Anda di halaman 1dari 11

Dampak

negatif energi geothermal terhadap lingkungan



Oleh Bosman Batubara


Yogyakarta, November 2014
Draft Kertas Kerja II
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
Dokumen ini dibuat sebagai respons terhadap gerakan warga yang menolak
energi geothermal di Indonesia, terutama pasca dialog nasional di Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat pada pertengahan Oktober 2014. Dalam dialog itu hadir
berbagai kelompok warga yang mengkhawatirkan dampak geothermal, seperti
tuan rumah warga di Lereng Gunung Ciremai, warga dari Lereng Gunung Slamet,
warga dari Lereng gunung Salak, warga dari Kamojang, dan warga dari Garut.
Diskusi terfokus memberikan kepercayaan kepada FNKSDA untuk menyusun
kertas kerja dengan tajuk Dampak negatif energi geothermal yang merupakan
bentuk tertulis dari material presentasi penulis dalam Dialog Nasional tersebut.
Keterangan Foto: Titik yang sama diambil dalam waktu yang berbeda. Terlihat
danau menjadi lebih luas karena adanya amblesan pada tanah (Sumber: Allis,
2000).


Ringkasan
Tulisan ini menampilkan tiga dampak negatif sistem energi geotermal, yaitu
fracking dan gempabumi minor, pencemaran air, serta amblesan.
Fracking adalah singkatan dari hydraulic fracturing, yaitu sebuah cara yang
dipakai dalam ekstrasi energi geothermal dan gas untuk memperbesar
permeabilitas (kemampuan melalukan fluida) batuan dengan tujuan
meningkatkan nilai keekonomisan sebuah lapangan pembangkit geothermal.
Namun, fracking dapat menyebabkan terjadinya gempabumi minor karena
menurunkan kohesivitas (daya ikat) batuan. Injeksi fluida ke dalam reservoir
(batuan sarang) menekan reservoir sehingga mengalami pergerakan (slip)
karena gaya gesek statis (static friction) nya terlampaui. Terjadinya slip pada
batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi.
Gempabumi yang dipicu oleh fracking umumnya berada di bawah magnitude 5
skala Richter. Kasus Basel di Swiss memperlihatkan gempabumi yang terjadi
karena proses fracking ini memiliki magnitude 3,4 skala Richter dan cukup untuk
membuat plester bangunan retak-retak. Sebagai bentuk pertanggungjawaban,
maka perusahaan geothermal di Basel GeoPowerBasel, melalui skema asuransi,
harus membayar ganti rugi kepada warga dengan nilai sekitar 7 juta Dollar AS,
dan penutupan lapangan geothermal ini. Secara umum, ada empat mekanisme
pembentukan gempabumi mikro yang terjadi karena adanya slip dalam sistem
energi geothermal yang menggunakan fracking, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori;
2)penurunan suhu; 3)perubahan volume karena injeksi atau produksi dan; dan
4)alterasi kimia pada permukaan rekahan.
Pencemaran air terjadi karena larutan hidrothermal mengandung kontaminan
seperti Arsenik, Antimon, dan Boron. Arsenik (As) adalah penyebab terjadinya
kanker pada manusia. Ia berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan
kanker di lokasi pemukiman yang tepapar terhadap kandungan As yang tinggi
dalam air minum. Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan
karakter yang sama dengan As. Boron (B) dalam konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan permasalahan pada kesehatan manusia seperti menurunnya
tingkat kesuburan. As, Sb, dan B, adalah material yang terdapat secara alamiah,
namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal,
menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan. Kasus
kontaminasi ini terjadi di Lapangan Geothermal Balcova, Turki.
Ambelasan karena sistem energi geothermal terjadi karena adanya ekstraksi
panas (dalam bentuk gas) pada kedalaman yang relatif dangkal dari sumur
ekstraksi geotermal. Kasus amblesan seperti ini terjadi di lapangan geothermal
Wairakei, Selandia Baru. Ekstraksi telah menyebabkan menurunnya tekanan di
dalam formasi batuan sekitar 25 bar. Amblesan yang terjadi yang telah mencapai
antara 140,5 m pada 1997, dan diperkirakan masih akan terus berlangsung
dengan kecepatan 200 mm/tahun dengan prediksi akan mencapai 202 m pada
2050.


