
❖ Seseorang yang menentang perbudakan dan praktik memiliki manusia lain.
❖ Seseorang yang berbohong untuk melindungi keluarga, teman, atau orang lain.
❖ Percaya pada konsep bahwa semua pengetahuan dicapai melalui penalaran.
❖ Mengembangkan konsep realitas melalui bahasa dan pemikiran abstrak.
❖ Percaya pada gagasan bahwa tidak ada kontradiksi di dunia nyata.
❖ Gagasan bahwa kebaikan terbesar di dunia adalah bahagia. Jika setiap individu
bahagia, maka keadaan keseluruhan dunia membaik. Namun, kebahagiaan itu tidak
dapat dicapai dengan mengorbankan orang atau orang lain; itu tidak akan memberi
kebahagiaan tertinggi.

2.2 INQURI/ PENYELIDIKAN (Haack, 1993)


Penyelidikan adalah setiap proses yang bertujuan untuk menambah pengetahuan,
menyelesaikan keraguan, atau memecahkan suatu masalah. Sebuah teori penyelidikan
adalah sebuah data dari berbagai jenis penyelidikan dan perlakuan terhadap cara-cara
penyelidikan dalam mencapai tujuannya.
2.2.1 Sumber klasik
2.2.1.1 Deduksi
8

Bila tiga hal saling terkait satu sama lain sehingga yang terakhir sepenuhnya ada di
tengah dan bagian tengah sepenuhnya termasuk atau dikecualikan dari yang pertama,
ekstrem harus mengakui silogisme yang sempurna. Dengan 'istilah tengah', berarti keduanya
terkandung di dalam yang lain dan mengandung unsur lain, dan juga merupakan posisi
tengah dengan posisinya; dan oleh 'ekstrem' (a) yang terkandung di dalam yang lain, dan (b)
di mana yang lain terkandung. Karena jika A didasarkan pada semua B, dan B dari semua C,
A pasti harus didasarkan pada semua C. (Aristoteles, Prior Analytics, 1.4)

2.2.1.2 Induksi
Alasan induktif terdiri dari membangun hubungan antara satu istilah ekstrim dan
istilah tengah dengan cara ekstrem yang lain; misalnya, jika B adalah istilah tengah A dan C,
dalam membuktikan dengan menggunakan C bahwa A berlaku untuk B; Untuk ini adalah
bagaimana kita mempengaruhi induksi. (Aristoteles, Prior Analytics, 2.23)
2.2.1.3 Abduktif
Dua jenis langkah inferensi abduktif yang dijelaskannya secara abstrak:
1. Misalnya, ayo berdiri: A untuk "apa yang bisa diajarkan", B untuk "pengetahuan", dan
C untuk "moralitas". Maka pengetahuan yang bisa diajarkan itu nyata; Tetapi apakah
kebajikan itu pengetahuannya tidak jelas. Kemudian jika BC tidak kurang mungkin atau
lebih mungkin daripada AC, kita memiliki pengurangan; karena kita lebih dekat dengan
pengetahuan karena telah memperkenalkan istilah tambahan, padahal sebelumnya kita
tidak tahu bahwa AC itu benar.
2. Selain itu memiliki pengurangan jika tidak banyak istilah antara B dan C; Karena
dalam kasus ini juga kita semakin dekat dengan pengetahuan. Sebagai contoh,
anggaplah D adalah "untuk persegi", E "bentuk linier", dan F "lingkaran". Dengan
asumsi bahwa antara E dan F hanya ada satu istilah menengah - bahwa lingkaran
menjadi sama dengan bentuk linier dengan cara lunulum - kita harus mendekati
pengetahuan. (Aristoteles, "Prior Analytics")

