Anda di halaman 1dari 415

Membangun Poros Maritim Dunia

Dalam Perspektif Tata Ruang Laut


Membangun Poros Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut

S
ejarah mencatat, kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya tertoreh
pada abad ke-7 dan Majapahit abad ke-14. Siklus historis tersebut
mengindikasikan kebangkitan maritim terjadi setiap tujuh abad.
Sekarang abad ke-21 merupakan momentum untuk membangkitkan
kembali kejayaan maritim.
Apalagi Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa
berlimpah-ruahnya kekayaan sumber daya alam seperti ikan, minyak dan
gas, keelokan alam bahari, jasa transportasi laut, dan lain-lain. Secara
politis, dalam berbagai kesempatan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga
ingin mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.
Lalu, bagaimana tata ruang laut dapat membantu mewujudkan cita-
cita mulia tersebut? Ada beberapa alasan utama tata ruang laut membantu
menegakkan 5 pilar poros maritim. Tata ruang laut mengalokasikan
ruang laut yang strategis untuk kepentingan sosial, ekonomi, budaya,
dan Hankam.
Alasan lain, tata ruang laut dapat menyinergikan antara pemanfaatan
ekonomi dan perlindungan (konservasi) sumber daya laut. Tata ruang
laut juga mampu menggerakkan investor dan menyambungkan potensi
antarwilayah dalam konektivitas ekonomi, sumber daya, beserta
infrastrukturnya. Di samping itu, tata ruang laut di wilayah perbatasan
dapat memberikan kekuatan diplomasi negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasional. Lainnya, tata ruang laut juga dapat melindungi
adat budaya dan kearifan lokal di laut.
Di buku ini, Anda juga dapat menyimak pengalaman Cina, Norwegia,
Subandono Diposaptono
AS, Grenadine, dan Eropa dalam merencanakan tata ruang laut. Hasilnya,
negara mendapat pemasukan devisa yang tinggi, menciptakan ekonomi
baru, meredam konflik antarpengguna, dan melestarikan lingkungan.

Dicetak oleh:
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut
Direktorat Perencanaan Ruang Laut,
Gedung Mina Bahari III Lt. 9
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16
Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059
Membangun Poros
Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut

Subandono Diposaptono

2017
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Membangun Poros Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut

Cetakan I : 2015
Cetakan II : 2016
Cetakan III : 2017

Penulis:
Subandono Diposaptono

Penyunting:
Muhammad Budiman

Design Graphic:
M Kholid Afandi dan Deky Rahma Sukarno

Hak cipta dilindungi Undang-undang


dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Membangun Poros Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
xvi + 398 halaman, 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-979-1291-55-2
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA

Sambutan
Menteri Kelautan dan Perikanan

P
enindakan illegal, unregulated, and unreported fishing (IUU Fish-
ing atau penangkapan ikan secara ilegal, tak sesuai regulasi, dan
tak dilaporkan) menjadi salah satu prioritas bagi Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Alasannya, kegiatan penjarahan ikan di laut
kita dalam beberapa tahun terakhir ini semakin marak. Menurut kajian
FAO dan World Bank (2008), kerugian ekonomi akibat pengelolaan pe-
nangkapan ikan yang buruk, ketidakefisienan, dan kelebihan tangkap
(overfishing) di seluruh dunia mencapai 50 miliar dolar AS (sekitar Rp
675 triliun) per tahun. Angka ini termasuk kerugian akibat IUU Fishing
di Indonesia.
Pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk mengelola potensi
sumber daya laut secara berkelanjutan, berperikemanusiaan, dan
berkeadilan. Baik dalam perikanan tangkap, perikanan budidaya, wisata
bahari, mineral, migas, maupun konservasi ekosistem (terumbu karang,
mangrove, dan lamun) dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut perlu
diatur sehingga antarpengguna mendapat kepastian hukum dalam
berusaha dan tidak saling berebut dalam memanfaatkan ruang laut.
Di sisi lain kita juga harus melindungi masyarakat adat yang secara
turun-temurun telah memanfaatkan perairan laut untuk kebutuhan
hidupnya. Di sinilah pentingnya rencana tata ruang laut dibuat. Ruang
laut yang memiliki ekosistem terumbu karang sebagai rumah untuk
ikan-ikan misalnya, tentu akan lebih cocok jika dimanfaatkan seba-
gai kawasan konservasi dan wisata selam. Sebaliknya, lokasi jalur lalu
lintas kapal atau pipa/kabel bawah laut harus berada di luar kawasan
terumbu karang agar tidak mengganggu kelestarian terumbu karang
di bawahnya.

iv
Di berbagai negara maju, rencana tata ruang laut telah memberi
berbagai manfaat, baik secara lingkungan hidup, sosial, hukum, mau-
pun ekonomi. Di Tiongkok misalnya, pemerintahnya mendapatkan
pemasukan devisa yang sangat besar dari jasa pemanfaatan tata ruang
laut.
Kini, pemerintah Indonesia sedang dan terus berusaha
menyelesaikan rencana tata ruang lautnya. Karena itulah pada
kesempatan yang baik ini, saya memberi apresiasi kepada Sdr
Subandono Diposaptono yang telah menuangkan ide atau gagasan
melalui bukunya berjudul Mewujudkan Poros Maritim Dunia Dalam
Perspektif Tata Ruang Laut.
Kita harus memiliki strategi besar (grand strategy) untuk mewujud-
kan arahan Presiden Jokowi tentang Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Hal ini bisa dicapai jika budaya bahari dibangkitkan lagi seperti
halnya saat Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berjaya.
Bangsa Indonesia harus menoleh lebih tajam lagi mengenai
perikanan laut, perhubungan laut, pariwisata laut, produksi laut,
Hankam laut, kehidupan dasar laut, keindahan horison laut, dan
kelautan yang lain. Pengelolaan sumber daya laut ini akan lebih terarah
bila ada dukungan berbagai kebijakan salah satunya adalah tata ruang
laut, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah,
pemerintah provinsi, perguruan tinggi, dunia usaha, praktisi, dan
masyarakat dalam menyusun tata ruang laut. Dengan demikian,
pemerintah dan pemerintah provinsi dapat segera menyelesaikan
rencana tata ruang lautnya.
Selamat membaca. Semoga kita dapat segera mewujudkan cita-
cita bersama menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Jakarta, Februari 2016


Menteri Kelautan dan Perikanan

Susi Pudjiastuti


Pengantar Sekretaris Jenderal
Kementerian Kelautan dan Perikanan

K
ami menyambut baik dan memberi apresiasi terhadap terbitnya
buku berjudul Mewujudkan Poros Maritim Dunia Dalam Perspektif
Tata Ruang Laut yang ditulis oleh Subandono Diposaptono. Buku
ini hadir di saat yang tepat terkait visi Presiden Joko Widodo dalam
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Tata ruang laut memiliki andil cukup besar dalam mewujudkan
cita-cita mulia tersebut. Sebab, tata ruang laut memberikan arahan,
landasan, pedoman, dan dasar pijak bagi pengelolaan ruang laut yang
dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu.
Perencanaan tata ruang laut semacam ini dapat menjadi acuan
dan pedoman bagi semua pihak yang memanfaatkan ruang laut. Di
antaranya untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata,
kawasan konservasi, pertambangan mineral, minyak dan gas,
pelabuhan, jalur transportasi laut, serta jalur pipa dan kabel bawah
laut.
Selain itu, rencana tata ruang laut juga mampu memberikan
kepastian usaha dan investasi serta pelindung masyarakat nelayan
tradisional. Langkah ini dapat melindungi adat budaya dan kearifan
lokal di laut.
Kita juga dapat mencegah konflik antarpengguna tersebut. Konflik
serupa antara nelayan tradisional antarpulau dan antarprovinsi pun
dapat dihindari.
Melalui tata ruang laut, kita dapat menyambungkan potensi
antarwilayah dalam konektivitas ekonomi dan sumber daya beserta
infrastrukturnya sehingga akan muncul pertumbuhan-pertumbuhan
ekonomi baru.

vi
Lebih dari itu, rencana tata ruang laut juga dapat menjadi
pemersatu bangsa dan penegak kedaulatan. Dengan demikian
tata ruang laut di wilayah perbatasan dengan negara lain mampu
memberikan kekuatan diplomasi negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pada tahun
2016 nanti rencana tata ruang laut nasional dapat diselesaikan dan
sebagian besar provinsi di Indonesia dapat menyelesaikan rencana tata
ruang di tingkat provinsi. Karena itulah buku ini dapat menjadi referensi
bagi siapa saja yang ingin mendalami kegiatan rencana tata ruang laut.
Selamat membaca.

Jakarta, Februari 2016


Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan

Prof. Ir. Sjarief Widjaja, PhD, FRINA

vii
Sekapur Sirih Penulis

I
ndonesia memiliki hamparan laut lebih luas dari daratannya.
Dengan 2/3 dari total luas Indonesia, laut berfungsi sebagai ruang
hidup dan ruang juang. Sebagai ruang hidup, laut tidak bisa
dipisahkan dari daratan tempat manusia bermukim. Meski manusia
bermukim di daratan namun juga mempunyai ketergantungan
terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup sehat dan sejahtera memerlukan bahan makanan yang
berasal dari laut. Ikan laut dan rumput laut merupakan bahan makanan
yang bergizi tinggi untuk kesehatan, pertumbuhan fisik, serta
kecerdasan otak manusia.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, laut
dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan
modal dasar bagi pendapatan negara dan kesejahteraan warganya.
Laut juga penting sebagai ruang juang. Artinya, laut bermakna
penting bagi perjuangan mempertahankan kedaulatan dan kejayaan
suatu bangsa. Sejarah mencatat, kemampuan tentara Belanda dan
Inggris menguasai peperangan tertoreh melalui jalur laut.
Kerajaan Majapahit juga pernah berjaya lantaran menguasai laut
sampai ke Filipina dan Australia utara. Tak salah kalau para pendahulu
kita adalah pelaut ulung seperti yang tertuang dalam syair lagu Nenek
Moyangku Orang Pelaut. Berdasarkan pengalaman tempo dulu, untuk
meraih kedaulatan dan kejayaan bangsa Indonesia kita perlu memiliki
angkatan laut dan Alutsista yang kuat dan andal.
Laut sebagai ruang hidup dan ruang juang mutlak harus dirawat
dan dijaga, baik kedaulatan maupun sumber daya yang terkandung di
dalamnya. Salah satu upaya merawat dan menjaganya adalah dengan
melakukan penataan ruang laut.
Untuk menata ruang laut perlu dilakukan perencanaan baik spasial
(keruangan) maupun nonspasial secara komprehensif dan terpadu.
Komprehensif berarti perencanaan tersebut harus melihat berbagai
faktor seperti fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Sementara itu,
terpadu artinya perencanaan tersebut melibatkan antarsektor, wilayah,

viii
ekosistem, dan berbagai disiplin ilmu. Salah satu hasil perencanaan
spasial berupa rencana tata ruang laut.
Tata ruang laut adalah sebuah hasil perencanaan spasial
(keruangan) yang dapat digunakan sebagai pedoman, acuan, dan
arahan, serta dasar pijak pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga
menentukan keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
Keberhasilan tanpa perencanaan adalah sebuah kebetulan. Sebuah
kebetulan tentu saja sulit diulangi apalagi dalam jangka panjang.
Keberhasilan yang disertai dengan perencanaan adalah sebuah
pencapaian (achievement). Tanpa ada rencana, perubahan tidak dapat
diukur, bahkan tidak mudah diketahui.
Pertanyaannya adalah mau dibawa kemana tata ruang laut kita?
Pertanyaan tersebut relevan terkait dengan cita-cita Presiden RI Joko
Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Mari kita lihat faktanya. Secara nasional, Indonesia belum
mempunyai tata ruang laut nasional maupun tata ruang laut kawasan
di atas 12 mil di dalam perairan kepulauan. Di tingkat provinsi pun,
sampai saat ini baru ada lima provinsi (Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku Utara) yang telah
memiliki rencana tata ruang laut dalam bentuk Perda Rencana Zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengatur ruang laut sampai
12 mil, namun pengaturan ruang laut 0 – 4 mil masih terbatas pada
arahan pemanfaatan ruang dan belum dideliniasi hingga zona/sub
zona peruntukannya.
Padahal, tata ruang laut semacam ini menjadi dasar pengambilan
keputusan dalam mengelola sumber daya laut untuk berbagai
kepentingan; ekonomi, sosial, lingkungan (konservasi), dan pertahanan
keamanan. Dengan adanya tata ruang laut, pemanfaatan ruang laut
dilakukan berdasarkan kesesuaian peruntukan ruang dan daya dukung
lingkungannya.
Keakuratan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh
kelengkapan data dan informasi yang dibutuhkan. Data yang lengkap,
akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan inilah yang menentukan
tingkat keberhasilan dalam mengelola sumber daya kelautan.
Dasar laut yang memiliki keindahan dan keragaman terumbu

ix
karang beserta biota lautnya misalnya, akan lebih sesuai jika difungsikan
sebagai kawasan wisata bahari, konservasi, dan penangkapan ikan
secara terbatas dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Di sisi lain, kawasan laut yang memiliki lingkungan perairan laut
sangat sesuai untuk tumbuh dan berkembangnya ikan, akan lebih
menguntungkan jika dialokasikan sebagai tempat untuk kegiatan
budidaya perikanan.
Begitu juga halnya dengan kawasan perikanan tangkap, jalur
transportasi laut, pertambangan, pelabuhan, dan kawasan konservasi
perlu dialokasikan sesuai dengan potensi dan kondisi lingkungannya.
Dengan demikian, selain meningkatkan nilai tambah secara
ekonomi secara berkelanjutan, rencana tata ruang laut juga mampu
meminimalkan bahkan menghilangkan konflik pemanfaatan dan
konflik di antara para penggunanya.
Hal ini penting karena selama ini konflik kerap terjadi lantaran be-
lum adanya tata ruang laut. Di Bangka Selatan misalnya, pegiat lingku-
ngan dan nelayan terlibat konflik dengan pengusaha tambang timah.
Konflik serupa juga terjadi di Serang antara pegiat lingkungan
dan nelayan dengan penambang pasir laut. Tak hanya itu, di Sulawesi
Selatan, juga terjadi hal serupa antara pembudidaya rumput laut
dengan pengguna jalur transportasi laut.
Rencana tata ruang laut juga dapat mempromosikan pemanfaatan
ruang dan sumber daya laut secara efisien sehingga mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan. Rencana tata ruang laut juga
menjamin kelangsungan konektivitas ekologi dan jejaring kawasan
konservasi.
Tata ruang laut menjaga agar pola konektivitas tetap mampu
mendukung penambahan populasi dalam kawasan lindung serta
antara kawasan lindung dan habitat yang berdekatan. Tata ruang
laut diharapkan dapat melindungi dan mengamankan pola-pola
alami dari konektivitas berbagai macam spesies laut dengan tahapan
kehidupannya yang berbeda-beda.
Manfaat lain, memastikan tersedianya kamar bagi keanekaragam-
an hayati dan konservasi alam. Rencana tata ruang juga memberikan
kepastian hukum bagi pelaku usaha di perairan laut.


Tata ruang laut juga menjadi daya pikat dan daya ikat. Sebagai daya
pikat karena memberikan informasi berbagai potensi, nilai ekonomi,
nilai investasi, dan tingkat pemanfaatannya sehingga menciptakan
peluang investasi.
Sebagai daya ikat karena tata ruang laut dapat mengikat dan
memberikan kepastian hukum agar kegiatan atau usaha yang
dilakukan sesuai dengan peruntukan dan peraturan pemanfaatannya.
Dengan demikian tata ruang laut dapat mengurangi konflik,
menjaga keberlanjutan sumber daya hayati, dan mengurangi bahkan
menghilangkan degradasi lingkungan.
Pengalaman dari banyak negara menunjukkan, tata ruang laut
telah sukses mendulang kesejahteraan rakyat dan bangsanya. Di China
misalnya, pada tahun 2012 berhasil meraup devisa sebesar 9,68 miliar
Yuan dari hasil pemanfaatan lisensi perairan laut (sea use fee). Negeri
Tirai Bambu itu juga berambisi melebarkan kawasan budidaya laut
seluas minimal 2,6 juta hektare.
Berdasarkan diskusi singkat penulis dengan ahli tata ruang laut
dari Third Institute of Oceanography China Prof Zhou Qiulin, China telah
menyelesaikan tata ruang laut (marine functional zoning atau MFZ) baik
tingkat nasional, provinsi, maupun country (setingkat kabupaten/kota)
sejak tahun 2002.
Tidak hanya itu saja, setelah 10 tahun kemudian, tata ruang laut
tersebut juga ditinjau kembali. Kini, seluruh laut China telah diatur tata
ruangnya sesuai dengan peruntukannya masing-masing. Berkat tata
ruang laut itulah, negeri dengan populasi penduduk terbesar di dunia
itu menuai banyak manfaat, baik ekonomi, sosial, pertahanan, dan
lingkungan.
Indonesia sebenarnya juga dapat mengikuti jejak sukses tersebut.
Apalagi kita memiliki keunggulan komparatif yang tak dimiliki negara
lain, termasuk China. Bayangkan, menurut catatan Badan Informasi
Geospasial (2014), luas laut Indonesia adalah 6.315.222 km2 dengan
panjang pantai sekitar 99.093 km. Di dalamnya terkandung keragaman
jenis biota (biodiversity) yang sangat tinggi.
Tak hanya itu, potensi ikan di beberapa perairan juga melimpah.
Begitu pula dengan keindahan panorama dasar laut. Himpunan aneka

xi
jenis terumbu karang dengan ikan-ikan karang penuh warna menjadi
mozaik alam yang elok memikat. Kondisi ini menarik minat para
penyelam (diver) untuk menikmati keindahannya.
Di samping itu, dasar laut Indonesia juga memiliki 40 cekungan
minyak dan gas (Migas) yang memiliki cadangan minyak bumi sekitar
9,1 miliar barel. Jumlah cekungan ini setara dengan 70 persen dari total
cekungan Migas di seluruh Nusantara (ada 60 cekungan).
Secara geografis, letak Indonesia juga sangat strategis. Diapit oleh
dua samudra (Hindia dan Pasifik) serta dua benua (Asia dan Australia)
menjadikan laut kita ramai dilalui berbagai kapal niaga, kapal tanker,
kapal pesiar, dan lain sebagainya. Posisi silang yang sangat strategis
inilah yang kalau dapat dikelola secara baik maka akan menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tentu saja masih banyak
potensi lainnya yang menghampar di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil
yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Sejarah mencatat, generasi berbudaya maritim pernah menoreh-
kan kejayaan Nusantara tempo dulu. Dua kerajaan - Sriwijaya dan
Majapahit-- pernah mengendalikan pelabuhan internasional mulai dari
Asia, Australia, Eropa, dan Afrika. Luasnya wilayah kekuasaan ini lantaran
kedua kerajaan itu memiliki industri maritim melalui penguasaan
armada laut yang besar, kuat, dan canggih.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan maritim pada abad ke-
7 dan Majapahit abad ke-14. Siklus historis tersebut mengindikasikan
adanya kebangkitan maritim setiap sekitar 7 abad. Sungguh saat ini
(abad ke-21) merupakan momentum tepat untuk membangkitkan
kembali kejayaan maritim.
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 patut menjadi tonggak
sejarah bagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengapa demikian? Sebab, wilayah laut Indonesia yang tadinya hanya
selebar 3 mil mengelilingi pulau-pulau telah bertambah menjadi 12
mil. Tak hanya itu, UU-CLCS juga menyetujui klaim Indonesia dengan
tambahan wilayah laut seluas 4.209 km2.
Sudah waktunya untuk mengembalikan kejayaan seperti yang
pernah dicapai generasi pendahulu kita sebagai pelaut ulung. Kualitas

xii
sumber daya manusia yang berkarakter perlu dibangun agar kita
mampu mengelola berbagai potensi sumber daya kelautan yang
berlimpah ruah demi kesejahteraan bangsa.
Fakta menunjukkan, negara maju memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang unggul dan kreatif. Kualitas SDM seperti ini menjadi
aset sangat berharga dalam ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
(knowledge-based economy). Bidang pekerjaan apapun kalau diisi oleh
orang-orang inovatif dan kreatif bakal terbangun budaya kreatif yang
menghasilkan beragam produk bernilai tambah tinggi dan kompetitif.
SDM yang berprofesi menggeluti tata ruang laut juga perlu
ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Idealnya setiap
provinsi memiliki perguruan tinggi yang melahirkan sarjana kelautan.
Buku ini hadir sebagai ajakan untuk secara bersama-sama
merencanakan tata ruang laut kita yang masih terbuka luas. Pada
kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti
yang memberi kepercayaan menjalankan tugas dalam menangani
perencanaan ruang laut. Tak lupa kepada Dr Firdaus Agung MSc,
Muhammad Budiman, Prof Dietrich Bengen, Dr Abdul Muhari, Arief
Widianto ST., MSc, Abdi Tunggal Priyanto SSi, MT MSc, Adhyaksa Saktika
D SKel, Andi Maya Purnamasari, ST, Fajar Kurniawan ST MMG, dan Dr
Jonson Lumban Gaol, penulis haturkan terima kasih. Semoga kebaikan
tersebut mendapat imbalan berlipat ganda dari Allah SWT.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Dari lubuk hati terdalam,
penulis mohon maaf jika buku ini masih jauh dari sempurna. Semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang peduli terhadap rencana
tata ruang laut kita.

Jakarta, Februari 2016


Penulis,

Subandono Diposaptono

xiii
Daftar Isi
Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan | iv
Pengantar Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan
dan Perikanan | vi
Sekapur Sirih Penulis | viii

Bab 1. Pasang Surut Kejayaan Maritim | 1


- Nusantara Mengendalikan Pelabuhan Dunia | 2
- Mengabaikan Laut, Meredupkan Nusantara | 15
- Deklarasi Djuanda, Awal Kebangkitan NKRI | 20
- Kebangkitan Maritim, Sebuah Siklus dan Tugas Historis | 31
- Cita-Cita Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia | 41

Bab 2. Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya | 45
- Kekayaan Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil dengan
Berbagai Persoalannya | 46
- Ancaman dan Tekanan di Wilayah Laut, Pesisir, dan Pulau-
pulau Kecil | 67

Bab 3. SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan


Maritim | 125
- Mengembangkan SDM Berkarakter Menuju Kejayaan Bangsa
Maritim | 126
- Membentuk SDM Unggul dan Kreatif | 139
- Mendongkrak Nilai Tambah Melalui Penguasaan Iptek | 149

xiv
Bab 4. Merencanakan Tata Ruang Laut | 155
- Mengelola Laut Secara Berkelanjutan | 156
- Memahami Tata Ruang Laut | 171
- Tata Ruang Laut Dalam Perspektif Harmonisasi 4 UU | 200
- Data Spasial, Kunci Keberhasilan Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi | 223
- Proses dan Tahapan Menyusun Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi | 265
- Libatkan Stakeholders dan Masyarakat Dalam Rencana Tata
Ruang Laut/Rencana Zonasi | 297
- Merencanakan Tata Ruang Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil Berbasis Mitigasi Bencana | 303

Bab 5. Tata Ruang Laut Beberapa Negara | 311


- China: Meraup Devisa 9,68 Miliar Yuan | 312
- Norwegia: Zonasi Laut Telah Mencapai 96% | 330
- Amerika Serikat:
Dilakukan Secara Buttom-up dan Ilmiah | 352
- Grenadine:
Berhasil Optimalkan Laut dan Redam Konflik | 360
- Perspektif Baru Perencanaan Tata Ruang Laut di Eropa | 369

Daftar Pustaka | 388


Sekilas Penulis | 397

xv
xvi
Bab I
Pasang Surut
Kejayaan Maritim
1
Nusantara Mengendalikan
Pelabuhan Dunia

Sejarah mencatat, dua kerajaan --Sriwijaya dan


Majapahit-- pernah mengendalikan pelabuhan internasional
mulai dari Asia, Australia, Eropa, dan Afrika. Luasnya wilayah
kekuasaan ini lantaran kedua kerajaan itu memiliki industri
maritim melalui penguasaan armada laut yang besar, kuat,
dan canggih.

S
iapa menguasai laut dialah pemilik dunia. Itulah yang dialami
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit tempo dulu. Jauh
sebelum pesawat terbang tercipta, kapal laut menjadi satu-
satunya sarana transportasi, baik antarpulau, antarnegara, maupun
antarbenua. Jadi, siapa yang mampu menguasai teknologi perkapalan,
navigasi, dan pemetaan, dialah yang layak menjadi penguasa dunia.
Prestasi itulah yang diukir oleh para pendahulu kita jauh sebelum
kejayaan bangsa Eropa datang dan menjajah Indonesia. Lagu berjudul
Nenek Moyangku Seorang Pelaut merupakan cerminan dari betapa
hebatnya mereka menaklukkan samudra luas, menguasai perniagaan,
serta menjalin diplomasi politik dengan berbagai negara di penjuru
dunia.

Membangun Poros Maritim Dunia


 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Era Kerajaan Sriwijaya
Abad ke-7 merupakan masa-masa awal kejayaan Kerajaan

1
Sriwijaya. Para pelaut utusan Sriwijaya dengan gagah berani
membentangkan layar, mengatur terpaan angin, dan mengubahnya
menjadi energi gerak agar kapal dapat berlayar sesuai tujuan.
Para pembuat kapal layar juga memiliki kepiawaian tersendiri.
Selain membuat bodi kapal yang kokoh menerjang ombak, mereka
juga menguasai teknologi layar tinggi. Apalah artinya, kapal yang
kokoh kalau tidak didukung dengan desain layar yang mampu
mengatur energi angin sebagai “bahan bakar” yang super ramah
lingkungan karena memang tak menimbulkan polusi udara dan
suara.
Perpaduan yang serasi antara desain bodi dan layar inilah yang
mengantarkan para duta Kerajaan Sriwijaya menjelajah ke berbagai
wilayah. Dengan armada laut yang tercanggih di jamannya itulah,
Sriwijaya berhasil menjadi penguasa niaga internasional.
Nama Sriwijaya tampaknya sesuai dengan prestasi yang diraih-
nya. Secara harfiah, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti bercahaya atau
gemilang. Wijaya adalah kemenangan atau kejayaan. Jadi, Sriwijaya

istimewa
Pasang Surut Kejayaan Maritim 
1

Sumber: belajar.kemdiknas.go.id

Peta Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.

punya makna kemenangan yang gemilang.


Menurut Sejarawan Prancis, Prof George Coedes (1918),
kekuasaan dan kemakmuran Kerajaan Sriwijaya disebabkan mereka
mampu menguasai jalur laut perdagangan utama di Selat Malaka.
Secara geografis, Selat Malaka adalah jalur paling strategis bagi
pelayaran antarbangsa dan menjadi jalur perdagangan di kawasan
Asia Tenggara, termasuk di pedalaman Nusantara.
Secara alami, gelombang laut di Selat Malaka juga relatif lebih
tenang dibandingkan dengan perairan barat Pulau Sumatra yang
menghadap Samudra Hindia. Ketenangan inilah yang memudahkan
kapal untuk mampu merapat ke pelabuhan dengan aman dan
melakukan bongkar-muat barang secara mudah. Itulah sebabnya
Selat Malaka telah menjadi jalur sutra bagi perdagangan dunia sejak
dulu kala.
Secara geopolitik, Selat Malaka juga punya makna tersendiri.
Menurut Tome Pires, apoteker dari Portugal yang menghabiskan
waktu di Semenanjung Malaka tahun 1512-1515, barang siapa

Membangun Poros Maritim Dunia


 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

willsonlodewyik.blogspot.com

Kemakmuran Kerajaan Sriwijaya disebabkan mereka mampu menguasai jalur


laut perdagangan utama di Selat Malaka.

menguasai Malaka, ia akan menguasai Venese, sebuah pusat kota di


Eropa ketika itu. Praktis, Malaka, Cina, Maluku, dan Jawa juga berada
dalam genggaman kekuasaannya.
Pendapat Pires ini tampaknya di kemudian hari dijalankan
oleh Stanford Raffles, bangsawan Inggris yang mengembangkan
Singapura. Wilayah seluas sekitar DKI Jakarta yang berada di selatan
Selat Malaka itu ia sulap menjadi kota pelabuhan yang melayani
pelayaran internasional. Hasilnya, hingga kini Singapura menjadi
negara penyedia jasa kelas dunia.
Sementara itu, sejarawan Oliver William Wolters dalam bukunya
berjudul Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sriwijaya
(1967) mengatakan, Sriwijaya menguasai perdagangan via laut
sebenarnya bukan dari hasil rempah-rempah seperti cengkeh dan
pala. Namun kerajaan itu berhasil berniaga bahan baku obat-obatan
herbal berbagai jenis getah dan serbuk pohon.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 


1
id.wikipedia.org

id.wikipedia.org

Relief Candi Borobudur menggambarkan perahu Sriwijaya.

Getah gaharu asal Sumatra misalnya, sudah diperdagangkan ke


Cina sejak abad ke-5. Sementara itu, jauh sebelumnya, serbuk barus
yang dihasilkan dari kawasan hutan di Barus, Sumatra Utara juga
menjadi barang mahal, baik di kawasan Timur Tengah maupun Cina.
Raja Firaun misalnya, mayatnya dapat diawetkan dan masih utuh
hingga kini lantaran dibalsem dengan menggunakan kapur barus dari
Sumatra.
Konon ketika itu, harga kapur barus dari pohon kamper di Pulau
Andalas itu melebihi harga emas. Ya, kapur barus telah menjadi

Membangun Poros Maritim Dunia


 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
komoditas paling mewah mengalahkan rempah-rempah dari Maluku.
Lain lagi dengan getah gaharu (Gaharu merkusii). Menurut

1
literatur kedokteran Cina, gaharu yang tumbuh kokoh di Sumatra
itu, getahnya dapat menjadi obat mujarab dan memperkuat tubuh
sehingga diyakini dapat membuat seseorang panjang umur. “Selain
itu, getah gaharu juga cukup mujarab untuk menyembuhkan penyakit
kudis, botak, dan gatal di kepala,” tulis Wolters.
Bahkan, menurut literatur kuno dari Cina, getah gaharu yang
diasapkan mampu menenangkan lima organ dalam tubuh manusia
seperti jantung, hati, limpa, paru-paru, dan ginjal. Itulah mengapa,
asap ini sering dipakai dalam terapi medis modern untuk para pasien.
Kalau sekarang Cina menguasai pangsa pasar obat-obatan herbal
di dunia, hal itu sebenarnya tidak terlepas dari sejarah masa lalunya.
Mereka berhasil menjadi pemain utama obat-obatan herbal lantaran
meneruskan tradisi kearifan lokal dari para pendahulunya.
Selain dari literatur dan buku-buku sejarah, kejayaan Sriwijaya
juga dapat ditelusuri melalui prasasti kuno (Kedukan Bukit di Palem-
bang) dan temuan benda-benda kuno seperti emas, perkakas, uang
koin, senjata, dan lain sebagainya di sekitar pusat kerajaan, yang kini
berada di Palembang dan sekitarnya.
Meskipun berbagai benda kuno telah ditemukan dan dikoleksi di
museum, namun tetap saja hari demi hari benda-benda kuno itu terus
ditemukan. Apalagi di saat musim hujan, ketika air Sungai Musi dan
sungai-sungai lainnya meluap, benda-benda itu hanyut dan terbawa
air.
Sebagian di antaranya terdampar di kebun, sawah, dan tempat-
tempat lainnya. Awal Januari 2012 misalnya, berbagai benda kuno
seperti perhiasan (cincin) emas, keris berbahan logam, koin kuno,
serpihan emas, dan manik-manik kembali ditemukan oleh penduduk
yang sedang beruntung di sepanjang Sungai Musi.
Sebagian penduduk menyimpan temuan tersebut untuk koleksi
pribadinya. Bahkan ada pula yang menjualnya. Banyaknya temuan
benda-benda antik tersebut semakin menguatkan bukti bahwa di
masa lalu Sriwijaya memang pernah berjaya.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 


I Tsing, pendeta Cina mengakui kehebatan tersebut. Ketika ia
berlayar dari Canton menuju Palembang pada tahun 671 Masehi,

1
Kerajaan Sriwijaya sangat kuat dan makmur. Kerajaan tersebut telah
mampu membawa bangsanya maju dan sejahtera jauh melebihi
kehebatan bangsa-bangsa Eropa. Saking terkenalnya kerajaan
tersebut, penguasanya dijuluki sebagai Raja Yang Dipertuan dari
Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di muka Bumi.
Wilayah kekuasaannya membentang luas, mulai dari Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Thailand
selatan. Reruntuhan candi-candi Sriwijaya yang ditemukan di Thailand
dan Kamboja membuktikan mereka pernah berjaya dan menaklukkan
kawasan tersebut.

Kerajaan Majaphit
Kalau wilayah Sriwijaya masih sebatas Asia Tenggara, lain lagi
dengan kiprah Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Kapal-kapal Jong
Majaphit yang gagah perkasa itu berkelana mengarungi samudra
luas.
Jauh sebelum bangsa Eropa mampu membuat kapal laut, para
pendahulu kita malah sudah dapat mencipta kapal dan melayarkan-
nya ke berbagai benua, mulai dari Australia, Asia, dan Afrika. Menurut
Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim,
Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia (2011), jumlah
armada Jong Majapahit pada abad ke-15 mencapai 400 kapal. Ban-
dingkan dengan armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), Spanyol,
dan Portugis pada masa-masa sesudahnya (tahun 1674).
Kalau kekuatan armada laut Eropa yang menguasai India,
Nusantara, Indocina, dan Cina itu digabung maka mereka hanya
memiliki 124 kapal. Jadi, dilihat dari kekuatan armada laut, Nusantara
tempo dulu memang jauh lebih unggul daripada bangsa-bangsa
penjelajah di Benua Eropa.
Kehebatan pelaut-pelaut Nusantara juga tercatat jauh hingga ke
Cina dan Portugis. Di dua negara tersebut memiliki catatan sejarah
bahwa Jawa atau Nusantara telah melakukan berbagai pelayaran

Membangun Poros Maritim Dunia


 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

blackjack2000.wordpress.com
Peta Kekuasaan Kerajaan Majapahit.

dengan kapal-kapal besar menyeberangi Samudra Hindia ke


Madagaskar sejak abad ke-3. Ketika itu pelaut-pelaut ulung dari Jawa
di bawah kekuasaan Kerajaan Medang telah berkelana ke seluruh
penjuru Nusantara, Indocina, Cina, dan India.
Ketika Majapahit berkuasa, kapal-kapal layar tiang tinggi
berbobot 500 ton dan berukuran panjang sekitar 70 meter itu mampu
mengangkut 600 penumpang dan berton-ton barang niaga seperti
hasil pertanian (beras), perkebunan (lada), garam, dan pertambangan
(emas).
Hal ini menandakan Majapahit adalah negara agraris yang
memiliki kemampuan ketahanan pangan sekaligus menguasai
teknologi maritim di jalur perdagangan internasional. Kesejahteraan
dan kemakmuran Majapahit tersebut juga tercatat dalam sejarah
seorang biarawan Katolik Roma dari Italia, Odorico da Pordenone yang
mengunjungi keraton Majapahit pada tahun 1328.
Odorico pernah melakukan kunjungan muhibah ke Jawa pada
tahun 1321. Ketika berada di lingkungan istana Raja Jawa, ia kaget.
Istana tersebut bergelimang berbagai jenis perhiasan seperti emas,
perak, dan permata.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 


Mengapa Jawa tempo dulu sangat kuat dan makmur? Hal itu tak
terlepas dari kemampuan para ahli rancang bangun membuat kapal-

1
kapal layar tinggi yang mampu mengarungi samudra luas. Kapal-kapal
itu dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari anyaman daun
tanaman. Layar-layar tersebut didesain sedemikian rupa sehingga
cukup kuat untuk mengubah energi angin menjadi energi gerak.
Saat itu teknologi maritim memang belum mengenal mesin uap.
Jadi, satu-satunya penggerak laju kapal adalah layar yang dikendali-
kan oleh energi angin laut. Hal ini menunjukkan, Jawa telah menguasai
teknologi maritim melebihi kejayaan bangsa-bangsa di daratan
Eropa.

Replika kapal layar


tinggi Majapahit yang
mampu mengarungi
samudra luas.

kaskus.co.id

Membangun Poros Maritim Dunia


10 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Seperti diketahui, kapal-kapal perintis yang dibuat bangsa
Eropa baru dimulai pada abad ke-15. Kapal Gracedieu buatan Inggris

1
pada tahun 1418 misalnya, memiliki panjang sekitar 54 meter. Entah
mengapa kapal pertama hasil rancangan orang Inggris ini malah
tak mampu berlayar. Selama bertahun-tahun, kapal tersebut hanya
mengapung dan akhirnya malah terbakar.
Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1492 dengan
diluncurkannya Kapal Christoporus Columbus dengan kapasitas 88
penumpang. Lima tahun berikutnya, 1497, meluncurlah Kapal Vasco
da Gama berkapasitas 171 penumpang. Kapal-kapal besar Eropa itu
dapat tercipta setelah melewati hubungan interaksi dengan kapal-
kapal yang digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh
kuat dari Jawa.
Berdasarkan fakta tersebut, kita menjadi semakin paham bahwa
perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan peda-
gang besar di wilayah Eropa. Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar
tak tertandingi.
Dengan armada laut
yang kuat dan gagah
perkasa itulah, para pen-
dahulu kita mampu me-
ngendalikan pelabuhan-
pelabuhan yang menjadi
sumber perekonomian
Nusantara. Tak berlebihan
kalau tempo dulu Jawa
sangat termasyhur di ja-
gad raya.

Mata uang yang


berlaku di zaman
Kerajaan Majapahit.

uniqpos.com

Pasang Surut Kejayaan Maritim 11


1

kaskus.co.id
Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar tak tertandingi.

Kemasyhuran itu juga diakui beberapa ekonom Cina dalam


catatan sejarahnya. Mereka berpendapat, dari semua kerajaan asing
yang kaya raya (memiliki cadangan devisa berlimpah ruah), kehebatan
bangsa She-p’o (Jawa) berada di urutan kedua setelah bangsa Ta-shih
(Arab). Urutan ketiga ditempati San-fo-Chi (Sriwijaya).
Sementara itu, penjelajah ternama Marco Polo (1292)
mengungkapkan, jumlah emas yang dikumpulkan Majapahit lebih
banyak daripada yang dihitung dan hampir tidak dapat dipercaya.
Dengan kata lain, Jawa menjadi pemegang rekor sebagai kerajaan
yang paling banyak memiliki batangan emas.
Lebih unik lagi, cadangan logam mulia tersebut bukan berasal
dari perut bumi di tanah Jawa namun dikumpulkan melalui aktivitas
pengendalian pelabuhan-pelabuhan di dunia yang telah dikuasainya
itu.

Membangun Poros Maritim Dunia


12 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Saking kaya rayanya Jawa, membuat bangsa Mongol berhasrat
menguasai wilayah Jawa di Samudra Selatan (Samudra Hindia).

1
Di bawah komando Raja Mongol Kubilai Khan, mereka menyusun
kekuatan dan penyerangan besar-besaran ke wilayah tersebut. Kubilai
Khan yakin, jika pasukannya mampu menundukkan Jawa maka
negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya. Namun apa daya,
Jawa terlalu kuat untuk ditaklukkan. Tentara Mongol kalah dalam
pertarungan yang tak seimbang tersebut.

“ Selain menguasai teknologi perkapalan dan


navigasi (peta), Nusantara juga diperkuat
dengan kekuatan agraris yang tiada tara. Dari
ujung daratan Sumatra Utara, tepatnya di kota
Barus, dulu dikenal sebagai penghasil kapur
barus yang diperoleh dari pohon kamper
(Dryobalanops aromatica).

Selain menguasai teknologi perkapalan dan navigasi (peta),
Nusantara juga diperkuat dengan kekuatan agraris yang tiada tara.
Dari ujung daratan Sumatra Utara, tepatnya di kota Barus, dulu dikenal
sebagai penghasil kapur barus yang diperoleh dari pohon kamper
(Dryobalanops aromatica).
Barus sudah menjadi catatan tertua ahli filsafat termasyhur dari
Alexandra, Ptolemaeus sekitar abad kedua Masehi sebagai penghasil
bahan pengawet yang harganya melebihi emas. Sejarah mencatat,
sejak tahun 3000 Sebelum Masehi (SM), kapur barus telah melanglang
buana ke Mesir. Hal ini menunjukkan, Jawa dan Mesir sudah lama
melakukan diplomasi niaga melalui armada laut.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 13


Kapur barus ini sudah diniagakan sejak 6.000 tahun silam. Tak ada
cara lain, perdagangan tersebut dapat terjadi melalui angkutan kapal

1
laut.
Bergeser ke timur, tepatnya di Maluku, juga terhampar luas
cengkeh yang kelak di kemudian hari membuat Belanda sangat
bernafsu untuk menguasainya. Catatan mengenai popularitas ceng-
keh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati dan Marilyn
Kelly Buccellati (1983).
Dari rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada tahun
1700 SM, Buccellati menemukan wadah berisi cengkeh. Ketika itu di
dunia, cengkeh hanya diketahui dapat tumbuh di pulau-pulau kecil
di Maluku.
Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga bagi para
pembesar yang dapat digunakan untuk aneka keperluan mulai dari
perasa makanan, minuman, obat-obatan, dan rokok lantaran memiliki
cita rasa prima. Cengkeh Maluku bisa sampai ke Efrat tersebut
berkat peran para pelaut Jawa yang dengan gagah berani mampu
menaklukkan samudra luas hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan Cina.

Membangun Poros Maritim Dunia


14 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1
Mengabaikan Laut,
Meredupkan Nusantara

Seiring dengan perkembangan zaman, kedigdayaan


Sriwijaya mengalami pasang surut. Setelah mengalami
masa-masa keemasan, Sriwijaya akhirnya meredup oleh
berbagai pergolakan dan perang saudara. Serangan dari
Raja Dharmawangsa Teguh dari Pulau Jawa pada tahun 990
misalnya, membuat Sriwijaya semakin kelam.

D
aerah kekuasaan Sriwijaya terus saja menyusut. Apalagi ketika
Rajendra Coladwa dari Koromandel, India Selatan pada tahun
1025 menaklukkan Kedah yang sebelumnya menjadi wilayah
kekuasaan Sriwijaya. Mendung semakin bergelayut di atas bumi
Sriwijaya.
Antiklimaksnya terjadi pada tahun 1183. Ketika itu kekuasaan
Sriwijaya dikendalikan sepenuhnya oleh Kerajaan Dharmasraya. Saat
kolonial Belanda mulai berkuasa di Nusantara, Sriwijaya semakin
tak lagi terdengar gaungnya. Meski secara politis Sriwijaya tak lagi
populer, namun ia meninggalkan banyak kenangan berharga bagi
perjalanan bangsa Indonesia.
Salah satu peninggalan penting dari Sriwijaya yang dapat
diwariskan hingga saat ini adalah bahasa. Seperti diketahui, selama

Pasang Surut Kejayaan Maritim 15


ratusan tahun, kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer Sriwijaya
dapat dibangun dengan menggunakan Bahasa Melayu Kuno.

1
Dalam berkomunikasi, para duta niaga dan tentara militer
Sriwijaya menggunakan Bahasa Melayu Kuno, baik di pelabuhan,
pusat niaga (pasar), maupun istana di seantero Nusantara sebagai
penghubung (lingua franca). Bahasa ini di kemudian hari berkembang
menjadi Bahasa Indonesia yang diikrarkan para pemuda di seluruh
Indonesia dalam Sumpah Pemuda 28 Okotober 1928.
Kini, Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa nasional yang
mampu menjadi penghubung dari ribuan etnis mulai Sabang sampai
Merauke. Tidak hanya itu. Negara Jiran, Malaysia juga menggunakan
Bahasa Melayu sebagai bahasa nasionalnya.

Meninggalkan Jejak
Sriwijaya telah meninggalkan jejak berharga. Sebagai manusia
beradab, kita dituntut secara arif dan bijaksana mengambil hal-hal
positif dari perjalanan sejarah tersebut. Pengalaman pahit Sriwijaya
tampaknya belum menjadi pelajaran bagi kerajaan di Jawa di
kemudian hari.
Popularitas Jawa (Nusantara) pun meredup ketika para penguasa
melupakan lautnya. Itulah yang tercatat dalam sejarah perjalanan
bangsa. Dominasi niaga laut Jawa berakhir saat panglima Pajang
Senapati memberontak terhadap ahli waris sah Kerajaan Pajang.
Hal ini pula yang mendorong bangsa Eropa, khususnya Belanda,
dengan mudah menaklukkan Jawa. Sebagaimana dikatakan Raja
Mongol, Kubilai Khan, jika pasukan Mongol mampu mengalahkan
Jawa maka negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya.
Ia yakin dengan ucapannya itu karena memang tidak mudah
menaklukkan tentara dan dominasi niaga yang dibangun Jawa.
Sepanjang kariernya, Mongol kalah telak melawan pasukan perang
dari Jawa.
Prediksi Kubilai Khan memang benar. Ketika Belanda berhasil
menaklukkan dan menguasi Jawa dengan mudah karena memang
minim perlawanan dari penguasa Jawa, sejak saat itulah VOC terus

Membangun Poros Maritim Dunia


16 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

cintabelanegara.blogspot.com

Belanda berhasil menaklukkan dan menguasi Jawa dengan mudah karena


memang minim perlawanan dari penguasa Jawa.

berkibar. Ia memonopoli perniagaan hampir setara dengan yang


dikuasai Jawa sebelumnya.
Selama lebih dari 350 tahun kita dijajah Belanda, Portugis, dan
Inggris ruang hidup bangsa Indonesia dipersempit. Kultur bahari yang
tadinya menjadi akar budaya nenek moyang bergeser menuju bangsa
yang berbudaya daratan, yakni agraris. Akibatnya, kebutuhan hidup
difokuskan pada sumber daya alam di darat. Jati diri bangsa telah
menyimpang dari akar budaya sebagai bangsa bahari.
Sementara itu, di pedalaman Jawa, tumbuh kerajaan agraris
feodal Mataram Islam dengan penduduk cukup besar tapi tidak
sekaya kerajaan pesisir yang merasa sebagai penerus Majapahit.
Lambat laun, pembangunan yang tadinya berorientasi bahari
berubah menjadi kontinental (daratan).
Jika rakyat menguasai laut dan menyandarkan kehidupannya
pada ekonomi kelautan maka akan berkembang suatu sikap lebih
terbuka, menyukai tantangan, kebaruan, dan kebebasan. Jiwa

Pasang Surut Kejayaan Maritim 17


kewirausahaannya akan tumbuh. Ini tentu akan membahayakan
penguasa feodal.

1
Orang-orang laut sulit untuk diperintah dengan gaya feodal.
Maka naluri dan jiwa bahari rakyat disumbat. Penyumbatan ini
mencapai puncaknya pada era kolonial.
Hari demi hari Jawa penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa
dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih tragis lagi, rakyat Jawa
telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Realitas sejarah seperti di atas menjadi perhatian bagi kaum
cendikiawan Indonesia pada fase kebangsaan berikutnya. Pontjo
Sutowo (2014), Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, tampaknya
dapat menjadi renungan bagi kita semua. Ia mengatakan, jika kita
ingin mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern,
sejahtera, dan menjadi adidaya maka kita harus tetap di laut dan
menguasai kembali lautan.
“Karena itu kita harus menyatukan tekad untuk membangun
patriotisme baru yang memiliki akar sejarah yang kuat. Yakni, se-
mangat maritim dengan nilai-nilai budaya kemaritimannya,” ujar
Pontjo.
Dengan kata lain, Indonesia dapat bersinar lagi di kancah
perekonomian global jika seluruh pemimpin negeri memiliki ke-
bijakan kuat di laut. Apalagi sekitar 70 persen wilayah Indonesia
berupa laut.
Tak hanya itu. Indonesia adalah negara yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan
keunggulan komparatif tersebut dan didukung sejarah budaya
maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka niscaya kita
mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam.

Bertumpu pada Kelautan


Kesadaran membangun bangsa bertumpu pada kelautan
sebenarnya juga menjadi gagasan salah satu Bapak pendiri bangsa,
yakni Muhammad Yamin. Pada sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, ia
mengingatkan bahwa calon negara yang tengah dipersiapkan

Membangun Poros Maritim Dunia


18 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
(bernama Indonesia) terutama berupa daerah lautan.
Oleh karena itu, kata Yamin, “Membicarakan daerah negara

1
Indonesia dengan menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan
sesungguhnya berlawanan dengan keadaan sebenarnya”. Indonesia
adalah negara kepulauan (Archipelagic State), laut ibarat mata-telinga
sekaligus sumber pengharapan terhadap masa depan yang lebih
baik. Yamin mengingatkan bahwa laut Nusantara adalah sumber
kemakmuran bagi Indonesia.
Sejarawan maritim, Prof. Dr. Adrian Bernard Lapian berpendapat,
yang disebut dengan daerah inti (heartland) dalam negara kepulauan
Indonesia bukanlah pulau atau daratan, namun wilayah maritim yang
memegang peranan sentral. Menurut Nakhoda Sejarah Maritim Asia
Tenggara yang pada 5 Juli 2011 lalu dianugerahi gelar Sejarawan
Utama itu, laut harus dilihat sebagai faktor utama pembangunan
kebudayaan bangsa.
Pembangunan kelautan dan perikanan mulai serius dikembang-
kan saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diangkat menjadi Presiden
ke-4 Republik Indonesia pada tahun 1999. Gus Dur menyadari, 2/3
luas wilayah Indonesia berupa laut. Namun sayangnya, sampai se-
jauh itu pembangunan kelautan belum mendapat perhatian yang
serius.
Karena itulah Gus Dur membentuk kementerian baru
(Departemen Eksplorasi Laut) yang secara khusus mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan terobosan itulah, oleh
media pers, Gus Dur layak dinobatkan sebagai Bapak Kelautan
Nasional.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 19


1
Deklarasi Djuanda,
Awal Kebangkitan NKRI

Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 patut menjadi


tonggak sejarah bagi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Mengapa demikian? Sebab, wilayah laut
Indonesia yang tadinya hanya selebar 3 mil mengelilingi
pulau-pulau telah bertambah menjadi 12 mil. Tak hanya
itu, UU-CLCS juga menyetujui klaim Indonesia dengan
tambahan wilayah laut seluas 4.209 km2.

K
etika Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 wilayah NKRI
ditetapkan berdasarkan konsepsi Territoriale Zeen Maritime
Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Hal ini sesuai dengan
prinsip hukum internasional uti possidetis juris sebagai negara bekas
kekuasaan kolonialis Belanda.
Mengacu pada konsepsi tersebut, wilayah perairan Indonesia
meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau selebar hanya 3
mil. Konon, ukuran 3 mil tersebut ditentukan berdasarkan kemampuan
lontaran meriam kala itu.
Konsekuensinya, di luar 3 mil laut teritorial (pedalaman) menjadi
laut bebas. Bisa dibayangkan seperti apa peta NKRI kala itu (lihat

Membangun Poros Maritim Dunia


20 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

Peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan TZMKO


(Teritoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1939. Ketentuan
ini berlaku sejak 17 Agustus 1945 sampai 1957. Menurut ketentuan ini,
laut teritorial RI hanya 3 mil di sekitar pulau-pulau. Sedangkan laut antara
pulaupulau Indonesia merupakan laut bebas (Sumber: Bakosurtanal, 2012).

Gambar). Tampak bahwa pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan,


Sulawesi, dan Papua dipisahkan oleh lautan.

Negara Kepulauan
Berdasarkan fakta itulah, Presiden Soekarno lalu menugaskan
Perdana Menteri Djuanda untuk memperjuangkan pengakuan in-
ternasional bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic
State). Dengan demikian, konsepsi TZMKO 1939 sebagai warisan kolo-
nial Belanda tidak dapat diterapkan untuk wilayah NKRI.
Djuanda pun membawa misi itu ke lembaga internasional. Pada
13 Desember 1957 secara sepihak kita mendeklarasikan wilayah
kedaulatan Republik Indonesia yang mencakup wilayah laut teritorial
adalah bagian tidak terpisahkan dari wilayah daratan. Peristiwa ini
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Di dalam negeri, upaya itu disikapi secara serius dengan
menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 4/Prp 1960 tentang
Perairan Indonesia. UU ini mengubah TZMKO 1939 secara radikal
dalam dua hal. Pertama, cara penarikan garis pangkal laut teritorial

Pasang Surut Kejayaan Maritim 21


dari garis pangkal normal (normal baseline) menjadi garis pangkal
lurus (straight baseline from point to point). Kedua, mengubah lebar

1
laut teritorial yang tadinya hanya 3 mil menjadi 12 mil.
Di berbagai forum internasional, baik dalam perundingan bila-
teral, trilateral, dan multilateral, Indonesia pun terus memperjuang-
kan konsep Wawasan Nusantara tersebut. Berbagai upaya diplomasi
itu akhirnya membuahkan hasil. Indonesia diterima sebagai negara
kepulauan di dalam The United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut PBB) pada tahun 1982.
Indonesia lalu meratifikasi keputusan UNCLOS itu dengan
menerbitkan UU No 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).
Diterimanya konsep Wawasan Nusantara di PBB itu merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting bagi Indonesia. Sebab, hal
ini merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap konsep
Wawasan Nusantara yang telah digagas dan dideklarasikan Djuanda
sejak 1957.

Peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Deklarasi Djuanda


tahun 1957. Ketentuan ini berlaku sejak 13 Desember 1957 sampai 17 Februari
1969. Menurut ketentuan ini, laut teritorial RI menjadi 12 mil dari pulau-pulau
terluar Indonesia. Dengan demikian laut antara pulau-pulau Indonesia merupakan
wilayah kesatuan Nusantara (Sumber: Bakosurtanal, 2012).

Membangun Poros Maritim Dunia


22 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

Peta wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia


yang ditetapkan berdasarkan TAP MPR VI/1978, tentang Pengukuhan Integrasi
Timor-timur, UU No. 17/1985, tentang Ratifikasi UNCLOS 1982, UU No. 6/1996,
tentang Perairan Indonesia (revisi UU No. 4/PRP. 1960, PP 61/1998, tentang
Penutupan Kantong Natuna (Sumber: Bakosurtanal, 2012).

Dengan perubahan tersebut maka luas wilayah teritorial NKRI


bertambah lebih dari dua kali lipatnya. Dengan kata lain, dari seluas
2.027.087 km2 menjadi 6.315.222 km2.
Bukan hanya itu, wilayah yurisdiksi nasional atas Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen ditentukan sampai dengan 200
mil laut. Jadi, kalau ditotal secara keseluruhan, wilayah kedaulatan dan
yurisdiksi Indonesia menjadi lebih dari 8 juta km2.

Bertambah Luas
Selain itu, sesuai UNCLOS 82, masih ada kemungkinan Indonesia
melakukan klaim wilayah landas kontinen di luar batas 200 mil laut
ZEE sampai sejauh 350 mil laut. Wilayah landas kontinen adalah area
yurisdiksi negara pantai terkait dengan pengelolaan dasar laut dan
tanah di bawahnya.
Peluang ini tampaknya dimanfaatkan Indonesia. Tim teknis
Indonesia --terdiri dari Bakosurtanal, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),

Pasang Surut Kejayaan Maritim 23


P E TA N E G A R A K E S AT U A N

Inilah Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia terbaru. Tampak bahwa wilayah
laut Indonesia bertambah seluas 4.209 km² di Samudra Hindia, sebelah barat laut
Pulau Sumatra (lihat bagian yang diarsir dalam kotak).

Membangun Poros Maritim Dunia


24 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
REPUBLIK INDONESIA

Pasang Surut Kejayaan Maritim 25


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta TNI AL-- bekerja
menyiapkan bukti-bukti berdasarkan kajian ilmiah dan survei di

1
wilayah sebelah barat laut Pulau Sumatra. Fakta dan bukti ilmiah itu
lalu disampaikan ke the United Nation on the Limit of the Continental
Shelf (UN-CLCS) yang bermarkas di New York, AS pada 16 Juni 2008.
Setelah melalui diplomasi yang panjang dan berbagai tambahan
bukti ilmiah, UN-CLCS dan Indonesia mencapai kesamaan pandangan
terkait klaim tersebut. Peristiwa itu terjadi tepat 17 Agustus 2010, saat
Indonesia merayakan HUT ke-65 tahun. UN-CLSC akhirnya menyetujui
klaim wilayah laut seluas 4.209 km2 yang diusulkan Indonesia.
Sejalan dengan itu, peta wilayah NKRI pun praktis berubah
(seperti terlihat pada gambar peta). Betapa luasnya wilayah NKRI kita.
Coba saja peta tersebut di-overlay-kan dengan kawasan Eropa dan
Amerika. Sungguh, Indonesia adalah negara kepulauan yang luas,
besar, dan juga strategis.

Kembangkan Keunggulan Komparatif


Dengan bertambahnya luas wilayah laut yang telah mendapat
legitimasi hukum secara internasional, apa yang harus kita lakukan?
Sejarah telah mencatat, negara-negara yang sukses adalah mereka
yang unggul dalam penguasaan samudra dan pengembangan
geostrategi maritimnya.
Lihat saja bagaimana Prancis di bawah komando Napoleon
Bonaparte mampu mengusir Inggris dari Benua Eropa melalui blokade
laut. Setali tiga uang, Amerika Serikat berusaha menguasai jalur Teluk
Persia untuk menguasai energi dunia.
Norwegia juga cerdik dalam memanfaatkan sumber daya laut,
baik hayati maupun nonhayati (minyak, gas, dan mineral). Kini, ia
tercatat sebagai negara terkaya di kawasan Eropa. Di saat negara-
negara maju terkena krisis ekonomi global, Norwegia mampu berdiri
tegap menghadapi kencangnya terpaan arus krisis tersebut.
Jepang juga berjaya di laut lepas. Masyarakatnya yang gemar
menyantap sea food (makanan laut) semakin membuat tingkat
kesejahteraan hidupnya meningkat. Bahkan, Jepang adalah negara

Membangun Poros Maritim Dunia


26 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

blogs.technet.com

Aneka hidangan sea food ini mampu meningkatkan kesejahteraan hidup


masyarakat yang mengonsumsinya.

yang memiliki harapan hidup terpanjang di dunia.


Korea Selatan juga sama saja. Keunggulannya dalam
mengembangkan potensi laut dalam (deep sea) telah membawa
perekonomian Korsel kian maju. Singkat kata, keberhasilan negara-
negara maju mengelola laut menjadi sebuah industri telah membawa
kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui, kita sebenarnya
memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki bangsa lain.
Bukankah Indonesia juga dikenal sebagai Benua Maritim?
Sebutan ini diberikan karena Indonesia memiliki lebih dari 17.500
pulau yang dikelilingi lautan. Coba cari keunikan ini, dijamin tidak ada
negara di dunia ini yang memiliki kondisi geografis seperti Indonesia.
Lalu, kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada. Dengan garis pantai sepanjang 99.093 km itu (BIG,
2014), Indonesia siap membangun berbagai industri kelautan yang
terintegrasi, mapan, kuat, dan mandiri.
Apalagi hal ini didukung oleh Luas Laut Keseluruhan NKRI, seki-
tar 6.315.222 km2. Indonesia juga dikenal memiliki keanekaragaman
hayati laut tertinggi di dunia.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 27


Perairan ini, khususnya di kawasan timur In-
donesia menjadi habitat yang ideal bagi berbagai

1
komoditas perikanan (seperti ikan, udang, kerang,
lobster, kepiting, dan lain-lain). Aneka jenis terum-
bu karang penuh warna-warni menghampar di Bu-
naken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat),
Wakatobi (Sulawei Tenggara), Spermonde (Sulawe-
si Selatan), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan lain-
lain.
Di kawasan pesisir, Indonesia juga memiliki
ekosistem hutan mangrove yang luas. Berdasarkan
pemetaan BIG (2014), luas mangrove di Indonesia
mencapai 36.164,45 km2. Dari vegetasi ini bisa
dibayangkan berapa karbon dioksida (CO2) yang
diserap mangrove setiap hari. Seperti diketahui
CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang
belakangan ini menjadi penyebab naiknya suhu
permukaan Bumi.
Potensi di laut dalam juga tak kalah serunya.
Penelitian awal yang dilakukan BPPT bersama
mitranya membuktikan, tersimpan jutaan triliun
kaki kubik (trillion cubic feet atau TCF) gas hidrat di
dasar perairan: Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
selatan Sumatra, selatan Jawa Barat, dan Sulawesi.
Bahkan, di dasar perairan Pulau Simeulue (NAD)
ditemukan kandungan hidrokarbon sangat besar,
sekitar 320 miliar barel.
Singkatnya, masih banyak keunggulan
komparatif lainnya dari laut Indonesia yang tidak
bisa disebutkan secara rinci. Keunggulan ini tidak
akan menyejahterakan rakyat jika tidak disentuh
dengan industri berbasis kemaritiman. Melalui
perubahan mendasar cara berfikir berorientasi
ke maritim dengan konsep pembangunan
Dok. ATSEF

Membangun Poros Maritim Dunia


28 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

Ekosistem hutan
mangrove dapat
berfungsi menyerap
karbon dioksida (CO2)
dan menghasilkan
oksigen (O2).

Pasang Surut Kejayaan Maritim 29


Data Kelautan NKRI.
No Parameter Luas/jumlah

1
2
1 Luas Laut Keseluruhan NKRI 6.315.222 Km
2
2 Luas Perairan Wilayah Laut Teritorial 282.583 Km
3 Luas Perairan Wilayah Pedalaman dan 2
3.092.085 Km
Kepulauan
2
4 Luas Laut ZEE 2.936.345 Km
5 Panjang Garis Pantai Kepulauan Indonesia 99.093 Km
2
6 Luas Terumbu Karang 26.059,15 Km
2
7 Luas Mangrove 36.164,45 Km
8 Jumlah Pulau Keseluruhan 17.504
9 Jumlah Pulau Yang Telah Dibakukan
Timnas Penamaan Rupabumi dan 13.466
Dideposit ke PBB
Sumber: Badan Informasi Geospasial, 2014

berkelanjutan, maka produksi yang bersumber dari sumber daya laut


dapat ditingkatkan secara intensif, efisien, dan terintegrasi sehingga
mampu memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat secara adil
serta mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Membangun Poros Maritim Dunia


30 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1
Kebangkitan Maritim
Sebuah Siklus dan Tugas
Historis

Catatan historis membuktikan, Kerajaan Sriwijaya


mengalami kejayaan maritim pada abad ke-7 dan Majapahit
abad ke-14. Siklus historis tersebut mengindikasikan adanya
kebangkitan maritim setiap sekitar 7 abad. Sungguh saat ini
(abad ke-21) merupakan sebuah momentum tepat untuk
membangkitkan kembali kejayaan maritim yang meredup.

I
ndonesia sebagai Benua Maritim saatnya bangkit dan menoleh ke
laut. Kini berada di abad ke-21, siklus historis (berselang 7 abad)
kedigdayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dapat mengimbas
Indonesia. Dengan berbagai modalitas antara lain sumber daya ke-
lautan yang melimpah, kehadiran UU No. 32/2014 tentang Kelautan,
Doktrin Jokowi tentang Poros Maritim, dan dibentuknya Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman diharapkan momentum tepat untuk
membangkitkan kembali kejayaan maritim.
Kebangkitan maritim ini menjadi sebuah siklus dan tugas
historis bagi kita semua. Momentum baik ini mudah-mudahan dapat
dimanfaatkan Presiden ke-7 beserta kabinet barunya.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 31


Upaya membangkitkan kejayaan maritim di suatu negara
merupakan keniscayaan. Apalagi Indonesia memiliki catatan sejarah

1
yang pernah dikagumi dunia internasional. Kerajaan Sriwijaya pernah
menjadi pusat perdagangan dunia lantaran memiliki kekuatan armada
maritim yang jaya pada abad ke-7.
Setelah mengalami pasang-surut, tujuh abad berikutnya (abad
ke-14) Kerajaan Majapahit juga berjaya. Kapal-kapal buatan Majapahit
mampu berlayar melanglang buana menembus samudra dan benua;
Asia, Australia, dan Afrika. Bayangkan, ketika itu bangsa Eropa belum
mampu membuat kapal laut.
Fakta membuktikan, laut memiliki kekuatan utama dalam
membangun peradaban sebuah bangsa. Menurut filsuf Cina Lin Zexu
(1785 – 1851), sebuah negara yang kuat selalu memperhatikan laut (A
strong nation faces the sea, while a weak one turns its back on it).
Sementara itu, pakar maritim Amerika Serikat Dr Sam Tangredi
(2002) menyatakan, globalisasi dimulai dari laut. Sebab, perdagangan
bebas lebih dari 95 persen menggunakan domain laut. Oleh karena
itu, bagi negara maju ancaman keamanan maritim tidak bisa ditolerir.
Ahli strategi maritim Inggris Dr Geoffrey Till (2009) berpendapat,
kejayaan seapower (pelabuhan, armada perkapalan niaga, dan
Angkatan Laut) suatu bangsa berkorelasi langsung dengan kejayaan
bangsa itu sendiri. Artinya, laut memang memegang peran sangat
penting dan strategis dalam mewujudkan bangsa yang jaya dan
sejahtera.

Membangkitkan Kejayaan Bangsa


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Setelah sekian lama
pembangunan maritim kita kurang mendapat perhatian, kini --pada
abad ke-21—adalah momentum yang tepat untuk menoleh ke laut
guna membangkitkan kejayaan bangsa.
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 menjadi tonggak sejarah
baru bagi kebangkitan pembangunan maritim. Sebab, wilayah laut
Indonesia bertambah menjadi sangat luas. dari yang sebelumnya
hanya berjarak 3 mil mengelilingi pulau. Ke depan pembangunan

Membangun Poros Maritim Dunia


32 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kemaritiman memiliki tantangan yang semakin kompleks terkait
adanya perubahan iklim yang melanda dunia, termasuk Indonesia.

1
Di sisi lain, populasi penduduk yang kian tinggi juga membutuhkan
ketersediaan pangan yang besar.
Presiden pertama RI Soekarno telah lama menyadari bahwa laut
memegang peran sangat penting dan strategis dalam mewujudkan
kemajuan bangsa. Artinya, jika ingin menjadi negara maju maka
kuasailah lautan.
Di samping itu Presiden Joko Widodo saat dilantik oleh MPR
sebagai Presiden ke-7 RI pada 20 Oktober 2014 juga menyadarkan kita
sebagai bangsa maritim. Menurutnya pembangunan kemaritiman
akan menjadi salah satu prioritas kabinetnya selama lima tahun ke
depan.
Kalau selama ini kita memunggungi laut, sudah saatnya perha-
tian dialihkan ke sana. Samudra, laut, selat, dan teluk akan kita kelola
demi kemakmuran rakyat. Kita bertekad akan menjadi poros maritim
dunia.
Tekad Presiden tersebut tidaklah berlebihan, bahkan dapat
menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi Indonesia memiliki keunggulan
komparatif berupa sumber daya laut berlimpah ruah yang tidak
dimiliki bangsa lain.
Menurut catatan World Bank, pada tahun 2050 dunia mengalami
tantangan pangan karena jumlah penduduknya mencapai sekitar
9,3 miliar orang. Dengan pertumbuhan tersebut mengakibatkan
bertambahnya kebutuhan pangan. Selain itu, naiknya pendapatan
seseorang juga akan semakin meningkatkan konsumsi terhadap kalori
dan daging. Atas dasar itulah maka pada tahun 2050 dibutuhkan lahan
pertanian sekitar 266 juta hektare.
Mc Kinsey yang mengutip hasil riset dari Food and Agricultural
Organization (FAO) mengungkapkan, kebutuhan lahan pada tahun
2030 mencapai 175 – 220 juta ha. Padahal lahan yang tersedia hanya
98 juta ha. Melalui penerapan inovasi, dapat dihasilkan peningkatan
produksi sehingga setara dengan penyediaan lahan baru seluas 29
juta ha. Dengan demikian pada tahun 2030 dibutuhkan penambahan

Pasang Surut Kejayaan Maritim 33


lahan seluas sekitar 48 – 93 juta ha untuk memenuhi kekurangan
kebutuhan protein bagi sekitar 250 – 450 juta orang.

1
Kebutuhan tersebut sangat sulit dipenuhi dari daratan. Alasan-
nya, untuk mencetak lahan baru dibutuhkan biaya sangat tinggi.
Lagi pula, lahan pertanian yang ada juga semakin berkurang lantaran
dikonversi menjadi lahan nonpertanian seperti permukiman, industri,
jalan raya, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu diperlukan diversifikasi produk yang berasal
tidak hanya dari darat tetapi juga dari laut. Sumber protein hewani
dari ikan diharapkan dapat memenuhi kekurangan pangan di masa
depan. Indonesia, menurut Mc Kinsey (2014), memiliki peluang
untuk mengatasi kekurangan kebutuhan protein. Sebagai penghasil
produk perikanan terbesar kedua di dunia setelah Cina, pada tahun
2009 Indonesia mampu menghasilkan 9,815 juta ton. Memang
sebagian besar (91 %) dari produksi tersebut dipakai untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Sisanya, hanya 9 % atau sekitar 868.000 ton
diekspor ke berbagai negara.
Nilai rata-rata dari produk perikanan budidaya dari Indonesia
mencapai US$ 1.849 per ton. Angka ini hampir setara dengan nilai
rata-rata dunia sebesar US$ 1.891 per ton. Namun jika dibandingkan
dengan negara lain misalnya Norwegia yang merupakan salah satu
negara terdepan dalam perikanan budidaya, nilai tersebut masih jauh
tertinggal, yakni sebesar US$ 3.732 per ton. Jika melihat dari potensi
sumber daya yang dimiliki, maka Indonesia masih berpeluang sangat
tinggi untuk meningkatkan produksinya untuk bisa mengejar produksi
perikanan budidaya dari negara-negara lain.
Peluang lain berasal dari perikanan tangkap. Pada tahun 2010,
masih menurut Mc Kinsey (2014), produk perikanan tangkap di per-
airan Maluku-Papua menduduki nilai tertinggi, yakni 13,1 ton/kapal
dengan total produksi 1,087 juta ton. Posisi berikutnya ditempati per-
airan laut di Sumatra barat (12 ton/kapal dengan produksi 442.000
ton), Sumatra timur (10 ton/kapal dengan produksi 581.000 ton),
Jawa utara (9,9 ton per kapal dengan produksi 843.000 ton), Selat
Malaka (9,2 ton/kapal dengan produksi 315.000 ton), Kalimantan se-

Membangun Poros Maritim Dunia


34 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
latan dan barat (8 ton/kapal dengan produksi 239.000 ton), Sulawesi
selatan (7,5 ton/kapal dengan produksi 509.000 ton), Sulawesi utara

1
(6,9 ton/kapal dengan produksi 434.000 ton), Bali-NTT (5,6 ton/kapal
dengan produksi 307.000 ton), Kalimantan timur (5,2 ton/kapal de-
ngan produksi 159.000 ton), dan Jawa selatan (4,4 ton/kapal dengan
produksi 123.000 ton). Secara nasional, rata-rata produksi ikan tang-
kap adalah 8,8 ton/kapal.
Dengan memperbaiki sistem perikanan budidaya dan perikanan
tangkap, produksi dan nilai tambah perikanan Indonesia sebenarnya
dapat ditingkatkan. Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa
sebenarnya Indonesia dapat menjadi penghasil pangan utama untuk
memenuhi kebutuhan dunia.
Potensi perikanan tangkap Indonesia sangat besar dengan po-
tensi lestari sejumlah 7,3 juta ton/tahun dan potensi perikanan budi-
daya di laut mencapai 12,5 juta ha. Kegiatan perikanan baik tangkap
maupun budidaya secara langsung akan membangkitkan industri ma-
ritim dalam hal kebutuhan dan sekaligus penyediaan kapal penang-
kap ikan, kapal pengangkut ikan, kapal untuk kegiatan deployment
dan pembongkaran sarana keramba jaring apung, kapal pengangkut-
an pakan, kapal untuk kegiatan monitoring dan pengawasan lokasi
budidaya, alat penangkap ikan dan kapal pengawas pencurian ikan.

Sebaran lokasi potensi beberapa jenis ikan.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 35


Berbagai kebutuhan pengembangan perikanan tangkap dan
budidaya laut tersebut di atas, akan mendorong tumbuhnya industri

1
maritim baik dalam hal pembangunan kapal, sarana prasarana
budidaya, dan teknologinya. Selain itu, perikanan termasuk dalam
hal ini kegiatan penangkapan, budidaya laut, dan pengolahan
hasilnya juga akan berkembang dengan adanya peningkatan aktivitas
transportasi antar pulau dan kepelabuhanan. Pelabuhan-pelabuhan
perikanan diharapkan akan semakin ramai dengan kegiatan
pendaratan ikan karena distribusi dan konsumsi ikan semakin baik.
Harga ikan akan menjadi lebih kompetitif, terdistribusi lebih cepat ke
konsumen, dan menjadikan bisnis dan investasi di sektor ini semakin
menarik minat swasta.
Selain sumber daya perikanan, wilayah laut Indonesia juga kaya
akan cekungan Migas (kurang lebih 60% cekungan Migas berada di
laut). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas di laut juga merupakan
salah satu pemicu perkembangan industri maritim. Kegiatan ekplorasi
melibatkan kapal-kapal survei, transportasi dan pemasangan
rig, pengangkutan hasil Migas ke daratan atau unit pengolahan,
pemasangan pipa dan sarana prasarana penambangan lepas pantai
merupakan hal-hal utama yang mendorong pertumbuhan dan
perkembangan industri terkait baik perkapalan, instalasi bawah laut,
dan jasa lainnya.
Indonesia juga dikaruniai oleh keindahan alam dan budaya
bahari yang tiada tara sehingga pariwisata perlu dikembangkan untuk
menangkap peluang-peluang yang ada dalam bentuk wisata bahari,
minat khusus seperti menyelam, berkemah serta wisata edukasi,
sejarah dan budaya. Seiring dengan bergeraknya pariwisata bahari
maka akan meningkatkan kebutuhan kapal seperti cruise, yacht, glass
bottom boat, dan perahu layar juga akan meningkat seiring dengan
semakin banyaknya aktivitas di laut untuk berwisata.
Laut semestinya menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia
karena lautlah yang menghubungkan dan menyatukan tujuh belas
ribu lebih pulau-pulau di Indonesia. Namun demikian, kenyataannya
adalah laut seakan-akan menjadi pemisah antar pulau. Sehingga

Membangun Poros Maritim Dunia


36 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1

Sumber: Kadin (2015) dan berbagai sumber

diperlukan aksesibilitas dan konektivitas untuk menyatukan pulau-


pulau tersebut.
Konektivitas tersebut membutuhkan sarana transportasi laut
khususnya kapal pengangkut barang dan penumpang baik untuk
kebutuhan dalam negeri antar pulau maupun antar negara. Dengan
adanya peningkatan jumlah kapal dan frekuensi keluar masuk pulau
membawa konsekwensi kebutuhan pelabuhan baik skala besar
maupun kecil, jety, dermaga pulau, marina, dan galangan kapal.
Mengembalikan kejayaan maritim memerlukan strategi dan pe-
rencanaan yang matang dan terarah melalui pengembangan sumber
daya manusia (SDM), Iptek, penataan ruang laut, dan kelembagaan
(regulasi dan lembaga pelaksana). Keunggulan komparatif --berupa
sumber daya alam dan budaya lokal yang dimiliki Indonesia—tak ba-
nyak memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa jika tanpa disentuh
oleh SDM andal yang menguasai Iptek.
Sering kali permasalahan yang harus dipecahkan sangat komplek

Pasang Surut Kejayaan Maritim 37


dan membutuhkan penanganan terpadu dari setiap unsur pemerin-
tah baik pusat maupun daerah.

subandono.diposaptono@yahoo.com
Kerangka dasar kebangkitan maritim, sebuah tugas dan siklus historis.
subandono.diposaptono@yahoo.com

Membangun Poros Maritim Dunia


38 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Mengembalikan kejayaan maritim tersebut di atas dapat berjalan
dengan baik dan optimal apabila keseluruhan proses-prosesnya dapat

1
dipenuhi yaitu:
a. Sumber daya alam. Berlimpah ruahnya kekayaan sumber daya
alam (baik hayati maupun non hayati) merupakan keunggulan
komparatif yang dimiliki Indonesia dan tidak dipunyai oleh negara
lain. Komponen ini merupakan kunci utama dalam mengembang-
kan industri yang berbasis sumber daya alam maritim. Sumber
daya alam ini harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin un-
tuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
b. Iptek. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya maritim yang
kompetitif dan berdaya saing tinggi dibutuhkan penguasaan Iptek.
Iptek ini meliputi antara lain potensi, sebaran, kualitas, kondisi,
pasar, kebutuhan pengembangan, dampak pemanfaatan, dan
sosial ekonomi. Sejarah pengelolaan sumber daya alam kelautan
sangat penting untuk menentukan bentuk pemanfaatan yang
paling optimal secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. Selain itu,
teknologi juga memegang peranan yang sangat penting dalam hal
meningkatkan nilai tambah, mengelola dampak, meningkatkan
produksi dan kualitas hasil pengolahan, penentuan lokasi atau
ruang laut yang sesuai, dan monitoring serta evaluasinya.
c. Barang dan jasa. Keunggulan komparatif yang dikelola dengan
menggunakan Iptek akan menghasilkan barang dan jasa yang
kompetitif. Dengan keunggulan kompetitif inilah maka produk
buatan Indonesia mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasional,
maupun internasional.
d. Devisa. Ketika barang dan jasa tersebut digunakan konsumen
maka hal tersebut mendatangkan devisa negara. Selain itu,
perputaran barang dan jasa antar pulau, antar wilayah, dan
antar negara akan membangkitkan ekonomi riil, menghasilkan
devisa, dan menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya
akan meningkatkan keuangan dan pendapatan negara serta
masyarakat.
e. Tata ruang laut. Sebagai landasan spasial dan untuk menjamin
sinergitas serta kepastian hukum dalam membangun kemaritiman

Pasang Surut Kejayaan Maritim 39


diperlukan penataan ruang laut. Dengan demikian tercipta
keseimbangan antar wilayah, keseimbangan pemanfaatan

1
ruang untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, perlindungan
lingkungan, dan pertahanan keamanan.
Prinsip utama dalam tata ruang laut adalah perencanaan dan
pengelolaan aktivitas manusia di wilayah laut, bukan penataan
ekosistem laut atau komponen ekosistem laut. Untuk itu, agar alokasi
penggunaan ruang laut menurut tujuan dan kegunaan selaras dengan
daya dukung, maka ada enam hal yang harus diperhatikan.
Pertama, berbasis pada ekosistem, yang berarti keseimbangan
antara ekologi, ekonomi dan sosial untuk keberlanjutan sumber daya
dan penggunaan ruang laut. Kedua, terintegrasi (antar pemangku
kepentingan mulai dari tingkat nasional sampai lokal).
Ketiga, berbasis kewilayahan, untuk pemerataan pemanfaatan
sumber daya dan daya dukung lingkungan. Keempat, adaptif,
kapabilitas untuk belajar dari proses yang sudah dan sedang berjalan.
Kelima, strategis dan antisipatif, artinya bisa diimplementasikan
dalam jangka panjang. Keenam, partisipatoris yang mengakomodasi
segenap pemangku kepentingan (UNESCO, 2009). Tata ruang laut
bukanlah proses statis dengan one-hit development process tetapi
merupakan proses dinamis yang selalu disesuaikan dengan kondisi
dan daya dukung ekosistem.
Oleh karena itu diperlukan perencanaaan yang terpadu dan
kompehensif secara spasial berupa tata ruang laut sebagai landasan
dan arahan spasial dalam membangun kelautan Indonesia menuju
poros maritim dunia.
Keberhasilan tanpa perencanaan adalah sebuah kebetulan.
Sebuah kebetulan sulit diulangi, apalagi untuk jangka panjang.
Keberhasilan dengan perencanaan adalah sebuah pencapaian
(achievement). Tanpa ada rencana, perubahan tidak dapat diukur
bahkan tidak mudah diketahui.
Dalam perspektif manajemen dan organisasi, proses perencana-
an merupakan pekerjaan yang sangat penting. Bahkan banyak
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kualitas implementasi akan
sangat tergantung dari kualitas perencanaannya.