Fracking dan gempa minor


Kasus yang terjadi di Basel, Swiss, adalah contoh bagaimana gempabumi minor
dipicu oleh aktivitas hydraulic fracturing di lapangan panas bumi. Penduduk
Basel memiliki trauma kolektif yang buruk terhadap gempa bumi karena pada
1356 kota ini hampir seluruhnya hancur digoyang oleh gempa bumi dengan
kekuatan 6,5 skala Richter. Pada 2006 yang lalu, tampaknya pengalaman gempa
bumi di masa lalu ini terproyeksikan kembali ke dalam kesadaran masyarakat
Basel. Warga kota merasa sangat khawatir dengan adanya beberapa aktivitas
seismik yang menyebabkan bangunan mereka rerak-retak. Polisi dan pemadam
kebakaran menerima ratusan telfon dari penduduk yang mengkhawatirkan
keadaan.
Peristiwa adanya aktivitas seismik ini dipicu oleh aktivitas pada sebuah proyek
geothermal yang mengekstraksi panas dari suatu kedalaman tertentu di perut
bumi dan kemudian menyalurkannya menjadi energi. Untuk mengetahui
bagaimana terjadinya gempa bumi karena adanya sistem energi panas bumi,
maka langkah pertama tentu saja adalah memahami bagaimana sistem kerja
ekstraksi panas dari dalam Bumi pada sistem geothermal.
Sumur produksi berfungsi mengalirkan gas/fluida panas dari dalam Bumi ke
permukaan. Di permukaan, panas tersebut berfungsi menggerakkan turbin yang
menghasilkan energi. Di sisi lain, karena diambil terus-menerus, tentu saja fluida
dalam batuan suatu ketika akan habis. Untuk mengantisipasinya maka dibuatlah
sumur injeksi. Melalui sumur injeksi, fluida dialirkan ke dalam perut Bumi,
bersentuhan dengan batuan panas, mengalami kenaikan suhu, dan kemudian
dialirkan kembali ke permukaan melalui sumur produksi, biasanya dalam bentuk
uap. Uap inilah yang dipakai memutar turbin untuk menghasilkan energi. Uap air
yang telah dingin berubah menjadi fluida dan kembali disuntikkan ke dalam
perut Bumi melalui sumur injeksi. Begitu seterusnya berputar. Itu sebabnya
mengapa energi panas bumi disebut energi yang renewable (terbarukan).
Tidak sulit bagi para engineer ketika berhadapan dengan sistem panas bumi
alami dan mengeksraksinya dari perut Bumi. Masalah bermula ketika cadangan
sistem panas bumi yang ada tidak mencukupi untuk diproduksi dengan skala
komersial. Untuk memproduksi energi geothermal dalam skala komersial, tentu
saja kuantitas menjadi penting. Kuantitas pada energi geothermal ini tergantung
pada setidaknya dua hal. Pertama, fluida yang cukup dalam siklus injeksi-
produksi. Dan kedua, tentu saja kemampuan batuan yang panas di dalam Bumi
untuk melalukan fluida (permeability).
Dalam beberapa kasus proyek energi panas bumi ini ada kebutuhan untuk
meningkatkan kapasitas alami sebuah sistem geothermal (Enhanced Geothermal
System/EGS). Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas
batuan dan volume fluida yang berada dalam siklus. Teknologi EGS pada
dasarnya dikembangkan untuk menjawab kekurangan kapasitas sebuah sistem
geothermal alami. Atau dengan kata lain, membuat sebuah sistem geothermal
yang tidak ekonomis menjadi ekonomis dengan meningkatkan kapasitas sistem
bawah tanah sebuah sistem energi panas bumi melalui rekayasa sebuah kondisi
bawah permukaan menjadi sistem energi geothermal komersial.
Peningkatan kapasitas sistem geothermal alami secara teknis dapat dilakukan
dengan pusparagam cara. Kalau berhadapan dengan reservoir (batuan sarang
3