2.2.2 Inqury dalam paradigma pragmatik


Dalam filsafat pragmatis Peirce, James, (Dewey, 1910) penyelidikan berkaitan erat
dengan ilmu logika normatif. Pada permulaannya, model pragmatis atau teori penyelidikan
diekstrak oleh Peirce dari bahan bakunya dalam logika klasik, dengan sedikit bantuan dari
Kant, dan disempurnakan bersamaan dengan perkembangan awal logika simbolis oleh
Boole, De Morgan, dan Peirce sendiri untuk membahas masalah tentang sifat dan perilaku
penalaran ilmiah.
9

Meminjam konsep Aristoteles, Peirce (1958), meneliti tiga mode penalaran


mendasar yang berperan dalam penyelidikan, yang umumnya dikenal sebagai abduktif,
deduktif, dan induktif. Secara jelas abduktif adalah apa yang kita gunakan untuk
menghasilkan hipotesis atau diagnosis awal yang mungkin sebagai respons terhadap
fenomena minat atau masalah yang menjadi perhatian. Sementara deduksi digunakan untuk
mengklarifikasi, memperoleh, dan menjelaskan konsekuensi yang relevan dari hipotesis yang
dipilih., dan induksi digunakan untuk menguji jumlah prediksi terhadap jumlah data. Perlu
diketahui bahwa perlakuan klasik dan pragmatis terhadap jenis penalaran, membagi wilayah
kesimpulan generik seperti yang mereka lakukan menjadi tiga bagian khusus.
Ketiga proses ini biasanya beroperasi secara siklis, secara sistematis beroperasi
untuk mengurangi ketidakpastian dan kesulitan yang memulai penyelidikan yang
dipermasalahkan, dan dengan cara ini, sejauh penyelidikan berhasil, menyebabkan
peningkatan pengetahuan atau keterampilan. Dalam cara berfikir pragmatis, segala sesuatu
memiliki tujuan, dan tujuan setiap hal adalah hal pertama yang harus dicoba melalui catatan
mengenai hal itu. Tujuan penyelidikan adalah untuk mengurangi keraguan dan mengarah
pada keadaan kepercayaan, yang kemudian menjadi pengetahuan atau kepastian. Ketika
berkontribusi pada akhir penyelidikan, maka perlu menghargai bahwa ketiga jenis inferensi
tersebut menggambarkan sebuah siklus yang hanya dapat dipahami secara keseluruhan, dan
ketiganya tidak akan terpisah satu terhadap yang lain.

2.2.3 Seni dan Inqury

Untuk maksud ini, hal pertama yang perlu diperhatikan dalam membedakan tiga
model utama penalaran yaitu apakah masing-masing model penalaran mendekati
karakternya. Dalam hal ini, deduksi adalah satu-satunya dari tiga jenis penalaran yang dapat
dibuat secara tepat, dan pada dasarnya selalu menghasilkan kesimpulan yang benar dari
premis dasar, sementara abduktif dan induksi tidak dapat dihindari mendekati model operasi
yang melibatkan unsur-unsur keputusan yang salah dalam praktek dan kesalahan yang tak
terhindarkan dalam penerapannya.
Alasannya karena deduksi, dalam batas ideal, dapat menjadi proses sumber internal
penalaran murni, sementara dua model penalaran lainnya pada dasarnya menuntut interaksi
konstan/tetap dengan dunia luar. Perbedaannya, dimana deduksi merupakan bentuk
kesimpulan demonstratif, sementara abduktif dan induksi digolongkan sebagai bentuk
10

penalaran non-demonstratif. Sebenarnya, dua model penalaran terakhir sama sekali tidak
disebut inferensi. Keduaanya seperti kumpulan kata atau gagasan terkontrol yang kebetulan
dipertahankan sebagai strategi heuristik yang berguna Tetapi cara berpikir non-demonstratif
pada dasarnya berada pada posisi kesalahan, dan harus terus diperiksa dan diperbaiki sesuai
kebutuhan dalam praksis.
Dalam terminologi klasik, bentuk keputusan yang memerlukan perhatian pada
konteks dan tujuan keputusan dikatakan melibatkan unsur "seni", dalam arti yang dinilai
membedakannya dari "sains", dan dalam penampilannya sebagai ekspresif penilaian dalam
gaya retorika, berlawanan dengan logika. Dalam pengertian ini berarti bahwa hanya logika
deduktif yang dapat direduksi menjadi teori ilmu yang tepat, sementara praktik ilmu empiris
selalu ada pada suatu tingkat seni.
2.2.3 Contoh penyelidikan