Membangun Poros Maritim Dunia


40 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1
Cita-Cita Indonesia
Menjadi Poros Maritim Dunia

Di berbagai kesempatan, baik di dalam maupun luar negeri,


Presiden RI Joko Widodo memaparkan cita-cita Indonesia
menjadi Poros Maritim Dunia. Berikut ini lima pilar utama
yang ingin diwujudkan Bangsa Indonesia untuk mewujudkan
Poros Maritim Dunia pada abad ke-21.

M
enyimak pernyataan Presiden Joko Widodo pada acara
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Nay Pyi Taw,
Myanmar, Kamis 13 November 2014 sangatlah menarik. Di
situlah Jokowi memaparkan visi Indonesia untuk menjadi negara
poros maritim dunia.
Menurutnya, sebuah transformasi besar sedang terjadi pada abad
ke-21 ini. Pusat gravitasi, geoekonomi, dan geopolitik dunia sedang
bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % per tahun dan total GDP
sekitar US$ 40 triliun, Asia Timur merupakan kawasan paling dinamis
secara ekonomi. Sekitar 40 persen perdagangan dunia ada di kawasan
ini.

Pasang Surut Kejayaan Maritim 41


setkab.go.id

Presiden RI Joko Widodo memaparkan visi Indonesia menjadi Poros Maritim


Dunia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Myanmar,
13 November 2014.

Dalam dinamika itu, laut akan semakin penting artinya bagi masa
depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudra strategis
(Hindia dan Pasifik) merupakan jalur penting bagi lalu lintas perda-
gangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan
“lorong” lalu lintas maritim dunia. Dua samudra strategis itu juga me-
nyimpan kekayaan besar (energi dan sumber daya laut lainnya) yang
akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan.  
Indonesia, menurut Jokowi, berada tepat di tengah-tengah proses
perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun
geoekonomi. Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus
menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia, sebagai kekuatan
yang berada di antara dua samudra.
Secara geografis, Indonesia berada di antara dua samudra (Pasifik
dan Hindia). Negara kepulauan ini juga terletak di antara dua benua
(Asia dan Australia). Posisi silang ini sangat strategis, baik dilihat dari
politik dan ekonomi. Inilah mengapa Indonesia layak mengukuhkan
sebagai Poros Maritim Dunia.

Membangun Poros Maritim Dunia


42 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Posisi sebagai Poros Maritim Dunia membuka peluang bagi
Indonesia untuk membangun kerja sama regional dan internasional

1
bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama tersebut dilandasi oleh
kesepahaman bersama sehingga menghasilkan solusi yang saling
menguntungkan (win-win solution) di antara pihak yang terlibat.
Poros Maritim Dunia adalah suatu visi Indonesia untuk menjadi
sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat,
dan mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan
perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.

5 Pilar Utama
Menurut Presiden ke-7, agenda pembangunan untuk
mewujudkan Poros Maritim Dunia ini memiliki lima pilar utama.
Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai
negara yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus
menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya,
kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh
bagaimana kita mengelola samudra.
Kedua, menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan
fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan
industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar
utama. Kekayaan maritim ini akan digunakan sebesar-sebesarnya
untuk kepentingan rakyat.
Ketiga, memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur
dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport,
logistik, industri perkapalan, serta pariwisata bahari.
Keempat, melalui diplomasi maritim, Indonesia mengajak semua
mitra untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Secara bersama-sama
kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian
ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan
pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan kita
semua.
Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra,
Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan

Pasang Surut Kejayaan Maritim 43


pertahanan maritim. Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga
kedaulatan dan kekayaan maritim, tetapi juga sebagai bentuk

1
tanggung jawab Indonesia dalam menjaga keselamatan pelayaran
dan keamanan maritim.
Cita-cita dan agenda di atas akan menjadi fokus Indonesia di
abad ke-21. Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia, kekuatan
yang mengarungi dua samudra, sebagai bangsa bahari yang sejahtera
dan berwibawa.
Lalu, bagaimana tata ruang laut dapat membantu menegakkan
lima pilar poros maritim dunia? Pertama, tata ruang laut
mengalokasikan ruang laut yang strategis untuk kepentingan sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Kedua, tata ruang laut dapat mensinergikan antara pemanfaatan
ekonomi dan perlindungan/konservasi sumber daya laut. Ketiga, tata
ruang laut menggerakkan investasi ekonomi dan menyambungkan
potensi antarwilayah dalam konektivitas ekonomi dan sumber daya
beserta infrastrukturnya.
Keempat, tata ruang laut di wilayah perbatasan memberikan
kekuatan diplomasi Negara untuk memperjuangkan kepentingan
nasional. Lainnya, tata ruang laut juga melindungi adat, budaya, serta
kearifan lokal di laut.

Membangun Poros Maritim Dunia


44 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

Bab II
Mengenal Potensi Laut,
Pesisir, dan Pulau-Pulau
Kecil dengan Berbagai
Permasalahannya

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 45
2 Kekayaan Laut, Pesisir,
dan Pulau-Pulau Kecil dengan
Berbagai Persoalannya

Bukan lautan hanya kolam susu


Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
..........

P
enggalan bait lagu yang dinyanyikan Koes Plus dengan sangat
apik dan populer di atas menggambarkan betapa potensi laut
Indonesia sangat beragam dan kaya raya. Laut Indonesia seluas
6.315.222 km2 dengan panjang pantai sekitar 99.093 km itu ditaburi
keanekaragaman jenis biota (biodiversity) sangat tinggi.
Begitu pula dengan keindahan panorama dasar laut. Himpunan
aneka jenis terumbu karang dengan ikan-ikan karang penuh warna
menjadi mozaik alam yang elok memikat. Kondisi ini menarik minat
para penyelam (diver) untuk menikmati keindahannya. Tentu saja
masih banyak potensi lainnya yang menghampar di laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.

Membangun Poros Maritim Dunia


46 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Sayangnya, potensi dan keelokan itu juga mengalami berbagai
persoalan serius, baik yang ditimbulkan manusia maupun oleh pro-
ses alam. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang sangat tinggi
–saat ini populasinya berjumlah sekitar 240 juta orang—juga berkon-
tribusi dalam menambah kompleksitas persoalan.
Berikut ini disajikan beberapa potensi sumber daya ekonomi di

2
perairan Indonesia dengan berbagai masalah yang menyertainya.

Transportasi Laut
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.504
pulau membutuhkan transportasi laut sebagai sarana penghubung,
baik untuk melayani kebutuhan domestik maupun kegiatan ekspor-
impor barang. Praktis, jasa transportasi laut memiliki potensi yang
sangat tinggi.
Menurut Kadin (2015) dan berbagai sumber, besarnya potensi
transportasi laut di Indonesia sekitar Rp 240 triliun per tahun.
Lebih dari 45% total barang dan Potensi transportasi laut
komoditas perdagangan antar bangsa di di Indonesia mencapai
sekitar Rp 280 triliun.
dunia senilai sekitar US$ 1.500 triliun per Sayangnya, transportasi
tahun diangkut oleh kapal-kapal niaga laut tersebut masih
melalui Laut Indonesia terutama Selat didominasi armada asing,
baik untuk kegiatan
Malaka dan ketiga ALKI (Alur Laut Kepulauan ekspor-impor maupun
Indonesia). Ironisnya, potensi yang sangat domestik.
perusahaanmakmurabadi.com

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 47
besar itu belum dimanfaatkan oleh pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang lokasi ALKI.
Bongkar muat peti kemas di Indonesia diperkirakan meningkat
dari 12 juta TEUs pada 2012 menjadi 40 juta TEUs pada 2030.
Sayangnya kinerja logistik nasional masih rendah dan belum optimal.
Di antaranya waktu bongkar muat (dwelling time) yang masih lama,

2
lebih dari empat hari.
Selain itu, transportasi laut tersebut masih didominasi armada
asing. Untuk kegiatan ekspor-impor misalnya, armada asing ham-
pir menguasai sepenuhnya, yakni sekitar 95%. Armada dalam negeri
hanya kebagian 5%. Sementara itu, untuk melayani kebutuhan trans-
portasi di dalam negeri (domestik), armada asing pun cukup berjaya
dengan menguasai 45%.
Kapal-kapal tersebut mengangkut sekitar 5 juta peti kemas
per tahun untuk tujuan ekspor dan 177 juta ton angkutan barang
interinsuler. Bisa dibayangkan berapa devisa yang bisa diraih jika
kita mampu memanfaatkan potensi tersebut. Tidak mudah memang
mendayagunakan potensi tersebut. Namun dengan memahami

Arus kunjungan kapal (unit) di Indonesia tahun 2008-2012.

Membangun Poros Maritim Dunia


48 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2
bumn.go.id

PT PAL Surabaya memiliki kemampuan untuk membuat kapal kontainer, kapal


tanker, dan jenis kapal lainnya untuk melayani pelayaran internasional.

berbagai persoalan, niscaya akan lahir terobosan-terobosan baru agar


kita mampu mengubah potensi tersebut menjadi nilai tambah baru
yang aktual.
Upaya utama yang harus dilakukan adalah pemerintah dan
swasta perlu bergandengan tangan untuk berinvestasi membangun
infrastruktur dan sarana serta prasarana transportasi laut seperti
pembangunan kapal-kapal pengangkut kargo berukuran besar
maupun kapal-kapal untuk melayani kegiatan domestik. Kegiatan ini
dapat dilakukan di galangan kapal nasional yang tersebar di beberapa
daerah seperti Surabaya, Makassar, dan lain-lain.
Fasilitas pelabuhan terkait dengan ISPS (International Ship and
Port) Code juga perlu dilengkapi untuk mendukung keamanan global
dan regional. Fasilitas semacam ini masih minim di pelabuhan-pe-
labuhan di Indonesia.
Masalah lain yang perlu diatasi adalah masih rendahnya kualitas
dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pelayaran,
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebutkan bahwa kebu-

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 49
tuhan SDM bidang pelayaran baru bisa dipenuhi sebesar 21%, atau
sekitar 1.500 dari 7.000 orang per tahun. Kementerian Perhubungan
lebih jauh mengungkapkan bahwa Indonesia kekurangan 18.000 pe-
laut tingkat perwira dan 25.000 orang tingkat ranting untuk industri
transportasi laut.

2
Industri Maritim
Saat ini, masih berada dalam tahap inisiasi untuk menggerakkan
dan menguasai transportasi laut. Akan tetapi, efek domino dari
menggeliatnya industri di sektor ini sudah mulai terasa. Industri
maritim nasional yang saat ini berjumlah sekitar 240 perusahaan
dapat tumbuh dan berkembang. Mereka terbukti mampu merancang
dan membangun kapal-kapal, baik kapal tanker, kapal kargo, kapal
kontainer, kapal penangkap/pengangkut ikan, maupun kapal
penumpang serta membangkitkan roda industri kecil dan menengah
yang menjadi pendukung dari industri perkapalan tersebut.
PT PAL Surabaya misalnya, memiliki kemampuan untuk membuat
kapal kontainer, kapal tanker, dan jenis kapal lainnya untuk melayani

Membangun Poros Maritim Dunia


50 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pelayaran internasional. Lalu, ada juga galangan kapal swasta nasional
yang memproduksi kapal-kapal penunjang kegiatan lepas pantai jenis
alumunium.
Di seluruh dunia, kapal tanker dan LNG mendominasi pelayaran
dengan populasi sekitar 45%. Urutan berikutnya adalah kapal bulk
carrier (39%), kapal kontainer (10%), dan kapal general kargo (7%).

2
Produksi kapal nasional cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Kementerian Perindustrian (2013) mencatat, pada tahun 2005
jumlah kapal berbendera Indonesia baru mencapai 6.000 unit. Angka
ini meningkat menjadi 11.500 unit pada tahun 2013.
Peningkatan jumlah kapal ini merupakan dampak dari Instruksi
Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 tentang pelaksanaan asas cabotage.
Asas ini merupakan kewajiban menggunakan bendera Indonesia bagi
kapal niaga yang beroperasi di perairan Indonesia guna memperkuat
armada perdagangan nasional.
Industri perkapalan dalam negeri memang menorehkan angka
ekspor yang lumayan tinggi. Pada tahun 2006 misalnya, kita mampu
mengekspor kapal senilai US$ 219,8 juta. Namun dibandingkan
dengan nilai impornya, kita mengeluarkan devisa jauh lebih besar,
yakni sekitar US$ 803,43 juta.
Kapasitas terpasang galangan kapal di Indonesia.
Fasilitas untuk
Fasilitas untuk reparasi
bangunan baru
Kapasitas
No. Kelas fasilitas Kapasitas terpasang
Jumlah Jumlah terpasang per
per tahun
(unit) (unit) tahun
(GT) (DWT) (GT) (DWT)
1 < 500 121 480.000 720.000 99 21.000 31.500
2 501 - 1.000 45 495.000 742.500 27 17.000 25.500
3 1.001 - 3.000 25 455.000 682.500 8 10.000 15.000
4 3.001 - 5.000 6 400.000 600.000 10 37.000 55.500
5 5.001 - 10.000 7 900.000 1.350.000 11 50.000 75.000
6 > 10.000 6 1.270.000 1.905.000 5 130.000 197.500
Jumlah 210 4.000.000 6.000.000 160 65.000 400.000

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 51
Berdasarkan penelusuran penulis, ada sejumlah masalah dalam
mengembangkan industri maritim nasional. Di antaranya, minat
perusahaan swasta untuk berinvestasi masih rendah, kurangnya
sarana hukum untuk menjamin kepastian berusaha, serta kurangnya
minat dan dukungan perbankan untuk menyuplai modal.
Di samping itu, aturan untuk mengelola industri perkapalan di

2
berbagai daerah juga belum seragam. Otonomi daerah yang tadinya
dimaksudkan dapat memberi kewenangan penuh bagi pemerintah
daerah untuk mengembangkan seluruh potensinya, kini malah
menciptakan aturan-aturan yang menyulitkan investor. Kondisi
ini diperparah dengan belum terciptanya sinergitas dan integrasi
antarsektor terkait dengan industri maritim.

Perikanan
Kita juga memiliki potensi perikanan yang tinggi namun Produk
Domestik Bruto (PDB) kelautan dan perikanan hanya 3,2%. Potensi
perikanan tangkap mencapai 7,3 juta ton/tahun tetapi belum mampu
menyejahterakan sebagian besar nelayan. Di samping itu kawasan
budidaya laut seluas sekitar 12,5 juta hektare yang baru dimanfaatkan
hanya sekitar 10%.
Tak hanya itu, saat ini terdapat sekitar 65.000 unit pengolahan
ikan. Sayangnya sebagian besar masih berskala kecil. Di sisi lain lebih
dari 40% industri pengalengan ikan tidak beroperasi. Industri yang
beroperasi di bawah kapasitas lantaran kekurangan bahan baku.
Kinerja produksi dan daya saing negara-negara kompetitor semakin
pesat. Sebaliknya, produksi dan daya saing nasional hampir tidak
bergerak.
Fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa sumber daya
perikanan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masyarakat
belum sejahtera.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2014) mencatat,
potensi lestari ikan di laut Nusantara mencapai 7,3 juta ton ikan/tahun.
Dari angka tersebut, yang telah dimanfaatkan lebih dari 6,3 juta ton
(KKP, 2014). Artinya, jumlah tangkapan telah melebihi angka yang

Membangun Poros Maritim Dunia


52 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
diperbolehkan, yakni 80% dari potensi lestarinya atau sekitar 5,84 juta
ton/tahun.
Sementara itu, potensi kawasan budidaya laut mencapai luas
sekitar 12,5 juta ha (KKP, 2014) dengan pemanfaatan baru seluas
sekitar 10% dari potensi budidaya laut yang ada, sehingga terbuka
untuk pemanfaatan budidaya laut yang masih luas.

2
Di tingkat masyarakat, konsumsi ikan juga meningkat secara
signifikan. Kalau sebelumnya konsumsi ikan hanya 29,08 kg per kapita
per tahun pada tahun 2009, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi
37,89 kg per kapita per tahun (KKP, 2014). Fakta ini jelas memberi
peluang bagi penyediaan ikan konsumsi sekaligus berkembangnya
industri pengolahan ikan, khususnya di luar Pulau Jawa. KKP mencatat,
sampai tahun 2014 terdapat unit pengolahan ikan (UPI) sebanyak
60.163 unit yang sebagian besar masih terdapat di Pulau Jawa (26.805
unit).
Meskipun kaya potensi, namun sejumlah masalah masih
menghantui sektor perikanan. Berdasarkan kalkulasi SMERU (2002),
indeks kemiskinan (poverty headcount index) nelayan masih tinggi,
yakni mencapai 32%. Di samping itu, di beberapa perairan Indonesia
yang dikenal sebagai lumbung ikan juga kerap menjadi sasaran empuk
bagi penangkap ikan secara ilegal (illegal fishing).
Persoalan lain juga terjadi pada perairan dengan jumlah popu-
lasi nelayan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan Laut Jawa dan Selat
Malaka mengalami kelebihan tangkapan ikan (over fishing). Akibatnya,
nelayan-nelayan yang beroperasi di perairan tersebut tidak mampu
mendapatkan ikan secara optimal.
Di bagian lain, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil juga
mengalami kerusakan. Tempo hari di perairan Batam misalnya, akibat
pengerukan pasir laut untuk memenuhi kebutuhan material reklama-
si Singapura, terjadi abrasi di berbagai pantai. Kerusakan juga terjadi
pada ekosistem terumbu karang.
Begitu pula di pulau-pulau kecil. Penggunaan alat tangkap yang
tak ramah lingkungan seperti bom, racun, dan jaring pukat harimau
terbukti telah memerosotkan potensi ikan jauh di bawah potensi les-

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 53
2

tarinya. Sebagian besar masyarakat pesisir di pulau-pulau kecil juga


memiliki keterbatasan dalam menerapkan sistem jaminan mutu hasil
perikanan. Akibatnya, nilai jual ikan merosot drastis karena memang
mutu ikannya tak segar lagi.

Bioteknologi Kelautan
Bioteknologi kelautan di Indonesia bagai mutiara terpendam;
memiliki potensi tersembunyi yang siap menyejahterakan dan me-
makmurkan bangsa. PKSPL IPB mendata, potensi bioteknologi dari
laut Indonesia diperkirakan mencapai US$ 800 miliar per tahun.

Membangun Poros Maritim Dunia


54 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Yang lebih mengejutkan lagi adalah sekitar 35.000 spesies biota
laut berpotensi sebagai penghasil obat-obatan. Dari angka itu, ternyata
yang baru dimanfaatkan sekitar 5.000 spesies. Inilah peluang industri
farmasi nasional yang siap memutar roda perekonomian bangsa.
The Economist (1998) mencatat, omzet penjualan dunia produk
farmasi sekitar USS 300 miliar per tahun. Dari jumlah itu, sebanyak

2
9 persennya (sekitar US$ 6,75 – 15,5 miliar) berasal dari invertebrata
laut.
Mengembangkan industri bioteknologi kelautan tidaklah mu-
dah. Apalagi sejumlah persoalan masih merintangi pengembangan
industri tersebut. Sebut saja, masih terbatasnya informasi ilmiah
sebagai landasan pengelolaan sumber daya hayati perairan, kurangnya
pengetahuan ilmuwan kita tentang nilai dan manfaat ekosistem
pesisir dan laut yang komplek sehingga memerlukan kajian yang
mendalam, serta kurangnya intensitas pertukaran informasi antara
peneliti, stakeholder, dan pengambilan kebijakan. Masalah lain yang
perlu ditangani adalah konflik antara kepentingan konservasi dan
pemanfaatan.

Wisata Bahari
Indonesia memang dikaruniai keelokan pantai bernuansa iklim
tropis yang memukau dan menghangatkan. Didukung dengan kein-
dahan alam nan permai, pantai-pantai berpasir putih itu cocok untuk
berjemur, bermandikan sinar surya, dan berleha-leha bermanja ria.
Menyelam ke dasar laut, kita juga dibuat terpana dengan keelok-
an terumbu karang beserta keragaman hayatinya. KKP mencatat, laut
Indonesia seluas sekitar 6.315.222 km2 itu dihuni oleh sekitar 700 jenis
terumbu karang dan 263 jenis ikan hias.
Kondisi inilah yang menjadikan keelokan dasar laut Indonesia
sebagai salah satu panorama terindah di dunia. Tak salah jika Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dunia untuk kategori Diver Destination of
The Year.
Bahkan World Tourism Organization atau WTO (2000) menem-
patkan enam lokasi ekosistem terumbu karang sebagai bagian dari 10

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 55
ekosistem terumbu karang terindah
dan terbaik di dunia. Keenam lokasi
elok tersebut adalah Raja Ampat
(Papua Barat), Wakatobi (Sulawesi
Tenggara), Taka Bone Rate (Sulawesi
Selatan), Bunaken (Sulawesi Utara),

2
Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan
Pulau Weh (Nangroe Aceh Darus-
salam).
Di bagian lain, pantai dengan
gulungan ombak yang tinggi cocok
bagi peselancar menguji hormon
adrenalinnya. Kekayaan aneka
budaya lokal dan kesenian rakyat
ikut menambah daya tarik bagi
wisatawan. Apalagi biaya hidup
di Indonesia jauh lebih murah
ketimbang di negara-negara maju.
Singkat kata, kawasan pesisir
dan laut Indonesia merupakan tem-
pat ideal bagi pelancong. Indonesia
laksana surga dunia yang memiliki
jumlah objek wisata terbesar di se-
luruh penjuru dunia. Kadin (2015) mengklaim, potensi wisata bahari
yang tersebar dari Sabang hingga Merauke itu mencapai sekitar Rp 24
triliun per tahun.
Di balik gemerlapnya semesta laut tersebut, kita mulai dibuat
cemas dengan kondisi terkini. Pasalnya, kerusakan lingkungan pesisir
masih saja terjadi, baik karena ulah manusia, pencemaran, eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan, maupun bencana alam (abrasi,
tsunami, rob, dan lain-lain). Kita juga masih menghadapi sejumlah
persoalan ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan. Semua problem ini
ikut menghambat terciptanya kawasan wisata yang mendunia.

Membangun Poros Maritim Dunia


56 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

Foto: Slamet W.

Mineral Dasar Laut World Trade


Organization atau WTO
Jauh berada di dasar laut, Indonesia
(2000) menempatkan
juga menyimpan mineral dasar laut (sea bed enam lokasi ekosistem
minerals) yang cukup menggiurkan. Menga- terumbu karang di
Indonesia sebagai
pa demikian? Secara geografis, dasar per- bagian dari 10
airan Indonesia terdiri oleh mineral-mineral ekosistem terumbu
karang terindah dan
polymetallic no-dule dan polymetallic crust.
terbaik di dunia. Di
Mineral batuan alamiah ini tersusun oleh antaranya adalah
logam mangan, molibdenum, vanadium, Kepulauan Raja Ampat
(Papua Barat) seperti
titanium, nikel, emas, tembaga, dan kobal terlihat pada gambar.
dengan konsentrasi tinggi.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 57
Pada material pasir laut misalnya, mengandung mineral kuarsa
lebih dari 90%. Sisanya, diisi oleh mineral rutil, zircon (ZrO2) sebesar
364 ppm, dan thorium (ThO2) sekitar 1,5 ppm. Kualitas pasir laut se-
perti ini sangat cocok untuk material reklamasi. Itulah sebabnya Singa-
pura senantiasa sangat berharap agar Indonesia bersedia membuka
kembali keran ekspor pasir laut.

2
Di beberapa lokasi perairan laut lainnya, juga tersimpan cadang-
an hidrothermal dengan lubang black smoker dan white smoker. Ber-
dasarkan survei awal, cebakan-cebakan tersebut ternyata mengan-
dung ikatan sulfur dan mineral emas. Lokasi deposit itu berada di per-
airan Riau, Sulawesi Utara, Teluk Tomini, Selat Sunda, Wetar (gunung
api bawah laut Komba, Abang Komba, dan Ibu Komba), Laut Banda,
Laut Selat Lombok, Pulau Damar dan Misool, Sula, Halmahera, Flores
Utara, Mahengentang, serta Kawio.
Sayangnya, berbagai potensi tersebut masih belum dimanfaat-
kan. Beberapa kendalanya adalah sering berubahnya kebijakan dan
minimnya dukungan pendanaan. Akibatnya, kegiatan survei kelautan
tersendat sehingga hasil penelitian tidak fokus dan tidak optimal.
Kondisi ini diperparah dengan belum adanya regulasi yang
mengatur kegiatan riset kelautan dan kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam dasar laut. Persoalan lainnya, biaya pengolahan dan analisis
data tidak sebanding dengan biaya survei sehingga tidak pernah
mencapai konklusi yang diharapkan.
Di samping itu, koordinasi antarinstitusi kebumian dan kelautan
dalam perancangan kegiatan yang terprogram, terarah, dan terinte-
grasi, juga belum berjalan dengan baik. Jika saja kita mampu meng-
atasi berbagai kendala tersebut, niscaya potensi mineral dasar laut
yang menghampar tersebut dapat segera dinikmati masyarakat luas
demi kemakmuran bangsa.

Minyak dan Gas


Laut Indonesia juga menyimpan cadangan minyak dan gas
(Migas) yang berlimpah ruah. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (2013) menghitung, potensi Migas di Indonesia mencapai

Membangun Poros Maritim Dunia


58 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
87,22 miliar barel dan 594,43 triliun kubik feet (TCF). Bayangkan, 1 TCF
setara dengan 178.107.600.997,06 barel.
Potensi Migas tersebut berada di 60 cekungan. Dari jumlah itu,
sebanyak 70 persen di antaranya berada di kawasan pesisir dan laut.
Cadangan hidrokarbon yang tersimpan di 38 cekungan tersebut
diperkirakan mencapai 9,1 miliar barel. Sementara itu, kebutuhan gas

2
pada tahun 2020 diperkirakan mencapai taksiran antara 10,7 hingga
12 TCF.
Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang eksplorasi masih ter-
buka lebar. Apalagi ada 22 cekungan yang belum pernah dieksplorasi.
Potensi tersebut sebagian besar berada di laut dalam (deep sea), ter-
utama di kawasan timur Indonesia. Lokasi-lokasi tersebut meliputi ka-
wasan lepas pantai (offshore) di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua.
Dilihat dari rasio penemuan cadangan, Indonesia tergolong lebih
baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara, yakni mencapai
sekitar 30 persen. Sementara itu, faktor keberhasilan (success ratio)
dari kegiatan eksplorasi mencapai 38 persen. Begitu juga ditinjau
dari sisi biaya penemuan (finding cost) di kawasan offshore. Terbukti
lebih murah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Inilah
peluang besar dalam eksplorasi Migas di masa depan.

Industri Garam
Kita pernah dibuat terperangah saat Indonesia mengimpor
garam industri hingga 2,25 juta ton per tahun. Bukankah kita memiliki
pantai terpanjang ketiga di dunia? Bukankah kita juga dikaruniai
musim kemarau selama enam bulan sehingga energi matahari cukup
berlimpah untuk menguapkan air laut dan mengkristalkan garam?
Jika melihat potensi tersebut rasanya mustahil kita impor garam.
Kita harus bangkit dan mandiri dalam menyediakan kebutuhan
garam, baik untuk keperluan rumah tangga maupun berbagai
industri (pangan, tekstil, kulit, chlor alkali plan atau CAP, serta farmasi).
Berdasarkan kalkulasi KKP, tahun 2014 Indonesia membutuhkan
garam konsumsi 1.483.115 ton dengan perincian untuk rumah tangga

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 59
sebesar 511.390 ton, industri aneka pangan (446.725 ton), dan industri
pengasinan ikan (525.000 ton).
Sedangkan untuk keperluan garam industri 2.128.875 ton de-
ngan perincian untuk industri CAP dan farmasi sebanyak 1.913.625
ton serta indsutri non CAP atau perminyakan, kulit, tekstil, dan sabun
(215.250 ton).

2
Kemandirian garam tampaknya bukan hal sulit jika kita melihat
potensi yang dimiliki Indonesia. KKP mencatat, potensi lahan garam
di seantero Nusantara seluas 37 ribu ha. Lahan-lahan pembuat garam
tersebut tersebar di 9 provinsi, yakni Daerah Istimewa Aceh, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara. Dari luas areal tersebut, yang dimanfaatkan untuk
memproduksi garam baru setengahnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kita masih mengimpor garam
dalam jumlah yang cukup besar? Berdasarkan kajian, hal itu disebab-
kan produktivitas dan kualitas produksi garam masih rendah, harga
garam di tingkat petani juga rendah, dan produksi garam beryodium
yang memenuhi persyaratan masih di bawah 90%.

Potensi lahan garam di seluruh


Indonesia mencapai seluas 37
ribu hektare. Sayangnya, kita
masih mengimpor garam untuk
kebutuhan industri dan pangan
dalam jumlah yang besar.

Membangun Poros Maritim Dunia


60 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Foto: Slamet W.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, ternyata dukungan infrastruktur
(seperti untuk pergudangan dan jalan) belum memadai. Pasalnya,
lokasi pembuatan garam terletak di wilayah pesisir dan terpencar-
pencar. Selain itu, ketersediaan modal, teknologi, dan luas lahan juga
serba terbatas, infrastruktur irigasi belum memadai dan tata kelola air
yang belum optimal.

2
Dari sisi peraturan dan kelembagaan juga perlu dibenahi. Sebab,
selama ini aturan pengelolaan industri garam belum berjalan dengan
baik dan konsisten. Begitu pula dengan kelembagaan dan rantai
perdagangan garam masih bersifat monopoli dan tidak transparan
sehingga posisi tawar petani garam rendah. Di lain pihak, kualias SDM
yang bergerak di industri garam masih lemah, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.

Bangunan Laut
Potensi bangunan laut yang terdiri dari anjungan minyak lepas
pantai (oil rig), kabel dan pipa bawah laut, serta pelabuhan perikanan
juga tak boleh diremehkan. Saat ini ada sekitar 450 anjungan lepas
pantai untuk menunjang aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber
Migas. Dalam membangun anjungan, kabel dan pipa bawah laut jelas
membutuhkan jasa para profesional.
Begitu pula untuk mendukung pengembangan usaha per-
ikanan, hingga tahun 2014 pemerintah telah membangun 968 unit
pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia. Aktivitas ini jelas membu-
tuhkan jasa profesional yang berkualitas dan trampil.
Sayangnya, kegiatan tersebut tidak dibarengi dengan kualitas
SDM yang memadai. Dengan demikian, sampai sejauh ini belum ada
kontribusi jasa atas pemasangan kabel dan pipa bawah laut. Hal ini
juga terkait dengan belum tersusunnya pedoman teknik penataan
bangunan laut. Kita juga perlu mengkaji dan menginventarisasi nasib
anjungan lepas pantai yang sudah tidak dioperasikan lagi. Padahal,
bangunan bekas pakai ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk bidang
kelautan, perikanan, dan wisata bahari.
Menyangkut pemanfaatan pelabuhan perikanan yang telah

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 61
dibangun dengan biaya tinggi itu, kita juga cukup prihatin. Sebab,
pelabuhan perikanan itu belum dimanfaatkan secara optimal salah
satunya disebabkan oleh adanya transhipment di tengah laut.

Jasa Kelautan
Indonesia juga memiliki potensi jasa kelautan yang menarik. Di

2
antaranya benda muatan dari kapal tenggelam (BMKT) dan air laut
dalam (deep ocean water atau DOW). Berdasarkan catatan Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (2004), ada sekitar 463 lokasi kapal tenggelam
di seluruh perairan Indonesia. Sebanyak 245 kapal di antaranya milik
perusahaan dagang Belanda, VOC.
Potensi tersebut sebagian besar masih teronggok di dasar laut
bersama karamnya kapal. Tak mudah memanfaatkan peninggalan
benda-benda bersejarah tersebut. Pasalnya, selama ini belum ada
pemahaman harmonisasi dan sinkronisasi dari berbagai peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT.
Selain itu, lemahnya pemanfaatan BMKT juga terletak pada be-
lum adanya payung hukum yang secara kuat mengatur tentang pe-
ngelolaan BMKT. Persoalan lainnya, perawatan pascapengangkatan
BMKT belum sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologis. Gudang-gu-
dang penyimpanan juga belum dirancang untuk memenuhi kaidah
tersebut.
Dalam hal DOW, Indonesia juga punya potensi tinggi karena
dilalui aliran arus lintas Indonesia (Arlindo). Secara topografi, kita juga
memiliki banyak pantai yang curam dengan kedalaman lebih dari
600 meter. Lokasi yang berpotensi memiliki DOW ini berada di Laut
Sulawesi, Selat Makassar, Selat Lombok, Lautan Hindia, Laut Flores,
Selat Ombay, Laut Banda, perairan utara Papua, dan Laut Maluku.
Studi kelayakan potensi DOW sudah dilakukan di beberapa
perairan. Di antaranya Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Gondol dan Jula
(Bali), Bima dan Dompu (NTB), Kupang (NTT), serta Makassar.
Hingga kini, DOW belum dikembangkan dalam skala ekonomi
secara intensif. Hal ini disebabkan industri tersebut membutuhkan
modal besar. Selain itu, pasar DOW (berupa industri air kemasan,

Membangun Poros Maritim Dunia


62 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
farmasi, kecantikan, dan lain sebagainya) selama ini dikuasai negara
maju seperti Korea Selatan, Jepang, AS, dan lain-lain dengan harga
yang sangat kompetitif. Di dalam negeri, kita juga perlu menyiapkan
berbagai peraturan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah,
termasuk peraturan tentang Otonomi Daerah.

2
Reklamasi Wilayah Pesisir
Disadari atau tidak, populasi manusia dunia terus bertambah, tak
terkecuali Indonesia. Pada tahun 2015 jumlah penduduk kita sekitar
250 juta jiwa. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk sekitar 2,5
persen per tahun, maka pada 2025 populasi penduduk Indonesia
diperkirakan bertambah menjadi sekitar 300 juta jiwa.
Kian berjubelnya populasi manusia membuat daratan kian sesak.
Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan penduduk
baik berupa pangan, sandang, papan, maupun barang dan jasa inferior
(luks).
Kondisi ini menuntut pengembangan sarana dan prasarana
baru seperti transportasi, kawasan perindustrian, permukiman, dan
lain sebagainya. Hal ini tentu saja membutuhkan lahan. Tak mudah
menyediakan lahan baru untuk menampung semua kebutuhan sarana
dan prasarana tersebut.
Konsekuensinya, konversi kawasan hutan dan sawah akan men-
jadi sasaran utama bagi penyediaan lahan tersebut. Kawasan hutan
pun bakal terus dirambah dan dikonversi menjadi lahan produktif baik
untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi permukiman, industri, dan
lain-lain. Kecenderungan ini telah terjadi.
Merambah kawasan hutan untuk dikonversi menjadi lahan
produktif jelas bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Selain
mengurangi daerah resapan air hujan dan menganggu siklus hidro-
logi, penggundulan hutan berdampak pada bencana banjir dan long-
sor. Keragaman jenis hayati di kawasan hutan juga akan punah.
Tak hanya itu, hutan juga berfungsi sebagai penyerap
karbondioksida (CO2) dan penyuplai oksigen. Ketika hutan ditebang,
emisi CO2 semakin tinggi. Padahal CO2 merupakan salah satu gas

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 63
Reklamasi harus dikendalikan
skala luas dan pertumbuhannya

2 agar sesuai dengan daya dukung
lingkungan; dapat meningkatkan
manfaat lahan baik dari segi
ekonomi, lingkungan, dan sosial;
serta menjaga kehidupan dan “
penghidupan nelayan.

Foto: Pijar Riza A.

Setelah direklamasi, Pantai Losari Makassar


ini tampak indah dan mendongkrak berbagai
Membangun Poros Maritim Duniakegiatan ekonomi bernilai tambah tinggi.
64 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global (global warming).
Fakta yang sangat memprihatinkan juga terjadi pada lahan
sawah Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian, laju alih fungsi
lahan sawah pada 2009 - 2012 secara nasional mencapai seluas 80.000
ha. Itu artinya, setiap bangun tidur kita kehilangan areal sawah seluas
sekitar 220 ha.

2
Kementerian Pertanian memprediksi, jika kita tak mampu
membendung laju konversi lahan sawah maka luas lahan baku sawah
yang tersedia tinggal sekitar 3 juta ha pada tahun 2025. Padahal
kebutuhan lahan sawah pada 2025 idealnya meningkat menjadi
sekitar 16 juta hektare.
Kondisi ini jelas mengancam kemandirian pangan di masa de-
pan. Populasi penduduk yang senantiasa bertambah membutuhkan
pangan yang meningkat pula. Praktis, lahan pertanian yang dibutuh-
kan juga meningkat, bukan malah menyusut.
Lalu, bagaimana strategi mengamankan lahan subur pertanian
dan mencegah berkurangnya kawasan hutan? Salah satunya adalah
dengan membuka lahan baru di perairan pesisir dengan reklamasi.
Lahan hasil reklamasi itulah yang nantinya dipakai untuk pelabuhan,
bandara, ruang publik, jalan tol di atas laut (elevated), dan pemukiman
nelayan.
Lihat saja pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek yang
membelah lahan sawah yang subur dan beririgasi teknis. Tak lama
setelah jalan tol tersebut beroperasi, kawasan permukiman, industri,
hotel, mall, dan perkantoran menjamur di sepanjang jalan tol
tersebut. Lahan sawah yang tadinya subur harus dikorbankan untuk
kepentingan tersebut.
Jadi, bisa dibayangkan kalau nantinya sepanjang Pulau Jawa
dibangun jalan tol yang membelah kawasan pertanian. Praktis,
ratusan ribu hektare sawah akan hilang bukan saja digunakan untuk
jalan tol tetapi juga permukiman dan industri baru.
Kondisi ini dapat diatasi dengan memperbaiki dan menata
daerah pesisir sehingga di satu sisi lahan sawah yang sudah ada
dapat dipertahankan. Di sisi lain kebutuhan lahan untuk transportasi

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 65
2

edgehi.com
Hasil reklamasi di Dubai.
terpenuhi. Reklamasi wilayah pesisir dapat menjadi salah satu solusi
dalam menghadapi persoalan keterbatasan lahan di masa depan.
Tentu tidak semua pesisir layak direklamasi. Apalagi saat rekla-
masi dikerjakan, kualitas air tampak keruh, terjadi pendangkalan di
muara sungai, dan kerusakan ekosistem (mangrove dan produktivitas
perairan, pola migrasi biota, komunitas bentik, terumbu karang, dan
lamun). Setelah reklamasi selesai pun dapat menimbulkan banjir di
daerah sekitarnya, perubahan pola arus dan gelombang, erosi pantai
dan sedimentasi di perairan pantai, amblesan tanah apabila meman-
faatkan air tanah sebagai bahan baku air bersih, dan lain sebagainya.
Karena itulah, reklamasi harus dilakukan dengan memperhatikan fak-
tor daya dukung lingkungan, serta memperhatikan aspek sosial bu-
daya masyarakat sehingga dampak negatif dari kegiatan reklamasi
dapat diminimalkan. Di samping itu, reklamasi juga harus memperha-
tikan tata ruang laut/rencana zonasi yang tepat untuk lokasi reklamasi
serta menjaga penghidupan dan kehidupan nelayan. Intinya bahwa
reklamasi harus memberikan manfaat baik dari segi lingkungan, eko-
nomi, dan sosial.

Membangun Poros Maritim Dunia


66 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Ancaman dan Tekanan
2
di Wilayah Laut, Pesisir, dan
Pulau-pulau Kecil

Mencermati kondisi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil


terkini kita dibuat prihatin. Pencurian ikan secara ilegal
(Illegal fishing) sangat marak. Tak hanya itu, berbagai
kerusakan dan ancaman serius menyeruak di depan mata.

Illegal Fishing
Indonesia adalah surga bagi berbagai kegiatan tindakan ilegal
penangkapan ikan di laut (illegal fishing) seperti pencurian ikan,
bongkar-muat ikan di laut (transhipment), dan pemalsuan dokumen
kapal. Kehilangan devisa atas tindakan tersebut sangat besar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkap-
kan, kerugian negara dari illegal fishing setiap tahun tersebut sangat
besar. Setiap hari, sekitar 7.000 kapal penangkap ikan beroperasi
secara ilegal. Sebanyak sekitar 1,5 juta ton ikan berhasil dijarah. Ini
merupakan jumlah kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi
fenomena merugikan negara ini terjadi sejak puluhan tahun silam.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 67
Modus operasi illegal fish-
ing beraneka ragam. Secara kasat
mata, kapal-kapal penangkap ikan
itu berbendera Indonesia. Na-
mun ketika diperiksa, kapal-kapal
tersebut dimiliki oleh perusahaan

2
asing (Vietnam, Thailand, Cina,
Taiwan, dan lain-lain). Mereka tak
mengantongi izin untuk melaku-
kan kegiatan penangkapan ikan
di laut Indonesia.
Modus lainnya, bongkar-
muat ikan di tengah laut. Melalui
citra satelit, kita dapat mengamati
satu unit kapal berukuran sangat
besar dikerubuti beberapa kapal
kecil. Kapal-kapal kecil inilah yang
membongkar muatan ikan hasil
tangkapannya untuk dipindahkan
ke kapal besar tadi.
Di samping itu, banyak juga kapal yang menggunakan alat
tangkap yang dilarang pemerintah seperti pukat harimau. Alat
tangkap ini dikenal tidak ramah lingkungan karena selain merusak
terumbu karang, juga menjaring ikan-ikan nontarget.
Selain itu, para penjarah juga menggunakan teknologi yang lebih
canggih dan terkoordinasi secara baik. Sebaliknya, kemampuan pe-
ngawasan sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP) di Indonesia
masih sangat lemah, baik dari segi teknologi, armada, maupun sum-
ber daya manusia.
Secara geografis, perairan Indonesia sangat terbuka dan ber-
batasan dengan perairan internasional. Sayangnya, kondisi tersebut
belum diimbangi dengan jumlah kapal inspeksi yang memadai, baik
jumlah maupun kualitasnya.
Idealnya, kita membutuhkan sekitar 110 kapal inspeksi untuk

Membangun Poros Maritim Dunia


68 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

qz.com

mengendalikan sumber daya kelautan dan Kerugian Indonesia


perikanan dari kegiatan illegal fishing. Saat ini akibat kegiatan
penangkapan ikan
kita baru memiliki kapal pengawas sekitar 10 secara ilegal (illegal
persen dari jumlah yang ideal. fishing) ditaksir
Berdasarkan catatan, beberapa perairan mencapai Rp 300
laut yang kerap menjadi objek penjarahan triliun per tahun.
Sekitar 1,5 juta ton
ikan adalah Laut Cina Selatan, utara Laut Su- ikan dijarah oleh
lawesi, Laut Arafura, Laut Anambas, Selat Ka- para pencuri.
rimata, Selat Malaka, Belitung, Natuna, Halma-
hera, Aru, dan Biak. Kawasan laut itu dikenal
memiliki sumber daya ikan yang berlimpah
ruah. Lokasi tersebut juga cenderung minim
pengawasan.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 69
Over Fishing
Telah lama diketahui sumber daya ikan di Laut Jawa sudah berada
pada posisi fully exploited untuk jenis ikan demersal, pelagis besar, dan
udang serta cumi-cumi. Untuk jenis ikan pelagis kecil malah sudah
ada pada posisi overfishing (Dahuri, 2015). Ini terjadi karena populasi
nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) sangat tinggi tidak

2
sebanding dengan potensi sumber daya ikan. Eksploitasi ikan yang
berlebihan inilah yang mengakibatkan Laut Jawa miskin ikan.
Tak hanya itu, tingginya aktivitas industri di darat juga mengim-
bas pada laut. Minimnya kesadaran pemilik industri untuk mengolah
limbah sebelum dibuang ke sungai, mengakibatkan laut ikut tercemar
oleh berbagai polutan. Ikan, udang, terumbu karang, mangrove, estu-
aria, padang lamun (sea grass), dan berbagai biota laut lainnya pun tak
kuasa menghadapi pencemaran perairan. Keragaman hayati di laut
pun menyusut (biodiversity loss) karenanya.
Kondisi ini diperparah dengan belum adanya kesadaran
masyarakat dalam menangani sampah domestik. Sungai masih
dipandang sebagai keranjang sampah. Setiap hari, secara leluasa
mereka membuang sampah padat dan cair ke sungai-sungai.
Kawasan hijau bervegetasi yang mestinya menghiasi sepanjang
sungai juga sudah mulai langka dan tinggal secuil. Di kota-kota besar
seperti Jakarta misalnya, di sepanjang kawasan sempadan Sungai
Ciliwung telah menjadi hunian-hunian liar. Sungai menjadi sasaran
untuk membuang aneka jenis sampah. Akibatnya, muara sungai
dangkal dan laut pun menjadi kotor. Menurut penelitian PKSPL IPB
dan Bapedalda DKI selama 1996 – 1998, sekitar 85 persen total limbah
yang mengakibatkan pencemaran Teluk Jakarta berasal dari daratan
melalui aliran permukaan (run off) dari 13 aliran sungai yang bermuara
di teluk ini.
Perilaku membuang sampah ke aliran sungai juga kerap menjadi
pemicu bencana. Muhari (2014) melalui riset yang dilakukan oleh
Bricker dkk (2014) menyimpulkan bahwa banjir besar akibat luapan
air sungai Ciliwung di kawasan Latuharhary, Jakarta pada tahun 2013
lalu disebabkan oleh sampah. Sampah yang menumpuk pada 3 dari 4

Membangun Poros Maritim Dunia


70 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
jalur air di pintu air Karet menyebabkan massa air dari hulu hanya bisa
melewati satu jalur air yang kemudian memicu kenaikan muka air dan
meluap di kawasan Latuhahary. Luapan air ini kemudian menggerus
bagian pangkal tanggul (undertow) sehingga dalam waktu yang tidak
terlalu lama tanggul pun jebol dan kawasan ekonomi utama ibukota
di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin menjadi tergenang banjir

2
termasuk istana Presiden Republik Indonesia.
Menilik kondisi di kawasan hulu, kerusakan lingkungan malah
lebih parah lagi. Vegetasi yang tadinya rimbun menghijau terus
ditebang dan dikonversi menjadi kawasan nonhutan seperti sawah,
kebun, permukiman, jalan, dan lain-lain. Tanah pun menjadi terbuka,
tanpa pelindung vegetasi. Untuk wilayah Jabodetabek misalnya, 11%
hutan alami telah hilang dalam sepuluh tahun (dari 103,417 Ha pada
tahun 2000 menjadi 92,079 di tahun 2010). Tak hanya itu, luas sawah
secara keseluruhan menyusut 26% dari 58,771 Ha tahun 2000 menjadi
43,527 di tahun 2010. Sebaliknya, luas kawasan perumahan meningkat
42% dari 161,728 Ha tahun 2000 menjadi 229,883 pada tahun 2010
dan ruang terbuka hijau secara umum menyusut ~50% (data Tim Studi
Banjir Jakarta, 2010). Ketika diguyur hujan, lapisan atas tanah (top soil)
itu tergerus. Material ini lalu memenuhi badan sungai hingga akhirnya
menuju ke laut.
Yang lebih memilukan lagi adalah penambangan karang di
laut. Berbagai alasan dikemukan warga atas tindakan yang sangat
berdampak negatif terhadap ekosistem terumbu karang. Ada
yang memanfaatkan karang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
bahan bangunan rumah. Sebagian lain menggunakannya untuk
cinderamata.
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sangat tergantung pada
sumber daya perikanan. Namun di sisi lain hasil tangkapan mereka
cenderung menurun. Bisa dimaklumi karena sumber daya ikan
mengalami tekanan dari berbagai penjuru.
Lihat saja faktanya. Usaha penangkapan ikan semakin bertambah.
Seiring dengan itu, habitatnya malah mengalami degradasi dari waktu
ke waktu. Ironis memang, overfishing (penangkapan ikan secara

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 71
berlebihan) pun tak dapat terelakkan. Berikut ini berbagai indikator
terjadinya overfishing menurut Rokhmin Dahuri (2012):
1. Total volume hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY
sumber daya ikan tersebut.
2. Hasil tangkapan ikan cenderung menurun.
3. Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil.

2
4. Periode pertama matang gonad semakin cepat.
5. Fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh
dari daratan atau semakin dalam ke dasar laut.
Overfishing mengakibatkan volume tangkapan ikan semakin
sedikit, ukuran ikan yang tertangkap kian kecil, dan areal penangkapan
semakin jauh dari pantai sehingga waktu operasional nelayan kian
lama. Ada beberapa faktor yang menyebabkan overfishing:
1. Kemajuan teknologi penangkapan ikan yang mempermudah
nelayan beroperasi dalam skala besar.
2. Terlalu banyak armada penangkapan yang beroperasi di laut.
3. Banyak ikan ditangkap, bahkan sebelum ia tumbuh besar.
4. Ikan dewasa tertangkap dalam jumlah besar sehingga
reproduksi terganggu.
5. Penangkapan secara berlebihan sebagai akibat dari adanya
anggapan ikan merupakan sumber daya alam milik bersama.
6. Kurangnya penegakan hukum dalam bidang perikanan, yang
memungkinkan kapal asing masuk dan menangkap ikan secara
berlebihan (illegal fishing).
7. Nelayan tidak mematuhi hukum dan perjanjian laut.
8. Penangkapan ikan junville dan spesies lain secara besar-
besaran.
9. Destructive fishing (penangkapan ikan yang merusak).
10. Kurangnya konservasi perikanan dan manajemen pengelolaan
perikanan.

Terkait terminologi overfishing, setidaknya ada enam jenis


overfishing yaitu:

Membangun Poros Maritim Dunia


72 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
1. Growth overfishing
Jenis overfishing pertumbuhan terjadi jika ikan yang ditangkap
belum mencapai ukuran konsumsi. Hal ini dapat dicegah melalui
pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring,
dan penutupan musim atau daerah penangkapan.
2. Recruitment overfishing

2
Jenis overfishing rekrutmen terjadi ketika kegiatan penangkapan
menyebabkan stok ikan kekurangan induk. Oleh karena itu, perlu
proteksi terhadap induk agar proses regenerasi tidak terganggu.
3. Biological overfishing
Jenis overfishing biologi merupakan kombinasi antara growth
overfishing dan recruitment overfishing. Biological overfishing terjadi
ketika tingkat penangkapan ikan telah melampaui batas yang
diperlukan untuk menghasilkan MSY (maximum sustainable yields).
4. Economic overfishing
Jenis overfishing ekonomi terjadi ketika tingkat upaya
penangkapan telah melampaui batas yang diperlukan untuk meng­
hasilkan MEY (maximum economic yields). Seperti diketahui MEY dapat
mendatangkan keuntungan optimal. Nilai MEY lebih kecil daripada
MSY. Tingkat produksi MEY lebih kecil daripada MSY, namun tingkat
keuntungan MEY justru lebih besar daripada MSY. Hal ini menunjukkan,
MEY merupakan tingkat penangkapan paling efisien.
5. Ecosystem overfishing
Jenis overfishing ekosistem terjadi ketika kegiatan penangkapan
telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem, dimana terdapat
jenis ikan tertentu menghilang atau langka. Biasanya ecosystem
overfishing mengakibatkan transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi
berukuran besar menjadi ikan berukuran kecil bernilai ekonomi
rendah. Bahkan menjadi ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata
nonkomersial seperti ubur-ubur.
6. Malthusian overfishing
Jenis overfishing ini terjadi ketika tenaga kerja dalam jumlah besar
tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based activities)
beralih ke perikanan pantai. Akibatnya, kompetisi dengan nelayan

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 73
tradisional meningkat. Seringkali nelayan baru tersebut menangkap
ikan dengan cara merusak. Di antaranya, menggunakan dinamit untuk
ikan-ikan pelagis, meracun ikan-ikan di terumbu karang dengan
sianida, dan lain sebagainya.

Konflik Pemanfaatan Ruang Laut

2
Pemanfaatan berbagai potensi sumber daya laut dan pesisir yang
diuraikan di atas memunculkan konflik antar pengguna jasa sumber
daya laut dan pesisir. Bahkan dari tahun ke tahun konflik perebutan
sumber daya alam tersebut cenderung meningkat.
Setiap pihak memiliki cara pandang tersendiri dalam
mengeksploitasi potensi tersebut. Bahkan setiap instansi pun me-
nyusun perencanaan sendiri sesuai kebijakan dan fungsi sektoralnya
tanpa mempertimbangkan tata ruang laut.
Perbedaaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut akhirnya
menimbulkan konflik dalam pemanfaatan potensi sumber daya
laut dan pesisir. Maklum, setiap sektor saling tumpang tindih dan
berkompetisi dalam memanfaatkan potensi sumber daya laut dan
pesisir pada ruang yang sama.
Konflik pemanfaatan ruang laut terus bermunculan silih berganti.
Di Delta Mahakam, Kalimantan Timur misalnya, terjadi konflik yang
kompleks. Pasalnya, konversi mangrove menjadi tambak secara
besar-besaran memunculkan konflik antara pelaku usaha perikanan
budidaya tambak dan perikanan tangkap tradisional. Di samping itu,
konflik serupa juga terjadi antara pelaku perikanan budidaya tambak
dan industri Migas.
Kasus serupa juga terjadi di Pulau Batam. Penambangan pasir laut
yang sangat intensif mengakibatkan pelaku usaha pariwisata bahari
memprotes kegiatan tersebut. Sebab, penambangan pasir laut terse-
but membuat kawasan laut yang tadinya ber-sih menjadi keruh. Para
penikmati dasar laut sangat kecewa lantaran tak dapat menikmati
keelokan aneka jenis terumbu karang dan biota laut lainnya.
Di berbagai media massa, kita kerap mendengar konflik
komunitas pertambangan dengan pegiat konservasi lingkungan.

Membangun Poros Maritim Dunia


74 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Pelaku pertambangan juga sering berselisih paham dengan mereka
yang bergerak dalam perikanan tangkap. Maklum, penambangan
terumbu karang dan pasir laut telah menurunkan hasil tangkapan
ikan nelayan.
Di bagian lain juga terjadi konflik serupa antara pelaku
pertambangan dan mereka yang bergerak di bidang wisata. Pasalnya,

2
keelokan alam laut menjadi pudar lantaran gencarnya penambangan
pasir laut dan terumbu karang.
Masyarakat pembudidaya rumput laut dan pengguna pelayaran
juga sering beradu argumentasi. Begitu pula antara mereka yang
bergerak di budidaya ikan dan kalangan industri, diwarnai konflik pe-
manfaatan ruang. Para pembudidaya menuduh industri membuang
limbah seenaknya sehingga mencemari tambak-tambak.
Saat wilayah pesisir direklamasi, nelayan juga kerap berkonflik.
Hal serupa juga kerap terjadi antara nelayan modern dan nelayan
tradisional yang berebut ruang laut. Pegiat konservasi juga sering
berhadapan dengan pihak industri. Konflik serupa juga terjadi pada
perikanan tangkap dan pelayaran, serta pertambangan dengan
perikanan tangkap.
Secara vertikal, laut juga berpotensi menimbulkan konflik. Pada
bagian permukaan laut misalnya, dimanfaatkan untuk pelayaran.
Sementara itu, kolom di bawahnya diperuntukkan sebagai lokasi
penangkapan ikan dan budidaya perikanan. Sedangakan di dasar
lautnya dimanfaatkan sebagai wisata bahari karena memiliki
keelokan terumbu karang dengan beragam jenis ikan hias yang
penuh pesona. Pola pemanfaatan dalam ruang laut yang sama inilah
yang memicu konflik antara pelaku pelayaran, nelayan, pembudidaya
ikan, dan pengusaha wisata bahari.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 75
2

Membangun Poros Maritim Dunia


76 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 77
Kesadaran Minim
Minimnya kesadaran masyarakat pesisir itu mengakibatkan
kerusakan ekosistem terumbu karang secara permanen. Manakala
tak ada lagi terumbu karang, praktis ikan dan biota laut lainnya pun
menyingkir. Bagaimana mungkin biota laut itu mampu berkembang
biak jika tempat bermain, mencari pakan, dan berlindung itu

2
dihancurkan?
Ingat bahwa sekali terumbu karang hancur, tak mudah untuk
memulihkan kembali. Bahkan untuk jenis terumbu karang tertentu
dibutuhkan waktu hingga ratusan tahun lagi untuk mengembalikan
ke kondisi semula.
Kondisi terumbu karang ini berbanding lurus dengan biota laut
lainnya. Kian subur terumbu karang di kawasan laut maka gerombolan
aneka jenis ikan semakin mudah dijumpai. Sebaliknya, ketika terumbu
karang hancur, ikan pun menjauh. Praktis, nelayan pun harus gigit jari.
Mereka harus berlayar lebih jauh lagi untuk berburu ikan. Kegiatan
penangkapan ikan tak mudah dilakukan secara efisien dan efektif.
Fenomena serupa juga terjadi pada hutan mangrove. Secara
nasional luas mangrove senantiasa menyusut dari waktu ke waktu.
Di Pantura Jawa misalnya, dari total estimasi 10.988,53 Ha lahan
mangrove yang menbentang dari Provinsi Banten sampai Jawa Timur,
85,4% di antaranya atau sekitar 9.393 Ha berada dalam kondisi rusak
yang menjadi salah satu pemicu rusak dan tererosinya kawasan pantai
utara Jawa. Sampai tahun 2014, tercatat 745,41 km garis pantai yang
mengalami kerusakan dengan total luas lahan yang tererosi mencapai
12. 878,53 Ha. Kerusakan lahan mangrove pada umumnya disebabkan
oleh penebangan lalu lahannya digunakan untuk tambak udang,
pelabuhan, industri, dan lain-lain.
Memang pada tahun pertama dan kedua sejak tambak dibuka,
mereka tampak sumringah karena mampu memanen udang dalam
jumlah tinggi. Namun setelah itu, bencana pun menimpa mereka.
Aneka penyakit udang tak mampu dikendalikan. Mereka pun gagal
panen dan mengalami kerugian besar. Kini, banyak tambak yang
terbengkalai tak terurus dan ditinggalkan pemiliknya begitu saja.

Membangun Poros Maritim Dunia


78 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Singkat kata, laut dan pesisir mendapat tekanan lingkungan
(environmental pressure) yang sangat intensif dan masif dari berbagai
penjuru. Konflik penggunaan ruang di antara para pengguna tampak
begitu dominan. Konflik horisontal pun kerap mencuat di Pantura Jawa,
Medan, Makassar, dan kota-kota besar di kawasan pesisir lainnya.
Selain itu, konversi atau alih fungsi lahan dari ekosistem alam

2
(terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lain-lain) menjadi
industri, pemukiman, pelabuhan, dan tambak juga semakin masif
terjadi. Kondisi ini diperparah dengan kian intensif dan masifnya
pencemaran laut.
Berbagai kondisi inilah yang membuat kita pesimis. Apalagi
melihat ancaman pemanasan global dengan berbagai dampaknya
seperti banjir, rob, meningkatnya permukaan air laut, dan bencana
lingkungan lainnya. Bencana alam ini menambah beban ancaman
semakin berat. Apalagi di beberapa kawasan pesisir seperti sepanjang
pantai barat Pulau Sumatra, selatan Jawa hingga Nusa Tenggara,
Maluku, hingga Papua merupakan daerah rawan tsunami yang setiap
saat dapat memporakporandakan kawasan pesisir tersebut. Masih
lekat dalam ingatan kita ketika tsunami menerjang kawasan pesisir di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004.
Untuk lebih memahami lebih jauh mengenai jenis tekanan (ke-
rusakan terumbu karang dan mangrove, pencemaran) dan ancaman
(seperti erosi pantai, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, ban-
jir, rob, dan perubahan iklim), berikut ini diuraikan secara singkat kon-
disi terkini.

Kerusakan Terumbu Karang dan Mangrove


Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiat-
an-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif seperti penggunaan
bahan-bahan peledak, bahan beracun sianida dan aktivitas penam-
bangan karang untuk bahan bangunan, penambatan jangkar perahu,
serta akibat dari sedimentasi (meningkatnya erosi dari lahan daratan).
Berdasarkan survei line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI
(lihat Gambar), penutupan karang hidup hanya tinggal sekitar 6,20%

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 79
terumbu karang Indonesia yang
masih berada dalam kondisi sa-
ngat baik, 23,72% dalam kondisi
baik, 28,30 % kondisi rusak dan
41,78 % dalam kondisi rusak berat
(Suharsono 1998). Padahal terum-

2
bu karang mempunyai fungsi
ekonomi antara lain penunjang
kehidupan laut yang kaya, tem-
pat penangkapan berbagai jenis
biota laut konsumsi dan berbagai
jenis ikan hias, penyedia makanan
dan tempat mencari makan ber-
bagai biota laut. Di samping itu
mempunyai fungsi sebagai pe-
lindung pantai dan mempunyai
potensi untuk pariwisata.

Foto: Farid Gaban

Persentase kerusakan terumbu karang di Indonesia.

Membangun Poros Maritim Dunia


80 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2
Ekosistem terumbu karang
memiliki fungsi antara lain
sebagai penyedia makanan
berbagai biota laut, pelindung
pantai, dan wisata bahari.

Keindahan ekosistem terumbu


karang ini perlu dilestarikan.

Foto: Farid Gaban

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 81
2

Foto: Farid Gaban

Rencana tata ruang laut dapat melindungi kawasan ekosistem terumbu karang.

Ekosistem hutan mangrove juga mengalami degradasi yang


cukup mengkhawatirkan. Selama periode 1980-2014 telah terjadi
penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 5,5 juta ha menjadi
sekitar 3,6 juta ha. Penyebab penurunan itu adalah peningkatan
kegiatan yang mengonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain;
seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan
permukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove
untuk kebutuhan kayu bakar, arang, dan bahan bangunan.
Padahal, mangrove mempunyai beberapa fungsi fisik, ekonomi,
dan ekologis sebagai berikut. Pertama, sebagai pelindung pantai

Membangun Poros Maritim Dunia


82 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
mengingat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak, arus,
serta menahan sedimen. Dalam beberapa kasus, penggunaan vegeta-
si mangrove untuk penahan erosi lebih murah dan memberikan dam-
pak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatkan kualitas
perairan di sekitarnya, dimana hal ini tidak bisa diperoleh dari penggu-
naan struktur bangunan keras. Mangrove dapat juga berfungsi untuk

2
melindungi pantai dari hempasan badai dan angin.
Kedua, mangrove juga berfungsi meredam pasang laut dan rob
(lihat Gambar). Dari gambar tersebut terlihat bahwa kedalaman air laut
di depan mangrove lebih besar daripada di belakang mangrove. Sebab,
perakaran mangrove mampu mengurangi energi arus atau aliran
pasang surut melalui mekanisme peningkatan koefisien gesekan.

Tebal hutan mangrove

subandono.diposaptono@yahoo.com

Mangrove mampu meredam pasang laut dan rob.

Ketiga, keberadaan mangrove juga mampu meredam energi


gelombang (lihat Gambar). Pengurangan energi tersebut akibat
gesekan, turbulensi, dan pecahnya gelombang yang terjadi di akar,
batang, dan ranting mangrove.
Keempat, ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi. Menurut Soemodihardjo et al (1993), jenis-
jenis tumbuhan yang ada di hutan mangrove Indonesia mencakup
sekitar 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit, dan 2 jenis parasit.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 83
2 Tebal hutan mangrove
subandono.diposaptono@yahoo.com

Skema peredaman gelombang oleh mangrove.

Berdasarkan penelitian Cann (1978), di hutan mangrove


bermukim berbagai jenis kura-kura air tawar, buaya air tawar, Mollusca
(didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda), dan Crustacea (didominasi
oleh Brachyura). Berbagai jenis fauna yang hidup di sana meliputi
bangau hitam, kepiting bakau, ikan belanak, Gastropoda, buaya
muara (Crocodilus porosus), dan biawak (Varanus salvator).
Kelima, mangrove juga menunjang kegiatan perikanan, baik
tangkap maupun budidaya. Hal itu tak terlepas dari peran hutan
mangrove sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari
makan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan. Mangrove juga
melindungi dan melestarikan habitat perikanan serta mengendalikan
dan menjaga keseimbangan rantai makanan di pesisir.
Berdasarkan data tahun 1977 menunjukkan, bahwa sekitar 3 %
dari hasil tangkapan laut Indonesia berasal dari jenis spesies yang
bergantung pada ekosistem mangrove, seperti Penaeus monodon, P.
mergueiensis, Metapenaeus spp., kepiting mangrove, dan Scylla serrata.
Di sekitar kawasan hutan mangrove, nelayan bisa dengan mudah
menangkap ikan, udang, kepiting dan moluska setiap hari.
Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) menunjuk-
kan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan
mangrove dengan produksi perikanan budi daya. Dengan semakin
meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan

Membangun Poros Maritim Dunia


84 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
budi daya juga turut meningkat dengan membentuk persamaan Y=
0,06 + 0,15X.

(a) (b)

2
(c) (d)

(e) (f)

Berbagai jenis fauna yang hidup di daerah ekosistem mangrove: (a) bangau
hitam, (b) kepiting bakau, (c) ikan belanak (Genus Periophthalmus), (d)
Gastropoda, (e) buaya muara (Crocodilus porosus), dan (f) biawak (Varanus
salvator).

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 85
2

Hubungan antara mangrove dan biota perairan.

Membangun Poros Maritim Dunia


86 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

Hubungan antara jumlah tangkapan udang dengan luasan mangrove.

Ekowisata hutan mangrove di Mangrove Information Center (MIC) Bali.

Keenam, ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik


punya potensi wisata yang menarik. Kegiatan ekowisata ini
sekaligus memberikan informasi lingkungan yang diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam
mencintai alam.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 87
Ketujuh, mangrove juga bisa menjadi pengendali pencemaran
air. Contoh menarik adalah riset tentang rawa yang ditanami mangro-
ve di Hongkong. Rawa itu dapat digunakan untuk mengolah limbah
dengan biaya rendah sehingga ditetapkan menjadi salah satu dari 12
kiat atau kunci dalam melindungi lingkungan.
Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digu-

2
nakan sebagai pengolah limbah cair. Selama penelitian di Hongkong,
di 18 lahan mangrove, peningkatan konsentrasi nutrient dan logam
berat ditemukan di tanah, hal ini menunjukkan bahwa mangrove da-
pat berperan sebagai ”perangkap potensial” polutan dari limbah an-
tropogenik.
Sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau te-
lah diujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk meng-
olah limbah. Hasil dari studi lapangan di Pelestarian Sumberdaya Alam
Nasional Futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi
polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya keru-
sakan pada tanaman mangrove, invertebrata bentik, atau spesies al-
gae.
Melalui sistem tersebut, limbah cair dapat diolah setiap hari.
Mekanisme pengendalian pencemaran itu terjadi melalui proses-
proses absorbsi, filtrasi, biodegradasi, presipitasi, sedimentasi,
penyerapan oleh tanaman, dan evaporasi (penguapan).
Kedelapan, pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan
sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Sayangnya, kebiasaan
tersebut belakangan ini sudah banyak dilupakan. Hanya beberapa
daerah saja yang masih melakukannya.
Belum lama ini, KKP bersama LPP Mangrove misalnya, berhasil
memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku
beragam makanan kecil, sirup, dan urap yang lezat, penuh gizi.
Anda tentu penasaran kalau belum menyoba aneka kelepon,
onde-onde, putri ayu, lumpia, resoles, donat, bolu, pudding, nastar,
kastengel, permen, coklat, dodol, manisan, selai roti, sirup, kolak,
bubur, kerupuk, dan pangsit yang terbuat dari buah mangrove. Lidah

Membangun Poros Maritim Dunia


88 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Anda bakal dimanjakan ketika menyantap urap dan sayuran dari daun
mangrove.
Berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove
mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein, dan air.
Karbohidrat yang terkandung di dalamnya mencapai sekitar 76,56
gram per 100 gram. Selain itu, buah tersebut juga mengandung

2
senyawa terpenting dan bermanfaat bagi tubuh manusia misalnya,
monosakarida terutama glukosa, galaktosa, dan fruktosa.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Aneka kue ringan, sirup, dan permen coklat yang lezat dan penuh gizi ini dibuat
dari buah mangrove (Diolah dari foto DKP dan LPP Mangrove).

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 89
Buah dan daun mangrove yang bakal dikonsumsi manusia itu
harus berasal dari habitat yang bersih, bebas dari polutan logam berat.
Ini dimaksudkan agar aman bagi tubuh kita.
Lalu, bagaimana jika kondisi perairannya tercemar logam berat?
Jelas, hal itu membutuhkan penelitian sehingga bisa diketahui seber-
apa besar kandungan polutan logam berat yang menempel, baik pada

2
buah maupun daun mangrove.

Pencemaran
Laut Indonesia juga mengalami tekanan pencemaran yang se-
rius, baik dari darat maupun laut. Pencemaran dari darat bersumber
pada limbah pabrik dan rumah tangga, kegiatan pertanian, pestisida,
dan lain-lain. Limbah tersebut dibuang melalui sungai sehingga me-
ngotori lingkungan laut.
Mukhtasor (2007) mencontohkan kondisi industri di Surabaya
yang berpotensi menimbulkan pencemaran laut. Dari 1.563 industri
ternyata baru 87 perusahaan (sekitar 5 persen) yang memiliki instalasi
pengolahan air limbah (IPAL).
Semakin banyak kegiatan manusia di darat dan di laut, kian
tinggi tingkat pencemaran yang terjadi di laut. Fakta menunjukkan
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatra
Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung, dan
Sulawesi Selatan tergolong memiliki tingkat pencemaran yang tinggi.
Sedangkan kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang
meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatra
Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat,
Bali, dan Maluku. Sementara itu, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur tergolong rendah
tingkat pencemaran lautnya.
Pencemaran dari laut biasanya berupa tumpahan minyak, buang-
an air balas, penambangan pasir laut, eksplorasi dan produksi minyak
di laut, tailing, limbah perikanan, dan lain sebagainya. Pencemaran aki-
bat tumpahan minyak juga kerap terjadi di Selat Malaka, Selat Makas-
sar, kawasan pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh

Membangun Poros Maritim Dunia


90 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
tangker. Selat Malaka misalnya, setiap bulan dilalui oleh sekitar 200
- 300 kapal pengangkut Migas berkapasitas 500.000 – 5 juta ton.Tak
hanya itu, dari 80 anjungan lepas pantai, setiap hari sekitar 7 juta barel
minyak mentah harus diangkut melewati Selat Malaka.
Di Selat Lombok dan Makassar setiap hari dilalui 5 – 6 kapal
tanker raksasa bermuatan lebih dari 250.000 ton. Selain itu, sebanyak

2
100-150 tanker domestik yang membawa minyak mentah dan produk
minyak dibawa melalui Selat Makasar. Kondisi ini mengandung risiko
tercemarnya laut, baik berupa buangan air balas maupun tumpahan
minyak akibat kecelakaan kapal di laut. Berdasarkan catatan, selama
tahun 1975-2001 terdapat sekitar 20 kasus tumpahan minyak besar
yang terjadi di perairan Indonesia.

Erosi Pantai Akibat Ulah Manusia


Survei membuktikan, setidaknya ada lima penyebab erosi pantai
yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Pertama, terperangkapnya
angkutan sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunan (seperti
groin, jetty, breakwater pelabuhan, reklamasi, dan lain-lain) yang
menjorok ke laut.
Ketika gelombang menuju pantai dengan membentuk sudut
terhadap garis pantai, akan menimbulkan arus sejajar pantai di zona
gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensi yang ditimbulkan oleh
gelombang pecah akan mengerosi sedimen dasar dan mengaduknya
menjadi material tersuspensi.
Sedimen ini oleh arus sejajar pantai yang terjadi di zona gelom-
bang pecah lalu dibawa menelusuri sepanjang garis pantai. Akibat
adanya bangunan menjorok ke laut, akan mengubah konfigurasi pan-
tai sehingga pantai akan menuju keseimbangan dinamis yang baru.
Sedimen yang diangkut oleh arus sejajar pantai tersebut akan
terperangkap oleh bangunan. Akibatnya, terjadi proses sedimentasi
di daerah updrift (hulu) dan erosi pantai di daerah downdrift (hilir) dari
arah gelombang datang ditinjau dari bangunan tersebut.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 91
2
yahoo.com
ptono@
ono.diposa
suband

Erosi pantai dan sedimentasi akibat pembangunan jetty yang masif.

m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband

Erosi pantai dan sedimentasi akibat pembangunan breakwater.

ya hoo.com
ptono@
on o.diposa
suband

Erosi pantai dan sedimentasi akibat pembangunan groin tunggal.

Membangun Poros Maritim Dunia


92 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
suband
ono.dipo
saptono@
yahoo.co
m

2
Erosi pantai dan sedimentasi akibat reklamasi yang menjorok ke laut.

Terjadinya sedimentasi di daerah hulu ini di samping karena


sedimen terperangkap oleh bangunan menjorok ke laut, juga
disebabkan adanya pembelokan dan mengecilnya magnitude arus.
Dampaknya, kecepatan jatuh partikel lebih dominan bekerja terhadap
partikel sedimen dibanding transpor arus, sehingga akan terjadi
proses sedimentasi di sebelah hulu bangunan. Sebaliknya di daerah
hilir akan terjadi erosi pantai
Erosi pantai ini terjadi selain karena terperangkapnya sedimen
di sebelah hulu sehingga mempengaruhi keseimbangan transpor
sedimen di sebelah hilir, juga adanya arus olakan yang menuju ke
arah laut akibat bangunan menjorok ke laut. Proses erosi pantai ini
akan berlangsung terus sampai terjadi keseimbangan dinamis baru,
yaitu apabila sedimentasi yang terjadi di sebelah hulu bangunan telah
berhenti.
Banyak contoh kasus erosi pantai semacam ini di Indonesia. Di
antaranya, dampak dari pembuatan breakwater Pelabuhan Pulau Baai.
Lalu, bangunan jetty di Muara Dadap, Indramayu, dan saluran beton
untuk mengambil air laut yang menjorok ke laut di Tambak Inti Rakyat
(TIR) Karawang. Bangunan-bangunan tersebut telah terbukti menim-
bulkan erosi pantai.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 93
2 suband
ono.dipo
saptono@
yahoo.co
m

Erosi pantai akibat pembangunan detached break water secara parsial.

Kedua, erosi pantai terjadi karena arus pusaran akibat adanya


bangunan tembok laut (seawall). Seperti diketahui, gelombang yang
mendekati pantai, oleh seawall sebagian dipantulkan ke arah laut.
Gelombang hasil pantulan ini akan berasosiasi dengan gelombang
datang sehingga menimbulkan efek standing wave dan menimbulkan
arus pusaran (eddy current) di samping kiri dan kanan dari seawall.

m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband

Erosi pantai akibat pembangunan tembok laut secara parsial.

Membangun Poros Maritim Dunia


94 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Standing wave tersebut akan bersifat merusak pantai yang
terekspose karena mempunyai daya hisap besar di sekitar bangunan
seawall. Karena pantai di sebelah kiri dan kanan seawall merupakan
tanah terekspose dan tidak terlindungi oleh seawall maka tanah
tersebut akan tererosi sampai mencapai keseimbangan dinamis baru
(lihat Gambar). Kasus erosi pantai semacam ini terjadi di Malalayang

2
2 (Manado).

“ Erosi pantai yang disebabkan


berkurangnya suplai sedimen
dari sungai akibat dibangunnya
bendungan di sebelah hulu sungai
dan sudetan (pemindahan muara
sungai). Berkurangnya suplai sedimen
dari sungai ini akan menimbulkan
gangguan terhadap keseimbangan “
transpor sedimen sejajar pantai.

Ketiga, erosi pantai yang disebabkan berkurangnya suplai


sedimen dari sungai akibat dibangunnya bendungan di sebelah
hulu sungai dan sudetan (pemindahan muara sungai). Berkurangnya
suplai sedimen dari sungai ini akan menimbulkan gangguan terhadap
keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai.
Kondisi semula adalah bahwa sedimen yang datang dari muara
sungai oleh arus sejajar pantai dibawa menelusuri pantai untuk
selanjutnya didistribusikan dan diendapkan di pantai tersebut.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 95
Namun karena suplai sedimen dari sungai berkurang maka akan
mengakibatkan terjadinya erosi pantai di hilir muara sungai untuk
mengimbangi angkutan sedimen yang semula disuplai dari sungai.
Kasus erosi pantai semacam ini terjadi di Krueng Aceh, Padang, dan
Kedung Semat.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Qs : angkutan sedimen sungai sebelum ada floodway (sudetan)


Qs’ : angkutan sedimen sungai sesudah ada floodway (sudetan)

Erosi pantai akibat pembuatan sudetan muara sungai.

Membangun Poros Maritim Dunia


96 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Keempat, erosi pantai akibat penambangan karang dan pasir
pantai. Penambangan ini biasanya dilakukan di daerah nearshore di-
mana gerakan pasir atau sedimen di dasar pantai/laut masih dipenga-
ruhi oleh gerakan gelombang.
Penggalian karang atau pasir pantai akan mengakibatkan
perubahan batimetri, pola arus, pola gelombang, dan erosi pantai.

2
Apabila dasar perairan digali untuk penambangan karang atau pasir
maka energi gelombang yang menghantam pantai akan lebih besar
sehingga mekanisme peredaman energi gelombang oleh dasar
perairan berkurang. Dengan demikian erosi pantai atau penggerusan
meningkat intensitasnya.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Erosi pantai akibat penambangan karang.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 97
2

subandono.diposaptono@yahoo.com

Erosi pantai akibat penambangan pasir laut.

Penambangan juga mengakibatkan lereng pantai menjadi lebih


terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai. Akibat-
nya, menimbulkan terjadinya pemacuan intensitas erosi pantai.
Di samping itu, penambangan pasir yang tidak memperhatikan
zonasi yang tepat juga menimbulkan kawah yang akan menjadi
tempat bagi terperangkapnya sedimen sejajar pantai. Akibat arus
sejajar pantai yang membawa sedimen dan gerakan gelombang maka
lubang-lubang/kawah bekas penambangan pasir akan terisi kembali
oleh pasir di sekitarnya termasuk pasir yang ada di pantai yang digali
sehingga terjadi erosi.

Membangun Poros Maritim Dunia


98 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2
Profil keseimbangan pantai sebelum pengerukan pasir
Profil keseimbangan pantai setelah pengerukan pasir
subandono.diposaptono@yahoo.com

Erosi pantai karena lereng pantai menjadi terjal akibat penambangan pasir laut.

m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband

Erosi pantai akibat sedimen yang dibawa arus sejajar pantai terperangkap di
kawah/lubang galian pasir di laut.

Keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai itu menimbulkan


gangguan terhadap keseimbangan garis pantai. Berkurangnya
transpor sedimen karena terperangkap oleh kawah galian ini akan
menimbulkan erosi pantai di sebelah hilir kawah galian.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 99
Lebih lanjut, penggalian pasir di pantai yang tidak memperhati-
kan zonasi yang tepat juga mengakibatkan terjadinya perubahan pola
arah gelombang. Di tempat-tempat tertentu terjadi konsentrasi energi
gelombang, sehingga akan meningkatkan intensitas erosi pada tem-
pat-tempat tersebut. Kasus erosi pantai semacam ini terjadi antara lain
di pantai Kepulauan Riau, Tangerang, Kepulauan Seribu, dan lain-lain.

yahoo.com
ptono@
ono.diposa
suband

Erosi pantai oleh konsentrasi energi gelombang akibat pembelokan gelombang


karena penambangan pasir laut.

Kelima, erosi pantai karena penggundulan hutan mangrove.