tempat fluida di bawah tanah) yang panas tetapi memiliki permeabilitas yang
rendah, maka para engineer merekayasa teknik yang disebut hydraulic fracturing.
Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir
meningkatkan permeabilitas batuan sarang. Ini hanyalah salah satu teknik yang
sering dipakai untuk meningkatkan permeabilitas. Kajian kritis menyebut
hydraulic fracturing dengan sebutan fracking. Fracking bukan hanya digunakan
dalam proses injeksi pada sistem geothermal, tetapi juga dalam proses ekstraksi
gas dari batuan sarangnya (Franco et al. 2013).
Permasalahannya, fracking berarti penurunan kohesivitas (daya ikat) pada
batuan. Bayangkan saja sebuah batuan yang keras dan kompak kemudian ditkan
agar timbul rekahan. Tentu saja kekuatan si batu akan berkurang. Dalam kasus
sistem geothermal, pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan
tekanan yang lebih jauh akan membuat reservoir terfasilitasi untuk mengalami
pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction)-nya terlampaui.
Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi.
Pada pirinsipnya gempabumi hampir selalu berasosiasi dengan patahan yang
aktif bergerak (slip) dan melepaskan energi pada kulit bumi. Faktual, bagi orang
yang melakukan studi tentang patahan, maka rasanya tidak ada satu titik pun di
permukaan Bumi kita ini yang tidak ada patahan di bawahnya. Hanya saja yang
menjadi pembeda adalah dimensi dan aktivitas patahan terkait: seberapa
panjang, seberapa lebar, serta seberapa aktif (sering, jauh, dan dekat)
pergerakannya.
Dalam konteks EGS, apabila terjadi slip, maka ia akan menyebabkan gempa bumi
meskipun dalam skala yang kecil (microearthquake), di bawah 4 atau 5 skala
Richter. Selain kasus Basel pada 2006, ada beberapa kasus lain yang sudah
terkenal di dalam jagad pergeologian untuk kasus gempa bumi mikro yang dipicu
oleh EGS ini. Yaitu di lapangan Geyser Amerika Serikat, Cooper Basin di Asutralia,
dan di Soultz-sous-Forts, Perancis. Magintude gempa bumi mikro yang terjadi
secara berurutan berada pada kisaran angka 3.4, 4.6, 3.7, dan 2.9 pada skala
Richter.
Ada 4 mekanisme pembentukan gempabumi mikro yang terjadi karena adanya
slip dalam EGS, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori; 2)penurunan suhu; 3)perubahan
volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4)alterasi kimia pada permukaan
rekahan.
Kenaikan tekanan pori batuan terjadi karena adanya injeksi fluida ke dalam
reservoir (batuan sarang). Penurunan suhu dapat memicu aktivitas seismik
karena interaksi fluida yang diinjekasikan dengan reservoir batuan panas. Hal ini
dapat dipahami karena terjadinya kontraksi pada permukaan rekahan di
reservoir. Dalam sistem injeksi, yang disuntikkan adalah fluida yang lebih dingin
karena semua sistem dalam energi panas bumi tujuan utamanya adalah
mengekstraksi panas dari perut Bumi, maka tidak mungkin disuntikkan fluida
yang lebih panas dari resevoir.
Perubahan volume dalam kasus ini menyebabkan gempa bumi karena adanya
ekstraksi fluida dariatau diinjeksikan ke dalamreservoir. Hal ini dapat
menyebabkan reservoir mengalami regangan atau kompaksi. Atau dalam kalimat
lain, proses ini mengubah kondisi tegangan lokal yang ada. Dan terakhir, alterasi
kimia akibat injeksi fluida dari luar ke dalam reservoir dapat menyababkan
4