Seorang pria sedang berjalan di hari yang panas. Langit sudah jelas kapan terakhir
dilihatnya; Tetapi saat ia sibuk mencatat hal-hal lain, udara semakin dingin. Terpikir olehnya
bahwa itu mungkin akan hujan; Saat melihat ke atas, dia melihat awan gelap antara dia dan
matahari, dan dia kemudian mempercepat langkahnya. Apakah, jika ada, dalam situasi
seperti itu bisa disebut pemikiran? Baik tindakan berjalan maupun tidak ada dingin adalah
sebuah pemikiran. Berjalan adalah satu arah aktivitas; Melihat dan mencatat adalah model
aktivitas lainnya. Kemungkinan hujan akan turun, bagaimanapun, ada yang disarankan.
Pejalan kaki terasa dingin; Dia memikirkan awan dan hujan yang akan datang

2.2.3.1 Fase Abduktif

Dalam hal ini Dewey (2010) menyajikan dengan Fakta:


 Fakta: C → A, Dalam situasi sekarang, udara dingin.
Menanggapi kebingungan intelektual tentang kebingungan akan situasinya, sumber
pengetahuan umum tentang dunia didorong untuk memanfaatkan aturan perkiraan:
 Aturan: B → A, Sebelum hujan, udara dingin.
Aturan ini dapat dikenali memiliki relevansi potensial terhadap situasi karena cocok
dengan fakta udara dingin,
 C → A, dalam bentuk konsekuensinya A.
Semua ini menunjukkan bahwa kasus sekarang mungkin menjadi satu di mana hujan
akan turun:
 Kasus: C → B, situasi saat ini/sekarang, sebelum hujan.
11

Keseluruhan kinerja mental, betapapun otomatis dan setengah-sadar, yang


mengarah dari fakta yang bermasalah dan basis pengetahuan. Aturan yang telah ditetapkan
sebelumnya ke saran yang masuk akal dari deskripsi terhadap kasus, adalah apa yang kita
sebut sebagai kesimpulan yang abduktif.
2.2.3.2 Fase deduktif
Tahap selanjutnya dari penyelidikan menggunakan kesimpulan deduktif untuk
memperluas konsekuensi tersirat dari hipotesis abduktif, dengan tujuan untuk menguji
kebenarannya. Untuk tujuan ini, penyelidik perlu memikirkan hal-hal lain yang akan
mengikuti penjelasan lanjutannya. Refleksikan terhadap kasus yang diasumsikan:
 Kasus: C → B, Situasi Saat Ini/Sekarang, Sebelum Hujan.
Dia melihat ke atas untuk mengamati langit, mungkin secara acak mencari informasi
lebih lanjut, tetapi karena langit adalah tempat yang logis untuk mencari rincian
badai hujan yang akan terjadi, yang dilambangkan dalam cerita dengan huruf B, kita
dapat menganggap bahwa pembaru telah terlepas dari konsekuensi kasus yang
dikurangi, C → B, dan telah mulai memperluas implikasi lebih lanjutnya. Jadi,
bayangkan bahwa pemikir atas kita memiliki tujuan yang lebih disengaja, dan
pencariannya untuk data tambahan didorong oleh aturan yang baru ditemukan dan
menentukan:
 Aturan: B → D, Sebelum hujan, awan gelap muncul.
Merenungkan Kasus yang diasumsikan dalam kombinasi dengan peraturan baru ini
membawanya dengan deduksi langsung untuk memprediksi fakta tambahan:
 Fakta: C → D, Dalam situasi saat ini awan gelap muncul. Gambaran penalaran yang
direkonstruksi yang dirakit dalam fase penyelidikan kedua ini sesuai dengan pola
kesimpulan deduktif.