Pada pantai-pantai berlumpur umumnya ditumbuhi pohon
mangrove. Perakaran mangrove biasanya menjadi penopang bagi
kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove juga berfungsi
sebagai peredam energi gelombang yang akan mencapai pantai.
Apabila hutan mangrove ini ditebangi maka fungsi
peredamannya akan berkurang atau bahkan hilang. Gelombang
akan langsung mengenai tanah yang gundul dan lemah sifatnya.
Ia akan mengaduk dan melarutkan tanah pantai tersebut dalam
bentuk suspensi kemudian diangkut oleh arus sejajar pantai dan
diendapkan ke tempat lain yang memungkinkan. Kasus ini banyak
terjadi di Lampung Timur, Pantura Jawa, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Timur.

Membangun Poros Maritim Dunia


100 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2

subandono.diposaptono@yahoo.com

Erosi pantai akibat penebangan mangrove.

Foto erosi pantai akibat penebangan mangrove.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 101
Besar kecilnya erosi pantai yang terjadi tergantung kepada tinggi
gelombang, jenis tanah material pantai, panjang bangunan pantai
yang menjorok laut, dan jauh dekatnya lokasi penggalian pasir dari
pantai.
Semakin tinggi gelombang semakin besar erosi yang terjadi.
Selain itu, semakin halus material pantai (lumpur dan pasir) semakin

2
besar erosi yang akan terjadi. Lebih lanjut, semakin panjang bangunan
pantai yang menjorok ke laut semakin besar erosi yang terjadi.
Sementara itu, terkait dengan penggalian pasir laut, semakin dekat
lokasi penggalian pasir dari pantai semakin besar erosi yang akan
terjadi.

Menimbulkan Masalah Baru


Selama ini penanganan perlindungan kawasan pesisir terhadap
erosi pantai masih banyak dilakukan dengan menggunakan
pendekatan “struktur keras” yaitu dengan membuat pelindung pantai
yang secara estetis dan ekologis kurang ramah. Di antaranya dengan
membuat bangunan-bangunan pantai seperti tembok laut, pelindung
tebing (revetment), groin, jetty, krib sejajar pantai, dan tanggul laut.
Di samping itu, penanganannya juga bersifat parsial, sporadis,
dan kurang komprehensif. Cara demikian menimbulkan masalah
baru. Ia hanya memindahkan lokasi erosi pantai dari tempat yang
telah dilindungi ke tempat lain di sekitarnya yang kurang mendapat
perhatian. Dengan demikian, erosi pantai tidak pernah terselesaikan
dengan tuntas.
Konsep pembuatan groin misalnya, ternyata tidak selalu berha-
sil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan groin justru
meningkatkan arus sirkulasi di antara dua groin dan membentuk rip
current yang akan mengangkut sedimen hilang ke lepas pantai.
Erosi pantai yang terjadi di daerah hilir groin juga dapat mem-
bahayakan keamanan bangunan groin di sebelahnya. Dari sisi estetis,
groin mengganggu keindahan dan kenyamanan pejalan kaki di pantai.
Selain itu groin sama sekali tidak efektif untuk mengatasi erosi yang
disebabkan oleh angkutan sedimen tegak lurus pantai.

Membangun Poros Maritim Dunia


102 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Begitu juga dengan bangunan jetty yang memang dibuat tegak
lurus pantai yang cukup panjang menjorok ke laut. Struktur ini
dibangun untuk mengatasi masalah pendangkalan muara sungai.
Jetty yang cukup panjang ini menimbulkan muara sungai
terbebas dari littoral transport. Permasalahan yang terjadi adalah
tertahannya sedimen di sisi hulu dan tererosinya garis pantai di sisi

2
hilir jetty.
Masalah serupa juga terjadi dengan adanya tembok laut (sea
wall) yang dibuat pada garis pantai sebagai pembatas antara daratan
di satu sisi dan dan perairan di sisi yang lain. Fungsinya adalah untuk
melindungi garis pantai dari serangan gelombang serta untuk
menahan tanah di belakang tembok laut tersebut.
Dengan adanya tembok laut diharapkan proses erosi pantai
dapat dihentikan. Karena struktur tembok laut berupa bangunan
yang masif, maka refleksi yang ditimbulkan oleh bangunan tersebut
justru meningkatkan tinggi gelombang bahkan dapat mencapai dua
kali tinggi gelombang datang dan dapat terjadi gelombang tegak
(standing wave/clapotis). Akibatnya, di depan struktur tersebut justru
terjadi gerusan yang kadang dapat membahayakan struktur itu
sendiri.
Penanganan lainnya adalah dengan membangun breakwater.
Struktur yang berupa bangunan lepas pantai yang dibangun
sejajar dengan garis pantai ini dimaksudkan untuk menahan energi
gelombang yang menghempas pantai.
Daerah di belakang bangunan tersebut akan lebih tenang dari
daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantai akan
terhenti di belakang detached breakwater tersebut. Permasalahan
utama yang timbul adalah erosi pantai di luar daerah bayangan
detached breakwater.
Selain itu, refleksi dari bangunan tersebut juga menyebabkan
keadaan gelombang di sekitar bangunan justru meningkat sehingga
menimbulkan gerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur ini juga
mengubah pola arus/sirkulasi pantai.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 103
Solusi Menyeluruh dan Komprehensif
Penyelesaian dengan “struktur keras” tersebut saat ini masih
dilakukan secara parsial dan sporadis. Jadi jangan kaget kalau abrasi
pantai masih saja terjadi. Bagaimana solusi meredam abrasi dengan
tuntas?
Tak ada jalan lain, penyelesaiannya haruslah menyeluruh dan

2
komprehensif dengan mengunakan pendekatan coastal cell atau
sedimen cell (sel sedimen). Sel sedimen adalah satuan panjang pantai
yang mempunyai keseragaman kondisi fisik dengan karakteristik
dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya tidak mengganggu
keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan.
Konsep ini mengidentifikasi bahwa sistem pantai terdiri dari se-
jumlah unit terkait dengan banyak proses perpindahan yang bekerja
dalam skala ruang dan waktu berbeda. Jadi penanganan abrasi pantai
tidak hanya pada tempat yang telah terjadi abrasi, tetapi juga di ka-
wasan lain yang diantisipasi akan terjadi abrasi akibat bangunan terse-
but dalam satu kesatuan sedimen sel.
Alternatif sistem proteksi harus diseleksi berdasarkan aspek
teknis, ekonomi, lingkungan, estetika, dan sosial. Aspek teknis meliputi
kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen sejajar pantai,
kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen tegak lurus pantai
(offshore transport), durabilitas, risiko kehancuran dari sistem dan
komponennya, pelaksanaan konstruksi, pemeliharaan, serta kepekaan
terhadap perubahan morfologi dalam skala yang lebih besar.
Sementara itu, aspek ekonomi meliputi biaya (investasi, operasi,
pemeliharaan, perbaikan, rehabilitasi) dan umur konstruksi. Aspek
lingkungan meliputi dampak terhadap pantai dan properti yang ber-
dekatan. Aspek estetika dan sosial meliputi secara estetika kelihatan
menyenangkan dan secara sosial dan kultural diterima masyarakat.
Belajar dari kegagalan masa lalu, maka perlu dikembangkan
konsep penanganan permasalahan pesisir secara lebih “lunak” dan
ramah lingkungan. Pendekatan semacam itu sebenarnya sudah
dilakukan sejak tahun 1980-an.
Beberapa cara penanganan dengan pendekatan “lunak” meliputi

Membangun Poros Maritim Dunia


104 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
peremajaan pantai, pembentukan dune, peremajaan dan restorasi
mangrove, rehabilitasi karang, artificial reef, serta pengelolaan kawasan
pantai secara terpadu. Strategi ini selain lebih murah, juga lebih aman
dan ampuh dalam mengatasi abrasi pantai.
Cara restorasi dengan peremajaan pantai (beach nourishment)
misalnya, merupakan alternatif yang sudah cukup lama dikenal.

2
Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.
Meskipun penimbunan atau pengisian pesisir dengan material
dari luar sistem tidak banyak dampaknya terhadap ekosistem yang
ada, namun pengambilan material dapat menimbulkan dampak yang
cukup signifikan. Akhir-akhir ini telah dikembangkan pula perema-
jaan pantai dengan menggunakan sistem drainase pantai (coastal
drain system) seperti misalnya beach management system (BMS) yang
dikembangkan oleh GDI Denmark.
BMS adalah sebuah teknologi dalam bentuk sistem perlindungan
dan rehabilitasi pantai dan pesisir secara terintegrasi dimulai dari
desain dan model, instalasi dan konstruksi, serta pemeliharaan guna
memberikan hasil yang efektif dan efisien. Efisiensi sistem ini terdapat
pada pendekatannya yang tidak hanya melindungi pantai dari
ancaman abrasi tetapi juga menciptakan pantai baru.
Solusi terkini yang dikembangkan adalah restorasi pantai dengan
konsep Building with Nature (Membangun Bersama Alam). Konsep ini
dikembangkan oleh Belanda, dimana proses perencanaan rehabilitasi
pantai dilakukan dengan memanfaatkan proses alam.
Belanda pada tahun 2011 melakukan rehabilitasi pantai di South
Holland dengan sand engine (zandmotor). Sand engine ini berupa
tumpukan pasir dengan volume 21 juta m3 yang dihamparkan
pada satu lokasi dengan bentuk dan ukuran tertentu. Secara alami
tumpukan pasir tersebut oleh gaya gelombang, angin, dan arus akan
terbawa dan mengisi pantai bagian barat Belanda. Sehingga kawasan
tersebut terlindungi dari ancaman erosi pantai.
Solusi ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya biaya
pengurukan pasir per m3 lebih ekonomis dibandingkan dengan beach

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 105
nourishment tradisional dengan periode pengisian pasir kembali yang
lebih panjang.
Konsep Membangun Bersama Alam untuk rehabilitasi pantai
dikembangkan di Indonesia mulai tahun 2005 dengan pilot project
di Demak, Jawa Tengah. Saat itu digunakan kombinasi antara APO
(Alat Peredam Ombak) dari bambu untuk memperangkap sedimen

2
dan penanaman mangrove. Lalu pada 2013 di lokasi lain di Demak
untuk merehabilitasi pantai berlumpur digunakan hybrid engineering.
Teknologi ini menggabungkan ilmu rekayasa pantai dan proses alamiah
dengan menggunakan struktur lolos air (permeable) dari bahan-bahan
lokal, seperti bambu, ranting kayu yang didesain dengan ukuran dan
tata letak tertentu. Diharapkan dengan bantuan alam, lumpur akan
terperangkap oleh struktur hybrid tersebut, yang lambat laun akan
mengembalikan pantai lumpur yang tererosi.
Solusi lainnya, dengan membangun dune buatan atau
meningkatkan dune yang sudah ada. Biasanya cara ini dilengkapi
dengan usaha-usaha menahan kehilangan pasir dari daerah dune baik
secara vegetatif maupun artifisial.
Selain itu, perbaikan dan peremajaan hutan mangrove yang ru-
sak merupakan langkah perlindungan pesisir yang ramah lingkungan.
Penanganan ini dapat dikombinasi dengan alat peredam gelombang
sementara yang diharapkan dapat melindungi mangrove yang baru
ditanam dari gempuran gelombang.
Tata letak dan bentuk dari alat peredam gelombang perlu
diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan dampak
abrasi pada daerah di sekitarnya. Daerah di belakang alat peredam
gelombang akan lebih tenang dari daerah sekitarnya sehingga
transpor sedimen sejajar pantai akan terhenti di belakang struktur
tersebut dan membentuk tembolo.
Rehabilitasi terumbu karang merupakan proses rehabilitasi yang
sangat bermanfaat bagi ekosistem pesisir. Sebab, secara alami, terum-
bu karang mampu meredam energi gelombang yang sampai ke pan-
tai.

Membangun Poros Maritim Dunia


106 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Penggunaan terumbu karang buatan (artificial reef) sebagai
alternatif perlindungan pantai yang ramah lingkungan juga mulai
banyak dikenalkan.

Gempa Bumi dan Tsunami


Dalam kurun 10 tahun terakhir ini bencana alam datang silih ber-

2
ganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa bumi
berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR). Seluruh kota lumpuh dihantam
gempa. Hubungan arus listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire
juga mengalami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sem-
pat ditunda.
Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami yang
ditimbulkan oleh gempa tektonik di Samudra Hindia berkekuatan 9
SR itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya berselang
sekitar dua bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa bumi menggoncang
Pulau Nias, Sumatra Utara. Bangunan rumah dan perkantoran di
kawasan pesisir itu juga babak belur dihantam gempa.
Bukan cuma itu, sejak Mei 2006 hingga Maret 2015 berbagai
bencana melanda kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi
Yogyakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas
Sidoarjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang, banjir
DKI Jakarta, tanah longsor Manggarai, NTT, gempa bumi di Solok,
gempa Padang 2009, tsunami Mentawai 2010, dan lain-lain.
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana
luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Menurut hitungan,
kerugian material dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan
triliun rupiah.
Hingga kini akal manusia belum bisa menjelaskan dengan pasti
mengapa frekuensi bencana alam itu terus meningkat. Lalu apa yang
bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti
kapan datangnya itu?

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 107
2

108
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Membangun Poros Maritim Dunia
Pesisir rawan tsunami di Indonesia. Berdasarkan catatan, di Indonesia sejak tahun 1600 - 2016 terjadi 110 tsunami.
Tidak mudah memang mengelola bencana tersebut. Betapa ti-
dak, kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim.
Padahal, merekalah yang paling menderita jika bencana menerjang.
Rendahnya pemahaman di kalangan masyarakat awam itu mengaki-
batkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda ketika bencana
alam menghampiri mereka.

2
Kondisi itu diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam
yang memiliki kekuatan teramat besar. Tidaklah mungkin kecerdikan
manusia mencegah kedahsyatan bencana alam. Kemampuan manusia
hanya sebatas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi risiko
atau dampak dari suatu bencana.
Suka atau tidak, wilayah Indonesia sangat berpotensi terjadi
gempa dan tsunami. Pasalnya, kawasan tersebut merupakan
pertemuan tiga lempeng utama (triple junction plate convergence).
Ketiga lempeng itu –Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia--
bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.
Permukiman di Cipatujah,
Tasikmalaya Jawa Barat porak
poranda akibat Tsunami
Pangandaran 2006 karena tidak
mematuhi aturan sepadan
pantai dalam tata ruang/
rencana zonasi (terlalu dekat
dengan pantai).

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan BerbagaiFoto:Permasalahannya
109
Subandono Diposaptono 2006.
Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia merupakan
daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Kawasan itu juga
terkenal sebagai salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di
muka bumi. Dibandingkan dengan gempa di Amerika Serikat maka
Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya.
Pusat gempa dangkal (0-85 km) banyak terdapat di Pulau Suma-

2
tra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Sementara
itu, pusat gempa dengan kedalaman sedang (185-300 km) terbentang
di Pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Gem-
pa-gempa tersebut sebagian berpusat di dasar laut dan beberapa di
antaranya mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh
gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah
seismik aktif lainnya. Selama periode tahun 1600 sampai 2015 terjadi
sekitar 110 tsunami. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya disebab-
kan oleh gempa tektonik, 9 persen karena letusan gunung api, dan
hanya 1 persen dipicu oleh longsoran (land-slide).
Catatan sejarah juga mencatat, sejak 1961 hingga 2015, sebanyak
24 tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya, tsunami
menghampiri kita setiap sekitar 2 tahun. Kawasan pesisir yang
berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatra,
pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-
pulau Nusa Tenggara, Maluku, pantai utara Irian Jaya, serta hampir
seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan tsunami
yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak mampu mencegah
bencana alam karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Yang
bisa dilakukan hanyalah mengurangi dampak dari bencana tersebut
(mitigasi).
Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir
dari terjangan tsunami. Idealnya menggunakan mitigasi yang
komprehensif, yakni dengan mengombinasikan secara fisik dan
nonfisik.
Upaya fisik yang perlu dilakukan juga beragam, tergantung

Membangun Poros Maritim Dunia


110 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kemampuan daerah dan kondisi kawasan pesisirnya. Artinya, di
sepanjang daerah rawan tsunami bisa saja dibuat prasarana dan
sarana pengendali seperti dengan membangun tembok laut (sea wall)
atau pemecah gelombang (break water).
Cara ini memang butuh ongkos tinggi. Namun biaya untuk
membuat tembok laut tersebut tidak ada artinya dibandingkan

2
dengan aset-aset vital bernilai ekenomi tinggi yang ingin dilindungi
seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis
lainnya.
Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan menanam
berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan lain-
lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti efektif dalam meredam
kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti kapal dan
bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jumlah korban dan kerusakan
bangunan lainnya bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong
nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon
lalu naik ke atas.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga
tahan terhadap goncangan gempa. Rumah panggung baik terbuat
dari kayu maupun beton bisa menjadi alternatif karena tidak mudah
roboh oleh terjangan tsunami. Usahakan arah orientasi bangunan
tegak lurus dengan garis pantai sehingga sejajar dengan arah pen-
jalaran gelombang tsunami.
Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya padat,
perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya bertingkat dan terbuat
dari beton yang kokoh sehingga tahan terhadap gempa dan tsunami.
Pada hari-hari biasa, shelter bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah,
pertemuan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun ketika tsunami,
shelter bisa dipakai sebagai tempat berlindung.
Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit, bisa diba-
ngun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk menyelamatkan
diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit ini
bisa dibuat dari urugan tanah dengan sistem terasering sehingga

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 111
dapat diakses dari berbagai arah.
Tinggi shelter dan bukit buatan itu disesuaikan berdasarkan
tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjangkau lokasi tersebut.
Usahakan bukit dan shelter tersebut bisa ditempuh warga kurang dari
15 menit.
Tak kalah pentingnya adalah mitigasi secara nonfisik seperti

2
memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang
aman, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta menyadarkan
masyarakat. Pemda harus konsisten dalam menegakkan peraturan dan
tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan
tsunami, janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut
untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi. Sebab
kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami menerjang maka
korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang
beraktivitas di sana.
Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pelatihan
terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui, kita masih sangat
lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat
terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu
menelan banyak korban jiwa dan harta benda lainnya.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut seketika.
Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir
yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu, mereka menjadi
korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyara-
kat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu.
Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta dilanda gempa bumi. Dalam
kepanikan itu mereka yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan
sangat jauh dari pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah
untuk menyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda daerah yang
sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah seperti pepatah sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Sebab, banyak dari mereka yang mengalami

Membangun Poros Maritim Dunia


112 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kecelakaan akibat kepadatan lalu lintas saat melarikan diri dan rumah
mereka yang ditinggalkan itu akhirnya dijarah oleh oknum yang
memang ingin mengail di air keruh.
Kedua sistem mitigasi secara fisik dan nonfisik itu bisa saling
melengkapi, tergantung pada daerah rawan tsunami yang akan
ditinjau. Oleh karena itu dalam melakukan upaya mitigasi perlu

2
mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya.
Pelaksanaannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.
Seberapa besar upaya itu tidak akan dapat membebaskan
masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian, kunci
keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara masyarakat dan
alam lingkungannya.
Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan rawan
bencana sangat besar perannya sehingga perlu ditingkatkan
kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terhadap alam dan
lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya disiplin tinggi terhadap
peraturan dan norma-norma yang ada.

Tabel mitigasi gempa dan tsunami secara menyeluruh.

No. Fisik Nonfisik

1. Alami • Pembuatan peta rawan bencana,


Terumbu karang, sand peta kerentanan, dan peta risiko
dunes, mangrove, vegetasi • Peraturan Perundangan
pantai/hutan pantai • Sistem peringatan dini
• Relokasi, rencana tata ruang,
2. Buatan rencana zonasi
Breakwater, tembok laut, • Penyadaran masyarakat
pintu air, tanggul, shelter, • Pelatihan/penyuluhan
rumah panggung, rumah • Pengentasan kemiskinan
ramah/tahan bencana • ICZM
gempa dan tsunami • Building Code

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 113
Banjir dan Rob
Setelah bencana banjir akibat hujan datang silih berganti di
beberapa wilayah Indonesia, kini banjir rob akibat meluapnya air
laut mengintai kehidupan kita. Bahkan di beberapa daerah, banjir
rob sudah menenggelamkan ribuan rumah, prasarana transportasi,
sawah, dan tambak.

2
Kalau ditelisik lebih dalam, rentetan bencana banjir rob itu
disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak
lingkungan hingga dinamika laut. Bayangkan, akhir-akhir ini
pengembangan dan pembangunan di wilayah pesisir sangat cepat
tetapi kurang mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana.
Sehingga saat air laut pasang wilayah tersebut tergenang air asin.
Di samping itu, hutan mangrove yang berfungsi sebagai peredam
gelombang dan banjir rob semakin gundul. Jadi ketika ada banjir rob
maka dengan leluasa air laut itu menyusup dan merangsek ke darat.

Membangun Poros Maritim Dunia


114 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi
kontribusi terhadap banjir rob. Fakta membuktikan, terkurasnya air
itu mengakibatkan tanah ambles. Sekali terjadi pasang laut tinggi,
terbentuklah genangan.
Ulah manusia bukan cuma sampai di situ. Disadari atau tidak,
semakin maraknya industrialisasi beserta kegiatan yang mengikutinya

2
(seperti transportasi dan pembangunan gedung-gedung ber-AC)
mengakibatkan peningkatan efek rumah kaca (green house effect).
Dari sinilah terjadi pemanasan global (global warming) dan
menimbulkan ekspansi termal lapisan permukaan laut, termasuk di
Benua Antartika. Glacier dan lapisan es di daratan paling selatan itu
meleleh. Akibatnya, terjadilah kenaikan paras muka air laut (Sea Level
Rise atau SLR).
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan
yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan

Semarang, Jawa Tengah. Peristiwa rob setinggi 50 cm yang


mengenangi daerah pemukiman dan industri di Kecamatan
Semarang Utara tanggal 8 Juni 2009 jam 10:30 WIB.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 115
UNEP (The United Nation of Enviroment Program), memperkirakan
terjadi laju SLR sekitar 3-10 cm per dasawarsa, tergantung pada derajat
pemanasan global yang terjadi.
Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara,
Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan Kupang, selama sembilan
tahun pengamatan menunjukkan, rata-rata SLR di kawasan tersebut

2
sekitar 8 mm/tahun. Isu ini sangat mengkhawatirkan Indonesia pada
abad ke-21. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran
pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir rob lebih
dahsyat.
Pasang surut juga punya kontribusi terhadap bencana banjir rob.
Pasang surut ialah proses naik-turunnya muka air laut yang teratur,
disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi
bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir
teratur, maka besarnya kisaran pasang surut juga berubah mengikuti
perubahan posisi-posisi tersebut.
Muka air laut pasang tertinggi bulanan terjadi pada saat bulan
purnama. Jadi dalam satu bulan akan terjadi satu kali pasang tinggi.
Namun demikian, dalam satu tahun, akan terjadi pasang air laut
pada saat bulan purnama tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan

Rob di pelabuhan perikanan Muara Baru, Jakarta 2007.

Membangun Poros Maritim Dunia


116 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pasang purnama pada bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu dalam
satu tahun akan terjadi satu kali pasang tertinggi tahunan.
Jika muka air pasang tinggi tahunan ini terjadi bersamaan
dengan badai besar dapat dipastikan akan terjadi akumulasi kenaikan
muka air laut yang berdampak pada meluapnya air ke daerah dataran
rendah pantai.

2
Selain itu, muka air laut pasang dapat mencapai tertinggi dalam
kurun waktu 18,6 tahun yang disebut muka air pasang tinggi tertinggi
(highest high water level). Jadi kalau terjadi muka air laut pasang tinggi
tertinggi dengan periode ulang 18,6 tahunan, sudah bisa diduga banjir
rob yang terjadi bisa lebih dahsyat.
Angin juga punya andil besar terhadap terjadinya banjir rob.
Apabila terjadi badai di daerah pantai maka permukaan air laut akan
miring ke atas menuju arah pantai sehingga menimbulkan kenaikan
muka air laut di pantai. Kenaikan muka air laut di pantai karena angin
ini biasa disebut dengan wind set-up.
Besarnya nilai wind set-up berbanding lurus dengan kecepatan
angin dan berbanding terbalik dengan kedalaman perairan pantai.
Jadi semakin dangkal perairan pantai, maka semakin besar nilai wind
set-up. Demikian pula apabila kecepatan anginnya semakin besar
maka nilai wind setup-nya pun semakin besar.
Gelombang laut akibat angin juga punya andil cukup besar
terjadinya banjir rob di wilayah pesisir. Gelombang laut akibat angin
pada umumnya ditimbulkan oleh angin yang berhembus di atas
permukaan laut.
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan
fluktuasi muka air di daerah pantai. Pada waktu gelombang pecah akan
terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air
diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana
gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai.
Turunnya muka air di sekitar gelombang pecah tersebut disebut wave
set-down, sedang naiknya muka air di pantai di sebut wave set-up.
Besarnya nilai wave set-up berbanding lurus dengan besarnya
tinggi gelombang. Semakin besar tinggi gelombang maka semakin

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 117
besar pula nilai wave set-up. Dapat dimaklumi apabila pada saat
pasang tertinggi terjadi badai maka akan menyebabkan timbulnya
banjir rob yang besar.
Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah pesisir dapat
ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama, pola protektif dengan
membuat bangunan pantai yang mampu mencegah banjir rob agar

2
tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi antara lain
permukiman, industri wisata, jalan raya, dan daerah pertanian dari
genangan air laut.


Pola protektif lain yang dapat ditempuh
adalah dengan melakukan restorasi
melalui peremajaan pantai (beach
nourishment) dan rehabilitasi mangrove.
Proses ini meliputi pengambilan
material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat
yang membutuhkan.

Tanggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang berdasarkan
muka air pasang tinggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga
harus memperhitungkan amblesan tanah, paras muka air laut, pasang
tinggi tertinggi, dan gelombang laut akibat angin dalam kondisi
ekstrem.
Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan restorasi melalui peremajaan pantai (beach nourishment)

Membangun Poros Maritim Dunia


118 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliputi pengambilan material
dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat
yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian ditanami
mangrove sehingga dapat meredam banjir rob merangsek ke darat.
Hutan mengrove juga berfungsi sebagai penyerap karbon untuk
mengurangi pemanasan global.

2
Kedua, pola adaptif menyesuaikan dengan banjir rob. Rumah-
rumah di tepi pantai dibuat model panggung agar aman dari
genangan air laut, terutama pada waktu banjir rob. Daerah pertanian
yang tergenang air laut akibat banjir rob dapat diubah peruntukannya
menjadi lahan budidaya perikanan.
Ketiga, pola mundur (retreat) bertujuan menghindari genangan
dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan
lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat banjir rob.
Upaya lain yang tidak kalah penting adalah mengendalikan
pemanfaatan air tanah dan membuat sumur resapan untuk
menghambat laju amblesan tanah.
Selain yang bersifat fisik, perlu dilakukan pula upaya nonfisik,
seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyuluhan, dan penyadar-
an masyarakat. Masyarakat, baik di daerah rawan banjir rob maupun
di luar kawasan, sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar,
peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap per-
aturan dan norma-norma yang ada.
Jika kita tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka banjir
rob semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih ganas lagi. Pasalnya,
bisa saja terjadi kemungkinan di mana kondisi amblesan tanah dan
paras muka air laut yang semakin parah bersuposisi dan berakumulasi
bersamaan dengan pasang tinggi tertinggi dan gelombang laut yang
ekstrem pada masa-masa yang akan datang. Apalagi kalau dibarengi
dengan hujan yang sangat deras. Siapkah kita menghadapinya?

Perubahan Iklim
Industrialisasi beserta kegiatan yang mengikutinya (seperti
transportasi dan gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 119
2

Peta Indeks Kerentanan Pesisir.

Membangun Poros Maritim Dunia


120 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kaca (green house effect). Pemanasan global pun tak dapat dihindari.
Kekacauan iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-
ujungnya daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya,
terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau SLR).
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu
badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization)

2
dan UNEP (The United Nation of Enviroment Program), laju SLR sekitar
3-10 cm per dasawarsa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat
manusia.
Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai
yang rendah bisa terendam air laut. Lalu bagaimana nasib Indonesia?
Menurut analisis penulis (2009), laju SLR di beberapa pulau kecil dan
kota di pantai utara Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara)
sekitar 8 mm/tahun.
Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara sungai
dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari
daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi maka
banjir kian hebat.
Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di Indonesia
yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja maka air
laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan kilometer. Akibatnya,
lagi-lagi terjadi pembendungan.
Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai berkurang.
Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga
mengurangi daya tampung sungai di muara.
Bagaimana mungkin kita dapat melakukan berbagai usaha (se-
perti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, ka-
wasan konservasi) secara berkelanjutan (sustainable) jika ancaman-
nya, baik akibat ulah manusia dan alam, semasif dan seintensif itu?
Lalu, bagaimana kiatnya agar kita dapat membangun laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dalam suasana yang serba sulit
ini?

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 121
Ketimpangan Antarwilayah
Ketimpangan ekonomi wilayah menjadi salah satu persoalan
dalam membangun sektor kelautan dan perikanan. Ketimpangan
tersebut tak terlepas dari kondisi geografi Indonesia dan sumber daya
lautnya.
Menurut analisis Indeks Theil, selama kurun waktu 1985 – 2010

2
ketimpangan ekonomi antar wilayah menurun. Kajian yang dilakukan
oleh Tajerin dan kawan-kawan (2013) tersebut cukup melegakan
kita. Pada tahun 1985 misalnya, nilai indeks ketimpangan ekonomi
antarwilayah di Indonesia tercatat sekitar 0,14. Namun pada tahun
2010 angka tersebut menurun menjadi 0,09 (lihat grafik).

0,16

0,14

0,12
Indeks Theii

0,10

0,08
Ketimpangan semakin menurun..!
0,06

0,04

0,02

0,00
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Tahun
Sumber: Tajerin, Adrianto, Fauzi, dan Juanda (2013)

Ketimpangan antarwilayah Indonesia secara agregat.

Berdasarkan perspektif sumbernya, ketimpangan antarwilayah


Indonesia secara agregat disumbang oleh ketimpangan dalam wi-
layah yang tinggi dibandingkan dengan ketimpangan antarwila-
yah. Artinya, ketimpangan di dalam sebuah kawasan provinsi lebih
berpengaruh ketimbang antarprovinsi.
Dengan kata lain, ketimpangan dalam wilayah lebih dominan
daripada antarwilayah. Besarnya tingkat ketimpangan tersebut
disajikan pada grafik berikut ini.

Membangun Poros Maritim Dunia


122 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
0,16

0,14

0,12
Indeks Theii

0,10

0,08

2
0,06

0,04
Sumbernya didominasi oleh ketimpangan dalam wilayah
0,02

0,00
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Ketimpangan dalam wilayah Ketimpangan antarwilayah

Sumber: Tajerin, Juanda, Fauzi, dan Adrianto (2013)


Sumber ketimpangan wilayah Indonesia secara agregat.

0,07

0,06

0,05 Ketimpangan meningkat


Indeks Theii

0,04

0,03
Ketimpangan menurun
0,02

0,01

0
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Tahun
Pulau Sumatra Pulau Jawa Pulau Kalimantan
Sumber: Tajerin, Juanda, Fauzi, dan Adrianto (2013)

Ketimpangan wilayah Indonesia bagian barat.

Mengenal Potensi Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil


dengan Berbagai Permasalahannya 123
0,0025

0,002
Indeks Theii

0,0015

2
0,001

0,0005 Ketimpangan meningkat

0 Outliers
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Pulau Sulawesi Pulau Bali - Nusa Tenggara Pulau Papua - Kep. Maluku
Sumber: Tajerin, Juanda, Fauzi, dan Adrianto (2013)

Ketimpangan wilayah Indonesia bagian timur.

Untuk wilayah barat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tingkat


kesejahteraan tidak menyebar dengan baik. Akibatnya, nilai indeks
ketimpangan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena
serupa juga terjadi di wilayah timur Indonesia seperti Pulau Sulawesi,
Pulau Bali - Nusa Tenggara, Pulau Papua, dan Kepulauan Maluku.
Lain halnya dengan yang terjadi di Pulau Sumatra dan
Kalimantan. Menurut Tajerin (2013) tingkat kesejahteraan di kawasan
tersebut menyebar relatif lebih baik. Hal tersebut tercermin dari nilai
indeks ketimpangan yang cenderung menurun dari tahun ke tahun
berikutnya.

Membangun Poros Maritim Dunia


124 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
3

Bab 3
SDM dan Iptek
Sebagai Pilar Membangun
Kejayaan Maritim

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 125


Mengembangkan SDM
Berkarakter Menuju Kejayaan
Bangsa Maritim

3 Sejarah mencatat, generasi berbudaya maritim pernah


menorehkan kejayaan Nusantara tempo dulu. Kini adalah
momentum tepat untuk mengembalikan kejayaan seperti
yang pernah dicapai generasi pendahulu kita sebagai pelaut
ulung. Kualitas sumber daya manusia yang berkarakter
perlu dibangun agar kita mampu mengelola berbagai
potensi sumber daya kelautan yang berlimpah ruah demi
kesejahteraan bangsa.

M
eredupnya kejayaan maritim menarik untuk ditelusuri
penyebabnya. Masa-masa emas Majapahit memudar
ketika kolonialisme mulai berkuasa. Kolonialisme Belanda
berkedok misi dagang di bawah bendera VOC itulah yang membuat
kejayaan Majapahit terus memudar.
Budaya nenek moyang kita sebagai pelaut ulung berlayar
mengarungi samudra untuk bekerja, berusaha, dan menuntut ilmu
itu mulai merosot sejak Perjanjian Gianti ditandatangani VOC dan
Kerajaan Majapahit pada tahun 1503. Salah satu isi dari Perjanjian
Gianti adalah raja-raja di Nusantara dilarang membangun kapal dan
berdagang antarpulau.

Membangun Poros Maritim Dunia


126 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
VOC yang memiliki motto Siapa menguasai samudra, dialah
menguasai dunia ini sukses mengambil alih kegiatan perniagaan
di seluruh Nusantara. Pundi-pundi VOC semakin sejahtera lantaran
berhasil menguasai sumber daya alam di wilayah Nusantara.
Sedangkan bangsa kita kian tertindas, miskin, dan bodoh bagaikan
hidup dalam tempurung. Sejak saat itulah budaya bangsa pelaut
luntur dan terkubur.
Sepanjang 3,5 abad para pendahulu kita tidak mendapatkan
akses terhadap kemajuan Iptek di belahan dunia lainnya. Padahal
ketika itu, jauh sebelum kebangkitan nasional tahun 1908, Eropa

3
mendominasi dunia. Jepang sukses melakukan Restorasi Meiji.
Kemakmuran juga dinikmati Amerika Latin dan Amerika Utara. Tak
ketinggalan Kerajaan Islam Otoman pun berjaya. Lalu, bagaimana
dengan Indonesia? Saat itu Indonesia terisolasi dan bergulat di
bawah penindasan kolonialisme. Kebodohan dan kemiskinan masih
menyelimutinya. Antarsuku masih belum bersatu malah sering terlibat
konflik dan pertikaian. Politik adu domba yang dihembuskan kolonial
Belanda terbukti mampu memecah belah persatuan.
Barulah pada abad ke-20 bangsa kita mulai bangkit atau sering
dikenal sebagai abad kebangkitan nasional. Puncak perjuangan itu
menghasilkan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Kemerdeka-
an itu tercapai berkat persatuan melawan penjajah.
Kalau hasil perjuangan pendiri bangsa pada abad ke-20 adalah
kemerdekaan, maka sekarang ini --pada abad ke-21-- perjuangan kita
adalah membangun ekonomi untuk kesejahteraan bangsa, mengem-
bangkan jati diri bangsa, serta memerangi kemiskinan. Kunci dari
keunggulan Indonesia pada abad ke-21 terletak pada sumber daya
manusia yang berbudaya dan mampu menguasai Iptek.
Dengan kata lain, masa kejayaan pada abad ke-21 terletak pada
sampai sejauh mana bangsa kita menguasai inovasi. Pengalaman
menunjukkan, bangsa-bangsa yang maju, sejahtera, dan bermartabat
adalah mereka yang unggul dalam penguasaan teknologi inovasi.
Dengan inovasi pula, mereka dapat menjadi bangsa yang kompetitif
dan terhormat.

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 127


Budaya unggul perlu dikembangkan di birokrasi, perguruan
tinggi, dan swasta (industri) agar melahirkan inovator-inovator yang
kreatif. Cara lain adalah dengan mengembangkan enterpreneurship.
Di negara maju seperti AS, Jepang, Korea, Singapura misalnya, inovasi
tumbuh pesat seiring dengan menjamurnya enterpreneurship.
Kita optimis, Indonesia mampu membangkitkan kejayaan
maritim seperti yang pernah terjadi pada abad ke-7 dan abad ke-14.
Bermodalkan keunggulan komparatif berupa potensi sumber daya
alam laut yang sangat berlimpah dan budaya lokal yang dikelola
dengan sentuhan Iptek maka kita dapat berjaya.

3
Budaya yang ingin dikembangkan adalah yang mampu mem-
bangkitkan semangat nasionalisme. Membangun semangat nasio-
nalisme itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya
setia dalam menggunakan produk dalam negeri, berprestasi baik se-
cara lokal, nasional, regional, maupun internasional, taat membayar
pajak.
Nasionalisme semacam itu dapat terwujud jika setiap warga
negara Indonesia memiliki jati diri (karakter) yang kuat. Menurut
Ki Supriyoko (2011), karakter seseorang lebih mencerminkan jati
diri daripada aspek kepribadian manusia lainnya seperti identitas,
intelektual, keterampilan, dan lain sebagainya. Seseorang yang
karakternya baik identik bahkan sama dengan orang yang budi
pekertinya luhur atau akhlaknya mulia.
Sebuah survei yang dilakukan di berbagai negara dapat menjadi
pelajaran menarik bagi kita semua. Ternyata orang-orang sukses di
dunia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosional (spiritual) atau
emotional quotient (EQ) yang dimiliki seseorang daripada kecerdasan
intelektual (intelectual quotient atau IQ).
Survei tersebut menjelaskan, sekitar 90 persen orang sukses
ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya. Sebaliknya, hanya 10
persen ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya. Fakta tersebut
memberi pengetahuan menarik bahwa pendidikan mental
(karakter) sebenarnya jauh lebih penting daripada pendidikan untuk
menciptakan manusia unggul dalam berpikir (intelektual).

Membangun Poros Maritim Dunia


128 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Dalam budaya Jawa, karakter seseorang akan tercermin dalam
empat sikap atau perilakunya. Pertama, andhap asor atau tidak
congkak dan tidak sombong. Ibarat padi, semakin berisi, kian
merunduk. Seseorang berilmu tinggi senantiasa merendahkan
hatinya.
Kedua, aja dhumeh atau tidak mentang-mentang saat menjabat
atau berkuasa. Ketika seseorang diberi amanah, dia tidak menyalah-
gunakan kekuasaan tersebut.
Ketiga, ngilo marang ghitoke dhewe. Artinya, senantiasa sadar
terhadap banyaknya kekurangan diri sendiri. Semakin banyak belajar,

3
kita sadar kian banyak pula yang tidak diketahui.
Keempat, ajining diri dumunung ana ing lathi atau senantiasa
berhati-hati kalau berbicara dengan orang lain. Selalu berpikir positif
akan membuat kita mudah bersinergi dan berkolaborasi dengan
orang lain.
Betapa hebatnya bangsa Indonesia jika empat karakter tersebut
melekat pada diri kita semua. Kekayaan laut yang maha luas dan
berlimpah dapat menjadi kekuatan sosial dan ekonomi bangsa jika
generasi yang mengelolanya adalah mereka yang punya karakter
(akhlak atau budi pekerti) kuat. Kita perlu orang-orang yang jujur,
dapat dipercaya, terbuka, arif, dan cerdas. Karakter ini dapat tercipta
melalui pendidikan budi pekerti, baik di sekolah, masyarakat, dan
keluarga.
Dari berbagai jenis pendidikan tersebut, keteladanan adalah
metode sangat tepat dalam pengembangan karakter seseorang. Di
tingkat keluarga misalnya, orangtua harus memberi teladan kepada
anak-anaknya. Efek keteladan akan lebih mudah diikuti anak-anaknya
daripada mereka diberi nasihat mulia tetapi orangtuanya tidak pernah
memberi contoh perilaku yang baik.
Begitu pula di tingkat masyarakat. Para pemuka masyarakat,
tokoh agama, dan pejabat harus memberi teladan kepada masyarakat
luas dan para pegawainya. Tak perlu kampanye mengenai moral,
namun yang jauh lebih penting adalah para pemimpin itu cukup
memberi teladan kepada bawahannya.

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 129


Di sekolah-sekolah, para guru dan dosen juga sebaiknya ber-
perilaku serupa. Jangan malah dalam menghadapi ujian nasional
misalnya, para guru dengan sengaja membocorkan soal ujian dengan
tujuan agar tingkat kelulusan anak didiknya mencapai 100 persen.
Hadihardojo (2000) menyarankan agar materi yang bersifat
pembentukan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, sikap, perilaku jujur,
disiplin, hendaknya diberikan kepada anak didik sejak di bangku SD,
SMP, dan SMU. Semakin tingkat pendidikannya ke atas kian berkurang
(bukan ditiadakan) pendidikan budi pekertinya.
Dengan demikian ketika mereka kuliah di perguruan tinggi,

3
mahasiswa semakin banyak diajarkan kurikulum yang bermuatan
Iptek. Artinya, muatan perkuliahan di perguruan tinggi lebih
ditekankan Iptek, bimbingan dalam etika bersosialisasi, berbisnis,
berprofesi, serta kemampuan kerja tim. Dengan kata lain, sarat dengan
muatan interdisipliner.

Kekuatan Pasar Sangat Besar


Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia, Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan pasar dalam negeri
yang sangat besar. Bisa dibayangkan kalau mayoritas penduduk
Indonesia menggunakan produk buatan dalam negeri, perekonomian
Indonesia dapat tumbuh secara pesat dan kuat.
Lebih dari itu, produk-produk dalam negeri pada saatnya nanti
juga mampu memiliki daya saing yang kuat di antara produk-produk
impor. Hal ini dapat terjadi karena produk dalam negeri tersebut dapat
membiayai kegiatan penelitian dan pengembangan yang menjadi
ujung tombak sebuah produk dengan inovasi tinggi.
Tak perlu khawatir dengan biaya Litbang yang selama ini sangat
minim. Ketika produk-produk dalam negeri itu dibeli mayoritas
penduduk, maka sebagian dari hasil penjualan tersebut dapat
dialokasikan untuk kegiatan Litbang.
Dengan kata lain, nasionalisme masa kini harus mampu
mengantisipasi berbagai tantangan yang sangat kompleks.
Nasionalisme semacam ini akan menentukan berhasil-tidaknya

Membangun Poros Maritim Dunia


130 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kita dalam melakukan tinggal landas dan tetap survive sebagai satu
kesatuan bangsa di tengah derasnya arus globalisasi.
Di era reformasi yang ditandai dengan keberanian masyarakat
dalam mengidentifikasi dan menginterpretasikan situasi dan kondisi
yang sedang berkembang, nasionalisme kebangsaan masih sangat
relevan untuk menjawab berbagai tantangan ke depan. Sebab,
dengan semangat nasionalisme semacam ini, baik generasi masa kini
maupun generasi penerus lebih mendahulukan kepentingan bangsa
dan negara daripada kepentingan indivudi atau kelompoknya.
Sebagai suatu paham, Koento Wibisono Siswomihardjo (1998)

3
berpendapat, nasionalisme sebagai suatu paham bukanlah barang
“jadi yang sudah selesai” dan “mandeg” dalam kebekuan normatif
ataupun kesempitan dogmatis-ideologis. Sebagai suatu paham,
nasionalisme adalah sesuatu yang terbuka, berkembang untuk
melayani tuntutan dan tantangan jaman agar tetap aktual dan efektif
berfungsi bagi perkembangan suatu bangsa yang terus-menerus
ditantang oleh berbagai tuntutan pembaruan.
Menurut Gui Bonsiepe, pemikir teknologi dari Brazil, hanya de-
ngan sentimen nasionalisme, negara Dunia Ketiga mampu mengem-
bangkan teknologi mereka secara mandiri. Dengan bangkitnya se-
mangat nasionalisme ini jelas akan berdampak pada pemajuan Iptek,
termasuk Iptek kelautan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
ketahanan nasional kita. Diharapkan kecintaan terhadap bangsa untuk
mencapai tujuan nasional dengan mengoptimalkan semua perkem-
bangan Iptek termasuk bidang kelautan dapat terwujud.
Terkait dengan nasionalisme, kita berharap dapat belajar banyak
dari keberhasilan Korea Selatan dalam menciptakan patriotisme
dan nasionalismenya melalui Saemaul Undong (SU). Semangat
nasionalisme yang berkobar di jiwa mereka telah menempatkan Korea
Selatan sebagai negara maju. SU merupakan gerakan pembaruan
masyarakat desa yang dicanangkan Presiden Park Chung-hee pada 22
April 1972. Tujuan awalnya adalah meningkatkan pendapatan petani
dan nelayan di desa.
Seperti diketahui, sebelum tahun 1972 Korea Selatan jauh lebih

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 131


miskin daripada Indonesia. Saat itu Bogor lebih maju ketimbang
Seoul, ibukota Korsel. Kondisi desa-desa di Negeri Ginseng itu malah
lebih parah lagi. Bayangkan, sekitar 80 persen rumah-rumah di desa
beratapkan rumbia, berdinding bambu, dan menggunakan lampu
minyak. Sekitar 2/3 wilayahnya berupa pegunungan. Setiap musim
dingin, mayat mudah ditemukan di banyak lokasi. Mereka tewas
karena selain tak mampu melawan udara dingin juga tidak didukung
dengan persediaan makanan yang memadai.
Presiden Park risau melihat fenomena itu. Setelah melakukan
perjalanan ke desa-desa, Park bertekad membangun bangsanya

3
dengan meluncurkan program SU. Gerakan SU ini mengajarkan tiga
semangat; rajin (dilligent), mandiri (self help), dan gotong-royong
(cooperation). Untuk itulah pada tahap awal, SU ditekankan pada
reformasi sikap mental. Masyarakatnya didorong agar memiliki
kepercayaan diri yang kuat.
Kini, selama tiga dekade Korsel sukses dan menuai hasil kerja
kerasnya. Industri besi, baja, semen, dan material bangunan tampak
maju pesat. Tak hanya itu, industri elektronika yang tadinya dikuasai
AS dan Jepang, kini beralih ke Korea. Mobil-mobil buatan Korea juga
sukses merajai seluruh jalan raya di Seoul dan kota-kota lainnya di
Korsel, bahkan mulai merambah ke pasar dunia. Intinya, semangat
nasionalisme yang diciptakan orang nomor satu di Korsel itu telah
mempercepat bangsanya menjadi negara maju yang dihormati
masyarakat internasional.
Indonesia sebenarnya dapat mengadopsi SU. Apalagi Presiden
Joko Widodo sejak awal memimpin RI menggaungkan perlunya
revolusi mental untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
Maklum, saat ini karakter atau jati diri bangsa sudah menjauh dari cita-
cita luhur dari para pendiri bangsa ini.
Di sisi lain, masih banyak teknologi yang belum dikuasai. Sebut
saja teknologi pembuatan garam. Adalah ironis, Benua Maritim Indo-
nesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia itu ternyata
tak mampu membuat garam untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Di banyak daerah, masyarakatnya juga belum mendapatkan

Membangun Poros Maritim Dunia


132 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
fasilitas air bersih. Padahal melalui penerapan teknologi destilasi,
mestinya kita dapat mengubah air laut yang maha luas itu menjadi
air tawar. Konversi air minum yang berasal dari air laut ini nantinya
mampu menjadi solusi bagi daerah-daerah yang memang memiliki
persediaan air tawar sangat minim.
Kita juga perlu menguasai teknologi canggih untuk mengeks-
plorasi kekayaan alam, baik perikanan, hidrokarbon, mineral, minyak
dan gas, dan pariwisata bahari. Di sektor perikanan misalnya, dari jum-
lah nelayan sebanyak 2,3 juta jiwa, sebagian besar (68%) masih meng-
gunakan perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Sisanya se-

3
bagian besar didominasi oleh kapal motor berukuran di bawah 5 GT.
Dengan kondisi tersebut sangatlah sulit meningkatkan produksi peri-
kanan tanpa intervensi pemerintah. Begitu juga untuk kegiatan bu-
didaya laut yang memiliki efisiensi SDM sangat rendah dibandingkan
Vietnam, Cina, dan India.
Untuk sektor pariwisata, posisi daya saing Indonesia semakin
menurun. Menurut The Travel & Tourism Competitive Index, indikator
SDM pariwisata Indonesia berada di urutan 42 dari 133 negara.
Selain itu SDM di bidang promosi pemasaran wisata bahari juga tidak
memiliki strategi dan visi. Kondisi ini menghambat mutu berbagai
kegiatan pemasaran dan promosi.
Di bidang transportasi laut, Kementerian Perhubungan (2013)
mencatat, Indonesia kekurangan 43.000 tenaga pelaut tingkat
perwira dan tingkat rating atau 7.000 pelaut setiap tahun. Indonesia
hanya mampu menyediakan 1.500 pelaut setiap tahun.
Untuk industri perkapalan, Indonesia masih kekurangan SDM
yang memiliki sertifikasi di bidangnya. Menurut Ketua Kluster
Industri Perkapalan Surabaya (Kikas) M Moenir, dari seluruh tenaga
kerja industri perkapalan di Surabaya hanya 10 - 20% yang sudah
bersertifikat (ahli).
Ke depan kita juga diharapkan mampu melakukan pengeboran
minyak dan gas di laut lepas (offshore drilling) dan pengeboran di laut
dalam (deep sea drilling) secara mandiri. Hal ini mutlak dibutuhkan
karena potensi sumber daya laut yang kita miliki sangat berlimpah

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 133


3 www.drillingcontractor.org

Ke depan Indonesia diharapkan mampu melakukan pengeboran minyak dan


gas di laut lepas (offshore drilling) dan di laut dalam (deep sea drilling) secara
mandiri.

ruah. Dan jika kita berhasil mengelolanya, niscaya kita akan menjadi
negara maritim yang kuat.
Sejarah telah mencatat, dengan kekayaan alam yang hebat itu
Indonesia menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota
G-20. Prestasi itu merupakan hasil dari pembangunan ekonomi yang
berbasis pada potensi sumber daya alam. Indonesia baru menyediakan
keunggulan komparatif berupa kekayaan alam. Sedangkan
keunggulan kompetitifnya (penguasaan inovasi teknologinya) masih
dikuasai negara lain.
Ke depan pola pembangunan berbasis sumber daya alam harus
diubah menjadi pembangunan ekonomi berbasis inovasi. Bangsa
yang unggul pada abad ke-21 adalah mereka yang mampu mengelola
sumber daya alamnya dengan sentuhan Iptek.
Tentu banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk
menggapai kejayaan maritim pada abad ke-21. Di antaranya dalam hal
SDM yang melek Iptek. Penguasaan inovasi memang terkait dengan

Membangun Poros Maritim Dunia


134 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
tingkat pendidikan masyarakatnya.
Kita prihatin membaca angka statistik partisipasi sekolah anak-
anak nelayan. Bayangkan, mayoritas dari mereka (60 persen) hanya
mengenyam pendidikan SLTP. Sementara itu 30 persen lainnya
berpendidikan SLTA. Hanya sekitar 10 persen yang kuliah, baik tingkat
diploma maupun sarjana.
Jika diurai lebih lanjut, kita dibuat prihatin. Luas Indonesia yang
2/3 bagian adalah laut ternyata tak didukung oleh SDM kelautan yang
memadai. Justru sebaliknya, lulusan bidang kelautan sangat langka.
Idealnya, perguruan tinggi yang ada di setiap provinsi memiliki

3
Fakultas Kelautan.
Seiring dengan rendahnya pendidikan formal yang dimiliki,
kemiskinan juga melanda sebagian besar masyarakat yang bermukim
di pesisir. Tahun 2014 warga miskin di Indonesia mencapai sekitar 28
juta orang.
Rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka kemiskinan
tersebut, berdampak pada banyak hal. Adopsi teknologi sulit diserap.
Tingkat akselerasi penerapan teknologi yang dihasilkan peneliti ke
masyarakat pengguna terlihat berjalan sangat lambat.
Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia memiliki daya saing
rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Coba
lihat indeks pencapaian teknologi (technology achievement index)
yang diraih Indonesia, tergolong masih rendah.
Menurut data United Nation for Development Program
(UNDP) (2013), Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 72 negara
berdasarkan indeks pencapaian teknologi. Sementara itu, tingkat
pertumbuhan daya saing (growth competitiveness index) Indonesia
menduduki peringkat ke-72 dari 102 negara.
Banyak hal yang menyebabkan daya saing kita rendah. Di
antaranya adalah rendahnya kualitas SDM dan lemahnya penguasaan
Iptek. Menurut Dewan Kelautan Indonesia dalam Kajian Sumber Daya
Manusia Kelautan (2008), SDM di daerah belum dapat diandalkan
karena masih lemah, baik dari segi pengetahuan, latar belakang
pendidikan dan manajemen usaha, maupun hukum. Penyerapan SDM

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 135


juga belum tepat sasaran.
Karena itulah pendidikan kelautan harus menjadi fokus
dalam pendidikan nasional. Kurikulum bermuatan kelautan ini
diharapkan dapat menimbulkan minat atau gairah masyarakat
untuk memanfaatkan dan mengelola potensi kelautan yang sangat
berlimpah ruah. Lembaga Diklat dan Balai Latihan Kerja yang khusus
mengelola kelautan juga perlu dibentuk dan diberdayakan. Setiap
provinsi yang memiliki wilayah laut idealnya memiliki kedua lembaga
tersebut.
Mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut

3
secara berkelanjutan diperlukan integrasi dan keterpaduan lintas
sektor mulai dari up land hingga down land. Dengan begitu kita
dapat meminimalkan berbagai dampak dari pemanfaatan sumber
daya tersebut seperti pencemaran, kerusakan habitat, erosi, bahaya
tsunami dan sebagainya dapat diminimalisasi.
Tak mudah memang mengintegrasikan dan memadukan
kepentingan antarsektor, baik di tingkat pemerintah (daerah, pusat),
perguruang tinggi dan badan Litbang sebagai penghasil teknologi,
maupun industri (swasta). Setidaknya ada empat masalah yang
mengganjal dan perlu ditangani segera, yakni:
1. Para pengelola dan pelaku usaha di bidang kelautan belum
menerapkan Iptek secara intensif.
2. Sebagian besar teknologi pesisir dan lautan masih impor.
3. Lembaga penghasil Iptek (perguruan tinggi dan lembaga penelitian)
masih kurang produktif atau bersifat menara gading.
4. Ada missing link antara kebijakan dan program pemerintah dengan
pelaku usaha di grass root (terutama rakyat kecil), serta antara
lembaga penghasil Iptek dengan pengguna (users).
Menurut Prof. Dr. Priyo Suprobo, dari Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya, di Indonesia terjadi ketimpangan peran
antara aktor sehingga rantai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak tersambung secara baik. Ada dua permasalahan utama
yang kita hadapi.
Pertama, sektor industri (terutama sektor swasta) tidak berperan

Membangun Poros Maritim Dunia


136 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
banyak dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dibandingkan
dengan negara maju, partisipasi sektor industri di Indonesia masih
jauh tertinggal. Di Korea Selatan, Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang,
dana untuk Litbang dari sektor swasta mencapai antara 60 – 75% dari
keseluruhan pengeluaran untuk Litbang. Sedangkan, kontribusi dari
sektor pemerintah (termasuk perguruan tinggi) berkisar hanya sekitar
25 - 40%.

“ Putusnya rantai transfer pengetahuan dan


teknologi dari institusi riset ke sektor
industri adalah salah satu alasan rendahnya 3
kemampuan teknologi industri di Indonesia.
Oleh karena itu, salah satu tindakan strategis
yang perlu dicanangkan di Indonesia
adalah pembukaan dan revitalisasi saluran
transfer teknologi dan saluran umpan balik
dari industri ke institusi riset (termasuk
perguruan tinggi).

Kedua, ada missing link antaraktor Litbang. Kegiatan penelitian
di perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah seolah berjalan
sendiri dan hasil-hasilnya tidak banyak yang digunakan oleh industri.
Fungsi transfer teknologi tidak berjalan dengan baik di Indonesia serta
siapa lembaga yang melakukan transfer teknologi juga tidak terlalu
jelas.
Suprobo melanjutkan, putusnya rantai transfer pengetahuan dan
teknologi dari institusi riset ke sektor industri adalah salah satu alasan

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 137


rendahnya kemampuan teknologi industri di Indonesia. Oleh karena
itu, salah satu tindakan strategis yang perlu dicanangkan di Indonesia
adalah pembukaan dan revitalisasi saluran transfer teknologi dan
saluran umpan balik dari industri ke institusi riset (termasuk perguruan
tinggi).
Hal ini penting karena potensi riset di bidang kelautan Indonesia
sangat besar. Sebut saja industri perikanan dan bioteknologi yang
memiliki nilai ekonomi sekitar Rp 480 triliun per tahun. Sayangnya,
Indonesia belum serius menggarap subsektor ini. Bandingkan dengan
Amerika Serikat yang berhasil mendapatkan devisa negara US$ 4,6

3
miliar dari sektor bioteknologi kelautan. Inggris juga memperoleh
devisa dari sektor ini sekitar US$ 2,3 miliar per tahun.
Di sisi lain, anggaran riset secara keseluruhan termasuk untuk
kelautan sangat kecil, hanya 0,09% Produk Domestik Bruto (PDB).
Karena itulah pemerintah perlu menaikkan anggaran riset sehingga
diperoleh inovasi di bidang maritim. Fasilitas laboratorium, stasiun
lapang, dan kapal riset juga perlu dilengkapi.
Dengan demikian potensi sumber daya laut dan perikanan
yang sangat besar tersebut dapat dikembangkan secara lebih serius
sehingga mampu menambah devisa negara sekaligus menjadi
penggerak ekonomi Indonesia.

Membangun Poros Maritim Dunia


138 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Membentuk SDM
Unggul dan Kreatif

Fakta menunjukkan, di negara maju memiliki sumber daya


3
manusia (SDM) yang unggul dan kreatif. Kualitas SDM
seperti ini menjadi aset sangat berharga dalam ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based economy).
Bidang pekerjaan apapun kalau diisi oleh orang-orang
kreatif bakal terbangun budaya kreatif yang menghasilkan
beragam inovasi.

J
epang dapat dijadikan contoh dalam pengembangan SDM yang
kreatif. Perguruan tinggi dan industri saling berkolaborasi seiring
dengan berkembangnya industrialisasi di Jepang. Secara periodik,
industri dan universitas bertemu dan berkomunikasi membahas
nilai-nilai baru yang dihasilkan universitas yang berpeluang untuk
memenuhi kebutuhan industri.
Kolaborasi harmonis antara nilai-nilai baru yang lahir bersama
perkembangan Iptek dan nilai-nilai lama menghasilkan suatu sistem
nilai yang andal. Inilah yang membuat Jepang menjelma menjadi
negara yang sangat kompetitif dan mampu memenangkan kompetisi
dalam banyak hal.

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 139


Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia. Industri (dunia kerja)
dan dunia riset (universitas dan lembaga Litbang) masih berjalan sen-
diri-sendiri. Keduanya belum saling melengkapi dan membutuhkan.
Bahkan antara lembaga riset di kementerian dan universitas belum
bersinergi dalam mengembangkan Iptek yang dibutuhkan industri
dan masyarakat.
Sebenarnya berbagai jenis karya ilmiah telah dihasilkan insan
perguruan tinggi dan lembaga Litbang di Tanah Air. Sayangnya,
banyak tulisan dan hasil penelitian mahasiswa, dosen, dan peneliti
belum dimanfatkan oleh masyarakat luas dan dunia usaha. Kita kerap

3
melihat hasil penelitian tersebut dipajang di perpustakaan.
Fakta ini memerlukan reorientasi sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan kata lain sistem pendidikan harus mengikuti selera zaman
tanpa meninggalkan sistem budaya lokal yang ada. Pembinaan SDM
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga terjadi hubungan yang
intensif antara perguruan tinggi dan dunia usaha.
Sudah saatnya pihak industri dan dunia riset (perguruan tinggi
dan badan Litbang) memiliki forum dan kegiatan bersama. Dengan
demikian, hasil-hasil penelitian dan kajian dari lembaga riset memiliki
relevansi kuat sesuai dengan kebutuhan pasar.
Menurut McCuen (1996), setidaknya ada 3 manfaat penting dari
hasil kerja sama riset tersebut. Pertama, terjadi transfer teknologi dari
pihak penemu (institusi riset) ke sektor industri yang membutuhkan.
Kedua, divisi Litbang di lingkungan industri memiliki nilai
strategis. Mereka tak perlu investasi laboratorium canggih atau SDM
andal yang semuanya membutuhkan biaya tinggi. Sebab, kebutuhan
ini dapat disuplai oleh perguruan tinggi dan badan Litbang nasional.
Ketiga, perguruan tinggi juga mampu melahirkan lulusan yang
bermutu untuk memenuhi kebutuhan industri. Dengan begitu,
industri nasional memiliki fondasi yang kuat sehingga tak mudah
goyah menghadapi serbuan barang impor.
Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya kita sudah memiliki
payung yang dapat melindungi berbagai kegiatan pengembangan
Iptek di Tanah Air. UU No 18/2010 tentang Sistem Pengembangan

Membangun Poros Maritim Dunia


140 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Iptek misalnya, dapat mendorong sekaligus mewajibkan perguruan
tinggi untuk mengalihkan teknologi ke masyarakat. Lalu ada lagi
UU Nomor 20/2010 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
Pasal 21 mengatakan, perguruan tinggi berkewajiban mengadakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Mengingat ke-34 provinsi di Indonesia memiliki wilayah dan
ruang laut, sudah seyogianya di setiap provinsi terdapat minimal satu
perguruan tinggi negeri (PTN) yang memiliki Fakultas Kelautan dengan
beberapa Jurusan (Departemen). Di antaranya Jurusan Teknologi
Kelautan dan Teknologi Kemaritiman.

“ Para surveyor dan tenaga ahli kelautan


yang menguasai fisika laut (arus, gelombang,
batimetri), kimia (tingkat salinitas, BOD,
3
COD), dan biologi (kandungan klorofil, SDI,
terumbu karang, rumput laut, padang lamun,
dan lain-lain) diperlukan dalam rangka untuk
mengumpulkan data base kelautan yang sangat
dibutuhkan dalam penyusunan tata ruang laut.

Tidak tertutup kemungkinan Jurusan Planologi Kelautan juga
perlu dibuka di berbagai PT di Indonesia. Kalau selama ini Jurusan
Planologi lebih menekankan pada tata ruang di darat, maka sudah
selayaknya mulai menoleh ke laut.
Penciptaan SDM profesional semacam ini penting karena
Indonesia belum mempunyai tata ruang laut nasional dan provinsi.
Minimnya SDM yang kompeten inilah yang menjadi penyebab utama
rendahnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat menggarap tata

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 141


ruang laut tersebut.
Para surveyor dan tenaga ahli kelautan yang menguasai fisika
laut (arus, gelombang, batimetri), kimia (tingkat salinitas), dan biologi
(kandungan klorofil, SDI, terumbu karang, rumput laut, padang lamun,
dan lain-lain) diperlukan dalam rangka untuk mengumpulkan data
base kelautan yang sangat dibutuhkan dalam penyusunan tata ruang
laut.
Dari data inilah akan menghasilkan rekomendasi berupa
kesesuaian ruang laut untuk kegiatan wisata, perikanan tangkap,
perikanan budidaya, transportasi laut, penambangan minyak dan gas,

3
pelabuhan, konservasi laut, dan lain sebagainya.
Sayangnya, fakta menunjukkan, sampai sejauh ini data base dari
laut Indonesia masih belum memenuhi syarat (belum lengkap) dalam
pembuatan tata ruang laut. Riset dan eksplorasi data-data kelautan
tersebut masih belum banyak dilakukan.
Dibukanya Fakultas Kelautan di setiap provinsi diharapkan
mampu mengatasi masalah tersebut. Para alumni dari Jurusan
Planologi Kelautan nantinya dapat mempercepat pekerjaan tata
ruang, baik provinsi (0 – 12 mil dari garis pantai), maupun nasional (di
atas 12 mil dari garis pantai).
Jelas bahwa kiprah perguruan tinggi sangat penting dalam
melahirkan SDM profesional untuk mendorong tersusunnya tata
ruang laut guna mengakselerasi pembangunan kelautan sebagai
prime mover pembangunan ekonomi nasional. Jika saja hal itu
tercapai maka potensi sumber daya laut Indonesia yang sangat kaya
dan melimpah yang dapat dijadikan sebagai keunggulan kompetitif
(competitive advantages) bangsa dan prime mover pembangunan
ekonomi nasional.
Kemitraan antara perguruan tinggi, pemerintah daerah dan
pusat, serta dunia usaha perlu lebih direkatkan. Kegiatan riset di
perguruan tinggi dan lembaga Litbang pemerintah harus difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia usaha guna
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam memanfaatkan sumber
daya laut secara berkelanjutan.

Membangun Poros Maritim Dunia


142 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Perguruan tinggi membantu alih teknologi sehingga selain
produk yang dihasilkan bernilai tambah tinggi, kegiatan tersebut
tidak menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Konsep
pembangunan berkelanjutan harus dijadikan orientasi kebijakan di
lapangan.
Selain itu, perguruan tinggi juga perlu melakukan adaptive
research dalam mengembangkan budidaya perikanan seperti lola
(Trocus niloticus), kima (Tridagna gigantia), dan lain-lain. Para peneliti
misalnya, dapat melakukan mulai dari pembiakan, telur menjadi larva
sampai layak untuk ditebar. Lalu mendistribusikan benihnya serta

3
membimbing nelayan untuk memanennya pada usia dan ukuran yang
bernilai ekonomi tinggi.
Di bidang bioteknologi kelautan, perguruan tinggi dapat
melakukan penelitian dan pengembangan berbagai kandungan
sumber daya hayati laut, seperti algae, plankton, nekton dan
sebagainya, baik untuk suplemen, bahan pangan, obat-obatan
dan berbagai produk lainnya yang bisa memberikan manfaat ke
masyarakat langsung maupun secara tidak langsung.
Dalam pengembangan industri perikanan dan sumber daya
hayati laut serta proses pasca panennya, perguruan tinggi dapat
mengembangkan berbagai aplikasi teknologi yang digunakan oleh
masyarakat, misalnya pengembangan teknologi offshore aquaculture,
mariculture di pulau-pulau kecil dan sebagainya terutama untuk
mata pencaharian alternatif masyarakat di samping pekerjaan utama
sebagai nelayan.
Di samping itu perguruan tinggi juga dapat mengembangkan
teknologi penangkapan ikan yang optimal dan ramah lingkungan
dan teknologi pasca panen alat pengering rumput laut energi surya,
modifikasi palka, cold storage dan sebagainya untuk menjaga kualitas
produk perikanan dan produk hayati laut lainnya.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya laut
dan pesisir terutama kawasan pulau-pulau kecil keterisoliran pulau-
pulau kecil harus dibuka dan dikembangkan, melalui transportasi dari
dan ke kawasan pulau-pulau kecil terutama melalui transportasi udara

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 143


dan laut. Dalam pengembangan transportasi tersebut, perguruan
tinggi berperan terutama dalam menyediakan teknologi transportasi
dan infrastruktur penunjang lain skala kecil yang dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat dan berguna bagi pengembangan
dan pendayagunaan potensi pulau-pulau kecil untuk menopang
pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang termasuk
potensi pengembangan marine ecotourism.
Berbagai inovasi teknologi seperti perahu/kapal kecil tenaga
surya, pembangunan dermaga skala kecil, pengembangan kawasan
konservasi yang sinergi dengan kawasan wisata, dan sebagainya.

3
Untuk mendukung pengembangan marine ecotourism tersebut,
kebersihan lingkungan pantai dan laut manjadi faktor yang penting
terutama untuk menunjang keberlanjutan kegiatan marine ecotourism
sebagai penyumbang devisa utama di masa mendatang. Untuk itu
dukungan semua pihak, dan tentunya perguruan tinggi sangat penting
terutama dalam melakukan penyadaran, sosialisasi, pendidikan dan
agent of pioneer dalam mendukung program bersih pantai dan laut,
salah satunya melalui Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL) yang
telah dilakukan di beberapa kota.
Berbagai peran perguruan tinggi tersebut, terutama dalam
pengembangan berbagai aplikasi teknologi yang dibutuhkan
dunia usaha dan masyarakat dalam menjalankan usahanya, serta
mengembangkan teknik kelautan maupun pemanfaatan jasa kelautan
seperti teknologi wahana bawah laut (misalnya terumbu buatan),
mengembangkan teknik reklamasi pantai yang ramah lingkungan
sehingga meminimalkan atau bahkan menghilangkan timbulnya
erosi pantai di tempat lain, teknologi listrik tenaga surya skala rumah
tangga, dan sebagainya.
Aplikasi teknologi juga bisa dibutuhkan untuk mengolah rumput
laut menjadi produk akhir yang bisa dijual secara kompetitif di pasar.
Mengurangi polusi dari sampah non-biodegradable (plastik, botol,
dan lain-lain). Salah satu aplikasi teknologi yang menjanjikan adalah
mengembangkan genetic manipulation untuk ikan karang dan kerapu
sehingga masa pertumbuhannya bisa diperpendek dengan harga

Membangun Poros Maritim Dunia


144 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
jual yang tinggi. Tentu saja riset-riset terapan ini juga perlu disusun
dalam skala prioritas dan dipadukan dengan kebutuhan masyarakat
dan dunia usaha sehingga bisa sinergi dalam mengembangkan
pembangunan kelautan dan lebih memberdayakan masyarakat.
Sementara itu, para peneliti dan ilmuwan harus menjadi bagian
integral dari komunitas ilmuwan dunia. Ilmuwan kita bersama-sama
ilmuwan internasional memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Dengan begitu, sebagian besar produk yang selama ini diekspor
berteknologi rendah dapat ditingkatkan. Komoditas rumput laut
misalnya, nilai eskpor kita didominasi dalam bentuk raw material

3
berupa rumput laut yang telah dikeringkan. Hanya sedikit sentuhan
teknologi yang diperlukan. Akibatnya, nilai tambah dari produk
tersebut masih rendah.
Peluang mengembangkan industri hilir bernilai tambah dan
berdaya saing tinggi berbahan baku rumput laut sangat besar dan
terbentang luas mulai untuk industri makanan, minuman, obat-
obatan, farmasi (kapsul), dan lain sebagainya.
Kiprah para peneliti dan ilmuwan kelautan perlu ditingkatkan,
terutama pada bidang-bidang yang strategis namun selama ini belum
diteliti dan dikembangkan. Sumber daya laut dalam (deep sea) misal-
nya, sampai sejauh ini belum banyak diteliti, dikaji, dan dikembang-
kan.
Begitu juga dengan pihak industri. Sampai sejauh ini belum
ada perusahaan nasional yang berani mengelola potensi sumber
daya alam di laut dalam. Padahal potensinya menghampar luas dan
sangat besar, mulai dari sumber daya hayati (ikan dan biota laut) dan
nonhayati (mineral logam dan air laut dalam).
Sekitar 40 persen dari luas perairan Indonesia adalah laut dalam
yang tersebar mulai dari barat hingga timur dengan kedalaman 350
meter sampai ribuan meter. Inilah potensi yang tak dimiliki oleh
negara lain.
Jepang dan Korea Selatan termasuk negara yang intensif
mengelola laut dalam meskipun kedua negara itu tak punya potensi
sebanyak Indonesia. Jepang misalnya, telah mengelola air laut dalam

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 145


neuheiten.koelnmesse.ne

3
(deep ocean water atau DOW) untuk produk air Peluang untuk
kemasan bermineral dan bernutrisi tinggi. Air ini mengembangkan
industri hilir rumput
sangat sehat dikonsumsi karena mengandung
laut di Indonesia
mineral dan nutrisi secara alami. sangat tinggi.
Prosesnya sebenarnya cukup sederhana.
Air disedot pada kedalaman 350 meter lalu
didesalinasi. Air hasil desalinasi ini lalu dikemas. Sedangkan sisa garam
yang mengendap adalah produk garam bernilai tambah tinggi.
Pengalaman Korea Selatan lain lagi. DOW dialirkan ke rumah,
hotel, dan kantor dengan pipa-pipa yang menempel di dinding.
Suhu DOW yang dingin ini dapat menjadi penyejuk udara. Teknologi
pemanfaatan DOW sebagai penyejuk udara ruangan semacam ini
dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak yang akhir-akhir
ini menjadi biang kerok perubahan iklim. Jadi tak perlu perangkat AC
yang menggunakan energi listrik untuk mendinginkan udara.
Teknologi perkapalan berbahan baku kayu yang awet terhadap

Membangun Poros Maritim Dunia


146 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
air laut juga perlu dikembangkan. Kayu ini khas dan bisa menjadi
pengganti besi yang mudah berkarat dalam kondisi terpapar air laut.
Hal serupa juga perlu dikembangkan teknologi perancangan
bentuk dan jenis-jenis kapal nelayan yang cocok dengan kondisi
perairan yang berbeda-beda. Alat penangkapan ikan juga perlu
diperbaiki teknologinya sehingga nelayan dapat menangkap ikan
secara efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Soal navigasi pelayaran,
pelaut Indonesia dikenal piawai. Sampai sejauh ini peneliti juga sudah
mampu memantau kerumunan ikan melalui satelit. Kalau semua
perangkat teknologi tersebut dikuasai dan diterapkan, nelayan

3
Indonesia dapat sejahtera. Ekonomi nasional pun membaik.
Sesuai amanat UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang, ada tujuh bidang yang perlu
dikembangkan menjadi industri kelautan, yakni perikanan, industri
maritim, perhubungan laut, energi dan sumber daya mineral, wisata
bahari, jasa-jasa lingkungan, serta bangunan kelautan.

Beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan telah mampu
memanfaatkan suhu dingin air laut dalam (deep sea) untuk mendinginkan
suhu ruangan (AC) ke gedung-gedung perkantoran dan permukiman.

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 147


Untuk mewujudkan ke-7 jenis industri kelautan tersebut diper-
lukan sentuhan Iptek. Inovasi akan tercipta melalui penelitian dan
pengembangan. Sebab, tak ada negara yang mau memberikan ino-
vasi begitu saja. Jadi inilah saatnya untuk mengalokasikan anggaran
penelitian dan pengembangan (Litbang) kelautan, baik di pemerintah
maupun swasta secara proporsional. Alokasi dana untuk lembaga riset
seperti Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, LIPI, BPPT, BIG, Lapan,
PPGL ESDM, dan universitas perlu dinaikkan.
Anggaran riset juga dapat diperoleh dari industri terkait dan
hasil kerja sama dengan pihak internasional. Ke depan, anggaran riset

3
harus naik. Sebab, proses pengembangan teknologi tidak akan pernah
berhenti dan terus berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan umat
manusia yang makin meningkat.

Membangun Poros Maritim Dunia


148 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Mendongkrak Nilai Tambah
Melalui Penguasaan Iptek

Fakta membuktikan, Iptek menempati posisi strategis dalam


3
meningkatkan nilai tambah (added value) suatu produk
sehingga memiliki daya saing tinggi. Pengalaman negara maju
menunjukkan, siapa menguasai Iptek dalam pengolahan
produk dan jasa maritim maka ia mampu berkompetisi di
kancah internasional.

M
ari kita lihat faktanya. Kejayaan ekonomi Jepang, AS,
Norwegia, Singapura, Korea Selatan, dan beberapa negara
maju lainnya ditopang oleh kemampuannya dalam
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan kata lain,
Iptek menjadi pilar utama dalam memperkuat fondasi ekonomi.
Keseriusan penguasaan Iptek itu ditunjukkan dengan besarnya
alokasi anggaran untuk kegiatan riset dan pengembangan yang
sangat tinggi dan cenderung naik dari tahun ke tahun berikutnya.
Baik pemerintah maupun perusahaan sama-sama peduli dalam
mengembangkan Iptek untuk memutar roda perekonomian.
Hasilnya, mereka memiliki nilai tambah tinggi dan mampu
kompetitif di dunia internasional. Berbagai produk kelautan dan

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 149


perikanan yang mereka kembangkan telah mampu mengalahkan
negara lain yang tak cakap menguasai Iptek.

Instrumen Pelengkap
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia? Hingga kini, kita
masih memandang Iptek baru sebatas instrumen pelengkap, belum
menjadi ujung tombak bagi kemajuan perekonomian nasional. De-
ngan kata lain, sistem inovasi di Indonesia kurang berperan dalam
meningkatkan daya saing nasional.
Pada awal Indonesia membangun misalnya, fondasi ekonomi-

3
nya bertumpu pada kekayaan sumber daya alam. Hal ini bisa dimak-
lumi karena dalam situasi politik yang tak menentu usai mengusir
cengkraman penjajah, bangsa ini tidak mudah memanfaatkan Iptek
dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa.
Lalu, semasa Orde Baru, pembangunan ekonomi nasional
bergeser dengan bertumpu pada industri. Hasil dari pembangunan
semacam ini telah memacu investor (baik domestik maupun asing)
menanamkan modalnya di Indonesia.
Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sumber daya
alam dan industri tersebut nyatanya belum mampu menyejajarkan
Indonesia dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan,
Singapura, Cina, dan lain-lain. Kini, tak ada salahnya kalau kita perlu
belajar dari negara-negara maju tersebut bagaimana membangun
perekonomiannya melalui penguasaan dan penerapan Iptek.
Apalagi saat ini merupakan momentum yang tepat. Sebab,
Indonesia secara alami memiliki keunggulan komparatif (kekayaan
sumber daya alam laut) yang tak dimiliki negara maju.
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan ini jika dikelola
dengan penguasaan Iptek maka akan menjadi produk bernilai
tambah tinggi sehingga memiliki keunggulan kompetitif seperti
halnya yang telah lama diraih negara maju.
Jepang tampaknya dapat menjadi contoh yang menarik dalam
membangunan perekonomian melalui sentuhan Iptek. Christopher
Freeman dalam bukunya Technology Policy and Economic Performance:

Membangun Poros Maritim Dunia


150 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
wirtgen.de

Industri garam di Australia menggunakan teknologi maju sehingga menghasilkan


3
garam bermutu tinggi untuk kebutuhan industri pangan, kimia, obat-obatan,
dan lain-lain.

Lesson from Japan (1987) mengungkapkan, di balik kemajuan ekonomi


Jepang terdapat interaksi dan sinergi yang kuat antara pemerintah
dengan pelaku atau aktor Iptek, industri, lembaga litbang, dan
lembaga pendidikan.
Kisah sukses Jepang menginspirasi kita bahwa Iptek memang ti-
dak bisa berdiri sendiri. Dengan kata lain, lembaga yang bertanggung
jawab terhadap Iptek harus bersinergi dan berkoordinasi dengan ber-
bagai kelompok seperti akademisi (academic), pelaku bisnis (business),
pemerintah (government), dan komunitas (community) atau disebut
ABGC. Melalui sinergitas dan kolaborasi tersebut, Iptek akan menjadi
kekuatan ekonomi suatu bangsa.
Pemerintah Jepang misalnya, secara terjadwal senantiasa
memanggil para CEO perusahaan dan universitas untuk duduk
bersama. Mereka membahas kolaborasi antara akademisi dan pelaku
bisnis. Dengan demikian apa yang diteliti para ilmuwan di universitas
sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri. Hasil riset tersebut
benar-benar membumi dan dipakai oleh industri.