terjadinya reaksi geokimia pada permukaan rekahan, dan lebih jaun


menyebabkan terjadinya slip seismik. Kondisi-kondisi mikro ini dapat
berkembang cepat menjadi makro apabila proyek EGS ini berada di daerah yang
memiliki patahan dengan intensitas tinggi. Sebagai catatan, proyek geothermal
banyak berada pada region Bumi yang memiliki intensitas patahan yang tinggi.
Dalam kasus Basel, proyek Deep Heat Mining dimulai pada 1996 oleh GeoPower
Basel (GPB). Basel adalah salah satu pusat industri kimia dan parmasi di Eropa.
Aglomerasi kota ini memiliki populasi sekitar 700.000 jiwa. Pada 2006, sumur
injeksi untuk keperluan geothermal di Basel dibor dengan kedalaman mencapai
5 km. Aktivitas fracking dalam sistem geothermal Basel ini memicu gempabumi
lokal antara 2,7-3,4 skala Richter. Aktivitas ini kemudian ditutup karena warga
memprotes karena plester bangunan rumah mereka mengalami retak-retak. GPB
sendiri, melalui skema asuransi, pada akhirnya harus membayar sebanyak 7 juta
Dollar AS terhadap kerugian yang timbul karena gempa minor akibat aktivitas
fracking mereka (Kraft et al. 2009).
Dalam kasus di Indonesia, perlu dilakukan penelitian yang sistematis untuk
mengetahui apakah aktivitas pengeboran geothermal menyebabkan terjadinya
gempa bumi. Namun, narasi yang muncul dari kalangan warga menunjukkan
bahwa hal ini sudah menjadi kekhawatiran. Dalam sebuah acara dialog nasional
2 hari (15-16 Oktober 2014) di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat,
hal ini terungkap.
Dialog ini adalah forum warga yang tinggal di lokasi di sekitar area industri
geothermal. Selain warga tuan rumah dari Cigugur, dalam kesempatan ini juga
ada perwakilan dari Lereng Gunung Sumbing di Jawa tengah, warga dari
Kamojang, dan warga dari lereng Gunung Salak, Bogor. Perwakilan warga lereng
Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi beberapa kali
gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geothermal,
namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya.
Pencemaran air
Sistem energi geothermal juga berdampak negatif terhadap kualitas air.
Pencemaran ini dapat menimpa air tanah dan kemudian bisa lebih lanjut juga
menimpa air permukaan. Salah satu contoh untuk ini adalah kasus dari Balcova,
Turki (Aksoy et al. 2009).
Tukri adalah salah satu area di Bumi kita yang secara seismik sangat aktif.
Evolusi geologi dan tektoniknya didominasi oleh pemekaran dan penutupan
Samudra. Kondisi tektonik aktif dan perbatasan lempeng-lempeng Bumi ini di
Turki ditandai dengan munculnya berbagai fenomena vulkanik. Total ada sekitar
1000 mata air panas di Turki.
Di bidang energi, Turki adalah salah satu negara pengimpor bahan bakar.
Produksi dalam negerinya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan dalam
negerinya. Pada 2000, Turki memproduksi 27,67 juta ton oil equivalen (Mtoe) di
dalam negeri dan mengkonsumsi 79,46 Mtoe. Pada 2020, diperkirakan Turki
akan memproduksi 85 Mtoe dan mengkonsumsi 318 Mtoe.
Energi geothermal adalah salah satu sumber energi penting bagi Turki. Negara
ini menduduki peringkat ke-7 di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki
potensi energi geothermal terbesar. Secara total ada 992 Mega Watt
5

thermal/MWt) energy geothermal yang sudah berproduksi di Turki (Baba and


Armannsson 2006). Lapangan Geothermal Bacova (LGB) adalah salah satunya,
terletak di bagian barat Turki.
Kontaminan di LGB adalah Arsenic, Antimon, dan Boron. Arsenik (As) sudah
lama dikenal sebagai penyebab terjadinya kanker pada manusia. Ia
berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman
yang tepapar terhadap kandungan As yang tinggi dalam air minum. Standar
World Health Organization (WHO) terhadap kandungan As dalam air minum
adalah 0,05 mg/L hingga 0,01 mg/L. Nilai ini sudah diadopsi di berbagai negara.
Meskipun, standar ini masih dipertanyakan karena dianggap masih terlalu tinggi.
Di Amerika Serikat misalnya, disimpulkan bahwa kadar As di dalam air minum
haruslah di bawah 0,01 mg/L (Webster and Nordstrom 2003). Sementara di
Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang
Pengawasan Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan As
dalam air minum adalah 0,01 mg/L (Menkes 2002).
Antimon (Sb) adalah elemen langka yang terbentuk dalam alterasi batuan karena
proses hidrotermal. Antimon memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan
karakter yang sama dengan As. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA)
memutuskan kadar maksimum Antimon dalam air minum adalah 6 g/L. Di
Turki standarnya adalah 5 g/L (Aksoy et al. 2009). Sementara di Indonesia,
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan
Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan Antimon dalam
air minum adalah 0,001 mg/L (Menkes 2002).
Boron (B) adalah kontaminan lain yang hadir dalam cairan geothermal.
Konsentrasi Boron yang tinggi dapat menyebabkan permasalahan pada
kesehatan manusia (Aksoy et al. 2009), salah satunya adalah menurunnya
tingkat kesuburan (US Environmental Protection Agency 2004, 86). Di Indonesia,
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan
Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan Boron dalam air
minum adalah 0,1 mg/L (Menkes 2002).
Baik As, Sb, dan B, ketiganya adalah material yang terdapat secara alamiah.
Namun, proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit
geothermal menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan.
Gambar di bawah, bersama dengan penjelasan dalam teks, memperlihatkan
secara skematik bagaimana proses kontaminasi air tanah dan air permukaan
terjadi.