B B
Sebelum Hujan Sebelum Hujan

C→D
C→B umum B→D umum

khusus
C D=Awan Gelap
Situasi Saat Ini Muncul
12

Kasus

Aturan

Fakta

2.2.3.3 Fase induktif


Apapun masalahnya, subjek mengamati awan gelap, seperti yang ia harapkan
berdasarkan hipotesis baru. Penjelasan tentang hujan yang akan segera menghilangkan
ketidaksesuaian antara pengamatan dan harapan dan dengan demikian mengurangi
kejutan-kejutan yang membuat proses penyelidikan ini diperlukan. Melihat lebih dekat
Menghantar hipotesis Dewey, mengisolasi untuk tujuan analisis sekarang dua langkah
pertama dalam proses yang lebih luas yang membahas keseluruhan penyelidikan.
Dalam analisis langkah-langkah penyelidikan pertama ini, kita memiliki bentuk
kesimpulan yang kompleks yang dapat dilihat berlangsung dalam dua tahap:
 Langkah pertama adalah abduktif yang abstrak sebuah kasus dari pertimbangan
Fakta dan Aturan.
Fakta : C → A, Dalam situasi sekarang, udara dingin.
Aturan : B → A, Sebelum hujan, udara dingin.
Kasus : C → B, Situasi Saat Ini, Sebelum Hujan.
 Langkah terakhir adalah pengurangan yang mengakui kasus ini ke aturan lain dan
tiba pada sebuah fakta baru.
Kasus : C → B, Situasi Saat Ini, Sebelum Hujan.
Aturan : B → D, Sebelum hujan, awan gelap akan muncul. (fakta baru)
Fakta : C → D, Dalam situasi sekarang, awan gelap akan muncul.

2.2.4 Meninggalkan hipotesis


Untuk memahami nalar penalaran induktif pada tahap penutupan penyelidikan ada
beberapa pengamatan yang perlu dilakukan:
13

• Pertama, kita perlu menyadari bahwa pertanyaan yang lebih kecil biasanya ditenun
menjadi pertanyaan yang lebih besar, apakah kita melihat keseluruhan pola pertanyaan
seperti yang dilakukan oleh pribadi sendiri atau ruang lingkup yang kompleks.
• Selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan berbagai cara di mana kasus penyelidikan
tertentu dapat dikaitkan dengan pertanyaan yang sedang berlangsung pada skala
yang lebih besar. Tiga mode interaksi induktif antara pertanyaan mikro dan pertanyaan
makro yang menonjol di sini dapat dijelaskan di bawah judul "Belajar", "Transfer", dan
"Pengujian" peraturan.

2.2.5 Analogi Pengalaman (Hanson, 1958)


Sepanjang penyelidikan, pemikir menggunakan peraturan yang harus diangkat
melintasi interval pengalaman, dari pengalaman massa di mana mereka belajar dan pada
saat-menerapkan pengalaman tersebut. Alasan induktif terlibat dalam pembelajaran dan
pengalihan peraturan ini, baik dalam mengumpulkan basis pengetahuan dan dalam
membawanya melalui waktu antara akuisisi dan penerapan.
 Belajar. Cara utama induksi yang berkontribusi terhadap penyelidikan yang sedang
berlangsung adalah melalui pembelajaran peraturan, yaitu dengan menciptakan
setiap peraturan yang masuk ke basis pengetahuan, atau pernah digunakan
sepanjang proses.
 Transfer. Cara melanjutkan induksi yang berkontribusi terhadap penyelidikan yang
sedang berlangsung adalah melalui pemanfaatan analogi, kombinasi dua langkah
dari induksi dan deduksi yang berfungsi untuk mentransfer peraturan dari satu
konteks ke konteks lainnya
 Pengujian. Akhirnya, setiap penyelidikan yang memanfaatkan basis pengetahuan
merupakan "uji lapangan" dari kandungan terakumulasinya. Jika basis pengetahuan
gagal untuk melayani setiap penyelidikan langsung dengan cara yang memuaskan,
maka ada alasan perbaikan untuk mempertimbangkan kembali dan mungkin untuk
mengubah beberapa peraturannya.