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 151


Industri yang memang memiliki keterbatasan SDM di bidang
Litbang dapat bersinergi dengan universitas yang punya peneliti
unggul beserta fasilitas laboratoriumnya. Anggaran risetnya bisa
ditanggung oleh industri dan pemerintah.
Dari pengalaman tersebut memberi pelajaran bahwa setidaknya
ada tiga strategi utama dalam membangun poros maritim yang
andal. Pertama adalah mengembangkan potensi ekonomi melalui
koridor ekonomi. Kedua, menguatkan konektivitas nasional. Ketiga,
menguatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan Iptek
nasional.

3
“ Industri yang memang memiliki keterbatasan
SDM di bidang Litbang dapat bersinergi dengan
universitas yang punya peneliti unggul beserta
fasilitas laboratoriumnya. Anggaran risetnya bisa
ditanggung oleh industri dan pemerintah.

Visi tersebut akan tercapai dengan percepatan transformasi
ekonomi melalui bisnis yang tak biasa (not business as usual).
Transformasi ekonomi tersebut identik dengan ekonomi berbasis
ilmu pengetahuan (economic base knowledge) di mana dalam
pembangunan ekonomi dibutuhkan kolaborasi bersama ABGC
(akademisi, pemerintah pusat dan daerah, industri atau BUMN, BUMD,
dan swasta, serta masyarakat).
Pemahaman tersebut harus direfleksikan dalam kebijakan pe-
merintah. Kebijakan dan regulasi serta peraturan perundangan yang
dibuat harus mendorong partisipasi dunia usaha secara maksimal se-
hingga tercipta pertumbuhan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.

Membangun Poros Maritim Dunia


152 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Melalui paradigma baru inilah, niscaya bangsa Indonesia memiliki
daya saing yang kuat.

Hasil Survei
Survei yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi pada
tahun 2010 di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, menunjukkan
betapa lemahnya penggunaan Iptek baik di tingkat pelaku usaha
maupun pemerintah pusat dan daerah. Survei tersebut melibatkan
71 responden. Perinciannya; 21 orang dari kelompok akademisi atau
peneliti, 17 orang pelaku usaha (bisnis), dan 23 orang berasal dari

3
pemerintah (birokrat).
Berdasarkan keterangan responden tersebut, sistem inovasi
di NTB kurang berperan dalam meningatkan daya saing daerah.
Survei tersebut juga merekomendasikan perlunya campur tangan
pemerintah.
Wajar saja demikian karena terdapat beberapa indikator yang
masih lemah baik di kelompok makro (kebijakan dan regulasi), messo
(kelembagaan dan program), maupun mikro (kapasitas inovasi). Di
tingkat makro misalnya, kelemahan terdapat pada dua hal, yakni
master plan (rencana induk) serta pendidikan dan latihan (Diklat).
Sementara itu, di tingkat messo, terdapat lima hal yang harus
diperkuat, yaitu pembiayaan sistem teknologi dan inovasi, program
Litbang terapan, program Litbang bersama, intermediasi, serta
dukungan kewirausahaan. Sedangkan di kelompok mikro, terdapat
tiga kelemahan yang menyangkut institusi riset dasar, inovator, dan
kewirausahaan.
Fenomena NTB juga cenderung terjadi di daerah-daerah lainnya
di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang
baru dibentuk pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo --yang
menjadi unsur makro-- diharapkan dapat menggerakkan kelompok
messo dan mikro terkait dengan pembangunan poros maritim dunia.
Melalui koordinasi Kemenko Maritim yang efisien dan efektif di empat
kementerian (Kelautan dan Perikanan, Energi dan Sumber Daya
Mineral, Perhubungan, serta Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ) niscaya

SDM dan Iptek Sebagai Pilar Membangun Kejayaan Maritim 153


pengembangan Iptek dapat diwujudkan untuk menggerakkan
ekonomi nasional yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing
kuat.
Melihat potensi laut yang dimiliki Indonesia, ada beberapa indus-
tri kelautan dan perikanan yang menjadi prioritas untuk dikembang-
kan. Di antaranya industri perikanan tangkap dan budidaya, garam,
rumput laut, laut dalam (deep sea), Migas di dasar laut, energi terbaru-
kan, industri galangan kapal, pelabuhan dan tol laut, wisata bahari
(diving, snorkling, memancing, dan yach). Semua industri tersebut me-
merlukan dukungan Iptek untuk mewujudkan produk kelautan dan

3
perikanan bernilai tambah tinggi serta berdaya saing yang kuat.

“ BUMI INI CUKUP


UNTUK MEMEMUHI
KEBUTUHAN MANUSIA,
TETAPI TIDAK CUKUP
UNTUK MEMENUHI
SEMUA KEINGINAN “
MANUSIA.
(MAHATMA GANDHI).

Membangun Poros Maritim Dunia


154 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
4

Bab 4
Merencanakan
Tata Ruang Laut

Merencanakan Tata Ruang Laut 155


Mengelola Laut Secara
Berkelanjutan

Berbagai permasalahan, ancaman, dan tekanan di kawasan


laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil merupakan bukti bahwa
dalam mengelola laut masih belum dilakukan secara

4
komprehensif, terpadu, dan optimal. Pembangunan ekonomi
terus dipacu namun aspek kesejahteraan dan kelestarian
lingkungan belum mendapat perhatian yang proporsional.

P
embangunan ekonomi tanpa diimbangi dengan perlindungan
sumber daya alam akan berbalik mengancam kehidupan umat
manusia dan seluruh sistem kehidupan lainnya. Itu artinya,
pembangunan tersebut hanya dinikmati sesaat, tidak dapat dinikmati
oleh generasi berikutnya sebagai akibat hancurnya ekologi.
Cara pengelolaan semacam ini harus diubah agar kawasan
laut dan pesisir tetap lestari dan berkelanjutan. Artinya, antara
pembangunan ekonomi dan lingkungan beserta sosial budaya
masyarakatnya harus senantiasa serasi dan harmonis.
Konsep pembangunan berkelanjutan seperti ini sebenarnya
sudah sejak lama dikenalkan masyarakat dunia. Sejarah mencatat,
pada tahun 1972 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar
konferensi bertajuk lingkungan dan pembangunan (United Nations
Conference on Environment and Development atau UNCED).

Membangun Poros Maritim Dunia


156 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Konferensi yang diadakan di Stockholm, Swedia itu merupakan
refleksi kesadaran dan komitmen masyarakat dunia dalam rangka
menyerasikan dan mengharmoniskan antara pembangunan
dan lingkungan. Pertemuan akbar tersebut diharapkan mampu
menggugah kesadaran bersama bahwa pembangunan ekonomi tidak
boleh mengorbankan kelestarian lingkungan.
Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1987. Ketika itu Gro
Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia memimpin
World Commision on Environment and Development (WCED) atau
lebih dikenal dengan Komisi Brundtland. Dari komisi yang dibentuk
PBB inilah menghasilkan kajian bahwa orientasi pembangunan harus
senantiasa berkelanjutan (sustainable) untuk generasi berikutnya.
Komisi ini juga menyoroti pentingnya kerja sama antarbangsa.
Hal ini penting karena pembangunan berkelanjutan memerlukan

4
otoritas atau kewenangan yang melibatkan banyak pihak dan
menyeluruh. Komisi ini juga mengajak masyarakat internasional untuk
menangani masalah-masalah lingkungan secara efektif.
Komisi Brundtland juga mempublikasikan hasil kajiannya dalam
sebuah buku berjudul Our Common Future pada 1987. Sejak saat
itulah, konsep pembangunan berkelanjutan memiliki pengaruh besar
terhadap dunia. Sebab, pembangunan berkelanjutan yang diusung
Komisi Brundtland menekankan keterpaduan konsep politik untuk
melakukan perubahan yang mencakup berbagai masalah, baik sosial,
ekonomi, maupun lingkungan.
Laporan tersebut juga memaparkan definisi pembangunan
berkelanjutan, yakni pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa
mengorbankan generasi mendatang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Dengan demikian ada tiga dimensi penting
dalam pembangunan berkelanjutan; ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan.
Ketiga unsur tersebut saling terkait. Dimensi ekonomi
menekankan pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumber daya alam. Pemenuhan kebutuhan tersebut

Merencanakan Tata Ruang Laut 157


diharapkan dapat menciptakan keadilan dan pemerataan (dimensi
sosial) dengan tetap menghargai integritas sumber daya alam
(ekologi).
Kepedulian dunia internasional terhadap pembangunan
berkelanjutan semakin menguat ketika pada tahun 1992 UNCED
menyelenggarakan Rio Summit di Rio de Janiero, Brazil. Konferensi
ini mencerminkan makin meningkatnya komitmen masyarakat dunia
untuk melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan.
Output utamanya adalah Deklarasi Rio untuk Lingkungan dan
Pembangunan (Agenda 21) yang memuat 27 prinsip panduan aksi
di tingkat nasional maupun internasional, termasuk di antaranya
pembangunan berkelanjutan di kawasan laut dan pesisir. Pada Bab 17
Agenda 21 memuat program aksi untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan di samudra, daerah pesisir, dan laut, melalui bidang

4
program pengelolaan terpadu dan pembangunan berkelanjutan
wilayah pesisir, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); perlindungan
lingkungan bahari; pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hayati
bahari secara berkelanjutan; menanggulangi ketidakpastian yang
mengancam pengelolaan lingkungan bahari dan perubahan iklim;
memperkuat koordinasi dan kerja sama internasional, termasuk pada
tingkat regional; serta pembangunan berkelanjutan pulau-pulau
kecil.
Pada 1993 Belanda menjadi tuan rumah Konferensi Pesisir Dunia
atau World Conference on Coasts (WCC). Di forum akbar inilah muncul
konsep integrated coastal management (ICM). Konsep ini di Indonesia
dikenal sebagai Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT). Konsep
ini merupakan model paling tepat dalam mengelola pesisir, baik untuk
kepentingan saat ini maupun jangka panjang. Termasuk di dalamnya
mencakup kerugian habitat, degradasi kualitas air, perubahan siklus
hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, adaptasi terhadap
kenaikan paras muka air laut, serta dampak lain akibat perubahan
iklim dunia.
PWPT bisa juga dipakai sebagai alat utama untuk mencapai pem-
bangunan berkelanjutan pada negara yang mempunyai pesisir dan

Membangun Poros Maritim Dunia


158 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pulau-pulau kecil. Sebab, PWPT melibatkan penilaian menyeluruh,
penentuan tujuan, perencanaan dan pengelolaan sistem dan sumber
daya pesisir dengan tetap mempertimbangkan tradisi, budaya, sejarah,
sudut pandang, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan. Dengan
demikian, PWPT merupakan proses terus-menerus dan mengalami
evolusi untuk memperoleh pembangunan yang berkelanjutan.
Ada dua proses penting untuk mencapai PWPT, yakni perenca-
naan dan implementasi. Singkat kata, PWPT merupakan roh yang
menjiwai bagi setiap derap langkah dalam membangun wilayah pe-
sisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, mulai dari perenca-
naan hingga implementasinya.
Secara umum proses perencanaan PWPT meliputi: (a)
pengenalan topik dan permasalahan dan penentuan tujuan dan
kriteria yang sesuai, (b) tidak membatasi ruang lingkup ruang, waktu

4
dan penyusunan usaha perencanaan, (c) identifikasi stakeholders dan
memastikan partisipasi mereka pada proses manajemen, (d) analisa
program perencanaan yang ada, pengaturan institusi dan manajemen
instrumen untuk menentukan apakah mereka berguna bila dikaitkan
dengan permasalahan, (e) menyusun kelompok tindakan yang secara
sistem berkaitan dengan kelompok tujuan terhadap keadaan sistem
pesisir sekarang ini, (f ) pengumpulan dan analisa data yang ada dan
evaluasi kebutuhan penelitian dan informasi lebih lanjut, serta (g)
menyediakan informasi untuk evaluasi program kepada pengambil
keputusan.
PWPT adalah proses pengelolaan yang mempertimbangkan
hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang
terdapat di wilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang
secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut.
Oleh karena itu, secara geografis PWPT mencakup DAS bagian
hulu; lahan pesisir (pantai, dunes, lahan basah, dan lain-lain); perairan
pesisir dan estuaria; dan perairan laut lepas yang masih dipengaruhi
atau mempengaruhi wilayah pesisir serta segenap kegiatan yang
terdapat di dalamnya.
Di samping itu, PWPT dapat didefinisikan sebagai suatu proses

Merencanakan Tata Ruang Laut 159


penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang
pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya secara berkelanjutan.
Proses ini dirancang untuk mengatasi permasalahan fragmentasi
yang secara inherent terjadi pada pendekatan pengelolaan secara
sektoral (seperti perikanan, migas, perhubungan, pariwisata, dan lain-
lain); pada terpilahnya yurisdiksi antartingkatan pemerintahan, dan
pada interface (peralihan) antara lahan (daratan) dan perairan darat.
PWPT tidak menegasikan (menggantikan) peran pengelolaan
sumber daya pesisir secara sektoral (perikanan, pengeloaan komoditas
air, pertambangan, dan lain-lain), tetapi menjamin bahwa kegiatan-
kegiatan tersebut berfungsi/berlangsung secara harmonis.
Lebih lanjut PWPT adalah suatu proses kontinyu dan dinamis
dalam penyusunan dan pengambilan keputusan tentang peman-

4
faatan berkelanjutan dari wilayah pesisir berserta segenap sumber
daya alam yang terdapat di dalamnya.
Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa PWPT dirancang untuk
mengatasi permasalahan fragmentasi antarsektor dan yurisdiksi
wilayah pengelolaan antar berbagai tingkat pemerintaan.
Fragmentasi tersebut dapat diatasi melalui penjaminan bahwa
semua keputusan dari semua sektor pembangunan dan tingkat
pemerintah harus diserasikan dan sesuai dengan kebijakan pesisir
(kelautan) nasional.
Oleh karena itu, komponen terpenting dalam PWPT adalah
rancangan proses kelembagaan (institutional processes) untuk
mencapai harmonisasi yang secara politis dapat diterima.
Menurut Chua Thia-Eng (2006), ICM atau pengelolaan pesisir se-
cara terpadu menekankan perlunya harmonisasi antara pertumbuhan
ekonomi, perbaikan kehidupan manusia, dan melindungi lingkungan
untuk kebutuhan masa kini dan generasi berikutnya. Sementara itu,
Rokhmin Dahuri (2008) menyatakan, kaidah ekologi, ekonomi, dan
sosial yang menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan di
wilayah pesisir hanya bisa terwujud jika pendekatan pembangunan-
nya dilakukan secara terpadu mulai dari tahap perencanaan, imple-

Membangun Poros Maritim Dunia


160 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
mentasi, pemantauan, hingga evaluasi.
Keterpaduan tersebut mencakup empat hal. Pertama, ke-
perpaduan keruangan (spatial integration) dari hulu, pesisir, sampai
laut lepas. Kedua, keterpaduan sektoral atau keharmonisan antarsektor
pembangunan untuk secara sinergis mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
Ketiga, keterpaduan antara pemerintah pusat, provinsi, dan ka-
bupaten/kota. Pembangunan berkelanjutan memerlukan hubungan
yang baik dan terpadu. Ego sektoral yang selama ini mengakar ha-
rus dihilangkan. Keempat, keterpaduan antara Iptek dan manajemen
sebagai basis untuk merencanakan dan mengelola pembangunan
wilayah pesisir.
Ada empat kaidah dalam menerapkan pembangunan kelautan,
pesisir, dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, yakni ekologis,

4
ekonomi, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan.

Kaidah Ekologis
Kaidah ekologi pertama yang harus dipenuhi adalah adanya
perencanaan yang komprehensif dan terpadu, baik bersifat spasial
dan nonspasial. Komprehensif mencakup fisik, ekonomi, lingkungan,
dan sosial budaya. Terpadu melibatkan antarsektor, antarwilayah,
antarekosistem, dan antardisiplin ilmu.
Perencanaan yang bersifat spasial (keruangan) berupa tata ruang/
rencana zonasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya tata
ruang/rencana zonasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil diharapkan
terwujud ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang aman, nya-
man, produktif, dan berkelanjutan. Aman berarti masyarakat dapat
menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai
ancaman baik alam maupun manusia, termasuk ancaman konflik.
Nyaman artinya memberi kesempatan yang luas bagi masyara-
kat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya
sebagai manusia dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif
berarti proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga
mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan ma-

Merencanakan Tata Ruang Laut 161


syarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara itu, berkelan-
jutan berarti kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan
dapat ditingkatkan tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini,
namun juga generasi yang akan datang.
Kedua, pemanfaatan optimal. Sumber daya alam terbarukan
(seperti ikan, mangrove, rumput laut, budidaya perikanan) harus di-
manfaatkan secara optimal dan lestari. Artinya, pemanfaatan sumber
daya laut dan pesisir tersebut tidak boleh melebihi potensi lestari dan
daya dukung lingkungan wilayah.
Untuk kegiatan penangkapan ikan di laut misalnya, FAO
(1995) merekomendasikan agar tingkat penangkapan ikan yang
diperbolehkan tidak lebih dari 80% dari potensi stok ikan. Begitu juga
ketika kita akan membuka lahan tambak udang dan budidaya laut.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah luas kawasan tambak

4
dan budidaya laut tersebut harus disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan wilayah pesisir, khususnya kemampuan wilayah tersebut
dalam menetralisir limbah.
Kalau saat ini banyak tambak udang terbengkalai di sepanjang
pantai utara Jawa, hal ini membuktikan bahwa kawasan tersebut
dibuka tanpa menghiraukan daya dukung lingkungannya. Hutan
mangrove yang selama ini diketahui mampu mengendalikan polutan
justru ditebang habis untuk dijadikan tambak.
Di sisi lain, pabrik dan rumah tangga juga membuang limbah
secara sembarangan melalui sungai-sungai. Inilah yang mengakibat-
kan kualitas air yang masuk ke tambak tidak sehat bagi pertumbuhan
udang.
Ketiga, mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Hal
ini perlu dilakukan agar risiko akibat bencana (seperti gempa bumi,
tsunami, banjir, dan rob) serta perubahan iklim yang terjadi terhadap
investasi yang telah ditanamkan dapat diminimalkan.
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara spasial atau
keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen yang rentan, dan potensi
risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana tata ruang/rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan-kawasan rawan

Membangun Poros Maritim Dunia


162 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
bencana sebaiknya tidak dialokasikan untuk kegiatan pemanfaatan.
Bagi kawasan yang sudah terdapat kegiatan pemanfaatan,
perlu diberikan pengarahan untuk kegiatan mitigasinya. Pemerintah
juga harus berani besikukuh untuk tidak memberikan izin bagi
pemanfaatan baru. Sebut saja misalnya tidak mengeluarkan izin
mendirikan bangunan (IMB) di tempat yang berisiko terjadi bencana.
Kalaupun terpaksa menempati daerah berisiko maka rumah dan
bangunan harus dibangun tahan bencana dan diterapkan building
code yang ketat.
Keempat, pengendalian pencemaran. Seluruh kegiatan pem-
bangunan dan manusia harus tidak banyak membuang limbah bila
perlu nirlimbah (zero waste). Pengelolaan limbah terpadu dengan kon-
sep 3R (reduce atau mengurangi di sumber, reuse atau menggunakan
kembali, dan recycle atau daur ulang) perlu diterapkan.

4
Prinsip reduce dilakukan dengan cara sebisa mungkin
meminimalisasi barang atau material yang digunakan. Semakin
banyak material yang dipakai, kian banyak sampah yang dihasilkan.
Prinsip reuse dilakukan dengan cara sebisa mungkin memilih
barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-
barang yang sekali pakai. Hal ini dapat memperpanjang waktu
pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Prinsip recycle dilakukan dengan cara sebisa mungkin barang-
barang yang  sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua
barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri
non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah
menjadi barang lain misalnya sampah plastik kemasan menjadi produk
tas atau kerajinan tangan lainnya.
Daur ulang adalah salah satu teknik pengolahan sampah an-
organik dengan meningkatkan nilai ekonomis suatu benda sehingga
dapat digunakan kembali untuk keperluan yang sama maupun ber-
beda. Sampah yang biasa didaur ulang di antaranya plastik, kertas,
gelas, dan logam.
Di samping itu diusahakan seluruh limbah dari hasil produk sum-
ber daya kelautan dijadikan input bagi produk aktivitas yang lain.

Merencanakan Tata Ruang Laut 163


Dengan minimnya pencemaran ke perairan laut, maka produktivitas
perairan tetap terjaga bahkan meningkat.
Kelima, konservasi terhadap ekosistem yang masih baik. Upaya
ini dilakukan untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan
sumber daya laut serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya laut dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman.
Sehingga fungsi ekosistem dan produktivitas perairan laut terjaga.
Keenam, restorasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem yang
rusak. Rehabilitasi/restorasi dilakukan untuk memulihkan dan mem-
perbaiki kondisi ekosistem atau populasi yang rusak. Sehingga fungsi
ekosistem dan produktivitas perairan laut semakin meningkat.
Ketujuh, rancangan ramah lingkungan. Kegiatan eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan, dan distribusi sumber daya alam tak

4
terbarukan (non-renewable resources) harus dilakukan secara ramah
lingkungan. Di samping itu, semua aktivitas reklamasi dan konstruksi
bangunan harus didesain dan dikerjakan sesuai kaidah ramah
lingkungan. Dengan begitu, dampak negatif yang ditimbulkan dari
kegiatan tersebut masih dapat ditoleransi oleh ekosistem alam.

Kaidah Ekonomi
Pengelolaan sumber daya harus memprioritaskan kepentingan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Dari perekonomian yang tumbuh inilah, bakal terwujud
pemerataan untuk generasi masa kini dan generasi masa mendatang.
Ini berarti bahwa pembangunan generasi masa kini harus selalu
memperhatikan kebutuhan generasi berikutnya di masa depan.
Harus diakui, dalam mengelola kelautan dan perikanan, kita
belum mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang,
berkeadilan, dan berkelanjutan. Buktinya, kendati sumber daya
laut telah banyak dimanfaatkan, namun masih banyak masyarakat
yang belum beranjak sejahtera dan makmur. Karena itu diperlukan
terobosan melalui industrialisasi kelautan dan perikanan.

Membangun Poros Maritim Dunia


164 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah proses perubahan
sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah,
produktivitas, dan skala produksi sumber daya kelautan dan
perikanan, melalui modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan
terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro, pengembangan
infrastruktur, sistem usaha dan investasi, serta Iptek dan SDM demi
kesejahteraan rakyat. Program ini pada hakekatnya bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan dan
perikanan, sekaligus meningkatkan daya saing yang berbasis pada
ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar hal itu terwujud, tata ruang/
rencana zonasi perlu dibuat agar semua jenis industri dari mulai hilir
sampai hulu saling mendukung dalam suatu kawasan.
subandono.diposaptono@yahoo.com

4
Konektivitas Konektivitas

Contoh industrialisasi perikanan terintegrasi hulu hilir.

Kaidah Sosial Politik


Dimensi sosial politik memberikan muatan bahwa pengelolaan
sumber daya berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem
dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Kunci keberha-
silan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan

Merencanakan Tata Ruang Laut 165


dan berwawasan lingkungan terletak pada kemampuan masyarakat
untuk dapat merencanakan pemanfaatan sumber daya yang dibutuh-
kannya.
Masyarakat tidak bisa diartikan sebagai pemerintah yang secara
konvensional mampu untuk mewakili kepentingan umum masyarakat.
Namun lebih luas lagi, masyarakat adalah semua pihak (stakeholders)
yang kepentingannya terlibat di dalam proses bekerjanya sumber
daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai suatu sistem.
Perencanaan pengelolaan haruslah menjadi suatu hal yang
melembaga, dalam artian telah menjadi budaya atau kebiasaan dalam
kehidupan masyarakat. Sehingga diharapkan bahwa masyarakat
harus mempunyai sistem pengaturan yang mewajibkan anggotanya
untuk memiliki suatu takaran pemanfaatan sumber daya yang telah
memperhatikan unsur kelestarian, termasuk jaminan ketersediaan

4
sumber daya bagi generasi mendatang.
Dengan beragamnya kepentingan dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan laut, maka perencanaan pengelolaan pesisir dan
laut harus dilakukan secara lebih konstruktif, terintegrasi dan
komprehensif serta mampu mengikutsertakan berbagai kepentingan
dalam setiap proses pemanfaatan pesisir dan laut, untuk kemudian
diambil pilihan desain pemanfaatan terbaik dan diterima oleh semua
kelompok masyarakat.
Dengan menjadikan konsultasi publik yang transparan melalui
dengar pendapat, pembentukan komisi review, serta pengajuan
keberatan atas suatu keputusan, sebagai proses yang dilaksanakan
di dalam setiap pengambilan keputusan pemanfaatan sumber
daya pesisir dan laut perlu dilakukan. Di dalam proses perencanaan
semacam ini ada suatu azas penting yang perlu dilakukan, yaitu azas
prior-informed consent.
Untuk wilayah pesisir dan laut azas tersebut menjadi amat
penting karena demikian sensitifnya ekosistem pesisir dan laut
terhadap rekayasa manusia. Sehingga dapat digariskan di sini bahwa,
perubahan atas lingkungan pesisir dan laut dengan segala manfaat
dan resikonya perlu diketahui sebagai dasar persetujuan masyarakat.

Membangun Poros Maritim Dunia


166 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Kaidah Hukum dan Kelembagaan
Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan
hanya dapat terwujud jika kita menerapkan peraturan yang tegas,
konsisten, dan berwibawa. Peraturan Pemerintah tentang Tata Ruang
Laut Nasional dan Peraturan daerah (Perda) mengenai rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K) harus segera dibuat.
Apalagi Peraturan Pemerintah tersebut merupakan mandat UU No
32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Sementara itu, Perda tersebut
merupakan mandat dari UU No 27 Tahun 2007 Jo UU No 1 Tahun 2014
yang harus dibuat Pemda. Dengan demikian bagi para pelanggar tata
ruang laut dapat dikenakan sanksi hukum yang setimpal.
Pelanggaran tata ruang umumnya meliputi dua hal pokok yaitu
pelanggaran terhadap peruntukan ruang dan kerusakan lingkungan
sebagai implikasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan

4
peruntukannya.
Menilik pengalaman sebelumnya, harus kita akui bahwa pe-
negakan hukum (law enforcement) di kawasan pesisir dan laut masih
lemah. Hukuman terhadap perusak lingkungan seperti pengguna
bom dan racun untuk menangkap ikan, pengguna alat tangkap ikan
tak ramah lingkungan, pelaku pencurian ikan (illegal fishing), dan
pelaku jual beli ikan di tengah laut (transhipment) boleh dibilang ma-
sih ringan, belum menimbulkan efek jera bagi terhukum. Akibatnya,
tindakan-tindakan ilegal tersebut masih saja marak terjadi.
Fenomena ini juga terjadi di berbagai daerah. Meskipun dalam
Perda memuat larangan penggunaan bahan peledak untuk menang-
kap ikan, namun para pelaku yang jelas-jelas merusak ekosistem
terumbu karang itu belum mendapat sanksi hukum. Kita bisa bayang-
kan, sudah ada Perda saja, para pelanggar masih bebas melakukan
pengrusakan. Lalu, bagaimana kalau Perda tersebut tidak ada?
Karena itulah pemerintah daerah provinsi wajib membuat Perda
tata ruang laut atau RZWP-3-K. Pada saat bersamaan kelembagaan
(polisi air, penyidik, dan hakim) juga perlu diperkuat eksistensinya.
Para pihak tersebut harus terlibat dalam proses law enforcement
sebagai dasar bagi para pihak untuk menaatinya. Dengan demikian

Merencanakan Tata Ruang Laut 167


setiap pelanggar dapat diproses dan dikenakan sanksi hukum secara
adil.

Pentingnya PWPT dalam Penataan Ruang Laut


Ekosistem laut memiliki sifat dan interaksi yang dinamik dan
sistematis sehingga pengaturan spasial ekosistem tersebut merupa-
kan proses kritis, baik terkait dampak kegiatan maupun harmonisasi
kepentingan yang berbeda-beda. Pentingnya PWPT dalam perenca-
naan ruang laut (marine spatial planning atau MSP) didasarkan pada
semakin meningkatnya pemanfaatan ruang laut yang cenderung ti-
dak terkoordinasi dan meningkatnya tekanan terhadap wilayah pesisir
dan laut akibat aktivitas manusia, bencana, dan dampak perubahan
iklim.
Pemanfaatan yang tidak terkoordinasi akan menimbulkan antara

4
lain: penggunaan ruang laut yang tidak efisien, pemanfaatan sumber
daya yang tidak optimal, dan konflik klaim atas ruang laut. Sementara
itu, meningkatnya tekanan terhadap wilayah pesisir dan laut memicu
degradasi wilayah dan sumber daya, hilangnya keanekaragaman
hayati laut, serta menurunnya kualitas lingkungan laut.
Dengan demikian, keterpaduan antara PWPT dan tata ruang
laut akan mendorong dua hal, Pertama, keberlanjutan aktivitas dan
pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir dan
laut. Kedua, keberlanjutan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
PWPT menyediakan kerangka kerja yang responsif, proses yang
komprehensif berbasis ilmu pengetahuan dan berbasis konteks lokal.
Pada tingkat praktis, komponen inti dari penataan ruang laut men-
cakup dan melibatkan penelitian ilmiah dan analisis (termasuk ilmu
alam, engineering, sosial, dan ekonomi) serta pengumpulan dan pe-
nyajian data terkait dengan penggunaan ruang laut saat ini dan masa
depan. Dalam hal ini integrasi antara sains (berbagai bidang ilmu) dan
manajemen menjadi satu keharusan, dan PWPT memberikan atau
memfasilitasi keterpaduan tersebut.
Bagian menarik dari proses ini adalah kontribusi dari para
pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintahan, sektor

Membangun Poros Maritim Dunia


168 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dunia usaha, maupun masyarakat dalam konsultasi publik terhadap
pengambilan keputusan yang dalam PWPT diakomodasikan dalam
keterpaduan vertikal dan horizontal serta keterpaduan stakeholder.
Di sisi lain, perencanaan ruang laut juga didorong oleh
peningkatan pemanfaatan laut untuk berbagai kepentingan yang
seringkali saling bertentangan secara spasial maupun fungsional.
Dalam berbagai kasus misalnya, kita kerap mendengar ketegangan
atau konflik antara kepentingan perlindungan lingkungan dan
kepentingan industri Migas lepas pantai serta konflik antara
deep environmentalist (pegiat lingkungan) dengan growth mania
(mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi).
Dalam praktiknya, tata ruang laut membutuhkan PWPT
agar rencana tata ruang laut dapat disusun secara terpadu dan
komprehensif, konsisten dengan kondisi saat ini dan perkembangan

4
ekonomi, sosial dan lingkungan. Tak hanya itu, rencana tata ruang
laut juga perlu memperhatikan kepentingan dan kebijakan antara
pemerintah dan pemerintah daerah bagi pengembangan kegiatan di
bidang transportasi laut, perikanan budidaya, pertambangan, energi
lepas pantai (Migas dan energi terbarukan), pariwisata dan rekreasi,
serta konservasi. Bahkan untuk kawasan yang berbatasan dengan
negara lain juga memerlukan keterpaduan regional dan global.
Pada tataran praktis, tata ruang laut juga sekaligus menjadi
tool atau alat untuk menjamin keterpaduan dan keberlanjutan
pemanfaatan sumber daya dan wilayah pesisir dan laut yang
merupakan tujuan utama dari implementasi pengelolaan pesisir
terpadu.

Merencanakan Tata Ruang Laut 169


4
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU/PWPT (PENDEKATAN)

170
RUANG LAUT (WADAH)
Pengelolaan
Pemanfaatan
Perencanaan
Ruang Laut
Pemanfaatan Ruang
Laut Rencana Tata Ruang
Laut/Rencana Zonasi

Dalam Perspektif Tata Ruang Laut


Membangun Poros Maritim Dunia
Perencanaan secara umum
(non spasial) Rencana Tata Ruang
Contoh:
Teks dan Peta
Laut/Rencana Zonasi
- Rencana Strategis Peraturan Zonasi
Wilayah Pesisir
- Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir

Perizinan dan Tindak Lanjut Pengelolaan


(Pariwisata, Perikanan, Konservasi, Pertambangan, Pelabuhan)

PWPT dalam Perencanaan Tata Ruang Laut.


Memahami
Tata Ruang Laut

Tekanan pembangunan di lingkungan laut dan konflik


pemanfaatan ruang laut yang semakin meningkat merupakan
dampak dari berbagai kegiatan di laut. Berbagai kegiatan

4
perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata, pertambangan
mineral dan Migas, transportasi laut, serta konservasi
menyebabkan minat terhadap perencanaan ruang laut
semakin meningkat.

T
ata ruang laut (marine spatial planning) merupakan hal yang
relatif baru dibandingkan dengan tata ruang darat (land use
planning). Sebelum mengenal lebih jauh mengenai tata ruang
laut, ada baiknya dipahami lebih dulu beberapa pengertian atau
definisi dari ruang, tata ruang, laut, dan tata ruang laut berikut ini.

Pengertian Ruang
Ruang berasal dari bahasa latin, spatium atau dalam bahasa
Inggris spatial. Ruang diartikan sebagai tempat di mana terdapat
benda-benda terletak sebagai wadah. Jika orang mempunyai ruang
berarti mempunyai tempat untuk melakukan kegiatan dalam rangka
pencapaian tujuan. Ruang didefinisikan sebagai tempat atau wadah
bagi manusia atau makhluk lainnya yang hidup dalam rangka

Merencanakan Tata Ruang Laut 171


melakukan kegiatan untuk melangsungkan kehidupan di dunia (Ibid,
Budi Supriyatno).
Definisi tersebut mengandung setidaknya dua makna. Pertama,
sebagai wadah bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Kedua,
ruang dapat dipakai untuk kegiatan dalam rangka melangsungkan
kehidupan. Dengan demikian ruang merupakan tempat bagi
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya untuk melakukan
kegiatan kelangsungan hidupnya.
Menurut geografi umum, yang dimaksud ruang adalah seluruh
permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Ruang terdiri dari lahan dan
atmosfer. Lahan dapat dibedakan menjadi tanah dan perairan. Ruang
merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan suatu
pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam

4
penggunaan dan pengembangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan
ruang tertentu untuk melakukan kegiatan. Dalam hal ini, ruang
dapat diartikan sebagai tempat atau wadah seseorang atau banyak
orang untuk melakukan kegiatan. Atau secara fungsional ruang
dapat diartikan sebagai tempat atau wadah yang dapat menampung
sesuatu.
Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pe-
nataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah atau tempat yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelang-
sungan hidupnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, ruang dapat diartikan
sebagai berikut. Pertama, ruang merupakan satu wadah yang
mengandung atau menerima kegiatan materi. Kedua, ruang
merupakan alat untuk menempatkan kegiatan dengan memberikan
struktur-struktur dan batas-batas dimana kegiatan itu berlangsung.
Ketiga, ruang merupakan tempat untuk melakukan aktivitas hidup
dan makhluk lainnya untuk melangsungkan hidupnya. Keempat,

Membangun Poros Maritim Dunia


172 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ruang terdiri dari darat, laut dan udara termasuk di dalam bumi
sebagai kesatuan wilayah.

Pengertian Tata Ruang


Tata ruang terdiri dari dua suku kata; tata dan ruang. Tata berarti
aturan, peraturan dan susunan, cara, susunan, sistem; misalnya
tata bahasa, tata kota dan tata krama, dan lain sebagainya (WJS
Porwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1986).
Tata ruang biasanya diartikan sebagai segala sesuatu penataan
terkait dengan ruang. Menurut pandangan para pakar terkait profesi
yang berhubungan dengan tata ruang, pengertian tata ruang terkait
dengan segala sesuatu yang berada dalam ruang sebagai wadah
penyelenggara kehidupan.
Tata ruang didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan dalam

4
rangka menata atau menyusun bentuk struktur dan pola pemanfaatan
ruang secara efisien dan efektif. Berdasarkan definisi tersebut ada
beberapa makna yang terkandung di dalamnya.
Pertama, dalam tata ruang terdapat suatu proses kegiatan
yang terkandung di dalamnya. Kedua, kegiatan tersebut adalah
menata dan menyusun struktur dan pola pemanfaatan ruang. Ketiga,
adanya kegiatan yang sifatnya lebih efisien dan efektif, sehingga
menghindarkan penggunaan ruang yang berlebihan.
Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pena-
taan Ruang, tata ruang diartikan sebagai wujud struktur ruang dan
pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pen-
dukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional (Ibid, Undang-undang).

Pengertian Laut
Laut adalah keseluruhan massa air yang saling berhubungan,
yang mengelilingi semua sisi daratan di bumi. Di dalam wilayah
kedaulatan NKRI, laut mempunyai empat fungsi vital. Pertama, laut
sebagai faktor integrasi teritorial wilayah nasional, yaitu: integrasi

Merencanakan Tata Ruang Laut 173


antara matra wilayah darat, laut, dan udara. Tanpa matra wilayah laut,
Indonesia bukan negara kepulauan. Matra wilayah laut merupakan
faktor eksistensial bagi negara kepulauan Indonesia, without sea there
is no archipelagic state.
Kedua, laut merupakan fungsi vital bagi sarana transportasi laut.
Bila fungsi ini tidak berjalan, maka NKRI yang berciri khas negara
kepulauan bisa terancam eksistensinya, baik ditinjau dari sudut
politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan, terutama dalam
penyelenggaraan negara dan distribusi kebutuhan hidup rakyat.
Ketiga, laut sebagai deposit sumber daya alam. Baik di permu-
kaan laut itu sendiri, di dasar samudra sea bed, continental shelf karena
berisi kandungan sumber daya alam yang memberikan jaminan terha-
dap kelangsungan hidup bangsa Indonesia dari abad ke abad. Bila de-
posit ini tidak terpelihara dan terjamin pelaksanaan fungsinya, maka

4
kelangsungan hidup rakyat dan eksistensi NKRI bisa terancam.
Keempat, laut sebagai pertahanan dan keamanan negara. Jika
fungsi ini tidak terlaksana, keutuhan dan eksistensi NKRI terancam.
Laut dapat dipandang sebagai ruang hidup dan ruang juang.
Sebagai ruang hidup, bangsa Indonesia memandang wilayahnya yang
terdiri dari daratan, laut, dan udara di atasnya sebagai ruang hidup
(lebensraum) yang utuh. Penerapan Wawasan Nusantara sebagai
geopolitik bangsa, Indonesia dipandang sebagai kesatuan kepulauan
yang terletak antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra
(Hindia dan Pasifik).
Laut sebagai ruang juang berarti wilayah laut Indonesia pada
kenyataanya berbatasan langsung dengan 10 negara. Jika tidak awas
dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan
laut dunia (conveyor belt) dapat menjadi ancaman serius bagi ma-
suknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penya-
kit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan
bangsa Indonesia. 
Ditinjau dari konektivitas, laut memiliki empat fungsi. Pertama,
laut sebagai wujud konektivitas ekologis. Artinya, ekologis laut
dengan keanekaragaman hayati mempunyai peran sebagai faktor

Membangun Poros Maritim Dunia


174 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
penyeimbang sistem kehidupan alam (planula).
Kedua, laut sebagai wujud konektivitas sosial ekonomi. Sistem
perencanaan pembangunan harus dirancang sesuai karakteristik
geografis dimana laut menjadi faktor dominan dengan puluhan ribu
pulau. Pembangunan infrastruktur seperti prasarana transportasi,
energi termasuk listrik, dan komunikasi harus merata, terintegrasi, dan
efisien, baik di wilayah Indonesia barat maupun timur.
Ketiga, konektivitas antarpulau dan antarpusat-pusat pertum-
buhan ekonomi perlu dikembangkan. Konektivitas tersebut akan
sangat penting untuk mendorong berkembangnya pusat-pusat
produksi dan perdagangan yang tersebar di seluruh daerah. Dengan
demikian pembangunan ekonomi dan perdagangan akan makin
efisien dan merata.
Keempat, laut sebagai wujud konektivitas kelembagaan.

4
Wilayah laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia
memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang
mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
dan ekologi, merupakan modal dasar bagi terwujudnya kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Menurut UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, laut adalah ru-
ang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan
daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatu-
an geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang ba-
tas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.
Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi
serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan
meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
Sementara itu, wilayah yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.
Perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.

Merencanakan Tata Ruang Laut 175


4

176
Zona Maritim Indonesia - UNCLOS 1982

Dalam Perspektif Tata Ruang Laut


Membangun Poros Maritim Dunia
Laut Teritorial
Garis pangkal
kepulauan

Garis batas unilateral (tidak perlu kesepakatan dengan tetangga)


Garis batas hasil kesepakatan dengan tetangga
Garis batas klaim Indonesia (masih perlu kesepakatan dengan tetangga)

Sumber: I Made Andi Arsana (2013)


Perairan kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. Laut teritorial adalah laut yang
terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil
laut. Di perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial
itulah Indonesia memiliki kedaulatan wilayah.
Sementara itu, zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi
luar dari garis pangkal dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pang-
kal. Pada zona tambahan memiliki kekuasaan terbatas untuk penegak-
kan hukum bea cukai, keimigrasian, fiskal, dan karantina.
ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut
dari garis pangkal. Di ZEE ini kita mempunyai hak berdaulat untuk
melakukan eksplorasi dan eskploitasi sumber daya hayati, energi (arus,
angin, pulau buatan, instalasi minyak dan gas, riset ilmiah, konservasi

4
pada kolom air.
Menurut Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A., landas kontinen sampai
sejauh 200 mil dari garis pangkal Nusantara, atau sampai ke batas
terluar dari wilayah darat Indonesia ke dasar laut sepanjang dasar
laut tersebut masih merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah darat
Indonesia, yang dalam hal-hal tertentu bisa mencapai 350 mil dari
garis-garis dasar Nusantara atau 100 mil di luar kedalaman air 2.500
meter. Di landas kontinen, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat
atas kekayaan alam, tapi dengan kewajiban bagi hasil dengan ISA atas
eksploitasi di luar batas 200 mil dari garis-garis pangkal/garis dasar
Nusantara.

Pengertian Tata Ruang Laut
Ada sejumlah definisi perencanaan tata ruang laut. Menurut
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO), perencanaan ruang laut adalah proses publik dalam
menganalisis dan mengalokasikan distribusi spasial dan temporal
dari aktivitas manusia di wilayah laut untuk mencapai tujuan ekologi,
ekonomi, dan sosial yang biasanya telah ditetapkan melalui proses
politik.

Merencanakan Tata Ruang Laut 177


Pada dasarnya, perencanaan ruang laut adalah alat perencanaan
yang memungkinkan pengambilan keputusan tentang penggunaan
laut secara terpadu berwawasan ke depan dan konsisten. Banyak
negara di seluruh dunia yang menggunakan alat ini untuk mengatasi
tumpang tindihnya pemanfaatan multi jenis dari perairan laut
teritorial mereka.
Departemen Lingkungan Hidup, Pangan, dan Urusan Pedesaan
Inggris telah mengembangkan definisi yang umum digunakan: “Stra-
tegis, perencanaan yang berwawasan ke depan, untuk mengatur,
mengelola dan melindungi lingkungan laut, termasuk melalui alokasi
ruang, untuk mengatasi berbagai macam penggunaan laut, kegiatan
yang dampaknya kumulatif, dan yang berpotensi saling bertentang-
an” (DEFRA, 2004, 3).
Di Cina, tata ruang laut menggunakan istilah marine functional

4
zoning (MFZ) yang didefinisikan sebagai suatu perangkat/alat untuk
mengakomodasi kepentingan berbagai pihak/sektor di wilayah laut,
seperti energi, industri, konservasi, dan pariwisata guna menyusun
informasi dan keputusan bersama (konsensus atau kesepakatan)
dalam rangka pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan. MFZ
menggunakan peta untuk mewujudkan gambaran menyeluruh di
wilayah laut, mengidentifikasi dimana dan bagaimana wilayah laut
dimanfaatkan sesuai dengan sumber daya dan ekosistemnya.
MFZ merupakan suatu perangkat atau alat untuk mengoordina-
sikan berbagai aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya ke-
lautan secara berkelanjutan dan sebagai perangkat untuk mengelola
berbagai peruntukan di kawasan laut.
Melalui proses perencanaan dan pemetaan ekosistem kelautan,
para perencana dapat mempertimbangkan dampak kumulatif
dari industri kelautan di kawasan laut, menciptakan industri yang
berkelanjutan dan proaktif untuk meminimalisasi konflik. MFZ
juga merupakan perangkat untuk mengoordinasikan aktivitas-
aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan serta merupakan alat mengelola kawasan laut untuk
berbagai peruntukan (pemanfaatan sumber daya kelautan yang

Membangun Poros Maritim Dunia


178 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
memperhatikan kelestarian ekosistem kelautan).
Sementara di Indonesia, tata ruang laut diistilahkan dengan tata
ruang laut atau rencana zonasi. Tata ruang laut didefinisikan sebagai
wujud struktur ruang laut dan pola ruang laut. Rencana zonasi adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin.
Unsur-unsur utama dari perencanaan tata ruang laut mencakup
sistem yang saling berkaitan dalam hal rencana kebijakan dan
peraturan, komponen sistem manajemen lingkungan (misalnya
tujuan pengaturan, awal penilaian, pelaksanaan, pemantuan, audit,
dan review), serta beberapa alat-alat yang sudah digunakan untuk

4
perencanaan penggunaan lahan. Apapun unsur bangunannya,
pertimbangan penting adalah bahwa mereka perlu bekerja lintas
sektor dan memberikan konteks geografis untuk membuat keputusan
tentang penggunaan sumber daya, pengembangan, konservasi dan
pengelolaan kegiatan di lingkungan laut.
Perencanaan ruang laut yang efektif memiliki tiga atribut pen-
ting. Pertama, multi-tujuan. Artinya, perencanaan tata ruang laut harus
menyeimbangkan tujuan ekologi, sosial, ekonomi, dan pemerintahan,
tetapi tujuan yang lebih utama adalah meningkatkan keberlanjutan.
Kedua, jelas fokus spasialnya. Wilayah laut yang akan dikelola harus
didefinisikan secara jelas. Idealnya pada tingkat ekosistem harus cu-
kup besar untuk menampung proses-proses ekosistem yang relevan.
Ketiga, terpadu. Proses perencanaan harus membahas hubung-
an timbal balik dan saling ketergantungan dari setiap komponen
dalam area manajemen yang telah ditetapkan, termasuk proses alam,
kegiatan, dan otoritas.
Secara umum, perencanaan ruang laut (marine spatial planning)
dapat didefinisikan sebagai analisis dan alokasi bagian dari ruang laut
secara tiga dimensi untuk pemanfaatan tertentu atau nonpeman-
faatan, untuk mencapai tujuan secara sosial, ekonomi, dan lingku-

Merencanakan Tata Ruang Laut 179


ngan yang biasanya dilakukan melalui sebuah proses politik (Ehler
and Douvere, 2007).
Perencanaan ruang laut adalah sebuah bagian dari aktivitas
perencanaan secara umum tentang pengelolaan penggunaan
laut. Meskipun konteks yang berbeda, proses dalam penyusunan
perencanaan ruang laut adalah serupa dengan perencanaan
penggunaan lahan di lingkungan darat.
Rencana tersebut merupakan sebuah visi ke depan tentang
wilayah laut atau ekosistem dan mencerminkan output dari
sebuah proses dimana para pemangku kepentingan secara kolektif
mendefinisikan tujuan, nilai-nilai utama, dan sudut pandang di
masa depan. Visi tersebut menyatakan tujuan bersama, panduan
pengambilan keputusan regional, penyatuan pemangku kepentingan
dengan sebuah tujuan bersama, dan memotivasi masyarakat dan

4
pengambil keputusan untuk mempertemukan tujuan dari visi.
Perencanaan ruang laut yang komprehensif biasanya jangka
panjang, umum, dan berorientasi kebijakan serta diimplementasikan
melalui peta alokasi ruang yang lebih detil, peraturan pemanfaatan ru-
ang (peraturan zonasi) dan sebuah sistem perizinan. Izin perorangan
atau pemberian lisensi selanjutnya dibuat berdasarkan peta alokasi
ruang, yang mencerminkan visi dari rencana tata ruang laut kompre-
hensif.
Perencanaan ruang laut hanya dapat mempengaruhi distribusi
spasial dan temporal dari berbagai aktivitas manusia. Tindakan lain
yang dapat mempengaruhi input terhadap aktivitas manusia (seperti
pembatasan terhadap kegiatan dan kapasitas penangkapan ikan),
proses dari kegiatan manusia (contohnya persyaratan untuk praktik
lingkungan yang terbaik), atau output dari kegiatan manusia (misalnya
pembatasan tonase pada penambangan mineral), perlu dilakukan
dengan memperhatikan aspek perencanaan tata ruang.
Perencanaan ruang laut merupakan kegiatan yang sangat
komplek mencakup banyak aspek dan unsur dalam proses
penyusunannya. Penataan ruang laut harus memperhatikan tiga aspek
utama agar hasil yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan

Membangun Poros Maritim Dunia


180 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kegiatan manusia dan kelestarian lingkungan laut (lihat gambar).
Tiga aspek utama tersebut adalah kondisi biofisik, pemanfaatan
laut oleh manusia, dan pengelolaan berbasis ekosistem. Penjelasan
dari masing-masing aspek utama adalah sebagai berikut.

4
subandono.diposaptono@yahoo.com

Aspek-aspek utama perencanaan tata ruang laut.

a. Kondisi Biofisik
Perencanaan ruang laut harus memperhatikan lingkungan biotik
(biologis) dan abiotik (fisik) dari ekosistem laut. Kedua lingkungan
tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi kondisi satu dengan
yang lainnya. Lingkungan biotik yang utama antara lain: sumber daya
ikan, mamalia laut, ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove,
dan lamun) serta biota laut lainnya. Sedangkan lingkungan abiotik
yang penting meliputi oseanografi, batimetri, geologi, geomorfologi,

Merencanakan Tata Ruang Laut 181


hidrologi, bencana, dan iklim. Perencanaan tata ruang laut harus
memperhatikan kondisi-kondisi biofisik.
Contoh dan penjelasan berikut ini dapat menggambarkan
mengapa hal tersebut sangat penting. Penggunaan dan pemanfaatan
laut oleh manusia pada dasarnya adalah memanfaatkan lingkungan
fisik dan biologinya. Sebagai contoh kegiatan penangkapan ikan
dan budidaya laut, keduanya secara langsung menggunakan atau
memanfaatkan lingkungan biotik (ikan) dan abiotik (perairan) secara
bersamaan.
Perubahan dari masing-masing kondisi biofisik akan
mempengaruhi kegiatan pemanfaatan laut oleh manusia. Sebagai
contoh, menurunnya kualitas perairan laut akan mengganggu
kegiatan budidaya laut. Sebaliknya, rusaknya ekosistem mangrove
dan terumbu karang akan mempengaruhi morfologi pantai dan

4
produktivitas perairannya.
Secara langsung dan tidak langsung, kegiatan pemanfaatan
akan memberikan dampak bagi lingkungan biofisik. Semua kegiatan
manusia di laut pada dasarnya adalah melakukan “gangguan” terhadap
keseimbangan yang ada di dalam ekosistem. Aktivitas industri,
pemukiman, budidaya, dan penangkapan ikan, merupakan beberapa
contoh kegiatan manusia yang mengganggu ekosistem laut.
Kerentanan terhadap bencana dan perubahan iklim juga menjadi
isu sangat penting mengingat bencana dapat menghilangkan seluruh
investasi yang sudah ditanamkan di wilayah pesisir. Namun, dengan
tata ruang laut, kita mampu mengidentifikasi berbagai lokasi rawan
bencana sehingga akan mengurangi secara signifikan risiko terhadap
bencana di kawasan tersebut.
Tata ruang laut harus mampu mengantisipasi dinamika dan
interaksi yang terjadi di lingkungan laut dalam menentukan dan
mengalokasikan ruang serta kegiatannya. Antisipasi tersebut
mencakup kondisi saat tata ruang laut disusun, kondisi saat tata ruang
laut berlaku, dan kondisi pada kurun waktu tertentu di masa datang.
Untuk itu, tata ruang laut harus bersifat adaptif dan responsif jika
terjadi perubahan kondisi biofisik lingkungan lautnya.

Membangun Poros Maritim Dunia


182 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Tanpa adanya prediksi dan antisipasi tersebut maka tata ruang
laut yang disusun dan ditetapkan (biasanya prosesnya memakan wak-
tu yang lama) akan berpotensi menimbulkan banyak permasalahan.
Selain itu, akan menimbulkan dua persoalan lainnya. Pertama, men-
jadi tidak valid karena berbeda dengan kondisi eksisting setelah tata
ruang ditetapkan. Kedua, potensi gugatan terkait izin yang diberikan
yang ternyata tidak sesuai dengan kelayakan lokasi.

b. Pemanfaatan Laut oleh Manusia


Setelah mengetahui karakteristik biofisiknya maka dapat
ditentukan alokasi kegiatan yang sesuai. Dengan begitu banyaknya
bentuk pemanfaatan yang ada dari berbagai sektor seperti perikanan
budidaya, pertambangan, pariwisata, dan transportasi, maka
perencanaan tata ruang laut minimal harus mampu:

4
- Menempatkan berbagai kegiatan tersebut agar tidak saling
merugikan satu dan lainnya namun bersifat saling melengkapi/
kompatibel.
- Mengurangi potensi konflik antar pemanfaatan dan antar
pengguna laut.
- Memfasilitasi perizinan pemanfaatan dari masing-masing kegiatan
agar sesuai dengan kodisi biofisik lingkungan lautnya.
- Menjadi rujukan resmi ketika terjadi perselisihan dalam
implementasi di lapangan.
- Memprediksikan trend dan perkembangan pemanfaatan
multisektor tersebut pada jangka waktu tertentu (20 tahun).

c. Pengelolaan Berbasis Ekosistem


Pendekatan pengelolaan lingkungan yang mempertimbangkan
serangkaian interaksi dalam suatu ekosistem (termasuk manusia) dan
tidak hanya mempertimbangkan isu-isu tunggal, spesies, atau layanan
ekosistem secara terpisah-pisah. Pendekatan ini penting dalam
perencanaan ruang laut karena pemanfaatan ruang dan sumber daya
laut harus secara simultan mempertimbangkan tujuan perlindungan
lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Merencanakan Tata Ruang Laut 183


Prinsip inilah sejatinya yang menjadi esensi dari pengelolaan
berbasis ekosistem. Manusia hanya dapat mengalokasikan kegiatan
pemanfaatan sumber daya laut namun tidak mampu mengatur
ekosistemnya itu sendiri apalagi interaksi dan dinamikanya.
Jadi dalam pendekatan berbasis ekosistem ini, perencanaan
ruang laut harus mampu meminimalisasi dampak kegiatan peman-
faatan, melindungi habitat penting dan keanekaragaman hayati, yang
secara bersamaan mampu menciptakan investasi, pertumbuhan eko-
nomi, efisiensi penggunaan sumber daya, dan kesejahteraan sosial.
Mengapa kita perlu merencanakan tata ruang laut? Ada empat alasan-
nya. Pertama, kebutuhan manusia terhadap sumber daya alam terma-
suk laut semakin meningkat. Di sisi lain, sumber daya laut tidak dapat
mengejar tingginya kebutuhan tersebut.
Kedua, laut dianggap sebagai “milik bersama” (common

4
property/open access) sehingga banyak pihak yang ingin mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari laut. Hal ini seringkali mengakibatkan
pemanfaatan sumber daya laut yang berlebihan seperti penangkapan
ikan melebihi potensi lestarinya (over fishing).
Ketiga, pemanfaatan sumber daya laut tidak dapat dilepaskan
pada mekanisme pasar (demand-supply). Sebab, tidak semua sumber
daya laut seperti habitat alam dan rantai makanan dapat dinilai
dengan uang. Tanpa ada pengaturan, sumber daya yang tidak dapat
dinilai dengan uang itu akan kalah bersaing dalam ruang laut.
Keempat, tingginya tuntutan terhadap pemanfaatan sumber
daya laut dapat menyebabkan konflik pemanfaatan. Berdasarkan
empat alasan itulah maka harus ada suatu proses yang dilakukan oleh
masyarakat atau negara untuk memutuskan sumber daya laut yang
mana dapat dimanfaatkan seiring berjalannya waktu dan tersedianya
ruang.
Kita dapat belajar banyak hal dari pengalaman negara lain yang
telah sukses membuat tata ruang laut. Berdasarkan pengalaman
penulis, ada empat keuntungan (ekonomi, lingkungan, sosial budaya,
dan strategis) yang dapat dipetik dari pembuatan rencana tata ruang
laut.

Membangun Poros Maritim Dunia


184 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Pertama, keuntungan ekonomi. Secara ekonomi, rencana tata ru-
ang laut bermanfaat dalam memfasilitasi akselerasi pertumbuhan eko-
nomi wilayah dengan memberikan akses yang lebih besar dan kepas-
tian hukum bagi sektor swasta dan masyarakat dalam berinvestasi.
Di samping itu, rencana tata ruang laut juga mampu
mengidentifikasi daerah-daerah yang cocok untuk dimanfaatkan
sehingga tidak saling berebut dan tumpang tindih. Investor dan
masyarakat pun merasa nyaman dalam melakukan kegiatan di laut
dengan adanya rencana tata ruang laut lantaran ada landasan yang
kuat bagi perizinan di perairan laut. Tak hanya itu, rencana tata ruang
laut juga dapat mendorong pemanfaatan ruang dan sumber daya
laut dan pesisir yang efisien.
Di sisi lain, tata ruang laut/rencana zonasi dapat menyokong
kedaulatan pangan, yaitu :

4
a) Mengarahkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dalam
rangka pemenuhan kedaulatan pangan seperti kegiatan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Berdasarkan data dan analisis
maka, perencana dapat menentukan daerah-daerah mana saja
yang sesuai untuk kegiatan tersebut.
b) Memberi kepastian hukum untuk zona-zona yang berhubungan
dengan pemenuhan kedaulatan pangan. Elit daerah tidak bisa
serta merta mengubah alokasi ruang. Alokasi ruang yang ada
tidak bisa digeser begitu saja karena zona tersebut dilindungi oleh
peraturan perundangan (Peraturan Daerah).
c) Menyediakan kawasan/zona/fasilitas pendukung bagi zona
tersebut seperti kawasan konservasi, zona industri perikanan,
zona pelabuhan, dan jaringan infrastruktur lainnya. Kawasan
konservasi sebagai penyokong kegiatan perikanan juga terjamin
kelestariannya.
d) Mengurangi risiko gangguan terhadap zona tersebut dari ke-
giatan-kegiatan lainnya. Dalam penentuan alokasi ruang telah
melalui proses harmonisasi dan melihat kompatibilitas antara zona
yang satu dan zona lainnya.

Merencanakan Tata Ruang Laut 185


Kedua, keuntungan lingkungan. Melalui rencana tata ruang laut,
kemungkinan dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya laut
dan pesisir dapat diminimalkan. Kita juga dapat mengidentifikasi
daerah-daerah yang penting secara ekologi dan kelangsungan
kehidupan habitat laut dan pesisir sehingga mengurangi konflik
dengan pemanfaatan ekonomis. Rencana tata ruang laut juga dapat
memastikan alokasi ruang untuk keragaman hayati dan konservasi
alam.
Ketiga, keuntungan sosial budaya. Rencana tata ruang laut ter-
bukti mampu mendorong kesempatan bagi masyarakat untuk ber-
partisipasi dalam pembangunan melalui keterlibatan dalam proses
perencanaan.
Dan yang lebih penting lagi dari manfaat rencana tata ruang laut
adalah melindungi ruang yang secara turun-temurun dimanfaatkan

4
bagi kepentingan sosial budaya masyarakat seperti untuk upacara
adat, wilayah ulayat, wilayah suci laut, wilayah masyarakat hukum
adat, dan nelayan tradisional. Dengan demikian, seluruh komunitas
masyarakat mendapat perlakuan yang adil dan proporsional dalam
memanfaatkan sumber daya lautnya.
Keempat, keuntungan strategis. Fakta menunjukkan, kesuksesan
membuat rencana tata ruang laut telah mampu mengurangi konflik
pemanfaatan ruang, baik antara pemanfaatan yang tidak kompatibel
maupun konflik antara pemanfaatan manusia dan kelestarian
lingkungan alam.
Lebih lanjut, tata ruang laut dapat berfungsi sebagai daya pikat
dan daya ikat investasi. Daya pikat artinya menciptakan peluang
investasi mengingat dengan tata ruang laut akan diketahui distribusi
spasial kutub-kutub pertumbuhan ekonomi kelautan dan potensi
ekonomi masing-masing wilayah yang dapat dikembangkan. Daya
ikat artinya memberikan kepastian hukum, mengingat dengan tata
ruang laut dapat ditentukan alokasi ruang yang sesuai peruntukannya
dan ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Di banyak negara, tata ruang laut juga dapat membantu
menyelesaikan konflik pemanfaatan sumber daya yang berbenturan

Membangun Poros Maritim Dunia


186 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
secara rasional dan objektif. Bukan hanya itu saja. Tata ruang laut juga
memberikan landasan bagi pengambilan kebijakan pemanfaatan
sumber daya laut serta mengakomodir kepentingan nasional seperti
pengembangan energi alternatif terbarukan, pertahanan, dan lain
sebagainya.

“ Hingga saat ini hanya lima provinsi


(Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Maluku Utara)
yang sudah membuat Perda rencana tata
ruang laut/rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Namun dengan lahirnya
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
4
yang memberikan kewenangan provinsi untuk
mengelola ruang laut 0 - 12 mil diukur dari
garis pantai, maka Perda rencana zonasi di
lima provinsi tersebut harus direvisi.

Meskipun rencana tata ruang laut memberikan segudang
manfaat, namun fakta berbicara lain. Cukup ironis memang melihat
kondisi tata ruang laut kita. Bayangkan, sejak lahirnya UU No 27 Tahun
2007 Jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, hingga saat ini hanya lima provinsi (Jawa Timur,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Maluku
Utara) yang sudah membuat Perda rencana tata ruang laut/rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Merencanakan Tata Ruang Laut 187


Perda tersebut masih terbatas pada wilayah perencanaan untuk
perairan pesisir 4 – 12 mil sesuai dengan kewenangan provinsi dalam
mengelola laut berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Namun dengan lahirnya UU 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang memberikan kewenangan provinsi untuk mengelola
ruang laut 0 – 12 mil diukur dari garis pantai, maka Perda rencana
zonasi di lima provinsi tersebut harus direvisi.
Setelah ditelusuri, ada sejumlah permasalahan dalam menyusun
rencana tata ruang laut. Terlihat bahwa para eksekutif dan legislatif
baik di pusat maupun daerah belum memiliki pola pikir dan cara
pandang yang sama dalam menata ruang laut.
Permasalahan lainnya, terbatasnya data baik biogeofisik, eko-
nomi maupun sosial budaya yang memenuhi kuantitas dan kualitas
untuk menyusun rencana tata ruang laut. Seperti diketahui, untuk

4
menyusun rencana tata ruang laut diperlukan sejumah dataset. Di
antaranya batimetri, geologi dan geomorfologi laut, oseanografi
(baik fisik, kimia, maupun biologi), ekosistem pesisir, sumber daya
ikan (jenis dan kelimpahan ikan baik demersal maupun pelagis),
pemanfaatan wilayah laut yang ada, infrastruktur yang telah ada,
ekonomi kecamatan, sosial budaya termasuk masyarakat hukum adat
dan masyarakat tradisional, risiko bencana alam dan perubahan iklim,
serta pencemaran.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya komitmen pimpinan.
Mereka beranggapan, penyusunan rencana tata ruang laut kurang
mempunyai nilai politis karena pekerjaan tersebut sepertinya hanya
berupa dokumen. Kondisi serupa juga terjadi di tingkat fasilitator
yang memiliki pengetahuan terbatas mengenai pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil beserta tata ruang lautnya. Perencana
wilayah juga belum menoleh ke laut. Mereka masih menitikberatkan
pada pekerjaan tata ruang darat. Padahal luas laut kita adalah 2/3 dari
total wilayah RI.
Tak hanya itu saja. Sumber daya manusia, baik di pusat dan
daerah juga belum mengerti cara menyusun rencana tata ruang laut
yang disertai dengan peraturan zonasi/peraturan pemanfaatan ruang.

Membangun Poros Maritim Dunia


188 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Begitu juga kuantitas pegawai yang berkecimpung dalam menyusun
rencana tata ruang laut, jumlahnya masih terbatas (minim).
Di sisi lain, ada juga yang telah membuat rencana tata ruang laut
namun hasilnya kurang baik. Ini karena data yang digunakan untuk
menyusun rencana tata ruang laut tersebut berupa data yang tersedia,
bukan data yang dibutuhkan.
Di banyak daerah, alokasi anggaran untuk mengumpulkan
data dan informasi guna menyusun rencana tata ruang laut juga
masih sangat minim. Padahal data dan informasi merupakan kunci
keberhasilan dalam menyusun Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi.
Pemerintah daerah juga belum memahami rencana tata ruang laut
sebagai instrumen penting dalam menata pemanfaatan sumber daya
laut dan pesisir yang sangat beragam jenis itu.

4
Tata Ruang Laut vs Tata Ruang Darat
Sifat laut sebagai ruang --yang pada setiap segmennya, baik
secara vertikal maupun horizontal-- memiliki potensi yang dapat di-
manfaatkan untuk suatu peruntukan tertentu merupakan perbedaan
mendasar antara penataan ruang darat dan laut. Secara horizontal,
wilayah permukaan laut dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran baik
penumpang maupun barang.
Demikian pula pada perairan laut sekitar pantai dapat
dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut. Pada area kolom
air merupakan wilayah penangkapan ikan atau tempat olah raga
selam. Di dasar laut sering digunakan sebagai pemasangan jalur
kabel komunikasi dan jalur pipa. Di dasar perairan laut tertentu
mengandung mineral dan ditemukan kapal tenggelam yang
bermuatan benda berharga. Sedangkan tanah di dasar laut dapat
merupakan daerah cadangan minyak dan gas.
Penataan wilayah laut pada dasarnya diperlukan terkait dengan
pengaturan pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomo-
dasi semua kepentingan untuk menghindari adanya konflik peman-
faatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada suatu pemahaman
bahwa pemanfaatan suatu sumber daya laut diberikan batas yang

Merencanakan Tata Ruang Laut 189


jelas antara zona pemanfaatan yang satu dan zona lainnya.
Kondisi ini jelas tidak mudah mengingat Indonesia memiliki
perairan luas dan karakter perairan yang kompleks. Karena itulah
penataan wilayah laut memerlukan suatu konsepsi melalui
pendekatan secara makro dan mikro.
Pendekatan secara makro dimaksudkan sebagai langkah pe-
ngenalan karakter dan perkiraan prioritas pemanfaatan yang dapat
ditetapkan pada suatu kawasan perairan, melalui pengelompokan ka-
wasan perairan. Sedangkan pendekatan secara mikro lebih ditekankan
pada peninjauan terhadap ketersediaan sumber daya, sifat dinamika
laut, kerentanan bencana, kerentanan konflik pemanfaatan ruang, dan
daya dukung laut.
Penetapan alokasi ruang di dalam tata ruang laut/rencana zonasi
dilakukan berdasarkan tiga fungsi pemanfaatan, yakni ekonomi, kon-

4
servasi, serta pertahanan dan keamanan. Fungsi ekonomi dimaksud-
kan sebagai kebijakan secara makro bahwa suatu kawasan perairan
ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan
karakter yang dimiliki setiap kelompok perairan laut maka dapat di-
perkirakan seperti arahan komoditi unggulan, kebutuhan infrastruk-
tur, kelembagaan, format jaringan pemasaran produk, atau perkiraan
tingkat kerawanan bencana.
Sementara itu, fungsi konservasi dimaksudkan sebagai langkah
mempertahankan kelangsungan suatu kondisi alam, sosial, budaya,
atau kearifan lokal di kawasan perairan laut atau pulau. Penetapan
fungsi ini nantinya dapat dijadikan kawasan konservasi atau lindung.
Fungsi pertahanan dan keamanan dimaksudkan untuk
mengupayakan penempatan fungsi pulau-pulau kecil di suatu
kawasan perairan laut sebagai titik pangkal teritorial dan basis
pangkalan pertahanan negara guna menjaga kedaulatan wilayah.
Di samping itu, di kawasan perairan yang memiliki indikasi rawan
kejahatan (penyelundupan, penangkapan ikan ilegal, dan lain-lain),
penetapan fungsi pertahanan dan keamanan menjadi prioritas.
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam tata
ruang laut/rencana zonasi. Pertama, sifat dinamis laut. Alam tersusun

Membangun Poros Maritim Dunia


190 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
oleh sistem-sistem keseimbangan yang bersifat dinamis. Artinya,
adanya perubahan salah satu atau lebih faktor dalam suatu sistem,
maka alam akan mencari keseimbangan baru. Sebut saja berubahnya
tingkat kecerahan akibat arus turbulensi yang mengangkut material
endapan. Kondisi ini dapat membuat terumbu karang sakit atau
bahkan mati. Perubahan keseimbangan ini akan berdampak pada
kehidupan beragam jenis ikan yang selama ini bersimbiosis dengan
terumbu karang.
Kedua, penafsiran nilai ekonomi dan nilai beban lingkungan.
Apabila biaya perbaikan lingkungan lebih besar daripada nilai
ekonomi yang didapatkan, maka tujuan pemanfaatan sumber daya
tidak tercapai.
Ketiga, aspek sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau. Adat
istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau sangatlah

4
beragam. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya
pengaturan lahan laut atau sering disebut hak ulayat laut.
Keempat, aspek kepastian hukum pemanfaatan perairan laut.
Menurut UU No. 26 Tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Dalam kaitan ini, ruang
diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan
hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dikembangkan
konsep bahwa laut merupakan suatu kesatuan wilayah negara yang
perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pusat kegiatan yang berkembang pada ruang laut diwujudkan
dalam berbagai aktivitas. Di antaranya permukiman, perikanan tang-
kap dan budidaya, pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, wisata
bahari, pertambangan, dan jasa kelautan.
Dalam lingkup perencanaan wilayah, pusat kegiatan ini berfung-
si sebagai pusat permukiman pada kedudukan hierarki tertinggi,
menengah atau terendah, berdasarkan kajian dalam suatu unit wilayah
perencanaan (nasional, provinsi). Untuk lingkup ruang laut, hierarki
pusat permukiman diposisikan sesuai dengan kajian unit analisis pada

Merencanakan Tata Ruang Laut 191


cakupan ruang laut yang direncanakan.
Proses menyusun rencana tata ruang laut/rencana zonasi lebih
kompleks dibandingkan tata ruang di darat. Sebut saja dalam hal
merencanakan pola ruang. Di wilayah darat menggunakan identifikasi
tata guna lahan (land use) sedangkan di laut menggunakan identifikasi
fungsi kegiatan.
Begitu juga dalam analisis sosial misalnya, perencanaan wilayah
darat terfokus pada analisis penduduk. Sedangkan di wilayah laut,
perlu analisis mediasi konflik. Perbedaan selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel berikut ini.

Proses perencanaan wilayah darat dan laut.


No Wilayah darat Wilayah laut
1. Penetapan batas wilayah Penetapan batas wilayah perairan

4
(administrasi/fungsional) (ZEE, fungsional)
2. Inventarisasi data dasar Inventarisasi data dasar (ekosistem,
biota laut, dan lain-lain) ) tiga
dimensi (permukaan, kolom air, dan
dasar laut)
3. Inventarisasi peta dasar Inventarisasi peta dasar (batimetri,
(topografi, geologi, dan lain- geologi, oseanografi, dan lain-lain)
lain)
4. Analisis kebijakan Analisis kebijakan
5. Analisis fisik (overlay) Analisis fisik (overlay)
6. Analisis ekonomi Analisis ekonomi (MSY)
7. Analisis sosial (penduduk) Analisis sosial (mediasi konflik)
8. Konsep rencana Konsep rencana (identifikasi fungsi
kegiatan)
9. Strategi pemanfaatan ruang Strategi pemanfaatan ruang
10. - Rencana struktur ruang - Rencana struktur ruang (pusat-
(pusat-pusat pertumbuhan) pusat pertumbuhan)
- Rencana pola ruang (land - Rencana alokasi ruang (identifikasi
use) fungsi kegiatan)
11. - Resolusi konflik

Rencana pola ruang darat dengan laut harus dibedakan ber-


dasarkan dimensinya. Pada ruang darat kita mengenal satu dimensi

Membangun Poros Maritim Dunia


192 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ruang, sedangkan pada ruang laut kita mengenal tiga dimensi ruang.
Hal ini sangat mempengaruhi proses penyusunan rencana pola
ruang yang dilakukan. Oleh karena itu, rencana pola ruang disusun
untuk ketiga dimensi ruang, yaitu permukaan, kolom, dan dasar
laut. Kompleksitas ini makin tinggi karena media air akan membawa
semua dampak kegiatan di permukaan, kolom air, dan dasar ke semua
tempat bahkan yang lokasinya jauh dari lokasi kegiatan pemanfaatan.
Hal mana tidak terjadi di ruang darat.
Peta rencana pola ruang laut mengakomodasi tiga layer pene-
tapan pola ruang dari setiap dimensi (permukaan, kolom dan dasar
laut). Pada setiap dimensi, pola ruang laut dapat mengakomodasi ke-
giatan yang multi fungsi sehingga alokasi ruangnya pun bisa overlap-
ping pada satu zona tertentu. Pola ruang laut yang mengakomodasi
lebih dari satu kegiatan pada suatu zona yang sama pada waktu ter-

4
tentu yang sama pula harus dilengkapi dengan peraturan zonasi/per-
aturan pemanfaatan ruang yang akan mengatur mekanisme sistem
pelaksanaan kegiatannya termasuk manajemen waktu pemanfaatan
dari masing-masing pola untuk setiap kegiatan, selain peraturan zona-
si yang mengatur ketentuan-ketentuan pada setiap pola ruang yang
ditetapkan.
Rencana pola ruang pada layer permukaan laut mendeliniasi
batasan area yang diberikan izin yang diperoleh suatu perusahaan
untuk mengeksplorasi sumber daya kelautan dan batasan area
rekreasi, pelayaran, serta jaringan alur (rute) kapal wisata, dan area
aktif eksplorasi.
Rencana pola ruang pada layer kolom laut mendeliniasi batasan
area penangkapan ikan, berdasarkan ikan yang terdapat pada area
kolom laut tersebut. Sementara itu, rencana pola ruang pada layer
dasar laut mendeliniasi lokasi pertambangan, konservasi dan lokasi
cagar laut dan cagar budaya laut.
Prinsip utama dalam tata ruang laut adalah perencanaan dan
pengelolaan aktifitas manusia di wilayah laut, bukan penataan
ekosistem laut atau komponen ekosistem laut. Untuk itu, agar alokasi
penggunaan ruang laut menurut tujuan dan kegunaan selaras dengan

Merencanakan Tata Ruang Laut 193


daya dukung, maka ada lima hal yang harus diperhatikan: Pertama,
berbasis pada ekosistem, yang berarti keseimbangan antara ekologi,
ekonomi dan sosial untuk keberlanjutan sumber daya dan pengguna-
an ruang laut; kedua, terintegrasi (antar pemangku kepentingan mulai
dari tingkat nasional sampai lokal); ketiga, berbasis kewilayahan, untuk
pemerataan pemanfaatan sumber daya dan daya dukung lingkungan;
keempat, adaptif, kemampuan untuk belajar dari proses yang sudah
dan sedang berjalan; kelima, strategis dan antisipatif, artinya bisa
diimplementasikan dalam jangka panjang; dan keenam, partisipatoris
yang mengakomodasi segenap pemangku kepentingan (UNESCO,
2009). Oleh sebab itu tata ruang laut bukanlah proses statis dengan

subandono.diposaptono@yahoo.com

Dimensi perairan laut mulai dari permukaan, kolom, hingga dasar laut.

Membangun Poros Maritim Dunia


194 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
one-hit development process tetapi merupakan proses dinamis yang
selalu disesuaikan dengan kondisi dan daya dukung ekosistem.

Mengakomodasi Kepentingan
Lalu, bagaimana strategi menata ruang laut sehingga dapat
mengakomodasi berbagai kepentingan? Setidaknya, ada tiga prinsip
dasar yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana tata ruang
laut.
Pertama, kegiatan yang berlangsung pada ruang laut bersifat
dinamis dan statis. Kegiatan pelayaran, alur migrasi ikan, serta aktivitas
wisata bahari (seperti snorkling, diving, dan selancar) tergolong
dalam aktivitas dinamis. Sedangkan yang bersifat statis antara lain
permukiman atas air, rig pertambangan, bagan tancap, bagan apung,
dan lain-lain.

4
Kedua, ruang laut memiliki tiga dimensi yaitu permukaan, kolom,
dan dasar laut. Setiap dimensi dapat memiliki aktivitas berbeda dalam
suatu zona yang sama dan bisa dilakukan pada waktu yang sama pula.
Contoh konkrit adalah penggunaan dasar laut untuk kabel pipa bawah
laut, pada dimensi kolom dapat berfungsi sebagai daerah migrasi ikan,
sedangkan pada permukaannya untuk alur pelayaran.
Ketiga, penetapan jangka waktu perencanaan (20 tahun). Prediksi
jangka waktu perencanaan ruang laut dipengaruhi oleh sumber daya
(resources) yang dikembangkan oleh masing-masing kegiatan.
Terkait struktur ruang, dapat diwujudkan sebagai pusat-pusat
permukiman yang merupakan sentra (pusat) aktivitas kegiatan dalam
jangkauan pelayanan tertentu. Struktur ruang dalam suatu wilayah
perencanaan memiliki hierarki berdasarkan jangkauan pelayanannya,
mulai dari hierarki paling tinggi dengan jangkauan pelayanan lebih
jauh sampai hierarki terendah dengan pelayanan lebih dekat.
Pusat kegiatan yang berkembang pada ruang laut diwujudkan
dalam berbagai aktivitas di antaranya permukiman, perikanan tangkap
dan budidaya, pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, wisata bahari,
pertambangan, dan jasa kelautan. Dalam lingkup perencanaan
wilayah, pusat kegiatan ini berfungsi sebagai pusat permukiman

Merencanakan Tata Ruang Laut 195


pada kedudukan hierarki tertinggi, menengah atau terendah,
berdasarkan kajian dalam suatu unit wilayah perencanaan (nasional,
provinsi). Untuk lingkup ruang laut, pusat permukiman ini hierarkinya
diposisikan sesuai dengan kajian unit analisis pada cakupan ruang laut
yang direncanakan.
Struktur ruang dalam penyusunan rencana tata ruang laut/
rencana zonasi untuk multi sektor (rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil provinsi), harus dilakukan secara terpadu antar
ruang darat, laut, dan udara. Unit analisa yang digunakan dalam
menyusun rencana struktur ruang laut sebaiknya mempertimbangkan
dan memperhitungkan keterkaitan unit analisa tersebut untuk
perencanaan wilayah darat dan udara.
Di sisi lain, penyusunan rencana struktur ruang untuk suatu
sektor tertentu (misalnya perikanan), berimplikasi pada penentuan

4
lokasi pusat kegiatan. Lokasi ini pada akhirnya berfungsi sebagai
pusat kegiatan atau pusat pengembangan (permukiman) dalam
konstelasi wilayah yang lebih luas, yaitu provinsi atau nasional. Atau
bisa juga sebagai titik pusat pengembangan yang mendukung fungsi
salah satu pusat pengembangan (pusat permukiman) pada konstelasi
perencanaan regionalnya (wilayah provinsi atau nasional).