Figure 1: Skema kontaminasi air tanah dan permukaan di LGB, Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).

Ada empat permasalahan teknikal yang menyebabkan kontaminasi air terjadi


dalam kasus LGB di Turki. Pertama, ektraksi berlebihan air tanah telah
menyebabkan penyebaran air tanah yang terkontaminasi baik secara horizontal
maupun vertikal. Over ekstraksi ini, secara matematis, adalah fungsi dari total air
yang diekstraksi dari aquifer (batuan sarang yang menyimpan dan melalukan
air) dan kedalaman sumur bor. Kedua, jeleknya casing (selubung bor) beberapa
sumur geothermal, baik sumur produksi dan sumur injeksi. Casing yang jelek ini
menyebabkan bagian-bagian aquifer yang tidak terisolasi dari fluida yang ada di
sumur produksi dan injeksi. Ketiga, praktik re-injeksi yang tidak tepat dapat
menyebabkan tersebarnya air yang berasal dari proses hidrotermal di dalam
lapisan aquifer, dan kemudian naik ke permukaan melalui sumur-sumur pompa.
Keempat, pembuangan air bekas geothermal ke aliran permukaan adalah faktor
lain yang menyebabkan beredarnya air yang sudah terkontaminasi secara
meluas di permukaan.


Figure 2: Lokasi pengambilan sample air di LGB (Sumber: Aksoy et al. 2009).



Table 1: Ambang batas 3 kontamina untuk air minum di Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).


Ambang batas di Turki [2005]

Elemen

Unit

[g/L ]

As

10

Sb

1000

Table 2: Hasil uji kontaminan di 22 titik di LGB (Diolah dari: Aksoy et al. 2009). Warna merah
adalah titik yang melebihi ambang batas.
Hasil uji kontaminasi di 22 titik
Titik

As

Sb

[g/L ]

[g/L ]

[g/L ]

BC-1

5,7

0,36

1511

BC-2

0,7

1,13

410

BC-3

1,1

1,13

4423

BC-4

1,2

1,09

5244

BC-5

4,3

1,19

2889

BC-6

2,6

0,15

4108

BC-7

3,3

0,14

643

BC-8

1,9

0,06

2117

BC-9

16,3

4,68

3179

BC-10

1,1

0,13

70

BC-11

26,5

25,59

49

BC-12

5,1

0,66

494

BC-13

1,1

0,09

1220

BC-14

1,8

0,12

580

BC-15

1,7

0,59

2988

BC-16

2,2

0,79

4149

BC-17

3,2

1,32

4505

BC-18

170,1

1,48

8463

BC-19

11,5

5,82

4349

BC-20

10,8

2,54

1416

BC-21

17,9

0,44

5168

BC-22

12,9

<20

Dari table 1 dan 2 terlihat bahwa kontaminasi yang melewati ambang batas di
LGB terjadi di tujuh titik untuk As; satu titik untuk Sb; dan 15 titik untuk Boron.
Amblesan
Pembangkit listrik Wairakei, Selandia Baru, dibangun pada 1958 dan sejak itu
memproduksi 150MWe (Megawatt electric). Massa air panas yang diekstrak
dari batuan terus meningkat hingga mencapai maksimumnya sebanyak 2300
kg/detik di tahun 1965. Namun pada 1970 ekstraksi tinggal hanya 1700 200
kg/detik. Sampai pada 1990-an, injeksi fluida ke dalam batuan tidaklah
susbtansial. Ekstraksi ini telah menyebabkan menurunnya tekanan di dalam
formasi batuan sekitar 25 bar. Sumur-sumur memproduksi panas umumnya dari
kedalaman 500-1000 m di bawah permukaan (Allis 2000; dan Bromley et al.
2010).
Amblesan yang terjadi yang telah mencapai antara 140,5 m pada 1997 menjadi
amblesan terbesar yang pernah ada di sektor industri ekstraksi di dunia.
Amblesan lain yang cukup dikenal adalah amblesan Wilmington karena ektraksi
minyak dan gas, amblesan Lembah San Joaquin di California karena ekstraksi air
tanah, dan amblesan di Mexico City juga karena ekstraksi air tanah. Dalam kasus
Wairakei, amblesan masih terus berlangsung dengan kecepatan 200 mm/tahun
dan diperkirakan akan mencapai 202 m pada 2050 (Allis 2000).
Penyebab paling masuk akal dari amblesan ini adalah adanya ekstraksi fluida
dari sumur ekstraksi geothermal. Teori konsolidasi sederhana Terzhagi
memperlihatkan bahwa tekanan pori yang menurun dengan tekanan efektif yang
naik adalah proporsional dengan kompresibilitas dan ketebalan lapisan yang
mengkompaksi (Allis 2000). Artinya, dengan beban yang tetap sementara
tekanan di dalam pori menurun, maka amblesan akan terjadi.