2.2.5.1 Belajar
Sekarang dipertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran, transfer, dan
pengujian ini berlaku untuk contoh "Sign of Rain" John Dewey. Belajar aturan dalam basis
14

pengetahuan, sejauh konten berjalan efektif, dapat diperoleh dengan cara apapun dari
kesimpulan. Misalnya, aturan seperti:

 Aturan: B → A, Sebelum hujan, udara dingin, biasanya diinduksi dari pertimbangan


banyak kejadian masa lalu, dengan cara yang dapat direkonstruksi secara rasional
sebagai berikut:
 Kasus: C → B, pada kejadian tertentu, sebelum hujan,
 Fakta: C → A, dalam kejadian tertentu, Udara dingin,
--------------------------------------------------------------------------------------
----------------------Aturan: B → A, Sebelum hujan, Udara dingin. Namun,
proposisi yang sama juga bisa ditakdirkan sebagai penjelasan tentang
kejadian tunggal atau disimpulkan sebagai kesimpulan teori dugaan.

2.2.5.2 Transfer

Apa itu yang memberi karakter khas induktif untuk mengakuisisi basis
pengetahuan? Ini jelas merupakan "analogi pengalaman" yang mendasari aplikasi yang
bermanfaat. Kapan pun kita menemukan diri kita melakukan prefacing sebuah argumen
dengan ungkapan "Jika pengalaman masa lalu adalah panduan ..." maka kita dapat yakin
bahwa asas ini telah mulai berperan.
Sebuah analogi antara pengalaman masa lalu, yang dianggap sebagai keseluruhan,
dan pengalaman saat ini, yang dianggap sebagai titik penerapan. Yang dimaksudkan dalam
praktik ini adalah: "Jika pengalaman masa lalu adalah contoh pengalaman yang mungkin,
maka pengetahuan yang didapat di dalamnya berlaku untuk pengalaman saat ini". Ini adalah
mekanisme yang memungkinkan basis pengetahuan dibawa melalui pengalaman yang tidak
peduli dengan isi peraturan yang efektif.

Berikut adalah rincian bagaimana gagasan transfer ini bekerja dalam kasus.
Contoh: "Tanda Hujan":
Misalkan K (pres) menjadi bagian basis pengetahuan para pemikir yang secara logis setara
dengan gabungan dua peraturan, sebagai berikut:

 K (pres) = (B → A) dan (B → D).


15

• K (pres) adalah basis pengetahuan saat ini, yang dinyatakan dalam bentuk
kendala logis pada dunia wacana sekarang. Lebih mudah untuk memiliki pilihan
untuk mengekspresikan semua pernyataan logis dalam hal model logis, yaitu,
dalam hal keadaan primitif atau elemen pengalaman di mana hanya memegang
kebenaran.
• Biarkan E (past/masa lalu) menjadi rangkaian pengalaman yang dipilih, atau
keadaan yang ada dalam pikiran kita saat kita mengacu pada "pengalaman masa
lalu".
• Biarkan E (poss) menjadi kumpulan pengalaman kolektif, atau perkiraan total
keadaan yang mungkin terjadi.
• Biarkan E (pres) menjadi pengalaman saat ini, atau keadaan yang hadir pada si
pelaku pada saat ini. Jika kita memikirkan basis pengetahuan K (pres) yang
mengacu pada "fakta pengalaman" yang dengannya valid, maka semua rangkaian
model ini dapat dibandingkan dengan hubungan sederhana dari inklusi yang
ditetapkan atau implikasi logis.