Peraturan Zonasi/Peraturan Pemanfaatan Ruang


Rencana tata ruang laut yang disusun perlu dilengkapi dengan
aturan-aturan pemanfaatan zona yang dibuat (peraturan zonasi/
peraturan pemanfaatan ruang), seperti halnya menyusun tata ruang
darat. Peraturan zonasi meliputi hal-hal yang terkait dengan standar-
standar kebutuhan pengembangan seperti kepadatan, standar
konstruksi, dan lain-lain. Keunikan sifat ruang laut menuntut adanya
penambahan aturan dalam peraturan zonasi yang dibuat, yaitu aturan
mengenai kemungkinan beragamnya pemanfaatan ruang (multi use/
multi fungsi).
Kelengkapan muatan rencana tata ruang laut merupakan pra-
syarat minimum kajian dan arahan yang diperlukan dalam rangka me-
lengkapi hasil rencana tata ruang laut yang disusun. Kelengkapan ini

Membangun Poros Maritim Dunia


196 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
meliputi diversifikasi ekonomi sumber daya, multifungsi penggunaan
ruang laut, dan mediasi konflik.
Salah satu variabel analisa ekonomi yang digunakan untuk
menyusun rencana tata ruang laut adalah sumber daya (resources).
Hal ini akan mempengaruhi variasi jangka waktu dari kegiatan-
kegiatan yang dilakukan, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang
berdasarkan pada sumber daya (resources). Oleh karena itu deskripsi
mengenai pengalihan fungsi suatu kegiatan pascaproduksi dari suatu
sumber daya perlu termuat pula dalam dokumen tata ruang laut.
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang tinggi
mengakibatkan semakin banyaknya sektor-sektor yang akan
mengembangkan kegiatannya dan memanfatkan ruang laut.
Kesempatan multi fungsi penggunaan ruang laut perlu mencapai
situasi kesepakatan (win-win solution) multi sektor yang terlibat

4
berdasarkan kompatibilitasnya.
Kebutuhan pengembangan ruang laut pada masa yang akan
datang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi dan
kelestarian lingkungannya. Oleh karena itu, penyusunan rencana tata
ruang laut dapat mengakomodasi kepentingan multi sektor pada satu
area yang sama.
Rencana tata ruang laut dapat digunakan sebagai alat sinergitas
spasial dan koordinasi rekomendasi perizinan pemanfaatan laut.
Keuntungan lain adalah adanya kepastian hukum yang bersifat spasial
dalam pemanfaatan ruang laut.

Perlu Dilegalkan
Berdasarkan mandat UU No 27/2007 Jo UU No 1 Tahun 2014,
pemerintah daerah (provinsi) diwajibkan menyusun rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K).
RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan
sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetap-
an struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat
kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta ke-
giatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. RZWP-3-

Merencanakan Tata Ruang Laut 197


K memuat struktur ruang dan pola ruang di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil untuk jangka waktu 20 tahun.
RZWP-3-K yang terdiri dari RZWP-3-K Provinsi ini berfungsi
sebagai arahan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
ruang perairan pesisir. Pola ruang untuk RZWP-3-K Provinsi berisi
pengalokasian ruang ke dalam kawasan pemanfaatan umum,
kawasan konservasi, dan kawasan strategis nasional tertentu, dan alur
laut, serta dijabarkan dalam zona/sub zona sesuai dengan peruntukan
ruangnya.

“RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan


arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan

4 perencanaan disertai dengan penetapan


struktur dan pola ruang pada kawasan
perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta
kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin.

RZWP-3-K Provinsi dituangkan pada peta dengan tingkat
kedalaman atau skala minimal 1:250.000 dan minimal 1:50.000.
RZR Kawasan berfungsi sebagai perangkat operasional RZWP-3-K
yang di dalamnya memuat peraturan zonasi/peraturan pemanfaatan
ruang sebagai pedoman pemberian izin pemanfaatan ruang perairan
laut. Peraturan ini memuat teks zonasi dan peta zonasi.
Teks zonasi berisi aturan teknis zonasi pada suatu zona untuk
kegiatan/penggunaan ruang tertentu di wilayah pesisir dan pulau-

Membangun Poros Maritim Dunia


198 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pulau kecil. Sementara itu, peta zonasi merupakan peta yang
menggambarkan kode-kode zonasi di atas zona dan subzona yang
telah dideliniasikan dalam RZWP-3-K dan RZR Kawasan.
RZWP-3-K dan RZR Kawasan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah (Perda). RZWP-3-K dan RZR Kawasan dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya lima tahun sekali. Fungsi RZWP-3-K adalah
menjadi perisai legitimasi peruntukan ruang laut, acuan pemberian
perizinan pemanfaatan, rujukan konflik ruang, dan dokumen formal
perencanaan pembangunan daerah. RZWP-3-K tersebut perlu
dilegalkan dalam bentuk Perda.

Merencanakan Tata Ruang Laut 199


Tata Ruang Laut
Dalam Perspektif
Harmonisasi 4 UU

Saat ini tata ruang laut di Indonesia belum menjadi


informasi yang ‘seksi’. Tak banyak pemerintah dan
masyarakat yang tertarik apalagi mendalami lebih jauh

4 mengenai topik tersebut. Kalau pun disorot, ia lebih


banyak dipandang dari sisi negatifnya.

F
akta menunjukkan, tata ruang kerap menjadi kambing
hitam dalam banyak hal, seperti lambatnya investor untuk
menanamkan modal di kawasan tersebut, terjadinya degradasi
lingkungan, terjadinya konflik, atau bencana. Padahal, rencana tata
ruang laut/rencana zonasi dapat dipergunakan sebagai alat sinergitas
spasial dan koordinasi rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang
laut. Keuntungan lain adalah adanya kepastian hukum yang bersifat
spasial dalam pemanfaatan ruang laut.
Disadari atau tidak, saat ini masih terdapat beberapa kendala
dalam menyusun tata ruang laut di Indonesia. Pertama, belum adanya
kesamaan pola pikir dan cara pandang di antara para eksekutif dan
legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam masalah pe-
nataan ruang laut. Kedua, banyak daerah yang belum mengerti cara
menyusun rencana tata ruang laut/rencana zonasi yang dilengkapi
dengan peraturan zonasi.

Membangun Poros Maritim Dunia


200 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Ketiga, keterbatasan data dan informasi. Kalaupun ada pemerin-
tah daerah (provinsi) yang sudah memiliki rencana tata ruang laut/
rencana zonasi, saat ini kualitasnya masih kurang baik. Sebab, data
yang digunakan adalah data dan informasi yang tersedia, bukan data
yang dibutuhkan.
Sebaiknya dalam menyusun tata ruang laut memang dibutuhkan
beberapa data set antara lain data batimetri, geologi dan geomorfologi
laut, oseanografi (baik fisik, kimia, maupun biologi), ekosistem pesisir
(terumbu karang, padang lamun, dan mangrove), sumber daya ikan
(pelagis dan demersal), pemanfaatan wilayah laut yang telah ada,
sosial demografi, ekonomi, serta risiko bencana. Kelengkapan data-
data tersebut sangatlah sulit dipenuhi.
Kendala keempat, keterbatasan dana terutama dalam
pengumpulan data dan informasi serta proses perencanaan yang

4
sifatnya partisipatif. Dibutuhkan biaya tinggi untuk kegiatan survei di
permukaan hingga dasar laut.
Kendala lain adalah kurangnya komitmen pimpinan dan
fasilitator dalam proses perencanaan partisipatif tata ruang laut yang
mempunyai pengetahuan yang luas. Jumlah dan mutu sumber daya
manusia juga masih terbatas.
Kalau sudah begini kondisinya, mau dikemanakan (quo vadis) tata
ruang laut kita ini? Mampukah tata ruang laut menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat pengguna sumber daya alam laut sekaligus
menjaga agar potensi sumber daya alam laut tetap lestari?

Payung Hukum
Lahirnya tiga Undang-undang (UU), yakni UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, UU No. 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
serta UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, merupakan tonggak
sejarah bagi pengelolaan laut dan wilayah pesisir serta pulau-pulau
kecil di Indonesia. Hal ini karena ketiga produk hukum tersebut
menjadi payung hukum yang mengatur perencanaan yang bersifat
spasial (keruangan), baik di darat maupun laut. Ketiga UU tersebut

Merencanakan Tata Ruang Laut 201


saling melengkapi dan memungkinkan adanya penataan ruang yang
terpadu antara daratan dan perairan laut, dimana hal tersebut selama
ini tidak pernah dapat diwujudkan.
Pasal 6 ayat 5 pada UU No. 26/2007 mengatakan, pengelolaan
ruang laut dan udara diatur dengan undang-undang sendiri. Khusus
untuk ruang laut, UU yang dimaksud adalah UU No. 27/2007 Jo. UU
No. 1/2014 dan UU 32/2014. Ruang lingkup perencanaan mencakup
daratan wilayah pesisir sampai batas administrasi kecamatan dan ke
arah laut sejauh Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diukur dari garis pantai.
Sesuai dengan UU No 27/2007 Jo. UU No 1/2014 dan UU No
32/2014 terdapat tiga struktur dalam pengelolaan ruang laut serta
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni perencanaan,
pemanfaatan, serta pengawasan dan pengendalian. Khusus untuk
struktur perencanaan memuat perencanaan yang bersifat spasial

4
(keruangan), yaitu:
a. Perencanaan tata ruang laut nasional, merupakan proses
perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang laut
nasional. Rencana tata ruang laut tersebut ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.
b. Perencanaan zonasi kawasan laut, merupakan perencanaan untuk
menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional (RZKSN),
rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (RZKSNT), dan
rencana zonasi kawasan laut antarwilayah (teluk, selat, dan laut)
atau RZKLAW. Seperti diketahui, RZKSN dan RZKLAW ditetapkan
melalui Peraturan Presiden. Sedangkan RZKSNT (termasuk pulau-
pulau kecil terluar) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.
c. Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-
3-K), merupakan rencana alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, yang selanjutnya diatur dalam UU Nomor 27/2007
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1/2014. Sesuai
dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mana
pengelolaan ruang laut 0 - 12 mil menjadi kewenangan provinsi,
maka RZWP-3-K ditetapkan Perdanya oleh provinsi.

Membangun Poros Maritim Dunia


202 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
RZWP3K PROVINSI
RZBWP3K
RZ-RINCI
subandono.diposaptono@yahoo.com

Hierarki perencanaan ruang laut berdasarkan UU 32/2014. 4


Menurut UU No. 32/2014, tata ruang laut merupakan wujud
struktur ruang laut dan pola ruang laut. Struktur ruang laut merupakan
susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem jaringan prasarana
dan sarana laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional. Sedangkan pola ruang laut meliputi kawasan pemanfaatan
umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional
tertentu.
Perencanaan ruang laut digunakan untuk menentukan kawasan
yang ditujukan bagi kepentingan ekonomi dan sosial budaya (seperti
kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri maritim,
pariwisata, permukiman, dan pertambangan), untuk melindungi
kelestarian sumber daya kelautan, serta untuk menentukan perairan
yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan
migrasi biota laut.

Merencanakan Tata Ruang Laut 203


4
Wilayah perencanaan tata ruang laut.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Membangun Poros Maritim Dunia


204 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Berdasarkan UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 pada Bab I Pasal 1,
rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan
sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan
struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat
kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Pengertian ini mirip
dengan definisi tata ruang yang tersurat dan tersirat pada Bab I Pasal
1 dalam UU No 26/2007.
Menurut UU No 26/2007, tata ruang adalah wujud struktur
dan pola ruang. Sementara itu, rencana tata ruang adalah hasil
perencanaan tata ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-
pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola

4
ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian yang terdapat dalam
dua UU tersebut, sejatinya dapat dikatakan bahwa rencana zonasi
adalah juga merupakan rencana tata ruang. Namun demikian, terdapat
perbedaan peristilahan dalam pembagian kawasan pola ruang yang
perlu dipahami agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam
implementasinya.
Dalam UU No 26/2007 misalnya, pola ruang meliputi kawasan
budidaya dan kawasan lindung. Namun menurut UU No 27/2007 Jo.
UU 1/2014, pola ruang meliputi kawasan pemanfaatan umum dan
kawasan konservasi. Berdasarkan penjelasan Pasal 10 pada UU No
27/2007 Jo. UU 1/2014, kawasan pemanfaatan umum setara dengan
kawasan budidaya dalam UU No 26/2007. Sementara itu, kawasan
konservasi dalam UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 setara dengan kawasan
lindung dalam UU No 26/2007. Sedangkan menurut UU No 32/2014,
kawasan laut juga terdiri dari kawasan pemanfaatan umum, kawasan
konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu.
Dalam pembagian zona di dalam kawasan, juga terdapat
perbedaan istilah (nomenklatur). Misalnya kawasan lindung di UU No

Merencanakan Tata Ruang Laut 205


26/2007, pembagiannya meliputi kawasan perlindungan setempat,
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan cagar budaya,
kawasan rawan bencana, serta kawasan lindung geologi. Sementara
itu, pembagian zona dalam kawasan konservasi, menurut UU No
27/2007 Jo. UU 1/2014, meliputi konservasi perairan, konservasi pesisir
dan pulau-pulau kecil, serta konservasi maritim dan atau sepadan
pantai.
Perbedaan istilah tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. UU
No 26/2007 hanya membagi ruang dalam dua kepentingan, yakni
budidaya (pemanfaatan) dan lindung. Dengan demikian, tidak ada
kegiatan pemanfaatan dalam kawasan lindung. Sebaliknya, karena
karakteristik alami dan tipe sumber dayanya, perairan laut tidak dapat
diberlakukan secara sama.
Penetapan kawasan konservasi (lindung) masih memungkinkan

4
adanya kegiatan pemanfaatan baik yang ekstraktif maupun
nonekstraktif dengan pengaturan-pengaturan tertentu sesuai dengan
tujuan kawasan konservasinya. Dengan kata lain, pengaturan ruang
laut tidak dapat menggunakan terminologi yang sama dengan
pengaturan ruang di darat.
Perbedaan lain, di dalam UU No 26/2007 dikenal dengan adanya
alur pelayaran. Sedangkan di dalam UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 dan
UU 32/2014 dikenal dengan adanya alur laut antara lain alur pelayaran,
migrasi ikan, dan kabel laut. Hal ini sesuai fakta bahwa di laut tidak
hanya terdapat alur pelayaran tetapi juga alur migrasi ikan, migrasi
biota, dan kabel laut.
Di sini jelas sekali bagaimana UU No. 27/2007 Jo. UU 1/2014 dan
UU 32/2014 melengkapi dan mengisi kekosongan yang tidak diatur
dalam UU No. 26/2007. Bahkan untuk kepentingan perlindungan ka-
wasan migrasi biota laut, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Hal ini tentu saja tidak akan dapat dilakukan apa-
bila mengacu pada alur menurut UU No. 26/2007.
Sesuai dengan pertimbangan karakteristik dan cakupan
kepentingan pengelolaan sumber daya laut yang dinamis dan saling
terkait tersebut, penulis mengusulkan, untuk perairan laut di wilayah

Membangun Poros Maritim Dunia


206 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pesisir menggunakan rezim UU No 27/2007 Jo.UU 1/2014 dan UU
32/2014. Dengan demikian sesuai UU tersebut maka dalam Rencana
Tata Ruang Laut, Rencana Zonasi Kawasan Laut (Teluk, Selat dan Laut),
dan RZWP-3-K di perairan laut wilayah pesisir menggunakan istilah
pola ruang yang ada dalam UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014. Sedangkan
untuk Rencana Zonasi Kawasan Laut (Teluk, Selat dan Laut) dan RZWP-
3-K di daratan wilayah pesisir menggunakan istilah pola ruang yang
ada dalam RTRW sesuai UU No 26/2007.
Pertimbangan lainnya adalah UU No 27/2007 Jo. UU No 1/2014
dan UU 32/2014 merupakan lex specialis dari UU No 26/2007
terkait perencanaan spasial (keruangan). Sesuai dengan azas lex
specialis derogat lex generalis (hukum yang khusus lebih diutamakan
daripada yang bersifat umum) maka dasar hukum penataan ruang
laut menggunakan UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 dan UU 32/2014.

4
Tentu saja rencana zonasi kawasan laut dan rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut harus diserasikan, diselaraskan,
dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, sesuai amanat UU No
27/2007 Jo. UU 1/2014.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Hierarki rencana tata ruang wilayah dan perencanaan ruang laut.

Merencanakan Tata Ruang Laut 207


subandono.diposaptono@yahoo.com

Ilustrasi RZWP-3-K Provinsi dan RZBWP-3-K (Rencana Zonasi Bagian Wilayah

4
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).

Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) merupakan


perencanaan makro strategis nasional yang menggambarkan arah
dan kebijakan pembangunan kelautan nasional secara ketataruangan.
Rencana Zonasi Kawasan Laut (Laut, Selat, Teluk) merupakan rencana
rinci berbasiskan kawasan/fungsional yang menjabarkan lebih detil
RTRLN. Sedangkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP-3-K) merupakan variasi dan jabaran detail dari RTRLN
dan Rencana Zonasi Kawasan Laut dalam lingkup regional. Sementara
itu, Rencana Zonasi Bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-
BWP3K) dan Rencana Zonasi Rinci (RZR) merupakan rencana tata ruang
laut/rencana zonasi pada skala operasional yang dilengkapi dengan
aturan pemanfaatan (zoning regulation) laut yang dapat dijadikan
dasar dalam pemberian izin dan pengendalian pemanfaatan ruang
laut yang ada.
RTRLN memberikan landasan spasial dalam rangka menyeleng-
garakan kebijakan dan strategi pembangunan kelautan, keterpaduan
berbagai kepentingan dan program sektor di wilayah laut, pertahanan
kawasan perbatasan NKRI, arahan perencanaan wilayah pesisir dan

Membangun Poros Maritim Dunia


208 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pulau-pulau kecil di daerah, serta pemberian izin pemanfaatan ruang
laut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di Kawasan Strate-
gis Nasional (KSN), Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), lintas
provinsi, dan perairan laut di atas 12 mil dari garis pantai.
RTRLN disusun dengan skala minimal 1:2.000.000, berisikan ren-
cana pengembangan wilayah kelautan dalam menentukan pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi kelautan, sistem konektivitas laut/ke-
maritiman, penetapan kawasan-kawasan laut strategis, pemanfaatan
potensi sumber daya kelautan, serta arahan lokasi penggunaan ruang
laut secara nasional.
RTRLN berisikan muatan rencana struktur ruang laut nasional
(pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kelautan, sistem konektivitas
maritim, infrastruktur maritim), rencana pola ruang laut nasional,
penetapan KSN, penyelenggaraan tata ruang laut yurisdiksi (zona

4
tambahan, ZEEI, landas kontinen), kerja sama penataan ruang laut
antarnegara, arahan pemanfaatan dan pengendalian ruang laut
nasional, serta arahan pemanfaatan ruang laut provinsi.
RTRLN dalam implementasinya akan menjadi pedoman dalam
rangka penyusunan rencana pembangunan kelautan jangka panjang
dan jangka menengah serta pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang laut di wilayah nasional. RTRLN juga menjadi
pedoman dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah laut provinsi, serta
keserasian antarsektor. Tak hanya itu, RTRLN juga mampu menjadi
pedoman dalam menetapkan lokasi dan fungsi ruang laut untuk
investasi, menata ruang kawasan strategis laut nasional, serta menata
ruang/zonasi kawasan laut dan provinsi.
Di wilayah darat, kita mengenal wilayah yang memiliki kesamaan
alamiah ditandai dengan adanya kesamaan karakteristik fisik, sosial,
dan ekonominya yang berada dalam satu yurisdiksi pemerintah
daerah, dan atau mencakup lebih dari satu yurisdiksi pemerintah
daerah/lintas provinsi. Di situ juga dijumpai paradigma daerah aliran
sungai (DAS). Di perairan laut, kita mengenal adanya teluk, selat, dan
laut.

Merencanakan Tata Ruang Laut 209


Pengelolaan wilayah laut harus dilakukan secara terintegrasi.
Namun dengan melihat luas wilayah laut Indonesia --sebagaimana
telah dilakukan di wilayah darat-- maka wilayah laut Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi satuan-satuan yang lebih kecil. Satuan lebih
kecil ini dapat berupa wilayah lintas administrasi pemerintah daerah
maupun wilayah homogen yang berinteraksi melalui laut. Hal ini juga
dilakukan untuk mengisi pengaturan ruang laut yang masih kosong
mengingat pengelolaan ruang laut provinsi hanya sampai sejauh 12
mil dari garis pantai.
Untuk itu, dalam UU 32/2014 dikenal dengan istilah rencana
zonasi kawasan laut yang disusun pada wilayah teluk, selat, dan
laut dengan skala minimal 1:500.000. Rencana zonasi kawasan laut
berisikan alokasi arahan pemanfaatan ruang kawasan pemanfaatan
umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan

4
alur laut yang secara umum merupakan penetapan prioritas kawasan
laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi
laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. Dalam
pelaksanaannya, rencana zonasi kawasan laut memberikan arahan
kerja sama penataan ruang laut antarprovinsi. Di samping itu rencana
zonasi teluk, rencana zonasi selat, dan rencana zonasi laut berfungsi
sebagai instrumen perizinan di perairan laut di atas 12 mil.
Dalam struktur perencanaan tata ruang di wilayah laut, rencana
zonasi kawasan laut (laut, selat, dan teluk) merupakan dokumen
perencanaan yang mendetilkan gambaran struktur dan pola ruang
laut nasional dan sekaligus juga menjadi rencana yang komplementer
untuk RZWP-3-K. RTRLN merupakan arahan struktur dan pola ruang
makro (skala kecil) dan jangka panjang (20 tahun).
Arahan jangka panjang itu harus tetap dipegang dan dijaga
keberlanjutannya sehingga tidak ada penyimpangan dari tujuan dan
arah RTRLN. Untuk menjaga konsistensi dalam keterkaitan program
pelaksanaan antarsektor dan antarwilayah laut provinsi, maka
ditetapkan rencana zonasi kawasan laut.
Dalam rangka memperkuat otonomi daerah dalam pengelolaan
ruang laut, menurut ketentuan UU No. 23/2014 maka pengelolaan

Membangun Poros Maritim Dunia


210 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
sumber daya alam di laut sampai batas 12 mil dari garis pantai menjadi
kewenangan pemerintah daerah provinsi diukur dari garis pantai saat
laut pasang tertinggi, sehingga RZWP-3-K wajib ditetapkan Perdanya
oleh provinsi.
RZWP-3-K berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), acuan dalam penyusunan RPWP-3-K dan RAPWP-3-K,
instrumen penataan ruang di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-
pulau kecil. Tak hanya itu, RZWP-3-K juga dapat memberikan kekuatan
hukum terhadap alokasi ruang di perairan laut wilayah pesisir, dan
pulau-pulau kecil serta dasar pemberian izin lokasi dalam melakukan
pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan
sebagian pulau-pulau kecil.
Fungsi lainnya adalah menjadi dasar penentuan lokasi reklamasi,

4
sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. RZWP-3-
K juga dapat menjadi acuan dalam rujukan konflik di perairan laut
wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, acuan dalam pemanfaatan
ruang di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta
acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
RZWP-3-K memberikan arahan pemanfaatan sumber daya
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada ruang laut 0 - 12 mil
ke dalam kawasan serta arahan zona pemanfaatannya. RZWP-3-
K memuat antara lain: alokasi ruang dalam kawasan pemanfaatan
umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan
alur laut. Di samping itu, RZWP-3-K juga memuat keterkaitan antara
ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion.
RZWP-3-K Provinsi yang dituangkan ke dalam peta dengan skala
1:250.000 ini juga memuat penetapan pemanfaatan ruang laut dan
penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial
budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan
dan keamanan.
Efektivitas penerapan rencana tata ruang/zonasi laut sangat

Merencanakan Tata Ruang Laut 211


dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaruh dan
skala peta yang dihasilkannya. Perencanaan tata ruang laut yang
mencakup wilayah laut yang luas pada umumnya memiliki tingkat
ketelitian atau kedalaman peraturan dan skala peta yang tidak rinci.
Oleh karena itu, masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci berupa
RZBWP-3-K. Jika diperlukan, didetailkan dalam RZR.
RZBWP-3-K dapat disusun sebagai perangkat operasional RZWP-
3-K. RZBWP-3-K dapat disusun apabila RZWP-3-K Provinsi belum
dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang atau memerlukan perincian
sebelum dioperasionalkan. Dalam implementasinya, RZBWP-3-K
disusun pada skala 1:50.000.
Pemerintah daerah provinsi dapat menyusun RZR yang meru-
pakan pendetailan zona tertentu pada RZWP-3-K dan/atau RZBWP-3-K

4
yang dinilai belum efektif sebagai acuan dalam pelaksanaan peman-
faatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang lautnya. RZR ditu-
angkan dalam peta skala 1:10.000 dan disusun sesuai dengan prioritas
kebutuhan zona di kawasan pemanfaatan umum dan/atau kawasan
strategis nasional tertentu.
RZR dilengkapi dengan analisis daya dukung dan daya tampung,
serta peraturan pemanfaatan ruang ke dalam subzona dan/atau blok-
blok di dalam peta yang juga berfungsi sebagai zoning map bagi
peraturan pemanfaatan ruang.

Perizinan di Perairan Laut


Penataan ruang laut dilakukan terkait pengaturan pemanfaatan
laut secara optimal dengan mengakomodasikan semua kepentingan
untuk menghindari adanya konflik pemanfaatan ruang laut. Artinya,
dengan mengacu pada rencana tata ruang laut/rencana zonasi,
diberikan batas yang jelas, misalnya, antara zona pemanfaatan umum
dan zona konservasi.
Untuk mengatur pemanfaatan ruang di wilayah laut maka dikenal
mekanisme perizinan, yaitu instrumen pengendalian pemanfaatan
ruang di perairan laut dan pesisir. Menurut UU No 27/2007 Jo. UU

Membangun Poros Maritim Dunia


212 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
SISTEM PERIZINAN DI DARAT SISTEM PERIZINAN DI LAUT WILAYAH
Berdasarkan PP No. 15/2010 tentang PERAIRAN PESISIR
Penyelenggaraan Penataan Ruang Perubahan UU 27 Jo UU 1/2014;
(turunan UU 26/2007) UU 32/2014; dan UU 23/2014)
RTRL Nasioanal RZ KSN/KSNT
RTRWN Pasal 46 UU 32/2015
RZ RINCI ZONA RZ Antar Wilayah
RTRW PROV Blok-blok
RENCANA DETAIL TATA RZWP3K PROV
Peruntukan
RUANG KAWASAN Ruang 0 - 12 Mil
RTRW
KAB/KOTA RZBW3K
Peraturan Skala 1:50.000
PERDA KAB/KOTA PERATURAN Pemanfaatan
ZONASI SISTEM KAB/KOTA Ruang Pasal 16 Ayat 1 UU 1/2014

IZIN PRINSIP
1
IZIN LOKASI Izin Lokasi
(Di Darat) 2 1 Di Perairan Laut

IZIN PENGGUNAAN/
Izin Pengelolaan/
PEMANFAATAN TANAH 3 2 Izin Sektor
Amar Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010

IMB 4

Merencanakan Tata Ruang Laut


Izin lain sesuai peraturan Izin lain sesuai peraturan
perundangan
5 perundangan
subandono.diposaptono@yahoo.com

Sistem perizinan di darat dan perairan laut.

213
4
1/2014 dan UU 32/2014, izin di perairan laut diberikan dalam bentuk
izin lokasi dan izin pengelolaan sumber daya perairan pesisir.
Izin lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang
dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan
tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau
kecil. Sedangkan izin pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil.
Oleh karena itu, setiap pemanfaatan ruang dari sebagian perairan
laut dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap
wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi terdiri dari izin lokasi perairan
pesisir dan izin lokasi pulau-pulau kecil. Izin lokasi di perairan pesisir
diberikan berdasarkan RZWP-3-K. Sedangkan izin lokasi pulau-pulau

4
kecil diberikan berdasarkan RTRW. Izin lokasi diberikan dalam luasan
dan waktu tertentu, dan tidak dapat diberikan pada zona inti di
kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Izin lokasi merupakan dasar pemberian izin pengelolaan sumber
daya perairan laut dan pesisir yang berupa kegiatan produksi garam,
biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain
energi, wisata bahari, kegiatan survei, dan pengangkatan benda
muatan kapal tenggelam. Sedangkan untuk perizinan terhadap
pemanfaatan perairan pesisir selain kegiatan-kegiatan tersebut dan
pada wilayah masyarakat hukum adat, tetap dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan sesuai dengan
kewenangan masyarakat hukum adat setempat.
Pemberian izin lokasi tersebut wajib mempertimbangkan
kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat hukum adat, nelayan
tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal
asing. Sementara itu, untuk pemberian izin pengelolaan sumber
daya perairan laut dan pesisir wajib mempertimbangkan kelestarian
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat hukum adat, serta
kepentingan nasional.

Membangun Poros Maritim Dunia


214 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Harmonisasi dan Integrasi WPP dengan RTRL/Rencana Zonasi
Banyak dari kita belum memahami hubungan antara Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) dan Rencana Tata Ruang Laut (RTRL)/
Rencana Zonasi. WPP merupakan wilayah pengelolaan perikanan
untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan
perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan,
laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia
(ZEEI).
Di Indonesia terdapat 11 WPP yakni, WPPNRI 571 meliputi
perairan Selat Malaka dan Laut Andaman, WPPNRI 572 (perairan
Samudra Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda), WPPNRI
573 (perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah
Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat),
WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China

4
Selatan), WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa), WPPNRI 713 (perairan Selat
Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), WPPNRI 714 (perairan
Teluk Tolo dan Laut Banda), WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau), WPPNRI 716
(perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), WPPNRI
717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), WPPNRI 718
(perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur).
Selama ini manajemen pengelolaan perikanan tangkap
(seperti penetapan WPP) didasarkan pada pemahaman bidang
biologi perikanan, yang umumnya ditentukan dari data sebaran
potensi populasi biota secara biologis. Namun pendekatan ini tidak
menempatkan sumber daya ikan (SDI) sebagai komponen dari
ekosistem secara keseluruhan (Pauly, 2009).
Dengan kata lain, pendekatan tersebut tidak mengakomodasi
keragaman spasial dan ancaman-ancaman yang ada terhadap SDI
(Halpern dkk, 2008). Ketiadaan integrasi dari pola dan proses ekosistem
secara spasial berakibat pada manajemen SDI dan ekosistem yang
tidak berimbang (Wilen, 2004). Akibatnya, dari 11 WPP, sebanyak 2
WPP (WPP 571 dan 714) dalam kondisi overfishing.

Merencanakan Tata Ruang Laut 215


4

Membangun Poros Maritim Dunia


216 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Selain itu, 3 WPP (WPP 572, 712 dan 573) dalam kondisi jumlah
tangkapan rata-rata mendekati jumlah potensi lestari dan 6 WPP (WPP
711, 713, 715, 716 dan 717) dalam kondisi optimalisasi potensi lestari
meskipun jumlah tangkapan beberapa komoditas tangkap di WPP
tersebut juga berada dalam kondisi melampaui batas potensi lestari.
Dalam satu kawasan WPP ada beberapa faktor yang berpengaruh
dalam usaha perikanan tangkap yang saling berhubungan satu sama
lain yakni, topografi bawah laut, arus laut, biomassa, perairan dekat
pantai (estuari, laguna, zona pasang surut/tidal flat, zona litoral, dan
zona neritik), serta ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove, sea
grass, dan lain-lain). Komponen fisik tersebut memiliki fungsi unik
untuk menunjang keberlangsungan SDI dan proses yang terjadi dalam
siklus rantai makanan. Kehilangan satu komponen akan berakibat
pada meledaknya populasi satu biota yang dalam waktu panjang akan

4
berdampak pada terganggunya ekosistem secara keseluruhan.
Sementara itu, RTRL/Rencana Zonasi adalah rencana yang
menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang
pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.
Pengelolaan ruang laut berbasis ekosistem berarti mengede-
pankan paradigma kewilayahan (area-based resource) berbasis eko-
sistem seperti potensi perikanan tangkap, areal konservasi, dan anali-
sa keberlanjutan sumber daya berbasis spasial. Prinsip utama dalam
pengelolaan ruang laut untuk menunjang pemanfaatan WPP adalah
pertimbangan bahwa SDI merupakan sumber daya yang bergerak,
sehingga tidak mungkin memanfaatkan ruang yang sama sepanjang
waktu.
Untuk itu diperlukan data yang lebih presisi untuk optimalisasi
WPP karena SDI memiliki lokasi yang dinamis, baik dalam ruang mau-
pun waktu. Jika penataan ruang laut termasuk kawasan WPP disusun
berdasarkan potensi sumber daya ekosistem (termasuk di dalamnya
SDI), maka di masa depan nelayan tidak perlu menghabiskan bahan

Merencanakan Tata Ruang Laut 217


bakar untuk mencari ikan, tetapi pada waktu tertentu cukup menung-
gu di lokasi yang sudah diperkirakan maka ikan yang akan datang ke
nelayan.
Memang ada dua perencanaan dalam matra laut yang sama. Hal
ini dapat menimbulkan kekhawatiran tentang adanya tumpang tindih
dan inefisiensi pengelolaan sumber daya perikanan.
Menurut penulis, sebenarnya tidak ada pertentangan antara
WPP dan RTRL/Rencana Zonasi. Sebagai bagian rencana pengelolaan
sektoral, justru WPP perlu diselaraskan, dipaduserasikan, dan
menjabarkan alokasi ruang perikanan tangkap yang telah tertuang
dalam RTRL/Rencana Zonasi. Mengapa demikian?
RTRL/Rencana Zonasi memberikan gambaran secara menyeluruh
terkait dengan informasi dan alokasi ruang berbagai aktivitas (seperti
perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, jalur kapal,

4
pelabuhan, dan lain sebagianya) di perairan laut. Dari sinilah, untuk
kegiatan perikanan tangkap yang telah tertuang di dalam RTRL/
Rencana Zonasi selanjutnya dikelola dengan menggunakan kaidah
kaidah yang diatur dalam rencana pengelolaan perikanan dalam WPP
bergantung kepada di mana RTRL/Rencana Zonasi dan WPP sama-
sama berada.
Tak hanya itu. Dalam menentukan arahan pemanfaatan ruang
dan peraturan pemanfaatan ruang perikanan tangkap dalam RTRL/
Rencana Zonasi juga wajib memperhatikan kaidah-kaidah yang telah
diatur dalam rencana pengelolaan perikanan di WPP.
Setidaknya ada empat hal yang bisa menjelaskan hubungan
harmonisasi antara WPP dan RTRL/Rencana Zonasi. Pertama, Pasal
10 dari kode etik internasional untuk Perikanan Bertanggung Jawab,
mempromosikan integrasi perikanan ke dalam manajemen wilayah
pesisir (FAO, 1995).
Kedua, RTRL/Rencana Zonasi harus dilihat sebagai pendekatan
untuk pengelolaan ruang laut yang terintegrasi dan komprehensif
dengan memperhatikan komponen-komponen kunci dari masing-
masing sektor seperti pengelolaan perikanan (wilayah pengelolaan
perikanan, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem), pengelolaan

Membangun Poros Maritim Dunia


218 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ekosistem (kawasan konservasi), serta pengelolaan sektor lainnya
(pariwisata, perhubungan, telekomunikasi, lingkungan hidup) di
wilayah perairan pesisir/laut.
Ketiga, pendekatan sektoral seperti pengelolaan perikanan
harus diselaraskan, dipaduserasikan dan menjabarkan alokasi ruang
perikanan tangkap yang telah ditetapkan dalam RTRL/Rencana Zonasi.
Sebab, rencana inilah yang berhubungan dengan tujuan pengelolaan
dari berbagai sektor seperti perikanan, pertambangan, transportasi,
pariwisata, pengembangan pesisir, pertanian, dan kehutanan.
Keempat, RTRL/Rencana Zonasi dapat memberikan informasi
penting untuk pengembangan rencana/pengelolaan masing-masing
sektor. Contohnya untuk pengelolaan perikanan, informasi spasial
dan temporal tentang daerah ekologis dan biologis sensitif yang
diidentifikasi dan dipetakan pada saat penyusunan RTRL/Rencana

4
Zonasi. Informasi daerah ekologis dan biologis sensitif meliputi:
daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, endemisme
tinggi, daerah dengan produktivitas yang tinggi, daerah pemijahan,
daerah pembibitan, koridor migrasi ikan dan titik-titik persinggahan.
Proses penyusunan RTRL/Rencana Zonasi juga mencakup
pengumpulan informasi dan pemetaan kegiatan manusia yang ada
dan masa depan di wilayah perairan pesisir/laut di dalam dan sekitar
WPP. Kedua informasi spasial tersebut memberikan informasi penting
dalam menentukan rencana pengelolaan perikanan.
Berdasarkan pengertian WPP dan RTRL/Rencana Zonasi tersebut,
keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya
meliputi: WPP dan Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi sama-sama
menjadikan ruang laut sebagai arena pengaturan atau pengelolaan.
Keduanya juga menetapkan bentuk-bentuk pemanfaatan dimana
WPP mencakup kegiatan-kegiatan terkait dengan sumber daya ikan,
sedangkan tata ruang laut meliputi semua bentuk kegiatan manusia
dalam menggunakan ruang laut. Persamaan lainnya baik WPP maupun
RTRL/Rencana Zonasi bertujuan untuk memastikan keberlanjutan
pemanfaatan sumber daya.
Sedangkan perbedaannya meliputi tiga hal. Pertama, WPP tidak

Merencanakan Tata Ruang Laut 219


memberikan arahan penggunaan ruang dalam arti apa yang boleh,
apa yang tidak boleh, dan apa yang boleh namun dengan izin. WPP
hanya mengatur atau pada praktiknya saat ini relatif hanya mengelola
perijinan pemanfaatan sumber daya ikan khususnya perikanan
tangkap, tidak mengatur atau mengarahkan bagaimana sektor lain
memanfaatkan ruang yang sama.
Kedua, RTRL/Rencana Zonasi mengatur secara jelas alokasi ruang
laut untuk berbagai kepentingan sektor (pariwisata, pertambangan,
industri, pelabuhan, perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan
lain-lain). Dalam hal ini RTRL/Rencana Zonasi mencakup pengaturan
zona yang detail sebagaimana tata ruang wilayah (alokasi ruang dan
struktur ruang).
Ketiga, berbeda dengan WPP, Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi
bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh semua sektor karena

4
ditetapkan melalui Peraturan Daerah (untuk kasus perairan 0 - 12 mil),
peraturan presiden, atau peraturan pemerintah.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan tersebut maka WPP
dan RTRL/Rencana Zonasi dapat saling melengkapi dan memperkuat
kepentingan Kelautan dan Perikanan dalam tiga hal. Pertama,
memastikan kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya dan ruang
laut. Kedua, menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya
perikanan, baik secara ekonomi maupun sosial dan budaya. Ketiga,
mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil baik yang berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya, maupun
masyarakat adat.
Untuk mewujudkan hal-hal tersebut maka integrasi dan
harmonisasi yang harus dilakukan meliputi tiga hal:
1. WPP memberikan masukan secara fungsional dan teknis
terhadap rencana alokasi ruang atau zona dalam rencana tata
ruang laut/rencana zonasi. Variabel yang diintegrasikan antara
lain informasi potensi stok perikanan penting, jalur migrasi
ikan, habitat esensial, wilayah pemijahan, dan wilayah-wilayah
perikanan adat.

Membangun Poros Maritim Dunia


220 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
2. Tata ruang laut/rencana zonasi mengakomodasikan dan
mengamankan kepentingan pengelolaan perikanan dan
membantu harmonisasi dengan kepentingan sektor lain
dalam “kompetisi” pemanfaatan ruang seperti perhubungan,
pertambangan, pariwisata, dan telekomunikasi.
3. Tata ruang laut/rencana zonasi memberikan media sekaligus
ruang negosiasi antara kepentingan perikanan dengan
kepentingan sektor lain yang akan menggunakan satu areal yang
sama pada satu wilayah tertentu, dimana hal ini sulit dilakukan
apabila otoritas WPP melakukannya sendiri.

Integrasi tersebut sangat penting dan strategis pada situasi


antara lain seperti penempatan kabel dan pipa bawah laut yang
melewati kawasan-kawasan nelayan dan kawasan budidaya,

4
penentuan lokasi pelabuhan pada kawasan-kawasan habitat
penting perikanan, pembangunan anjungan-anjungan Migas yang
bertumpangan dengan kawasan budidaya laut. Hal-hal tersebut akan
semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya di masa datang sesuai
dengan prioritas pemerintah yang akan menjadikan laut sebagai
ujung tombak pembangunan nasional. Potensi konflik tidak hanya
terjadi pada kompetisi penggunaan ruang lautnya namun juga pada
level masyarakat, bisnis, dan pemerintahan.
Kata kunci dari penataan ruang laut berbasiskan ekosistem/
kewilayahan adalah manajemen pengelolaan perikanan yang berhasil
harus mampu mengakomodasi keragaman spasial dalam ekosistem.
Dengan demikan, pola umum yang selama ini ‘mencari ikan’ beralih
menjadi ‘menunggu’ ikan dan menangkapnya pada tempat dan waktu
yang tepat (place-based fishery management).

Merencanakan Tata Ruang Laut 221


4

222
Keterkaitan dalam:
1. Siklus hidup biota
2. Rantai makanan
Perikanan
tangkap

Perubahan iklim
1. Bathymetry WPP
2. Arus
3. Gelombang
Ekonomi/ 4. Biomassa

Dalam Perspektif Tata Ruang Laut


kesejahteraan 5. Perairan pantai: Pendekatan RTRL Pendekatan klasik
Komponen
fisik a. Estuari 1. Area-based/ 1. Resource-based

Membangun Poros Maritim Dunia


b. Laguna kewilayahan 2. Pendekatan
Kedaulatan Ruang Laut c. Tidal flat berdasarkan data
2. Memperhatikan
d. Zona littoral sebaran jumlah
proses, fungsi, tangkapan
Daya dukung/ Komponen dinamika, dan jasa 3. SDI sebagai objek
keberlanjutan non-fisik 1. Mangrove ekosistem yang lepas dari
(ekosistem) 2. Lamun 3. SDI diperlakukan fungsi ekosistem.
3. Terumbu karang
4. dll sebagai komponen
dari ekosistem.

subandono.diposaptono@yahoo.com
Konsepsi optimalisasi pemanfaatan WPP melalui pendekatan kewilayahan berbasis penataan ruang laut.
Data Spasial,
Kunci Keberhasilan
Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi

Siapa menguasai informasi, dialah yang bakal menjadi


4
penguasa dunia. Pepatah ini tampaknya menjadi dasar
pembangunan bagi para penentu kebijakan di berbagai
negara maju. Norwegia misalnya, mampu menjelma sebagai
negara maju lantaran sukses memanfaatkan data dan
informasi ruang (spasial) pesisir dan laut yang dimilikinya.

K
ini, Norwegia menjadi bangsa yang sangat maju, kompetitif,
dan berdaya saing tinggi. Terbukti dari kelautan dan perikanan
menyumbang devisa tertinggi dibandingkan sektor lainnya.
Negara tersebut mengelola sumber daya kelautan berupa minyak
dan gas (Migas) di laut lepas (offshore), perikanan budidaya, perikanan
tangkap (termasuk ikan laut dalam atau deep sea), pelabuhan, dan
lain-lain berdasarkan data dan informasi spasial yang komplet dan
tentu saja terkini. Dengan demikian, pengambil keputusan mampu

Merencanakan Tata Ruang Laut 223


mengeluarkan kebijakan yang akurat dalam mengelola sumber daya
alamnya secara kompetitif, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan.
Norwegia juga memiliki tata ruang laut yang mutakhir. Wilayah
lautnya telah dialokasikan ruangnya untuk industri perikanan tang-
kap, perikanan budidaya, transportasi laut, dan eksplorasi Migas se-
suai peruntukannya sehingga tidak ada konflik antarpengguna.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia. Bukankah kita memiliki
sumber daya kelautan dan perikanan yang berlimpah ruah, jauh di
bawah kekayaan alam yang dimiliki Norwegia? Coba lihat fakta berikut
ini. Pantai Indonesia adalah terpanjang kedua di dunia setelah Kanada,
yakni sekitar 99.093 km. Tak hanya itu saja. Indonesia juga dinobatkan
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi
sumber daya alam pesisir, lautan, dan kemaritiman yang sangat besar.
Keragaman hayati laut kita juga paling lengkap di seluruh dunia.

4
Potensi tersebut tersebar di perairan laut seluas 6.315.222 km2. Wilayah
Nusantara juga ditaburi sekitar 17.504 pulau dan dikelilingi laut yang
aduhai memikat dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah ruah.
Potensi ini jelas memiliki peranan sangat vital dalam memajukan taraf
hidup masyarakatnya.
Namun mengapa Indonesia yang dikaruniai sumber daya kelaut-
an dan perikanan yang sangat kaya raya itu belum mampu menye-
jahterakan warganya? Kenapa sumber devisa dari sektor kelautan dan
perikanan masih relatif kecil kontribusinya? Sebelum menjawab per-
tanyaan tersebut, mari kita lihat fenomena menarik berikut ini.

Peran Sangat Penting


Dalam perencanaan ruang laut/rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (WP-3-K), data dan informasi (spasial)
memiliki peranan yang sangat penting, karena merupakan dasar
dari seluruh proses pengambilan keputusan dan sekaligus sebagai
alat dalam melakukan evaluasi terhadap hasil perencanaan yang
telah dilaksanakan. Perencanaan ruang laut/rencana zonasi WP-
3-K yang baik membutuhkan data yang tepat, akurat, dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Membangun Poros Maritim Dunia


224 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Kesalahan data yang digunakan mengakibatkan kesalahan
dalam pengambilan keputusan, sehingga hasil perencanaan ruang
laut/rencana zonasi WP-3-K menjadi tidak berguna. Dengan kata lain,
ketelitian/keakuratan data menentukan tingkat ketepatan dalam
pengambilan keputusan. Sebaliknya, data yang tak akurat akan
menghasilkan kebijakan yang melenceng. Ingatlah pepatah garbage
in garbage out. Jika input data dalam perencanaan salah atau tidak
sesuai dengan kebutuhan, maka informasi yang dihasilkan keliru.
Akibatnya pengambilan keputusan menjadi salah.
Pentingnya data dan informasi spasial yang akurat sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan disajikan pada Gambar berikut ini.

Data dan Informasi WP3K Skenario alokasi ruang

Pengambil keputusan Analisis data


Peng-

4
ambilan
keputusan Survei dan
analisis data
Perekayasa, ilmuwan

Komunikasi
perencanaan
Surveyor,
pengelola data,
sistem analisis,
dll Database informasi

subandono.diposaptono@yahoo.com
Kedudukan data dan informasi dalam pengambilan keputusan.

Di dalam struktur piramida tersebut menunjukkan, data spasial


dan nonspasial (database informasi) yang diperoleh dari hasil
pengukuran merupakan awal dari semua kegiatan. Data semacam ini
menjadi pondasinya. Dari data inilah para perekayasa dan ilmuwan
mengolahnya melalui pemodelan maupun simulasi. Hasilnya, berupa
informasi yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Dalam perencanaan ruang laut/rencana zonasi WP-3-K, informasi
tersebut dapat berupa skenario atau alternatif rencana tata ruang
laut/rencana zonasi WP-3-K yang disertai dengan rencana tindak
lanjut yang diperlukan. Berdasarkan struktur piramida tersebut,

Merencanakan Tata Ruang Laut 225


dengan adanya data dan informasi yang tepat, akurat, dan dapat
dipertanggungjawabkan maka diharapkan dapat terwujud wilayah
laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang memiliki daya ikat dan daya
pikat tinggi.
Meskipun data dan informasi memiliki peranan yang sangat
penting dalam perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi WP-
3-K, namun sampai saat ini pelaksanaan penyusunan dokumen
rencana tata ruang laut masih mengalami berbagai masalah dalam
penyediaannya. Permasalahan utamanya adalah minimnya data yang
tersedia, dan tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan.
Hal ini dapat dilihat dari capaian penyusunan rencana tata ruang
laut. Sampai sejauh ini mayoritas pemerintah provinsi belum menyu-
sun rencana tata ruang laut yang ditetapkan berdasarkan peraturan
daerah (Perda). Dari 34 provinsi, ternyata baru DI Yogyakarta, Jatim,

4
Jabar, Jateng, dan Maluku Utara yang memiliki Perda tata ruang laut.
Itupun hanya wilayah perairan 4-12 mil.

Data dan Informasi yang Dibutuhkan


Data dan informasi spasial yang dibutuhkan dalam penyusunan
rencana tata ruang laut meliputi 13 dataset, yakni bathimetri, geologi
dan geomorfologi laut (substrat dasar laut), oseanografi, ekosistem,
sumber daya ikan (demersal dan pelagis), penggunaan lahan, peman-
faatan wilayah laut eksisting, infrastruktur, kesesuaian lahan/perairan
laut, infrastruktur, demografi dan sosial, ekonomi wilayah, serta risiko
bencana dan pencemaran. Masing-masing dataset memiliki satu atau
beberapa jenis peta tematik. Selain itu, untuk menentukan alokasi ru-
ang untuk reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diperlu-
kan tambahan data geoteknik.
Data atau peta tematik dapat diperoleh melalui pengumpulan
data sekunder dari instansi terkait. Apabila data sekunder yang
dikumpulkan tidak tersedia atau tidak memenuhi syarat kualitas dan
kuantitas, maka perlu dilakukan survei lapangan. Survei ini untuk
melengkapi data yang belum sesuai kebutuhan.
Survei untuk daerah yang luas membutuhkan biaya yang relatif

Membangun Poros Maritim Dunia


226 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
mahal karena jumlah sampel pengukuran harus mewakili luasan
wilayah. Untuk mengatasi hal tersebut, pengumpulan data perlu
dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih murah, di
antaranya menggunakan analisis citra satelit, pemodelan matematik,
survei lapangan, atau kombinasi ketiganya. Metode pengumpulan
data spasial selengkapnya dapat dikelompokkan menjadi empat
bagian seperti terlihat pada Gambar berikut ini.

Teknologi pengumpulan data dan


subandono.diposaptono@yahoo.com
informasi untuk mendukung penyusunan
tata ruang laut/rencana zonasi.

Merencanakan Tata Ruang Laut 227


Pertama, analisis citra satelit dilengkapi dengan groundcheck
lapangan. Analisis citra satelit dapat digunakan untuk memperoleh
data spasial di daerah yang luas sesuai dengan wilayah perencanaan.
Jenis citra satelit yang digunakan di antaranya MODIS, SeaWiFS, dan
NOAA-AVHRR untuk identifikasi suhu permukaan laut dan konsentrasi
klorofil. Sementara itu, Citra Landsat TM, Alos, Quickbird, dan World-
View digunakan untuk mengidentifikasi ekosistem pesisir (terumbu
karang, lamun, mangrove), substrat dasar laut, pemanfaatan laut
eksisting, dan total suspended solid (TSS).
Untuk estimasi data suhu permukaan laut dan konsentrasi
klorofil tiap grid pada citra satelit, dilakukan dengan cara transformasi
matematis menggunakan software pengolah citra satelit. Sedangkan
untuk data ekosistem pesisir dan substrat dasar laut, dilakukan analisis
citra satelit untuk klasifikasi jenis ekosistem dan substrat dasar laut,

4
dengan cara delineasi batas/poligon.
Guna mendapatkan data yang valid, perlu dilakukan ground check
dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Ground check untuk
data suhu permukaan laut, klorofil, dan TSS dilakukan berdasarkan
keragaman warna atau variabilitas data pada hasil analisis citra satelit,
sehingga setiap interval nilainya dapat terwakili secara proporsional.
Ground check untuk data ekosistem pesisir dan substrat dasar laut
dilakukan berdasarkan keterwakilan setiap jenis ekosistem pesisir dan
jenis substrat dasar laut.
Tujuan ground check adalah untuk mendapatkan data pengukur-
an lapangan yang digunakan untuk mengoreksi dan memvalidasi
hasil analisis citra satelit. Sehingga dihasilkan data suhu permukaan
laut dan klorofil yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Dari data yang sudah divalidasi sinilah dilakukan penyusunan
peta kontur suhu permukaan laut dan klorofil dengan cara interpolasi
nilai-nilai suhu permukaan laut dan klorofil di setiap titik-titik grid yang
ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan.
Untuk data ekosistem pesisir dan substrat dasar laut, hasil ground
check digunakan untuk validasi objek dan memperbaiki batas poligon
untuk setiap jenis ekosistem pesisir dan substrat dasar laut yang di-

Membangun Poros Maritim Dunia


228 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
hasilkan dari interpretasi citra satelit.
Kedua, pemodelan matematik. Ini merupakan pendekatan
spasial yang digunakan untuk mengetahui distribusi spasial
beberapa parameter oseanografi berdasarkan grid di seluruh wilayah
perencanaan. Ukuran grid maksimum ditentukan berdasarkan
skala perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi WP-3-K, dimana
untuk provinsi menggunakan grid maksimal 2,5 km, dan 500
meter. Parameter oseanografi yang dapat dimodelkan di antaranya
gelombang, arus, pencemaran, sedimen, dan TSS.
Untuk model matematika refraksi gelombang, distribusi spasial
tinggi dan arah gelombang untuk RZWP-3-K Provinsi menggunakan
grid maksimum 2,5 km dan 500 meter. Dari sini diperoleh nilai tinggi
gelombang di setiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan
tersebut. Nilai tinggi gelombang di setiap titik-titik grid tersebut lalu

4
diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur isoline tinggi gelombang
dan diklasifikasi dengan interval 0,1 meter.
Untuk arus, distribusi spasial pola arus (setiap grid maksimum
2,5 km dan 500 meter untuk RZWP-3-K Provinsi) di seluruh perairan
wilayah perencanaan disimulasikan dengan model matematik hidro-
dinamika pola arus. Hasilnya berupa nilai kecepatan dan arah arus di
setiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perenca-
naan.
Untuk memvalidasi hasil pemodelan hidrodinamika pola arus,
dilakukan kalibrasi dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada
kondisi pasang tinggi (spring tide) selama 3 hari 3 malam setiap jam
yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran pasang surut. Setelah
itu, nilai kecepatan arus di setiap titik-titik grid yang diperoleh dari hasil
pemodelan matematik diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur
isoline kecepatan arus dan diklasifikasi dengan interval 0,05 m/detik.
Ketiga, kombinasi analisis citra satelit dan pemodelan mate-
matik. Analisis citra satelit dan pemodelan matematik dapat dikombi-
nasikan untuk mendapatkan data daerah penangkapan ikan pelagis.
Analisis citra satelit dilakukan untuk mendapatkan data suhu permu-
kaan laut, klorofil, dan sea surface height (SSH), sedangkan pemodelan

Merencanakan Tata Ruang Laut 229


matematik dilakukan untuk mendapatkan data arus. Analisis citra
satelit untuk data suhu permukaan laut dan klorofil telah dijelaskan
sebelumnya. Untuk analisis DPI pelagis, digunakan citra Modis untuk
periode perekaman minimal 5 tahun.
Data SSH yang digunakan berasal dari Satelit Jason atau Topex/
Poseidon yang disimpan di basis data The NOAA GEO-IDE UAF ERD-
DAP berupa data AVISO Altimetry and Niiler Climatology, Global, dan
SSH. Pengolahan dan analisis data SSH dilakukan untuk mendapat-
kan informasi tinggi muka laut. Selanjutnya, data tersebut diturunkan
menjadi informasi pergerakan arus laut.
Untuk mendapatkan informasi spasial daerah penangkapan
ikan (DPI) pelagis, data suhu permukaan laut, klorofil, SSH, serta arus
diolah dan disimulasikan menggunakan model matematik dengan
pendekatan Knowledge-Based Expert Systems (KB-ES). Dari sinilah

4
dihasilkan data lokasi DPI pelagis harian, mingguan, bulanan, musiman,
dan tahunan dalam bentuk raster dan perubahannya. Data lokasi DPI
ini kemudian diolah dan dianalisis menggunakan Sistem Informasi
Geografis (GIS) sehingga dihasilkan pola sebaran DPI pelagis untuk
kurun waktu tertentu. Untuk mengetahui akurasi hasil pemodelan DPI
pelagis, dilakukan validasi menggunakan data hasil survei densitas
ikan di lapangan.
Keempat, pengukuran langsung atau survei lapangan. Survei
lapangan dilakukan untuk memperoleh data dasar dan tematik yang
tidak dapat diperoleh melalui analisis citra satelit dan pemodelan
matematik. Survei atau pengukuran langsung di lapangan membu-
tuhkan biaya tinggi karena pengukurannya harus mewakili wilayah
perencanaan. Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan antara
lain bathimetri, kecerahan, salinitas, pH, dan data geoteknik.
Sebagai contoh, survei bathimetri dilakukan dengan cara pe-
meruman menggunakan alat Echosounder di atas perahu motor. Un-
tuk provinsi dengan skala perencanaan 1:250.000 dilakukan pemeru-
man dengan interval lajur maksimal 2,5 km. Untuk skala perencanaan
1:50.000 dilakukan pemeruman dengan interval lajur maksimal 500
meter. Untuk skala perencanaan 1:25.000 dilakukan pemeruman den-

Membangun Poros Maritim Dunia


230 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
gan interval lajur maksimal 250 meter.
Berdasarkan hasil pemeruman tersebut, lalu dilakukan interpolasi
titik-titik kedalaman laut menggunakan software GIS dengan metode
Inverse Distance Weighed (IDW) sehingga menghasilkan kontur
bathimetri. Untuk provinsi, kontur bathimetri digambarkan dengan
interval kontur 0, 5, 10, 20, 50, dan 100 (Sesuai SNI LPI 1:250.000).
Sedangkan untuk skala 1:50.000, kontur bathimetri digambarkan
dengan interval kontur 0, 2, 5, 10, 15, 20, 40, 50, 70, dan 100. Peta
bathimetri digambarkan dengan kelas kedalaman tersebut sampai
jarak 4 mil apabila belum mencapai kedalaman 100 m, atau sampai
kedalaman 100 m apabila sebelum jarak 4 mil telah dijumpai
kedalaman lebih dari 100 m.
Data spasial yang digunakan dalam penyusunan rencana tata
ruang laut harus memenuhi standar kualitas dan kuantitas sesuai

4
yang dibutuhkan, meliputi skala, akurasi geometrik, kedetilan
informasi, kemutakhiran data, dan kelengkapan atribut. Selain itu,
data dan informasi spasial harus memenuhi kaidah One Map Policy,
dimana data dan informasi spasial harus dibangun secara bersama
menjadi data spasial yang memiliki satu format, satu referensi, satu
basis data (geodatabase), dan satu geoportal.
Yang dimaksud satu format adalah data spasial yang digunakan
harus memiliki standar format yang sama yaitu shapefile. Satu
referensi berarti data harus mempunyai acuan referensi geografis
yang sama sehingga dapat dengan mudah diintegrasikan, yaitu
Universal Transverse Mercator (UTM).
Satu database berarti data dan informasi disimpan dalam sistem
geodatabase yang terintegrasi dan mengacu pada katalog unsur
geografis nasional sehingga tidak terjadi duplikasi dalam perolehan
dan pengelolaan. Satu geoportal memiliki arti informasi spasial harus
dapat diintegrasikan dalam jaringan data spasial nasional.
Dari sisi skala, rencana tata ruang laut di tingkat provinsi
menggunakan skala minimal 1:250.000. Setelah melalui proses
pengolahan melalui Sistem Informasi Geografis (GIS), data dan
informasi spasial yang telah dikumpulkan kemudian disajikan secara

Merencanakan Tata Ruang Laut 231


kartografis dalam bentuk peta-peta tematik.

Memerlukan Berbagai Parameter


Penyusunan rencana tata ruang laut/rencana zonasi memerlu-
kan berbagai input berupa data dan informasi spasial tematik. Data
dan informasi yang dibutuhkan meliputi parameter-parameter yang
digunakan untuk menentukan alokasi ruang laut. Di antaranya, infor-
masi, bathimetri, geologi dan geomorfologi laut, gelombang, arus,
suhu permukaan laut, nilai kecerahan (turbiditas), total suspended
solid (TSS), salinitas, pH, kandungan klorofil, kandungan plankton
dalam air laut, pemanfaatan laut eksisting, penggunaan lahan, dan
status lahan.
Di samping itu, parameter lainnya adalah ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil (terumbu karang, lamun, mangrove), sumber daya

4
ikan demersal, sumber daya ikan pelagis, risiko pencemaran, dan data
deposit pasir laut. Berikut ini uraian singkat mengenai parameter-
parameter tersebut.

1. Bathimetri
Bathimetri merupakan data kedalaman laut yang ditampilkan
dalam bentuk kontur isoline. Bathimetri memberikan gambaran
tentang morfologi dasar laut (perairan). Data bathimetri diperoleh
dari pengukuran lapangan menggunakan pemeruman echosounder
yang terintegrasi dengan global position system (GPS) pada titik-titik
tertentu.
Data pengukuran lapangan diolah menggunakan interpolasi
spasial sehingga menghasilkan garis kontur kedalaman laut. Garis
kedalaman tersebut digunakan untuk membuat peta bathimetri yang
memberikan gambaran topografi dasar laut.
Informasi kedalaman laut sangat penting untuk menentukan alo-
kasi pola ruang laut. Setiap peruntukan di laut memiliki karakteristik
masing-masing sesuai dengan kriteria kesesuaian pemanfaatannya.
Di antaranya alokasi ruang untuk pariwisata, pelabuhan, pertambang-
an, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan pelagis, in-

Membangun Poros Maritim Dunia


232 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dustri maritim, konservasi, alur, serta reklamasi. Selain itu, informasi
bathimetri juga dapat digunakan untuk meningkatkan eksplorasi dan
memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautan.
Data bathimetri menjadi salah satu sumber data untuk analisis
spasial kesesuaian wilayah untuk kegiatan budidaya pantai seperti
untuk informasi lokasi yang baik untuk pemasangan keramba apung
di laut. Data bathimetri juga dibutuhkan untuk menganalisis daerah
penangkapan ikan khususnya untuk ikan demersal.

2. Geologi dan Geomorfologi Laut


Data geologi dan geomorfologi laut merupakan bagian penting
dari dasar pembuatan rencana tata ruang laut. Data geologi laut
berupa komposisi substrat dasar laut. Sedangkan data geomorfologi
laut berupa data bentuk lahan di dasar laut.

4
Data geologi dan geomorfologi laut dapat diperoleh dari
interpretasi citra penginderaan jauh dan dikomparasikan dengan
pengukuran lapangan. Citra yang digunakan memperhatikan daya
tembus spektral citra pada kolom air dan hal-hal yang mempengaruhi
daya tembus, seperti kekeruhan. Resolusi spasial citra memperhatikan
output peta yang akan dihasilkan. Pengukuran lapangan digunakan
untuk mengambil data yang tidak dapat diperoleh dari interpretasi
citra, serta uji akurasi (ground check) untuk validasi hasil interpretasi.
Data geologi dan geomorfologi laut tersebut diolah menjadi peta
geologi dan geomorfologi dasar laut. Kedua informasi tersebut diman-
faatkan untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, industri maritim, konservasi, alur laut, serta reklamasi.

3. Suhu Permukaan Laut (SPL)


SPL merupakan salah satu parameter penting untuk menentu-
kan rencana tata ruang laut. Perbedaan suhu terjadi secara vertikal dan
horizontal. Nilai SPL bervariasi secara spasial dan temporal sehingga
berpengaruh terhadap habitat ikan dan pola migrasi biota laut (ikan
pelagis). Di samping itu, nilai SPL juga dapat digunakan untuk iden-

Merencanakan Tata Ruang Laut 233


tifikasi cuaca/iklim, pencemaran minyak, dan pencemaran panas se-
hingga data suhu menjadi indikator perubahan kondisi ekosistem.
Ikan bersifat poikilotherm di mana suhu tubuhnya dipengaruhi
suhu lingkungannya. Oleh karena itu setiap spesies ikan memiliki suhu
maksimum (batas toleransi) habitatnya. Suhu terutama mempenga-
ruhi aktivitas metabolisme ikan, kandungan oksigen terlarut dan
proses reproduksi ikan.
Ikan merupakan hewan berdarah dingin. Suhu tubuhnya selalu
menyesuaikan suhu sekitarnya. Hewan ini mampu mengenali dan
memilih kisaran suhu tertentu yang bisa beraktivitas secara maksimum
sehingga dapat mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Suhu
perairan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pengambilan
makanan, aktivitas tubuh (kecepatan renang), serta rangsangan
syaraf.

4
Suhu air laut juga dapat mempercepat atau memperlambat
proses pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama
dan setelah pemijahan menentukan “kekuatan keturunan” dan daya
tahan larva pada berbagai spesies ikan.
Suhu ekstrem selama musim pemijahan dapat memaksa ikan
memijah ke daerah lain. Dalam jangka panjang, perubahan suhu
dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan dan fishing
ground secara vertikal.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat
karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh
angin, pada lapisan teratas sampai kedalaman sekitar 50 - 70 m terjadi
pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat, sekitar
28 °C.
Lapisan teratas atau lapisan vertikal ini bisa menjadi lebih tebal
lagi akibat pengaruh arus dan pasang surut. Di perairan dangkal,
lapisan vertikal ini sampai ke dasar laut.
Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam
yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
atau disebut termoklin (lapisan diskontinyuitas suhu). Suhu pada
lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin

Membangun Poros Maritim Dunia


234 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dan gelombang (dikenal sebagai lapisan percampuran atau mixed
layer).
Mixed layer berperan dalam kehidupan ikan-ikan pelagis, yakni
secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva. Sementara
itu, lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan
hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termo-
klin ini bergerak ke atas dengan gradien yang tidak terlalu tajam. Aki-
batnya, massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan
atas dari kedalaman termoklin yang dipengaruhi pergerakan permu-
kaan, pasang surut, dan arus.
Di bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan
dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman termoklin di Samudra
Hindia mencapai 120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus

4
ekuatorial selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.
Data SPL diperoleh dari hasil ekstraksi citra, analisis spasial
yang dikomparasikan dengan pengukuran lapangan (groundcheck
pengambilan sampel), dan interpolasi spasial. Data tersebut
direpresentasikan dengan garis kontur isotherm rentang 20 – 35 oC
untuk perairan Indonesia/tropis, dengan interval 0,5 oC. Pemanfaatan
data SPL dalam pembuatan rencana tata ruang laut adalah sebagai
salah satu parameter dalam menentukan alokasi ruang untuk
pariwisata, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap pelagis.

4. Klorofil
Fitoplankton merupakan produsen primer dari rantai makanan
yang ada di laut. Fitoplankton memiliki kandungan klorofil warna
hijau untuk melakukan fotosintesis. Karakteristik klorofil yang
memantulkan spektral hijau menyebabkan konsentrasi klorofil dapat
diestimasi melalui citra satelit. Oleh karena itu, tingginya konsentrasi
klorofil menjadi representasi dari tingginya kelimpahan fitoplankton
dan sebaliknya.
Besarnya kandungan klorofil dalam air laut diukur secara lang-
sung (ground check) dengan mengambil air contoh (sampel). Data

Merencanakan Tata Ruang Laut 235


ground check hasil uji laboratorium digunakan untuk validasi data kon-
sentrasi klorofil hasil interpretasi citra satelit.
Keberadaan fitoplankton dijadikan sebagai dasar terbentuknya
rantai makanan pada suatu perairan. Tingginya kelimpahan
fitoplankton menunjukkan tingginya daya dukung suatu perairan
terhadap produser sekunder dan sebaliknya. Kelimpahan ikan di suatu
perairan sebagai produser sekunder bergantung kepada kelimpahan
fitoplankton. Pada umumnya wilayah perairan yang mengandung
kelimpahan fitoplankton yang tinggi menjadi daerah pemijahan ikan.
Oleh sebab itu informasi sebaran konsentrasi klorofil dapat digunakan
untuk menentukan alokasi pola ruang bagi perikanan budidaya dan
perikanan tangkap pelagis.

5. Cahaya

4
Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan
sebelum matahari terbenam. Setelah matahari tenggelam, ikan-ikan
ini menyebar pada kolom air. Lain lagi setelah matahari terbit, ikan-
ikan ini tenggelam ke lapisan lebih dalam. Ikan demersal biasanya
menghabiskan waktu pada siang hari di dasar. Lalu, naik dan menyebar
pada kolom air pada malam hari.
Cahaya berpengaruh terhadap pemijahan dan larva. Jumlah
cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan.
Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak
langsung. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik
yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga
mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan
pelagis lebih banyak pada malam hari dibandingkan siang hari.

6. Kecerahan
Nilai kecerahan (berkorelasi dengan indeks kekeruhan air) dapat
dijadikan parameter untuk mengukur kedalaman air. Nilai kecerahan
juga dapat dijadikan indikator kandungan oksigen, bahan organik dan
anorganik, serta kandungan klorofil dalam air.
Nilai kecerahan diperoleh dari pengukuran lapangan dengan

Membangun Poros Maritim Dunia


236 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
menggunakan secchi disc. Apabila kualitas kecerahan air dinyatakan
keruh, maka kandungan organik ataupun anorganik air laut tinggi,
sedangkan kandungan oksigen dalam air menurun. Data kecerahan
direpresentasikan dengan menggunakan kontur isoline pada rentang
1 - 20 meter dengan interval kontur kecerahan sebesar 1 meter.
Kecerahan perairan juga bisa menjadi indikator kualitas perairan.
Pemanfaatan data kecerahan dalam pembuatan rencana tata ruang
laut adalah sebagai salah satu parameter dalam menentukan alokasi
ruang untuk pariwisata dan perikanan budidaya.

7. Salinitas
Salinitas merupakan banyaknya kadar garam pada setiap 1 kg air
laut. Salinitas setiap tempat memilik variasi tersendiri. Hal tersebut di-
pengaruhi oleh iklim berkaitan dengan tinggi rendahnya penguapan

4
dan keseimbangan terhadap curah hujan di suatu wilayah.
Perolahan data distribusi salinitas di laut dilakukan dengan peng-
ukuran langsung di lapangan. Pengukuran dapat dilakukan langsung
dengan alat dan diukur di lapangan atau dengan mengambil sampel
air untuk diuji laboratorium. Nilai salinitas yang diperoleh pada titik
sampel diolah dengan interpolasi spasial sehingga memberikan gam-
baran batas yang tegas pada interval perubahan salinitas.
Pemanfaatan informasi spasial sebaran salinitas di laut
sangat penting untuk membantu menentukan pola ruang dalam
penyusunan tata ruang laut. Penggunaan data tersebut antara
lain untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, konservasi, industri maritim, alur laut, serta reklamasi.
Salinitas merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi
tekanan osmotik pada ikan sehingga variasi salinitas akan
mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan.

8. pH
Kandungan senyawa dalam air laut sangat berpengaruh terhadap
ekosistem laut di sekitarnya. Oleh sebab itu pengukuran kadar senya-

Merencanakan Tata Ruang Laut 237


wa pada air laut penting dilakukan guna menentukan pemanfaatan-
nya. Parameter kimia yang perlu untuk diketahui antara lain pH.
Kadar senyawa yang terkandung di dalam air laut dapat diketahui
melalui pengukuran langsung di lapangan, analisis laboratorium, serta
interpolasi spasial sehingga diperoleh sebaran kadar senyawa dalam
air laut. Informasi tersebut berfungsi untuk menentukan alokasi pola
ruang bagi perikanan budidaya.

9. Total Suspended Solid (TSS)


TSS di laut merupakan salah satu parameter fisik yang memiliki
peran penting dalam penentuan alokasi ruang. TSS berupa residu pa-
datan total yang tertahan dalam ukuran kecil (maksimal 2 µm). Kon-
senterasi TSS di perairan bersifat dinamis, tergantung kondisi iklim dan
hidro-oseanografi. Nilai TSS terkait erat dengan kekeruhan perairan

4
(turbiditas) karena dapat menghalangi cahaya untuk fotosintesis dan
visibilitas perairan. Pengukuran TSS dapat dilakukan melalui beberapa
tahap. Pertama, identifikasi berdasarkan visibilitas dan variabel nilai
tertentu permukaan air melalui interpretasi citra penginderaan jauh.
Tahapan selanjutnya adalah uji akurasi (ground check) pada wilayah
yang dikaji berdasarkan variabilitas nilai yang dikaji.
Hasil dari uji validasi ke lapangan diolah dengan menggunakan
interpolasi spasial sehingga diperoleh batas sesuai nilai yang
digunakan. Informasi tersebut disajikan dalam bentuk peta TSS.
Informasi TSS digunakan untuk menentukan alokasi ruang bagi
pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan budidaya, serta
perikanan tangkap demersal dan pelagis.

10. Gelombang
Gelombang laut merupakan pergerakan air laut secara vertikal
akibat adanya arus laut. Gelombang memiliki peranan penting dalam
ekosistem laut dan pesisir. Fungsi dari dinamika gelombang laut
antara lain untuk menjaga kestabilan suhu dari iklim dunia, sebagai
sarana pertukaran gas di laut, meningkatkan keanekaragaman hayati,
serta membantu proses pembentukan pantai.

Membangun Poros Maritim Dunia


238 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Gelombang membantu meminimalkan suhu ekstrem di
permukaan Bumi dengan mekanisme mendistribusikan air dingin dari
kutub. Pada waktu bersamaan, air hangat bergerak ke arah yang dingin.
Gerakan gelombang tersebut berperan dalam menjaga kestabilan
suhu lingkungan. Di samping itu, gerakan gelombang menyebabkan
terjadinya pertukaran gas antara oksigen dengan karbondioksida
di permukaan gelombang. Pertukaran gas tersebut penting untuk
kelangsungan hidup biota laut.
Peran gelombang dalam meningkatkan keanekaragaman hayati
adalah kemampuan gelombang laut yang memungkinkan biota
(khususnya larva) terangkut ke tempat lain dengan jarak jauh. Hal
tersebut dapat memicu terjadinya evolusi karena adaptasi dari larva
ke lingkungan yang baru.
Pembentukan pantai juga tidak terlepas dari aktivitas gelom-

4
bang laut. Gerakan gelombang menyebabkan pasir di bawah permu-
kaan laut tersuspensi dalam air laut. Akibatnya, pasir bisa saja terbawa
ke pantai.
Pengaruh lainnya dalam pembentukan pantai adalah terjadi-
nya pengikisan di wilayah pantai akibat gelombang. Karakteristik
gelombang menjadi salah satu faktor yang akan menentukan ter-
bentuknya morfologi pantai.
Data gelombang diperoleh dari pengukuran lapangan
menggunakan Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP) bersensor
tekanan untuk merekam tinggi dan periode gelombang dengan
memanfaatkan gelombang akustik yang berlangsung dalam waktu
tertentu. Hasil pengukuran lapangan diolah menjadi model matematis
refraksi gelombang yang kemudian diinterpolasi.
Hasil interpolasi tersebut diubah menjadi infromasi spasial beru-
pa peta gelombang. Peta gelombang dapat dimanfaatkan untuk me-
nentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan, pertambangan,
perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan pelagis, indus-
tri maritim, alur laut, serta reklamasi.

Merencanakan Tata Ruang Laut 239


11. Arus Laut
Arus laut merupakan dinamika pergerakan air laut baik secara
vertikal maupun horizontal karena adanya perbedaan densitas atau
massa air. Di samping itu terdapat pengaruh dari gaya gravitasi (bumi,
bulan, dan matahari), gaya Coriolis, perbedaan tekanan udara, dan
gaya tektonik. Arus laut adalah kekuatan pendorong utama untuk
menghubungkan populasi laut yang terisolasi secara fisik melalui
gerakan larva. Arus adalah penggerak utama konektivitas.
Arus menjadi parameter penting karena dapat digunakan se-
bagai indikator migrasi ikan. Daerah pertemuan dua arus biasanya
menjadi daerah penangkapan ikan jenis tertentu. Terbentuknya arus
Eddies di suatu perairan bisa menjadi indikator kelimpahan jenis ikan
tertentu.
Arah dan kecepatan arus berpengaruh terhadap transport telur

4
ikan pelagis, perpindahan telur ke area bertelur ikan, hingga menuju
area feeding ground (area untuk mencari makanan). Setiap fase re-
produksi ikan memiliki kriteria lingkungan masing-masing, seperti
pada fase telur dan anak ikan. Lingkungan yang mendukung adalah
perairan dengan arus yang lebih tenang.
Fungsi lainnya, arus digunakan sebagai orientasi dan penentu-
an arah oleh ikan untuk melakukan migrasi. Arus pasang surut yang
terjadi di suatu tempat juga mempengaruhi perilaku ikan. Arus ber-
pengaruh terhadap transport plankton, sehingga akan menyebabkan
perpindahan konsentrasi ikan di laut sesuai dengan arah arus yang
membawa plankton.
Menurut Lavastu dan Hayes (1981), terdapat hubungan arus
dengan penyebaran ikan. Arus mengalihkan telur-telur, anak-anak
ikan petagis, dan spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery
ground (daerah pembesaran) serta ke feeding ground (tempat mencari
makan). Migrasi ikan-ikan dewasa dipengaruhi arus, sebagai alat
orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami.
Arus juga dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa.
Secara tidak langsung, arus mempengaruhi pengelompokan makanan,
atau faktor lain yang membatasinya, seperti suhu.

Membangun Poros Maritim Dunia


240 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Arus mempengaruhi lingkungan alami ikan dan secara tidak
langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai
pembatas distribusi geografisnya. Jadi, dengan mengetahui nilai
suhu, salinitas, dan arus pada perairan, kita dapat menganalisis
fenomena potensi ikan di suatu perairan.
Tak hanya itu. Fishing ground yang paling baik biasanya
terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling
dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan
kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti arus Eddies), selain
berfungsi sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, juga
menyebabkan pengumpulan ikan.
Pengumpulan ikan-ikan komersial biasanya berada pada tengah-
tengah arus Eddies. Akumulasi plankton dan telur ikan juga berada
di tengah-tengah antisiklon Eddies. Pengumpulan ini bisa terkait

4
dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus Eddies melalui rantai
makanan.
Arus juga berpengaruh terhadap perubahan fisik pantai. Arus
yang menuju ke daratan akan menyebabkan abrasi dan akresi pada
pantai. Informasi arus diperoleh dari pengukuran lapangan dalam
waktu tertentu sehingga diperoleh data karakteristik arus suatu
wilayah.
Data arus laut dapat diperoleh melalui pengukuran lapangan. Ha-
sil pengukuran lapangan diolah untuk kalibrasi model hidrodinamika
pola arus yang kemudian dilakukan interpolasi spasial. Interpolasi
akan menghasilkan informasi arus berdasarkan kecepatan dan arah-
nya. Informasi tersebut direpresentasikan pada peta arus yang ber-
fungsi untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, konservasi, industri maritim, alur laut, serta reklamasi.

12. Ekosistem Mangrove


Peta ekosistem mangrove digunakan sebagai alokasi ruang untuk
pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan budidaya, perikanan
tangkap demersal, dan lain-lain. Peta ekosistem mangrove juga dapat

Merencanakan Tata Ruang Laut 241


digunakan untuk melihat kualitas suatu perairan. Dalam menentukan
alokasi ruang pada ekosistem mangrove diperlukan interpretasi
citra satelit, ground check survei lapangan untuk identifikasi tutupan
mangrove dan kerapatan batang.

4 Kelompok ikan penghuni mangrove antara lain udang, gelodok


(Periopthalmus sp.), belanak (Mugilidae), kuweh (Carangidae), kapasan,
lontong (Gerreidae), kekemek, gelama, krot (Scianidae), barakuda, alu-alu,
tancak (Sphyraenidae), dan Famili Exocietidae.

13. Ekosistem Lamun


Peta ekosistem lamun digunakan untuk penentuan alokasi ruang
untuk pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan budidaya,
perikanan tangkap demersal, dan lain-lain. Peta ekosistem lamun juga
dapat digunakan untuk melihat kualitas suatu perairan.
Dalam menentukan alokasi ruang pada ekosistem lamun
diperlukan interpretasi citra satelit, ground check survei lapangan
dengan menggunakan transek kuadran untuk mengetahui sebaran,
luas, dan kondisi padang lamun (presentase tutupan lamun, komposisi
jenis, dan kerapatan jenis)

Membangun Poros Maritim Dunia


242 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Kelompok ikan penghuni lamun antara lain baronang (Siganus sp.), botana
(Acanthurus spp.), kakatua (Scarus spp.), jenggotan (Parapeneus spp.), bulu
babi (Deadema spp.), pari (Trygonoptera ovalis), teripang (Holothuria spp.),

4
rajungan (Portunus spp.), udang (Penaeus spp.), penyu hijau (Chelonia mydas),
duyung/dugong (Dugong dugong), dan manate (Trichechus manatus).

14. Ekosistem Terumbu Karang

Kelompok ikan penghuni terumbu karang antara lain kepe-kepe (Chaetodon


sp.), buntal (Arothron sp.), licin/Keling Asli (Thalassoma sp.), betok/Dakocan
(Chromis sp.), pelok nila (Gomphosus sp.), monyong asli (Forcipiges longfrostis),
kukuniran/kenari/trompet kuning (Epibulus insidiator), kuro (Paragobiodon
sp.), dan pello (Stethojulis axillaris).

Merencanakan Tata Ruang Laut 243


subandono.diposaptono@yahoo.com

Membangun Poros Maritim Dunia


244 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Dari hasil pengumpulan data baik melalui survei lapangan
maupun citra satelit maka dapat diketahui lokasi-lokasi yang memiliki
tingkat kelimpahan ikan (mulai dari miskin, sedang, kaya, dan sangat
kaya). Selain itu dengan cara serupa, kita juga dapat mengetahui
kondisi tutupan karang (buruk, sedang, dan baik sekali) di berbagai
lokasi.

4
Metode identifikasi terumbu karang serta jenis dan kelimpahan ikan demersal.

Peta ekosistem terumbu karang digunakan untuk menentukan


alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan
budidaya, perikanan tangkap demersal, dan konservasi. Dalam penen-
tuan wilayah terumbu karang diperlukan pengolahan citra satelit,
ground check melalui Manta Tow dan point transect (lihat gambar di
bawah). Untuk mengetahui sebaran, luas, dan tutupan karang wilayah
terumbu karang yang ada pada suatu wilayah perairan (baik sekali,
baik, sedang, buruk).
Berdasarkan gambar tersebut, terumbu karang dengan persen-
tase tutupan karang bagus sampai sangat bagus (> 50 %) menunjuk-

Merencanakan Tata Ruang Laut 245


kan perairan tersebut memiliki potensi keindahan ekosistem perairan
dangkal, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penentuan alokasi ru-
ang untuk pariwisata bahari.

15. Sumber Daya Ikan Demersal


Sumber daya ikan demersal dapat diperoleh melalui penyelaman
untuk mengidentifikasi jenis dan kelimpahan ikan dan dilakukan
bersamaan dengan survei ekosistem. Peta sumber daya ikan demersal
digunakan untuk menentukan alokasi ruang kawasan penangkapan
ikan demersal.
Ikan demersal adalah kelompok jenis ikan yang habitatnya
berada di bagian dasar perairan, memiliki aktivitas rendah, gerak ruaya
yang tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan tidak terlalu
besar, sehingga penyebarannya relatif merata dibandingkan dengan

4
ikan pelagis. Termasuk ikan demersal antara lain: sebelah, nomei,
peperek, manyung, beloso, biji nangka, gerot-gerot, merah, kakap,
kerapu, lencam, kurisi, swangi, mata besar, ekor kuning, gulamah,
semgeh, cucut hiu, cucut martil, cucut totol, pari kelapa, pari kemang,
pari burung, bawal hitam, bawal putih, kuro, senangin, layur, lidah,
bambangan, beronang kuning, dan beronang lingkis.
Sementara itu, berdasarkan identifikasi kelimpahan ikan (lihat
gambar halaman 245), dapat diketahui tingkat kelimpahan ikan (sa-
ngat kaya, kaya, sedang, miskin). Perairan yang mempunyai kelimpah-
an ikan yang sangat kaya (>25 %) dengan jenis ikan komersial dapat
dijadikan dasar dalam penentuan alokasi ruang untuk perikanan tang-
kap demersal.
Sedangkan perairan yang memiliki kelimpahan ikan yang sangat
kaya (>25 %) dengan jenis ikan yang dilindungi dapat dijadikan dasar
dalam penentuan alokasi ruang untuk kawasan konservasi.
Ikan yang berasosiasi dengan substrat dasar laut pasir berlumpur
berkedalaman laut kurang dari 65 m dan arus tidak terlalu kencang
antara lain rajungan, kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus), dan
Epinephelus stictus. Sementara itu yang berasosiasi dengan substrat
dasar laut berlumpur di antaranya kerang kotok (Polemysoda

Membangun Poros Maritim Dunia


246 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut

Ikan demersal adalah kelompok
jenis ikan yang habitatnya berada di bagian
dasar perairan, memiliki aktivitas rendah, gerak
ruaya yang tidak terlalu jauh dan membentuk
gerombolan tidak terlalu besar, sehingga
penyebarannya relatif merata dibandingkan
dengan ikan pelagis. Termasuk ikan demersal
4
antara lain: sebelah, nomei, peperek, manyung,
beloso, biji nangka, gerot-gerot, merah, kakap,
kerapu, lencam, kurisi, swangi, mata besar, ekor
kuning, gulamah, semgeh, cucut hiu, cucut martil,
cucut totol, pari kelapa, pari kemang, pari
burung, bawal hitam, bawal putih, kuro, senangin,

layur, lidah, bambangan, beronang kuning,
dan beronang lingkis.

Merencanakan Tata Ruang Laut 247


coaxan), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu lilin (Epinephelus
malabaricus), kakap putih, petak, pletekan, tetahan, kanja, pica-
pica, cukil, cabik, siakap, selungsung, ringan (Lates calcalifer dan
Psammoperca waigiensis), gurisi (Nemipterus japonicas), siliman, krokot,
tengkerong, sangeh burung, dan gelomo.
Ikan yang berasosiasi dengan substrat dasar laut berbatu atau
berkerikil adalah Himantura alcockii dan udang. Sedangkan ikan yang
berasosiasi dengan karang mati adalah kerapu lumpur (Epinephelus
coioides).

16. Sumber Daya Ikan Pelagis


Dalam menentukan daerah penangkapan sumber daya ikan
pelagis digunakan analisis citra satelit dengan pendekatan suhu
permukaan laut, klorofil, arus (sea surface heigth anomaly), dan

4
bathimetri. Setelah analisis citra satelit dilakukan maka dilakukan
survei lapangan untuk mengetahui densitas ikan. Peta sumber daya
ikan pelagis digunakan untuk menentukan alokasi ruang perikanan
tangkap pelagis. Informasi yang terdapat dalam peta sumber daya
ikan pelagis adalah sebaran, luas, jenis, dan kelimpahan ikan pelagis.
Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan
permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu
dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan
melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Contoh ikan
pelagis antara lain: tuna, cakalang, tongkol, layang, teri, kembung,
tengiri, marlin, wahoo, tuna, sarden, salmon, trout, ikan teri, barakuda,
lemuru, tembang, japuh, dan kembung.

Upwelling
Ikan pelagis biasanya banyak dijumpai di perairan yang terjadi
upwelling dan front. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari
suatu lapisan dalam ke permukaan. Menurut Barnes dan Hughes
(1988), proses upwelling dapat terjadi dalam tiga bentuk. Pertama,
pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan
seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di

Membangun Poros Maritim Dunia


248 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir
deras ke permukaan.

Proses upwelling atau naiknya massa air laut dari lapisan yang dalam ke permukaan
laut.
4
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya
saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya Coriolis dan
massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh
gaya Coriolis juga. Keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang
kosong” pada lapisan di bawahnya.
Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah
massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut
dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya divergensi
pada perairan laut tersebut.
Ketiga, upwelling juga dapat disebabkan oleh arus yang menjauhi
pantai akibat tiupan angin darat secara terus-menerus selama
beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke
laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang
kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan dapat disebabkan upwelling.
Sebab, gerakan air naik ini membawa serta air bersuhu lebih dingin,

Merencanakan Tata Ruang Laut 249


salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat.
Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan produksi plankton
yang tinggi.
Menurut Wyatt (1980), upwelling yang terjadi dalam jangka waktu
panjang (lebih dari 250 hari) merupakan kondisi ideal bagi perikanan
(lihat Gambar). Sebaliknya, perairan yang terlalu terstratifikasi atau
bercampur (teraduk) –dimana nilai upwelling terlalu rendah/tinggi-
cenderung menghasilkan spesies fitoplankton dengan kelimpahan
yang lebih kecil dan tidak dapat dicerna secara efisien oleh beberapa
jenis ikan seperti sarden dan teri.
Jika nilai upwelling rendah, nutrien tidak cukup cepat akan
terbawa ke dalam sistem untuk mendukung fitoplankton yang
besar. Sebaliknya, apabila nilai upwelling terlalu tinggi, maka
akan menyebabkan turbulensi dan membawa nutrien, termasuk

4
fitoplankton akan terbawa turun kembali dan keluar dari zona fotik
secara cepat.

Ketika ukuran plankton kecil, maka rantai makanan akan semakin


lama dan tidak efisien karena zooplankton harus mengeluarkan

Membangun Poros Maritim Dunia


250 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
energi yang lebih banyak untuk mencari fitoplankton. Zooplankton
akan semakin sedikit yang seharusnya menjadi bahan makanan untuk
dicerna oleh ikan pemakan zooplankton. Ini akan berdampak pada
berkurangnya stok ikan, seperti teri sebanyak 10 %.
Ketika nilai upwelling pada level sedang, akan lebih sedikit terjadi
turbulensi dan terdapat konsentrasi nutrien yang lebih tinggi. Hal
ini akan mendukung ketersediaan fitoplankton dan zooplankton
pada zona fotik yang akan langsung dicerna oleh ikan. Oleh karena
itu, area upwelling pada level moderat dan durasi yang lama akan
menyediakan lingkungan optimum bagi produksi ikan sarden dan teri
yang berlimpah.
Terdapat sekitar tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia.
Sebagian besar berada di perairan Wallacea, yakni suatu kawasan
perairan yang dibatasi oleh garis Wallacea di bagian barat dan garis

4
Lydekker di bagian timur.
Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan
kelimpahan biota tinggi. Beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan
endemik. Selain Selat Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi
di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala
burung dan perairan timur Papua. Satu-satunya lokasi upwelling di luar
kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.
Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara vertikal dan horizontal
sangat membantu untuk menduga terjadinya upwelling. Pola-pola
sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak
vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat (Sumber:
http://andiracandoit.blogspot.co.id/2011/10/fenomena-fenomen-pada-
daerah.html)
Tingginya kadar hara, terutama fosfat, nitrat, dan silikat di
permukaan berpadukan intensitas cahaya matahari yang tinggi, akan
memacu laju fotosintesa, fitoplankton (plankton nabati). Fitoplankton
ini akan dimakan oleh kopepoda dan zooplankton lainnya (plankton
feeder) yang merupakan pakan utama bagi berbagai jenis ikan pelagis
kecil.

Merencanakan Tata Ruang Laut 251


Pengayaan hara (nutrient enrichment) akibat upwelling juga dapat
memicu terjadinya red tide. Hal ini terjadi jika biakan massal populasi
fitoplankton tertentu dengan jumlah puluhan juta sel per liter air.
Ledakan populasi secara massal ini dapat mengubah warna
perairan menjadi merah kecoklatan, hijau kekuningan, atau biru
kehijauan. Akumulasi konsentrasi dari sel-sel tersebut terletak mulai
dari permukaan hingga lapisan berkedalaman 2 - 5 meter.
Peristiwa red tide menyebabkan dampak negatif terhadap
lingkungan dan sumber daya ikan di perairan alami, tambak, serta
menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan. Munculnya jenis-
jenis plankton red tide akan menimbulkan kematian massal biota laut
akibat pengurasan oksigen (anoxious), merusak dan mengganggu
sistem pernapasan ikan, dan meracuni lingkungan perairan dan biota
laut lainnya.

4
Setidaknya, ada lima faktor upwelling bisa terjadi. Di antaranya
kecepatan angin berkisar 15 - 25 knot dan berembus terus-menerus
di sepanjang pantai. Suhu permukaan air laut berkisar kurang dari
28 oC. Suhu dari permukaan bawah laut dan kolom perairan berkisar
antara 25 - 27 oC. Kedalaman perairan berkisar antara 50 - 300 meter.
Kecepatan arus 1 - 5 meter per hari.

Front
Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai
karakteristik berbeda baik temperatur maupun salinitas. Sebut saja
pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan
Samudra Hindia yang lebih dingin.
Front terbentuk dalam estuari (antara air sungai dan air estuari
yang tinggi salinitasnya), dan di luar mulut-mulut estuari (antara air
estuari dan air laut). Umumnya terdapat di laut-laut dangkal dan
memisahkan air terlapis dari air yang tercampur vertikal. Front juga
terbentuk di sepanjang pinggiran paparan benua, memisahkan pantai
atau air paparan dari air laut terbuka.
Menurut Robinson (1991), front penting dalam hal produktivitas
perairan laut karena cenderung bersama-sama air yang dingin mem-

Membangun Poros Maritim Dunia


252 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
bawa kaya nutrisi
dibandingkan de-
ngan perairan yang
lebih hangat tetapi
miskin zat hara.
Kombinasi dari tem-
peratur dan pening-
katan kandungan
hara yang timbul
dari percampuran
ini akan meningkat-
kan produktivitas
plankton. Hal ini
akan ditunjukkan
Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mem-

4
punyai karakteristik berbeda baik temperatur maupun
dengan mening-
salinitas. Front mudah dikenali dari citra satelit dan foto katnya stok ikan di
udara. Front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung. daerah tersebut. 
Front yang ter-
bentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap bagi
zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan
feeding ground bagi jenis ikan pelagis. Selain itu, pertemuan massa air
yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan atau pengha-
lang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak
yang besar. Pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar inilah
yang menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik.
Dengan demikian front sangat berpengaruh terhadap daerah penang-
kapan ikan.
Front mudah dikenali dari citra satelit dan fotografi aerial (foto
udara), terutama bila terdapat perubahan kekasaran permukaan dan
refleksi optiknya. Front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung.
Upwelling dan front dapat diprediksi melalui parameter antara
lain arus (current), suhu permukaan laut (sea surface temperature atau
SST), dan klorofil (lihat gambar skema di atas). Parameter arus yang

Merencanakan Tata Ruang Laut 253


4 membentuk arus eddy (eddy current) inilah yang ikut menentukan
terjadinya upwelling di suatu perairan.
Arus eddy terbentuk jika memenuhi beberapa kondisi. Di
antaranya, daerah batas antara dua arus dengan divergensi memiliki
sudut antara 90 - 270° dan kecepatan arus lebih besar dari 25 cm/detik.
Gerakan eddy ada dua macam, yakni siklonik dan antisiklonik. Siklonik
bergerak searah jarum jam (clock wise atau CW) di belahan bumi selatan.
Sedangkan antisiklonik bergerak berlawanan arah jarum jam (counter
clock wise atau CCW di belahan bumi selatan) dimana kecepatannya di
bawah 1,2 m/detik.
Arus eddy dapat terbentuk di lautan mana saja tetapi memiliki
distribusi dan aktivitas yang heterogen dengan skala spasial berkisar
antara puluhan sampai ratusan kilometer dan skala temporal berkisar
antara mingguan sampai bulanan (Robinson 1983).
Kecepatan pusaran arus eddy yang dekat dengan arus utama
cenderung sangat tinggi mencapai 1 m/detik. Sedangkan kecepatan
arus eddy yang jauh dari arus utama hanya 0,01 m/detik. Terdapat

Membangun Poros Maritim Dunia


254 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dua tipe arus eddy, yakni yang terbentuk akibat interaksi aliran arus
dengan topografi dan terbentuk akibat angin (Mann dan Lazier 2006).
Arus eddy dapat menyebabkan upwelling maupun downwelling sesuai
dengan arah putarannya (Martono 2009).
Arah gerakan arus eddy memiliki dampak yang berbeda antara
di belahan bumi utara dan selatan. Di belahan bumi utara, eddy akan
menyebabkan upwelling jika bergerak berlawanan arah jarum jam dan
menyebabkan downwelling jika bergerak searah jarum jam. Sebaliknya,
di belahan bumi selatan, jika eddy bergerak searah jarum jam maka
akan menyebabkan upwelling. Jika bergerak berlawanan arah jarum
jam maka akan menyebabkan downwelling (Stewart 2008) seperti
yang terlihat pada Gambar berikut ini.
Stewart (2008) menyatakan, arus eddy yang bergerak searah
jarum jam di bumi bagian utara memiliki inti hangat dan ketinggian

4
permukaan air bagian pusat lebih tinggi daripada daerah sekitarnya.
Sedangkan eddy yang bergerak berlawanan arah jarum jam memiliki
inti dingin dan ketinggian air di pusatnya lebih rendah.

Skematik gerakan eddy dan akibatnya terhadap pergerakan vertikal massa air di
bumi belahan selatan (Sumber: Ganachaud, et al. 2011).

Merencanakan Tata Ruang Laut 255


Apabila jari–jari atau radius arus eddy lebih dari 100 km dengan
kecepatan arus lebih dari 10 cm/detik dan ASST lebih besar atau sama
dengan 2 °C serta memiliki diameter lebih besar 30 km, maka perairan
tersebut diduga mengalami upwelling. Robinson (1983) menyatakan,
arus eddy mentranspor, menjebak, dan menyebarkan unsur kimia, zat-
zat terlarut, nutrien, organisme kecil, dan panas.
Lalu bagaimana SST dapat membentuk front? SST atau suhu
permukaan laut adalah salah satu parameter fisik oseanografi yang
digunakan untuk menganalisis daerah penangkapan ikan (fishing
ground). Komponen ini merupakan faktor yang sangat penting bagi
kehidupan organisme di lautan. Suhu permukaan laut mempengaruhi
aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme-
organisme yang ada di perairan, salah satunya ikan.
Fenomena perubahan SST di laut bervariasi, salah satunya adalah

4
ASST. Apabila di suatu perairan terjadi ASST ≥ 1,5 °C dengan panjang
daerah anomali lebih dari 10 km dan lebar daerah anomali lebih dari 2
km maka menandakan perairan tersebut terjadi front.
Secara visual, front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung karena front adalah daerah-daerah dimana air permukaan
saling bertemu pada bagian-bagian batas. Pertemuan arus membawa
semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di
permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua
arus tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan
bagi ikan kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar
lagi dalam teori rantai makanan. Pertemuan massa air permukaan ini
memiliki karakteristik yang berbeda yaitu massa air panas dan dingin.
Selain air permukaan, pada daerah front biasanya ditandai
dengan terjadinya proses upwelling. Upwelling merupakan fenomena
atau kejadian naiknya massa air secara vertikal karena perbedaan suhu
yang mengakibatkan percampuran nutrisi sehingga menyebabkan
melimpahnya plankton. Kombinasi dari suhu dan peningkatan
kandungan hara yang timbul dari percampuran tersebut akan
meningkatkan produktivitas plankton yang mempengaruhi kesuburan
suatu perairan. Perairan yang kaya makanan biasanya menjadi feeding

Membangun Poros Maritim Dunia


256 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ground bagi ikan-ikan pelagis. Oleh sebab itu, front dan proses
upwelling dapat dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas
primer di suatu perairan dan diikuti dengan meningkatnya populasi
ikan di perairan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah front
merupakan fishing ground yang baik.

4
Peta sebaran front di WPP 716 pada Oktober 2013 – September 2015.

Parameter lain yang ikut menentukan upwelling adalah klorofil.


Klorofil merupakan salah satu tanda kesuburan perairan. Semakin
tinggi tingkat konsentrasi klorofil di perairan, maka kesuburannya
akan meningkat. Hal tersebut diindikasikan dengan melimpahnya
jumlah ikan di sekitar daerah yang memiliki tingkat konsentrasi
klorofil tinggi. Namun hal tersebut berlaku untuk rentang nilai klorofil
tertentu. Apabila jumlahnya terlalu rendah, maka jumlah ikannya akan
sedikit. Apabila terlalu tinggi, maka banyak ikan mati lantaran terjadi
blooming.
SST atau suhu permukaan laut (SPL) di Indonesia berkisar antara
28 – 31 °C (Nontji, 2005 dalam Bada 2011). Menurut Wyrtki (1961),
kondisi lapisan permukaan laut tropis adalah hangat dan variasi suhu

Merencanakan Tata Ruang Laut 257


tahunannya adalah kecil, tetapi variasi suhu hariannya tidak terlalu
tinggi dibandingkan dengan subtropik dan polar. Variasi suhu rata-
rata tahunannya lebih kecil dari 2 °C di daerah khatulistiwa. Namun
beberapa tempat seperti di Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor, dan
Selatan Jawa mempunyai variasi yang lebih besar, yaitu 3 – 4 °C.
Suhu permukaan laut mempunyai hubungan dengan keadaan
lapisan air laut yang terdapat di bawahnya. Dengan demikian data suhu
permukaan laut dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi
fenomena yang terjadi di laut seperti pengangkatan massa upwelling
dan aktivitas biologis organisme (Robinson, 1985 dalam Bada, 2011).
Perairan dengan konsentrasi klorofil 0,2 – 1 mg/m3, SST 24 – 27
°C, dan ASST kurang dari 2 °C terjadi pada luasan 10 x 10 km (untuk
perairan laut ≤ 12 mil laut dari garis pantai) atau dengan luasan 30 x 30
km (untuk perairan laut ≥ 12 mil laut dari garis pantai), maka ditengarai

4
terjadi upwelling.
Menurut Kunarso (2005), berdasarkan intensitas upwelling
dibedakan menjadi upwelling lemah, sedang, dan kuat. Upwelling lemah
terjadi jika suhunya 27,5 – 28,5 oC dan konsentrasi klorofil kurang dari
0,5 mg/m3. Upwelling sedang terjadi apabila suhunya 26 – 27,5 oC dan
konsentrasi klorofil ≥ 0,5 mg/m3. Sementara itu, upwelling kuat terjadi
bila suhunya ≤ 26 oC dan konsentrasi klorofil ≥ 0,5mg/m3(lihat Tabel ).

Tabel. Kriteria intensitas upwelling (Sumber: Kunarso , 2011).


Klorofil-a
No Suhu (oC) Kriteria Upwelling
(mg/m3)
1. 27,5 – 28,5 < 0,5 Intensitas upwelling lemah
2. 26 – 27,5 ≥ 0,5 Intensitas upwelling sedang
3. ≤ 26 ≥ 0,5 Intensitas upwelling kuat

Sebagai contoh, pemanfaatan data sumber daya ikan pelagis


yang ditunjukkan dalam gambar adalah wilayah Santa Barbara (di luar
Terusan Santa Barbara), Central California. Silinder merah menunjukkan
rerata jumlah Ikan yang ditangkap per satu kali hauling (penangkapan)

Membangun Poros Maritim Dunia


258 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
yang dikumpulkan ke dalam kapal. Langkah awal tim survei adalah
melihat terlebih dahulu data yang berasal dari alat Seasonde dan
peta temperatur permukaan laut yang diperoleh dari citra satelit
dan memutuskan bahwa akan lebih menarik apabila perahu boat
melakukan transek secara langsung melalui pusat pusaran arus.
Hasilnya menunjukkan bahwa rerata jumlah ikan yang ditangkap
per satu kali hauling (penangkapan) 5 kali lebih besar pada pusat
pusaran arus (eddy current) atau upwelling yang dingin dan kaya
nutrien daripada daerah di luar pusaran arus.
Melihat pada kenampakan yang menarik tersebut untuk
memandu survei lapangan dan dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan dan kebijakan pengelolaan berdasarkan
pengetahuan merupakan aplikasi yang terus berkembang.

subandono.diposaptono@yahoo.com

Prediksi lokasi fishing ground ikan pelagis dengan


menggunakan kombinasi hasil citra satelit suhu
permukaan laut, permodelan matematik arus dan
radar, serta ground check.

Merencanakan Tata Ruang Laut 259


17. Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting
Pemanfaatan wilayah laut eksisting digunakan untuk menentu-
kan seluruh jenis alokasi ruang. Alokasi ruang yang dimaksud berupa
pertambangan, kawasan konservasi, pariwisata, barang muatan
kapal tenggelam (BMKT), tambat labuh, rig, floating unit, bangunan
perikanan permanen (keramba jaring apung, seabed, dan lain-lain),
area penangkapan ikan modern dan tradisional, budidaya laut (seperti
rumput laut dan mutiara), kabel bawah laut, pipa bawah laut, alur
pelayaran, serta alur migrasi biota.

18. Pencemaran
Peta pencemaran digunakan untuk menentukan alokasi ruang
bagi pariwisata, industri, perikanan budidaya, perikanan tangkap
demersal, dan konservasi. Penentuan alokasi ruang tersebut mengacu

4
pada sebaran, luas, dan kondisi bahan pencemar yang terdapat
di kawasan pesisir dan laut. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode interpretasi citra satelit dan survei lapangan berdasarkan
variabilitas nilai bahan pencemar.

19. Deposit Pasir Laut


Perhitungan volume pasir, penentuan kualitas pasir, dan
penentuan alokasi ruang bagi pertambangan merupakan data
yang digunakan untuk pembuatan peta deposit pasir laut. Metode
pengumpulan data yang dilakukan adalah pengeboran langsung
dengan bagan sebagai tumpuan pengeboran (untuk kedalaman
kurang dari 10 meter), uji seismik pantul dangkal (untuk kedalaman
lebih dari 10 meter), interpretasi lapisan batuan hasil survei, dan
masstube. Hasil yang ditampilkan dalam peta deposit pasir laut berupa
gradasi butir sedimen.

Metode
Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis peta-peta
tematik adalah kesesuaian lahan (perairan pesisir dan/atau daratan
pulau kecil) terhadap kawasan, zona, dan subzona. Analisis kesesuaian

Membangun Poros Maritim Dunia


260 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
lahan dilakukan terhadap wilayah perairan pesisir dan/atau daratan
pulau kecil, dengan mendeliniasi masing-masing parameter peta-peta
tematik berdasarkan kriteria kesesuaian zona/subzona tertentu.
Sebagai contoh, parameter-parameter peta tematik yang
digunakan untuk masing-masing zona/subzona adalah sebagai
berikut:
a. Zona pariwisata (subzona selam dan rekreasi air, subzona yachting,
sailing dan surfing, dan subzona rekreasi pantai) menggunakan
parameter peta tematik bathimetri, substrat dasar laut, arus, dan
kecerahan.
b. Zona perikanan budidaya (subzona budidaya laut) menggunakan
parameter peta tematik bathimetri, arus, gelombang, salinitas,
suhu, kecerahan, DO, pH, substrat dasar laut, logam berat, plankton,
dan klorofil.

4
c. Zona pertambangan (subzona pasir laut) menggunakan parameter
bathimetri, arus, gelombang, substrat dasar laut, sedimen dasar
laut (kandungan deposit), pemanfaatan wilayah laut eksisting
(konservasi, pipa/kabel bawah laut, daerah penangkapan ikan
tradisional, lokasi BMKT, dan lain-lain).
Hasil deliniasi masing-masing parameter peta-peta tematik
tersebut dilakukan pembobotan dan overlay (tumpang susun). Proses
ini dilakukan dengan cara yang sama terhadap parameter peta-peta
tematik tertentu berdasarkan kriteria zona/subzona lainnya.
Hasil dari proses overlay tersebut berupa peta-peta kesesuaian
untuk masing-masing zona/subzona dengan kategori sesuai (S1),
kurang sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Masing-masing peta kesesuaian
zona/subzona tersebut kemudian di-overlay sehingga menghasilkan
peta multikesesuaian untuk zona/subzona.
Peta multi kesesuaian merupakan peta yang menunjukkan
kesesuaian untuk beberapa zona/subzona pada lokasi yang sama.
Berdasarkan peta ini, dapat diterapkan skenario pengembangan WP-
3-K. Artinya, di setiap lokasi tersebut diberikan beberapa alternatif
pemanfaatan zona/zubzona yang memungkinkan untuk diterapkan
dan disertai dengan informasi mengenai rekayasa teknis dan

Merencanakan Tata Ruang Laut 261


nonteknis yang perlu diterapkan, serta kemungkinan dampak yang
dapat ditimbulkan dari masing-masing alternatif pemanfaatan.
Untuk mendapatkan skenario pengembangan WP-3-K yang
terbaik, perlu dilengkapi dengan analisis nonspasial. Di antaranya
adalah analisis kebijakan dan kewilayahan, sosial budaya, infrastruktur,
ekonomi wilayah, pengembangan wilayah, serta konflik pemanfaatan
ruang.

Permasalahan Data dan Informasi Spasial


Permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan data spasial
rencana tata ruang laut antara lain data dan informasi yang
dibutuhkan belum tersedia sesuai tingkatan perencanaan tata
ruang laut/rencana zonasi. Selain itu, data dan informasi yang
dibutuhkan tersebut tersebar di berbagai kementerian/lembaga

4
di pusat dan daerah, lembaga pendidikan dan penelitian, maupun
lembaga nonpemerintah lainnya. Setiap institusi tersebut melakukan
pengumpulan data dan informasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan kebutuhannya masing-masing, sehingga kualitas
datanya tidak sesuai dengan kebutuhan perencanaan tata ruang laut/
rencana zonasi WP-3-K.
Persoalan lainnya adalah data dan informasi yang dihasilkan
oleh berbagai institusi tersebut tidak dapat langsung digunakan
untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
karena belum terintegrasi dan belum menjadi acuan secara nasional.
Diperlukan sejumlah upaya tambahan dalam rangka pengelolaan
data dan informasi agar digunakan secara tepat, akurat, mutakhir, dan
dapat dipertanggungjawabkan sebagai input dalam perencanaan
pengelolaan tata ruang laut/rencana zonasi WP-3-K. Namun hingga
saat ini mekanisme pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil masih diatur secara parsial bagi masing-
masing jenis data dan informasi oleh berbagai institusi.
Adanya tumpang tindih penyediaan data dan informasi spasial
dari berbagai kementerian/lembaga yang menyebabkan munculnya
“pulau-pulau data dan informasi spasial” mengakibatkan hambatan

Membangun Poros Maritim Dunia


262 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dalam standardisasi dan pertukaran data (sharing). Bukan hanya itu,
kondisi tersebut juga mengakibatkan duplikasi alokasi sumber daya,
baik dalam anggaran maupun effort dalam proses pembuatannya.
Selain itu, saat ini masih banyak informasi spasial yang belum tersedia
(gap) baik dalam aspek jenis, cakupan wilayah, dan kemutakhirannya.

Strategi Pemenuhan Data dan Informasi


Data yang digunakan dalam perencanaan tata ruang laut/ren-
cana zonasi WP-3-K perlu distandardisasikan sehingga memudah-
kan dalam pengelolaan data dan pemanfaatan data oleh pengambil
keputusan di daerah provinsi. Standar data dapat diartikan sebagai
tingkat kualitas data secara teknis yang dibakukan berdasarkan ke-
sepakatan semua pihak terkait secara nasional dengan memperhati-
kan syarat-syarat tertentu, serta berdasarkan pengalaman, perkem-

4
bangan masa kini dan masa datang untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya. Standar teknis data dan pengelolaan data dan in-
formasi WP3K harus dirumuskan secara terintegrasi, ditetapkan, dan
dilaksanakan secara tertib dan kerja sama semua pihak.
Selain itu, data dan informasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil perlu diatur dan dikelola secara tepat, efektif, dan efisien dalam
bentuk mekanisme pengelolaan lintas sektor yang mengakomodasi
dan mensinergiskan kepentingan seluruh pemangku kepentingan
di pusat dan daerah. Keberadaan mekanisme pengelolaan data dan
informasi WP-3-K tersebut selain bermanfaat untuk menghasilkan
data dan informasi yang tepat, akurat, mutakhir, dan dapat
dipertanggungjawabkan, juga dapat menciptakan efisiensi dan
efektivitas pembelanjaan anggaran pemerintah dan pemerintah
daerah.
Di samping itu, pengelolaan data dan informasi WP-3-K harus
sinkron dengan kerangka kebijakan One Map Policy, dimana data
spasial harus dibangun secara bersama menjadi data spasial yang
memiliki satu standar, satu referensi, satu basis data, dan satu
geoportal yang dapat dijadikan rujukan secara nasional.
Dari berbagai penjelasan itulah, kita paham dan sadar pentingnya

Merencanakan Tata Ruang Laut 263


merencanakan zonasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kalau dewasa ini potensi kekayaan sumber daya laut Indonesia yang
berlimpah ruah itu belum memberi kontribusi yang tinggi pada
devisa nasional, harap dimaklumi. Sebab, sampai sejauh ini kita belum
mengelolanya berdasarkan basis data dan informasi yang lengkap,
mutakhir, terkini, dan menyeluruh seperti halnya yang dilakukan
Norwegia.

Membangun Poros Maritim Dunia


264 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Proses dan Tahapan
Menyusun Rencana Tata
Ruang Laut/Rencana Zonasi

Penyusunan rencana tata ruang laut/rencana zonasi


memerlukan berbagai input, di antaranya kebijakan
pemerintah (visi dan tujuan), data biogeofisik serta kondisi
sosial, ekonomi, budaya (Sosekbud) masyarakatnya. Beragam

4
input tersebut diproses secara komprehensif, baik pada
kondisi masa lalu, terkini, dan mendatang. Dari proses inilah
akan menghasilkan rencana tata ruang laut/rencana zonasi
yang andal.

P
erencanaan tata ruang laut/rencana zonasi adalah suatu proses
publik dalam menganalisis dan mengalokasikan distribusi
spasial dan temporal dari aktivitas manusia di wilayah laut
untuk mencapai tujuan ekologi, ekonomi, dan sosial yang biasanya
ditentukan melalui proses politik (UNESCO, 2009).
Perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar terwujud alokasi
ruang laut yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ke-
seimbangan antar wilayah. Nyaman dalam arti memberi kesempat-
an yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai
sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia dalam suasana yang
tenang dan damai.

Merencanakan Tata Ruang Laut 265


Produktif berarti proses produksi dan distribusi berjalan
efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.
Sementara itu, berkelanjutan artinya kualitas lingkungan fisik dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk
generasi saat ini, namun juga generasi mendatang.
Proses perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi dapat
dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses,
dan output. Input yang digunakan meliputi keadaan biogeofisik
dan Sosekbud serta diselaraskan dengan kebijakan pemerintah
(visi dan tujuan). Input ini lalu diproses dengan menganalisisnya
secara komprehensif, baik kondisi masa lalu, saat ini, maupun masa
mendatang untuk masing-masing hierarki tata ruang laut nasional,
rencana zonasi kawasan laut, rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-

4
pulau kecil provinsi, maupun rencana zonasi bagian wilayah pulau-
pulau kecil (WP3K). Dari input dan proses inilah akan menghasilkan
output berupa Rencana Tata Ruang Laut, Rencana Zonasi Kawasan
Laut, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Provinsi yang menyeluruh.
Penyusunan rencana tata ruang laut mencakup tiga hal
utama, yaitu analisis kebijakan, analisis data biogefisik, dan proses
kesepakatan. Analisis kebijakan pada tahap awal dimulai dengan
melakukan perumusan tujuan, sasaran, kebijakan, dan strategi dalam
penataan ruang laut melaui proses Focus Group Discussion (FGD)
dengan melibatkan seluruh stakeholders.
Mengacu pada pembangunan berkelanjutan seperti tertuang
pada World Summit 2005, maka tujuan pembangunan kelautan diarah-
kan pada tujuan-tujuan ekonomi, sosial, lingkungan, serta pertahanan
keamanan nasional. Menentukan tujuan dan sasaran dalam penataan
ruang laut sangat penting agar pelaksanaan penataan ruang tetap
fokus dan sesuai dengan hasil pencapaian yang diinginkan. Biasanya,
tujuan dan sasaran didapatkan dari hasil identifikasi permasalahan
dan konflik di wilayah perencanaan.

Membangun Poros Maritim Dunia


266 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Terkait dengan kedaulatan, pertahanan, dan keamanan maritim,
tujuan yang akan dicapai antara lain memperkuat perlindungan titik
dasar batas maritim di laut beserta kekayaan yang terkandung di
dalamnya, baik di permukaan, kolom air, dasar, maupun di bawah
dasar laut untuk kedaulatan maritim, serta mewujudkan kedaulatan
bangsa melalui penguatan kapasitas postur ideal demi kepentingan
pertahanan dan keamanan maritim.
Sementara itu, terkait dengan konservasi dan lingkungan
maritim, bertujuan mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam
melalui perlindungan lingkungan laut dan pesisir, serta rancang
bangun ekologi, pencegahan pencemaran yang bersumber dari
aktivitas daratan, pengendalian limbah yang dibuang ke laut,
meningkatkan kualitas lingkungan, serta perlindungan ekosistem
pesisir dan laut.

4
Dari aspek sosial budaya maritim, tujuan yang ingin diraih adalah
memperkuat identitas bangsa melalui transformasi budaya bahari,
pengembangan sumber daya manusia di seluruh aspek maritim, serta
perlindungan terhadap kepentingan maritim budaya masyarakat adat
dan maritim adat, wilayah ulayat laut, wilayah suci laut, serta nelayan
tradisional.
Berkaitan dengan ekonomi maritim, tujuan utamanya adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan pu-
sat-pusat pertumbuhan ekonomi baru berdasarkan azas pemerataan
yang bersumber pada perikanan, energi, sumber daya mineral, wisata
bahari, bioteknologi, industri maritim, dan peningkatan transportasi
laut dalam mewujudkan konektivitas maritim.
Dari berbagai tujuan tersebut maka dapat ditentukan kebijakan
dan strategi untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dan meng-
atasi isu-isu strategis, baik terkait dengan isu potensi sumber daya
alam maupun tekanan serta ancaman yang dihadapi dalam pemba-
ngunan kelautan.
Secara umum, tahapan atau proses penyusunan tata ruang laut/
rencana zonasi dijelaskan pada gambar berikut ini:

Merencanakan Tata Ruang Laut 267


KEBIJAKAN DATA BIOGEOFISIK SOSEKBUD KESEPAKATAN

FOCUS GROUP DISCUSSION PENGUMPULAN DATA SEKUNDER


- Perumusan tujuan
- Perumusan sasaran
- Perumusan kebijakan dan SURVEI LAPANGAN (PRIMER)
strategi - Bathimetri
- Oseanografi (fisik, kimia, biologi)
- Ekosistem pesisir (terumbu karang,
mangrove, dan lamun)
- Sumber daya ikan (pelagis dan
demersal) dan biota laut lain
DOKUMEN AWAL RZ - Pemanfaatan wilayah laut eksisting
- Substrat dasar laut
- Pendahuluan - Geologi dan geomorfologi
- Tujuan, Kebijakan, - Sarana dan prasarana
- Demografi, sosial, budaya
dan Strategi - Ekonomi wilayah
- Deskripsi potensi - Risiko bencana dan pencemaran
sumber daya pesisir
dan pulau-pulau Analisis data dan penyusunan
kecil dan kegiatan peta tematik
pemanfaatan Tidak
- Album peta tematik
Konsultasi
publik
dokumen
ANALISIS KESESUAIAN
awal

4
DAN ALOKASI RUANG
Ya
ANALISIS NON SPASIAL
DAN ANALISA KONFLIK

PERATURAN
INDIKASI
PEMANFAAATAN
PROGRAM
RUANG

Ranperpres/
Ranpermen/Ranperda

Dokumen Antara Rencana Zonasi


- Pendahuluan
- Tujuan, kebijakan, dan strategi
- Deskripsi potensi sumber daya pesisir Tidak
dan pulau-pulau kecil dan kegiatan
pemanfaatan
- Draft rencana alokasi ruang berisi
peta rencana zonasi Konsultasi
- Draft peraturan pemanfaatan ruang publik
- Draft indikasi program rencana zonasi dokumen antara
- Draft album peta tematik dan draft
peta rencana zonasi
- Ranperpres/Ranpermen/Ranperda

DOKUMEN FINAL Ya
(Perbaikan dokumen antara)

Proses Legalisasi
subandono.diposaptono@yahoo.com

Tahapan atau proses penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi.

Membangun Poros Maritim Dunia


268 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Identifikasi Stakeholder
Langkah awal sebelum disusun tata ruang laut/rencana zonasi
adalah melakukan identifikasi Stakeholders ‘users’ laut. Pendekatan
yang digunakan adalah Stakeholders Analysis yang meliputi identifi-
kasi pemangku kepentingan, tingkat otoritas yang dimiliki, tingkat ke-
pentingan masing-masing pemangku kepentingan terhadap sumber
daya dan perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi, keterlibatan
dalam proses, serta pengaruh pemangku kepentingan dalam imple-
mentasi tata ruang laut/rencana zonasi.
Kegunaannya adalah untuk melihat berbagai potensi peluang
serta hambatan yang akan terjadi selama pelaksanaan penyusunan
tata ruang laut/rencana zonasi. Selain itu, jika terjadi hambatan dalam
penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi dapat segera dianalisis
pihak-pihak mana yang berpengaruh dan untuk segera ditangani.

4
Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan pendekatan dan strategi
untuk melancarkan pelaksanaan penyusunan tata ruang laut/rencana
zonasi.

Sosialisasi
Sosialisasi perlu dilakukan sebelum dilakukan penyusunan
tata ruang laut/rencana zonasi. Sosialisasi dimaksudkan untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengelolaan
ruang laut termasuk di dalamnya terkait kebijakan dan program
terkait penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi, menumbuhkan
rasa kepemilikan dari para pemangku kepentingan terhadap rencana
yang berlangsung di daerahnya. Sosialisasi perlu dilakukan untuk
meminimalisir konflik di kemudian hari. Oleh karena itu pada saat
sosialisasi harus melibatkan berbagai pihak terkait.
Sosialisasi penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi harus me-
miliki strategi komunikasi agar tercapai tujuan secara efektif. Penentu-
an target, pesan utama yang akan disampaikan (key message), media
penyampaian (channeling), dan metode penyampaian harus disusun
sedemikian rupa agar masing-masing stakeholders memahami perlu-
nya tata ruang laut/rencana zonasi. Identifikasi target sosialisasi dapat

Merencanakan Tata Ruang Laut 269


diselaraskan dengan identifikasi stakeholders sehingga dapat disin-
kronkan satu sama lain.
Pelaksanaan sosialisasi sangat penting karena dukungan peme-
rintah dan legislatif mutlak diperlukan agar proses perencanaan dapat
terlaksana dengan baik. Apabila pemangku kepentingan tidak me-
ngetahui adanya rencana tata ruang laut/rencana zonasi, maka rasa
kepemilikan tidak akan tumbuh. Dengan demikian akan membuat
sulit untuk berpartisipasi aktif.

Pengumpulan Data
Pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh data bie-
geofisik dan Sosekbud, baik sekunder maupun primer yang dapat
berupa data spasial atau nonspasial. Data yang dikumpulkan terdiri
dari paling tidak dua dataset dasar (terestrial dan bathimetri) dan 11

4
dataset tematik.
Ke-11 data tersebut meliputi geologi dan geomorfologi laut,
oseanografi, ekosistem pesisir, sumber daya ikan (jenis dan kelimpah-
an ikan), penggunaan lahan dan status lahan, pemanfaatan wilayah
laut eksisting, sumber daya air, infrastruktur, sosial budaya, ekonomi
wilayah, risiko bencana, serta pencemaran. Semua data tersebut dapat
diperoleh dari lembaga atau institusi terkait dalam bentuk laporan,
buku, diagram, peta, foto, dan media penyimpanan lainnya. Fungsi
data/peta tematik tersebut adalah sebagai dasar penyusunan peta
kesesuaian perairan. Teknologi dan metodologi pengumpulan dan
analisis data dijelaskan secara ringkas pada Sub Bab Data Spasial Kunci
Keberhasilan Rencana Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi.

Pengolahan dan Analisis Data


Penyusunan peta tata ruang laut/rencana zonasi membutuhkan
data dasar dan tematik pendukung dalam proses penyusunannya.
Data/peta dasar yang dibutuhkan dalam penyusunan peta rencana
zonasi yang disusun dapat dikelompokkan menjadi dua dataset dasar,
terdiri dari data terestrial dan bathimetri. Data/peta dasar tersebut
secara umum telah disediakan oleh instansi terkait, namun apabila

Membangun Poros Maritim Dunia


270 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
tidak tersedia maka perlu dibuat peta dasar yang diperoleh melalui
proses pemetaan dan analisis.
Data yang telah dikumpulkan itu lalu diolah dan dianalisis se-
hingga menghasilkan peta-peta tematik. Pengolahan data dilakukan
untuk memperoleh data yang siap digunakan untuk analisis. Peng-
olahan data meliputi: konversi data nonspasial ke format spasial, stan-
dardisasi format dan kelengkapan data, serta perbaikan data.
Analisis data dilakukan untuk memperoleh informasi sesuai de-
ngan tema yang dibutuhkan. Aktivitas yang dilakukan terdiri dari: in-
terpolasi spasial/pemodelan ruang untuk menghasilkan keseragaman
data melalui pendekatan nilai yang sama, pemodelan matematis, serta
simbolisasi dan penyajian hasil analisis menjadi peta-peta tematik.
Pengolahan dan analisis peta tematik dilakukan sesuai dengan
hierarki perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi. Beberapa

4
komponen yang harus diperhatikan antara lain input data, proses
pengolahan data, dan output peta tematik yang dihasilkan.
Kedalaman data dan skala peta disesuaikan dengan kebutuhan
perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi. Untuk Rencana Tata Ru-
ang Laut Nasional diperlukan peta dengan skala minimal 1:2.000.000.
Untuk Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (Teluk, Selat, Laut) di-
perlukan peta dengan skala minimal 1:500.000. Sementara itu untuk
Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (Pulau-Pulau
Kecil Terluar) diperlukan peta dengan skala 1:50.000. Sedangkan Ren-
cana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi diperlukan
peta dengan skala minimal 1:50.000-1:250.000.

Deskripsi Potensi dan Kegiatan Pemanfaatan Laut


Setelah dilakukan pengolahan dan analisis data serta disajikan
dalam bentuk peta tematik, lalu dilakukan pendeskripsian terhadap
peta-peta tematik yang telah disusun. Ada dua deskripsi yang perlu
dilakukan.
Pertama, deskripsi potensi sumber daya laut. Deskripsi ini
dilakukan untuk mengetahui potensi sumber daya saat ini (eksisting)
berdasarkan peta tematik yang telah disusun. Potensi sumber daya

Merencanakan Tata Ruang Laut 271


yang dapat dideskripsikan antara lain potensi sebaran ikan, potensi
ekosistem pesisir, potensi pariwisata, potensi pertambangan, dan lain
sebagainya.
Kedua, deskripsi pemanfaatan sumber daya laut. Deskripsi ini
meliputi deskripsi terhadap potensi berbagai kegiatan pemanfaatan
sumber daya di masa lalu dan saat ini (eksisting) yang terdiri dari rona-
rona dan fasilitas yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam
(penangkapan ikan, budidaya perairan, pertanian, penambangan,
kehutanan, wisata, habitat cagar alam laut, kapabilitas sumber daya),
pelabuhan, berbagai lokasi industri, lokasi-lokasi permukiman dan
perkotaan, serta fasilitas wisata.
Selain mempertimbangkan data biogeofisik Sosekbud, penyu-
sunan tata ruang laut/rencana zonasi juga harus mempertimbangkan
kebijakan pembangunan pemerintah yang berupa tujuan, sasaran,

4
kebijakan, dan strategi pengelolaan laut pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perumusan tujuan, sasaran, kebijakan, dan strategi tersebut dilakukan
melalui Focus Group Discussion (FGD) melibatkan stakeholders terkait
dengan pengelolaan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Menentukan
tujuan dan sasaran dalam penyusunan rencana tata ruang laut/ren-
cana zonasi juga penting agar fokus dan upaya menuju pencapaian
hasil sesuai dengan yang diinginkan.

Konsultasi Publik
Setelah peta tematik serta deskripsi potensi dan pemanfaatan
wilayah laut yang ada selesai disusun, tugas berikutnya adalah
melakukan konsultasi publik untuk memverifikasi data, informasi, dan
peta-peta tematik, serta untuk mendapatkan masukan, tanggapan,
atau saran. Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan
dialog masukan, tanggapan serta sanggahan antara pemerintah, dan
pemangku kepentingan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Penentuan Alokasi Ruang


Setelah data, peta-peta tematik, serta deskripsi potensi dan
pemanfaatan sumber daya laut memperoleh masukan, tanggapan,

Membangun Poros Maritim Dunia


272 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
atau saran pada saat konsultasi publik, maka dilanjutkan dengan
penentuan usulan alokasi ruang. Peta-peta tematik yang telah
disepakati, selanjutnya dianalisis melalui analisis kesesuaian perairan
laut. Hasil analisis ini berupa usulan alokasi ruang.
Analisis kesesuaian perairan laut dilakukan dengan cara men-
deliniasi masing-masing parameter peta-peta tematik berdasarkan
kriteria kesesuaian zona/subzona tertentu. Hasil deliniasi masing-
masing parameter peta-peta tematik tersebut dilakukan dengan
overlay (tumpang susun). Proses ini dilakukan dengan cara yang sama
terhadap parameter peta-peta tematik tertentu berdasarkan kriteria
kawasan/zona lainnya.
Hasil dari proses overlay tersebut berupa peta-peta kesesuaian
untuk masing-masing kawasan/zona dengan kategori kesesuaiannya:
sesuai (S1), kurang sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Setiap peta-peta

4
kesesuaian kawasan/zona tersebut kemudian di-overlay sehingga
menghasilkan peta multi kesesuaian untuk kawasan/zona. Berdasar-
kan peta multikesesuaian, lalu dilakukan penilaian kesesuaian akhir
untuk kawasan/zona. Dari sinilah akhirnya dihasilkan usulan alokasi
ruang dalam bentuk peta alokasi ruang.

Rencana Alokasi Ruang


Rencana alokasi ruang dalam tata ruang laut/rencana zonasi
merupakan rencana distribusi peruntukan ruang di perairan laut,
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rencana ini meliputi rencana
peruntukan ruang yang ada di kawasan pemanfaatan umum, kawasan
konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut.
Penentuan alokasi ruang laut harus memperhatikan setidaknya
empat hal. Pertama, penentuan kawasan konservasi harus memperha-
tikan keberadaan wilayah yang berpotensi menjadi kawasan konser-
vasi. Kawasan konservasi ditetapkan untuk wilayah yang memiliki ciri
khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan pesisir
dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.
Pembagian kawasan konservasi disesuaikan dengan kategori
dan jenis kawasan konservasi yang ada di provinsi. Apabila berdasar-

Merencanakan Tata Ruang Laut 273


kan hasil analisis, terdapat kawasan yang harus dilindungi maka dapat
diusulkan sebagai kawasan konservasi.
Kedua, penentuan kawasan strategis nasional tertentu (KSNT).
Penentuan KSNT perlu memperhatikan berbagai kriteria. Di antara-
nya batas-batas maritim kedaulatan negara, kawasan yang secara
geopolitik, pertahanan, dan keamanan negara, situs warisan dunia,
pulau-pulau kecil terluar yang menjadi titik pangkal dan/atau habitat
biota endemik dan langka.
Ketiga, penentuan kawasan pemanfaatan umum juga perlu
memperhatikan beberapa kriteria. Di antaranya tidak termasuk ke
dalam wilayah yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi dan
KSNT, dan merupakan wilayah yang sebagian besar digunakan untuk
aktivitas ekonomi.
Keempat, penentuan alur laut diharapkan perlu memperhatikan

4
berbagai kriteria. Di antaranya ruang yang dapat dimanfaatkan untuk
alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut yang per-
lu dilindungi. Aturan mengenai alur pelayaran dapat mengikuti Per-
men Perhubungan No.68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut.
Menurut Permen tersebut, alur pelayaran di laut terdiri dari alur pela-
yanan umum dan perlintasan serta alur pelayaran masuk pelabuhan.
Pipa/kabel bawah laut merupakan instalasi yang dapat dibangun
di perairan asalkan memenuhi lima syarat. Pertama, penempatan,
pemendaman, dan penandaan. Kedua, tidak menimbulkan kerusakan
terhadap bangunan atau instalasi sarana bantu navigasi-pelayaran
dan fasilitas telekomunikasi-pelayaran. Ketiga, memperhatikan ruang
bebas dalam pembangunan jembatan. Keempat, memperhatikan
koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut. Kelima, berada
di luar perairan wajib pandu.
Sementara itu, alur migrasi ikan adalah pola ruaya (migrasi) ikan
yang dipengaruhi suhu, salinitas, kecepatan dan arah arus, pasang
surut, tinggi dan panjang gelombang, warna perairan, substrat dasar,
kedalaman perairan, serta tipologi kelandaian dasar laut. Kecepatan
dan arah arus akan memberikan indikasi terhadap pola pergerakan
dan alur migrasi ikan.

Membangun Poros Maritim Dunia


274 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Di sisi lain, keterkaitan suhu, salinitas, kedalaman perairan, kontur
dasar, dan warna perairan memberikan informasi perairan optimum
terhadap ikan-ikan target tangkapan yang dikehendaki. Alur migrasi
biota laut, dapat berupa alur migrasi cetacea, tuna, penyu belimbing,
penyu lekang, paus, dan lain-lain.
Selanjutnya, penentuan arahan pemanfaatan alokasi ruang
laut dilakukan melalui penentuan zona dan subzona atau arahan
pemanfaatannya pada masing-masing kawasan. Penentuan zona
pada masing-masing kawasan dilakukan dengan menggunakan
metode kesesuaian perairan. Deliniasi batas kawasan ditampilkan
pada peta yang menggunakan grid dengan sistem koordinat lintang
(longitute) dan bujur (latitute) pada lembar peta yang diterbitkan oleh
lembaga yang berwenang.
Salah satu alokasi ruang dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir

4
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah untuk zona perikanan
budidaya. Komoditas budidaya laut bernilai ekonomi tinggi antara
lain rumput laut, ikan, udang, kerang-kerangan, dan mutiara. Berbagai
komoditas tersebut membutuhkan kriteria kesesuaian yang berbeda-
beda. Budidaya rumput laut misalnya, agar menghasilkan panen
berlimpah dan bermutu diperlukan berbagai parameter yang sesuai
(lihat Tabel).
Berbagai kriteria tersebut dijadikan input dalam pengolahan
data spasial guna menghasilkan peta kesesuaian budidaya rumput
laut. Berikut ini penjelasan singkat faktor-faktor kesesuaian budidaya
rumput laut dan pertimbangannya di suatu perairan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.

Merencanakan Tata Ruang Laut 275


Tabel. Kriteria kesesuaian budidaya rumput laut.
Kategori Kesesuaian
No Faktor/Parameter
Sangat Sesuai Sesuai Kurang Sesuai
1. Pengaruh angin Terlindung Terlindung Kurang
musim sedang terlindung
2. Kondisi gelombang < 100 100 – 300 >300 dan < 100
(cm)
3. Arus (cm/detik) 20 – 30 10 – 20 < 10 dan > 40
dan 30 – 40
4. Kedalaman air (m) 2,5 – 5 5 – 25 <2,5 dan > 25
5. Dasar perairan Berkarang mati Pasir Pasir/lumpur
6. Salinitas (‰) 32 – 34 30 – 32 < 30 dan > 34
7. Suhu (oC) 24 – 30 20 – 24 < 20 dan > 30
8. Kecerahan (cm) > 40 30 – 40 < 30

4
9. Kesuburan Subur Cukup Kurang
perairan
10. Sumber bibit dan Banyak Sedang Kurang
induk
11. Sarana penunjang Baik Cukup Kurang
12. Pencemaran Tidak cemar Cemar ringan Cemar
13. Keamanan Aman Sedang Tidak aman
14. Pelayaran Tidak Tidak Mengganggu
mengganggu mengganggu
pelayaran pelayaran pelayaran
Sumber : Winanto, dkk (1991)

u Kedalaman perairan
Kedalaman suatu perairan ditentukan oleh relief dasar dari
perairan tersebut (Wibisono, 2005). Perairan dangkal memiliki
kecepatan arus yang relatif cukup besar dibandingkan daerah yang
lebih dalam (Odum, 1979). Kedalaman perairan juga berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiami, penetrasi
cahaya, dan penyebaran plankton.
Rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam
dibandingkan dengan budidaya ikan, kerang, dan mutiara. Kedalaman

Membangun Poros Maritim Dunia


276 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 2,5 - 25 meter
(Winanto dkk, 1991).
Data kedalaman perairan diperoleh dari peta dasar (LPI/LLN/Peta
Laut). Selanjutnya, kedalaman yang memenuhi kriteria untuk budidaya
rumput laut didelineasi. Hasilnya, berupa area (polygon) kesesuaian
perairan untuk budidaya rumput laut. Kedalaman yang memenuhi
kriteria diberi warna pink atau ungu (lihat Gambar A).

u Habitat kritis
Habitat kritis meliputi mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Ketiga habitat tersebut sangat sensitif dan sangat rentan terhadap
perubahan. Apabila kondisi eksisting telah terdapat mangrove, lamun,
dan terumbu karang maka disarankan tidak ada kegiatan budidaya
rumput laut. Sebab, keseimbangan ekosistem akan terganggu dan

4
keberlanjutan dari kegiatan tersebut dipastikan akan terhenti.
Data habitat kritis diperoleh dari hasil survei lapang dan peta
ekosistem pesisir yang telah ada serta bersifat up to date. Selanjutnya,
ketiga habitat kritis tersebut didelineasi. Hasilnya, ditunjukkan oleh
warna ungu (lihat Gambar B) yang berarti lokasi perairan tersebut
berada di luar ketiga ekosistem tersebut dan sesuai untuk budidaya
rumput laut.

u Alur Pelayaran dan DLKr dan DLKp


Alur pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar,
dan bebas hambatan pelayaran lainnya, dianggap aman dan selamat
untuk dilayari oleh kapal di laut, sungai, atau danau. Alur pelayaran
digunakan untuk mengarahkan kapal masuk ke kolam pelabuhan.
Oleh karena itu harus melalui suatu perairan yang terlindung dari
gelombang dan arus.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
menyatakan, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan
dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan
secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. DLKr meliputi wilayah
daratan dan perairan.

Merencanakan Tata Ruang Laut 277


4
D
B
A

Membangun Poros Maritim Dunia


278 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
4
H
F

G
E

Merencanakan Tata Ruang Laut 279


Sementara itu, Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah
perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan
yang digunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. DLKp hanya
meliputi wilayah perairan. Penjelasan tersebut mengindikasikan
bahwa segala kegiatan yang tidak terkait dengan kepelabuhanan atau
keselamatan pelayaran tidak dibolehkan, termasuk budidaya rumput
laut.
Data alur pelayaran dan DLKr dan DLKp diperoleh dari peta Peta
Laut atau sumber lain seperti Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Penetapan DLKr dan DLKp. Selanjutnya, alur pelayaran dan DLKr dan
DLKp didelineasi. Hasilnya, berupa garis (line) untuk alur pelayaran dan
area (polygon) untuk DLKr dan DLKp. Penggambaran area yang di luar
alur pelayaran dan DLKr dan DLKp diberi warna ungu (lihat Gambar
C).

4 u Gelombang dan arus


Pada umumnya perairan yang terlindung berada di bagian teluk
atau selat yang sempit, daerah laguna (goba), dan daerah rataan
karang. Pada perairan-perairan tersebut gelombang dan arus sangat
sesuai untuk budidaya rumput laut.
a. Gelombang
Gelombang menyebabkan pengadukan mineral yang
dibutuhkan oleh rumput laut secara merata pada lingkungan
perairan. Gelombang juga berfungsi membersihkan thallus pada
bibit rumput laut dari organisme penghambat pertumbuhan.
Menurut Winanto dkk (1991), gelombang yang sangat sesuai untuk
budidaya rumput laut adalah kurang dari 100 cm.
b. Arus
Arus berfungsi menyuplai makanan, mempengaruhi
kelarutan oksigen, penyebaran plankton, dan penghilangan CO2
maupun sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987; Romimohtarto,
2003). Kuat dan lemahnya arus akan menghambat kegiatan
budidaya rumput laut karena mempengaruhi sirkulasi air, pembawa
bahan terlarut dan padatan tersuspensi, serta dapat berdampak

Membangun Poros Maritim Dunia


280 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
pada keberadaan organisme penempel. Kecepatan arus yang
sangat sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar antara 20 - 30
cm/detik (Winanto dkk, 1991).
Data gelombang dan arus diperoleh dari survei lapang. Data-
data tersebut lalu dimodelkan dengan perangkat lunak pemodelan
arus dan gelombang seperti MIKE21 dan SMS. Penggambaran
daerah yang terlindung dari gelombang dan arus diberi warna
ungu (lihat Gambar D).

u Kecerahan air
Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya
rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar penetrasi cahaya matahari
dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara
sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses

4
fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak
kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut
(Deptan, 1992). Sedangkan, menurut Winanto dkk (1991), kecerahan
yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut adalah lebih dari 40
cm.

“ Kondisi air yang jernih dengan tingkat


transparansi tidak kurang dari 5 meter
cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut
(Deptan, 1992). Sedangkan, menurut
Winanto dkk (1991), kecerahan yang sangat
sesuai untuk budidaya rumput laut adalah
lebih dari 40 cm.

Merencanakan Tata Ruang Laut 281
Data kecerahan dapat diperoleh dari data citra satelit seperti
Aqua-Modis atau survei lapang. Selanjutnya, data kecerahan tersebut
didelineasi melalui interpolasi. Hasil interpolasi tersebut menghasilkan
area (polygon) untuk kecerahan yang sesuai dengan kriteria budidaya
rumput laut. Penggambaran area kecerahan yang sesuai dengan
kriteria budidaya rumput laut diberi warna ungu (lihat Gambar E).

u Salinitas
Salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh penguapan dan
jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan minim
sehingga penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka
penguapan berkurang dan salinitasnya rendah.
Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan
menyebabkan pertumbuhan rumput laut tidak normal. Salinitas

4
perairan berperan penting bagi organisme laut terutama dalam
mengatur tekanan osmose yang ada dalam tubuh organisme dengan
cairan lingkungannya. Rumput laut tumbuh pada salinitas yang relatif
tinggi yaitu berkisar antara 30 - 34 promil (‰) (Winantodkk, 1991).
Data salinitas diperoleh dari hasil survei lapang. Selanjutnya,
data tersebut didelineasi melalui interpolasi. Hasilnya, berupa area
(polygon) untuk salinitas yang sesuai dengan kriteria budidaya rumput
laut dan diberi warna ungu (lihat Gambar F).

u Derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut


a. pH.
Konsentrasi pH menentukan tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan mikro dan makro alga dalam suatu perairan
terutama rumput laut (Ghufron dan Kordi, 2005). pH air laut umumnya
berkisar antara 7,6 – 8,3. Menurut Kangkan (2006) dan Sunaryat (2004),
kisaran pH yang mendukung budidaya rumput laut adalah 6,5 - 8,5.

b. Oksigen terlarut
Pada perairan terbuka, konsentrasi oksigen terlarut berada pada
kondisi alami sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang

Membangun Poros Maritim Dunia


282 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
miskin oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara
harian dan musiman serta dipengaruhi oleh pencampuran massa
air, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesa, respirasi, dan limbah
yang masuk ke badan air. Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya
sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan organisme laut
(Brotowidjoyo, 1995). Keberadaan oksigen di perairan sangat penting
yaitu terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan. Oksigen
diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi
berbagai organisme perairan (Dahuri, 2004). Menurut Kangkan (2006)
dan Sunaryat (2004), kisaran oksigen terlarut (DO) yang sangat sesuai
untuk budidaya rumput laut adalah lebih besar dari 6 ppm.


Keberadaan oksigen di perairan sangat
penting yaitu terkait dengan berbagai proses
kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan 4
dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia

dan respirasi berbagai organisme perairan
(Dahuri, 2004).

Data pH dan oksigen terlarut diperoleh dari hasil survei lapang.


Selanjutnya, kedua jenis data tersebut didelineasi melalui interpolasi.
Hasilnya, berupa area (polygon) yang sesuai untuk budidaya rumput
laut. Penggambaran kualitas air yang sesuai diberi warna ungu (lihat
Gambar G).
Dari ke-7 gambar tersebut lalu ditumpangtindihkan (overlay).
Hasil akhirnya, dapat diketahui alokasi perairan laut yang sesuai untuk
budidaya rumput laut yang digambarkan dengan warna biru (lihat
Gambar H).
Dengan cara dan metode serupa, kita juga dapat menentukan
zona kesesuaian untuk budidaya ikan kakap putih menggunakan

Merencanakan Tata Ruang Laut 283


keramba jaring apung (KJA) di lepas pantai (offshore). Pembuatan KJA
untuk budidaya ikan di offshore memerlukan beberapa parameter
kesesuaian seperti terlihat pada Tabel berikut ini.

Kriteria teknis pembangunan KJA offshore (Sumber: FAO dan lain-lain)


Parameter Nilai Keterangan
Lokasi > 2 km dari garis pantai Lepas pantai (offshore): > 2 km
Pantai (coast): 0,5 - 3 m
Pesisir (coastal): < 500 m
Kedalaman > 50 meter Lepas pantai (offshore): > 50 m
Pantai (coast): 10 - 50
Pesisir (coastal): < 10 m
Tinggi gelombang < 9 meter Sheltered: < 1,5 m
(1 - 3 meter = Semi-expossed: < 3,5 m
substansial) Expossed: < 6 m

4
Offshore: < 9 m
Tinggi gelombang 5 meter Lepas pantai (offshore): 5 m
signifikan (1 - 2 meter = Pantai (coast): 3 -4 m
substansial) Pesisir (coastal): 1 m
Kecepatan arus 0,5 - 1 m/s Substansial
Kecepatan angin < 21 knot Substansial: 10 knot
Substrat Kerikil, pasir, tanah liat Baik
Redox potential > (-200) Baik
Zat padat < 10 mg/l Baik
tersuspensi
Kecerahan air 1-5m Optimal
Oksigen terlarut (DO) 6 - 7 mg/l Optimal
Temperatur 28 - 32 oC Optimal
Range: 16 - 35 oC
Salinitas 30 - 35 ppt Optimal
Range: 0-36 ppt untuk
budidaya laut
pH 7,5 - 8 Optimal
Amonia < 0,5 ppm Optimal
Nitrite < 4 mg/liter Optimal
Nitrate < 200 mg/liter Optimal

Membangun Poros Maritim Dunia


284 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Secara geografis, laut Indonesia memiliki keunggulan lebih tinggi
untuk pemanfaatan budidaya ikan menggunakan KJA di offshore
dibandingkan dengan negara lain di lintang tinggi baik di belahan
bumi utara maupun selatan seperti Norwegia, Kanada, Jepang,
Amerika Serikat, dan Australia. Mengapa demikian?
Berdasarkan kajian, wilayah Indonesia yang berada di garis
khatulistiwa terbebas dari badai siklon. Badai ini kerap terjadi pada
wilayah dengan posisi di atas 5o Lintang Utara (LU) dan di atas 5o
Lintang Selatan (LS). Indonesia luput dari badai siklon karena berada
lintang 0 (masih dalam interval kurang dari 5o LS dan 5o LU).
Dengan demikian, biaya pembuatan KJA di offshore tergolong jauh
lebih murah daripada lokasi-lokasi lain di lintang tinggi. Pembuatan
KJA di offshore Norwegia misalnya, harus dirancang lebih kuat agar
mampu bertahan menghadapi ombak tinggi dan angin kencang.

Tampak laut Indonesia memiliki sabuk yang tenang (calm belt). Perairan di
atas dan di bawahnya menunjukkan lokasi yang sering terkena badai (storm).
Berdasarkan parameter ini, laut Indonesia lebih unggul dalam pemanfaatan
budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di lepas pantai (offshore).
Perairan Indonesia tidak pernah diterjang badai, paling hanya terkena ekor
badai, itupun hanya sebatas di wilayah utara Sulwesi serta di sepanjang selatan
Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Merencanakan Tata Ruang Laut 285


Pada saat cuaca tenang, kawasan KJA di Norwegia tersebut bisa
digunakan para wisatawan melancong ke sana. Dengan naik perahu
mereka dapat mendekat, memberi pakan, serta melihat atraksi ikan-
ikan yang dibudidayakan dalam KJA.

4
Contoh budidaya ikan dengan menggunakan KJA di offshore Norwegia. Negara
ini sangat maju dalam budidaya ikan salmon lepas pantai.

Di Indonesia, sampai buku ini ditulis (Januari 2017) belum ada


budidaya ikan dengan menggunakan KJA di laut lepas. Kementerian
Kelautan Perikanan berencana melakukan budidaya ikan kakap putih
di KJA di tiga lokasi offshore, yakni Karimunjawa, Jepara (Jawa Tengah),
Pangandaran (Jawa Barat), dan Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam).
Ketiga lokasi offshore tersebut dinilai memiliki kesesuaian untuk
budidaya ikan kakap putih dalam KJA.

8 Analisis Nonspasial
Setelah diperoleh Peta Alokasi Ruang, selanjutnya perlu
dilakukan analisis nonspasial. Hasil analisis nonspasial ini nantinya
diformulasikan untuk menyempurnakan usulan peta alokasi ruang

Membangun Poros Maritim Dunia


286 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
menjadi peta rencana tata ruang laut/rencana zonasi. Berdasarkan
ketentuan, ada delapan analisis nonspasial yang perlu mendapat
perhatian.
Pertama, analisis kebijakan dan kewilayahan. Analisis ini
digunakan untuk melihat kedudukan wilayah perencanaan terhadap
kebijakan rencana tata ruang nasional/provinsi/kabupaten/kota,
dan menyesuaikan perencanaan yang dibuat dengan kebijakan


Setelah diperoleh Peta Alokasi Ruang,
selanjutnya perlu dilakukan analisis nonspasial.
Hasil analisis nonspasial ini nantinya
diformulasikan untuk menyempurnakan usulan
peta alokasi ruang menjadi peta rencana
tata ruang laut/rencana zonasi. Berdasarkan
4

ketentuan, ada delapan analisis nonspasial yang
perlu mendapat perhatian.

pembangunan baik pusat maupun daerah. Tujuannya agar kegiatan


yang dilakukan nantinya tidak terjadi tumpang tindih. Di samping
itu, analisis yang didasarkan pada kebijakan pembangunan nasional
meliputi juga kebijakan geopolitik dan pertahanan keamanan.
Sementara itu, analisis kewilayahan digunakan untuk melihat
kecenderungan perkembangan kawasan di wilayah perencanaan
berdasarkan potensi fisik wilayah dan kondisi ekonomi, sosial, budaya
yang ada.
Kedua, analisis sosial dan budaya. Dalam upaya untuk mencapai
pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkat-

Merencanakan Tata Ruang Laut 287


an kesejahteraan masyarakat, perlu dilakukan penilaian/analisis sosial
budaya di wilayah dan atau kawasan. Penilaian/analisis sosial (urban
social indicator) meliputi kependudukan/demografi, struktur sosial
budaya, pelayanan sarana dan prasarana sosial dan budaya, potensi
sosial budaya masyarakat, atau kesiapan masyarakat terhadap suatu
pengembangan.


Kondisi infrastruktur dapat diketahui
berdasarkan data sekunder yang telah ada
dan observasi langsung di lapangan. Pemetaan
dilakukan dengan cara digitalisasi data
sekunder dan plotting lokasi secara langsung
4 di lapangan, meliputi sarana dan prasarana

transportasi, air bersih, listrik dan energi,
sanitasi, serta prasarana lainnya.

Tujuan analisis ini adalah mengkaji kondisi sosial budaya


masyarakat yang mendukung atau menghambat pengembangan
wilayah dan atau kawasan, serta memiliki fungsi antara lain:
1. Sebagai dasar penyusunan rencana tata ruang wilayah dan/atau
kawasan serta pembangunan sosial budaya masyarakat.
2. Mengidentifikasi struktur sosial budaya masyarakat.
3. Menilai pelayanan sarana dan prasarana sosial budaya yang
mendukung pengembangan wilayah dan/atau kawasan.
4. Menentukan prioritas-prioritas utama dalam formulasi kebijakan
pembangunan sosial budaya masyarakat.
5. Memberikan gambaran situasi dan kondisi obyektif dalam proses
perencanaan.

Membangun Poros Maritim Dunia


288 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Ketiga, analisis infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sebaran infrastruktur
yang ada, sebagai data dasar dalam pengembangan struktur wilayah
dan acuan dalam analisis proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana
kelautan dan perikanan.
Kondisi infrastruktur dapat diketahui berdasarkan data sekunder
yang telah ada dan observasi langsung di lapangan. Pemetaan
dilakukan dengan cara digitalisasi data sekunder dan plotting
lokasi secara langsung di lapangan, meliputi sarana dan prasarana
transportasi, air bersih, listrik dan energi, sanitasi, serta prasarana
lainnya.
Keempat, analisis ekonomi wilayah. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui pola distribusi perkembangan ekonomi wilayah melalui

4
PDRB, pertumbuhan pusat-pusat kegiatan di wilayah kajian, sektor
basis wilayah dan/atau kawasan untuk mengetahui sektor yang
memberikan sumbangan/kontribusi relatif yang cukup besar terhadap
PDRB di suatu wilayah dan/atau kawasan.
Dengan demikian sektor tersebut sebagai sektor basis (dominan),
dan komoditas unggulan wilayah pada sektor basis yang memiliki
keunggulan komparatif dan berpotensi ekspor. Komoditas unggulan
merupakan komoditas kunci yang memiliki peran penting, baik secara
langsung maupun tidak langsung dan bersifat multiplier effect.
Kelima, analisis pengembangan wilayah. Identifikasi ini
meliputi berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya di masa
mendatang yang diproyeksikan di dalam kawasan perencanaan
yang berpotensi untuk pengembangan wilayah. Beberapa
pertimbangan untuk melihat potensi pengembangan wilayah di
antaranya:

• Potensi sumber daya lokal.


Potensi ini dapat dilihat dari sumber daya unggulan di suatu
wilayah yang akan dibuat tata ruang laut/rencana zonasi.
Pendekatan identifikasinya menggunakan kerangka ekonomi

Merencanakan Tata Ruang Laut 289


kewilayahan, pendekatan keunggulan komparatif (comparative
advantage approach), dan pendekatan keunggulan bersaing
(competitive advantage approach).
• Potensi lingkungan strategis.
Potensi ini dapat menggunakan cara pandang yang sedang
berkembang di lingkup global, regional, dan nasional. Pendekatan
identifikasinya menggunakan upaya sintesis dari berbagai
informasi terkini.

Keenam, analisis dampak aktivitas dari wilayah sekitar.


Identifikasi ini dibutuhkan untuk mengetahui dampak aktivitas dari
wilayah sekitar terhadap wilayah perencanaan zonasi, sehingga dapat
dilakukan antisipasi atau adaptasi yang dibutuhkan.
Ketujuh, analisis isu dan permasalahan perencanaan di per-

4
airan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Kegiatan identifikasinya
meliputi antara lain:
• Identifikasi daerah rawan bencana seperti banjir, tsunami, erosi,
abrasi, sedimentasi, akresi garis pantai, subsiden/longsoran tanah,
serta gempa bumi.
• Identifikasi masalah lingkungan dan pencemaran yang meliputi
intrusi air laut/asin, polusi, kerusakan ekosistem/habitat hutan
mangrove, dan kerusakan ekosistem/habitat terumbu karang.
• Identifikasi daerah konservasi/perlindungan: kawasan lindung
nasional/kawasan konservasi yang ditetapkan secara nasional
(taman nasional, taman laut, cagar alam, suaka alam laut), kawasan
konservasi yang sedang diusulkan oleh daerah, dan daerah
perlindungan laut lokal.
• Identifikasi aktivitas di daratan yang berpengaruh terhadap
kegiatan pada kawasan perairan.
• Konflik penggunaan lahan.
• Konflik sosial.
• Kesenjangan ekonomi antara wilayah pesisir dan daratan utama.

Membangun Poros Maritim Dunia


290 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
12 mil

Imajinasi alokasi ruang di perairan laut.


Kabel/pipa bawah laut
4
Kedelapan, analisis konflik pemanfaatan ruang (resolusi konflik).
Konflik dalam penyusunan rencana tata ruang laut/rencana zonasi
dapat terjadi pada saat tahap penyusunan rencana alokasi ruang dan
pada tahapan konsultasi publik.
Hasil analisis non spasial diformulasikan untuk menyempurnakan
usulan peta alokasi ruang menjadi peta RZWP-3-K.

Manajemen Konflik
Pada tahap penyusunan rencana alokasi ruang, identifikasi kon-
flik dilakukan terhadap berbagai kegiatan di wilayah pesisir dan pu-
lau-pulau kecil yang bersinggungan namun tidak sesuai (compatible).
Hasil analisis paket sumber daya dilanjutkan dengan beberapa analis-
is lanjutan. Dari sini lalu diidentifikasi antarkegiatan/zona untuk me-
milih kegiatan/zona yang paling sesuai dengan cara membuat matrik
kesesuaian/keterkaitan. Matrik keterkaitan antarzona menguraikan

Merencanakan Tata Ruang Laut 291


hubungan antarzona dalam suatu wilayah perencanan untuk melihat
harmonisasi antarzona.
Konflik dapat terjadi pada pemanfaatan ruang secara horizon-
tal dan vertikal. Secara horizontal, konflik pada level zona bisa terjadi
dalam kegiatan pemanfaatan pertambangan, industri dan perikanan
tangkap. Sedangkan secara vertikal, konflik dapat muncul pada ke-
giatan pertambangan, perikanan tangkap, dan perikanan budidaya.
Pada tahap konsultasi publik, peluang terjadinya konflik besar
sekali. Konflik dimungkinkan terjadi karena tidak semua harapan dari
para pemangku kepentingan terakomodasi dalam rencana zonasi
tersebut. Konflik ini dapat memberikan dampak positif jika seluruh
pihak mau menghormati pemikiran masing-masing pemangku
kepentingan dan memperoleh kesepakatan mengenai kebutuhan
prioritas yang perlu diadopsi dalam rencana zonasi.

4
Di sisi lain, konflik dalam konsultasi publik bisa berdampak
negatif saat ada satu atau lebih pihak memaksakan keinginannya dan
tidak mau bernegosiasi. Pada tahapan ini, jika semua pihak bersikeras
untuk memasukkan keinginannya dalam rencana zonasi maka akan
terjadi dead lock sehingga tidak terjadi kesepakatan. Rencana zonasi
menjadi terkatung-katung penyelesaiannya.
Pada tahap pembahasan pemberian tanggapan dan/atau saran,
konflik kepentingan berpeluang terjadi apabila masing-masing
pemangku kepentingan ada yang merasa kebutuhannya tidak
terakomodasi.
Berbagai konflik yang muncul tersebut memerlukan manajemen
konflik, yaitu suatu proses yang diarahkan pada pengelolaan konflik
agar terjadi suatu kondisi yang lebih terkendali melalui suatu rekayasa
yang dilakukan untuk mengendalikan konflik agar menjadi lebih baik.
Dengan berusaha mengendalikan konflik, diharapkan tidak sampai
terjadi akumulasi dan besaran berkembangnya konflik menjadi
destruktif.
Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam
manajemen konflik. Pertama, mencegah konflik, yakni suatu usaha
yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan

Membangun Poros Maritim Dunia


292 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang
terlibat.
Kedua, menyelesaikan konflik, yaitu suatu bentuk usaha
untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun
hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara para kelompok
yang bermusuhan.
Ketiga, transformasi konflik, yaitu suatu upaya yang dilakukan
untuk mengatasi berbagai sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif menjadi positif.
Secara garis besar ada dua cara penyelesaian konflik, yakni me-
lalui kolaborasi membangun konsensus dan penyelesaian melalui
proses legal. Penyelesaian cara pertama dapat dilakukan hanya de-
ngan menyertakan para pihak yang terlibat konflik maupun dengan
melibatkan pihak ketiga.

4
Secara umum strategi resolusi konflik seharusnya dimulai de-
ngan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik
sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan peta tersebut, segala ke-
mungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cer-
mat sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan
dengan baik.

Perlu Selaras, Serasi, dan Seimbang


Rencana alokasi ruang RZWP3K yang dihasilkan perlu disela-
raskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan RTRW sesuai de-
ngan amanat UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, juga per-
lu diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan tata ruang
laut/rencana zonasi daerah yang bersebelahan atau berhadapan.
Tujuan penyelarasan, penyerasian, dan penyeimbangan antara
RZWP-3-K dan RTRW adalah untuk mereview dan membandingkan
draft dokumen antara RZWP-3-K dan rencana lain yang telah disahkan
dan untuk merevisi draft dokumen antara RZWP-3-K tersebut. Dengan
demikian tercipta konsistensi antara rencana-rencana dan program-
program yang telah disahkan.

Merencanakan Tata Ruang Laut 293


“ Rencana alokasi ruang RZWP3K
yang dihasilkan perlu diselaraskan,
diserasikan, dan diseimbangkan
dengan RTRW sesuai dengan amanat
UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No.
1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau “
4
Kecil.

Penyelarasan, penyerasian, dan penyeimbangan tersebut dilaku-


kan melalui tiga cara. Pertama, menyelaraskan atau mengadopsi pola
ruang dan struktur ruang daratan pesisir RTRW ke dalam RZWP-3-K.
Kedua, menyerasikan alokasi ruang perairan pesisir dan pulau-pulau
kecil dalam RZWP-3-K yang bersinggungan dengan pola ruang dalam
RTRW. Ketiga, menyeimbangkan/memadukan rencana pemerintah
dan Pemda yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundang-un-
dangan ke dalam alokasi ruang perairan pesisir dalam RZWP-3-K.
Penyerasian, penyelarasan, dan penyeimbangan dilakukan oleh
menteri, untuk provinsi yang bersebelahan atau berhadapan. Setelah
RZWP-3-K diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan
RTRW, maka disusun peraturan pemanfaatan ruang yang memuat
lokasi dan kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan
setelah memperoleh izin.

Membangun Poros Maritim Dunia


294 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Rekomendasi Terhadap RTRW
Hasil penyerasian, penyelarasan, dan penyeimbangan RZWP-
3-K dengan RTRW, dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam
menetapkan struktur dan pola ruang yang terdapat di dalam RTRW.
Rekomendasi terhadap RTRW meliputi:
1. Alokasi ruang di WP3K untuk kegiatan-kegiatan yang memiliki
keterkaitan terhadap sumber daya di WP3K.
2. Kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) dapat menjadi muatan
kawasan strategis RTRW.
3. Penetapan kawasan strategis WP3K.

Menyusun Indikasi Program dan Peraturan Pemanfaatan Ruang


Setelah alokasi ruang ditetapkan, proses selanjutnya adalah
menyusun indikasi program dan peraturan pemanfaatan ruang.

4
Indikasi program memuat program-program utama dalam rangka
mewujudkan rencana tata ruang dan dijabarkan dalam jangka waktu
perencanaan lima tahunan hingga akhir tahun perencanaan 20 tahun.
Peraturan pemanfaatan ruang berisi ketentuan pemanfaatan ruang
dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap zona
peruntukan.

Konsultasi Publik
Konsultasi publik pada tahap ini merupakan pelaksanaan
konsultasi publik yang dilakukan untuk memverifikasi draft rencana
zonasi, arahan pemanfaatan dan memeriksa konsistensi draft RZWP-
3-K dengan RTRW dan aturan-aturan lainnya. Dengan demikian,
draft rencana alokasi ruang dapat disepakati oleh semua pemangku
kepentingan daerah.
Sasaran yang ingin dicapai adalah perbaikan dan penyempur-
naan dari draft dokumen antara dan memfasilitasi aspirasi dari seluruh
stakeholder terkait, serta penetapan alokasi ruang ke dalam kawasan/
zona dalam dokumen final yang akan disusun. Hasil dari konsultasi
publik) adalah diperoleh kesepakatan pemanfaatan ruang (kawasan/
zona).

Merencanakan Tata Ruang Laut 295


Setelah konsultasi publik, maka seluruh dokumen yang telah
dikonsultasi ke publik harus diperbaiki sesuai dengan masukan,
tanggapan, atau saran. Dari sinilah maka tujuan, kebijakan, strategi
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peta rencana
zonasi, deskripsi potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
dan kegiatan pemanfaatan, peraturan pemanfaatan ruang, serta
indikasi program dibahasahukumkan menjadi draft rancangan
peraturan perundangan tentang tata ruang laut yang berupa
peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, atau
peraturan daerah sesuai dengan hierarki perencanaannya. Langkah
selanjutnya adalah melakukan proses penetapan/legalisasi terhadap
draft rancangan peraturan perundangan tersebut, sampai pada
akhirnya dapat ditetapkan ke dalam peraturan perundangan. Jenis,
skala dan bentuk legalisasi perencanaan tata ruang laut/rencana

4
zonasi ditunjukkan pada tabel berikut.

Jenis, skala dan bentuk legalisasai perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi
Skala Peta
No. Jenis Bentuk Legalitas
Minimal
1. Tata Ruang Laut Nasional 1:1.000.000 Peraturan Pemerintah
2. Rencana Zonasi KSN 1:50.000 Peraturan Presiden
3. Rencana Zonasi KSNT(PPKT) 1:50.000 Peraturan Menteri
4. Rencana Zonasi Teluk 1:500.000 Peraturan Presiden
5. Rencana Zonasi Selat 1:500.000 Peraturan Presiden
6. Rencana Zonasi Laut 1:500.000 Peraturan Presiden
Renacana Zonasi WP3K 1:250.000
7. Peraturan Daerah
Provinsi dan 1:50.000

Membangun Poros Maritim Dunia


296 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Libatkan Stakeholders dan
Masyarakat Dalam Rencana
Tata Ruang Laut/Rencana
Zonasi

Berhasil-tidaknya pengelolaan wilayah laut dan pesisir


4
sangat tergantung pada sampai sejauh mana kita mampu
membuat sebuah perencanaan tata ruang laut yang andal.
Pengalaman membuktikan, banyak keberhasilan dicapai
berdasarkan pada perencanaan yang matang, rasional,
menyeluruh, dan komprehensif (terpadu).

B
egitu pula sebaliknya, perencanaan yang terburu-buru --apa-
lagi tanpa melibatkan masyarakat -- hanya akan menghasilkan
kebijakan yang kurang dapat diterima oleh stakeholders dan
masyarakat. Implikasi berikutnya, menimbulkan berbagai konflik di
antara stakeholder yang berkepanjangan, tiada akhir.
Rencana tata ruang laut merupakan kebijakan publik lintas sek-
tor yang berjangka 20 tahun dan merupakan bagian tak terpisahkan
dari rencana pembangunan jangka panjang. Oleh karena itu agar pe-

Merencanakan Tata Ruang Laut 297


rencanaan tersebut memenuhi rasa keadilan dan dapat diimplemen-
tasikan, kata kuncinya harus disusun secara komprehensif, holistik,
dan berbasis partisipasi stakeholders dan masyarakat.
Di samping itu, mengingat informasi tersebar beragam di
masing-masing stakeholders dengan kepentingan yang berbeda-beda
pula, maka sifat komprehensif suatu perencanaan pada dasarnya
dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders
termasuk masyarakat agar diperoleh informasi yang lengkap dan
dapat dipahami bersama guna membangun keputusan yang terbaik.
Perkembangan konflik antara stakeholders dari waktu ke waktu
ternyata terus berkembang semakin kompleks, oleh karenanya
pendekatan-pendekatan perencanaan partisipatif semakin banyak
dikembangkan bukan hanya di pedesaan atau di negara-negara yang
sedang berkembang, bahkan juga semakin dibutuhkan di lingkup

4
negara-negara maju dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Pendekatan partisipatif dapat menutupi terbatasnya informasi
yang berdampak serius pada terjadinya bounded rationality. Pende-
katan partisipatif yang baik pada dasarnya juga akan menjamin pe-
nerimaan (acceptability) dari pihak-pihak yang berkepentingan,
dibandingkan pendekatan lainnya. Perencanaan partisipatif merupa-
kan proses yang paling kompleks dengan biaya transaksi (transaction
cost) di dalam proses pengambilan keputusannya relatif tinggi.
Dalam praktiknya, proses ini dapat berlangsung lama dan
kompleks karena melibatkan pihak yang sangat luas dengan interest
yang sangat berbeda. Namun, secara teoritik, biaya yang tinggi
dari proses ini dapat “terbayar” dari rendahnya biaya pelaksanaan
dan pengendaliannya. Terdapatnya kesamaan pemahaaman, visi,
dan rencana pelaksanaan serta sistem pengendaliannya sebagai
hasil keputusan bersama antar stakeholders akan lebih menjamin
kemudahan-kemudahan di dalam pelaksanaan dan pengendalian,
karena adanya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dari
keputusan-keputusan perencanaan yang disepakati di dalam proses
partisipatif.
Biaya transaksi proses perencanaan partisipatif akan meningkat

Membangun Poros Maritim Dunia


298 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
seiring dengan kompleksitas permasalahannya, dan juga semakin
tinggi karena disebabkan oleh tingginya jumlah dan keragaman pihak-
pihak yang harus terlibat, keragaman kepentingan dan intensitas
konflik antar stakeholders yang ada, luas dan jumlah isu/permasalahan
yang harus diselesaikan serta skala (luas) wilayah geografis yang
direncanakan. Perencanaan yang lebih menekankan proses
partisipatif secara mendalam akan sangat relevan dan realistis untuk
diselenggarakan pada kondisi-kondisi wilayah dengan kompleksitas
yang dapat diperkirakan.

“ Perencanaan partisipatif
dalam skala regional akan efektif jika

4
proses-proses sosial dan social capital
berlangsung secara memadai.

Perencanaan partisipatif dalam skala regional akan efektif


jika proses-proses sosial dan social capital berlangsung secara
memadai. Pendekatan-pendekatan partisipatif umumnya gagal
menyumbangkan perencanaan yang baik sebagai akibat waktu
pelaksanaanya yang sangat terbatas dan kapasitas sosial masyarakat
(social capital) yang masih lemah.
Hal ini menjadi penting karena rencana tata ruang laut merupa-
kan instrumen perizinan di perairan laut terkait pemanfaatan sumber
daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permu-
kaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada
batas keluasan tertentu.
Oleh karena itu, apa yang ingin dicapai dengan adanya partisi-
pasi adalah terciptanya kaidah politik demokratis dan transparan serta
dapat meningkatkan kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang
terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah pro-

Merencanakan Tata Ruang Laut 299


gram. Caranya, libatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan
kegiatan-kegiatan selanjutnya untuk jangka yang lebih panjang.
Hal ini sesuai dengan teori dan praktik yang telah berjalan yang
merekomendasikan adanya pelibatan partisipasi dari pemangku
kepentingan utama dalam proses perencanaan. Partisipasi ini dapat
dilakukan melalui penyelenggaraan lokakarya.
Lokakarya bisa menjadi alat yang paling efektif untuk mengga-
lang partisipasi. Dengan pengenalan informasi yang sesuai dan waktu
yang tepat, sekelompok orang yang berpartisipasi dalam lokakarya
dapat mencapai kesimpulan yang masuk akal dan logis. Mereka juga
akan menunjukkan komitmen yang tinggi atas kesimpulan tersebut.
Lokakarya akan berhasil jika memenuhi lima kriteria. Pertama,
peserta lokakarya memunculkan ide, menata idenya dan mencapai
konsensus, serta kesepakatan di antara mereka. Kedua, tujuan dan

4
kebijakan, misalnya bagian isi (what) dari rencana, bisa disusun melalui
partisipasi masyarakat.
Ketiga, tindakan dan kegiatan, misalnya bagian bagaimana (how)
dari rencana, bisa diselesaikan oleh para pemangku kepentingan yang
akan ikut serta dalam pelaksanaan rencana tersebut. Keempat, ada
fasilitasi dari sekelompok tim ahli yang terdiri dari latar belakang dan
keahlian disiplin ilmu yang beragam. Kelima, ada tim koordinator yang
ditunjuk dari pemangku kepentingan dan tim ahli tersebut.
Perencanaan partisipatif merupakan pendekatan baru yang ma-
sih menyisakan beberapa kesulitan. Di antaranya, kesulitan mendapat-
kan komitmen dari pimpinan, kesulitan dalam melegitimasikan hasil
rencana kerja, khususnya dalam pendanaan dan kesulitan menetap-
kan sasaran/target secara kuantitatif. Kendala lain adalah cenderung
menggunakan banyak tenaga namun jumlah fasilitator dan tenaga
ahli yang andal masih terbatas.
Walaupun terdapat beberapa kendala tersebut, namun proses
perencanaan partisipatif benar-benar merupakan proses penguatan
kapasitas di antara para pemangku kepentingan. Untuk perencanaan
tata ruang laut/rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
kolaborasi dan kerja sama di antara pemangku kepentingan merupa-

Membangun Poros Maritim Dunia


300 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
kan unsur yang tidak dapat dihindari untuk mencapai keberhasilan.
Proses perencanaan partisipatif mengizinkan pemangku
kepentingan terlibat mulai dari permulaan dan menghindarkan
pembebanan sewenang-wenang dari solusi perencanaan top-down.
Selama proses perencanaan, informasi yang sesuai dari semua aspek
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus disediakan
sehingga para peserta yang terlibat dapat memperkaya pengetahuan
mereka dan memperdalam pemahamannya.
Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut terdiri dari tujuh
hal. Pertama, mencakup semua orang atau wakil-wakil dari semua
kelompok yang terkait dengan hasil-hasil suatu keputusan atau proses
pembangunan (SKPD, LSM, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan
swasta).
Kedua, kesetaraan dan kemitraan (equal partnership). Pada

4
dasarnya, setiap orang mempunyai ketrampilan, kemampuan,
prakarsa, dan hak untuk menggunakan prakarsa tersebut dalam setiap
proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.
Ketiga, transparansi. Artinya, semua pihak harus dapat menum-
buhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan
kondusif sehingga menimbulkan dialog.
Keempat, kesetaraan kewenangan (sharing power atau equal
powership). Di sini, berbagai pihak yang terlibat harus dapat
menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk
menghindari terjadinya dominasi.
Kelima, kesetaraan tanggung jawab (sharing responsibilty). Ini
berarti, berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam
setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power)
dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan
langkah-langkah selanjutnya.
Keenam, pemberdayaan (empowerment). Keterlibatan berbagai
pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
setiap pihak. Dengan demikian, melalui keterlibatan aktif dalam
setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling

Merencanakan Tata Ruang Laut 301


memberdayakan satu sama lain.
Ketujuh perlu adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat un-
tuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan
yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber
daya manusia.

Mencapai Keharmonisan dan Konsensus


Proses penyusunan dokumen perencanaan partisipatif setidak-
nya memerlukan partisipasi aktif pemangku kepentingan dan kon-
sultasi publik. Konsultasi publik dimaksudkan agar aturan hukum yang
dihasilkan dapat: (a) memenuhi rasa keadilan (filosofis), (b) memenuhi
aspirasi dan sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat (sosiolo-
gis), (c) menjunjung tinggi supremasi dan kepastian hukum (yuridis),
(d) diperoleh legitimasi publik baik formal maupun kultural—sehingga

4
lebih terjamin implementasinya, (e) terhindar dari penyusunan doku-
men perencanaan yang tidak dapat diimplementasikan di lapangan,
(f ) mencegah terjadinya disharmonisasi antarlembaga (sektoral), an-
tarkompetensi (di lapangan) dan lain-lain, serta (g) dimulainya proses
penyusunan dokumen perencanaan yang bersifat bottom-up.
Selain itu, konsultasi publik juga akan menjamin: (a) mekanisme
peran serta yang memadukan berbagai aspirasi, (b) berbagai kelompok
sosial ekonomi masyarakat secara aktif dan genuine mengemukakan
pendapat serta ambil bagian dan memberikan kontribusinya dalam
sebuah proses pengambilan keputusan, serta (c) masyarakat dapat
ikut mengawasi dan mengevaluasi.

Membangun Poros Maritim Dunia


302 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Merencanakan Tata Ruang
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil Berbasis Mitigasi Bencana

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia


merupakan daerah rawan bencana seperti tsunami, rob,
abrasi, dan lain sebagainya. Sejarah mencatat, selama dua
4
dasawarsa terakhir ini bencana tersebut menimbulkan
korban ratusan ribu orang meninggal dunia. Tak hanya itu,
kerugian material ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah.

L
alu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi bencana
alam tersebut yang tidak pasti kapan datangnya itu? Harus
diakui, tidaklah mudah mengelola bencana tersebut. Apalagi
kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim. Selain
itu, kita juga masih lemah dalam melakukan perencanaan tata ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis mitigasi.
Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian harta benda ketika
bencana alam menghampiri mereka. Kondisi itu diperparah lagi
dengan karakteristik bencana alam yang memiliki kekuatan teramat
besar.

Merencanakan Tata Ruang Laut 303


Tidaklah mungkin kecerdikan manusia mencegah kedahsyatan
bencana alam. Kemampuan manusia hanya sebatas mengurangi
dampak bencana. Tindakan semacam itu biasanya disebut mitigasi
atau suatu upaya guna mengurangi risiko atau dampak dari suatu
bencana.
Menurut UU No 27/2007 Jo UU No 1/2014 tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik
(pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun nonstruktur
atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Upaya mitigasi harus dilaksanakan sejak pada tahap perencanaan.
Hal ini sesuai dengan UU No 27/2007 Jo UU No 1/2014, yaitu dalam
menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan

4
pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah
wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi
bencana sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya.
Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan
bencana yang selama ini dilakukan perlu direformasi dari pendekatan
fatalistik-reaktif melalui majemen krisis menjadi pendekatan terencana
pro-aktif melalui pengurangan risiko. Pengurangan risiko ini meliputi
tiga upaya; pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di dalam UU No
27/2007 ketiga upaya tersebut disebut mitigasi.
Perencanaan tata ruang/rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil merupakan amanat UU No 27/2007 Jo UU 1/2014
yang wajib disusun oleh pemerintah daerah provinsi dalam bentuk
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
Dokumen RZWP-3-K memberikan arah penggunaan sumber daya
tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan
pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang
boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya boleh
dilakukan setelah memperoleh izin. Dalam hal ini penetapan struktur
dan pola ruang mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta
risiko bencana.

Membangun Poros Maritim Dunia


304 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Peta rawan bencana adalah peta petunjuk zonasi tingkat bahaya
suatu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu.
Sementara itu, peta risiko bencana adalah peta petunjuk zonasi tingkat
risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu
tertentu yang bersifat dinamis dan merupakan hasil perpaduan antara
peta rawan bencana (hazard map) dan peta kerentanan (vulnerability
map).

“ Perencanaan tata ruang/rencana zonasi


wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
merupakan amanat UU No 27/2007 Jo UU
1/2014 yang wajib disusun oleh pemerintah
daerah provinsi dalam bentuk Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil “ 4
(RZWP-3-K).

Menurut Pasal 9 ayat 3 pada UU No 27/2007 Jo UU No 1/2014,


perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
dengan mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan dengan
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan perlindungan,
dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya,
serta fungsi pertahanan dan keamanan. Di sini, fungsi perlindungan
termasuk perlindungan terhadap ancaman bencana.
Oleh karena itu dalam upaya menata kembali ruang wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana untuk keperluan mitigasi
bencana disarankan mengikuti beberapa prinsip dasar rencana zonasi/
penataan ruang guna meminimalisasi risiko bencana. Ke-7 prinsip itu
adalah:

Merencanakan Tata Ruang Laut 305


1. Kenali kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana
sebagai ancaman bahaya.
2. Kenali bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(landai, terjal, berbatu, berpasir, dan lain-lain).
3. Identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (perikanan, pariwisata, permukiman, transportasi,
dan lain-lain).
4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan
bencana (mangrove, hutan pantai, sand dune, dan lain-lain).
5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang
ditempatkan (break water, pelabuhan, bangunan tinggi, dan
lain-lain).
6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (menentukan kerentanan dan

4
risiko).
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang
dengan mempertimbangkan keindahan, keberaturan, dan
keselamatan.

Budaya Keselamatan
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara spasial
atau keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen yang rentan, dan
potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan-kawasan rawan
bencana sebaiknya tidak dialokasikan untuk kegiatan pemanfaatan.
Namun dalam praktiknya, masyarakat bersikap pragmatis. Bagi
mereka bencana alam merupakan takdir yang harus dihadapi
sehingga tetap menempati atau memanfaatkan daerah rawan
bencana. Sikap ini membawa konsekuensi terhadap rendahnya
tingkat keamanan ketika bencana alam terjadi. Akibatnya, dampak
dari bencana alam tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar
di masyarakat.
Di sisi lain, perencana tata ruang kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil memiliki idealisme tinggi dengan mengutamakan

Membangun Poros Maritim Dunia


306 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
tingkat keamanan tinggi dalam menghadapi dampak bencana yang
ditimbulkan. Lalu, bagaimana mempertemukan antara idealisme dan
pragmatisme tersebut?
Tak ada cara lain, kedua belah pihak ---perencana dan masyara-
kat— harus melakukan kompromi dalam proses perencanaan parti-
sipatif. Dengan demikian para pihak tersebut sepakat menetapkan
konsensus tingkat risiko yang diambil dan implikasinya.

Kompromi
Fenomena

?
Positivisme Pragmatisme
Perencana Warga

4
Kondisi ideal Bencana itu takdir
- tingkat keamanan - tingkat keamanan
maksimum (total rendah asal dapat
safe) dimanfaatkan

subandono.diposaptono@yahoo.com

Persoalan penentuan “tingkat risiko” kawasan rencana yang diambil.

Bagi kawasan yang sudah terdapat kegiatan pemanfaatan,


pemerintah dapat memberikan pengarahan untuk kegiatan
mitigasinya. Pemerintah juga harus berani bersikukuh untuk tidak
memberikan izin bagi pemanfaatan baru. Sebut saja misalnya tidak
mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) di tempat yang berisiko
terjadi bencana. Kalaupun terpaksa menempati daerah berisiko maka
rumah dan bangunan harus dibangun tahan bencana dan diterapkan
building code yang ketat.
Berhasil tidaknya pelaksanaan semua perencanaan tersebut
diatas, sangat tergantung pada peran Bappeda. Artinya, Bappeda
harus mampu memfasilitasi terlaksananya perencanaan tata ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana dan

Merencanakan Tata Ruang Laut 307


yang sudah disepakati dalam dokumen. Di samping itu, Bappeda
harus mampu mengharmonisasikan dan menyinergikan dengan
perencanaan pembangunan daerah yang lain seperti RPJPD, RPJMD,
dan RKPD.
Perangkat daerah selanjutnya memastikan bahwa dokumen
SKPD telah menampung muatan perencanaan tata ruang wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana, me-review,
mengesahkan, atau menolak berbagai kegiatan yang tidak sejalan
dengan kebijakan dan program pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang telah disepakati bersama.
Secara filosofis, rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berbasis mitigasi dapat ditempuh setidaknya melalui empat
alternatif (lhat Gambar). Pertama, pola protektif, yakni dengan
membuat bangunan pantai yang secara langsung menahan proses

4
alam yang terjadi akibat tsunami atau kenaikan paras muka air laut/
tsunami. Cara ini yang paling banyak dikembangkan di Indonesia.
Kedua, pola akomodatif, yakni berusaha menyesuaikan pengelola-
an pesisir dan pulau-pulau kecil dengan perubahan alam yang terjadi
akibat tsunami atau kenaikan paras muka air laut/tsunami. Saat
ini mulai banyak dikembangkan pendekatan mega scale, di mana
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil direncanakan berdasar
pola morfodinamika spesifik di pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dikembangkan.
Ketiga, pola mundur (retreat) atau do-nothing, yakni dengan tidak
melawan proses dinamika alami yang terjadi, misalnya tsunami atau
kenaikan paras muka air laut tetapi “mengalah” pada proses alam dan
menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam
yang terjadi akibat kenaikan paras muka air laut/tsunami dengan
menerapkan batas sempadan pantai yang perlu dialokasikan sebagai
kawasan lindung dalam rencana pola ruang di darat sebagai mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, kombinasi
antara pola protektif, pola akomodatif, dan pola mundur (retreat).
Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal

Membangun Poros Maritim Dunia


308 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
4

subandono.diposaptono@yahoo.com

Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana.

Merencanakan Tata Ruang Laut 309


100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Batas sempadan pantai ditetapkan dengan tujuan untuk
melindungi dan menjaga: Pertama, kelestarian fungsi ekosistem dan
segenap sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; Kedua,
kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari
ancaman bencana alam; ketiga, alokasi ruang untuk akses publik
melewati pantai; dan keempat, alokasi ruang untuk saluran air dan
limbah.
Penetapan batas sempadan pantai disesuaikan dengan karakteris-
tik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, serta kebutuhan eko-
nomi dan budaya. Penetapan batas sempadan pantai mengikuti juga
ketentuan:
a. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
b. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi.

4
c. perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir,
dan bencana alam lainnya;
d. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah,
mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir,
estuaria, dan delta;
e. pengaturan akses publik; dan
f. pengaturan untuk saluran air dan limbah.

m
o.co
yaho
no@
apto
o.dipos
ndon
suba

Ilustrasi batas sempadan pantai.

Membangun Poros Maritim Dunia


310 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
5
Bab 5
Tata Ruang Laut
Beberapa Negara

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 311


Cina:
Meraup Devisa 9,68 Miliar Yuan

Indonesia layak belajar tata ruang laut dari Cina karena


menuai multi manfaat; ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pada
tahun 2012 misalnya, Cina mampu meraup 9,68 miliar Yuan
dari hasi pemanfaatan lisensi perairan laut (sea use fee).
Negeri Tirai Bambu itu juga berambisi melebarkan kawasan
budidaya laut seluas minimal 2,6 juta hektare.

5
P
epatah Tuntutlah ilmu hingga ke Cina tampaknya cocok bagi
Indonesia dalam upaya untuk menata ruang laut kita. Mengapa
demikian? Berdasarkan diskusi singkat penulis dengan ahli
tata ruang laut dari Third Institute of Oceanography State Of Oceanic
Administration (SOA) Cina Prof Zhou Qiulin, Negeri Tirai Bambu itu
telah menyelesaikan tata ruang laut (marine functional zoning atau
MFZ) baik tingkat nasional, provinsi, maupun country (setingkat
kabupaten/kota) sejak tahun 2002.
Tidak hanya itu saja, setelah 10 tahun kemudian, tata ruang laut
tersebut juga ditinjau kembali pada 2011. Kini, seluruh laut Cina telah
diatur tata ruangnya sesuai dengan peruntukannya masing-masing.
Berkat tata ruang laut itulah, negeri dengan populasi penduduk
terbesar di dunia itu menuai banyak manfaat, baik ekonomi, sosial,
maupun lingkungan.

Membangun Poros Maritim Dunia


312 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Dari sisi lingkungan, pencemaran laut dapat berkurang. Sebab,
antara kawasan industri, wisata, pelabuhan, dan budidaya perikanan
ditata sedemikian rupa sehingga alokasi ruang yang diperuntukkan
tidak saling menimbulkan dampak negatif antara ruang yang satu
dengan ruang lainnya.
Minimnya pencemaran juga membuat populasi ikan dan biota
laut lainnya stabil. Nelayan tradisional dan modern dapat menangkap
ikan secara efektif. Manfaat lainnya, dapat merasionalisasi luasan
reklamasi di perairan laut wilayah pesisir agar sesuai dengan daya
dukung lingkungan sehingga memberikan manfaat ekonomi,
lingkungan, dan sosial.
Dari sisi pendapatan, pemerintah pusat dan daerah di Cina juga
ketiban rezeki. Pada 2012 Cina memperoleh pendapatan atas lisensi
pemanfaatan perairan laut (sea use fee) sebesar 9,68 miliar Yuan. Dari
jumlah itu, 2,97 miliar Yuan masuk ke kas pusat dan 6,71 miliar Yuan
mengalir ke kas daerah. Target lain dari ruang laut adalah adanya
kepastian ruang di pesisir untuk merestorasi pantai sepanjang 2.000
km pada 2020. Melalui tata ruang tersebut, Cina juga berambisi untuk

5
membuat kawasan budidaya laut minimal seluas 2,6 juta ha.
Selain itu, tata ruang laut juga memberikan kepastian hukum
dalam meningkatkan kawasan konservasi sebesar 5 persen di laut
yurisdiksi dan 11 persen di perairan teritorialnya. Seperti diketahui,
Conference of Bio Diversity (CBD) di Aichi Jepang 2010 menargetkan,
setiap negara wajib memiliki kawasan konservasi laut 10 persen dari
luas total perairan teritorialnya sampai tahun 2020.

Dasar Hukum dan Pedoman Dasar


MFZ  merupakan sistem pengelolaan pemanfaatan laut sebagai
amanat dari Undang-undang Administrasi Tata Guna Wilayah Laut
pada tahun 2002. Departemen yang mendapat tugas untuk membuat
MFZ adalah Administrasi Kelautan (State Oceanic Administration,
SOA) di bawah State Council (Guan, 2012). UU tersebut memberi
mandat kepada pemerintah provinsi, wilayah otonom, dan kota harus
menyusun MFZ.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 313


5

Membangun Poros Maritim Dunia


314 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Menurut Komite Nasional Pengkajian Ilmiah dan Norma Tekno-
logi Cina, MFZ adalah pekerjaan mengklasifikasikan wilayah laut ke
dalam tipe berbeda berdasarkan zona kesamaan fungsi yang dapat
menjadi dasar ilmiah bagi pembangunan, perlindungan, dan penge-
lolaan lingkungan laut sesuai dengan kriteria fungsi permintakatan
(zoning) fungsi laut seperti lokasi geografis, sumber daya alam, kon-
disi lingkungan, dan kebutuhan sosial yang spesifik di wilayah laut
tertentu.
Dalam menyusun MFZ, ada lima pedoman dasar yang perlu
diperhatikan terkait dengan pemanfaatan ruang laut. Pertama,
pemanfaatan yang terencana dengan mengacu pada persetujuan
pemanfaatan berdasarkan skema MFZ yang diawasi secara ketat.
Kedua, pemanfaatan intensif yang merujuk pada kegiatan
pembangunan yang diizinkan dan dilarang pada suatu kawasan
tertentu. Ketiga, pemanfaatan ekologis yang mengacu pada prinsip
ekologis dan ramah lingkungan guna mengurangi dampak negatif
lingkungan semaksimal mungkin.
Keempat, pemanfaatan ilmiah dengan meningkatkan dukungan

5
dan monitoring ilmiah serta meningkatkan kadar keilmiahan dalam
proses pengambilan keputusan pemanfaatan ruang laut. Kelima,
pemanfaatan secara hukum yang mengacu pada kepastian hukum,
mempercepat otoritas pemanfaatan, serta menjamin keberlanjutan
pemanfaatan untuk menjamin hak dan kepentingan pengguna ruang
laut.

Prinsip Dasar Pengembangan MFZ


Cina menekankan enam prinsip dasar dalam mengembangkan
MFZ. Pertama, atribut alamiah sebagai dasar. Tujuan dari prinsip ini
adalah mendefinisikan fungsi dasar laut secara ilmiah dengan evaluasi
menyeluruh untuk pembangunan dan kapasitas daya dukungnya
sejalan dengan lokasi, sumber daya alam, dan kondisi lingkungan,
melalui:
u Kepastian adanya keterpaduan.
u Kepastian penegakan hukum dan ekologis.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 315


u Kepastian keterwakilan.
u Kepastian kepentingan ekologis, konektivitas, dan keterkaitan
ekosistem.
u Kepastian kerentanan dan ketahanan.
u Sinergisitas dan saling melengkapi dengan kawasan yang saat
ini dilindungi.
u Kompatibel dengan penggunaan ruang laut lainnya.

Prinsip kedua, pengembangan ilmiah sebagai pedoman.


Tujuannya adalah menjamin produksi, kebutuhan ekologi, serta
pedoman optimasi distribusi kegiatan industri dan ekonomi yang
intensif melalui koordinasi pemanfaatan ruang laut antar sektor
dan kontrol logis skala pemanfaatan untuk berbagai konstruksi
pembangunan dengan pembangunan ekonomi dan sosial.
Ketiga, pengembangan perikanan sebagai prioritas. Tujuan dari
prinsip ini adalah untuk melindungi stok ikan dan lingkungan dan
merupakan dasar produksi perikanan dan mata pencaharian nelayan
dan ketahanan desa-desa nelayan.

5
Keempat, perlindungan lingkungan sebagai prasyarat. Tujuan dari
prinsip ini adalah memperkuat perlindungan lingkungan dan rancang
bangun ekologi, koordinasi perlindungan lingkungan, pengaturan
pencegahan pencemaran yang bersumber dari aktivitas daratan, serta
meningkatkan kontrol limbah yang dibuang ke laut. Tujuan lainnya
adalah meningkatkan kondisi lingkungan dan ekologi laut, mencegah
kecelakaan di laut, serta melindungi ekosistem di estuari, teluk, dan
wilayah pesisir.
Kelima, koordinasi tata ruang darat-laut sebagai kriteria.
Prinsip ini bertujuan untuk mengoordinasikan pembangunan serta
memanfaatkan konservasi pada perairan dan daratan berdasarkan
konektivitas darat-laut. Secara ketat melindungi garis pantai dan
menjamin pengendalian banjir di kawasan estuari.
Keenam, keamanan nasional sebagai kunci utama. Tujuannya,
untuk menyesuaikan kebutuhan pemanfaatan ruang laut dengan
kepentingan pertahanan dan keamanan, menjamin keamanan

Membangun Poros Maritim Dunia


316 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
komunikasi (transportasi) laut, kabel dan pipa bawah laut, serta
memperkuat perlindungan titik dasar batas negara di laut dan perairan
di sebelahnya untuk kedaulatan dan pertahanan negara.

Hierarki Perencanaan
Pengelolaan wilayah laut di Cina memiliki hierarki yang berbeda,
berdasarkan administrasi dan isu-isu di tingkat nasional, provinsi, dan
kota. MFZ skala nasional didefinisikan sebagai pedoman kebijakan
strategis. Nasional memberikan arahan dan pembatasan (restrictive
document).
Sementara itu, MFZ Provinsi menangani isu-isu provinsi yang
bersifat umum. Tingkat kota/kabupaten menangani isu lokal. MFZ
yang disusun oleh pemerintah daerah harus mengacu pada rencana
nasional MFZ. 

Vertical

5
Horizontal

Sistem zonasi dan perencanaan skema laut di Cina.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 317


Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Pemanfaatan Wilayah
Laut, terdapat hierarki MFZ sebagai berikut. MFZ di tingkat nasional
disusun oleh SOA bersama dengan departemen teknis terkait di
bawah koordinasi The State Council (Dewan Negara), provinsi, dan
kabupaten/kota. Dokumen ini harus disampaikan kepada Dewan
Negara  untuk disahkan. Lingkup wilayah perencanaannya meliputi
perairan pedalaman, laut teritorial, pulau-pulau, landas kontinen, dan
zona ekonomi ekslusif. MFZ di tingkat nasional ini dilegalisasi oleh
Dewan Negara.

MFZ Tingkat Nasional

1. Zona pelabuhan dan


navigasi

2. Zona pemanfaatan
perikanan

3. Zona konservasi

4. Zona pemanfaatan
sumber daya energi

5
dan mineral

5. Zona pariwisata dan


rekreasi

6. Zona industrial dan


pengembangan
perkotaan

7. Zona pemanfaatan
khusus

8. Pencadangan untuk
pemanfaatan lainnya

Dewan Negara menyediakan pedoman yang komprehensif un-


tuk pelaksanaan skema zonasi secara nasional dan pengelolaannya.
Dewan ini juga mendefinisikan tanggung jawab dan mandat lemba-
ga-lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengelolaan perair-
an laut.

Membangun Poros Maritim Dunia


318 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Pedoman tersebut menekankan bahwa skema MFZ adalah dasar
hukum pengelolaan ruang laut dan perlindungannya serta harus
diterapkan secara ketat. Dewan ini juga menegaskan agar hukum
dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan perairan laut harus
mengacu pada prinsip pembangunan dalam perlindungan dan
perlindungan dalam pembangunan (development in protection and
protection in development). Tujuan utamanya adalah pembangunan
yang rasional dan pemanfaatan ruang laut yang berkelanjutan.
UU menegaskan, setiap pemanfaatan ruang laut harus mema-
tuhi skema MFZ yang ditetapkan negara. MFZ menjadi dasar penge-
lolaan lingkungan yang mengatur pembagian ruang laut menjadi
beberapa tipe pemanfaatan (sesuai dengan kriteria ekologis dan pri-
oritas pemanfaatan), mengatur dan menjadi rujukan yang rasional
pemanfaatan ruang laut.
Di tingkat nasional pada tahun 2012 MFZ dibagi menjadi 8
kategori pemanfaatan seperti terlihat pada Tabel di bawah ini.

Kategori pemanfaatan MFZ tingkat nasional pada tahun 2002.


Kategori I Kategori II

5
No Name Code Name No Name Code Name
1. Pertanian 1.1 Reklamasi lahan 4. Mineral dan 4.1 Minyak dan gas
dan untuk pertanian energi 4.2 Mineral padat
Perikanan 1.2 Infrastruktur 4.3 Garam
perikanan
4.4 Energi
1.3 Budidaya terbarukan
1.4 Peningkatan 5. Pariwisata 5.1 Pariwisata
perikanan dan Rekreasi 5.2 Rekreasi
1.5 Perikanan
tangkap 6. Kawasan 6.1 MPA
konservasi 6.2 MSPA
1.6 Konservasi
spesies utama 7. Pemanfaatan 7.1 Militer
perikanan khusus 7.2 Pemanfaatan
2. Pelabuhan 2.1 Pelabuhan khusus lainnya
dan 2.2 Alur navigasi 8. Pencadangan 8.1 Pencadangan
navigasi
2.3 Pelabuhan/
pendaratan
3. Industri 3.1 Konstruksi
dan industri
konstruksi 3.2 Konstruksi
perkotaan perkotaan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 319


Sementara itu, MFZ tingkat provinsi disusun oleh SOA Provinsi
bersama instansi teknis terkait dan harus disampaikan kepada Dewan
Negara untuk disahkan. Dasar dari penyusunan MFZ Provinsi adalah
MFZ Nasional. Lingkup zonasinya meliputi laut dan pulau-pulau di
bawah pemerintahan provinsi.

5 Contoh MFZ di Provinsi Shanghai.

Setiap provinsi dan kota melindungi kegiatan pembangunan,


mengendalikan pembangunan, membuat konfigurasi ideal dari
sumber daya laut, mengoptimalkan perencanaan pembangunan
ruang laut, mengimplementasikan di laut, serta memberikan intensif
pemanfaatan lahan berdasarkan teknologi lingkungan laut. Hal ini
untuk mempromosikan pembangunan ekonomi yang cepat dan stabil
serta harmonisasi dan stabilitas sosial. Kesepakatan atau persetujuan
merupakan tujuan pembangunan kelautan, konservasi laut, serta
mediasi antara provinsi dan kabupaten/kota.
Lalu, bagaimana dengan MFZ di tingkat kota/kabupaten? MFZ ini
disusun oleh Departemen SOA yang ada di kota/kabupaten bersama
instansi teknis terkait yang disahkan oleh pemerintah provinsi. Wilayah

Membangun Poros Maritim Dunia


320 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
perencanaan mencakup wilayah perairan kota/kabupaten. Lingkup
zonasinya meliputi laut dan pulau-pulau yang masuk dalam
administrasi pemerintahan kota dan daerah.

5
Contoh MFZ di Kota Xiamen.

Masa Berlaku dan Perkembangan MFZ


Berdasarkan Pasal 25 Undang-undang Pemanfaatan Wilayah La-
ut, durasi maksimum hak pemanfaatan wilayah laut dibagi berdasar-
kan pemanfaatannya. Untuk budidaya misalnya, masa berlaku MFZ
dibatasi sampai 15 tahun. Sementara itu, pelayaran 20 tahun, rekreasi
25 tahun, industri garam dan industri mineral 30 tahun, pelayanan
kesejahteraan masyarakat 40 tahun, serta rekayasa konstruksi seperti
pelabuhan dan galangan kapal 50 tahun.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 321


5
Contoh MFZ di Beidahe (Pulau Besar).

Menurut sejarahnya, MFZ di Cina dimulai sejak tahun 1989. Keti-


ka itu SOA mengorganisir provinsi pesisir untuk menyusun MFZ skala
kecil. Lalu, pada 1997 SOA mengeluarkan pedoman teknis pengem-
bangan zonasi fungsional.
Setahun kemudian SOA mengorganisir provinsi pesisir untuk
menyusun MFZ skala besar. Pada 1999 dilakukan revisi UU Perlindung-
an Lingkungan Laut. Barulah pada 2000 melalui pengawasan Dewan

Membangun Poros Maritim Dunia


322 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
5
Sumber : Fang, 2012

Contoh MFZ di Pulau Pingtan yang berbentuk pulau kecil.

Negara, SOA bersama dengan kementerian/lembaga terkait dan pro-


vinsi pesisir, wilayah otonom, serta kota memformulasikan MFZ nasio-
nal.
Perkembangan berikutnya terjadi pada 2001. Saat itu diterapkan
UU Pengelolaan Pemanfaatan Perairan Laut. Setahun berikutnya,
setelah data nasional terkumpul, studi intensif dan serangkaian

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 323


konsultasi, MFZ Nasional diserahkan ke Dewan Negara dan disahkan
pada 22 Agustus 2002.
Pada 2005 Cina mulai menyesuaikan proyek-proyek yang sudah
berjalan berdasarkan kepada ketentuan MFZ. Mereka juga memasti-
kan pembangunan dan memanfaatkan wilayah penting agar sejalan
dengan MFZ, serta mengendalikan kerusakan kualitas lingkungan
pantai. Setahun berikutnya, Cina meningkatkan kualitas lingkungan
ekologi dan memastikan ekonomi kelautan berjalan dengan baik.
Tahun 2007 SOA mempublikasikan peraturan tentang skema
pengelolaan MFZ dengan memberikan pembedaan peraturan pem-
bangunan, telaah, penetapan dan revisi, serta implementasi MFZ. Satu
tahun setelah itu, SOA membentuk Kelompok Pakar Nasional MFZ
yang terdiri dari 28 ahli tata ruang laut.
Pada 2010 SOA meluncurkan revisi MFZ tingkat nasional.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 2012 Dewan Negara
menerima dan mengesahkan skema MFZ Nasional periode 2011
– 2020.

5
Tujuan dan Prosedur MFZ
Tujuan umum dari pengaturan pemanfaatan wilayah laut Cina
antara lain memperkuat administrasi pemanfaatan wilayah laut
dan memelihara kewenangan negara atas penguasaan wilayah
laut dan mengawasi hak para pengguna wilayah laut. Selain itu,
tujuan berikutnya adalah memajukan pembangunan nasional dan
pemanfaatan ruang laut secara berkelanjutan.
Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2020
dengan adanya MFZ setidaknya ada enam hal. Pertama, memberikan
peran pengaturan yang lebih luas dalam pemanfaatan ruang laut
yang luas dalam kerangka kendali makro. Melalui peningkatan di
legislatif, ekonomi, administrasi, dan teknis pengelolaan ruang laut
maka keseluruhan kontrol MFZ meningkat, mekanisme pasar hak
pemanfaatan perairan bertambah baik, hak yang sah, dan jaminan
untuk seluruh pengguna terjamin secara efektif.
Kedua, meningkatkan kualitas lingkungan laut dan memperbe-

Membangun Poros Maritim Dunia


324 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
sar luasan kawasan koservasi laut. Jumlah limbah yang dibuang ke
laut diawasi secara ketat. Bagi kawasan laut yang tingkat pencemaran
dan kerusakannya tinggi, terus dicermati. Bagian lingkungan yang ru-
sak direstorasi. Pada tahun 2020, total luas kawasan konservasi di per-
airan yurisdiksi meningkat lebih dari 5% dan luas kawasan konservasi
di pesisir menjadi lebih dari 11%.

“ Tujuan umum dari pengaturan pemanfaatan


wilayah laut Cina antara lain memperkuat
administrasi pemanfaatan wilayah laut
dan memelihara kewenangan negara atas
penguasaan wilayah laut dan mengawasi hak
para pengguna wilayah laut.

Ketiga, memelihara kondisi perikanan. Caranya, dengan mengen-
dalikan sumber daya ikan dan lingkungan dalam rangka produktivi-
5
tas, kesejahteraan/pendapatan nelayan, serta keberlanjutan kawasan
penangkapan ikan.
Keempat, mengontrol lahan reklamasi secara rasional. Secara
ketat diterapkan rencana tahunan reklamasi laut dan meningkatkan
kecenderungan reklamasi lahan yang semakin tinggi. Lokasi reklamasi
harus sesuai dengan persyaratan kontrol ekonomi nasional dan daya
dukung lingkungan.
Kelima, melakukan pencadangan lahan perairan. Wilayah yang
dicadangkan di sekitar kawasan pesisir tidak lebih dari 10%. Aktivitas
pembangunan dan pemanfaatan di sempadan pantai diawasi secara
ketat. Pada tahun 2020 panjang garis pantai alami tidak boleh kurang
dari 35%.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 325


Keenam, merestorasi ekologis wilayah pesisir. Pada tahun 2020,
panjang garis pantai yang diperbaiki tidak boleh kurang dari 2.000
km.

Manfaat MFZ
Hingga tahun 2012 Pemerintah Cina dan pemerintah daerahnya
telah menetapkan 3 juta hektare lahan perairan. Di samping itu,
ditetapkan juga kegiatan perikanan seluas 84,04%, transportasi seluas
4,7%, pertambangan pasir seluas 3,01%, dan rekayasa bawah laut
seluas 2,99%.
Pemerintah Cina terus memantau dan mengevaluasi guna
memastikan konsisten antara aktivitas pembangunan dan MFZ. Hasil
penelitian tahun 2008 menunjukkan, konsistensi antara MFZ dan
pembangunan adalah 90,75%. Sementara itu, konsistensi kegiatan
transportasi, rekayasa bawah laut (seabed), dan wisata melebihi 98%.
Fakta ini menunjukkan bahwa kepatuhan pengguna laut terhadap
MFZ sangat tinggi.
Setelah MFZ diterapkan, Pemerintah Cina mengevaluasi dampak

5
terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan ekosistem yang meng-
acu pada standar berupa pengukuran kualitas air laut, sedimen, dan
biologi. Riset membuktikan, hanya aktivitas eksploitasi minyak dan
gas, rekayasa kelautan (pipa bawah laut, anjungan Migas, reklamasi,
jembatan, kegiatan lain) dan wilayah khusus (riset ilmiah dan dump-
ing) yang perlu penanganan serius terkait dengan menurunnya kuali-
tas perairan laut.
 
Tindak Lanjut Implementasi MFZ
Setidaknya ada enam tindak lanjut dari penerapan atau
implementasi MFZ di Cina. Pertama, menjalankan keterpaduan,
konsep dasar zonasi, dan keterbatasan fungsi zona. Langkah ini dapat
dilakukan dengan:
u Memperkuat MFZ melalui pengendalian secara top-down.
u Menggabungkan MFZ lingkup provinsi.
u Mengkonsultasikan dengan departemen-departemen terkait,

Membangun Poros Maritim Dunia


326 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
membuat kompilasi zonasi, dan menerapkan sistem partisipasi
umum.
u Membuat strategi pengembangan kelautan, kebijakan industri
dan perencanaan terkait lainnya yang terkoneksi dengan MFZ
dengan sebaik-baiknya.
u Mengawasi secara ketat terhadap perubahan/modifikasi MFZ.

Tindak lanjut kedua adalah meningkatkan tingkat pengelolaan


pemanfaatan wilayah laut secara komprehensif. Kegiatannya antara
lain dengan:
u Memeriksa dan menyetujui kegiatan di laut berdasarkan MFZ.
u Mengimplementasikan kebijakan pendukung kelautan serta
pemanfaatan sumber daya laut yang intensif dan ekonomis.
Dukungan penting kebijakan industri dapat membangun industri
yang secara strategis dapat memunculkan industri-industri baru
dan kegiatan-kegiatan kesejahteraan sosial.
u Memperkuat pengelolaan garis pantai. Panjang garis pantai
digunakan sebagai fokus untuk kajian wilayah laut.

Ketiga, meningkatkan kegiatan penawaran dan pelelangan


mengenai usaha-usaha pemanfaatan laut. Cina akan memperkuat
pengelolaan reklamasi dan sea enclosing melalui sejumlah kegiatan
5
antara lain:
u Pemantapan rencana reklamasi dan sea enclosing sebagai dasar
kontrol pengaturan makro oleh pemerintah, regulasi ekonomi,
dan jasa publik.
u Penerapan secara ketat rencana reklamasi dan sea enclosing.
Target rencana reklamasi dan zonasi pemanfaatan laut wajib
dilaksanakan tanpa pelanggaran.
u Lembaga otoritas negara menilai dan menyetujui kegiatan
reklamasi dan sea enclosing sepanjang tidak ada pelanggaran
terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
u Kegiatan reklamasi dan sea enclosing dilarang berada di kawasan
pemijahan dan kegiatan budidaya.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 327


u Kondisi lepas pantai dan kegiatan reklamasi pulau merupakan
faktor-faktor penentu dalam melakukan reklamasi dan sea
enclosing di daerah lahan basah dan teluk.

Keempat, memperkuat pelestarian atau perlindungan lingku-


ngan laut dan konstruksi ekologi. Tindakan ini dapat dilakukan de-
ngan jalan:
u Membuat rencana pembangunan darat dan laut yang
terkoordinasi serta menjalankan zonasi.
u Membatasi tingginya konsumsi energi, tingginya pencemaran,
pemakaian sumber daya alam pesisir oleh industri dan banyak-
nya polutan.
u Mengendalikan total pelepasan. Penempatan saluran
pembuangan harus sesuai dengan persyaratan perlindungan
lingkungan.
u Mempromosikan jaringan kawasan konservasi laut (Marine
Protected Areas atau MPA), menerapkan standar pembangunan,
serta mengelola MPA.

5
u Secara praktis melindungi sumber daya perairan dan melindungi
pembangunan perikanan yang lestari.

Kelima, memperkuat infrastruktur penerapan zonasi. Kegiatan ini


dapat dilakukan dengan:
u Melakukan standar nasional dan standar industri yang terkait
dengan aspek teknis yang dapat merumuskan atau memperbaiki
MFZ.
u Membentuk wadah atau skema pengelolaan kelautan untuk
kerja sama internasional, belajar dari negara lain yang sudah
berpengalaman, dan menggunakan metode sebagai acuan.
u Memberlakukan penanganan zona pesisir laut secara kompre-
hensif, merumuskan dan mengimplementasikan rencana per-
baikan zona pesisir laut. Untuk wilayah teluk, estuari, daerah wi-
sata, kota besar dan sedang dilakukan perbaikan teknis secara
komprehensif.

Membangun Poros Maritim Dunia


328 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Keenam, menetapkan peraturan mengenai sistem pengawasan
dinamis di wilayah laut dengan cara:
u Meningkatkan sistem pengawasan dinamis dalam pemanfaatan
wilayah laut di semua tingkat administrasi (negara, provinsi, dan
kabupaten/kota).
u Menerapkan cakupan yang luas, memantau dengan akurasi
tinggi, serta mengamati perubahan lingkungan pantai, teluk,
pulau, perairan dekat pantai, laut lepas dan kondisi pembangun-
an dan pemanfaatannya.
u Bersandar pada sistem pengawasan wilayah yang dinamis,
meningkatkan kemampuan dan keakuratan respon terhadap
eksploitasi pemanfaatan laut secara ilegal.
u Menetapkan pembangunan kelautan yang lengkap dengan
menggunakan sistem pelaporan terhadap pelanggaran serta
memperkuat pengawasan dari masyarakat dan umum.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 329


Norwegia:
Zonasi Laut Telah Mencapai 96%

Norwegia memiliki Rencana Tata Ruang Laut (RTRL)


yang unik mulai dari wilayah pesisir (coastal zone) sampai
perairan lepas pantai (off-shore). Dari 280 wilayah municipal
yang ada, ternyata 96 persen di antaranya telah memiliki
RTRL.

5
P
roses pembuatan penataan ruang laut di Norwegia patut di-
lirik. Negara bependuduk sekitar 5,109 juta (tahun 2014) dan
memiliki laut seluas 1,4 juta km2 atau empat kali luas daratan-
nya itu sangat maju dalam pemanfaatan sumber daya lautnya.
Dalam bidang perikanan misalnya, nilai produk perikanan
Norwegia adalah tertinggi di dunia, yakni sebesar US$ 3.732 per ton.
Bandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya sekitar US$1.891 per
ton.
Kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan tak terlepas
dari kesuksesan mereka menata ruang lautnya. Pemerintah Norwegia
mengesahkan white paper tentang rencana pengelolaan terintegrasi
Norwegia sebagai bagian dari Laut Barents pada April. Paper ini lalu
disahkan oleh Parlemen pada tahun yang sama (Ehler, 2010).

Membangun Poros Maritim Dunia


330 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
RTRL tersebut merupakan kerangka kebijakan bagi pengelolaan
seluruh aktivitas di wilayah laut yang bertujuan menjaga kelestarian
sumber daya alam, khususnya aktivitas industri perminyakan dan gas
bumi, penangkapan ikan, industri hidrokarbon, dan perkapalan.
RTRL dilakukan di perairan lepas (off-shore) dan wilayah pesisir
(coastal zone). Tata Ruang Laut di perairan lepas mencakup tiga
wilayah, yakni Laut Norwegia disahkan tahun 2009, Laut (Norwegia)
Utara disahkan tahun 2013, dan Laut Barents – Lofoten disahkan
tahun 2006 dan direvisi 2011-2012. Dari 280 wilayah municipal, 96% di
antaranya telah memiliki RTRL.
Mekanisme pengaturan antarkegiatan dan antarsektor dalam
RTRL dilakukan dengan menetapkan pengelolaan berbasis wilayah
(area-based management) untuk meminimalkan konflik antarkegiatan
dan menjaga lingkungan, meneruskan kebijakan pengelolaan yang
terukur dan sudah ada, serta mengimplementasikan tujuan kualitas
lingkungan dan fokus pada peningkatan kerja sama internasional.
RTRL di Norwegia ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi
Indonesia. Setidaknya ada tujuh poin yang patut diketahui terkait

5
dengan penyusunan RTRL tersebut. Ke-7 hal itu adalah sebagai
berikut:
1) Kejelasan Otoritas Penyusun
Otoritas yang diberi kewenangan memimpin adalah Menteri
Lingkungan. Tim ini beranggotakan unsur kementerian terkait.
2) Transparan
Proses perencanaan dilakukan secara transparan dan didukung
oleh keandalan sistem informasi dan konsultasi publik.
3) Partisipasi
Partisipasi semua pihak sangat dibutuhkan untuk meminimalkan
konflik dan melegitimasikan rencana yang dirumuskan. Stakehold-
ers dikelompokkan berdasarkan individu, kelompok atau marine
users yang terkenan rencana, terlibat dan tertarik secara positif.
4) Kelengkapan data dan keandalan sistem informasi
Proyek pemetaan dasar laut yang disebut Mareano merupakan
salah satu sistem informasi yang menampilkan hasil-hasil pemetaan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 331


5

Membangun Poros Maritim Dunia


332 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
seperti status pemetaan, zat-zat kontaminan di perairan, relief dasar
laut, sedimen dasar perairan, video dasar laut dan taksonomi ben-
tos.
5) Berbasis Ekosistem (ecosystem based)
RTRL yang efektif dapat menggambarkan pola ekosistem dan
prosesnya secara baik dalam skala spasial maupun temporal di
suatu wilayah perencanaan. Dokumen ini harus mengintegrasikan
antara kepentingan ekonomi wilayah dan tujuan perlindungan dan
proteksi lingkungan.
6) Terintegrasi
RTRL mengintegrasikan banyak tujuan (multi objectives) dan
menjangkau banyak isu dan pengguna laut, termasuk kegiatan
konservasi dan ekonomi penting seperti industri minyak dan gas
bumi, penangkapan ikan, serta transportasi laut.
7) Berorientasi ke masa depan dan adaptif
RTRL sangat berguna sebagai proses yang dinamis dan fokus pada
masa depan. Dengan adanya konsultasi dengan seluruh pemangku
kepentingan, RTRL dapat menyusun rencana pengembangan ke-

5
giatan di masa yang akan datang berdasarkan skenario dan kepen-
tingan kebutuhan negara atau wilayah perencanaan.

Laporan status kondisi lingkungan laut, kondisi wilayah pesisir,


kondisi penangkapan ikan, kondisi perikanan budidaya terutama
daerah-daerah yang bernilai tinggi dan kegiatan pelayaran dilakukan
oleh masing-masing Kementerian atau konsultan yang ditunjuk.
Laporan-laporan tersebut tidak menganalisis kesenjangan utama
pengetahuan yang ada namun menggunakan prinsip-prinsip utama
saja.
Batas perencanaan menjadi topik perbincangan yang penting
dan harus dirumuskan dengan jelas. Proses perencanaan dilakukan
dalam 4 tahapan, yaitu scoping, penilaian dampak, analisis terpadu,
dan penyusunan rencana pengelolaan. Tahap scoping dilakukan de-
ngan menyusun penilaian kondisi dan status kegiatan ekonomi, ka-
wasan penting (valuable areas), kegiatan sosial ekonomi, dan kegiatan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 333


ekonomi. Pada tahap awal dilakukan identifikasi wilayah yang bernilai
ekologis dan butuh pengaturan khusus.
Penerapan jalur pelayaran bekerja sama dengan International
Maritime Organization (IMO) dilakukan di luar laut teritorial di atas 12
mil laut. Beberapa wilayah ditetapkan untuk kegiatan khusus seperti
eksplorasi dan eksploitasi hidrokarbon. Penetapan rencana kawasan
konservasi dan sistem penutupan berkala kegiatan penangkapan ikan
(seasonally closed areas) untuk menjaga daerah spawnning grounds,
tempat bertelurnya ikan, larva ikan, pembesaran ikan serta wilayah
kerang.
Sementara itu, tahap penilaian dampak dilakukan untuk menilai
dampak kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, pelayaran,
perikanan tangkap, dan kegiatan lain. Proses ini melibatkan serangkaian
konsultasi publik untuk mendapatkan hasil yang baik.
Pemerintah juga melakukan empat kajian analisa dampak ling-
kungan (environmental impact assessment) untuk kegiatan perikanan
tangkap, pelayaran,
ekstraksi hidrokarbon,

5
dan kondisi lain seperti
pencemaran terhadap
sumber daya, lingkung-
an, dan masyarakat.
Pengukuran menggu-
nakan variabel umum
yang telah ditentukan
dan menggunakan
data dasar tahun 2003
sebagai tahun awal
perencanaan hingga
tahun 2020.
Pada tahap analis-
is terpadu dilakukan
analisis semua hasil
yang dilakukan pada Perencanaan kawasan laut di Norwegia.

Membangun Poros Maritim Dunia


334 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
tahap sebelumnya, yaitu total dampak aktivitas manusia yang me-
ngombinasikan kondisi saat ini dan prediksi tahun 2020, wilayah kon-
flik akibat kompleksitas aktivitas manusia dan manusia dengan ling-
kungan, mendefinisikan tujuan pengelolaan sebagai dasar implemen-
tasi, serta mengidentifikasi kesenjangan kondisi yang ada.
Revisi perencanaan dilakukan setiap 4 tahun sekali dan pada ta-
hun 2010 dokumen tersebut direvisi. Dasar hukum RTRL ini mengacu
pada The Nature Management Act 2008-2008 dan the Marine Resources
Act 2009.

Perizinan
Perizinan pemanfaatan ruang di wilayah perairan dikembalikan
ke institusi yang bertanggung jawab. Kegiatan perikanan menerap-
kan Norwegian System Quota yaitu sistem industri perikanan dengan
kuota dan konsesi dalam bentuk regulatory chain yang berlaku satu
tahun, proses sangat interaktif dan ilmiah.
Sistem dibangun berdasarkan penelitian pengumpulan data,
negosiasi kuota antara pemerintah dan pengusaha perikanan serta

5
negara tetangga lain.
Peranan the Institute of Marine Research (IMR) and the
International Council for the Exploration of the Sea (ICES) sangat
penting dalam merekomendasikan kuota perikanan yang ditawarkan
setiap tahunnya.

Tahapan Alokasi Kuota Penangkapan Ikan


Tahapan alokasi kuota penangkapan ikan merupakan proses
yang menerus setiap tahunnya. Mengacu pada hasil penelitian
stok ikan dan saran dari ICES, IMR dan institusi penelitian lainnya,
pemerintah menegosiasikan kuota stok perikanan bersama negara
tetangga lainnya secara bilateral dan multilateral karena 90% stok
perikanan merupakan stok bersama dengan negara tetangga lain.
Dalam siaran berita Kementerian Perikanan dan Pesisir Norwegia
tanggal 18 Januari 2013, Pemerintah Norwegia bersama dengan Uni
Eropa telah menyepakati stok bersama di perairan Norwegia berupa

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 335


Total Allowable Catches (TAC) dan kuota untuk beberapa komoditas
perikanan. Setelah penetapan kuota, pemerintah segera melakukan
proses selanjutnya mengacu pada the Regulatory Chain. Kuota
perikanan di perairan Norwegia yang disepakati antara Pemerintah
Norwegia dengan Uni Eropa disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Total allowable catch (TAC) dan kuota perikanan di perairan Norwegia.


Kuota
No Perairan Komoditas TAC (ton) Norwegia
(ton)

1 Laut Utara Norwegia Ikan Cod 26.475 4.501

2 Laut Utara Norwegia Ikan Herring 478.000 138.620

3 Laut Utara Norwegia Ikan Saithe 91.220 47.434

4 Laut Barents Norwegia Ikan Cod ND 18.202

5 Perairan Norwegia Ikan Mackerel 336.285*) 153.597


Sumber: Kementerian Perikanan dan Pesisir Norwegia, 2013.
*) Kuota Ikan Mackerel Uni Eropa

5 Setelah kuota disetujui, Direktorat Perikanan merumuskan


proposal pengaturan tahun yang akan datang, yang meliputi waktu
yang diperbolehkan menangkap ikan dan tidak (temporal/seasonal),
regulasi teknis, ukuran ikan yang diperbolehkan ditangkap, dan
kriteria dalam berpartisipasi di kegiatan penangkapan ikan. Proposal
kemudian dipresentasikan oleh Pemerintah kepada stakeholders (wakil
asosiasi nelayan, federasi industri perikanan, kelompok pemilik kapal,
kelompok pekerja pangan, parlemen, LSM lingkungan, negara bagian
federal, nelayan pancing) di rapat terbuka akhir November atau awal
Desember setiap tahun.
Setelah rapat selesai, dokumen disampaikan ke Menteri Per-
ikanan dan Pesisir. Lalu, Menteri menetapkan berdasarkan hasil nego-
siasi kuota dengan negara lain, hasil diskusi rapat stakeholders, reko-
mendasi Direktorat Perikanan, dan masukan dari organisasi industri
perikanan. Jika dalam ada sanggahan hasil atau ketidaksetujuan

Membangun Poros Maritim Dunia


336 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
stakeholders terhadap hasil tersebut, maka pemerintah menggelar ra-
pat lagi pada tahap ini hingga semua pihak menyetujui.

Salah satu contoh pembagian stok adalah dengan adanya


kesepakatan antara Pemerintah Norwegia dengan Uni Eropa yang
memberikan lisensi kapal penangkap ikan Uni Eropa menangkap ikan
Mackerel di Perairan Norwegia sebanyak 70 kapal pada tahun 2013.

5
Perizinan Tambang Migas
Sistem perizinan pertambangan minyak dan gas bumi (Migas)
dilakukan oleh Kementerian Perminyakan dan Energi setiap tahun
melalui pelelangan konsesi minyak. Pada 26 Juni 2013 Pemerintah
Norwegia mengeluarkan perizinan ke-22 untuk 24 lisensi produksi
baru yang terdiri dari 86 blok Migas di Laut Barents dan Laut
Norwegia.

Perencanaan Wilayah Pesisir di Provinsi Hordaland, Norwegia


Norwegia memiliki populasi penduduk sebesar 5,109 juta. Ini
adalah monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan parle-
menter. 165 anggota parlemen Norwegia terpilih dari 19 provinsi un-
tuk bertugas dalam jangka waktu 4 tahun sesuai dengan sistem pe-
milihan perwakilan secara proporsional. Tingkat administrasi provinsi
dan kabupaten memiliki status yang sama, dan saling menunjang
satu sama lainnya. Pemerintah pusat memiliki kewenangan dan peng-

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 337


awasan penyelenggaraan administrasi oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota.
19 provinsi terdiri dari 434 kabupaten/kota dengan berbagai
variasi ukuran, topografi dan penduduk (275 di antaranya merupakan
kabupaten/kota pesisir). Lebih dari setengah kabupaten/kota tersebut
memiliki penduduk kurang dari 5.000 jiwa; 8 kabupaten/kota memiliki
penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Sekitar 3.4 Juta penduduk Norwegia
tinggal di pantai, yang terbentang di sepanjang 83.000 km (fjord dan
pulau-pulau kecil).

Tanggung Jawab Masing-masing Pemerintahan


Struktur kegiatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan oleh parlemen (Storting) melalui peraturan-perundangan
dan keputusan parlemen tentang anggaran pemerintah lokal. Par-
lemen juga menentukan pembagian fungsi antara tingkat pemerin-
tahan yang berbeda. Pemerintah hanya bisa menetapkan fungsi baru
untuk pemerintah lokal melalui undang-undang atau keputusan yang
dibuat oleh Storting, namun demikian prinsip penting lainnya adalah

5
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat menerjemahkan tu-
gas atau fungsi lainnya yang belum diatur oleh hukum/undang-un-
dang.
Pemerintah provinsi bertanggung jawab untuk masalah pem-
bangunan regional, sekolah menengah atas, pelayanan kesehatan
spesialis, perawatan gigi, institusi untuk kesejahteraan anak-anak dan
institusi untuk perawatan pecandu obat dan alkohol, jalan provinsi,
transportasi umum dan museum.
Sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab
untuk isu-isu pembangunan lokal dan pengaturan penggunaan lahan
(misalnya alokasi lahan untuk industri/komersial atau perumahan),
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, taman kanak-kanak,
kesejahteraan anak, perpustakaan umum, pelayanan kesehatan dasar,
dukungan keuangan untuk jaminan sosial, perawatan panti jompo
dan para pensiunan, pemadam kebakaran, pelabuhan, jalan kota,
penyediaan air, limbah, dan pembuangan limbah.

Membangun Poros Maritim Dunia


338 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Sejak tahun 1960-an banyak perubahan yang telah dibuat terkait
dengan distribusi fungsi pemerintahan antara pemerintah pusat –
pemerintah provinsi – pemerintah kabupaten/kota. Yang terbesar dari
perubahan ini adalah pengalihan wewenang dan fungsi dari provinsi
ke kabupaten. Dua pertiga dari pelayan publik di Norwegia dilayani
oleh pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu kabupaten/kota
memiliki faktor penting dalam perekonomian negara.
Norwegia memiliki garis pantai 83,281 km (51,750 mil). Negara
ini juga memiliki industri minyak dan gas, pengolahan makanan (per-
ikanan), perikanan budidaya, industri kapal, produk pulp and paper.

Mekanisme Perencanaan Pesisir


Undang-undang utama yang mengamanahkan pengelolaan
di wilayah pesisir Norwegia adalah Undang-undang Perencanaan
dan Pembangunan yang dikeluarkan pada tahun 1985 (selanjutnya
disebut sebagai PBA 85). Berdasarkan UU ini, setiap kabupaten/kota
harus membuat rencana untuk pengembangan pelayanan publik dan
penataan penggunaan lahan serta pengelolaan sumber daya alam

5
lainnya.
Rencana pembangunan di darat digunakan untuk mengarahkan
alokasi ruang bagi perkantoran, perumahan, jalan, listrik, air, dan
sistem pembuangan limbah. UU ini juga memberikan hak kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun rencana yang mengikat
secara hukum (sejenis Peraturan Daerah) terkait dengan pemanfaatan
ruang di perairan pesisir yang berbatasan langsung dengan daratan.
Pendekatan alokasi ruang di perairan diadaptasi pendekatan
perencanaan penggunaan lahan di daratan dimana alokasi ruang
dikategorikan untuk berbagai kategori pemanfaatan.
Dengan mengamanahkan penyusunan rencana pesisir dan de-
ngan mengarahkan proses penyusunannya, maka PBA memiliki peran
penting dalam menentukan integrasi pengelolaan ruang di wilayah
pesisir. Peraturan perundangan lainnya tentu juga perlu diperhati-
kan karena pemerintah daerah tidak sepenuhnya memiliki otonomi
secara utuh. Contohnya Undang-undang tentang perikanan perairan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 339


Greenland

Ice edge
Polar front

Bear Island
65 km zone

Tromsoflaket
bank area

Lofoten-
Norwegia
vesteralen

5 Rusia

www.unesco-ioc-marinesp.be/spatial_management_practice.

Wilayah rencana pengelolaan Penangkapan ikan yang sangat intensif


Jalur pelayaran Tidak ada kegiatan tambang minyak
Kawasan bernilai ekologi Tidak ada kegiatan baru tambang minyak
Kawasan konflik Tidak ada pengeboran Maret-September
Kawasan minyak dan gas

Marine Spatial Planning di Norwegia.

yang mengatur tentang kegiatan penangkapan ikan dan undang-un-


dang tentang perikanan budidaya yang mengatur tentang industri
pengembangan perikanan budidaya. Kedua undang-undang ini di-
laksanakan oleh Kantor Perwakilan Departemen Perikanan di daerah
(pembatasan jumlah izin untuk budidaya ikan salmon ditetapkan oleh
Departemen ini, namun pelaksanaannya dilaksanakan oleh kantor
perwakilan regional).

Membangun Poros Maritim Dunia


340 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Lembaga negara sektoral lainnya juga memiliki kebijakan mereka
sendiri, seperti hukum dan peraturan transportasi laut, instalasi
minyak, pengelolaan sumber daya alam, dan lain-lain. Oleh karena itu
pada penyusunan rencana wilayah pesisir di daerah perlu diselaraskan
dengan rencana-rencana daerah lainnya serta diselaraskan dengan
kebijakan nasional.
Pihak berwenang setempat memiliki akses ke proses arbitrase
resmi jika terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan. Kementerian
Lingkungan Hidup-lah yang mengambil keputusan akhir pada isi ren-
cana wilayah pesisir jika ada perbedaan antara pemerintah kabupa-
ten/kota – sektor lokal - departemen.
Bagian 16 dari PBA 85 juga mengamanahkan sistem perenca-
naan pesisir yang terbuka, transparan, partisipatif dan deliberatif, oleh
karena itu partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan untuk
terlibat dalam proses perencanaan pesisir menjadi sangat penting.
Berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang
pencemaran maka pemerintah kabupaten/kota berperan untuk
mengontrol pencemaran lokal. Biaya pencegahan atau pengurangan

5
limbah dan pengolahan limbah menjadi tanggung jawab pihak yang
melaksanakan kegiatan (penghasil limbah). Pemerintah kabupaten/
kota juga bertanggung jawab untuk mengawasi pembangunan dan
pengelolaan instalasi dermaga dan pelabuhan di wilayah mereka,
termasuk instalasi dan pemeliharaan lampu dan buoy dalam kawasan
pelabuhan.
Dari 275 kabupaten/kota, 267 di antaranya sudah memiliki ren-
cana wilayah pesisir. Kabupaten/kota bertugas menyusun perenca-
naan ruang di seluruh wilayah daratannya. Sedangkan perencanaan
ruang di perairannya akan diatur jika memang diperlukan. Norwegia
juga sudah memiliki usulan 36 Marine Protected Area.

Isu-isu Kunci Perencanaan Pesisir


Isu utama dari perencanaan pesisir terkait dengan tekanan dari
aktivitas-aktivitas di wilayah pesisir seperti perumahan, pariwisata,
dan perikanan budidaya. Laju perkembangan perumahan di wilayah

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 341


pesisir lebih tinggi dibandingkan perkembangan perumahan di
perkotaan. Kontribusi ekonomi perikanan budidaya secara nasional
dipandang sangat penting namun justru kurang populer di tingkatan
lokal, karena umumnya kegiatan perikanan budidaya di Norwegia
didominasi oleh industri besar yang lebih banyak terkait dengan
pasar global. Morfologi norwegia yang berupa fjord-fjord sangat
menarik untuk kegiatan pariwisata, namun demikian keasrian dan
kelestariannya juga perlu dilindungi. Ini juga terkait dengan trend
migrasi penduduk yang awalnya bermukim di daerah pedalaman
yang susah diakses lalu kemudian berpindah ke wilayah pesisir yang
lebih mudah diakses.
Desentralisasi pengelolaan pesisir dari pusat ke daerah juga me-
nyebabkan pusat dan sektor terkait terkadang kesulitan untuk memu-
tuskan hal-hal tertentu karena sebagian otoritas pengambilan kepu-
tusan berada di pemerintah daerah. Apalagi pada saat penyusunan
rencana wilayah pesisir lebih banyak melibatkan nelayan lokal dan
pembudidaya lokal. Secara keseluruhan, nelayan komersial di Norwe-
gia semakin berkurang.

5
Perencanaan di tingkatan provinsi berfungsi memadukan ren-
cana-rencana yang berada di kabupaten/kota dengan cara mengin-
tegrasikan dan mengoordinasikan seluruh rencana yang dimiliki
kabupaten/kota. Dalam situasi ini, kabupaten/kota kurang atau ti-
dak memiliki kapasitas dalam melakukan koordinasi dan melakukan
implementasi pembagunan regional. Rencana regional atau provinsi
telah dikembangkan pada pertengahan 1990 dengan tujuan untuk
mengoordinasikan perencanaan kabupaten/kota dan aktivitas pem-
bangunan fisik, sosial dan budaya terkait dengan pasal 18.6 dari PBA
1985. Rencana wilayah pesisir provinsi lebih sebagai arahan bagi ka-
bupaten/kota dalam mengembangkan wilayah pesisirnya.
Perencanaan wilayah pesisir berdasarkan PBA 85, masih
dipandang sebagai salah satu alat yang sangat penting dalam
pengelolaan wilayah pesisir di Norwegia. Motivasi utama untuk
melakukan perencanaan datang dari kebutuhan untuk mengarahkan
industri perikanan budidaya dan menyelesaikan permasalahan konflik

Membangun Poros Maritim Dunia


342 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
penggunaan ruang. Perikanan tangkap dan perikanan budidaya lebih
diutamakan dalam rencana kecuali pada bagian selatan Norwegia di
mana pariwisata lebih penting dan daerahnya kurang sesuai untuk
kegiatan perikanan budidaya. Industri perikanan budidaya menjadi
tantangan di tingkat lokal (kabupaten/kota), karena pengaturannya
dilakukan oleh pemerintah pusat dan budidayanya dilakukan dalam
skala besar oleh beberapa gelintir perusahaan besar.
Pada tahun 2001 terdapat keputusan pemerintah pusat bahwa
izin pemanfaatan ruang/perikanan budidaya baru dapat dikeluarkan
jika ia sudah masuk dalam rencana tata ruang. Ini kemudian men-
dorong percepatan penyelesaian rencana wilayah pesisir terutama
di utara Norwegia. Hasilnya, pengembangan perikanan budidaya
sekarang lebih memperhitungkan rencana wilayah pesisir pada saat
melakukan aktivitas dan dalam mengembangkan kegiatannya.
Kantor perwakilan departemen perikanan memiliki peran
penting dalam evolusi perencanaan pesisir. Mereka menjadi partner
yang sangat konstruktif dan menjembatani kepentingan pusat dan
daerah. Pengembangan jaringan pemerintah (pusat dan daerah)

5
merupakan salah satu strategi dalam mengintegrasikan program dan
kegiatan terutama pada isu-isu yang kompleks dan terkait dengan
pengelolaan sumber daya. Tekanan di wilayah pesisir mendorong
pihak-pihak yang terkait untuk lebih bekerjasama dan berkoordinasi
dengan memberikan berbagai sudut pandang untuk menyelesaikan
berbagai masalah.
Di awal-awal inisiasi penyusunan rencana detail wilayah
pesisir, beberapa daerah mengalami permasalahan akan kurangnya
ketersediaan data yang berkualitas. Pemerintah Norwegia sadar
akan hal tersebut, lalu kemudian bekerjasama untuk menyediakan
informasi yang dibutuhkan dan dikumpulkan dalam satu sumber.
Pemerintah Provinsi Hordaland memiliki projek untuk menyediakan
satu portal informasi di internet yang tujuannya untuk menyediakan
daerah-daerah yang sesuai untuk perikanan budidaya.
Di tingkatan nasional malah ada project yang lebih detail,
Mareano yang ditujukan untuk survey dan menyiapkan data dasar

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 343


terkait dengan fisik dasar laut, biologi dan kimia perairan. Mareano juga
ditujukan untuk mensistematiskan informasi dalam suatu database
yang melingkupi kawasan pesisir dan laut Norwegia. Harapannya,
studi dapat menyediakan informasi yang penting untuk pengelolaan
sumber daya pesisir dan laut yang berbasis ekosistem.

Provinsi Hordaland
Hordaland merupakan provinsi yang memiliki populasi 3 terbe-
sar di Norwegia. Topografinya berbukit bukit, memiliki banyak pulau-
pulau dan memiliki fjord (teluk yg seperti sungai, menjorok jauh ke
daratan) yang sangat dalam dan terlindung (oleh pulau-pulau). Kota
terbesar dari Provinsi Hordaland adalah Bergen yang juga merupakan
kota terbesar kedua di Norwegia setelah Oslo. Banyak kota/kabupaten
di Hordaland yang terletak di pinggir Fjord (masuk kategori kota pe-
sisir). Salah satu moda transportasi utama yang digunakan di provinsi
ini adalah kapal feri.
Provinsi ini memiliki industri yang cukup banyak, namun
umumnya pada skala kecil hingga menengah. Industri metalurgi dan

5
pertambangan sangat penting, sebagaimana kegiatan pelayaran,
perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri maritim, dan
pariwisata.
Dalam rencana strategis provinsi menyebutkan bahwa “Potensi
pertumbuhan ekonomi seharusnya diletakkan pada industri di mana
kita memiliki keunggulan komparatif di antaranya seperti kelautan,
perikanan, pariwisata, budaya dan energi”. Berdasar penilaian para
peneliti di Institute Norwegia bahwa, Hordaland merupakan salah
satu provinsi yang memiliki perencanaan regional yang terkoordinasi
secara baik.
Pemerintah Provinsi Hordaland memiliki peran penting dalam
proses koordinasi kabupaten/kota yaitu dengan memberikan arah-
an dan penyediaan informasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
perencanaan pesisir di tingkat kawasan dan lokal (kabupaten/kota).
Pemeritah provinsi memberikan saran dan masukan kepada kabupa-
ten/kota dan melihat keterkaitannya dengan perencanaan regional.

Membangun Poros Maritim Dunia


344 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Jika antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota
tidak bersepakat terkait dengan perencanaan yang tengah disusun
maka permasalahan tersebut akan diputuskan oleh pemerintah pu-
sat.
Master plan provinsi 2005 – 2008 memuat tujuan besar untuk
perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang intinya bagaimana
mengamankan area yang cukup untuk industri ini. Hal ini juga untuk
memastikan bahwa produksinya memperhatikan kesehatan dan ling-
kungan serta untuk memastikan posisi Provinsi Hordaland sebagai
provinsi yang terdepan di bidang perikanan budidaya di Norwegia.
Provinsi juga memberikan pengaruh kepada kabupaten/kota dalam
pengambilan keputusan penentuan ruang di wilayah pesisir mereka
yaitu dengan memberikan arahan pembangunan dalam rencana pem-
bangunan provinsi dan penyiapan peraturan daerah yang mengikat
(yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun rencana lokal). Rencana
provinsi juga mengamanahkan untuk membentuk jaringan pesisir
dan badan pesisir di mana kabupaten/kota kemudian secara bersama-
sama akan mengintegrasikan aktivitas agar sesuai dengan tujuan dari

5
rencana.
Provinsi melihat kolaborasi, koordinasi, dan jaringan sebagai
jalur utama dalam rangka mewujudkan perencanaan pesisir lokal
yang terintegrasi. Setiap tahun rata-rata pemerintah provinsi harus
merespon/menanggapi 20 rencana daerah untuk diimplementasikan.

Isu Utama Perencanaan Pesisir Di Hordaland


u Pengembangan perikanan budidaya: Hordaland merupakan
provinsi terdepan untuk produksi perikanan budidaya. Sebagai
salah satu industri utama, pengembangannya sudah dalam taraf
berpotensi menagancam kegiatan di wilayah pesisir lainnya seperti
pariwisata dan konservasi populasi salmon and trout liar.
u Pembangunan perumahan di wilayah pesisir: Terdapat
tekanan yang nyata dari pembangunan perumahan baik yang
berada di bukit-bukit maupun di wilayah pesisir. Pengeluaran
izin pembangunan perumahan di dekat pantai oleh pemerintah

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 345


Hordaland lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di
Norwegia. Oleh karena itu Kementerian Lingkungan menekankan
kepada pemerintah daerah untuk segera menyusun rencana
strategis pengelolaan garis pantai.
Pembangunan di pesisir mendorong isu lainnya seperti isu akses
publik ke pantai, karena hal ini berarti meningkatnya privatisasi
lahan-lahan pesisir yang kemudian juga mendorong konflik dengan
kegiatan pariwisata dan kepentingan lingkungan. Pembanguan
perumahan selalu berasosiasi dengan limbah yang ditimbulkan
yang kemudian dapat mengancam kondisi lingkungan dan
kawasan lindung seperti suaka alam dan kawasan konservasi.
u Pengembangan dan pengelolaan perikanan: Industri perikanan
memainkan peran penting dalam perekonomian Norwegia secara
keseluruhan dan di beberapa kabupaten/kota pesisir. Ikan cod,
herring, dan mackerel adalah komoditas komersial yang paling
penting. Perhatian terhadap pengembangan industri perikanan
untuk menambah nilai perekonomian meningkat dalam beberapa
tahun terakhir. Industri perikanan diprediksi terus memainkan

5
peranan penting dalam lingkup nasional dalam tahun-tahun
mendatang. Saat ini pengelolaan perikanan Norwegia dianggap
salah satu yang terbaik didunia.
u Pengambilan pasir laut: Pasir laut dikeruk dan digunakan untuk
meningkatkan pertanian. Izin untuk ekstraksi dikeluarkan oleh
provinsi.
u Rekreasi dan pengembangan pariwisata: Peningkatan
pengembangan pariwisata meningkatkan kebutuhan akan
pelabuhan dan fasilitas tambat kapal kecil untuk pariwisata.
Rekreasi berperahu dengan perahu kecil meningkat yang kemudian
menimbulkan konflik dengan kayakers dan kapal-kapal lainnya.
Rekreasi menyelam juga meningkat dan Hordaland merupakan
tempat penggunaan dan pengembangan teknologi bawah laut
yang dioperasikan jarak jauh.
u Jangkar: Kompetisi untuk jangkar meningkat seiring dengan

Membangun Poros Maritim Dunia


346 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
meningkatnya jumlah pemilik perahu rekreasi dan berkembangnya
sektor budidaya.
u Faktor-faktor lain yang harus dialokasikan di zona pesisir antara
lain adalah zona kepentingan militer, transportasi, dan kabel
bawah laut.

Studi kasus lokal - Austevoll Kommune


Karakteristik Daerah
Austevoll terletak
sekitar 20 km sebelah
selatan Bergen. Auste-
voll memiliki populasi
sekitar 4500 jiwa. Feri
berlayar melayani pu-
lau - pulau Austevoll
dan daratan Norwegia
(Krokeide, dekat Ber-
gen) beberapa kali per

5
hari. 9 dari 600 pulau-
pulau dalam gugus Kota Austevoll.
pulau Austevoll yang berpenduduk merupakan daerah yang relatif
makmur. Daerah ini memiliki armada penangkapan ikan pelagis lepas
pantai dan armada pengiriman dalam jumlah besar. Daerah sekitar Pu-
lau Austevoll dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan dan per-
ikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan yang penting (daerah
ini memiliki 25 lokasi budidaya berizin).

Fitur Dari Rencana Austevollkystsone


Rencana kota dibuat dalam skala 1:25.000, skala peta
menggunakan simbologi yang terkait dengan PBA 85. Dalam sistem
zonasi untuk rencana pesisir Austevoll tidak ada perbedaan arahan
antara budidaya finfish dan budidaya kerang.
Peta rencana pesisir memberikan petunjuk cukup rinci dan meng-
gunakan sistem zona untuk kegiatan yang berbeda yang didasarkan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 347


prioritas pemanfaatan ruang. Rencana lebih rinci diperlukan un-
tuk mengatur pemanfaatan ruang suatu kegiatan (misalnya untuk
menunjukkan lokasi dan kapasitas instalasi budidaya ikan yang akan
dibangun dalam area tertentu) dan mengatur kegiatan yang layak/
tidak layak di wilayah ini. Sebagian besar penyusunan rencana rinci
ditangani oleh kantor perwakilan Departemen Perikanan di bawah
undang-undang sektoral. Jarak pemisahan indikatif masih digunakan
di Norwegia untuk menentukan berapa banyak budidaya ikan yang
diperbolehkan dalam area tertentu.

Kunci Penggerak
Rencana pesisir Austevoll berlaku 10 tahun dan dapat ditinjau
kembali setiap 4 tahun. Rencana pesisir saat ini telah berkembang
dari rencana-rencana sebelumnya dimana rencana saat ini meng-
gabungkan rencana terestrial, pelabuhan dan rencana tata ruang laut
dalam satu peta. Rencana tata ruang laut pertama kali dikembangkan
di Austevoll pada tahun 1997 disiapkan karena kebutuhan untuk me-

Rencana tata
ruang pesisir di
Austevoll (2003).

Membangun Poros Maritim Dunia


348 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ngelola persaingan pemanfaatan ruang di laut seperti kegiatan per-
ikanan tangkap, pelabuhan/kepentingan navigasi, dan untuk kebu-
tuhan mengelola penyebaran penyakit perikanan budidaya. Rencana
ini diterapkan sejak tahun 2003 setelah melalui konsultasi publik dan
pelibatan politik lokal tingkat tinggi. Proses ini dimulai dengan public
hearing lalu 2-3 bulan kemudian diikuti dengan serangkaian perte-
muan sektoral menggunakan peta rencana kasar.

Zona kebijakan kategori yang digunakan dalam Rencana Austevoll Pesisir


FI Important sihing grounds (mobile gear)
RF Prawn trawling areas
KL Live fish-holding area
GY Areas for juvenile fish

AK Aquaculture area on the sea


AL/IND Aquaculture or industrial area on land

SN Nature area of high value (legally protected)

SF Recreation area of high value (legally protected)


(point symbol) Swimming/bathing area
5
SKJ Areas for extraction of shell sand/gravel

HA Harbour area
(line symbol) Main sea route
(line symbol) Importantcables on seabed

MFU Marine science/education

FIN Fishing and nature conservation


FN Recreation and nature conservation and transport
FB Multi-use area

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 349


Garis-garis pada peta yang mengikat secara hukum. Ada bebe-
rapa kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa pemetaan di terestrial
dan di laut dianggap mungkin terlalu rinci. Pertemuan antar sektor
diperbolehkan untuk beradu pendapat. Sebagian besar penduduk
Austevoll hidup dari perikanan budidaya dan hal ini membuat ren-
cana tata ruang laut di pesisir lebih memprioritaskan untuk kegiatan
budidaya.
Setelah pertemuan sektoral dilakukan, peta kemudian disiap-
kan dengan input dari kajian ilmiah dan status tanah. Ada kesulitan
dalam mencapai kesepakatan antara nelayan pelaku usaha pariwisata
sehingga alokasi ruang untuk kegiatan ini harus dinegosiasikan pada
tingkat yang lebih tinggi. Pihak pemerintah daerah mengarahkan agar
budidaya tidak boleh dilakukan di jalur navigasi. Hal ini juga merupa-
kan masalah yang juga harus diselesaikan melalui negosiasi ditingkat
yang lebih tinggi.

Peran Otoritas Lokal


Peran pemerintah daerah dalam perencanaan pesisir penting

5
dan meningkat. Meskipun ada dasar hukum untuk perencanaan di
perairan Norwegia sebagai amanah dari PBA 85, namun demikian
masih ada ketergantungan namun cukup tinggi pada kesepakatan
sukarela stakeholder terhadap zonasi serta intervensi (bila perlu)
dari pemerintah pusat. Keterlibatan pemangku kepentingan lokal
dipandang sangat penting, banyak pekerjaan penyusunan rencana
rinci dilaksanakan oleh otoritas lokal.
Studi independen oleh Institut Penelitian Norwegia (NIBR)
menunjukkan ada kebutuhan untuk bimbingan dari pemerintah
pusat untuk memfasilitasi integrasi regional dan untuk menggerakkan
partisipasi berbagai pemangku kepentingan. Bekerja dengan
pemerintah daerah di tingkat kabupaten dapat membantu untuk
mengembangkan perencanaan pesisir yang terpadu, menetapkan
standar implementasi ICZM di tingkat lokal, dan mendorong
konsistensi mereka dalam implementasi ICZM. Kerja kolaboratif
dengan kabupaten, penyediaan dukungan GIS, dan jaringan semua

Membangun Poros Maritim Dunia


350 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
sangat membantu pemerintah daerah dalam situasi di mana daerah
kekurangan instrumen hukum yang kuat dalam melakukan koordinasi
dan implementasi.
Hubungan dan koordinasi yang baik antara departemen dan
badan-badan di pemerintah pusat juga sangat penting dalam
penyusunan rencana dan implementasi rencana pesisir. Rencana
pesisir merupakan rencana yang dinamis di mana rencana tersebut
dapat direvisi pada siklus empat tahunan.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 351


Amerika Serikat:
Dilakukan Secara Buttom-Up
dan Ilmiah

5
Penataan ruang laut di Amerika Serikat dilakukan secara
bottom-up dan ilmiah guna mengatasi isu-isu regional.
Meskipun tata ruang laut regional bersifat sukarela namun
negara bagian, wakil kelompok masyarakat, dan lembaga
Federal bersatu padu melakukannya.

P
roses bottom-up ini dikombinasikan dengan proses top-down,
dimana Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan
membentuk National Ocean Council (Dewan Kelautan Nasional
atau NOC) untuk mengesahkan 9 Regional Planning Bodies guna
menyusun Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut di masing-
masing wilayah regional. Pedoman ini menjadi panduan Negara
bagian untuk menyusun RTRL masing-masing Negara bagian yang
disahkan oleh Pemerintah setempat.

Membangun Poros Maritim Dunia


352 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Proses
Presiden AS Barack Obama telah menandatangani Executive
Order yang memerintahkan institusi Federal untuk melaksanakan
rekomendasi Gugus Tugas Kebijakan Kelautan antar Lembaga (the
Interagency Ocean Policy Task Force) berdasarkan panduan dari NOC.
Executive Order menetapkan berdirinya NOC di bawah kepemimpin-
an Dewan Kualitas Lingkungan (the Council of Environment Quality)
dan Kantor Kebijakan Teknologi dan Keilmuan (the Office of Science
and Technology Policy) yang beranggotakan 20 institusi Federal.
Dalam struktur organisasinya, NOC membentuk Komite
Koordinasi Tata Kelola (Governance Coordinating Committee) yang
beranggotakan 18 pejabat negara perwakilan Negara bagian, wakil
kelompok masyarakat (suku lokal) dan pemerintah daerah. Keluaran
dari Gugus Tugas adalah kebijakan kelautan nasional dan rencana
implementasi, termasuk rekomendasi penyusunan Rencana Tata
Ruang Laut Regional.
NOC membagi wilayah perairan Amerika Serikat menjadi
sembilan Tata Ruang Laut Regional (TRLR) berdasarkan kondisi Large

5
Marine Ecosystem (LME) yang dimodifikasi dengan kondisi institusi
pengelolaan regional yang ada dan aspek lain. TRLR akan disusun
secara bottom-up dan ilmiah untuk mengatasi isu-isu bersifat regional.
TRLR bersifat suka rela dan mendorong negara bagian, wakil kelompok
masyarakat (suku lokal), dan institusi/lembaga Federal mengatasi isu-
isu bersifat lintas wilayah (regional).
Wilayah Perencanan mencakup laut teritorial, perairan zona
ekonomi ekslusif (ZEE), laut landas kontinen, dan dapat diperluas
hingga mencapai garis pantai (rata-rata pasang tertinggi, termasuk
teluk dan estuari). Perencanaan dapat melebihi perairan ZEE jika
kegiatan yang direncanakan berpotensi mempengaruhi aktivitas
manusia di wilayah perencanaan.

Kelembagaan dan Otoritas


NOC bertanggung jawab memfasilitasi pembentukan lembaga
perencanaan regional (Regional Planning Bodies) yang bertugas

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 353


merumuskan RTRL. NOC berperan menetapkan tujuan nasional,
mengukur kinerja berbasis outcome secara nasional, dan menyusun
pedoman agar konsisten dengan tujuan nasional.

5 Regional Marine Planning Areas di AS.

NOC memfasilitasi pembentukan 9 wilayah tata ruang laut


regional, yaitu:
1. Alaska/wilayah Antartika mencakup wilayah Alaska.
2. Wilayah Karibia mencakup Puerto Riko dan US Kepulauan Virgin.
3. Wilayah Great Lakes mencakup Illinois, Indiana, Michigan,
Minnesota, New York, Ohio, Pennisylvania, dan Wisconsin.
4. Wilayah Teluk Meksiko mencakup Alabama, Florida, Louisiana,
Mississipi, dan Texas.
5. Wilayah Laut Atlantik Tengah mencakup Delaware, Maryland, New
Jersey, New York, Pennsylvania, dan Virginia.
6. Wilayah Timur Laut mencakup Connecticut, Maine, Massachusset,
New Hampshire, Rhode Islands, dan Vermont.

Membangun Poros Maritim Dunia


354 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
7. Wilayah Kepulauan Pasifik mencakup Hawaii, Persemakmuran
Mariana Utara, Amerika Samoa, dan Guam.
8. Wilayah Atlantik Selatan mencakup Florida, Georgia, Carolina Utara,
dan Carolina Selatan.
9. Wilayah Pantai Barat mencakup California, Oregon, dan
Washington.

Contoh Status Rencana Tata Ruang Laut


Dalam website Coastal and Marine Spatial Planning NOAA, telah
terbentuk 8 Regional Planning Bodies yaitu Northeast (NE), Mid-
Atlantic (MA), South Atlantic (SA), Gulf of Mexico (GM), Carribean (C),
Great Lakes (GL), West Coast (WC) dan Pacific Islands (PI). Di situ telah
terumuskan 8 RTRL, yaitu:
a. NE: Rhode Islands Special Area Management Plan, Massachusetts
Ocean Plan;
b. MA: Maryland Ocean Planning and Offshore Renewable Energy, New
Jersey Coastal Management Program, Atlantic Ocean Amendment
to New York’s Coastal Management Program, Virginia Special Area

5
Management Planning;
c. WC: Oregon territorial Sea Planning Process, Washington Marine
Spatial Planning.

Contoh Wilayah Timur Laut (Northeast)


Wilayah ini telah membentuk Regional Ocean Partnership (ROP)
yaitu Northeast Regional Ocean Council (NROC). NROC merupakan
forum kerja sama antara negara bagian (State) dan Institusi Federal
(Federal) yang bertugas memfasilitasi isu-isu strategis kelautan dan
pesisir yang memerlukan respon di tingkat regional. NROC fokus
pada tiga bidang yaitu perencanaan laut (ocean planning), kerentanan
bencana pesisir (coastal hazards resilience), kesehatan ekosistem
pesisir dan laut (ocean and coastal ecosystem health).
Di bidang perencanaan laut, NROC telah membentuk Northeast
Regional Planning Body. Beberapa Negara bagian, seperti Rhode
Islands dan Massachusetts telah menyusun Rencana Tata Ruang Laut.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 355


5

Membangun Poros Maritim Dunia


356 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Beberapa negara bagian, seperti Rhode Islands dan Massachusetts telah
menyusun rencana tata ruang laut.
5
Tahapan Penyusunan RTRL
1. Mengidentifikasi tujuan perencanaan secara regional.
2. Mengidentifikasi kegiatan yang ada saat ini dan harus
direncanakan.
3. Mendorong keterlibatan stakeholders dan masyarakat dalam
proses.
4. Konsultasi dengan ilmuwan dan pakar terkait.
5. Analisa data, kegiatan di perairan, dan dampaknya.
6. Membangun dan mengevaluasi alternatif skenario ke depan dan
tradeoffs.
7. Merumuskan Rancangan Rencana Tata Ruang Laut yang didukung

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 357


oleh dokumen kajian Analisa Dampak Lingkungan untuk
mendapatkan komentar publik.
8. Menyusun Dokumen Akhir Rencana Tata Ruang Laut dan
menyampaikannya ke NOC untuk ditelaah lebih lanjut.
9. Mengimplementasikan, memonitor, mengevaluasi, dan
memodifikasi (jika diperlukan) untuk mendapatkan sertifikasi
NOC.

Mekanisme
NOC bekerja dengan Negara bagian dan perwakilan suku/
masyarakat setempat untuk menyusun 9 institusi perencanaan
regional (Regional Planning Bodies) dalam menyusun RTRL Regional
mengacu pada pedoman yang telah disiapkan oleh NOC. Rencana
kerja masing-masing institusi perencanaan harus mendapatkan
persetujuan oleh NOC dan sekurang-kurangnya mengandung
rekomendasi gugus tugas antar kebijakan.
RTRL Regional bukan merupakan regulatory instrument namun
merupakan pedoman pengambilan keputusan dan perizinan bagi

5
masing-masing institusi teknis dalam menyusun rencana tata ruang
laut yang lebih detil dan kemudian disahkan oleh instrumen hukum
negara bagian/wilayah setempat.
NOAA bertanggung jawab terhadap monitoring, pemetaan,
dengan pengelolaan 9 Regional Planning Bodies terutama melalui
Regional Ocean Partnership Grant dan US Geological Survey untuk
mendukung RTRL.

Studi Kasus
Salah satu contoh studi kasus yang menarik dalam menentukan
alokasi tata ruang laut adalah menyelaraskan antara fungsi konservasi
dan alur pelayaran cruise di AS. Tadinya alokasi ruang untuk alur kapal
tidak mempertimbangkan data kepadatan migrasi ikan paus (whale).
Namun sejak ada kasus tertabraknya ikan paus oleh kapal cruise, AS
langsung meresponnya.

Membangun Poros Maritim Dunia


358 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Sejak terjadi kasus

5
tertabraknya ikan
Paus oleh kapal
cruise, diubahlah rute
alur pelayaran.

Kapal cruise menabrak


ikan paus yang sedang
bermigrasi di pantai
Amerika Serikat.

Pemerintah AS lalu mengubah rute alur pelayaran dengan


menganalisis data kepadatan ikan paus. Hal ini membuktikan
penataan ruang laut memberikan peruntukan ruang yang seimbang
antara kegiatan ekonomi dan lingkungan.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 359


Grenadine:
Berhasil Optimalkan Laut
dan Redam Konflik

Menarik jika kita melihat sekilas pengalaman Grenadine


dalam menyusun rencana tata ruang lautnya. Sebagai negara
kepulauan yang terdiri dari 105 pulau, Grenadine telah
menyusun rencana tata ruang lautnya sehingga mampu

5 mengoptimalkan potensi sumber daya laut sekaligus


meredam konflik di antara pengguna.

K
epulauan Grenadine terletak di atas tumpukan karang Granada
yang secara politik dikuasai oleh dua negara berkembang,
yakni Negara Persemakmuran Granada dan Negara St. Vincent
dan the Grenadine. Secara geografis, Kepulauan Grenadine seluas
2.000 km2 itu terletak di Laut Karibia yang terletak di antara Trinidad
– Tobago (sebelah tenggara), dan Venezuela (di barat daya).
Grenadine yang terdiri dari 105 pulau ini memiliki jumlah
penduduk sebanyak 212.288 jiwa. Perinciannya, 108.419 orang tinggal
di Granada dan 103.869 tinggal di St. Vincent dan the Grenadine (CIA,
2011). Mata pencaharian mereka mengandalkan sumber daya laut
berupa wisata bahari, transportasi laut, dan perikanan tangkap.

Membangun Poros Maritim Dunia


360 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Walaupun secara administratif politik Kepulauan Grenadine
dikuasai oleh dua negara tetapi secara turun temurun hubungan
masyarakat tidak dibatasi oleh batas negara. Interaksi masyarakat di
sana dilakukan secara lintas batas.

Wilayah Perencanaan
Penataan ruang laut di Kepulauan Grenadine dilakukan tidak
untuk seluruh wilayah kedua negara yang menguasainya tetapi hanya
pada pulau-pulau kecil dengan tidak melibatkan kedua pulau utama.
Wilayah perencanaan untuk penataan ruang laut tersebut dapat
dilihat pada Gambar berikut ini.

Wilayah
perencanaan
5
Batas negara

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 361


5

Membangun Poros Maritim Dunia


362 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Di wilayah perencanaan, terdapat 7 pulau berpenduduk di mana
5 pulau terdapat di St. Vincent dan the Grenadines serta 2 pulau ter-
dapat di Granada. Jumlah penduduk di wilayah perencanaan tercatat
17.371 jiwa (lihat Tabel).
Data statistik (luas kawasan dan jumlah penduduk) di St. Vincent
dan the Grenadines.
Sumber
Negara Pulau Area (km2) Populasi
data
St. Vincent Bequia 16,1 4.420 Susgren
& the (2005)
Mostique 5,6 1.290
Grenadines
Canouan 7,5 1.830
Mayreau 1,8 170
Union I. 8,6 1.900
Palm I. 0,4 Resort I.
Petit St. Vincent 0,4 Resort I.
Grenada Petit Martinique *
2,1 800 OECS (2005)
Carriacou *
32,0 6.081

5
Total 74,5 17.371

Sebagai wilayah kepulauan, Kepulauan Grenadines mengandal-


kan sumber daya kelautan sebagai penggerak ekonominya. Wisata ba-
hari merupakan sektor kunci yang banyak mendatangkan pemasuk-
an bagi kehidupan ekonomi dan memberikan banyak pekerjaan bagi
masyarakat.
Sektor wisata bahari meliputi akomodasi di pulau-pulau kecil,
restoran, atraksi wisata (menyelam, memancing), jasa penyewaan
(boat, kapal), transportasi wisata (kapal pesiar dan yacht). Sektor ini
terus berkembang dengan ditandai meningkatnya jumlah wisatawan
setiap tahunnya.
Sektor lain yang memberikan kontribusi pada pendapatan dan
penciptaan lapangan kerja adalah perikanan. Jenis kegiatannya meli-
puti penangkapan ikan karang, penangkapan ikan demersal, penang-
kapan ikan pelagis, dan penangkapan lobster, dan siput. Kegiatan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 363


penangkapan ikan di Kepulauan Grenadines dilakukan dalam skala
kecil dan independen, tanpa adanya suatu organisasi induk atau aso-
siasi nelayan.
Selain potensi yang bersifat ekonomis, Kepulauan Grenadines
juga mempunyai potensi untuk kelestarian ekosistem pesisir. Lebih
dari sepertiga wilayah Kepulauan Grenadines merupakan perairan
dangkal dengan kedalaman kurang dari 50 meter.
Di Kepulauan Grenadines terdapat ekosistem pesisir yang
lengkap seperti mangrove, berbagai tipe ekosistem terumbu karang
(patch reefs, fringing reefs, dan barrier reefs) beserta habitat biotanya,
hamparan padang lamun, dan laguna. Keberadaan ekosistem pesisir
tersebut menyediakan berbagai komoditas bernilai ekonomi tinggi
yang dimanfaatkan oleh penduduk di Kepulauan Grenadines. Hal
ini membuat beberapa pihak mengusulkan wilayah Kepulauan
Grenadines dideklarasikan sebagai Situs Warisan Dunia untuk
konservasi.

Pendekatan dan Metode Perencanaan

5
Perencaan tata ruang laut di Kepulauan Grenadines ditujukan
untuk mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir guna untuk
dimanfaatkan secara arif oleh masyarakat. Di samping itu, tujuan
lainnya adalah untuk mempertahankan pola kehidupan masyarakat
yang ada dimana pada saat bersamaan dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Dalam merencanakan alokasi ruang, pendekatan yang dilakukan
adalah perencanaan bottom-up dengan berbasis komunitas (commu-
nity base bottom-up planning). Metode perencanaan berupa perenca-
naan partisipatif (participatory planning).
Dalam metode ini setiap stakeholder diberikan kesempatan
untuk menggambarkan kepentingannya dalam memanfaatkan
ruang laut dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Grenadines. Semua
kepentingan tersebut dirumuskan berdasarkan suatu tujuan
bersama (collective goals) sehingga masing-masing stakeholder
dapat memenuhi tujuannya. Ada lima tahapan dalam menyusun

Membangun Poros Maritim Dunia


364 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
perencanaan tata ruang laut di Kepulauan Grenadines, yakni dengan
melibatkan stakeholder, menyusun tujuan dan sasaran, mencari data,
menyusun skenario, serta menyusun rencana.
Pelibatan stakeholder dilakukan berdasarkan tingkat kepen-
tingan dan keterpengaruhan terhadap pemanfaatan ruang laut dan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Grenadines. Para stakeholder yang di-
libatkan adalah pengusaha resort, restoran, penyewa kapal, nelayan,
aktivis lingkungan/konservasi, dan pemerintah lokal.
Keterlibatan stakeholder tersebut meliputi keseluruhan tahapan
perencanaan mulai dari penyusunan tujuan sasaran sampai dengan
tahapan penyusunan rencana. Untuk memudahkan proses tersebut,
dibentuk suatu Komite Stakeholder (Stakeholder Commitee). Mereka
bertugas menjaring aspirasi dari setiap kelompok yang diwakilinya
dan memperjuangkan aspirasi tersebut. Komite ini juga bertugas
merumuskan kompromi dari berbagai aspirasi yang muncul dari
kelompok stakeholder lainnya dalam forum stakeholder.
Pada tahap penyusunan tujuan dan sasaran, setiap stakeholder
merumuskan tujuan masing-masing kelompok yang diwakili oleh

5
anggota komitenya. Dari situ lalu disusun tujuan utama dan prioritas-
prioritasnya. Tujuan dan sasaran serta prioritas yang disetujui oleh
Komite Stakeholder menentukan skenario dan perencanaan yang akan
disusun kemudian.
Demikian juga dalam hal pencarian data, dilakukan secara
partisipatif oleh Komite Stakeholder berdasarkan pengalaman sehari-
hari yang dikumpulkan dari masyarakat. Data yang dikumpulkan pada
akhirnya membentuk suatu peta pemanfaatan ruang eksisting yang
memang sudah dilakukan oleh masyarakat seperti:
u Alur pelayaran kapal pesiar
u Alur pelayaran kapal sewa wisata
u Lokasi penyelaman
u Lokasi penangkapan ikan
u Lokasi akomodasi, restoran
u Rencana pengembangan kawasan
u Rencana investasi

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 365


Penyusunan Skenario dan Rencana Tata Ruang Laut
Berdasarkan tujuan dan sasaran serta data-data yang diperoleh
maka disusun beberapa skenario untuk kemudian disetujui sebagai
rencana tata ruang laut di Kepulauan Grenadines. Secara garis besar,
pola pikir dan penyusunan rencana tata ruang laut adalah sebagai
berikut.

PELIBATAN STAKEHOLDER

Perumusan tujuan Pengumpulan data


dan sasaran

Serangkaian seminar,
workshop, rapat

Skenario-skenario

5 Pemilihan skenario Pemilihan skenario


dan penyusunan draft
rencana tata ruang
dilakukan oleh komite
Draft rencana tata stakeholder dengan
ruang laut dan bantuan ahli
pulau-pulau kecil

Sebelum menyusun skenario terlebih dahulu dilakukan


identifikasi zona-zona yang dianggap mewakili kepentingan
stakeholder dan sejalan dengan tujuan sasaran yang telah ditetapkan.
Zona-zona tersebut meliputi, wisata bahari, perikanan tangkap,
budidaya laut, konservasi, dan alur laut.
Zona-zona tersebut kemudian dievaluasi oleh Komite Stake-
holder sehingga menghasilkan beberapa isu penting. Di antaranya

Membangun Poros Maritim Dunia


366 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
apakah zona sudah mewakili seluruh kepentingan? Apakah zona-zona
tersebut dapat dikelola kemudian? Apakah zona-zona tersebut tidak
saling mematikan atau bertentangan? Dimana saja terjadi overlap
zona?
Berdasarkan isu-isu tersebut skenario disusun dengan
menggunakan bantuan peranti lunak (software) Marxan dan
berdasarkan pembobotan kepentingan keterkaitan dengan tujuan.
Skenario tersebut:
1. Pengurangan 50 % kepentingan sektoral kecuali konservasi.
2. Pengurangan kepentingan industri dan transportasi.
3. Semua kepentingan diperhitungkan.
4. Kompromi semua tujuan kecuali konservasi dan alur pelayaran
sebagai zona yang ditetapkan.
Setiap skenario dibahas oleh Komite Stakeholder menurut
keuntungan dan kerugiannya dan harus sejalan dengan tujuan dan
sasaran yang telah disepakati di awal. Berdasarkan hasil serangkaian
pertemuan, akhirnya disepakati 7 zona yakni konservasi pemanfaatan
umum, ekoturisme, transportasi, penangkapan ikan lepas pantai,

5
(offshore fishing zone), penangkapan ikan pantai (nearshore fishing
zone), dan budidaya laut (mariculture zone).
Penjelasan dari setiap zona tersebut dapat dilihat pada Tabel
berikut ini. Sementara itu, Peta Rencana Tata Ruang Laut yang
dihasilkan setelah serangkaian pertemuan dan kesepakatan antara
para stakeholder dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

Tujuh zona perencanaan tata ruang laut di Grenadine.


Zona Keterangan

Dibagi dalam dua kategori yaitu No Take Zone dan


Konservasi
Pemanfaatan Terbatas.

Pemanfaatan Wilayah yang memang sudah direncanakan sebelumnya


Umum dengan sedikit pembatasan.

Wilayah yang dibatasi pembangunan lahannya kecuali


Ekoturisme untuk kegiatan wisata dan penangkapan ikan lokal atau
tradisional.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 367


Wilayah yang terdiri dari alur pelayaran, penambatan
Transportasi
kapal, dermaga, pelabuhan, dan dermaga wisata.

Penangkapan Dialokasikan hanya untuk nelayan Grenadine dengan


ikan lepas pelarangan untuk kegiatan penangkapan ikan skala
pantai komersil, penambangan pasir, penambangan minyak

Penangkapan Dialokasikan hanya untuk nelayan Grenadine dengan


ikan pantai pengelolaan berdasarkan musim dan kuota ikan.

Hanya diperuntukan bagi budidaya lumut laut (seamoss)


Budidaya laut
dan memerlukan izin khusus

Zona laut yang diusulkan:


Zona pemanfaatan umum
Zona konservasi
Zona berdampak rendah (ekoturisme)
Zona budidaya laut
Zona transportasi

5
Zona penangkapan ikan di pantai
Zona penangkapan ikan
di lepas pantai

St. Vincent
& the Grenadines

Grenada
National
Boundary

Draft pertama Februari 2012

Desain rencana zonasi laut multiguna di Pulau Grenadine.

Membangun Poros Maritim Dunia


368 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Perspektif Baru
Perencanaan Tata Ruang Laut
di Eropa

Penggunaan ruang laut dewasa ini makin intensif di Eropa.


Berbagai ekspansi kegiatan laut seperti energi angin di
lepas pantai, perikanan tangkap dan budidaya, pengerukan,
eksplorasi mineral, transportasi laut, dan komitmen
internasional untuk konservasi keragaman hayati ini
membutuhkan perencanaan tata ruang laut. 5
K
ian maraknya kegiatan pembangunan di laut mengakibatkan
tekanan terhadap lingkungan laut meningkat. Jika hal ini
tidak dikendalikan, ekosistem laut mengalami kerusakan
dan tak seimbang. Kondisi demikian tentu saja akan mengancam
pembangunan berkelanjutan.
Di Journal Science belum lama ini, sejumlah ilmuwan terkemuka
menyimpulkan. hilangnya keanekaragaman hayati laut semakin
merusak kemampuan lautan untuk memproduksi bahan pangan
laut, melawan hama penyakit, menyaring bahan pencemar, menjaga
kualitas air, serta memulihkan diri dari gangguan seperti over fishing
dan perubahan iklim (Worm et al., 2006).

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 369


Tak hanya itu, jika ruang laut tak ditata maka potensi konflik di
antara pengguna ruang laut juga semakin tinggi. Peningkatan tekan-
an pada lingkungan laut telah menyebabkan dua jenis konflik. Per-
tama, tidak semua kegiatan penggunaan atau pemanfaatan bersifat
kompatibel satu sama lain. Kedua, terjadi konflik antarpengguna atau
antarpemanfaat sebagai akibat dari persaingan dalam menggunakan
ruang laut. Kekhawatiran yang lebih besar adalah dampak kumulatif
dari semua kegiatan tersebut terhadap lingkungan laut, yaitu konflik
antara pengguna dan lingkungan (user vs environment).
Atas dasar inilah, beberapa negara Eropa --baik atas inisiatif
sendiri maupun didorong oleh Strategi Kelautan Uni Eropa dan
Kebijakan Maritim, Deklarasi Bergen Konferensi Laut Utara, dan
rekomendasi Uni Eropa—melaksanakan perencanaan tata ruang laut.
Belgia, Belanda, dan Jerman di Laut Utara (North Sea), dan Inggris di
Laut Irlandia, telah menyelesaikan rencana penggunaan laut tahap
awal. Keempat negara tersebut juga membuat usulan zonasi untuk
wilayah laut dalam yurisdiksi nasional mereka.

5
Kepentingan Strategis
Selama berabad-abad lamanya, lautan telah menjadi kepen-
tingan strategis besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di Ero-
pa. Seperti diketahui, Uni Eropa (UE) memiliki garis pantai sepanjang
68.000 km. Angka ini setara dengan tujuh kali dari Amerika Serikat
atau empat kali lipat dari Rusia.
Hampir setengah dari penduduk Eropa hidup dalam radius 50 km
dari pantai. Konsekuensinya, laut dan pesisir Eropa sangat dipenga-
ruhi oleh meningkatnya konflik antara pengguna (European Science
Foundation-Marine Dewan, 2006).
Visi Eropa di masa depan adalah menyeimbangkan kebutuhan
antara pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, kesejahteraan dengan
mempertahankan dan meningkatkan status lingkungan laut dan sum-
ber dayanya (Komisi Eropa, 2006a). Pada awal tahun 1999, Perspektif
Pembangunan Tata Ruang Eropa mengakui bahwa semua kebijakan
sektoral memiliki dampak teritorial (atau spasial) dan rencana tata ru-

Membangun Poros Maritim Dunia


370 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
ang adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik antar
kepentingan dan kebijakan sektoral (Defra, 2005).
Selama beberapa tahun terakhir, kebutuhan untuk perencanaan
tata ruang laut semakin penting, seperti terefleksikan dalam berbagai
dokumen hukum dan kebijakan di Eropa. Beberapa bagian terpenting
terkait dengan perencanaan tata ruang laut meliputi hukum dan ke-
bijakan yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Konteks hukum dan kebijakan di Eropa


Dokumen Menuju Kebijakan Maritim Masa Depan untuk Union:
Sebuah Visi Eropa untuk Samudra dan Laut (Kebijakan Maritim) di-
luncurkan Juni 2007. Dokumen ini bertujuan memberikan dasar bagi
kebijakan maritim masa depan Eropa yang memungkinkan pengem-
bangan kebijakan dan kegiatan berbasis laut secara seimbang dan
koheren. Dokumen ini juga memastikan saling penguatan antara per-
tumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di satu sisi dan lingku-
ngan laut dan sumber dayanya yang terjaga dengan baik di sisi lain.
Kebijakan Maritim tersebut menganggap pengelolaan ruang

5
laut sebagai kunci dari setiap kebijakan maritim dan penting bagi
kebijakan sektoral dan pemanfaatan struktur maritim yang efisien.
Dokumen tersebut juga menekankan, tanpa pengembangan sistem
perencanaan tata ruang kelautan berbasis ekosistem, maka dalam
waktu dekat adalah mustahil untuk mengelola penggunaan laut yang
semakin meningkat, dan seringkali saling bertentangan.
Kebijakan Maritim menyimpulkan, sistem perencanaan tata ru-
ang harus dilakukan melalui pendekatan berbasis ekosistem dan disu-
sun untuk kegiatan lepas pantai di seluruh perairan di bawah yurisdik-
si negara-negara anggota. Menurut Komisi Eropa, perencanaan tata
ruang laut yang terintegrasi merupakan kebutuhan mendasar bagi
pembangunan berkelanjutan dan juga untuk mencapai pendekatan
terpadu bagi pengelolaan kelautan.
Kebijakan penting lainnya dikeluarkan pada tahun 2005 berupa
Strategi Tematik Kelautan Uni Eropa (Strategi Kelautan), yang menjadi
pilar Kebijakan Maritim. Di situ dikenalkan prinsip perencanaan ruang

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 371


laut berbasis ekosistem. Strategi tersebut juga memberikan kerangka
yang mendukung inisiatif nasional menuju perencanaan tata ruang
yang dirancang untuk mencapai status lingkungan laut yang baik.
Di dalam strategi tersebut, Eropa memperkenalkan konsep ma-
rine region (kawasan laut) sebagai suatu kawasan yang besar, ber-
makna ekologis, sebagai unit manajemen untuk pelaksanaan strategi
dan kerja sama antara negara-negara anggota dalam mencapai tujuan
dari Strategi Kelautan (Komisi Masyarakat Eropa 2005). Persiapan un-
tuk identifikasi kawasan-kawasan laut Eropa dilakukan melalui studi
International Council for the Exploration of the Sea (ICES). Studi ini
menyimpulkan, kawasan laut sebagai eco-region (lihat Gambar) yang
didefinisikan berdasarkan fitur bio-geografis, fitur oseanografi, politik,
serta pembagian secara sosial dan manajemen (ICES, 2004; Komisi Ma-
syarakat Eropa, 2006).
Pembagian ekoregion ini dapat dilihat sebagai persyaratan geo-
grafis dasar untuk menerapkan pendekatan ekosistem di perairan
Eropa dan membangun lebih lanjut dengan syarat bahwa manajemen
berbasis ekosistem secara inheren merupakan pembangunan berba-

5
sis lokasi atau wilayah.

Ekoregion Laut Eropa


(Sumber: EU Marine Strategy. Behind the Marine Strategy, 2006).

Membangun Poros Maritim Dunia


372 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Kebijakan penting lainnya dalam penyusunan tata ruang laut
adalah dengan adanya rekomendasi Uni Eropa tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu (ICZM). Rekomendasi yang diadopsi pada
tahun 2002 ini memang tidak mengacu perencanaan tata ruang laut
secara khusus. Namun demikian, dokumen tersebut menyediakan
dasar untuk melakukan penataan ruang laut, khususnya sebagai
bagian dari persyaratan negara anggota untuk mengembangkan
strategi nasional ICZM.
Pandangan ini dikonfirmasikan pada Forum Tingkat Tinggi
Eropa Pertama tentang ICZM. Di situ potensi untuk menggunakan
perencanaan tata ruang, terintegrasi dengan perencanaan pengelo-
laan sumber daya laut dan penggunaan ruang laut, di tingkat nasional,
regional, dan lokal. Langkah ini merupakan cara untuk menerapkan
perspektif holistik dan dinamis dalam ICZM (Forum ICZM Tingkat
Tinggi Eropa Pertama, 2002).
Penelitian terbaru mengenai ICZM di Eropa mengakui penataan
ruang laut sebagai salah satu tema priori-tas untuk implementasi lebih
lanjut dari ICZM di wilayah pesisir Eropa (Komisi Masyarakat Eropa,

5
2007).
Di antara pendorong yang paling penting untuk perencanaan
tata ruang laut di Eropa adalah Legislasi Eropa tentang konservasi
alam sebagai bagian dari kontribusi Uni Eropa untuk melaksanakan
Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992. Dua direktif yang paling
signifikan adalah Birds Directive (Directive Masyarakat Uni Eropa,
79/409/EEC) dan Habitat Directive (Directive Masyarakat Uni Eropa,
92/43/EEC)/
Birds Directive menyediakan kerangka kerja untuk identifikasi
dan klasifikasi Wilayah Perlindungan Khusus (SPA) untuk spesies
yang langka, rentan atau secara teratur bermigrasi. Sementara itu,
Habitat Directive mewajibkan negara-negara anggota untuk memilih,
menunjuk, dan melindungi situs yang mendukung habitat alam
tertentu atau spesies tanaman atau hewan sebagai Special Areafor
Conservation (SACs). SCA dan SPA akan menciptakan sebuah jejaring
kawasan lindung di Uni Eropa, yang dikenal sebagai Natura 2000.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 373


Natura 2000 membangun batu pijakan bagi kebijakan konservasi
alam Eropa (European Commission, 2005).
Dokumen kebijakan dan hukum Uni Eropa lainnya yang relevan
dengan pengembangan inisiatif perencanaan tata ruang laut adalah
Kebijakan Perikanan Umum Uni Eropa (Peraturan Masyarakat Uni
Eropa, 2371/2002) dan Directive Uni Eropa untuk Kerangka Sumber
daya Air (Petunjuk2000/60/EC).
Kebutuhan untuk perencanaan tata ruang laut di perairan
Eropa juga kembali tercermin pada tingkat regional. Pada tahun
2002, Deklarasi Menteri ke-5 Konferensi Laut Utara (Bergen)
atau Bergen Deklarasi (2002) mengundang Komisi OSPAR untuk
menyelidiki kemungkinan kerja sama internasional lebih lanjut guna
mengembangkan perencanaan tata ruang laut sebagai alat untuk
penataan ruang laut yang efektif.

Perencanaan Tata Ruang Laut di Belgia


Belgia adalah salah satu negara pertama yang memulai imple-
mentasi operasional, sistem perencanaan pemanfaatan laut multigu-

5
na, meliputi laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif (Plasman dan
Van Hessche, 2004). Perencanaan tata ruang laut di Belgia dikembang-
kan secara adhoc, terutama didorong oleh komitmen perlindungan
lingkungan Eropa dan peningkatan peluang baru bagi eksploitasi
lingkungan laut.
Kegiatan baru, perluasan kegiatan yang ada, kebutuhan yang me-
ningkat untuk konservasi alam, dan tujuan untuk mengintegrasikan
pengelolaan ekosistem laut dan pesisir menyebabkan meningkatnya
konflik yang tidak bisa ditangani oleh sistem perizinan atau penilaian
dampak lingkungan saja. Kebutuhan yang lebih komprehensif terha-
dap perencanaan tata ruang untuk Laut Utara yang menjadi bagian
Belgia (BPNS) menjadi sangat mendesak. Hal ini dapat dimaklumi
karena Belgia memiliki tujuan nasional yang baru, yakni menghasilkan
energi lepas pantai (yaitu, energi angin atau wind farm) dan pengem-
bangan jejaring kawasan lindung Eropa (Natura 2000) (Pendobelan
vere et al., 2007).

Membangun Poros Maritim Dunia


374 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
5
Rencana tata ruang laut di Belgia.

Respon terhadap tantangan ini mengakibatkan pengembangan


rencana tata ruang laut ini disebut sebagai Master Plan, untuk
seluruh BPNS. Meskipun ada kekurangan dasar hukum formal untuk
perencanaan tata ruang laut di Belgia, Master Plan menterjemahkan
tujuan saat ini dan masa depan dari berbagai sektor dan menjadi visi
spasial.
Tujuan dari rencana tata ruang meliputi pengembangan energi
angin lepas pantai, batas kawasan perlindungan laut, rencana
kebijakan untuk penambangan pasir dan gravel (kerikil) laut yang

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 375


berkelanjutan, meningkatkan sumber pendanaan untuk pencegahan
pencemaran minyak, pemetaan habitat laut, perlindungan bangkai
kapal tenggelam yang berharga bagi keanekaragaman hayati, dan
pengelolaan kegiatan berbasis lahan darat yang berdampak pada
lingkungan laut (Bossu dan Plasman, 2004).
Rencana Induk dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2004.
Dua tahap yang pertama Master Plan sudah beroperasi. Tahap
pertama, fokus pada penentuan tata ruang untuk ekstraksi pasir
dan kerikil laut dan zona untuk proyek-proyek energi angin lepas
pantai di masa depan. Tahap kedua, adalah membuat batas kawasan
perlindungan laut sebagai bagian dari Jaringan Natura Uni Eropa
2000.
Pada tingkat ilmiah, diskusi dan kontroversi mengenai penggu-
naan baru dan persyaratan untuk laut dan dasar laut menyebabkan
dilaksanakannya kajian GAUFRE (Maes et al., 2005). Kajian tersebut
memungkinkan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembang-
an baru secara seimbang dan berkelanjutan.
Penelitian ini dimulai dengan analisis secara luas tentang

5
dampak spasial dari setiap penggunaan yang ada. Bagian yang
paling inovatif dari penelitian ini menggambarkan skenario untuk
penggunaan ruang masa depan yang mengekspresikan visi terpadu
untuk perencanaan tata ruang laut BPNS berdasarkan seperangkat
nilai-nilai kunci.
Enam skenario dikembangkan, tergantung pada kepentingan
relatif dari nilai-nilai kunci, yakni relaxed sea, natural sea, rich sea,
playful sea, mobile sea, dan sailing sea. Proses menciptakan skenario
untuk penggunaan ruang laut di masa depan dipandang sebagai alat
atau sarana dan bukan tujuan itu sendiri. Beragam nilai yang berbeda
dipertimbangkan dan diberikan bobot untuk mengelaborasi rencana
tata ruang struktural BPNS secara lengkap. Namun, pemilihan rencana
struktural yang diinginkan dianggap sebagai keputusan politik, bukan
teknis atau ilmiah.
Sebuah studi ilmiah dari kegiatan valuasi biologis dari BPNS
juga telah dilakukan. Penelitian ini menghasilkan satu set peta yang

Membangun Poros Maritim Dunia


376 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
menunjukkan nilai biologi sintrinsik sub-daerah yang berbeda dalam
BPNS. Peta dikembangkan menggunakan data spasial yang tersedia

Tata ruang laut Belanda untuk Laut Utara yang menjadi bagiannya.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 377


untuk kerang dan burung laut. Pada data tingkat yang lebih rendah
untuk distribusi spasial ikan demersal dan epi benthos.
Peta penilaian biologis laut dianggap sebagai alat yang unik
dan sangat diperlukan untuk mencapai tata ruang yang obyektif
dan ilmiah. Dengan demikian, ia dapat memberikan dasar bagi
pelaksanaan tindakan manajemen yang berkelanjutan di masa depan
(Derous et al., 2007).

Perencanaan Tata Ruang Laut di Belanda


Diskusi tentang kebutuhan baru dan persaingan pemanfaatan
ruang lautdi Laut Utara bagian Belanda (DPNS) telah menjadi
perdebatan politik di Belanda sejak lama. Beberapa dapat dilihat
kembali ke tahun 1980-an dan merujuk pada pembuatan bandara
lepas pantai, fasilitas industri, pembuangan limbah, dan reklamasi
lahan.
Seperti negara-negara pesisir lainnya di Laut Utara, kebutuhan
untuk perencanaan tata ruang yang komprehensif menjadi
sangat mendesak karena penggunaan-penggunaan baru yang

5
membutuhkan ruang laut, termasuk energi angin (wind farm) dan
kawasan lindung laut.
Pada tahun 2005, Kementerian Perumahan, Tata Ruang dan
Lingkungan Belanda menerbitkan untuk pertama kalinya bab Laut
Utara di Dokumen Kebijakan Perencanaan Tata Ruang nasional
mereka. Kebijakan perencanaan tata ruang laut Belanda bertujuan
untuk mencegah fragmentasi dan mempromosikan penggunaan
ruang yang efisien. Hal ini juga sekaligus memberikan ruang bagi
pihak swasta untuk mengembangkan inisiatif mereka sendiri di Laut
Utara.
Tujuan keseluruhan dijabarkan secara lebih rinci dalam Rencana
Terpadu untuk North Sea 2015 (IMPNS 2015) yang diterjemahkan ke
dalam tiga hal. Pertama, penataan ruang untuk mendorong laut yang
sehat. Kedua, penataan ruang untuk mendorong laut yang aman.
Ketiga, pengelolaan spasial untuk mendorong laut yang bermanfaat
profitable secara ekonomi (IMPNS 2015, 2005).

Membangun Poros Maritim Dunia


378 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Pemerintah Belanda memilih pendekatan perencanaan tata
ruang laut yang mendefinisikan zona pemanfaatan/penggunaan ha-
nya jika diperlukan misalnya, rute pelayaran, latihan militer, daerah
ekologis berharga. Pendekatan ini memungkinkan sejumlah besar ke-
bebasan untuk sektor swasta guna mengembangkan inisiatif dalam
batasan tertentu. Perencanaan tata ruang dianggap sebagai sarana
pembinaan pemanfaatan berkelanjutan sekaligus memungkinkan se-
banyak mungkin untuk inisiatif sektor swasta (IMPNS 2015, 2005).
Perencanaan tata ruang laut di Belanda sebagian besar sudah
dilaksanakan (lihat Gambar). Elemen-elemen kunci dari rencana tata
ruang meliputi:

u Peta Peluang yang menunjukkan di mana aktivitas manusia


diperbolehkan dalam kerangka legislatif serta di mana para
pengguna meyakini wilayah tersebut akan berkembang.
u Sebuah sistem pemantauan spasial dan pelacakan perizinan yang
memfasilitasi pengembangan secara up to date dari penggunaan
saat ini ruang dan antisipasinya di masa datang dan validasi dan

5
aplikasi dari berbagai berbagai izin.
u Kerangka penilaian terpadu (spasial) untuk pemberian izin yang
memberikan panduan yang lebih kuat dan eksplisit atas dasar
aspek spasial seperti penggunaan ruang secara multiguna.
u Studi tata ruang yang bersifat eksplorasi untuk kegiatan tertentu
yang memungkinkan penyesuaian dalam pengelolaan satu atau
lebih kegiatan.
u Kompensasi kerugian yang dapat diklaim dari instansi yang
berwenang jika ia dirugikan oleh penggunaan hukum lain.
u Kegiatan bersama yang dipromosikan oleh pemerintah untuk
mengundang sektor swasta dan masyarakat sipil untuk
menyampaikan inisiatif yang menggabungkan fungsi-fungsi
pemanfaatan.

Untuk mengambarkan wilayah yang berpotensi menuai masa-


lah, dibuat analisis tentang penggunaan ruang di DPNS dan perkem-

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 379


bangan kegiatan yang ada dan baru di sekitarnya. Analisis ini berujung
pada peta yang menunjukkan dampak spasial kegiatan saat ini dan
masa depan, tekanan pada ruang, serta potensi konflik di DPNS.
Kegiatan penelitian berikutnya telah memberi perhatian khusus
untuk nilai ekonomi dan ekologi dari Laut Utara bagian Belanda. Eva-
luasi ekologi dari DPNS dilakukan untuk penunjukan daerah dengan
nilai ekologis khusus. Berdasarkan hasil penelitian, peta bagi kawasan
lindung dirancang sebagai bagian dari IMPNS 2015 (Lindeboom et al.,
2005).
Penelitian tentang valuasi ekonomi DPNS juga dilakukan. Riset
ini bertujuan mendapatkan informasi tentang nilai ekonomi saat ini
dan masa depan (diukur dalam nilai produksi dan tenaga kerja) dari
kegiatan utama lepas pantai (minyak dan gas, agregat laut, penang-
kapan ikan, pengiriman, energi angin, kabel, dan pipa) terkaitan de-
ngan penggunaan ruangnya.
Prakiraan telah dibuat dari nilai ekonomi dan kebutuhan
ruang hingga 2015. Penelitian ini akan menghasilkan tiga skenario
alternatif di mana analisis akan dibuat untuk potensi konflik spasial

5
dan kemungkinan harmonisasi dan kompatibilitasnya, bergantung
pada estimasi tingkat pertumbuhan ekonomi (lambat, menengah
atau tinggi) dari kegiatan lepas pantai selama 10 tahun mendatang.
Skenario ini selain memberikan wawasan yang lebih baik, juga
memberikan pedoman tentang tindakan pemerintah dalam bentuk
perencanaan tata ruang yang diperlukan.

Perencanaan Tata Ruang Laut di Jerman


Perencanaan tata ruang laut di Jerman dilakukan pada dua
tingkat. Di tingkat Jerman Lander (negara bagian) bertanggung ja-
wab untuk pengembangan tata ruang laut di wilayah laut. Sedangkan
pada tingkat pemerintah federal bertanggung jawab untuk perenca-
naan tata ruang laut di zona ekonomi eksklusif (ROG, 2006).
Melalui penataan ruang laut di wilayah laut teritorial, Meck-
lenburg-Vorpommern bertujuan untuk memberikan perhatian khu-
sus pada peluang-peluang yang ditawarkan dan risiko yang ada

Membangun Poros Maritim Dunia


380 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
dari wilayah Laut Baltik ke Negara Bagian. Selanjutnya, dokumen ini
memastikan manajemen konflik sejak tahap awal antara tuntutan
teknologi baru (lokasi energi angin atau wind farm lepas pantai), per-
lindungan pariwisata dan alam, serta sektor tradisional seperti perka-
palan, penangkapan ikan, dan pertahanan. Tujuan dan prinsip dari
rencana ini sama dengan tujuan untuk perencanaan penggunaan la-
han dan menjadi satu dalam konteks yang lebih luas dari pengelolaan
wilayah pesisir terpadu (Landesraument wicklungs program Mecklen-
burg-Vorpommern, 2005).
Perencanaan tata ruang laut di zona ekonomi eksklusif Jerman
masih dalam tahap awal. Kepentingan riil pemerintah federal untuk
mengembangkan perencanaan tata ruang laut bagi perairan di
bawah yurisdiksi Jerman dimulai pada tahun 2000. Kepentingan
tersebut terutama didorong oleh efek mengejutkan dari peta yang
menampilkan berbagai proposal untuk pengembangan energi angin
lepas pantai (wind farm) berskala besar.
Pemerintah Jerman pun dibanjiri aplikasi sebagai akibat ada-
nya jaminan subsidi untuk listrik bertenaga angin. Berbagai proposal

5
proyek tumpang tindih secara ruang dan menimbulkan kekhawatiran
terkait efek pada lingkungan laut. Hal ini dapat memunculkan ber-
bagai konflik antara pengguna yang berbeda.
Karena itulah Jerman menetapkan dasar hukum yang kuat untuk
pengembangan tata ruang laut. Pada Juli 2004, amandemen Undang-
undang Penataan Ruang Federal mulai berlaku. Di situ dikatakan,
Kementerian Federal Transportasi, Bangunan dan Urusan Perkotaan
harus mengembangkan instrumen hukum yang menetapkan tujuan
dan prinsip-prinsip perencanaan tata ruang di zona ekonomi eksklusif
(ROG, 2006). Badan Federal Maritim dan Hidrografi diberi tanggung
jawab untuk menyiapkan rencana tata ruang Laut Utara dan Laut
Baltik. Rencana tata ruang dirilis untuk konsultasi publik pada awal
tahun 2008.
Tujuan dari rencana tata ruang adalah membangun pengelolaan
ruang secara berkelanjutan, di mana tuntutan sosial dan ekonomi
konsisten dengan fungsi-fungsi ekologis. Elemen-elemen kunci dari

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 381


rencana tata ruang laut mencakup (ROG, 2006):
u Daerah prioritas yang dicadangkan untuk penggunaan yang sudah
definitif dimana penggunaan lainnya yang saling bertentangan
dikecualikan.
u Daerah reservasi (cadangan) di mana penggunaan yang sudah
definitif diberikan prioritas.
u Daerah yang cocok di mana penggunaan yang sudah definitif
diperbolehkan di dalamnya, tapi dikecualikan untuk di luar daerah
yang telah ditunjuk.

Langkah penting menuju alokasi ruang laut untuk penggunaan


spesifik pada Desember 2005 adalah penunjukan preferred area untuk
energi angin (wind farm) di satu wilayah Laut Utara dan dua daerah di
Laut Baltik. Wilayah ini otomatis akan berubah menjadi area prioritas
saat rencana tata ruang diberlakukan.
Dalam konteks pengembangan rencana, tidak ada inisiatif
penelitian ilmiah yang baru. Rencana hanya dikembangkan

Penggunaan ruang laut di Laut Utara Jerman.


(Sumber: Bundesamt fur Seeschifffahrt und Hydrographie, 2007).

Membangun Poros Maritim Dunia


382 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
berdasarkan data yang ada lalu dianalisis dan disintesis oleh para ahli
di Badan Federal Maritim dan Hidrografi (lihat Gambar).

Manajemen Berbasis Ekosistem


Rencana tata ruang Belgia, Belanda, dan Jerman merupakan
langkah signifikan ke arah penerapan manajemen berbasis ekosistem
terhadap lingkungan laut. Ketiga proses perencanaan tata ruang
melakukan upaya berbasis ilmu pengetahuan untuk mendefinisikan
fitur ekologi yang berharga untuk seluruh wilayah perencanaan
mereka. Meskipun ini adalah langkah penting, itu hanya langkah
pertama. Yang menjadi pusat dari manajemen berbasis ekosistem
adalah penyediaan pemanfaatan berkelanjutan barang dan jasa
kelautan.
Pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan manajemen mencari
keberlanjutan, baik ekologi, sosial, maupun keberlanjutan ekonomi.
Di ketiga pendekatan perencanaan tata ruang, penilaian aspek sosial
dan ekonomi daerah perencanaan tidak terintegrasi secara sistematis
dan dengan cara yang konsisten dengan metode penilaian ekologi.

5
Sebuah valuasi sosial dan ekonomi, misalnya harus menghubungkan
kegiatan lepas pantai tertentu dengan masyarakat dan ekonomi da-
ratan, dan mengevaluasi pentingnya kegiatan lepas pantai bagi ma-
syarakat dan ekonomi di darat.

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 383


Status rencana tata ruang laut (marine spatial planning)
di dunia hingga tahun 2014

Negara Wilayah Perencanaan Status Rencana


Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Belgia Disetujui/diimplementasikan
Laut Utara

Belanda ZEE Laut Utara Disetujui/diimplementasikan

Jerman ZEE Laut Utara Disetujui/diimplementasikan

Jerman ZEE Laut Baltik Disetujui/diimplementasikan

Negara Bagian Mecklenburg-


Jerman Disetujui/diimplementasikan
Vorpommern

Negara Bagian Schleswig-


Jerman Disetujui/diimplementasikan
Holstein

Jerman Negara Bagian Lower Saxony Disetujui/diimplementasikan

Inggris Perencanaan Wilayah Timur Selesai/disetujui

Inggris Perencanaan Wilayah Selatan Dalam proses penyusunan

5 Skotlandia

Skotlandia
ZEE

Perairan Pentland Firth dan


Orkney
Dalam proses drafting
Rencana Nasional

Percontohan Rencana Tata


Ruang Laut (MSP) selesai

Wales ZEE Dalam proses penyusunan

Irlandia Utara ZEE Dalam proses penyusunan

Irlandia ZEE Dalam proses penyusunan

Polandia Laut Baltik Dalam proses penyusunan

Lithuania Laut Baltik Selesai

Estonia Laut Baltik Dalam proses penyusunan

Percontohan Rencana Tata


Latvia Laut Baltik
Ruang Laut (MSP) selesai

Finlandia Laut Baltik Dalam proses penyusunan

Membangun Poros Maritim Dunia


384 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Negara Wilayah Perencanaan Status Rencana
Swedia Laut Baltik dan Laut Utara Dalam proses penyusunan

Norwegia Laut Barents Disetujui/diimplementasikan

Norwegia Laut Norwegia Disetujui/diimplementasikan

Norwegia Laut Utara Disetujui/diimplementasikan

Portugal Landas Kontinen dan ZEE Dalam proses penyusunan

Denmark Laut Baltik dan Laut Utara Dalam proses penyusunan

Israel ZEE dan Laut Teritorial Dalam proses penyusunan

Uni Emirat Arab Perairan Abu Dubai Dalam proses penyusunan

Australia Bioregion Tenggara Selesai, sedang direvisi

Australia Bioregion Barat Daya Selesai/disetujui

Australia Bioregion Barat Laut Selesai/disetujui

Australia Bioregion Utara Selesai/disetujui

Australia Bioregion Timur Selesai/disetujui

5
Kawasan Konservasi Laut
Australia Dalam proses penyusunan
Karang

Australia Great Barrier Reef Disetujui/diimplementasikan

New Zealand Hauraki Gulf Dalam proses penyusunan

Cina Provinsi Lisoning Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Hebei Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Shandong Disetujui/diimplementasikan

Cina Shanghai Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Zhejiang Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Fujian Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Guandong Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Guangxi Disetujui/diimplementasikan

Cina Provinsi Hainan Disetujui/diimplementasikan

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 385


Negara Wilayah Perencanaan Status Rencana
Vietnam Laut Teritorial Dalam proses penyusunan

Perairan kepulauan, Laut


Indonesia Dalam proses penyusunan
Teritorial, dan ZEE

Thailand Laut Teritorial Dalam proses penyusunan

Kamboja Laut Teritorial Dalam proses penyusunan

Filipina Laut Teritorial Dalam proses penyusunan

Amerika Serikat Negara Bagian Massachusetts Disetujui/diimplementasikan

Amerika Serikat Negara Bagian Rhode Island Disetujui/diimplementasikan

Amerika Serikat Negara Bagian Oregon Disetujui

Amerika Serikat Negara Bagian Washington Dalam proses penyusunan

Amerika Serikat Wilayah Timur Laut Dalam proses penyusunan

Amerika Serikat Mid-Atlantic Dalam proses penyusunan

Rencana selesai, belum


Kanada Pesisir Timur (ESSIM)
disetujui

5
Selesai dan disetujui, belum
Kanada Laut Beaufort
diimplementasikan

Pesisir pasifik dan ZEE


Kanada Selesai
(Federal)

Kanada Pesisir pasifik dan ZEE (MaPP) Dalam proses penyusunan

Meksiko ZEE (Pasifik dan Teluk Meksiko) Dalam proses penyusunan

Bermuda ZEE Dalam proses penyusunan

Percontohan Rencana Tata


St. Kitts & Nevis ZEE
Ruang Laut (MSP) selesai

St. Vincent &


ZEE Dalam proses penyusunan
Grenadines

Granada ZEE Dalam proses penyusunan

Belize Laut Teritorial Proses drafting rencana

Dalam proses penyusunan


Kosta Rika Laut Teritorial
percontohan MSP
Sumber: dari berbagai sumber

Membangun Poros Maritim Dunia


386 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
CINA 5

Sumber: dari berbagai sumber

Tata Ruang Laut Beberapa Negara 387


Daftar Pustaka
Adisasmita, R. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Graha
Ilmu, Yogyakarta.

Adisasmita, S.A. 2011. Transportasi dan Pengembangan Wilayah. Graha


Ilmu, Yogyakarta.

Anonymous. 2011. Spatial Planning in the Coastal Zone of the East


Asian Seas Region: Integrating Emerging Issues and Modern
Management Approaches. UNEP-Sida-Cobsea.

Anonymous. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-undangan


Republik Indonesia, Penataaan Ruang Wilayah Nasional. Nuansa
Aulia, Bandung.

Anonymous. 2008. United Nations Convention On The Law On The Sea.


Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta.

Anonymous. 2014. Visi Maritim Indonesia. Mengungkap Budaya Luhur


Nusantara Menuju Peradaban Maritim Inonesia. Yayasan Suluh
Nuswantara Bakti.

Barnes, R. S. K dan R. N Hughes. 1988. An Introduction to marine Ecology.


2nd edition. Blackwell Scientific Publications. London.

Bengen, G.D. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumber daya Alam Pesisir Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Brainard, Rustry. US NOAA. 2014. Komunikasi pribadi.

Budiman. 2013. Sistem Inovasi Daerah Menggerakkan Ekonomi,


Pengalaman Membangun PLTH Angin & Surya di Bantul.
Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta.

Membangun Poros Maritim Dunia


388 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Chapman, A.R., Petersen, R.L., dan Moran, B.S. 2007. Bumi yang Terdesak,
Persepsi Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan
Keberlanjutan. Mizan, Bandung.

Clark, R John. 1996.Coastal Zone Management Handbook. Lewis


Publisher, Washington DC.

Dahdouh-guebas. Farid. 2002. The use of remote sensing and gis in


the sustainable management of tropical coastal ecosystems.
Environment, Development and Sustainability 4: 93–112, 2002. ©
2002 Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT
Pradnya Paramita, Jakarta.

Diamar, Son. 2009. Cara Baru Membangun Negeri. Walau Bengkulen,


Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2004. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut,


Kolom Inspirasi Kompas.

Diposaptono, Subandono. 2007. Rob Di Tengah Isu Pemanasan Global,


Opini Kompas.

Diposaptono, Subandono. 2007. Mitigasi Bencana dan Adaptasi


Perubahan Iklim, Sebuah Kumpulan Pemikiran. PT Sarana
Komunikasi Utama, Bogor.

Diposaptono, Subandono dan Budiman. 2008. Hidup Akrab dengan


Gempa dan Tsunami. PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor.

Diposaptono, Subandono dan Sugianto, D.N. 2010. Metodologi


Pengumpulan dan Analisis Data Hidro-oseanografi. Diklat
Penilaian Amdal di Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan
Hidup. Jakarta.

Daftar Pustaka 389


Diposaptono, S., Budiman, Agung, F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim
Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT Sarana Komunikasi
Utama, Bogor.

Diposaptono, Subandono. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-


Pulau Kecil, Libatkan Masyarakat Sejak Tahap Perencanaan. Opini
Majalah Samudra edisi 76 Tahun VIII Agustus 2009 . Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2009. Reklamasi Menjawab Berbagai


Ancaman di Wilayah Pesisir. Opini Majalah Samudra edisi 78 Tahun
VII Oktober 2009 . Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2010. Restorasi Nilai-nilai Pancasila dalam


Membangkitkan Semangat Nasionalisme Guna Mendukung
Pemajuan Iptek Kelautan Dalam Rangka Ketahanan Nasional,
Kertas Karya Perorangan (Taskap) Lembaga Ketahanan Nasional
RI. Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2011. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi


Bencana dan Adaptasi Perubahan iklim. PT Sarana Komunikasi
Utama, Bogor.

Diposaptono, Subandono. 2012. Merencanakan Pengelolaan Pesisir


Berbasis Mitigasi Bencana. Voice of Maritim edisi 24 Tahun II
Oktober 2012 . Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2012. Membangun Ketahanan Wilayah


Pesisir Terhadap Perubahan Iklim. Voice of Maritim edisi 25 Tahun
III November 2012 . Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2012. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil Sebagai Instrumen Penataan Ruang di Perairan
Laut. Opini Majalah Samudra edisi 115 Tahun X September 2012.
Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2012. Quo Vadis Tata Ruang Laut. Opini


Majalah Samudra edisi 113 Tahun X September 2012. Jakarta.

Membangun Poros Maritim Dunia


390 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Diposaptono, Subandono. 2012. Menyambut Dua Instrumen Penataan
Ruang Perairan Laut. Buletin Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan
Umum edisi September-Oktober 2012. Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2013. Penyelarasan RZWP-3-K dan RTRW.


Buletin Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2013. Saatnya Menata Ruang Laut Kita.


Media Indonesia edisi Sabtu 14 Desember 2013. Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2014. Akselerasi Penyusunan Rencana Zonasi


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Buletin Tata
Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum edisi April 2014. Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2014. Menanti Kehadiran Undang-undang


Kelautan, Landasan Bagi Pembangunan Kelautan. Buletin Tata
Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum edisi Mei-Juni 2014.
Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2014. Tata Ruang Laut Menyokong


Kedaulatan Pangan. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, Bapenas.
Jakarta.

Diposaptono, Subandono. 2014. Urgensi Rencana Tata Ruang Laut


Nasional, Penataan Perairan Laut. Buletin Tata Ruang, Kementerian
Pekerjaan Umum edisi Maret-April 2014. Jakarta.

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2013. Pedo-
man Teknis Penyusunan RZWP-3-K Kabupaten/Kota. Jakarta.

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2013. Pedoman
Teknis Pemetaan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta.

Djakapermana, R.D. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan


Kesisteman. IPB Press, Bogor.

Ehler, Charles dan Fanny, Douvere. 2010. An International Perspective


on Marine Spatial Planning Initiatives. Environments Journal:
37(3), 2010.

Daftar Pustaka 391


Ehler, Charles dan Fanny Douvere. 2009. Marine Spatial Planning, A
Step by Step Approach toward Ecosystem-based Management.
UNESCO, Paris.

Ehler, Charles dan Fanny Douvere. 2006. Visions for A Sea Change,
Report of the First International Workshop on Marine Spatial
Planning. UNESCO, Paris.

Ehler, Charles. 2014. A Guide Evaluating Marine Spatial Plans. UNESCO,


Intergovermental, Oceanic Commision, and ICAM, Paris.

Freeman, C. 1987. Technology Policy and Economic Performance:


Lesson from Japan. Pinter, London.

Frick, H. 1996. Arsitek dan Lingkungan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Halpern, B. S., S. Walbridge, K. A. Selkoe, C. V. Kappel, F. Micheli, C.


D’Agrosa, J. F. Bruno, K. S. Casey, C. Ebert, H. E. Fox, et al. 2008. A
global map of human impact on marine ecosystems. Science 319:
948–952.

http://andiracandoit.blogspot.co.id/2011/10/fenomena-fenomen-pada-
daerah.html)

Karsidi, A dan Budiman. 2011. Keunikan Geografi Indonesia, Seri Batas


Wilayah Maritim & Darat. PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor.

Kay, Robert and Alder, Jackie. 1999.Coastal Planning and Management.


E&FN Spon, New York.

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2014. Peraturan Menteri


Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2014 tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Jakarta.

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2008. Peraturan Menteri


Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-
Pulau Kecil. Jakarta.

Membangun Poros Maritim Dunia


392 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Kodoatie, R.J. dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi,
Yogyakarta.

Kuncoro, M. 2012. Perencanaan Daerah. Bagaimana Membangun


Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan? Penerbit Salemba Empat,
Jakarta.

Kusumastanto, Tridoyo. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri


Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia, Jakarta.

Laevastu, T and Hayes, L. M. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology.


Page Bros Ltd. Norwich.

Lamp, Jochen. WWF Germany. 2013. Komunikasi pribadi.

Massel R. S. 1999. Fluid Mechanics for Marine Ecologists. Springer,


Berlin.

Mc Cuen, R. 1996. The Elements of Academic Research. Amer Society of


Civil Engineers. Reston.

Ministry of Fisheries and Coastal Affairs. http://www.regjeringen.no/


en/dep/fkd/selected-topics/catches-quotas-and-concessions.
html?id=1277. Diakses 12 Agustus 2013.

Ministry of Fisheries and Coastal Affairs. http://www.fisheries.no/


resource_management/setting quotas/The-regulatory-chain-/
diakses 12 Agustus 2013.

Ministry of Fisheries and Coastal Affairs. http://www.regjeringen.no/


en/dep/fkd/press-centre/Press-releases/2013/norway-and-the-
eu-agree-on-fishing-quota.html?id=712303. Diakses 13 Agustus
2013.

Ministry of Fisheries and Coastal Affairs. http://www.fisheries.no/


resource_management/setting_quotas/The-regulatory-chain-/
Diakses 12 Agustus 2013.

Daftar Pustaka 393


Ministry of Fisheries and Coastal Affairs http://www.regjeringen.no/up-
load/FKD/Vedlegg/Kvoteavtaler/2013/EU/EUNorwayMackerelLi-
cence18Jan2013.pdf Diakses 13 Agustus 2013.

Ministry of Petroleum and Energy http://www.regjeringen.no/en/dep/


oed/press-center/press-releases/2013/22nd-licensing-round-24-
production-licen.html?id=730045. Diakses 12 Agustus 2013.

Mirsa, R. 2012. Elemen Tata Ruang Kota. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Murtonen, 2005. Learning of quantitative research method. ISBN 951-


29-2974-0. ISSN 0082-6987. Painosalama oy – turku, Finland
2005.

Nugroho, I. D. 2011. Majapahit Peradaban Maritim, Ketika Nusantara


Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara
Bakti, Jakarta.

Ollsen, Eriik and Alf Hakon Hoel. 2011. Norwegian Marine Spatial
Planning and the Ecosystem Approach. Institute of Marine
Research, Bergen, Norway.

Pauly, D. 2009. EBM opinion: on marine ecosystems, fisheries


management, and semantics. Mar. Ecosys. Manage. 2:5

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kementerian Pekerjaan
Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No.122 Tahun 2012 tentang


Reklamasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.

Pickard, L. G and Emery, J. William. 1982. Descriptive Physical


Oceanography An Introduction 4th (SI) Enlarged Edition.
Pergamon Press, New York.

Pieris, John. 2001. Pengembangan Sumber Daya Kelautan. Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

Membangun Poros Maritim Dunia


394 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis. Konsep-konsep Dasar.
Penerbit Informatika, Bandung.

Qiulin, Zhou. Third Institute of Oceanography SOA China. 2012.


Komunikasi pribadi.

Rais Jacub dkk. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita,
Jakarta.

Reve, Torger. BI Norwegian Business School. 2014. Komunikasi pribadi.

Robinson, A., Golnaraghi, M., Leslie, W., Artegiani, A., Hecht, A., Lazzori,
E., Michelato, A., Sansone, E., Theocharis, A., and Ünlüata, U. (1991).
The Eastern Mediterranean general circulation: features, structure
and variability. Dynamics od Atmospheres and Oceans, 15:215-
240.

Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju D.R. 2009. Perencanaan dan


Pengembangan Wilayah. Crestpent Press, Jakarta.

Sain, Cicin B and Knecht W. R. 1998. Integrated Coastal and Ocean


Management, Concepts and Practices. Island Press, Washington
DC.

Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., dan Poniman, A. 2009.
Peta Mengroves Indonesia. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut,
Bakosurtanal, Bogor.

Sesli, Aydinoglu. 2003. Monitoring Coastal Land Use Changes by Using


Information Technologies. Coastal Zone Management. 2nd FIG
Regional Conference Marrakech, Morocco, December 2-5, 2003.

Soesilo, I dan Budiman. 2008. Iptek Menguak Laut Indonesia. PT Sarana


Komunikasi Utama, Bogor.

Soetomo, S. 2009. Urbanisasi & Morfologi Proses Perkembangan


Peradaban & Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan
yang Manusiawi. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Daftar Pustaka 395


Supriharyono. 2000 Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supriyatno Budi. 2009. Manajemen Tata Ruang. Media Brilian,


Tangerang.

Sutisna, S. 2006. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek


Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Bakosrtanal, Bogor.

Tajerin, Adrianto, Fauzi, dan Juanda. 2013. Struktur dan Tingkat


Konvergensi Antarwilayah. Disertasi PWD-IPB. Sekolah Pasca
Sarjana IPB, Bogor.

Tarigan, R. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah (Edisi Revisi).


Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Thurman, V. H and Burton, A. Elizabeth. Introductory Oceanography.


2001. Prentice Hall, New Jersey.

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-undang Nomor 1


Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil. Jakarta.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Vallega, A. 2000. Sustainable Ocean Governance, A Geographical


Perspective. Routledge. New York.

Wiegel L. Robert. 1964. Prentice-Hall International Series in Theoretical


and Applied Mechanics. Prentice-Hall, Canada.

Wilen, J. E. 2004. Spatial management of fisheries. Mar. Resour. Econ.


19: 7–19.

Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins


of Srivijaya. Cornell University Press, New York.

Wyatt, T. (1980) The growth season in the Sea. J. Phnkton Res. 2: 8 1-9 6.

Membangun Poros Maritim Dunia


396 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Tentang Penulis

SUBANDONO DIPOSAPTONO memulai


karir sebagai peneliti coastal engineering
di Laboratorium Pengkajian Teknik
Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) pada 1987. Sebelumnya,
sarjana Teknik Sipil Hidro di UGM pada
1983 itu, menjadi tenaga ahli di beberapa
perusahaan konsultan.
Gelar master dan doktor bidang
coastal engineering diperolehnya di
Tohoku University Jepang pada 1994 dan
2000. Pria kelahiran Klaten, 5 Juli 1959 itu
aktif meneliti tentang coastal engineering,
baik melalui survei lapangan, model fisik di laboratorium, maupun
model matematik, serta mengaplikannya ke masyarakat.
Untuk mendalami minatnya di bidang Coastal Engineering,
Coastal Management, dan Marine Spatial Planning berbagai pelatihan
yang pernah ia ikuti antara lain Coastal Process Modeling di Denmark
1994; Integrated Coastal Management Leadership di Manila, Filipina
2002; Training on Ecoport Management, Tasmania, Australia 2007;
Symposium and Training on Climate Change Adaptation and Mitigation
in the Tourism Sector di Oxford University, London 2008; Trainiing on
Planning for Climate Change Impact on Coral Reefs di Bali 2009; APEC
Advance Training on Marine Spatial Planning di Xianmen, China 2013.
Sejak 2002 itulah penulis mengenal tentang tata ruang laut di negara
Cina, Filipina, Eropa, dan lain-lain.

Tentang Penulis 397


Atas kepakarannya itu, ia diundang menjadi pembicara di
berbagai seminar, workshop, pelatihan, dan sosialisasi, baik tingkat
nasional maupun internasional tentang tata ruang laut. Pemikirannya
tentang rencana tata ruang laut pernah dimuat di beberapa media
cetak.
Pada tahun 2005 ia bersama Budiman menulis buku Tentang
Tsunami. Pada tahun 2008 ia bersama Budiman menulis buku Hidup
Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Pada tahun 2009 ia bersama
Firdaus Agung dan Budiman menulis buku Menyiasati Perubahan
Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tahun 2011 ia juga
menulis buku Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan
Adaptasi Perubahan Iklim. Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri
dari Tsunami mendapat penghargaan dari Japanese Society of Civil
Engineer (JSCE) sebagai buku terbaik pada tahun 2009 (The 2009 JSCE
Book of The Year Award).
Anggota organisasi profesi yang diikutinya antara lain Himpunan
Ahli Teknik Hidraulik Indonesia, Japanese Society of Civil Engineer
(JSCE), dan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia.
Mulai 2001 ia ditugaskan di Departemen Kelautan dan Perikanan
sebagai Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemaran Laut hingga
awal tahun 2003. Lalu sepanjang 2003 hingga awal 2005 dipercaya
menjadi Kepala Sub Direktorat Mitigasi Lingkungan. Mulai 2005 hingga
2007 bertugas sebagai Kepala Sub Direktorat Mitigasi Bencana dan
Pencemaran Lingkungan. Sepanjang 2008 menjabat sebagai Kepala
Sub Direktorat Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu.
Pada 2009 - 2011 Alumnus PPRA-44 Lemhannas RI 2010 ini
bekerja sebagai Direktur Pesisir dan Lautan. Tahun 2012 - 2014 ia
menjabat sebagai Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil pada Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sejak tahun 2015 bekerja
sebagai Direktur Perencanaan Ruang Laut, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di
sela-sela kesibukannya ia juga mengajar di Universitas Indonesia,
Universitas Diponegoro, dan Institut Pertanian Bogor.

Membangun Poros Maritim Dunia


398 Dalam Perspektif Tata Ruang Laut

Anda mungkin juga menyukai