9

Tentang Penulis
Bosman Batubara adalah alumnus Jurusan Teknik Geologi UGM (2005) dan
Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU
Brussel, Belgia (2012) dengan predikat cum-laude. Pernah bekerja sebagai
exploration geologist di PT KPC. Terlibat advokasi akar rumput beberapa kasus
agraria, seperti Lumpur Lapindo di Porong, konflik tambang emas PT Sorikmas
Mining di Mandailing Natal, dan konflik lahan petani versus TNI AD di Urutsewu,
Kebumen. Sejauh ini sudah terlibat dalam menulis beberapa buku: (1) Zuber, M.
2010. Titanic Made by Lapindo (diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa
Inggris oleh B. Batubara dan S. Masykur). Lafadl Initiatives dan Taiwan
Foundation for Democracy. Yogyakarta. Indonesia; (2) Prasetia, H. dan Batubara,
B. (editor dan kontributor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan
dan Masyarakat Sipil, Desantara Foundation, Depok; (3) Batubara, B. dan Utomo,
P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas
di Sidoarjo, INSIST PRESS, Yogyakarta; (4) kontributor dalam Novenanto, A.
(editor) 2013. Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial Atas Kasus
Lapindo (Sebuah Bunga Rampai). Kanisius dan MediaLink. Indonesia; (5)
Batubara, B., (akan terbit). Mengusir PT Sorikmas Mining. Komunitas Kembang
Merak; dan (6) Batubara, B. (editor, akan terbit). Komitmen Sosial Seni dan Sastra
dalam Menegakkan Kedaulatan Tanah Petani Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah.
Selain itu, beberapa tulisannya dimuat dalam publikasi nasional dan
internasional. E-mail: bosman.batubara@gmail.com


















10

Acuan Pustaka
Aksoy, N., Simsek, C., and Gunduz, O., 2009. Groundwater contamination
mechanism in a geothermal field: A case study of Balcova, Turkey. Journal of
Contaminant Hydrology, 103, pp. 13-28. Doi: 10.1016/j.jconthyd.2008.08.006.
Allis, R.G., 2000. Review of subsidence at Wairakei field, New Zealand.
Geothermics, 29, 455-478.
Baba, A., and Armannsson, H., 2006. Enviromental impact of the utilization of
geothermal areas. Energy sources, Part B, 1, 267-278. Doi:
10.1080/15567240500397943.
Bromley, C., Currie, S., Ramsay, G., Rosenberg, M., Pender, M., OSullivan, M.,
Lynne, B., Lee, S., Brockbank, K., Glynn-Morris, T., Mannington, W., and Garvey, J.,
2010. Tauhara stage II geothermal project: Subsidence report. GNS Science
Consultancy Report 2010/151.
Franco, J., Martinez, A.M.R., and Feodoroff, T., 2013. Old story, new threat:
Fracking and global land grab. Fracking research team, TNI Agrarian justice
programme.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan
Kualitas Air Minum.
Kraft, T., Mai, P.M., wiemer, S., Deicmann, N., Ripperger, J., Kstli, P., Bachmann, C.,
Fch, D., Wssner, J., and Giardini, D., 2009. Enhanced geothermal systems:
Mitigating risk in urban area. Eos, 90(32), 273-280.
US Environmental Protection Agency, 2004. Toxical review of Boron and
compounds. CASE No. 7440-42-8.
Webster., J., G. and Nordstrom, D.K., 2003. Geothermal Arsenic, dalam Welch A.,
H. and Stollenwerk, K.G. (editors), 2003. Arsenic in groundwater. Kluwera
Academic Publisher, Boston, p.: 101-125.

11

Anda mungkin juga menyukai