Figure 5 schematizes this way of viewing the "analogy of experience".


o-----------------------------------------------------------o
| |
| K(pres) |
| o |
| /|\ |
| /|\ |
| / | \ |
| / | \ |
| / Rule \ |
16

| / | \ |
| / | \ |
| / | \ |
| / E(poss) \ |
| Fact / o \ Fact |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * * \ |
| / * Case Case * \ |
| / * * \ |
| /* *\ |
| /* *\ |
| o<<<---------------<<<---------------<<<o |
| E(past) Analogy Morphism E(pres) |
| More Known Less Known |
| |
o-----------------------------------------------------------o
Figure 5. Analogy of Experience

Dalam istilah ini, "analogi pengalaman" berjalan dengan mendorong sebuah aturan
tentang keabsahan basis pengetahuan terkini dan kemudian menyimpulkan sebuah Fakta,
penerapannya terhadap pengalaman saat ini, seperti dalam urutan berikut:
2.2.5.2.1 Tahap Induktif:
 Kasus yang Diberikan: E (masa lalu) → E (poss), Acara terpilih cukup contoh kejadian
kolektif.
 Fakta yang diberikan: E (masa lalu) → K (pres), Acara terpilih mendukung fakta
Pengetahuan.
-------------------------------------------------- -------------------------------------------
------- ------Menunjukkan Aturan: E (poss) → K (pres), Peristiwa kolektif
mendukung fakta pengetahuan saat ini

2.2.5.2.2 Tahap Deduktif:


 Kasus yang Diberikan: E (pres) → E (poss), Peristiwa saat ini cukup menggambarkan
kejadian kolektif.
 Aturan yang diberikan: E (poss) → K (pres), peristiwa kolektif mendukung basis
pengetahuan saat ini
17

-------------------------------------------------- -------------------------------------------
------- --------
Fakta Deduktif: E (pres) → K (pres), Peristiwa terkini mendukung fakta Pengetahuan.
2.2.5.3 Pengujian
Jika pengamat melihat ke atas dan tidak melihat awan gelap, atau jika dia berjalan
untuk berlindung tetapi tidak hujan, maka ada kesempatan yang baik untuk
mempertanyakan utilitas atau keabsahan dasar pengetahuannya.

2.3 MODEL PENYELIDIKAN ILMIAH


Dalam filsafat ilmu, model penyelidikan ilmiah memiliki dua fungsi: pertama, untuk
memberikan penjelasan deskriptif tentang bagaimana penyelidikan ilmiah dilakukan dalam
praktik, dan kedua, untuk memberikan penjelasan mengapa penyelidikan ilmiah berhasil
sebaik tampaknya lakukan dalam mencapai pengetahuan yang tulus (Salmon, 1990).
Penyelidikan ilmiah mengacu pada beragam cara di mana ilmuwan mempelajari
dunia alami dan mengajukan penjelasan berdasarkan bukti yang berasal dari pekerjaan
mereka.
Langkah-langkahnya adalah: 1: membuat observasi 2: membentuk sebuah
pertanyaan 3: membentuk hipotesis 4: melakukan percobaan 5: menganalisis data 6:
menggambar sebuah kesimpulan.
Beberapa model penyelidikan ilmiah dijelaskan berikut ini.
2.3.1 Model Klasik
Johson (2005) membedakan model klasik menjadi dua model deduktif dan model
induktif. Menurut Johnson, model deduktif terdiri tiga langkah utama, yaitu: pertama
nyatakan hipotesisnya (berdasarkan teori atau literatur penelitian); berikutnya,
mengumpulkan data untuk menguji hipotesis; akhirnya, buat keputusan untuk menerima
atau menolak hipotesis
Sedangkan tahapan utama model induktif menurut Johnson adalah : pertama, amati
dunia; Selanjutnya, cari a pola dalam apa yang diamati; dan akhirnya, membuat generalisasi
tentang apa yang sedang terjadi;
Model deduktif merupakan model penyelidikan ilmiah yang diterapkan dalam
penelitian kuantitatif. Dalam model ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya
dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya. (Jujun 2005), menyatakan bahwa
18

kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikatif ini pada


dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.
a) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan faktafakta yang relevan dengan
hipotesis, yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipoteisis tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima.
Sedangkan metoda induktif merupakan metoda yang diterapkan dalam penelitian
kualitatif. Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan teori.
Metoda ini memiliki dua macam tahapan: tahapan penelitian secara umum dan secara
siklikal (Moleong, 2005).
a) Tahapan penelitian secara umum
Tahapan penelitian secara umum secara garis besar terdiri dari tiga tahap utama,
yaitu (1) tahap pralapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, dan (3) tahap analisis data.
Masingmasing tahap tersebut terdiri dari beberapa langkah.
b) Tahapan penelitian secara siklikal
Menurut Spradley (Moleong, 2005), tahap penelitian kualitatif, khususnya dalam
etnografi merupakan proses yang berbentuk lingkaran yang lebih dikenal dengan
prosespenelitian siklikal, yang terdiri dari langkah-langkah : (1) pengamatan
deskriptif, (2) analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis taksonomi, (5)
19

pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis tema. Secara visual
proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
2.3.2 Model Pragmatik
Istilah Pragmatisme‫ آ‬berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action)

atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti
aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau
“manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa
suatu hasil. sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama
dalam bukunya The Meaning Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu
ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya uintuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah
sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan
manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide.
Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan
konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh
manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.
Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan
menafikan dirinya sendiri.

2.3.3 Logika Empirisme (Gardner, 1987).

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan. Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan
diperoleh lewat indra. Indra memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian
kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia, sehingga menjadi pengalaman. Aspek
penyelidikan ilmiah dalam Logika empirisme mencakup.
2.3.3.1 Induksi
Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Metode berpikir induktif adalah
20

metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena yang ada,
maka disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena perlu proses penalaran yang
ilmiah dalam penalaran induktif.
Pengertian fenomena sebagai landasan induktif harus diartikan sebagai data maupun
sebagai pernyataan-pernyataan yang tentunya bersifat factual. Sehingga induksi dapat
berasal dari fenomena yang berbentuk fakta atau berbentuk pernyataan–pernyataan
(proposisi-proposisi). Pendekatan induktif adalah pendekatan yang dilakukan untuk
membangun sebuah teori berdasarkan hasil pengamatan atau observasi. Suatu observasi
yang dilakukan berkali-kali akan membentuk sebuah pola tertentu. Dari pola tersebut akan
lahir hipotesis sementara atau hipotesis tentatif. Hipotesis yang terbentuk berasal dari pola
pengamatan yang dilakukan. Setelah dilakukan berulang-ulang, barulah diperoleh sebuah
teori. Langkah penelitian seperti ini disebut sebagai pendekatan ’dari bawah ke atas (bottom
up)’.
2.3.3.2 Deduksi
Tahap kedua dalam penyelidikan ilmiah, kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik
melalui induksi dipergunakan sebagai premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-
pernyataan tentang observasi yang pertama. Aristoteles memberikan suatu pembatasan
yang penting pada macam-macam pernyataan yang dapat digunakan sebagai premis-
premis dan kesimpulan dari penalaran deduktif dalam ilmu. Dia hanya memperbolehkan
jenis pernyataan-pernyataan ilmiah tersebut yang menegaskan bahwa sebuah kelas
dimasukkan dalam sebuah kelas yang kedua atau yang dikeluarkan dari kelas kedua
tersebut. Jika “S” dan “P” di pilih untuk mewakili dua kelas pernyataan-pernyataan yang
diperbolehkan oleh Aristoteles adalah jenis pernyataan-pernyataan seperti tampak pada
table berikut.

Tipe Pernyataan Hubungan

A Semua “S” adalah “P” “S” termasuk seluruhnya dalam ”P”


E Bukan “S” adalah “P” “S” tidak termasuk selurunya dalam ”P”
I Beberapa “S” adalah “P” “S” termasuk sebagian dalam ”P”
O Seberapa “S” adalah “P” “S” tidak termasuk sebagian dalam ”P”

Keterangan:
21

A = pernyataan universal afirmatif, contoh : semua manusia adalah fana


E = pernyataan universal negatif, contoh : tak seorang pun manusia adalah abadi
I = pernyataan khusus afirmatif, contoh : sebagian manusia adalah kaya
O = pernyataan khusus negatif , contoh : beberapa manusia adalah tidak kaya
S = subjek atau pokok kalimat
P = predikat atau sebutan kalimat
Sebagai suatu istilah penalaran, deduksi adalah suatu proses penalaran (berpikir)
yang bertolak dari proposisi yang telah ada yang menuju sebuah proposisi baru yang
menjadi sebuah kesimpulan. Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang
menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam
bagian-bagiannya yang khusus.
Pendekatan deduktif adalah pendekatan secara teoritik untuk mendapatkan
konfirmasi berdasarkan hipotesis dan observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Suatu
hipotesis lahir dari sebuah teori, lalu hipotesis ini diuji dengan dengan melakukan beberapa
observasi. Hasil dari observasi ini akan dapat memberikan konfirmasi tentang sebuah teori
yang semula dipakai untuk menghasilkan hipotesis. Langkah penelitian seperti ini biasa juga
disebut pendekatan ‘dari atas ke bawah (top down)’.

3. PENUTUP
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : berpikir alamiah
dan berpikir ilmiah. Dalam proses berpikir alamiah, pola penalaran didasarkan pada
kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Di sisi lain, dalam proses berpikir
ilmiah, pola penalaran didasarkan pada sasaran tertentu secara teratur dan sistematis.
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu agar
sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan yang obyektif (Suriasumantri,
2005). Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan
sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh dalam proses penyelidikan/inquiri.
Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan
sarana berpikir ilmiah melalui model penyelidikan ilmiah, maka tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
22

Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana
berpikir ilmiah berupa: bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika (Yuwono,
1994)). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses
berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang
pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode
ilmiah. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan
penalaran induktif dan deduktif. Fungsi sarana berpikir ilmiah adalah untuk membantu
proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif.

DAFTAR RUJUKAN

Castillejo, David. 1982. The Formation of Modern Objectivity. Madrid: Ediciones de Arte y
Bibliofilia
Dewey, John .1910. How We Think, D.C. Heath, Lexington, MA, 1910. Reprinted, Prometheus
Books, Buffalo, NY, 1991.
Gardner, Howard.1987. The Minds New Science: A History of the Cognitive Revolution. New
York: Basic Books.
Haack, Susan. 1993. Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology, Blackwell
Publishers, Oxford, UK.
Hanson, Norwood Russell. 1958. Patterns of Discovery, An Inquiry into the Conceptual
Foundations of Science, Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan.
Kuhn, Thomas S.. 1996. The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago
Press, , 3° ed. ISBN 0-226-45808-3
Lasiyo dan Yuwono. 1994. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Megill, Allan. 1994. Rethinking Objectivity. London: Duke UP
Miller, G. A. 2003. The cognitive revolution: a historical perspective. Trends in Cognitive
Sciences, 7, 141-144.
Moleong, Lexy, J. 2005 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Nozick, Robert. 2001. Invariances: the structure of the objective world. Cambridge: Harvard
UP,.
23

Popper, Karl. R.. 1972. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Oxford University
Press, , trade paperback, 395 pages, ISBN 0-19-875024-2 , hardcover is out of print. See
libraries.
Rescher, Nicholas. 1977. Objectivity: the obligations of impersonal reason. Notre Dame:
Notre Dame Press
Rorty, Richard. 1991Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University
Press,

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai