S
ejarah mencatat, kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya tertoreh
pada abad ke-7 dan Majapahit abad ke-14. Siklus historis tersebut
mengindikasikan kebangkitan maritim terjadi setiap tujuh abad.
Sekarang abad ke-21 merupakan momentum untuk membangkitkan
kembali kejayaan maritim.
Apalagi Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa
berlimpah-ruahnya kekayaan sumber daya alam seperti ikan, minyak dan
gas, keelokan alam bahari, jasa transportasi laut, dan lain-lain. Secara
politis, dalam berbagai kesempatan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga
ingin mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.
Lalu, bagaimana tata ruang laut dapat membantu mewujudkan cita-
cita mulia tersebut? Ada beberapa alasan utama tata ruang laut membantu
menegakkan 5 pilar poros maritim. Tata ruang laut mengalokasikan
ruang laut yang strategis untuk kepentingan sosial, ekonomi, budaya,
dan Hankam.
Alasan lain, tata ruang laut dapat menyinergikan antara pemanfaatan
ekonomi dan perlindungan (konservasi) sumber daya laut. Tata ruang
laut juga mampu menggerakkan investor dan menyambungkan potensi
antarwilayah dalam konektivitas ekonomi, sumber daya, beserta
infrastrukturnya. Di samping itu, tata ruang laut di wilayah perbatasan
dapat memberikan kekuatan diplomasi negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasional. Lainnya, tata ruang laut juga dapat melindungi
adat budaya dan kearifan lokal di laut.
Di buku ini, Anda juga dapat menyimak pengalaman Cina, Norwegia,
Subandono Diposaptono
AS, Grenadine, dan Eropa dalam merencanakan tata ruang laut. Hasilnya,
negara mendapat pemasukan devisa yang tinggi, menciptakan ekonomi
baru, meredam konflik antarpengguna, dan melestarikan lingkungan.
Dicetak oleh:
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut
Direktorat Perencanaan Ruang Laut,
Gedung Mina Bahari III Lt. 9
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16
Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059
Membangun Poros
Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Subandono Diposaptono
2017
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Membangun Poros Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Cetakan I : 2015
Cetakan II : 2016
Cetakan III : 2017
Penulis:
Subandono Diposaptono
Penyunting:
Muhammad Budiman
Design Graphic:
M Kholid Afandi dan Deky Rahma Sukarno
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Membangun Poros Maritim Dunia
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
xvi + 398 halaman, 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-979-1291-55-2
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA
Sambutan
Menteri Kelautan dan Perikanan
P
enindakan illegal, unregulated, and unreported fishing (IUU Fish-
ing atau penangkapan ikan secara ilegal, tak sesuai regulasi, dan
tak dilaporkan) menjadi salah satu prioritas bagi Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Alasannya, kegiatan penjarahan ikan di laut
kita dalam beberapa tahun terakhir ini semakin marak. Menurut kajian
FAO dan World Bank (2008), kerugian ekonomi akibat pengelolaan pe-
nangkapan ikan yang buruk, ketidakefisienan, dan kelebihan tangkap
(overfishing) di seluruh dunia mencapai 50 miliar dolar AS (sekitar Rp
675 triliun) per tahun. Angka ini termasuk kerugian akibat IUU Fishing
di Indonesia.
Pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk mengelola potensi
sumber daya laut secara berkelanjutan, berperikemanusiaan, dan
berkeadilan. Baik dalam perikanan tangkap, perikanan budidaya, wisata
bahari, mineral, migas, maupun konservasi ekosistem (terumbu karang,
mangrove, dan lamun) dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut perlu
diatur sehingga antarpengguna mendapat kepastian hukum dalam
berusaha dan tidak saling berebut dalam memanfaatkan ruang laut.
Di sisi lain kita juga harus melindungi masyarakat adat yang secara
turun-temurun telah memanfaatkan perairan laut untuk kebutuhan
hidupnya. Di sinilah pentingnya rencana tata ruang laut dibuat. Ruang
laut yang memiliki ekosistem terumbu karang sebagai rumah untuk
ikan-ikan misalnya, tentu akan lebih cocok jika dimanfaatkan seba-
gai kawasan konservasi dan wisata selam. Sebaliknya, lokasi jalur lalu
lintas kapal atau pipa/kabel bawah laut harus berada di luar kawasan
terumbu karang agar tidak mengganggu kelestarian terumbu karang
di bawahnya.
iv
Di berbagai negara maju, rencana tata ruang laut telah memberi
berbagai manfaat, baik secara lingkungan hidup, sosial, hukum, mau-
pun ekonomi. Di Tiongkok misalnya, pemerintahnya mendapatkan
pemasukan devisa yang sangat besar dari jasa pemanfaatan tata ruang
laut.
Kini, pemerintah Indonesia sedang dan terus berusaha
menyelesaikan rencana tata ruang lautnya. Karena itulah pada
kesempatan yang baik ini, saya memberi apresiasi kepada Sdr
Subandono Diposaptono yang telah menuangkan ide atau gagasan
melalui bukunya berjudul Mewujudkan Poros Maritim Dunia Dalam
Perspektif Tata Ruang Laut.
Kita harus memiliki strategi besar (grand strategy) untuk mewujud-
kan arahan Presiden Jokowi tentang Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Hal ini bisa dicapai jika budaya bahari dibangkitkan lagi seperti
halnya saat Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berjaya.
Bangsa Indonesia harus menoleh lebih tajam lagi mengenai
perikanan laut, perhubungan laut, pariwisata laut, produksi laut,
Hankam laut, kehidupan dasar laut, keindahan horison laut, dan
kelautan yang lain. Pengelolaan sumber daya laut ini akan lebih terarah
bila ada dukungan berbagai kebijakan salah satunya adalah tata ruang
laut, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah,
pemerintah provinsi, perguruan tinggi, dunia usaha, praktisi, dan
masyarakat dalam menyusun tata ruang laut. Dengan demikian,
pemerintah dan pemerintah provinsi dapat segera menyelesaikan
rencana tata ruang lautnya.
Selamat membaca. Semoga kita dapat segera mewujudkan cita-
cita bersama menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Susi Pudjiastuti
Pengantar Sekretaris Jenderal
Kementerian Kelautan dan Perikanan
K
ami menyambut baik dan memberi apresiasi terhadap terbitnya
buku berjudul Mewujudkan Poros Maritim Dunia Dalam Perspektif
Tata Ruang Laut yang ditulis oleh Subandono Diposaptono. Buku
ini hadir di saat yang tepat terkait visi Presiden Joko Widodo dalam
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Tata ruang laut memiliki andil cukup besar dalam mewujudkan
cita-cita mulia tersebut. Sebab, tata ruang laut memberikan arahan,
landasan, pedoman, dan dasar pijak bagi pengelolaan ruang laut yang
dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu.
Perencanaan tata ruang laut semacam ini dapat menjadi acuan
dan pedoman bagi semua pihak yang memanfaatkan ruang laut. Di
antaranya untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata,
kawasan konservasi, pertambangan mineral, minyak dan gas,
pelabuhan, jalur transportasi laut, serta jalur pipa dan kabel bawah
laut.
Selain itu, rencana tata ruang laut juga mampu memberikan
kepastian usaha dan investasi serta pelindung masyarakat nelayan
tradisional. Langkah ini dapat melindungi adat budaya dan kearifan
lokal di laut.
Kita juga dapat mencegah konflik antarpengguna tersebut. Konflik
serupa antara nelayan tradisional antarpulau dan antarprovinsi pun
dapat dihindari.
Melalui tata ruang laut, kita dapat menyambungkan potensi
antarwilayah dalam konektivitas ekonomi dan sumber daya beserta
infrastrukturnya sehingga akan muncul pertumbuhan-pertumbuhan
ekonomi baru.
vi
Lebih dari itu, rencana tata ruang laut juga dapat menjadi
pemersatu bangsa dan penegak kedaulatan. Dengan demikian
tata ruang laut di wilayah perbatasan dengan negara lain mampu
memberikan kekuatan diplomasi negara untuk memperjuangkan
kepentingan nasional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pada tahun
2016 nanti rencana tata ruang laut nasional dapat diselesaikan dan
sebagian besar provinsi di Indonesia dapat menyelesaikan rencana tata
ruang di tingkat provinsi. Karena itulah buku ini dapat menjadi referensi
bagi siapa saja yang ingin mendalami kegiatan rencana tata ruang laut.
Selamat membaca.
vii
Sekapur Sirih Penulis
I
ndonesia memiliki hamparan laut lebih luas dari daratannya.
Dengan 2/3 dari total luas Indonesia, laut berfungsi sebagai ruang
hidup dan ruang juang. Sebagai ruang hidup, laut tidak bisa
dipisahkan dari daratan tempat manusia bermukim. Meski manusia
bermukim di daratan namun juga mempunyai ketergantungan
terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup sehat dan sejahtera memerlukan bahan makanan yang
berasal dari laut. Ikan laut dan rumput laut merupakan bahan makanan
yang bergizi tinggi untuk kesehatan, pertumbuhan fisik, serta
kecerdasan otak manusia.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, laut
dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan
modal dasar bagi pendapatan negara dan kesejahteraan warganya.
Laut juga penting sebagai ruang juang. Artinya, laut bermakna
penting bagi perjuangan mempertahankan kedaulatan dan kejayaan
suatu bangsa. Sejarah mencatat, kemampuan tentara Belanda dan
Inggris menguasai peperangan tertoreh melalui jalur laut.
Kerajaan Majapahit juga pernah berjaya lantaran menguasai laut
sampai ke Filipina dan Australia utara. Tak salah kalau para pendahulu
kita adalah pelaut ulung seperti yang tertuang dalam syair lagu Nenek
Moyangku Orang Pelaut. Berdasarkan pengalaman tempo dulu, untuk
meraih kedaulatan dan kejayaan bangsa Indonesia kita perlu memiliki
angkatan laut dan Alutsista yang kuat dan andal.
Laut sebagai ruang hidup dan ruang juang mutlak harus dirawat
dan dijaga, baik kedaulatan maupun sumber daya yang terkandung di
dalamnya. Salah satu upaya merawat dan menjaganya adalah dengan
melakukan penataan ruang laut.
Untuk menata ruang laut perlu dilakukan perencanaan baik spasial
(keruangan) maupun nonspasial secara komprehensif dan terpadu.
Komprehensif berarti perencanaan tersebut harus melihat berbagai
faktor seperti fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Sementara itu,
terpadu artinya perencanaan tersebut melibatkan antarsektor, wilayah,
viii
ekosistem, dan berbagai disiplin ilmu. Salah satu hasil perencanaan
spasial berupa rencana tata ruang laut.
Tata ruang laut adalah sebuah hasil perencanaan spasial
(keruangan) yang dapat digunakan sebagai pedoman, acuan, dan
arahan, serta dasar pijak pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga
menentukan keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
Keberhasilan tanpa perencanaan adalah sebuah kebetulan. Sebuah
kebetulan tentu saja sulit diulangi apalagi dalam jangka panjang.
Keberhasilan yang disertai dengan perencanaan adalah sebuah
pencapaian (achievement). Tanpa ada rencana, perubahan tidak dapat
diukur, bahkan tidak mudah diketahui.
Pertanyaannya adalah mau dibawa kemana tata ruang laut kita?
Pertanyaan tersebut relevan terkait dengan cita-cita Presiden RI Joko
Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Mari kita lihat faktanya. Secara nasional, Indonesia belum
mempunyai tata ruang laut nasional maupun tata ruang laut kawasan
di atas 12 mil di dalam perairan kepulauan. Di tingkat provinsi pun,
sampai saat ini baru ada lima provinsi (Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku Utara) yang telah
memiliki rencana tata ruang laut dalam bentuk Perda Rencana Zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengatur ruang laut sampai
12 mil, namun pengaturan ruang laut 0 – 4 mil masih terbatas pada
arahan pemanfaatan ruang dan belum dideliniasi hingga zona/sub
zona peruntukannya.
Padahal, tata ruang laut semacam ini menjadi dasar pengambilan
keputusan dalam mengelola sumber daya laut untuk berbagai
kepentingan; ekonomi, sosial, lingkungan (konservasi), dan pertahanan
keamanan. Dengan adanya tata ruang laut, pemanfaatan ruang laut
dilakukan berdasarkan kesesuaian peruntukan ruang dan daya dukung
lingkungannya.
Keakuratan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh
kelengkapan data dan informasi yang dibutuhkan. Data yang lengkap,
akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan inilah yang menentukan
tingkat keberhasilan dalam mengelola sumber daya kelautan.
Dasar laut yang memiliki keindahan dan keragaman terumbu
ix
karang beserta biota lautnya misalnya, akan lebih sesuai jika difungsikan
sebagai kawasan wisata bahari, konservasi, dan penangkapan ikan
secara terbatas dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Di sisi lain, kawasan laut yang memiliki lingkungan perairan laut
sangat sesuai untuk tumbuh dan berkembangnya ikan, akan lebih
menguntungkan jika dialokasikan sebagai tempat untuk kegiatan
budidaya perikanan.
Begitu juga halnya dengan kawasan perikanan tangkap, jalur
transportasi laut, pertambangan, pelabuhan, dan kawasan konservasi
perlu dialokasikan sesuai dengan potensi dan kondisi lingkungannya.
Dengan demikian, selain meningkatkan nilai tambah secara
ekonomi secara berkelanjutan, rencana tata ruang laut juga mampu
meminimalkan bahkan menghilangkan konflik pemanfaatan dan
konflik di antara para penggunanya.
Hal ini penting karena selama ini konflik kerap terjadi lantaran be-
lum adanya tata ruang laut. Di Bangka Selatan misalnya, pegiat lingku-
ngan dan nelayan terlibat konflik dengan pengusaha tambang timah.
Konflik serupa juga terjadi di Serang antara pegiat lingkungan
dan nelayan dengan penambang pasir laut. Tak hanya itu, di Sulawesi
Selatan, juga terjadi hal serupa antara pembudidaya rumput laut
dengan pengguna jalur transportasi laut.
Rencana tata ruang laut juga dapat mempromosikan pemanfaatan
ruang dan sumber daya laut secara efisien sehingga mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan. Rencana tata ruang laut juga
menjamin kelangsungan konektivitas ekologi dan jejaring kawasan
konservasi.
Tata ruang laut menjaga agar pola konektivitas tetap mampu
mendukung penambahan populasi dalam kawasan lindung serta
antara kawasan lindung dan habitat yang berdekatan. Tata ruang
laut diharapkan dapat melindungi dan mengamankan pola-pola
alami dari konektivitas berbagai macam spesies laut dengan tahapan
kehidupannya yang berbeda-beda.
Manfaat lain, memastikan tersedianya kamar bagi keanekaragam-
an hayati dan konservasi alam. Rencana tata ruang juga memberikan
kepastian hukum bagi pelaku usaha di perairan laut.
Tata ruang laut juga menjadi daya pikat dan daya ikat. Sebagai daya
pikat karena memberikan informasi berbagai potensi, nilai ekonomi,
nilai investasi, dan tingkat pemanfaatannya sehingga menciptakan
peluang investasi.
Sebagai daya ikat karena tata ruang laut dapat mengikat dan
memberikan kepastian hukum agar kegiatan atau usaha yang
dilakukan sesuai dengan peruntukan dan peraturan pemanfaatannya.
Dengan demikian tata ruang laut dapat mengurangi konflik,
menjaga keberlanjutan sumber daya hayati, dan mengurangi bahkan
menghilangkan degradasi lingkungan.
Pengalaman dari banyak negara menunjukkan, tata ruang laut
telah sukses mendulang kesejahteraan rakyat dan bangsanya. Di China
misalnya, pada tahun 2012 berhasil meraup devisa sebesar 9,68 miliar
Yuan dari hasil pemanfaatan lisensi perairan laut (sea use fee). Negeri
Tirai Bambu itu juga berambisi melebarkan kawasan budidaya laut
seluas minimal 2,6 juta hektare.
Berdasarkan diskusi singkat penulis dengan ahli tata ruang laut
dari Third Institute of Oceanography China Prof Zhou Qiulin, China telah
menyelesaikan tata ruang laut (marine functional zoning atau MFZ) baik
tingkat nasional, provinsi, maupun country (setingkat kabupaten/kota)
sejak tahun 2002.
Tidak hanya itu saja, setelah 10 tahun kemudian, tata ruang laut
tersebut juga ditinjau kembali. Kini, seluruh laut China telah diatur tata
ruangnya sesuai dengan peruntukannya masing-masing. Berkat tata
ruang laut itulah, negeri dengan populasi penduduk terbesar di dunia
itu menuai banyak manfaat, baik ekonomi, sosial, pertahanan, dan
lingkungan.
Indonesia sebenarnya juga dapat mengikuti jejak sukses tersebut.
Apalagi kita memiliki keunggulan komparatif yang tak dimiliki negara
lain, termasuk China. Bayangkan, menurut catatan Badan Informasi
Geospasial (2014), luas laut Indonesia adalah 6.315.222 km2 dengan
panjang pantai sekitar 99.093 km. Di dalamnya terkandung keragaman
jenis biota (biodiversity) yang sangat tinggi.
Tak hanya itu, potensi ikan di beberapa perairan juga melimpah.
Begitu pula dengan keindahan panorama dasar laut. Himpunan aneka
xi
jenis terumbu karang dengan ikan-ikan karang penuh warna menjadi
mozaik alam yang elok memikat. Kondisi ini menarik minat para
penyelam (diver) untuk menikmati keindahannya.
Di samping itu, dasar laut Indonesia juga memiliki 40 cekungan
minyak dan gas (Migas) yang memiliki cadangan minyak bumi sekitar
9,1 miliar barel. Jumlah cekungan ini setara dengan 70 persen dari total
cekungan Migas di seluruh Nusantara (ada 60 cekungan).
Secara geografis, letak Indonesia juga sangat strategis. Diapit oleh
dua samudra (Hindia dan Pasifik) serta dua benua (Asia dan Australia)
menjadikan laut kita ramai dilalui berbagai kapal niaga, kapal tanker,
kapal pesiar, dan lain sebagainya. Posisi silang yang sangat strategis
inilah yang kalau dapat dikelola secara baik maka akan menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tentu saja masih banyak
potensi lainnya yang menghampar di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil
yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Sejarah mencatat, generasi berbudaya maritim pernah menoreh-
kan kejayaan Nusantara tempo dulu. Dua kerajaan - Sriwijaya dan
Majapahit-- pernah mengendalikan pelabuhan internasional mulai dari
Asia, Australia, Eropa, dan Afrika. Luasnya wilayah kekuasaan ini lantaran
kedua kerajaan itu memiliki industri maritim melalui penguasaan
armada laut yang besar, kuat, dan canggih.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan maritim pada abad ke-
7 dan Majapahit abad ke-14. Siklus historis tersebut mengindikasikan
adanya kebangkitan maritim setiap sekitar 7 abad. Sungguh saat ini
(abad ke-21) merupakan momentum tepat untuk membangkitkan
kembali kejayaan maritim.
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 patut menjadi tonggak
sejarah bagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengapa demikian? Sebab, wilayah laut Indonesia yang tadinya hanya
selebar 3 mil mengelilingi pulau-pulau telah bertambah menjadi 12
mil. Tak hanya itu, UU-CLCS juga menyetujui klaim Indonesia dengan
tambahan wilayah laut seluas 4.209 km2.
Sudah waktunya untuk mengembalikan kejayaan seperti yang
pernah dicapai generasi pendahulu kita sebagai pelaut ulung. Kualitas
xii
sumber daya manusia yang berkarakter perlu dibangun agar kita
mampu mengelola berbagai potensi sumber daya kelautan yang
berlimpah ruah demi kesejahteraan bangsa.
Fakta menunjukkan, negara maju memiliki sumber daya manusia
(SDM) yang unggul dan kreatif. Kualitas SDM seperti ini menjadi
aset sangat berharga dalam ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
(knowledge-based economy). Bidang pekerjaan apapun kalau diisi oleh
orang-orang inovatif dan kreatif bakal terbangun budaya kreatif yang
menghasilkan beragam produk bernilai tambah tinggi dan kompetitif.
SDM yang berprofesi menggeluti tata ruang laut juga perlu
ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Idealnya setiap
provinsi memiliki perguruan tinggi yang melahirkan sarjana kelautan.
Buku ini hadir sebagai ajakan untuk secara bersama-sama
merencanakan tata ruang laut kita yang masih terbuka luas. Pada
kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti
yang memberi kepercayaan menjalankan tugas dalam menangani
perencanaan ruang laut. Tak lupa kepada Dr Firdaus Agung MSc,
Muhammad Budiman, Prof Dietrich Bengen, Dr Abdul Muhari, Arief
Widianto ST., MSc, Abdi Tunggal Priyanto SSi, MT MSc, Adhyaksa Saktika
D SKel, Andi Maya Purnamasari, ST, Fajar Kurniawan ST MMG, dan Dr
Jonson Lumban Gaol, penulis haturkan terima kasih. Semoga kebaikan
tersebut mendapat imbalan berlipat ganda dari Allah SWT.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Dari lubuk hati terdalam,
penulis mohon maaf jika buku ini masih jauh dari sempurna. Semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang peduli terhadap rencana
tata ruang laut kita.
Subandono Diposaptono
xiii
Daftar Isi
Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan | iv
Pengantar Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan
dan Perikanan | vi
Sekapur Sirih Penulis | viii
xiv
Bab 4. Merencanakan Tata Ruang Laut | 155
- Mengelola Laut Secara Berkelanjutan | 156
- Memahami Tata Ruang Laut | 171
- Tata Ruang Laut Dalam Perspektif Harmonisasi 4 UU | 200
- Data Spasial, Kunci Keberhasilan Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi | 223
- Proses dan Tahapan Menyusun Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi | 265
- Libatkan Stakeholders dan Masyarakat Dalam Rencana Tata
Ruang Laut/Rencana Zonasi | 297
- Merencanakan Tata Ruang Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil Berbasis Mitigasi Bencana | 303
xv
xvi
Bab I
Pasang Surut
Kejayaan Maritim
1
Nusantara Mengendalikan
Pelabuhan Dunia
S
iapa menguasai laut dialah pemilik dunia. Itulah yang dialami
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit tempo dulu. Jauh
sebelum pesawat terbang tercipta, kapal laut menjadi satu-
satunya sarana transportasi, baik antarpulau, antarnegara, maupun
antarbenua. Jadi, siapa yang mampu menguasai teknologi perkapalan,
navigasi, dan pemetaan, dialah yang layak menjadi penguasa dunia.
Prestasi itulah yang diukir oleh para pendahulu kita jauh sebelum
kejayaan bangsa Eropa datang dan menjajah Indonesia. Lagu berjudul
Nenek Moyangku Seorang Pelaut merupakan cerminan dari betapa
hebatnya mereka menaklukkan samudra luas, menguasai perniagaan,
serta menjalin diplomasi politik dengan berbagai negara di penjuru
dunia.
1
Sriwijaya. Para pelaut utusan Sriwijaya dengan gagah berani
membentangkan layar, mengatur terpaan angin, dan mengubahnya
menjadi energi gerak agar kapal dapat berlayar sesuai tujuan.
Para pembuat kapal layar juga memiliki kepiawaian tersendiri.
Selain membuat bodi kapal yang kokoh menerjang ombak, mereka
juga menguasai teknologi layar tinggi. Apalah artinya, kapal yang
kokoh kalau tidak didukung dengan desain layar yang mampu
mengatur energi angin sebagai “bahan bakar” yang super ramah
lingkungan karena memang tak menimbulkan polusi udara dan
suara.
Perpaduan yang serasi antara desain bodi dan layar inilah yang
mengantarkan para duta Kerajaan Sriwijaya menjelajah ke berbagai
wilayah. Dengan armada laut yang tercanggih di jamannya itulah,
Sriwijaya berhasil menjadi penguasa niaga internasional.
Nama Sriwijaya tampaknya sesuai dengan prestasi yang diraih-
nya. Secara harfiah, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti bercahaya atau
gemilang. Wijaya adalah kemenangan atau kejayaan. Jadi, Sriwijaya
istimewa
Pasang Surut Kejayaan Maritim
1
Sumber: belajar.kemdiknas.go.id
willsonlodewyik.blogspot.com
id.wikipedia.org
1
literatur kedokteran Cina, gaharu yang tumbuh kokoh di Sumatra
itu, getahnya dapat menjadi obat mujarab dan memperkuat tubuh
sehingga diyakini dapat membuat seseorang panjang umur. “Selain
itu, getah gaharu juga cukup mujarab untuk menyembuhkan penyakit
kudis, botak, dan gatal di kepala,” tulis Wolters.
Bahkan, menurut literatur kuno dari Cina, getah gaharu yang
diasapkan mampu menenangkan lima organ dalam tubuh manusia
seperti jantung, hati, limpa, paru-paru, dan ginjal. Itulah mengapa,
asap ini sering dipakai dalam terapi medis modern untuk para pasien.
Kalau sekarang Cina menguasai pangsa pasar obat-obatan herbal
di dunia, hal itu sebenarnya tidak terlepas dari sejarah masa lalunya.
Mereka berhasil menjadi pemain utama obat-obatan herbal lantaran
meneruskan tradisi kearifan lokal dari para pendahulunya.
Selain dari literatur dan buku-buku sejarah, kejayaan Sriwijaya
juga dapat ditelusuri melalui prasasti kuno (Kedukan Bukit di Palem-
bang) dan temuan benda-benda kuno seperti emas, perkakas, uang
koin, senjata, dan lain sebagainya di sekitar pusat kerajaan, yang kini
berada di Palembang dan sekitarnya.
Meskipun berbagai benda kuno telah ditemukan dan dikoleksi di
museum, namun tetap saja hari demi hari benda-benda kuno itu terus
ditemukan. Apalagi di saat musim hujan, ketika air Sungai Musi dan
sungai-sungai lainnya meluap, benda-benda itu hanyut dan terbawa
air.
Sebagian di antaranya terdampar di kebun, sawah, dan tempat-
tempat lainnya. Awal Januari 2012 misalnya, berbagai benda kuno
seperti perhiasan (cincin) emas, keris berbahan logam, koin kuno,
serpihan emas, dan manik-manik kembali ditemukan oleh penduduk
yang sedang beruntung di sepanjang Sungai Musi.
Sebagian penduduk menyimpan temuan tersebut untuk koleksi
pribadinya. Bahkan ada pula yang menjualnya. Banyaknya temuan
benda-benda antik tersebut semakin menguatkan bukti bahwa di
masa lalu Sriwijaya memang pernah berjaya.
1
Kerajaan Sriwijaya sangat kuat dan makmur. Kerajaan tersebut telah
mampu membawa bangsanya maju dan sejahtera jauh melebihi
kehebatan bangsa-bangsa Eropa. Saking terkenalnya kerajaan
tersebut, penguasanya dijuluki sebagai Raja Yang Dipertuan dari
Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di muka Bumi.
Wilayah kekuasaannya membentang luas, mulai dari Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Thailand
selatan. Reruntuhan candi-candi Sriwijaya yang ditemukan di Thailand
dan Kamboja membuktikan mereka pernah berjaya dan menaklukkan
kawasan tersebut.
Kerajaan Majaphit
Kalau wilayah Sriwijaya masih sebatas Asia Tenggara, lain lagi
dengan kiprah Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Kapal-kapal Jong
Majaphit yang gagah perkasa itu berkelana mengarungi samudra
luas.
Jauh sebelum bangsa Eropa mampu membuat kapal laut, para
pendahulu kita malah sudah dapat mencipta kapal dan melayarkan-
nya ke berbagai benua, mulai dari Australia, Asia, dan Afrika. Menurut
Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim,
Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia (2011), jumlah
armada Jong Majapahit pada abad ke-15 mencapai 400 kapal. Ban-
dingkan dengan armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), Spanyol,
dan Portugis pada masa-masa sesudahnya (tahun 1674).
Kalau kekuatan armada laut Eropa yang menguasai India,
Nusantara, Indocina, dan Cina itu digabung maka mereka hanya
memiliki 124 kapal. Jadi, dilihat dari kekuatan armada laut, Nusantara
tempo dulu memang jauh lebih unggul daripada bangsa-bangsa
penjelajah di Benua Eropa.
Kehebatan pelaut-pelaut Nusantara juga tercatat jauh hingga ke
Cina dan Portugis. Di dua negara tersebut memiliki catatan sejarah
bahwa Jawa atau Nusantara telah melakukan berbagai pelayaran
blackjack2000.wordpress.com
Peta Kekuasaan Kerajaan Majapahit.
1
kapal layar tinggi yang mampu mengarungi samudra luas. Kapal-kapal
itu dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari anyaman daun
tanaman. Layar-layar tersebut didesain sedemikian rupa sehingga
cukup kuat untuk mengubah energi angin menjadi energi gerak.
Saat itu teknologi maritim memang belum mengenal mesin uap.
Jadi, satu-satunya penggerak laju kapal adalah layar yang dikendali-
kan oleh energi angin laut. Hal ini menunjukkan, Jawa telah menguasai
teknologi maritim melebihi kejayaan bangsa-bangsa di daratan
Eropa.
kaskus.co.id
1
pada tahun 1418 misalnya, memiliki panjang sekitar 54 meter. Entah
mengapa kapal pertama hasil rancangan orang Inggris ini malah
tak mampu berlayar. Selama bertahun-tahun, kapal tersebut hanya
mengapung dan akhirnya malah terbakar.
Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1492 dengan
diluncurkannya Kapal Christoporus Columbus dengan kapasitas 88
penumpang. Lima tahun berikutnya, 1497, meluncurlah Kapal Vasco
da Gama berkapasitas 171 penumpang. Kapal-kapal besar Eropa itu
dapat tercipta setelah melewati hubungan interaksi dengan kapal-
kapal yang digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh
kuat dari Jawa.
Berdasarkan fakta tersebut, kita menjadi semakin paham bahwa
perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan peda-
gang besar di wilayah Eropa. Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar
tak tertandingi.
Dengan armada laut
yang kuat dan gagah
perkasa itulah, para pen-
dahulu kita mampu me-
ngendalikan pelabuhan-
pelabuhan yang menjadi
sumber perekonomian
Nusantara. Tak berlebihan
kalau tempo dulu Jawa
sangat termasyhur di ja-
gad raya.
uniqpos.com
kaskus.co.id
Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar tak tertandingi.
1
Di bawah komando Raja Mongol Kubilai Khan, mereka menyusun
kekuatan dan penyerangan besar-besaran ke wilayah tersebut. Kubilai
Khan yakin, jika pasukannya mampu menundukkan Jawa maka
negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya. Namun apa daya,
Jawa terlalu kuat untuk ditaklukkan. Tentara Mongol kalah dalam
pertarungan yang tak seimbang tersebut.
1
laut.
Bergeser ke timur, tepatnya di Maluku, juga terhampar luas
cengkeh yang kelak di kemudian hari membuat Belanda sangat
bernafsu untuk menguasainya. Catatan mengenai popularitas ceng-
keh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati dan Marilyn
Kelly Buccellati (1983).
Dari rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada tahun
1700 SM, Buccellati menemukan wadah berisi cengkeh. Ketika itu di
dunia, cengkeh hanya diketahui dapat tumbuh di pulau-pulau kecil
di Maluku.
Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga bagi para
pembesar yang dapat digunakan untuk aneka keperluan mulai dari
perasa makanan, minuman, obat-obatan, dan rokok lantaran memiliki
cita rasa prima. Cengkeh Maluku bisa sampai ke Efrat tersebut
berkat peran para pelaut Jawa yang dengan gagah berani mampu
menaklukkan samudra luas hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan Cina.
D
aerah kekuasaan Sriwijaya terus saja menyusut. Apalagi ketika
Rajendra Coladwa dari Koromandel, India Selatan pada tahun
1025 menaklukkan Kedah yang sebelumnya menjadi wilayah
kekuasaan Sriwijaya. Mendung semakin bergelayut di atas bumi
Sriwijaya.
Antiklimaksnya terjadi pada tahun 1183. Ketika itu kekuasaan
Sriwijaya dikendalikan sepenuhnya oleh Kerajaan Dharmasraya. Saat
kolonial Belanda mulai berkuasa di Nusantara, Sriwijaya semakin
tak lagi terdengar gaungnya. Meski secara politis Sriwijaya tak lagi
populer, namun ia meninggalkan banyak kenangan berharga bagi
perjalanan bangsa Indonesia.
Salah satu peninggalan penting dari Sriwijaya yang dapat
diwariskan hingga saat ini adalah bahasa. Seperti diketahui, selama
1
Dalam berkomunikasi, para duta niaga dan tentara militer
Sriwijaya menggunakan Bahasa Melayu Kuno, baik di pelabuhan,
pusat niaga (pasar), maupun istana di seantero Nusantara sebagai
penghubung (lingua franca). Bahasa ini di kemudian hari berkembang
menjadi Bahasa Indonesia yang diikrarkan para pemuda di seluruh
Indonesia dalam Sumpah Pemuda 28 Okotober 1928.
Kini, Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa nasional yang
mampu menjadi penghubung dari ribuan etnis mulai Sabang sampai
Merauke. Tidak hanya itu. Negara Jiran, Malaysia juga menggunakan
Bahasa Melayu sebagai bahasa nasionalnya.
Meninggalkan Jejak
Sriwijaya telah meninggalkan jejak berharga. Sebagai manusia
beradab, kita dituntut secara arif dan bijaksana mengambil hal-hal
positif dari perjalanan sejarah tersebut. Pengalaman pahit Sriwijaya
tampaknya belum menjadi pelajaran bagi kerajaan di Jawa di
kemudian hari.
Popularitas Jawa (Nusantara) pun meredup ketika para penguasa
melupakan lautnya. Itulah yang tercatat dalam sejarah perjalanan
bangsa. Dominasi niaga laut Jawa berakhir saat panglima Pajang
Senapati memberontak terhadap ahli waris sah Kerajaan Pajang.
Hal ini pula yang mendorong bangsa Eropa, khususnya Belanda,
dengan mudah menaklukkan Jawa. Sebagaimana dikatakan Raja
Mongol, Kubilai Khan, jika pasukan Mongol mampu mengalahkan
Jawa maka negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya.
Ia yakin dengan ucapannya itu karena memang tidak mudah
menaklukkan tentara dan dominasi niaga yang dibangun Jawa.
Sepanjang kariernya, Mongol kalah telak melawan pasukan perang
dari Jawa.
Prediksi Kubilai Khan memang benar. Ketika Belanda berhasil
menaklukkan dan menguasi Jawa dengan mudah karena memang
minim perlawanan dari penguasa Jawa, sejak saat itulah VOC terus
cintabelanegara.blogspot.com
1
Orang-orang laut sulit untuk diperintah dengan gaya feodal.
Maka naluri dan jiwa bahari rakyat disumbat. Penyumbatan ini
mencapai puncaknya pada era kolonial.
Hari demi hari Jawa penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa
dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih tragis lagi, rakyat Jawa
telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Realitas sejarah seperti di atas menjadi perhatian bagi kaum
cendikiawan Indonesia pada fase kebangsaan berikutnya. Pontjo
Sutowo (2014), Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, tampaknya
dapat menjadi renungan bagi kita semua. Ia mengatakan, jika kita
ingin mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern,
sejahtera, dan menjadi adidaya maka kita harus tetap di laut dan
menguasai kembali lautan.
“Karena itu kita harus menyatukan tekad untuk membangun
patriotisme baru yang memiliki akar sejarah yang kuat. Yakni, se-
mangat maritim dengan nilai-nilai budaya kemaritimannya,” ujar
Pontjo.
Dengan kata lain, Indonesia dapat bersinar lagi di kancah
perekonomian global jika seluruh pemimpin negeri memiliki ke-
bijakan kuat di laut. Apalagi sekitar 70 persen wilayah Indonesia
berupa laut.
Tak hanya itu. Indonesia adalah negara yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan
keunggulan komparatif tersebut dan didukung sejarah budaya
maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka niscaya kita
mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam.
1
Indonesia dengan menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan
sesungguhnya berlawanan dengan keadaan sebenarnya”. Indonesia
adalah negara kepulauan (Archipelagic State), laut ibarat mata-telinga
sekaligus sumber pengharapan terhadap masa depan yang lebih
baik. Yamin mengingatkan bahwa laut Nusantara adalah sumber
kemakmuran bagi Indonesia.
Sejarawan maritim, Prof. Dr. Adrian Bernard Lapian berpendapat,
yang disebut dengan daerah inti (heartland) dalam negara kepulauan
Indonesia bukanlah pulau atau daratan, namun wilayah maritim yang
memegang peranan sentral. Menurut Nakhoda Sejarah Maritim Asia
Tenggara yang pada 5 Juli 2011 lalu dianugerahi gelar Sejarawan
Utama itu, laut harus dilihat sebagai faktor utama pembangunan
kebudayaan bangsa.
Pembangunan kelautan dan perikanan mulai serius dikembang-
kan saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diangkat menjadi Presiden
ke-4 Republik Indonesia pada tahun 1999. Gus Dur menyadari, 2/3
luas wilayah Indonesia berupa laut. Namun sayangnya, sampai se-
jauh itu pembangunan kelautan belum mendapat perhatian yang
serius.
Karena itulah Gus Dur membentuk kementerian baru
(Departemen Eksplorasi Laut) yang secara khusus mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan terobosan itulah, oleh
media pers, Gus Dur layak dinobatkan sebagai Bapak Kelautan
Nasional.
K
etika Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 wilayah NKRI
ditetapkan berdasarkan konsepsi Territoriale Zeen Maritime
Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Hal ini sesuai dengan
prinsip hukum internasional uti possidetis juris sebagai negara bekas
kekuasaan kolonialis Belanda.
Mengacu pada konsepsi tersebut, wilayah perairan Indonesia
meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau selebar hanya 3
mil. Konon, ukuran 3 mil tersebut ditentukan berdasarkan kemampuan
lontaran meriam kala itu.
Konsekuensinya, di luar 3 mil laut teritorial (pedalaman) menjadi
laut bebas. Bisa dibayangkan seperti apa peta NKRI kala itu (lihat
Negara Kepulauan
Berdasarkan fakta itulah, Presiden Soekarno lalu menugaskan
Perdana Menteri Djuanda untuk memperjuangkan pengakuan in-
ternasional bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic
State). Dengan demikian, konsepsi TZMKO 1939 sebagai warisan kolo-
nial Belanda tidak dapat diterapkan untuk wilayah NKRI.
Djuanda pun membawa misi itu ke lembaga internasional. Pada
13 Desember 1957 secara sepihak kita mendeklarasikan wilayah
kedaulatan Republik Indonesia yang mencakup wilayah laut teritorial
adalah bagian tidak terpisahkan dari wilayah daratan. Peristiwa ini
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Di dalam negeri, upaya itu disikapi secara serius dengan
menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 4/Prp 1960 tentang
Perairan Indonesia. UU ini mengubah TZMKO 1939 secara radikal
dalam dua hal. Pertama, cara penarikan garis pangkal laut teritorial
1
laut teritorial yang tadinya hanya 3 mil menjadi 12 mil.
Di berbagai forum internasional, baik dalam perundingan bila-
teral, trilateral, dan multilateral, Indonesia pun terus memperjuang-
kan konsep Wawasan Nusantara tersebut. Berbagai upaya diplomasi
itu akhirnya membuahkan hasil. Indonesia diterima sebagai negara
kepulauan di dalam The United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut PBB) pada tahun 1982.
Indonesia lalu meratifikasi keputusan UNCLOS itu dengan
menerbitkan UU No 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).
Diterimanya konsep Wawasan Nusantara di PBB itu merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting bagi Indonesia. Sebab, hal
ini merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap konsep
Wawasan Nusantara yang telah digagas dan dideklarasikan Djuanda
sejak 1957.
Bertambah Luas
Selain itu, sesuai UNCLOS 82, masih ada kemungkinan Indonesia
melakukan klaim wilayah landas kontinen di luar batas 200 mil laut
ZEE sampai sejauh 350 mil laut. Wilayah landas kontinen adalah area
yurisdiksi negara pantai terkait dengan pengelolaan dasar laut dan
tanah di bawahnya.
Peluang ini tampaknya dimanfaatkan Indonesia. Tim teknis
Indonesia --terdiri dari Bakosurtanal, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Inilah Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia terbaru. Tampak bahwa wilayah
laut Indonesia bertambah seluas 4.209 km² di Samudra Hindia, sebelah barat laut
Pulau Sumatra (lihat bagian yang diarsir dalam kotak).
1
wilayah sebelah barat laut Pulau Sumatra. Fakta dan bukti ilmiah itu
lalu disampaikan ke the United Nation on the Limit of the Continental
Shelf (UN-CLCS) yang bermarkas di New York, AS pada 16 Juni 2008.
Setelah melalui diplomasi yang panjang dan berbagai tambahan
bukti ilmiah, UN-CLCS dan Indonesia mencapai kesamaan pandangan
terkait klaim tersebut. Peristiwa itu terjadi tepat 17 Agustus 2010, saat
Indonesia merayakan HUT ke-65 tahun. UN-CLSC akhirnya menyetujui
klaim wilayah laut seluas 4.209 km2 yang diusulkan Indonesia.
Sejalan dengan itu, peta wilayah NKRI pun praktis berubah
(seperti terlihat pada gambar peta). Betapa luasnya wilayah NKRI kita.
Coba saja peta tersebut di-overlay-kan dengan kawasan Eropa dan
Amerika. Sungguh, Indonesia adalah negara kepulauan yang luas,
besar, dan juga strategis.
blogs.technet.com
1
komoditas perikanan (seperti ikan, udang, kerang,
lobster, kepiting, dan lain-lain). Aneka jenis terum-
bu karang penuh warna-warni menghampar di Bu-
naken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat),
Wakatobi (Sulawei Tenggara), Spermonde (Sulawe-
si Selatan), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan lain-
lain.
Di kawasan pesisir, Indonesia juga memiliki
ekosistem hutan mangrove yang luas. Berdasarkan
pemetaan BIG (2014), luas mangrove di Indonesia
mencapai 36.164,45 km2. Dari vegetasi ini bisa
dibayangkan berapa karbon dioksida (CO2) yang
diserap mangrove setiap hari. Seperti diketahui
CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang
belakangan ini menjadi penyebab naiknya suhu
permukaan Bumi.
Potensi di laut dalam juga tak kalah serunya.
Penelitian awal yang dilakukan BPPT bersama
mitranya membuktikan, tersimpan jutaan triliun
kaki kubik (trillion cubic feet atau TCF) gas hidrat di
dasar perairan: Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
selatan Sumatra, selatan Jawa Barat, dan Sulawesi.
Bahkan, di dasar perairan Pulau Simeulue (NAD)
ditemukan kandungan hidrokarbon sangat besar,
sekitar 320 miliar barel.
Singkatnya, masih banyak keunggulan
komparatif lainnya dari laut Indonesia yang tidak
bisa disebutkan secara rinci. Keunggulan ini tidak
akan menyejahterakan rakyat jika tidak disentuh
dengan industri berbasis kemaritiman. Melalui
perubahan mendasar cara berfikir berorientasi
ke maritim dengan konsep pembangunan
Dok. ATSEF
Ekosistem hutan
mangrove dapat
berfungsi menyerap
karbon dioksida (CO2)
dan menghasilkan
oksigen (O2).
1
2
1 Luas Laut Keseluruhan NKRI 6.315.222 Km
2
2 Luas Perairan Wilayah Laut Teritorial 282.583 Km
3 Luas Perairan Wilayah Pedalaman dan 2
3.092.085 Km
Kepulauan
2
4 Luas Laut ZEE 2.936.345 Km
5 Panjang Garis Pantai Kepulauan Indonesia 99.093 Km
2
6 Luas Terumbu Karang 26.059,15 Km
2
7 Luas Mangrove 36.164,45 Km
8 Jumlah Pulau Keseluruhan 17.504
9 Jumlah Pulau Yang Telah Dibakukan
Timnas Penamaan Rupabumi dan 13.466
Dideposit ke PBB
Sumber: Badan Informasi Geospasial, 2014
I
ndonesia sebagai Benua Maritim saatnya bangkit dan menoleh ke
laut. Kini berada di abad ke-21, siklus historis (berselang 7 abad)
kedigdayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dapat mengimbas
Indonesia. Dengan berbagai modalitas antara lain sumber daya ke-
lautan yang melimpah, kehadiran UU No. 32/2014 tentang Kelautan,
Doktrin Jokowi tentang Poros Maritim, dan dibentuknya Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman diharapkan momentum tepat untuk
membangkitkan kembali kejayaan maritim.
Kebangkitan maritim ini menjadi sebuah siklus dan tugas
historis bagi kita semua. Momentum baik ini mudah-mudahan dapat
dimanfaatkan Presiden ke-7 beserta kabinet barunya.
1
yang pernah dikagumi dunia internasional. Kerajaan Sriwijaya pernah
menjadi pusat perdagangan dunia lantaran memiliki kekuatan armada
maritim yang jaya pada abad ke-7.
Setelah mengalami pasang-surut, tujuh abad berikutnya (abad
ke-14) Kerajaan Majapahit juga berjaya. Kapal-kapal buatan Majapahit
mampu berlayar melanglang buana menembus samudra dan benua;
Asia, Australia, dan Afrika. Bayangkan, ketika itu bangsa Eropa belum
mampu membuat kapal laut.
Fakta membuktikan, laut memiliki kekuatan utama dalam
membangun peradaban sebuah bangsa. Menurut filsuf Cina Lin Zexu
(1785 – 1851), sebuah negara yang kuat selalu memperhatikan laut (A
strong nation faces the sea, while a weak one turns its back on it).
Sementara itu, pakar maritim Amerika Serikat Dr Sam Tangredi
(2002) menyatakan, globalisasi dimulai dari laut. Sebab, perdagangan
bebas lebih dari 95 persen menggunakan domain laut. Oleh karena
itu, bagi negara maju ancaman keamanan maritim tidak bisa ditolerir.
Ahli strategi maritim Inggris Dr Geoffrey Till (2009) berpendapat,
kejayaan seapower (pelabuhan, armada perkapalan niaga, dan
Angkatan Laut) suatu bangsa berkorelasi langsung dengan kejayaan
bangsa itu sendiri. Artinya, laut memang memegang peran sangat
penting dan strategis dalam mewujudkan bangsa yang jaya dan
sejahtera.
1
Di sisi lain, populasi penduduk yang kian tinggi juga membutuhkan
ketersediaan pangan yang besar.
Presiden pertama RI Soekarno telah lama menyadari bahwa laut
memegang peran sangat penting dan strategis dalam mewujudkan
kemajuan bangsa. Artinya, jika ingin menjadi negara maju maka
kuasailah lautan.
Di samping itu Presiden Joko Widodo saat dilantik oleh MPR
sebagai Presiden ke-7 RI pada 20 Oktober 2014 juga menyadarkan kita
sebagai bangsa maritim. Menurutnya pembangunan kemaritiman
akan menjadi salah satu prioritas kabinetnya selama lima tahun ke
depan.
Kalau selama ini kita memunggungi laut, sudah saatnya perha-
tian dialihkan ke sana. Samudra, laut, selat, dan teluk akan kita kelola
demi kemakmuran rakyat. Kita bertekad akan menjadi poros maritim
dunia.
Tekad Presiden tersebut tidaklah berlebihan, bahkan dapat
menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi Indonesia memiliki keunggulan
komparatif berupa sumber daya laut berlimpah ruah yang tidak
dimiliki bangsa lain.
Menurut catatan World Bank, pada tahun 2050 dunia mengalami
tantangan pangan karena jumlah penduduknya mencapai sekitar
9,3 miliar orang. Dengan pertumbuhan tersebut mengakibatkan
bertambahnya kebutuhan pangan. Selain itu, naiknya pendapatan
seseorang juga akan semakin meningkatkan konsumsi terhadap kalori
dan daging. Atas dasar itulah maka pada tahun 2050 dibutuhkan lahan
pertanian sekitar 266 juta hektare.
Mc Kinsey yang mengutip hasil riset dari Food and Agricultural
Organization (FAO) mengungkapkan, kebutuhan lahan pada tahun
2030 mencapai 175 – 220 juta ha. Padahal lahan yang tersedia hanya
98 juta ha. Melalui penerapan inovasi, dapat dihasilkan peningkatan
produksi sehingga setara dengan penyediaan lahan baru seluas 29
juta ha. Dengan demikian pada tahun 2030 dibutuhkan penambahan
1
Kebutuhan tersebut sangat sulit dipenuhi dari daratan. Alasan-
nya, untuk mencetak lahan baru dibutuhkan biaya sangat tinggi.
Lagi pula, lahan pertanian yang ada juga semakin berkurang lantaran
dikonversi menjadi lahan nonpertanian seperti permukiman, industri,
jalan raya, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu diperlukan diversifikasi produk yang berasal
tidak hanya dari darat tetapi juga dari laut. Sumber protein hewani
dari ikan diharapkan dapat memenuhi kekurangan pangan di masa
depan. Indonesia, menurut Mc Kinsey (2014), memiliki peluang
untuk mengatasi kekurangan kebutuhan protein. Sebagai penghasil
produk perikanan terbesar kedua di dunia setelah Cina, pada tahun
2009 Indonesia mampu menghasilkan 9,815 juta ton. Memang
sebagian besar (91 %) dari produksi tersebut dipakai untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Sisanya, hanya 9 % atau sekitar 868.000 ton
diekspor ke berbagai negara.
Nilai rata-rata dari produk perikanan budidaya dari Indonesia
mencapai US$ 1.849 per ton. Angka ini hampir setara dengan nilai
rata-rata dunia sebesar US$ 1.891 per ton. Namun jika dibandingkan
dengan negara lain misalnya Norwegia yang merupakan salah satu
negara terdepan dalam perikanan budidaya, nilai tersebut masih jauh
tertinggal, yakni sebesar US$ 3.732 per ton. Jika melihat dari potensi
sumber daya yang dimiliki, maka Indonesia masih berpeluang sangat
tinggi untuk meningkatkan produksinya untuk bisa mengejar produksi
perikanan budidaya dari negara-negara lain.
Peluang lain berasal dari perikanan tangkap. Pada tahun 2010,
masih menurut Mc Kinsey (2014), produk perikanan tangkap di per-
airan Maluku-Papua menduduki nilai tertinggi, yakni 13,1 ton/kapal
dengan total produksi 1,087 juta ton. Posisi berikutnya ditempati per-
airan laut di Sumatra barat (12 ton/kapal dengan produksi 442.000
ton), Sumatra timur (10 ton/kapal dengan produksi 581.000 ton),
Jawa utara (9,9 ton per kapal dengan produksi 843.000 ton), Selat
Malaka (9,2 ton/kapal dengan produksi 315.000 ton), Kalimantan se-
1
(6,9 ton/kapal dengan produksi 434.000 ton), Bali-NTT (5,6 ton/kapal
dengan produksi 307.000 ton), Kalimantan timur (5,2 ton/kapal de-
ngan produksi 159.000 ton), dan Jawa selatan (4,4 ton/kapal dengan
produksi 123.000 ton). Secara nasional, rata-rata produksi ikan tang-
kap adalah 8,8 ton/kapal.
Dengan memperbaiki sistem perikanan budidaya dan perikanan
tangkap, produksi dan nilai tambah perikanan Indonesia sebenarnya
dapat ditingkatkan. Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa
sebenarnya Indonesia dapat menjadi penghasil pangan utama untuk
memenuhi kebutuhan dunia.
Potensi perikanan tangkap Indonesia sangat besar dengan po-
tensi lestari sejumlah 7,3 juta ton/tahun dan potensi perikanan budi-
daya di laut mencapai 12,5 juta ha. Kegiatan perikanan baik tangkap
maupun budidaya secara langsung akan membangkitkan industri ma-
ritim dalam hal kebutuhan dan sekaligus penyediaan kapal penang-
kap ikan, kapal pengangkut ikan, kapal untuk kegiatan deployment
dan pembongkaran sarana keramba jaring apung, kapal pengangkut-
an pakan, kapal untuk kegiatan monitoring dan pengawasan lokasi
budidaya, alat penangkap ikan dan kapal pengawas pencurian ikan.
1
maritim baik dalam hal pembangunan kapal, sarana prasarana
budidaya, dan teknologinya. Selain itu, perikanan termasuk dalam
hal ini kegiatan penangkapan, budidaya laut, dan pengolahan
hasilnya juga akan berkembang dengan adanya peningkatan aktivitas
transportasi antar pulau dan kepelabuhanan. Pelabuhan-pelabuhan
perikanan diharapkan akan semakin ramai dengan kegiatan
pendaratan ikan karena distribusi dan konsumsi ikan semakin baik.
Harga ikan akan menjadi lebih kompetitif, terdistribusi lebih cepat ke
konsumen, dan menjadikan bisnis dan investasi di sektor ini semakin
menarik minat swasta.
Selain sumber daya perikanan, wilayah laut Indonesia juga kaya
akan cekungan Migas (kurang lebih 60% cekungan Migas berada di
laut). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas di laut juga merupakan
salah satu pemicu perkembangan industri maritim. Kegiatan ekplorasi
melibatkan kapal-kapal survei, transportasi dan pemasangan
rig, pengangkutan hasil Migas ke daratan atau unit pengolahan,
pemasangan pipa dan sarana prasarana penambangan lepas pantai
merupakan hal-hal utama yang mendorong pertumbuhan dan
perkembangan industri terkait baik perkapalan, instalasi bawah laut,
dan jasa lainnya.
Indonesia juga dikaruniai oleh keindahan alam dan budaya
bahari yang tiada tara sehingga pariwisata perlu dikembangkan untuk
menangkap peluang-peluang yang ada dalam bentuk wisata bahari,
minat khusus seperti menyelam, berkemah serta wisata edukasi,
sejarah dan budaya. Seiring dengan bergeraknya pariwisata bahari
maka akan meningkatkan kebutuhan kapal seperti cruise, yacht, glass
bottom boat, dan perahu layar juga akan meningkat seiring dengan
semakin banyaknya aktivitas di laut untuk berwisata.
Laut semestinya menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia
karena lautlah yang menghubungkan dan menyatukan tujuh belas
ribu lebih pulau-pulau di Indonesia. Namun demikian, kenyataannya
adalah laut seakan-akan menjadi pemisah antar pulau. Sehingga
subandono.diposaptono@yahoo.com
Kerangka dasar kebangkitan maritim, sebuah tugas dan siklus historis.
subandono.diposaptono@yahoo.com
1
dipenuhi yaitu:
a. Sumber daya alam. Berlimpah ruahnya kekayaan sumber daya
alam (baik hayati maupun non hayati) merupakan keunggulan
komparatif yang dimiliki Indonesia dan tidak dipunyai oleh negara
lain. Komponen ini merupakan kunci utama dalam mengembang-
kan industri yang berbasis sumber daya alam maritim. Sumber
daya alam ini harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin un-
tuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
b. Iptek. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya maritim yang
kompetitif dan berdaya saing tinggi dibutuhkan penguasaan Iptek.
Iptek ini meliputi antara lain potensi, sebaran, kualitas, kondisi,
pasar, kebutuhan pengembangan, dampak pemanfaatan, dan
sosial ekonomi. Sejarah pengelolaan sumber daya alam kelautan
sangat penting untuk menentukan bentuk pemanfaatan yang
paling optimal secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. Selain itu,
teknologi juga memegang peranan yang sangat penting dalam hal
meningkatkan nilai tambah, mengelola dampak, meningkatkan
produksi dan kualitas hasil pengolahan, penentuan lokasi atau
ruang laut yang sesuai, dan monitoring serta evaluasinya.
c. Barang dan jasa. Keunggulan komparatif yang dikelola dengan
menggunakan Iptek akan menghasilkan barang dan jasa yang
kompetitif. Dengan keunggulan kompetitif inilah maka produk
buatan Indonesia mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasional,
maupun internasional.
d. Devisa. Ketika barang dan jasa tersebut digunakan konsumen
maka hal tersebut mendatangkan devisa negara. Selain itu,
perputaran barang dan jasa antar pulau, antar wilayah, dan
antar negara akan membangkitkan ekonomi riil, menghasilkan
devisa, dan menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya
akan meningkatkan keuangan dan pendapatan negara serta
masyarakat.
e. Tata ruang laut. Sebagai landasan spasial dan untuk menjamin
sinergitas serta kepastian hukum dalam membangun kemaritiman
1
ruang untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, perlindungan
lingkungan, dan pertahanan keamanan.
Prinsip utama dalam tata ruang laut adalah perencanaan dan
pengelolaan aktivitas manusia di wilayah laut, bukan penataan
ekosistem laut atau komponen ekosistem laut. Untuk itu, agar alokasi
penggunaan ruang laut menurut tujuan dan kegunaan selaras dengan
daya dukung, maka ada enam hal yang harus diperhatikan.
Pertama, berbasis pada ekosistem, yang berarti keseimbangan
antara ekologi, ekonomi dan sosial untuk keberlanjutan sumber daya
dan penggunaan ruang laut. Kedua, terintegrasi (antar pemangku
kepentingan mulai dari tingkat nasional sampai lokal).
Ketiga, berbasis kewilayahan, untuk pemerataan pemanfaatan
sumber daya dan daya dukung lingkungan. Keempat, adaptif,
kapabilitas untuk belajar dari proses yang sudah dan sedang berjalan.
Kelima, strategis dan antisipatif, artinya bisa diimplementasikan
dalam jangka panjang. Keenam, partisipatoris yang mengakomodasi
segenap pemangku kepentingan (UNESCO, 2009). Tata ruang laut
bukanlah proses statis dengan one-hit development process tetapi
merupakan proses dinamis yang selalu disesuaikan dengan kondisi
dan daya dukung ekosistem.
Oleh karena itu diperlukan perencanaaan yang terpadu dan
kompehensif secara spasial berupa tata ruang laut sebagai landasan
dan arahan spasial dalam membangun kelautan Indonesia menuju
poros maritim dunia.
Keberhasilan tanpa perencanaan adalah sebuah kebetulan.
Sebuah kebetulan sulit diulangi, apalagi untuk jangka panjang.
Keberhasilan dengan perencanaan adalah sebuah pencapaian
(achievement). Tanpa ada rencana, perubahan tidak dapat diukur
bahkan tidak mudah diketahui.
Dalam perspektif manajemen dan organisasi, proses perencana-
an merupakan pekerjaan yang sangat penting. Bahkan banyak
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kualitas implementasi akan
sangat tergantung dari kualitas perencanaannya.
M
enyimak pernyataan Presiden Joko Widodo pada acara
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Nay Pyi Taw,
Myanmar, Kamis 13 November 2014 sangatlah menarik. Di
situlah Jokowi memaparkan visi Indonesia untuk menjadi negara
poros maritim dunia.
Menurutnya, sebuah transformasi besar sedang terjadi pada abad
ke-21 ini. Pusat gravitasi, geoekonomi, dan geopolitik dunia sedang
bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % per tahun dan total GDP
sekitar US$ 40 triliun, Asia Timur merupakan kawasan paling dinamis
secara ekonomi. Sekitar 40 persen perdagangan dunia ada di kawasan
ini.
Dalam dinamika itu, laut akan semakin penting artinya bagi masa
depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudra strategis
(Hindia dan Pasifik) merupakan jalur penting bagi lalu lintas perda-
gangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan
“lorong” lalu lintas maritim dunia. Dua samudra strategis itu juga me-
nyimpan kekayaan besar (energi dan sumber daya laut lainnya) yang
akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan.
Indonesia, menurut Jokowi, berada tepat di tengah-tengah proses
perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun
geoekonomi. Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus
menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia, sebagai kekuatan
yang berada di antara dua samudra.
Secara geografis, Indonesia berada di antara dua samudra (Pasifik
dan Hindia). Negara kepulauan ini juga terletak di antara dua benua
(Asia dan Australia). Posisi silang ini sangat strategis, baik dilihat dari
politik dan ekonomi. Inilah mengapa Indonesia layak mengukuhkan
sebagai Poros Maritim Dunia.
1
bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama tersebut dilandasi oleh
kesepahaman bersama sehingga menghasilkan solusi yang saling
menguntungkan (win-win solution) di antara pihak yang terlibat.
Poros Maritim Dunia adalah suatu visi Indonesia untuk menjadi
sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat,
dan mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan
perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.
5 Pilar Utama
Menurut Presiden ke-7, agenda pembangunan untuk
mewujudkan Poros Maritim Dunia ini memiliki lima pilar utama.
Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai
negara yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus
menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya,
kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh
bagaimana kita mengelola samudra.
Kedua, menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan
fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan
industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar
utama. Kekayaan maritim ini akan digunakan sebesar-sebesarnya
untuk kepentingan rakyat.
Ketiga, memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur
dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport,
logistik, industri perkapalan, serta pariwisata bahari.
Keempat, melalui diplomasi maritim, Indonesia mengajak semua
mitra untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Secara bersama-sama
kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian
ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan
pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan kita
semua.
Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra,
Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan
1
tanggung jawab Indonesia dalam menjaga keselamatan pelayaran
dan keamanan maritim.
Cita-cita dan agenda di atas akan menjadi fokus Indonesia di
abad ke-21. Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia, kekuatan
yang mengarungi dua samudra, sebagai bangsa bahari yang sejahtera
dan berwibawa.
Lalu, bagaimana tata ruang laut dapat membantu menegakkan
lima pilar poros maritim dunia? Pertama, tata ruang laut
mengalokasikan ruang laut yang strategis untuk kepentingan sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Kedua, tata ruang laut dapat mensinergikan antara pemanfaatan
ekonomi dan perlindungan/konservasi sumber daya laut. Ketiga, tata
ruang laut menggerakkan investasi ekonomi dan menyambungkan
potensi antarwilayah dalam konektivitas ekonomi dan sumber daya
beserta infrastrukturnya.
Keempat, tata ruang laut di wilayah perbatasan memberikan
kekuatan diplomasi Negara untuk memperjuangkan kepentingan
nasional. Lainnya, tata ruang laut juga melindungi adat, budaya, serta
kearifan lokal di laut.
Bab II
Mengenal Potensi Laut,
Pesisir, dan Pulau-Pulau
Kecil dengan Berbagai
Permasalahannya
P
enggalan bait lagu yang dinyanyikan Koes Plus dengan sangat
apik dan populer di atas menggambarkan betapa potensi laut
Indonesia sangat beragam dan kaya raya. Laut Indonesia seluas
6.315.222 km2 dengan panjang pantai sekitar 99.093 km itu ditaburi
keanekaragaman jenis biota (biodiversity) sangat tinggi.
Begitu pula dengan keindahan panorama dasar laut. Himpunan
aneka jenis terumbu karang dengan ikan-ikan karang penuh warna
menjadi mozaik alam yang elok memikat. Kondisi ini menarik minat
para penyelam (diver) untuk menikmati keindahannya. Tentu saja
masih banyak potensi lainnya yang menghampar di laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
2
perairan Indonesia dengan berbagai masalah yang menyertainya.
Transportasi Laut
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.504
pulau membutuhkan transportasi laut sebagai sarana penghubung,
baik untuk melayani kebutuhan domestik maupun kegiatan ekspor-
impor barang. Praktis, jasa transportasi laut memiliki potensi yang
sangat tinggi.
Menurut Kadin (2015) dan berbagai sumber, besarnya potensi
transportasi laut di Indonesia sekitar Rp 240 triliun per tahun.
Lebih dari 45% total barang dan Potensi transportasi laut
komoditas perdagangan antar bangsa di di Indonesia mencapai
sekitar Rp 280 triliun.
dunia senilai sekitar US$ 1.500 triliun per Sayangnya, transportasi
tahun diangkut oleh kapal-kapal niaga laut tersebut masih
melalui Laut Indonesia terutama Selat didominasi armada asing,
baik untuk kegiatan
Malaka dan ketiga ALKI (Alur Laut Kepulauan ekspor-impor maupun
Indonesia). Ironisnya, potensi yang sangat domestik.
perusahaanmakmurabadi.com
2
lebih dari empat hari.
Selain itu, transportasi laut tersebut masih didominasi armada
asing. Untuk kegiatan ekspor-impor misalnya, armada asing ham-
pir menguasai sepenuhnya, yakni sekitar 95%. Armada dalam negeri
hanya kebagian 5%. Sementara itu, untuk melayani kebutuhan trans-
portasi di dalam negeri (domestik), armada asing pun cukup berjaya
dengan menguasai 45%.
Kapal-kapal tersebut mengangkut sekitar 5 juta peti kemas
per tahun untuk tujuan ekspor dan 177 juta ton angkutan barang
interinsuler. Bisa dibayangkan berapa devisa yang bisa diraih jika
kita mampu memanfaatkan potensi tersebut. Tidak mudah memang
mendayagunakan potensi tersebut. Namun dengan memahami
2
Industri Maritim
Saat ini, masih berada dalam tahap inisiasi untuk menggerakkan
dan menguasai transportasi laut. Akan tetapi, efek domino dari
menggeliatnya industri di sektor ini sudah mulai terasa. Industri
maritim nasional yang saat ini berjumlah sekitar 240 perusahaan
dapat tumbuh dan berkembang. Mereka terbukti mampu merancang
dan membangun kapal-kapal, baik kapal tanker, kapal kargo, kapal
kontainer, kapal penangkap/pengangkut ikan, maupun kapal
penumpang serta membangkitkan roda industri kecil dan menengah
yang menjadi pendukung dari industri perkapalan tersebut.
PT PAL Surabaya misalnya, memiliki kemampuan untuk membuat
kapal kontainer, kapal tanker, dan jenis kapal lainnya untuk melayani
2
Produksi kapal nasional cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Kementerian Perindustrian (2013) mencatat, pada tahun 2005
jumlah kapal berbendera Indonesia baru mencapai 6.000 unit. Angka
ini meningkat menjadi 11.500 unit pada tahun 2013.
Peningkatan jumlah kapal ini merupakan dampak dari Instruksi
Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 tentang pelaksanaan asas cabotage.
Asas ini merupakan kewajiban menggunakan bendera Indonesia bagi
kapal niaga yang beroperasi di perairan Indonesia guna memperkuat
armada perdagangan nasional.
Industri perkapalan dalam negeri memang menorehkan angka
ekspor yang lumayan tinggi. Pada tahun 2006 misalnya, kita mampu
mengekspor kapal senilai US$ 219,8 juta. Namun dibandingkan
dengan nilai impornya, kita mengeluarkan devisa jauh lebih besar,
yakni sekitar US$ 803,43 juta.
Kapasitas terpasang galangan kapal di Indonesia.
Fasilitas untuk
Fasilitas untuk reparasi
bangunan baru
Kapasitas
No. Kelas fasilitas Kapasitas terpasang
Jumlah Jumlah terpasang per
per tahun
(unit) (unit) tahun
(GT) (DWT) (GT) (DWT)
1 < 500 121 480.000 720.000 99 21.000 31.500
2 501 - 1.000 45 495.000 742.500 27 17.000 25.500
3 1.001 - 3.000 25 455.000 682.500 8 10.000 15.000
4 3.001 - 5.000 6 400.000 600.000 10 37.000 55.500
5 5.001 - 10.000 7 900.000 1.350.000 11 50.000 75.000
6 > 10.000 6 1.270.000 1.905.000 5 130.000 197.500
Jumlah 210 4.000.000 6.000.000 160 65.000 400.000
2
berbagai daerah juga belum seragam. Otonomi daerah yang tadinya
dimaksudkan dapat memberi kewenangan penuh bagi pemerintah
daerah untuk mengembangkan seluruh potensinya, kini malah
menciptakan aturan-aturan yang menyulitkan investor. Kondisi
ini diperparah dengan belum terciptanya sinergitas dan integrasi
antarsektor terkait dengan industri maritim.
Perikanan
Kita juga memiliki potensi perikanan yang tinggi namun Produk
Domestik Bruto (PDB) kelautan dan perikanan hanya 3,2%. Potensi
perikanan tangkap mencapai 7,3 juta ton/tahun tetapi belum mampu
menyejahterakan sebagian besar nelayan. Di samping itu kawasan
budidaya laut seluas sekitar 12,5 juta hektare yang baru dimanfaatkan
hanya sekitar 10%.
Tak hanya itu, saat ini terdapat sekitar 65.000 unit pengolahan
ikan. Sayangnya sebagian besar masih berskala kecil. Di sisi lain lebih
dari 40% industri pengalengan ikan tidak beroperasi. Industri yang
beroperasi di bawah kapasitas lantaran kekurangan bahan baku.
Kinerja produksi dan daya saing negara-negara kompetitor semakin
pesat. Sebaliknya, produksi dan daya saing nasional hampir tidak
bergerak.
Fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa sumber daya
perikanan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masyarakat
belum sejahtera.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2014) mencatat,
potensi lestari ikan di laut Nusantara mencapai 7,3 juta ton ikan/tahun.
Dari angka tersebut, yang telah dimanfaatkan lebih dari 6,3 juta ton
(KKP, 2014). Artinya, jumlah tangkapan telah melebihi angka yang
2
Di tingkat masyarakat, konsumsi ikan juga meningkat secara
signifikan. Kalau sebelumnya konsumsi ikan hanya 29,08 kg per kapita
per tahun pada tahun 2009, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi
37,89 kg per kapita per tahun (KKP, 2014). Fakta ini jelas memberi
peluang bagi penyediaan ikan konsumsi sekaligus berkembangnya
industri pengolahan ikan, khususnya di luar Pulau Jawa. KKP mencatat,
sampai tahun 2014 terdapat unit pengolahan ikan (UPI) sebanyak
60.163 unit yang sebagian besar masih terdapat di Pulau Jawa (26.805
unit).
Meskipun kaya potensi, namun sejumlah masalah masih
menghantui sektor perikanan. Berdasarkan kalkulasi SMERU (2002),
indeks kemiskinan (poverty headcount index) nelayan masih tinggi,
yakni mencapai 32%. Di samping itu, di beberapa perairan Indonesia
yang dikenal sebagai lumbung ikan juga kerap menjadi sasaran empuk
bagi penangkap ikan secara ilegal (illegal fishing).
Persoalan lain juga terjadi pada perairan dengan jumlah popu-
lasi nelayan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan Laut Jawa dan Selat
Malaka mengalami kelebihan tangkapan ikan (over fishing). Akibatnya,
nelayan-nelayan yang beroperasi di perairan tersebut tidak mampu
mendapatkan ikan secara optimal.
Di bagian lain, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil juga
mengalami kerusakan. Tempo hari di perairan Batam misalnya, akibat
pengerukan pasir laut untuk memenuhi kebutuhan material reklama-
si Singapura, terjadi abrasi di berbagai pantai. Kerusakan juga terjadi
pada ekosistem terumbu karang.
Begitu pula di pulau-pulau kecil. Penggunaan alat tangkap yang
tak ramah lingkungan seperti bom, racun, dan jaring pukat harimau
terbukti telah memerosotkan potensi ikan jauh di bawah potensi les-
Bioteknologi Kelautan
Bioteknologi kelautan di Indonesia bagai mutiara terpendam;
memiliki potensi tersembunyi yang siap menyejahterakan dan me-
makmurkan bangsa. PKSPL IPB mendata, potensi bioteknologi dari
laut Indonesia diperkirakan mencapai US$ 800 miliar per tahun.
2
9 persennya (sekitar US$ 6,75 – 15,5 miliar) berasal dari invertebrata
laut.
Mengembangkan industri bioteknologi kelautan tidaklah mu-
dah. Apalagi sejumlah persoalan masih merintangi pengembangan
industri tersebut. Sebut saja, masih terbatasnya informasi ilmiah
sebagai landasan pengelolaan sumber daya hayati perairan, kurangnya
pengetahuan ilmuwan kita tentang nilai dan manfaat ekosistem
pesisir dan laut yang komplek sehingga memerlukan kajian yang
mendalam, serta kurangnya intensitas pertukaran informasi antara
peneliti, stakeholder, dan pengambilan kebijakan. Masalah lain yang
perlu ditangani adalah konflik antara kepentingan konservasi dan
pemanfaatan.
Wisata Bahari
Indonesia memang dikaruniai keelokan pantai bernuansa iklim
tropis yang memukau dan menghangatkan. Didukung dengan kein-
dahan alam nan permai, pantai-pantai berpasir putih itu cocok untuk
berjemur, bermandikan sinar surya, dan berleha-leha bermanja ria.
Menyelam ke dasar laut, kita juga dibuat terpana dengan keelok-
an terumbu karang beserta keragaman hayatinya. KKP mencatat, laut
Indonesia seluas sekitar 6.315.222 km2 itu dihuni oleh sekitar 700 jenis
terumbu karang dan 263 jenis ikan hias.
Kondisi inilah yang menjadikan keelokan dasar laut Indonesia
sebagai salah satu panorama terindah di dunia. Tak salah jika Indonesia
menduduki peringkat ke-3 dunia untuk kategori Diver Destination of
The Year.
Bahkan World Tourism Organization atau WTO (2000) menem-
patkan enam lokasi ekosistem terumbu karang sebagai bagian dari 10
2
Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan
Pulau Weh (Nangroe Aceh Darus-
salam).
Di bagian lain, pantai dengan
gulungan ombak yang tinggi cocok
bagi peselancar menguji hormon
adrenalinnya. Kekayaan aneka
budaya lokal dan kesenian rakyat
ikut menambah daya tarik bagi
wisatawan. Apalagi biaya hidup
di Indonesia jauh lebih murah
ketimbang di negara-negara maju.
Singkat kata, kawasan pesisir
dan laut Indonesia merupakan tem-
pat ideal bagi pelancong. Indonesia
laksana surga dunia yang memiliki
jumlah objek wisata terbesar di se-
luruh penjuru dunia. Kadin (2015) mengklaim, potensi wisata bahari
yang tersebar dari Sabang hingga Merauke itu mencapai sekitar Rp 24
triliun per tahun.
Di balik gemerlapnya semesta laut tersebut, kita mulai dibuat
cemas dengan kondisi terkini. Pasalnya, kerusakan lingkungan pesisir
masih saja terjadi, baik karena ulah manusia, pencemaran, eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan, maupun bencana alam (abrasi,
tsunami, rob, dan lain-lain). Kita juga masih menghadapi sejumlah
persoalan ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan. Semua problem ini
ikut menghambat terciptanya kawasan wisata yang mendunia.
Foto: Slamet W.
2
Di beberapa lokasi perairan laut lainnya, juga tersimpan cadang-
an hidrothermal dengan lubang black smoker dan white smoker. Ber-
dasarkan survei awal, cebakan-cebakan tersebut ternyata mengan-
dung ikatan sulfur dan mineral emas. Lokasi deposit itu berada di per-
airan Riau, Sulawesi Utara, Teluk Tomini, Selat Sunda, Wetar (gunung
api bawah laut Komba, Abang Komba, dan Ibu Komba), Laut Banda,
Laut Selat Lombok, Pulau Damar dan Misool, Sula, Halmahera, Flores
Utara, Mahengentang, serta Kawio.
Sayangnya, berbagai potensi tersebut masih belum dimanfaat-
kan. Beberapa kendalanya adalah sering berubahnya kebijakan dan
minimnya dukungan pendanaan. Akibatnya, kegiatan survei kelautan
tersendat sehingga hasil penelitian tidak fokus dan tidak optimal.
Kondisi ini diperparah dengan belum adanya regulasi yang
mengatur kegiatan riset kelautan dan kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam dasar laut. Persoalan lainnya, biaya pengolahan dan analisis
data tidak sebanding dengan biaya survei sehingga tidak pernah
mencapai konklusi yang diharapkan.
Di samping itu, koordinasi antarinstitusi kebumian dan kelautan
dalam perancangan kegiatan yang terprogram, terarah, dan terinte-
grasi, juga belum berjalan dengan baik. Jika saja kita mampu meng-
atasi berbagai kendala tersebut, niscaya potensi mineral dasar laut
yang menghampar tersebut dapat segera dinikmati masyarakat luas
demi kemakmuran bangsa.
2
pada tahun 2020 diperkirakan mencapai taksiran antara 10,7 hingga
12 TCF.
Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang eksplorasi masih ter-
buka lebar. Apalagi ada 22 cekungan yang belum pernah dieksplorasi.
Potensi tersebut sebagian besar berada di laut dalam (deep sea), ter-
utama di kawasan timur Indonesia. Lokasi-lokasi tersebut meliputi ka-
wasan lepas pantai (offshore) di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua.
Dilihat dari rasio penemuan cadangan, Indonesia tergolong lebih
baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara, yakni mencapai
sekitar 30 persen. Sementara itu, faktor keberhasilan (success ratio)
dari kegiatan eksplorasi mencapai 38 persen. Begitu juga ditinjau
dari sisi biaya penemuan (finding cost) di kawasan offshore. Terbukti
lebih murah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Inilah
peluang besar dalam eksplorasi Migas di masa depan.
Industri Garam
Kita pernah dibuat terperangah saat Indonesia mengimpor
garam industri hingga 2,25 juta ton per tahun. Bukankah kita memiliki
pantai terpanjang ketiga di dunia? Bukankah kita juga dikaruniai
musim kemarau selama enam bulan sehingga energi matahari cukup
berlimpah untuk menguapkan air laut dan mengkristalkan garam?
Jika melihat potensi tersebut rasanya mustahil kita impor garam.
Kita harus bangkit dan mandiri dalam menyediakan kebutuhan
garam, baik untuk keperluan rumah tangga maupun berbagai
industri (pangan, tekstil, kulit, chlor alkali plan atau CAP, serta farmasi).
Berdasarkan kalkulasi KKP, tahun 2014 Indonesia membutuhkan
garam konsumsi 1.483.115 ton dengan perincian untuk rumah tangga
2
Kemandirian garam tampaknya bukan hal sulit jika kita melihat
potensi yang dimiliki Indonesia. KKP mencatat, potensi lahan garam
di seantero Nusantara seluas 37 ribu ha. Lahan-lahan pembuat garam
tersebut tersebar di 9 provinsi, yakni Daerah Istimewa Aceh, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara. Dari luas areal tersebut, yang dimanfaatkan untuk
memproduksi garam baru setengahnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kita masih mengimpor garam
dalam jumlah yang cukup besar? Berdasarkan kajian, hal itu disebab-
kan produktivitas dan kualitas produksi garam masih rendah, harga
garam di tingkat petani juga rendah, dan produksi garam beryodium
yang memenuhi persyaratan masih di bawah 90%.
2
Dari sisi peraturan dan kelembagaan juga perlu dibenahi. Sebab,
selama ini aturan pengelolaan industri garam belum berjalan dengan
baik dan konsisten. Begitu pula dengan kelembagaan dan rantai
perdagangan garam masih bersifat monopoli dan tidak transparan
sehingga posisi tawar petani garam rendah. Di lain pihak, kualias SDM
yang bergerak di industri garam masih lemah, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Bangunan Laut
Potensi bangunan laut yang terdiri dari anjungan minyak lepas
pantai (oil rig), kabel dan pipa bawah laut, serta pelabuhan perikanan
juga tak boleh diremehkan. Saat ini ada sekitar 450 anjungan lepas
pantai untuk menunjang aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber
Migas. Dalam membangun anjungan, kabel dan pipa bawah laut jelas
membutuhkan jasa para profesional.
Begitu pula untuk mendukung pengembangan usaha per-
ikanan, hingga tahun 2014 pemerintah telah membangun 968 unit
pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia. Aktivitas ini jelas membu-
tuhkan jasa profesional yang berkualitas dan trampil.
Sayangnya, kegiatan tersebut tidak dibarengi dengan kualitas
SDM yang memadai. Dengan demikian, sampai sejauh ini belum ada
kontribusi jasa atas pemasangan kabel dan pipa bawah laut. Hal ini
juga terkait dengan belum tersusunnya pedoman teknik penataan
bangunan laut. Kita juga perlu mengkaji dan menginventarisasi nasib
anjungan lepas pantai yang sudah tidak dioperasikan lagi. Padahal,
bangunan bekas pakai ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk bidang
kelautan, perikanan, dan wisata bahari.
Menyangkut pemanfaatan pelabuhan perikanan yang telah
Jasa Kelautan
Indonesia juga memiliki potensi jasa kelautan yang menarik. Di
2
antaranya benda muatan dari kapal tenggelam (BMKT) dan air laut
dalam (deep ocean water atau DOW). Berdasarkan catatan Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (2004), ada sekitar 463 lokasi kapal tenggelam
di seluruh perairan Indonesia. Sebanyak 245 kapal di antaranya milik
perusahaan dagang Belanda, VOC.
Potensi tersebut sebagian besar masih teronggok di dasar laut
bersama karamnya kapal. Tak mudah memanfaatkan peninggalan
benda-benda bersejarah tersebut. Pasalnya, selama ini belum ada
pemahaman harmonisasi dan sinkronisasi dari berbagai peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT.
Selain itu, lemahnya pemanfaatan BMKT juga terletak pada be-
lum adanya payung hukum yang secara kuat mengatur tentang pe-
ngelolaan BMKT. Persoalan lainnya, perawatan pascapengangkatan
BMKT belum sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologis. Gudang-gu-
dang penyimpanan juga belum dirancang untuk memenuhi kaidah
tersebut.
Dalam hal DOW, Indonesia juga punya potensi tinggi karena
dilalui aliran arus lintas Indonesia (Arlindo). Secara topografi, kita juga
memiliki banyak pantai yang curam dengan kedalaman lebih dari
600 meter. Lokasi yang berpotensi memiliki DOW ini berada di Laut
Sulawesi, Selat Makassar, Selat Lombok, Lautan Hindia, Laut Flores,
Selat Ombay, Laut Banda, perairan utara Papua, dan Laut Maluku.
Studi kelayakan potensi DOW sudah dilakukan di beberapa
perairan. Di antaranya Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Gondol dan Jula
(Bali), Bima dan Dompu (NTB), Kupang (NTT), serta Makassar.
Hingga kini, DOW belum dikembangkan dalam skala ekonomi
secara intensif. Hal ini disebabkan industri tersebut membutuhkan
modal besar. Selain itu, pasar DOW (berupa industri air kemasan,
2
Reklamasi Wilayah Pesisir
Disadari atau tidak, populasi manusia dunia terus bertambah, tak
terkecuali Indonesia. Pada tahun 2015 jumlah penduduk kita sekitar
250 juta jiwa. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk sekitar 2,5
persen per tahun, maka pada 2025 populasi penduduk Indonesia
diperkirakan bertambah menjadi sekitar 300 juta jiwa.
Kian berjubelnya populasi manusia membuat daratan kian sesak.
Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan penduduk
baik berupa pangan, sandang, papan, maupun barang dan jasa inferior
(luks).
Kondisi ini menuntut pengembangan sarana dan prasarana
baru seperti transportasi, kawasan perindustrian, permukiman, dan
lain sebagainya. Hal ini tentu saja membutuhkan lahan. Tak mudah
menyediakan lahan baru untuk menampung semua kebutuhan sarana
dan prasarana tersebut.
Konsekuensinya, konversi kawasan hutan dan sawah akan men-
jadi sasaran utama bagi penyediaan lahan tersebut. Kawasan hutan
pun bakal terus dirambah dan dikonversi menjadi lahan produktif baik
untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi permukiman, industri, dan
lain-lain. Kecenderungan ini telah terjadi.
Merambah kawasan hutan untuk dikonversi menjadi lahan
produktif jelas bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Selain
mengurangi daerah resapan air hujan dan menganggu siklus hidro-
logi, penggundulan hutan berdampak pada bencana banjir dan long-
sor. Keragaman jenis hayati di kawasan hutan juga akan punah.
Tak hanya itu, hutan juga berfungsi sebagai penyerap
karbondioksida (CO2) dan penyuplai oksigen. Ketika hutan ditebang,
emisi CO2 semakin tinggi. Padahal CO2 merupakan salah satu gas
2
Kementerian Pertanian memprediksi, jika kita tak mampu
membendung laju konversi lahan sawah maka luas lahan baku sawah
yang tersedia tinggal sekitar 3 juta ha pada tahun 2025. Padahal
kebutuhan lahan sawah pada 2025 idealnya meningkat menjadi
sekitar 16 juta hektare.
Kondisi ini jelas mengancam kemandirian pangan di masa de-
pan. Populasi penduduk yang senantiasa bertambah membutuhkan
pangan yang meningkat pula. Praktis, lahan pertanian yang dibutuh-
kan juga meningkat, bukan malah menyusut.
Lalu, bagaimana strategi mengamankan lahan subur pertanian
dan mencegah berkurangnya kawasan hutan? Salah satunya adalah
dengan membuka lahan baru di perairan pesisir dengan reklamasi.
Lahan hasil reklamasi itulah yang nantinya dipakai untuk pelabuhan,
bandara, ruang publik, jalan tol di atas laut (elevated), dan pemukiman
nelayan.
Lihat saja pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek yang
membelah lahan sawah yang subur dan beririgasi teknis. Tak lama
setelah jalan tol tersebut beroperasi, kawasan permukiman, industri,
hotel, mall, dan perkantoran menjamur di sepanjang jalan tol
tersebut. Lahan sawah yang tadinya subur harus dikorbankan untuk
kepentingan tersebut.
Jadi, bisa dibayangkan kalau nantinya sepanjang Pulau Jawa
dibangun jalan tol yang membelah kawasan pertanian. Praktis,
ratusan ribu hektare sawah akan hilang bukan saja digunakan untuk
jalan tol tetapi juga permukiman dan industri baru.
Kondisi ini dapat diatasi dengan memperbaiki dan menata
daerah pesisir sehingga di satu sisi lahan sawah yang sudah ada
dapat dipertahankan. Di sisi lain kebutuhan lahan untuk transportasi
edgehi.com
Hasil reklamasi di Dubai.
terpenuhi. Reklamasi wilayah pesisir dapat menjadi salah satu solusi
dalam menghadapi persoalan keterbatasan lahan di masa depan.
Tentu tidak semua pesisir layak direklamasi. Apalagi saat rekla-
masi dikerjakan, kualitas air tampak keruh, terjadi pendangkalan di
muara sungai, dan kerusakan ekosistem (mangrove dan produktivitas
perairan, pola migrasi biota, komunitas bentik, terumbu karang, dan
lamun). Setelah reklamasi selesai pun dapat menimbulkan banjir di
daerah sekitarnya, perubahan pola arus dan gelombang, erosi pantai
dan sedimentasi di perairan pantai, amblesan tanah apabila meman-
faatkan air tanah sebagai bahan baku air bersih, dan lain sebagainya.
Karena itulah, reklamasi harus dilakukan dengan memperhatikan fak-
tor daya dukung lingkungan, serta memperhatikan aspek sosial bu-
daya masyarakat sehingga dampak negatif dari kegiatan reklamasi
dapat diminimalkan. Di samping itu, reklamasi juga harus memperha-
tikan tata ruang laut/rencana zonasi yang tepat untuk lokasi reklamasi
serta menjaga penghidupan dan kehidupan nelayan. Intinya bahwa
reklamasi harus memberikan manfaat baik dari segi lingkungan, eko-
nomi, dan sosial.
Illegal Fishing
Indonesia adalah surga bagi berbagai kegiatan tindakan ilegal
penangkapan ikan di laut (illegal fishing) seperti pencurian ikan,
bongkar-muat ikan di laut (transhipment), dan pemalsuan dokumen
kapal. Kehilangan devisa atas tindakan tersebut sangat besar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkap-
kan, kerugian negara dari illegal fishing setiap tahun tersebut sangat
besar. Setiap hari, sekitar 7.000 kapal penangkap ikan beroperasi
secara ilegal. Sebanyak sekitar 1,5 juta ton ikan berhasil dijarah. Ini
merupakan jumlah kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi
fenomena merugikan negara ini terjadi sejak puluhan tahun silam.
2
asing (Vietnam, Thailand, Cina,
Taiwan, dan lain-lain). Mereka tak
mengantongi izin untuk melaku-
kan kegiatan penangkapan ikan
di laut Indonesia.
Modus lainnya, bongkar-
muat ikan di tengah laut. Melalui
citra satelit, kita dapat mengamati
satu unit kapal berukuran sangat
besar dikerubuti beberapa kapal
kecil. Kapal-kapal kecil inilah yang
membongkar muatan ikan hasil
tangkapannya untuk dipindahkan
ke kapal besar tadi.
Di samping itu, banyak juga kapal yang menggunakan alat
tangkap yang dilarang pemerintah seperti pukat harimau. Alat
tangkap ini dikenal tidak ramah lingkungan karena selain merusak
terumbu karang, juga menjaring ikan-ikan nontarget.
Selain itu, para penjarah juga menggunakan teknologi yang lebih
canggih dan terkoordinasi secara baik. Sebaliknya, kemampuan pe-
ngawasan sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP) di Indonesia
masih sangat lemah, baik dari segi teknologi, armada, maupun sum-
ber daya manusia.
Secara geografis, perairan Indonesia sangat terbuka dan ber-
batasan dengan perairan internasional. Sayangnya, kondisi tersebut
belum diimbangi dengan jumlah kapal inspeksi yang memadai, baik
jumlah maupun kualitasnya.
Idealnya, kita membutuhkan sekitar 110 kapal inspeksi untuk
qz.com
2
sebanding dengan potensi sumber daya ikan. Eksploitasi ikan yang
berlebihan inilah yang mengakibatkan Laut Jawa miskin ikan.
Tak hanya itu, tingginya aktivitas industri di darat juga mengim-
bas pada laut. Minimnya kesadaran pemilik industri untuk mengolah
limbah sebelum dibuang ke sungai, mengakibatkan laut ikut tercemar
oleh berbagai polutan. Ikan, udang, terumbu karang, mangrove, estu-
aria, padang lamun (sea grass), dan berbagai biota laut lainnya pun tak
kuasa menghadapi pencemaran perairan. Keragaman hayati di laut
pun menyusut (biodiversity loss) karenanya.
Kondisi ini diperparah dengan belum adanya kesadaran
masyarakat dalam menangani sampah domestik. Sungai masih
dipandang sebagai keranjang sampah. Setiap hari, secara leluasa
mereka membuang sampah padat dan cair ke sungai-sungai.
Kawasan hijau bervegetasi yang mestinya menghiasi sepanjang
sungai juga sudah mulai langka dan tinggal secuil. Di kota-kota besar
seperti Jakarta misalnya, di sepanjang kawasan sempadan Sungai
Ciliwung telah menjadi hunian-hunian liar. Sungai menjadi sasaran
untuk membuang aneka jenis sampah. Akibatnya, muara sungai
dangkal dan laut pun menjadi kotor. Menurut penelitian PKSPL IPB
dan Bapedalda DKI selama 1996 – 1998, sekitar 85 persen total limbah
yang mengakibatkan pencemaran Teluk Jakarta berasal dari daratan
melalui aliran permukaan (run off) dari 13 aliran sungai yang bermuara
di teluk ini.
Perilaku membuang sampah ke aliran sungai juga kerap menjadi
pemicu bencana. Muhari (2014) melalui riset yang dilakukan oleh
Bricker dkk (2014) menyimpulkan bahwa banjir besar akibat luapan
air sungai Ciliwung di kawasan Latuharhary, Jakarta pada tahun 2013
lalu disebabkan oleh sampah. Sampah yang menumpuk pada 3 dari 4
2
termasuk istana Presiden Republik Indonesia.
Menilik kondisi di kawasan hulu, kerusakan lingkungan malah
lebih parah lagi. Vegetasi yang tadinya rimbun menghijau terus
ditebang dan dikonversi menjadi kawasan nonhutan seperti sawah,
kebun, permukiman, jalan, dan lain-lain. Tanah pun menjadi terbuka,
tanpa pelindung vegetasi. Untuk wilayah Jabodetabek misalnya, 11%
hutan alami telah hilang dalam sepuluh tahun (dari 103,417 Ha pada
tahun 2000 menjadi 92,079 di tahun 2010). Tak hanya itu, luas sawah
secara keseluruhan menyusut 26% dari 58,771 Ha tahun 2000 menjadi
43,527 di tahun 2010. Sebaliknya, luas kawasan perumahan meningkat
42% dari 161,728 Ha tahun 2000 menjadi 229,883 pada tahun 2010
dan ruang terbuka hijau secara umum menyusut ~50% (data Tim Studi
Banjir Jakarta, 2010). Ketika diguyur hujan, lapisan atas tanah (top soil)
itu tergerus. Material ini lalu memenuhi badan sungai hingga akhirnya
menuju ke laut.
Yang lebih memilukan lagi adalah penambangan karang di
laut. Berbagai alasan dikemukan warga atas tindakan yang sangat
berdampak negatif terhadap ekosistem terumbu karang. Ada
yang memanfaatkan karang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
bahan bangunan rumah. Sebagian lain menggunakannya untuk
cinderamata.
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sangat tergantung pada
sumber daya perikanan. Namun di sisi lain hasil tangkapan mereka
cenderung menurun. Bisa dimaklumi karena sumber daya ikan
mengalami tekanan dari berbagai penjuru.
Lihat saja faktanya. Usaha penangkapan ikan semakin bertambah.
Seiring dengan itu, habitatnya malah mengalami degradasi dari waktu
ke waktu. Ironis memang, overfishing (penangkapan ikan secara
2
4. Periode pertama matang gonad semakin cepat.
5. Fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh
dari daratan atau semakin dalam ke dasar laut.
Overfishing mengakibatkan volume tangkapan ikan semakin
sedikit, ukuran ikan yang tertangkap kian kecil, dan areal penangkapan
semakin jauh dari pantai sehingga waktu operasional nelayan kian
lama. Ada beberapa faktor yang menyebabkan overfishing:
1. Kemajuan teknologi penangkapan ikan yang mempermudah
nelayan beroperasi dalam skala besar.
2. Terlalu banyak armada penangkapan yang beroperasi di laut.
3. Banyak ikan ditangkap, bahkan sebelum ia tumbuh besar.
4. Ikan dewasa tertangkap dalam jumlah besar sehingga
reproduksi terganggu.
5. Penangkapan secara berlebihan sebagai akibat dari adanya
anggapan ikan merupakan sumber daya alam milik bersama.
6. Kurangnya penegakan hukum dalam bidang perikanan, yang
memungkinkan kapal asing masuk dan menangkap ikan secara
berlebihan (illegal fishing).
7. Nelayan tidak mematuhi hukum dan perjanjian laut.
8. Penangkapan ikan junville dan spesies lain secara besar-
besaran.
9. Destructive fishing (penangkapan ikan yang merusak).
10. Kurangnya konservasi perikanan dan manajemen pengelolaan
perikanan.
2
Jenis overfishing rekrutmen terjadi ketika kegiatan penangkapan
menyebabkan stok ikan kekurangan induk. Oleh karena itu, perlu
proteksi terhadap induk agar proses regenerasi tidak terganggu.
3. Biological overfishing
Jenis overfishing biologi merupakan kombinasi antara growth
overfishing dan recruitment overfishing. Biological overfishing terjadi
ketika tingkat penangkapan ikan telah melampaui batas yang
diperlukan untuk menghasilkan MSY (maximum sustainable yields).
4. Economic overfishing
Jenis overfishing ekonomi terjadi ketika tingkat upaya
penangkapan telah melampaui batas yang diperlukan untuk meng
hasilkan MEY (maximum economic yields). Seperti diketahui MEY dapat
mendatangkan keuntungan optimal. Nilai MEY lebih kecil daripada
MSY. Tingkat produksi MEY lebih kecil daripada MSY, namun tingkat
keuntungan MEY justru lebih besar daripada MSY. Hal ini menunjukkan,
MEY merupakan tingkat penangkapan paling efisien.
5. Ecosystem overfishing
Jenis overfishing ekosistem terjadi ketika kegiatan penangkapan
telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem, dimana terdapat
jenis ikan tertentu menghilang atau langka. Biasanya ecosystem
overfishing mengakibatkan transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi
berukuran besar menjadi ikan berukuran kecil bernilai ekonomi
rendah. Bahkan menjadi ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata
nonkomersial seperti ubur-ubur.
6. Malthusian overfishing
Jenis overfishing ini terjadi ketika tenaga kerja dalam jumlah besar
tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based activities)
beralih ke perikanan pantai. Akibatnya, kompetisi dengan nelayan
2
Pemanfaatan berbagai potensi sumber daya laut dan pesisir yang
diuraikan di atas memunculkan konflik antar pengguna jasa sumber
daya laut dan pesisir. Bahkan dari tahun ke tahun konflik perebutan
sumber daya alam tersebut cenderung meningkat.
Setiap pihak memiliki cara pandang tersendiri dalam
mengeksploitasi potensi tersebut. Bahkan setiap instansi pun me-
nyusun perencanaan sendiri sesuai kebijakan dan fungsi sektoralnya
tanpa mempertimbangkan tata ruang laut.
Perbedaaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut akhirnya
menimbulkan konflik dalam pemanfaatan potensi sumber daya
laut dan pesisir. Maklum, setiap sektor saling tumpang tindih dan
berkompetisi dalam memanfaatkan potensi sumber daya laut dan
pesisir pada ruang yang sama.
Konflik pemanfaatan ruang laut terus bermunculan silih berganti.
Di Delta Mahakam, Kalimantan Timur misalnya, terjadi konflik yang
kompleks. Pasalnya, konversi mangrove menjadi tambak secara
besar-besaran memunculkan konflik antara pelaku usaha perikanan
budidaya tambak dan perikanan tangkap tradisional. Di samping itu,
konflik serupa juga terjadi antara pelaku perikanan budidaya tambak
dan industri Migas.
Kasus serupa juga terjadi di Pulau Batam. Penambangan pasir laut
yang sangat intensif mengakibatkan pelaku usaha pariwisata bahari
memprotes kegiatan tersebut. Sebab, penambangan pasir laut terse-
but membuat kawasan laut yang tadinya ber-sih menjadi keruh. Para
penikmati dasar laut sangat kecewa lantaran tak dapat menikmati
keelokan aneka jenis terumbu karang dan biota laut lainnya.
Di berbagai media massa, kita kerap mendengar konflik
komunitas pertambangan dengan pegiat konservasi lingkungan.
2
keelokan alam laut menjadi pudar lantaran gencarnya penambangan
pasir laut dan terumbu karang.
Masyarakat pembudidaya rumput laut dan pengguna pelayaran
juga sering beradu argumentasi. Begitu pula antara mereka yang
bergerak di budidaya ikan dan kalangan industri, diwarnai konflik pe-
manfaatan ruang. Para pembudidaya menuduh industri membuang
limbah seenaknya sehingga mencemari tambak-tambak.
Saat wilayah pesisir direklamasi, nelayan juga kerap berkonflik.
Hal serupa juga kerap terjadi antara nelayan modern dan nelayan
tradisional yang berebut ruang laut. Pegiat konservasi juga sering
berhadapan dengan pihak industri. Konflik serupa juga terjadi pada
perikanan tangkap dan pelayaran, serta pertambangan dengan
perikanan tangkap.
Secara vertikal, laut juga berpotensi menimbulkan konflik. Pada
bagian permukaan laut misalnya, dimanfaatkan untuk pelayaran.
Sementara itu, kolom di bawahnya diperuntukkan sebagai lokasi
penangkapan ikan dan budidaya perikanan. Sedangakan di dasar
lautnya dimanfaatkan sebagai wisata bahari karena memiliki
keelokan terumbu karang dengan beragam jenis ikan hias yang
penuh pesona. Pola pemanfaatan dalam ruang laut yang sama inilah
yang memicu konflik antara pelaku pelayaran, nelayan, pembudidaya
ikan, dan pengusaha wisata bahari.
2
dihancurkan?
Ingat bahwa sekali terumbu karang hancur, tak mudah untuk
memulihkan kembali. Bahkan untuk jenis terumbu karang tertentu
dibutuhkan waktu hingga ratusan tahun lagi untuk mengembalikan
ke kondisi semula.
Kondisi terumbu karang ini berbanding lurus dengan biota laut
lainnya. Kian subur terumbu karang di kawasan laut maka gerombolan
aneka jenis ikan semakin mudah dijumpai. Sebaliknya, ketika terumbu
karang hancur, ikan pun menjauh. Praktis, nelayan pun harus gigit jari.
Mereka harus berlayar lebih jauh lagi untuk berburu ikan. Kegiatan
penangkapan ikan tak mudah dilakukan secara efisien dan efektif.
Fenomena serupa juga terjadi pada hutan mangrove. Secara
nasional luas mangrove senantiasa menyusut dari waktu ke waktu.
Di Pantura Jawa misalnya, dari total estimasi 10.988,53 Ha lahan
mangrove yang menbentang dari Provinsi Banten sampai Jawa Timur,
85,4% di antaranya atau sekitar 9.393 Ha berada dalam kondisi rusak
yang menjadi salah satu pemicu rusak dan tererosinya kawasan pantai
utara Jawa. Sampai tahun 2014, tercatat 745,41 km garis pantai yang
mengalami kerusakan dengan total luas lahan yang tererosi mencapai
12. 878,53 Ha. Kerusakan lahan mangrove pada umumnya disebabkan
oleh penebangan lalu lahannya digunakan untuk tambak udang,
pelabuhan, industri, dan lain-lain.
Memang pada tahun pertama dan kedua sejak tambak dibuka,
mereka tampak sumringah karena mampu memanen udang dalam
jumlah tinggi. Namun setelah itu, bencana pun menimpa mereka.
Aneka penyakit udang tak mampu dikendalikan. Mereka pun gagal
panen dan mengalami kerugian besar. Kini, banyak tambak yang
terbengkalai tak terurus dan ditinggalkan pemiliknya begitu saja.
2
(terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lain-lain) menjadi
industri, pemukiman, pelabuhan, dan tambak juga semakin masif
terjadi. Kondisi ini diperparah dengan kian intensif dan masifnya
pencemaran laut.
Berbagai kondisi inilah yang membuat kita pesimis. Apalagi
melihat ancaman pemanasan global dengan berbagai dampaknya
seperti banjir, rob, meningkatnya permukaan air laut, dan bencana
lingkungan lainnya. Bencana alam ini menambah beban ancaman
semakin berat. Apalagi di beberapa kawasan pesisir seperti sepanjang
pantai barat Pulau Sumatra, selatan Jawa hingga Nusa Tenggara,
Maluku, hingga Papua merupakan daerah rawan tsunami yang setiap
saat dapat memporakporandakan kawasan pesisir tersebut. Masih
lekat dalam ingatan kita ketika tsunami menerjang kawasan pesisir di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004.
Untuk lebih memahami lebih jauh mengenai jenis tekanan (ke-
rusakan terumbu karang dan mangrove, pencemaran) dan ancaman
(seperti erosi pantai, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, ban-
jir, rob, dan perubahan iklim), berikut ini diuraikan secara singkat kon-
disi terkini.
2
bu karang mempunyai fungsi
ekonomi antara lain penunjang
kehidupan laut yang kaya, tem-
pat penangkapan berbagai jenis
biota laut konsumsi dan berbagai
jenis ikan hias, penyedia makanan
dan tempat mencari makan ber-
bagai biota laut. Di samping itu
mempunyai fungsi sebagai pe-
lindung pantai dan mempunyai
potensi untuk pariwisata.
Rencana tata ruang laut dapat melindungi kawasan ekosistem terumbu karang.
2
melindungi pantai dari hempasan badai dan angin.
Kedua, mangrove juga berfungsi meredam pasang laut dan rob
(lihat Gambar). Dari gambar tersebut terlihat bahwa kedalaman air laut
di depan mangrove lebih besar daripada di belakang mangrove. Sebab,
perakaran mangrove mampu mengurangi energi arus atau aliran
pasang surut melalui mekanisme peningkatan koefisien gesekan.
subandono.diposaptono@yahoo.com
(a) (b)
2
(c) (d)
(e) (f)
Berbagai jenis fauna yang hidup di daerah ekosistem mangrove: (a) bangau
hitam, (b) kepiting bakau, (c) ikan belanak (Genus Periophthalmus), (d)
Gastropoda, (e) buaya muara (Crocodilus porosus), dan (f) biawak (Varanus
salvator).
2
nakan sebagai pengolah limbah cair. Selama penelitian di Hongkong,
di 18 lahan mangrove, peningkatan konsentrasi nutrient dan logam
berat ditemukan di tanah, hal ini menunjukkan bahwa mangrove da-
pat berperan sebagai ”perangkap potensial” polutan dari limbah an-
tropogenik.
Sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau te-
lah diujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk meng-
olah limbah. Hasil dari studi lapangan di Pelestarian Sumberdaya Alam
Nasional Futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi
polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya keru-
sakan pada tanaman mangrove, invertebrata bentik, atau spesies al-
gae.
Melalui sistem tersebut, limbah cair dapat diolah setiap hari.
Mekanisme pengendalian pencemaran itu terjadi melalui proses-
proses absorbsi, filtrasi, biodegradasi, presipitasi, sedimentasi,
penyerapan oleh tanaman, dan evaporasi (penguapan).
Kedelapan, pemanfaatan mangrove sebagai bahan makanan
sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Sayangnya, kebiasaan
tersebut belakangan ini sudah banyak dilupakan. Hanya beberapa
daerah saja yang masih melakukannya.
Belum lama ini, KKP bersama LPP Mangrove misalnya, berhasil
memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku
beragam makanan kecil, sirup, dan urap yang lezat, penuh gizi.
Anda tentu penasaran kalau belum menyoba aneka kelepon,
onde-onde, putri ayu, lumpia, resoles, donat, bolu, pudding, nastar,
kastengel, permen, coklat, dodol, manisan, selai roti, sirup, kolak,
bubur, kerupuk, dan pangsit yang terbuat dari buah mangrove. Lidah
2
senyawa terpenting dan bermanfaat bagi tubuh manusia misalnya,
monosakarida terutama glukosa, galaktosa, dan fruktosa.
subandono.diposaptono@yahoo.com
Aneka kue ringan, sirup, dan permen coklat yang lezat dan penuh gizi ini dibuat
dari buah mangrove (Diolah dari foto DKP dan LPP Mangrove).
2
buah maupun daun mangrove.
Pencemaran
Laut Indonesia juga mengalami tekanan pencemaran yang se-
rius, baik dari darat maupun laut. Pencemaran dari darat bersumber
pada limbah pabrik dan rumah tangga, kegiatan pertanian, pestisida,
dan lain-lain. Limbah tersebut dibuang melalui sungai sehingga me-
ngotori lingkungan laut.
Mukhtasor (2007) mencontohkan kondisi industri di Surabaya
yang berpotensi menimbulkan pencemaran laut. Dari 1.563 industri
ternyata baru 87 perusahaan (sekitar 5 persen) yang memiliki instalasi
pengolahan air limbah (IPAL).
Semakin banyak kegiatan manusia di darat dan di laut, kian
tinggi tingkat pencemaran yang terjadi di laut. Fakta menunjukkan
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatra
Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung, dan
Sulawesi Selatan tergolong memiliki tingkat pencemaran yang tinggi.
Sedangkan kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang
meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatra
Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat,
Bali, dan Maluku. Sementara itu, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur tergolong rendah
tingkat pencemaran lautnya.
Pencemaran dari laut biasanya berupa tumpahan minyak, buang-
an air balas, penambangan pasir laut, eksplorasi dan produksi minyak
di laut, tailing, limbah perikanan, dan lain sebagainya. Pencemaran aki-
bat tumpahan minyak juga kerap terjadi di Selat Malaka, Selat Makas-
sar, kawasan pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh
2
100-150 tanker domestik yang membawa minyak mentah dan produk
minyak dibawa melalui Selat Makasar. Kondisi ini mengandung risiko
tercemarnya laut, baik berupa buangan air balas maupun tumpahan
minyak akibat kecelakaan kapal di laut. Berdasarkan catatan, selama
tahun 1975-2001 terdapat sekitar 20 kasus tumpahan minyak besar
yang terjadi di perairan Indonesia.
m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband
ya hoo.com
ptono@
on o.diposa
suband
2
Erosi pantai dan sedimentasi akibat reklamasi yang menjorok ke laut.
m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband
2
2 (Manado).
subandono.diposaptono@yahoo.com
2
Apabila dasar perairan digali untuk penambangan karang atau pasir
maka energi gelombang yang menghantam pantai akan lebih besar
sehingga mekanisme peredaman energi gelombang oleh dasar
perairan berkurang. Dengan demikian erosi pantai atau penggerusan
meningkat intensitasnya.
subandono.diposaptono@yahoo.com
subandono.diposaptono@yahoo.com
Erosi pantai karena lereng pantai menjadi terjal akibat penambangan pasir laut.
m
yahoo.co
saptono@
ono.dipo
suband
Erosi pantai akibat sedimen yang dibawa arus sejajar pantai terperangkap di
kawah/lubang galian pasir di laut.
yahoo.com
ptono@
ono.diposa
suband
subandono.diposaptono@yahoo.com
2
besar erosi yang akan terjadi. Lebih lanjut, semakin panjang bangunan
pantai yang menjorok ke laut semakin besar erosi yang terjadi.
Sementara itu, terkait dengan penggalian pasir laut, semakin dekat
lokasi penggalian pasir dari pantai semakin besar erosi yang akan
terjadi.
2
hilir jetty.
Masalah serupa juga terjadi dengan adanya tembok laut (sea
wall) yang dibuat pada garis pantai sebagai pembatas antara daratan
di satu sisi dan dan perairan di sisi yang lain. Fungsinya adalah untuk
melindungi garis pantai dari serangan gelombang serta untuk
menahan tanah di belakang tembok laut tersebut.
Dengan adanya tembok laut diharapkan proses erosi pantai
dapat dihentikan. Karena struktur tembok laut berupa bangunan
yang masif, maka refleksi yang ditimbulkan oleh bangunan tersebut
justru meningkatkan tinggi gelombang bahkan dapat mencapai dua
kali tinggi gelombang datang dan dapat terjadi gelombang tegak
(standing wave/clapotis). Akibatnya, di depan struktur tersebut justru
terjadi gerusan yang kadang dapat membahayakan struktur itu
sendiri.
Penanganan lainnya adalah dengan membangun breakwater.
Struktur yang berupa bangunan lepas pantai yang dibangun
sejajar dengan garis pantai ini dimaksudkan untuk menahan energi
gelombang yang menghempas pantai.
Daerah di belakang bangunan tersebut akan lebih tenang dari
daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantai akan
terhenti di belakang detached breakwater tersebut. Permasalahan
utama yang timbul adalah erosi pantai di luar daerah bayangan
detached breakwater.
Selain itu, refleksi dari bangunan tersebut juga menyebabkan
keadaan gelombang di sekitar bangunan justru meningkat sehingga
menimbulkan gerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur ini juga
mengubah pola arus/sirkulasi pantai.
2
komprehensif dengan mengunakan pendekatan coastal cell atau
sedimen cell (sel sedimen). Sel sedimen adalah satuan panjang pantai
yang mempunyai keseragaman kondisi fisik dengan karakteristik
dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya tidak mengganggu
keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan.
Konsep ini mengidentifikasi bahwa sistem pantai terdiri dari se-
jumlah unit terkait dengan banyak proses perpindahan yang bekerja
dalam skala ruang dan waktu berbeda. Jadi penanganan abrasi pantai
tidak hanya pada tempat yang telah terjadi abrasi, tetapi juga di ka-
wasan lain yang diantisipasi akan terjadi abrasi akibat bangunan terse-
but dalam satu kesatuan sedimen sel.
Alternatif sistem proteksi harus diseleksi berdasarkan aspek
teknis, ekonomi, lingkungan, estetika, dan sosial. Aspek teknis meliputi
kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen sejajar pantai,
kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen tegak lurus pantai
(offshore transport), durabilitas, risiko kehancuran dari sistem dan
komponennya, pelaksanaan konstruksi, pemeliharaan, serta kepekaan
terhadap perubahan morfologi dalam skala yang lebih besar.
Sementara itu, aspek ekonomi meliputi biaya (investasi, operasi,
pemeliharaan, perbaikan, rehabilitasi) dan umur konstruksi. Aspek
lingkungan meliputi dampak terhadap pantai dan properti yang ber-
dekatan. Aspek estetika dan sosial meliputi secara estetika kelihatan
menyenangkan dan secara sosial dan kultural diterima masyarakat.
Belajar dari kegagalan masa lalu, maka perlu dikembangkan
konsep penanganan permasalahan pesisir secara lebih “lunak” dan
ramah lingkungan. Pendekatan semacam itu sebenarnya sudah
dilakukan sejak tahun 1980-an.
Beberapa cara penanganan dengan pendekatan “lunak” meliputi
2
Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.
Meskipun penimbunan atau pengisian pesisir dengan material
dari luar sistem tidak banyak dampaknya terhadap ekosistem yang
ada, namun pengambilan material dapat menimbulkan dampak yang
cukup signifikan. Akhir-akhir ini telah dikembangkan pula perema-
jaan pantai dengan menggunakan sistem drainase pantai (coastal
drain system) seperti misalnya beach management system (BMS) yang
dikembangkan oleh GDI Denmark.
BMS adalah sebuah teknologi dalam bentuk sistem perlindungan
dan rehabilitasi pantai dan pesisir secara terintegrasi dimulai dari
desain dan model, instalasi dan konstruksi, serta pemeliharaan guna
memberikan hasil yang efektif dan efisien. Efisiensi sistem ini terdapat
pada pendekatannya yang tidak hanya melindungi pantai dari
ancaman abrasi tetapi juga menciptakan pantai baru.
Solusi terkini yang dikembangkan adalah restorasi pantai dengan
konsep Building with Nature (Membangun Bersama Alam). Konsep ini
dikembangkan oleh Belanda, dimana proses perencanaan rehabilitasi
pantai dilakukan dengan memanfaatkan proses alam.
Belanda pada tahun 2011 melakukan rehabilitasi pantai di South
Holland dengan sand engine (zandmotor). Sand engine ini berupa
tumpukan pasir dengan volume 21 juta m3 yang dihamparkan
pada satu lokasi dengan bentuk dan ukuran tertentu. Secara alami
tumpukan pasir tersebut oleh gaya gelombang, angin, dan arus akan
terbawa dan mengisi pantai bagian barat Belanda. Sehingga kawasan
tersebut terlindungi dari ancaman erosi pantai.
Solusi ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya biaya
pengurukan pasir per m3 lebih ekonomis dibandingkan dengan beach
2
dan penanaman mangrove. Lalu pada 2013 di lokasi lain di Demak
untuk merehabilitasi pantai berlumpur digunakan hybrid engineering.
Teknologi ini menggabungkan ilmu rekayasa pantai dan proses alamiah
dengan menggunakan struktur lolos air (permeable) dari bahan-bahan
lokal, seperti bambu, ranting kayu yang didesain dengan ukuran dan
tata letak tertentu. Diharapkan dengan bantuan alam, lumpur akan
terperangkap oleh struktur hybrid tersebut, yang lambat laun akan
mengembalikan pantai lumpur yang tererosi.
Solusi lainnya, dengan membangun dune buatan atau
meningkatkan dune yang sudah ada. Biasanya cara ini dilengkapi
dengan usaha-usaha menahan kehilangan pasir dari daerah dune baik
secara vegetatif maupun artifisial.
Selain itu, perbaikan dan peremajaan hutan mangrove yang ru-
sak merupakan langkah perlindungan pesisir yang ramah lingkungan.
Penanganan ini dapat dikombinasi dengan alat peredam gelombang
sementara yang diharapkan dapat melindungi mangrove yang baru
ditanam dari gempuran gelombang.
Tata letak dan bentuk dari alat peredam gelombang perlu
diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan dampak
abrasi pada daerah di sekitarnya. Daerah di belakang alat peredam
gelombang akan lebih tenang dari daerah sekitarnya sehingga
transpor sedimen sejajar pantai akan terhenti di belakang struktur
tersebut dan membentuk tembolo.
Rehabilitasi terumbu karang merupakan proses rehabilitasi yang
sangat bermanfaat bagi ekosistem pesisir. Sebab, secara alami, terum-
bu karang mampu meredam energi gelombang yang sampai ke pan-
tai.
2
ganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa bumi
berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR). Seluruh kota lumpuh dihantam
gempa. Hubungan arus listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire
juga mengalami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sem-
pat ditunda.
Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami yang
ditimbulkan oleh gempa tektonik di Samudra Hindia berkekuatan 9
SR itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya berselang
sekitar dua bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa bumi menggoncang
Pulau Nias, Sumatra Utara. Bangunan rumah dan perkantoran di
kawasan pesisir itu juga babak belur dihantam gempa.
Bukan cuma itu, sejak Mei 2006 hingga Maret 2015 berbagai
bencana melanda kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi
Yogyakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas
Sidoarjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang, banjir
DKI Jakarta, tanah longsor Manggarai, NTT, gempa bumi di Solok,
gempa Padang 2009, tsunami Mentawai 2010, dan lain-lain.
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana
luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Menurut hitungan,
kerugian material dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan
triliun rupiah.
Hingga kini akal manusia belum bisa menjelaskan dengan pasti
mengapa frekuensi bencana alam itu terus meningkat. Lalu apa yang
bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti
kapan datangnya itu?
108
Dalam Perspektif Tata Ruang Laut
Membangun Poros Maritim Dunia
Pesisir rawan tsunami di Indonesia. Berdasarkan catatan, di Indonesia sejak tahun 1600 - 2016 terjadi 110 tsunami.
Tidak mudah memang mengelola bencana tersebut. Betapa ti-
dak, kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim.
Padahal, merekalah yang paling menderita jika bencana menerjang.
Rendahnya pemahaman di kalangan masyarakat awam itu mengaki-
batkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda ketika bencana
alam menghampiri mereka.
2
Kondisi itu diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam
yang memiliki kekuatan teramat besar. Tidaklah mungkin kecerdikan
manusia mencegah kedahsyatan bencana alam. Kemampuan manusia
hanya sebatas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi risiko
atau dampak dari suatu bencana.
Suka atau tidak, wilayah Indonesia sangat berpotensi terjadi
gempa dan tsunami. Pasalnya, kawasan tersebut merupakan
pertemuan tiga lempeng utama (triple junction plate convergence).
Ketiga lempeng itu –Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia--
bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.
Permukiman di Cipatujah,
Tasikmalaya Jawa Barat porak
poranda akibat Tsunami
Pangandaran 2006 karena tidak
mematuhi aturan sepadan
pantai dalam tata ruang/
rencana zonasi (terlalu dekat
dengan pantai).
2
tra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Sementara
itu, pusat gempa dengan kedalaman sedang (185-300 km) terbentang
di Pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Gem-
pa-gempa tersebut sebagian berpusat di dasar laut dan beberapa di
antaranya mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh
gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah
seismik aktif lainnya. Selama periode tahun 1600 sampai 2015 terjadi
sekitar 110 tsunami. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya disebab-
kan oleh gempa tektonik, 9 persen karena letusan gunung api, dan
hanya 1 persen dipicu oleh longsoran (land-slide).
Catatan sejarah juga mencatat, sejak 1961 hingga 2015, sebanyak
24 tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya, tsunami
menghampiri kita setiap sekitar 2 tahun. Kawasan pesisir yang
berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatra,
pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-
pulau Nusa Tenggara, Maluku, pantai utara Irian Jaya, serta hampir
seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan tsunami
yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak mampu mencegah
bencana alam karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Yang
bisa dilakukan hanyalah mengurangi dampak dari bencana tersebut
(mitigasi).
Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir
dari terjangan tsunami. Idealnya menggunakan mitigasi yang
komprehensif, yakni dengan mengombinasikan secara fisik dan
nonfisik.
Upaya fisik yang perlu dilakukan juga beragam, tergantung
2
dengan aset-aset vital bernilai ekenomi tinggi yang ingin dilindungi
seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis
lainnya.
Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan menanam
berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan lain-
lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti efektif dalam meredam
kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti kapal dan
bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jumlah korban dan kerusakan
bangunan lainnya bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong
nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon
lalu naik ke atas.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga
tahan terhadap goncangan gempa. Rumah panggung baik terbuat
dari kayu maupun beton bisa menjadi alternatif karena tidak mudah
roboh oleh terjangan tsunami. Usahakan arah orientasi bangunan
tegak lurus dengan garis pantai sehingga sejajar dengan arah pen-
jalaran gelombang tsunami.
Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya padat,
perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya bertingkat dan terbuat
dari beton yang kokoh sehingga tahan terhadap gempa dan tsunami.
Pada hari-hari biasa, shelter bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah,
pertemuan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun ketika tsunami,
shelter bisa dipakai sebagai tempat berlindung.
Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit, bisa diba-
ngun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk menyelamatkan
diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit ini
bisa dibuat dari urugan tanah dengan sistem terasering sehingga
2
memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang
aman, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta menyadarkan
masyarakat. Pemda harus konsisten dalam menegakkan peraturan dan
tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan
tsunami, janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut
untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi. Sebab
kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami menerjang maka
korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang
beraktivitas di sana.
Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pelatihan
terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui, kita masih sangat
lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat
terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu
menelan banyak korban jiwa dan harta benda lainnya.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut seketika.
Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir
yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu, mereka menjadi
korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyara-
kat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu.
Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta dilanda gempa bumi. Dalam
kepanikan itu mereka yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan
sangat jauh dari pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah
untuk menyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda daerah yang
sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah seperti pepatah sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Sebab, banyak dari mereka yang mengalami
2
mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya.
Pelaksanaannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.
Seberapa besar upaya itu tidak akan dapat membebaskan
masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian, kunci
keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara masyarakat dan
alam lingkungannya.
Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan rawan
bencana sangat besar perannya sehingga perlu ditingkatkan
kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terhadap alam dan
lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya disiplin tinggi terhadap
peraturan dan norma-norma yang ada.
2
Kalau ditelisik lebih dalam, rentetan bencana banjir rob itu
disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak
lingkungan hingga dinamika laut. Bayangkan, akhir-akhir ini
pengembangan dan pembangunan di wilayah pesisir sangat cepat
tetapi kurang mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana.
Sehingga saat air laut pasang wilayah tersebut tergenang air asin.
Di samping itu, hutan mangrove yang berfungsi sebagai peredam
gelombang dan banjir rob semakin gundul. Jadi ketika ada banjir rob
maka dengan leluasa air laut itu menyusup dan merangsek ke darat.
2
(seperti transportasi dan pembangunan gedung-gedung ber-AC)
mengakibatkan peningkatan efek rumah kaca (green house effect).
Dari sinilah terjadi pemanasan global (global warming) dan
menimbulkan ekspansi termal lapisan permukaan laut, termasuk di
Benua Antartika. Glacier dan lapisan es di daratan paling selatan itu
meleleh. Akibatnya, terjadilah kenaikan paras muka air laut (Sea Level
Rise atau SLR).
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan
yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan
2
sekitar 8 mm/tahun. Isu ini sangat mengkhawatirkan Indonesia pada
abad ke-21. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran
pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir rob lebih
dahsyat.
Pasang surut juga punya kontribusi terhadap bencana banjir rob.
Pasang surut ialah proses naik-turunnya muka air laut yang teratur,
disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi
bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir
teratur, maka besarnya kisaran pasang surut juga berubah mengikuti
perubahan posisi-posisi tersebut.
Muka air laut pasang tertinggi bulanan terjadi pada saat bulan
purnama. Jadi dalam satu bulan akan terjadi satu kali pasang tinggi.
Namun demikian, dalam satu tahun, akan terjadi pasang air laut
pada saat bulan purnama tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan
2
Selain itu, muka air laut pasang dapat mencapai tertinggi dalam
kurun waktu 18,6 tahun yang disebut muka air pasang tinggi tertinggi
(highest high water level). Jadi kalau terjadi muka air laut pasang tinggi
tertinggi dengan periode ulang 18,6 tahunan, sudah bisa diduga banjir
rob yang terjadi bisa lebih dahsyat.
Angin juga punya andil besar terhadap terjadinya banjir rob.
Apabila terjadi badai di daerah pantai maka permukaan air laut akan
miring ke atas menuju arah pantai sehingga menimbulkan kenaikan
muka air laut di pantai. Kenaikan muka air laut di pantai karena angin
ini biasa disebut dengan wind set-up.
Besarnya nilai wind set-up berbanding lurus dengan kecepatan
angin dan berbanding terbalik dengan kedalaman perairan pantai.
Jadi semakin dangkal perairan pantai, maka semakin besar nilai wind
set-up. Demikian pula apabila kecepatan anginnya semakin besar
maka nilai wind setup-nya pun semakin besar.
Gelombang laut akibat angin juga punya andil cukup besar
terjadinya banjir rob di wilayah pesisir. Gelombang laut akibat angin
pada umumnya ditimbulkan oleh angin yang berhembus di atas
permukaan laut.
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan
fluktuasi muka air di daerah pantai. Pada waktu gelombang pecah akan
terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air
diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana
gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai.
Turunnya muka air di sekitar gelombang pecah tersebut disebut wave
set-down, sedang naiknya muka air di pantai di sebut wave set-up.
Besarnya nilai wave set-up berbanding lurus dengan besarnya
tinggi gelombang. Semakin besar tinggi gelombang maka semakin
2
tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi antara lain
permukiman, industri wisata, jalan raya, dan daerah pertanian dari
genangan air laut.
“
Pola protektif lain yang dapat ditempuh
adalah dengan melakukan restorasi
melalui peremajaan pantai (beach
nourishment) dan rehabilitasi mangrove.
Proses ini meliputi pengambilan
material dari tempat yang tidak
membahayakan dan diisikan ke tempat
yang membutuhkan.
“
Tanggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang berdasarkan
muka air pasang tinggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga
harus memperhitungkan amblesan tanah, paras muka air laut, pasang
tinggi tertinggi, dan gelombang laut akibat angin dalam kondisi
ekstrem.
Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan restorasi melalui peremajaan pantai (beach nourishment)
2
Kedua, pola adaptif menyesuaikan dengan banjir rob. Rumah-
rumah di tepi pantai dibuat model panggung agar aman dari
genangan air laut, terutama pada waktu banjir rob. Daerah pertanian
yang tergenang air laut akibat banjir rob dapat diubah peruntukannya
menjadi lahan budidaya perikanan.
Ketiga, pola mundur (retreat) bertujuan menghindari genangan
dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan
lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat banjir rob.
Upaya lain yang tidak kalah penting adalah mengendalikan
pemanfaatan air tanah dan membuat sumur resapan untuk
menghambat laju amblesan tanah.
Selain yang bersifat fisik, perlu dilakukan pula upaya nonfisik,
seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyuluhan, dan penyadar-
an masyarakat. Masyarakat, baik di daerah rawan banjir rob maupun
di luar kawasan, sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar,
peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap per-
aturan dan norma-norma yang ada.
Jika kita tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka banjir
rob semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih ganas lagi. Pasalnya,
bisa saja terjadi kemungkinan di mana kondisi amblesan tanah dan
paras muka air laut yang semakin parah bersuposisi dan berakumulasi
bersamaan dengan pasang tinggi tertinggi dan gelombang laut yang
ekstrem pada masa-masa yang akan datang. Apalagi kalau dibarengi
dengan hujan yang sangat deras. Siapkah kita menghadapinya?
Perubahan Iklim
Industrialisasi beserta kegiatan yang mengikutinya (seperti
transportasi dan gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah
2
dan UNEP (The United Nation of Enviroment Program), laju SLR sekitar
3-10 cm per dasawarsa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat
manusia.
Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai
yang rendah bisa terendam air laut. Lalu bagaimana nasib Indonesia?
Menurut analisis penulis (2009), laju SLR di beberapa pulau kecil dan
kota di pantai utara Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara)
sekitar 8 mm/tahun.
Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara sungai
dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari
daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi maka
banjir kian hebat.
Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di Indonesia
yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja maka air
laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan kilometer. Akibatnya,
lagi-lagi terjadi pembendungan.
Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai berkurang.
Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga
mengurangi daya tampung sungai di muara.
Bagaimana mungkin kita dapat melakukan berbagai usaha (se-
perti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, ka-
wasan konservasi) secara berkelanjutan (sustainable) jika ancaman-
nya, baik akibat ulah manusia dan alam, semasif dan seintensif itu?
Lalu, bagaimana kiatnya agar kita dapat membangun laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dalam suasana yang serba sulit
ini?
2
ketimpangan ekonomi antar wilayah menurun. Kajian yang dilakukan
oleh Tajerin dan kawan-kawan (2013) tersebut cukup melegakan
kita. Pada tahun 1985 misalnya, nilai indeks ketimpangan ekonomi
antarwilayah di Indonesia tercatat sekitar 0,14. Namun pada tahun
2010 angka tersebut menurun menjadi 0,09 (lihat grafik).
0,16
0,14
0,12
Indeks Theii
0,10
0,08
Ketimpangan semakin menurun..!
0,06
0,04
0,02
0,00
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: Tajerin, Adrianto, Fauzi, dan Juanda (2013)
0,14
0,12
Indeks Theii
0,10
0,08
2
0,06
0,04
Sumbernya didominasi oleh ketimpangan dalam wilayah
0,02
0,00
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Ketimpangan dalam wilayah Ketimpangan antarwilayah
0,07
0,06
0,04
0,03
Ketimpangan menurun
0,02
0,01
0
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Pulau Sumatra Pulau Jawa Pulau Kalimantan
Sumber: Tajerin, Juanda, Fauzi, dan Adrianto (2013)
0,002
Indeks Theii
0,0015
2
0,001
0 Outliers
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Pulau Sulawesi Pulau Bali - Nusa Tenggara Pulau Papua - Kep. Maluku
Sumber: Tajerin, Juanda, Fauzi, dan Adrianto (2013)
Bab 3
SDM dan Iptek
Sebagai Pilar Membangun
Kejayaan Maritim
M
eredupnya kejayaan maritim menarik untuk ditelusuri
penyebabnya. Masa-masa emas Majapahit memudar
ketika kolonialisme mulai berkuasa. Kolonialisme Belanda
berkedok misi dagang di bawah bendera VOC itulah yang membuat
kejayaan Majapahit terus memudar.
Budaya nenek moyang kita sebagai pelaut ulung berlayar
mengarungi samudra untuk bekerja, berusaha, dan menuntut ilmu
itu mulai merosot sejak Perjanjian Gianti ditandatangani VOC dan
Kerajaan Majapahit pada tahun 1503. Salah satu isi dari Perjanjian
Gianti adalah raja-raja di Nusantara dilarang membangun kapal dan
berdagang antarpulau.
3
mendominasi dunia. Jepang sukses melakukan Restorasi Meiji.
Kemakmuran juga dinikmati Amerika Latin dan Amerika Utara. Tak
ketinggalan Kerajaan Islam Otoman pun berjaya. Lalu, bagaimana
dengan Indonesia? Saat itu Indonesia terisolasi dan bergulat di
bawah penindasan kolonialisme. Kebodohan dan kemiskinan masih
menyelimutinya. Antarsuku masih belum bersatu malah sering terlibat
konflik dan pertikaian. Politik adu domba yang dihembuskan kolonial
Belanda terbukti mampu memecah belah persatuan.
Barulah pada abad ke-20 bangsa kita mulai bangkit atau sering
dikenal sebagai abad kebangkitan nasional. Puncak perjuangan itu
menghasilkan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Kemerdeka-
an itu tercapai berkat persatuan melawan penjajah.
Kalau hasil perjuangan pendiri bangsa pada abad ke-20 adalah
kemerdekaan, maka sekarang ini --pada abad ke-21-- perjuangan kita
adalah membangun ekonomi untuk kesejahteraan bangsa, mengem-
bangkan jati diri bangsa, serta memerangi kemiskinan. Kunci dari
keunggulan Indonesia pada abad ke-21 terletak pada sumber daya
manusia yang berbudaya dan mampu menguasai Iptek.
Dengan kata lain, masa kejayaan pada abad ke-21 terletak pada
sampai sejauh mana bangsa kita menguasai inovasi. Pengalaman
menunjukkan, bangsa-bangsa yang maju, sejahtera, dan bermartabat
adalah mereka yang unggul dalam penguasaan teknologi inovasi.
Dengan inovasi pula, mereka dapat menjadi bangsa yang kompetitif
dan terhormat.
3
Budaya yang ingin dikembangkan adalah yang mampu mem-
bangkitkan semangat nasionalisme. Membangun semangat nasio-
nalisme itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya
setia dalam menggunakan produk dalam negeri, berprestasi baik se-
cara lokal, nasional, regional, maupun internasional, taat membayar
pajak.
Nasionalisme semacam itu dapat terwujud jika setiap warga
negara Indonesia memiliki jati diri (karakter) yang kuat. Menurut
Ki Supriyoko (2011), karakter seseorang lebih mencerminkan jati
diri daripada aspek kepribadian manusia lainnya seperti identitas,
intelektual, keterampilan, dan lain sebagainya. Seseorang yang
karakternya baik identik bahkan sama dengan orang yang budi
pekertinya luhur atau akhlaknya mulia.
Sebuah survei yang dilakukan di berbagai negara dapat menjadi
pelajaran menarik bagi kita semua. Ternyata orang-orang sukses di
dunia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosional (spiritual) atau
emotional quotient (EQ) yang dimiliki seseorang daripada kecerdasan
intelektual (intelectual quotient atau IQ).
Survei tersebut menjelaskan, sekitar 90 persen orang sukses
ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya. Sebaliknya, hanya 10
persen ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya. Fakta tersebut
memberi pengetahuan menarik bahwa pendidikan mental
(karakter) sebenarnya jauh lebih penting daripada pendidikan untuk
menciptakan manusia unggul dalam berpikir (intelektual).
3
kita sadar kian banyak pula yang tidak diketahui.
Keempat, ajining diri dumunung ana ing lathi atau senantiasa
berhati-hati kalau berbicara dengan orang lain. Selalu berpikir positif
akan membuat kita mudah bersinergi dan berkolaborasi dengan
orang lain.
Betapa hebatnya bangsa Indonesia jika empat karakter tersebut
melekat pada diri kita semua. Kekayaan laut yang maha luas dan
berlimpah dapat menjadi kekuatan sosial dan ekonomi bangsa jika
generasi yang mengelolanya adalah mereka yang punya karakter
(akhlak atau budi pekerti) kuat. Kita perlu orang-orang yang jujur,
dapat dipercaya, terbuka, arif, dan cerdas. Karakter ini dapat tercipta
melalui pendidikan budi pekerti, baik di sekolah, masyarakat, dan
keluarga.
Dari berbagai jenis pendidikan tersebut, keteladanan adalah
metode sangat tepat dalam pengembangan karakter seseorang. Di
tingkat keluarga misalnya, orangtua harus memberi teladan kepada
anak-anaknya. Efek keteladan akan lebih mudah diikuti anak-anaknya
daripada mereka diberi nasihat mulia tetapi orangtuanya tidak pernah
memberi contoh perilaku yang baik.
Begitu pula di tingkat masyarakat. Para pemuka masyarakat,
tokoh agama, dan pejabat harus memberi teladan kepada masyarakat
luas dan para pegawainya. Tak perlu kampanye mengenai moral,
namun yang jauh lebih penting adalah para pemimpin itu cukup
memberi teladan kepada bawahannya.
3
mahasiswa semakin banyak diajarkan kurikulum yang bermuatan
Iptek. Artinya, muatan perkuliahan di perguruan tinggi lebih
ditekankan Iptek, bimbingan dalam etika bersosialisasi, berbisnis,
berprofesi, serta kemampuan kerja tim. Dengan kata lain, sarat dengan
muatan interdisipliner.
3
berpendapat, nasionalisme sebagai suatu paham bukanlah barang
“jadi yang sudah selesai” dan “mandeg” dalam kebekuan normatif
ataupun kesempitan dogmatis-ideologis. Sebagai suatu paham,
nasionalisme adalah sesuatu yang terbuka, berkembang untuk
melayani tuntutan dan tantangan jaman agar tetap aktual dan efektif
berfungsi bagi perkembangan suatu bangsa yang terus-menerus
ditantang oleh berbagai tuntutan pembaruan.
Menurut Gui Bonsiepe, pemikir teknologi dari Brazil, hanya de-
ngan sentimen nasionalisme, negara Dunia Ketiga mampu mengem-
bangkan teknologi mereka secara mandiri. Dengan bangkitnya se-
mangat nasionalisme ini jelas akan berdampak pada pemajuan Iptek,
termasuk Iptek kelautan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
ketahanan nasional kita. Diharapkan kecintaan terhadap bangsa untuk
mencapai tujuan nasional dengan mengoptimalkan semua perkem-
bangan Iptek termasuk bidang kelautan dapat terwujud.
Terkait dengan nasionalisme, kita berharap dapat belajar banyak
dari keberhasilan Korea Selatan dalam menciptakan patriotisme
dan nasionalismenya melalui Saemaul Undong (SU). Semangat
nasionalisme yang berkobar di jiwa mereka telah menempatkan Korea
Selatan sebagai negara maju. SU merupakan gerakan pembaruan
masyarakat desa yang dicanangkan Presiden Park Chung-hee pada 22
April 1972. Tujuan awalnya adalah meningkatkan pendapatan petani
dan nelayan di desa.
Seperti diketahui, sebelum tahun 1972 Korea Selatan jauh lebih
3
dengan meluncurkan program SU. Gerakan SU ini mengajarkan tiga
semangat; rajin (dilligent), mandiri (self help), dan gotong-royong
(cooperation). Untuk itulah pada tahap awal, SU ditekankan pada
reformasi sikap mental. Masyarakatnya didorong agar memiliki
kepercayaan diri yang kuat.
Kini, selama tiga dekade Korsel sukses dan menuai hasil kerja
kerasnya. Industri besi, baja, semen, dan material bangunan tampak
maju pesat. Tak hanya itu, industri elektronika yang tadinya dikuasai
AS dan Jepang, kini beralih ke Korea. Mobil-mobil buatan Korea juga
sukses merajai seluruh jalan raya di Seoul dan kota-kota lainnya di
Korsel, bahkan mulai merambah ke pasar dunia. Intinya, semangat
nasionalisme yang diciptakan orang nomor satu di Korsel itu telah
mempercepat bangsanya menjadi negara maju yang dihormati
masyarakat internasional.
Indonesia sebenarnya dapat mengadopsi SU. Apalagi Presiden
Joko Widodo sejak awal memimpin RI menggaungkan perlunya
revolusi mental untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
Maklum, saat ini karakter atau jati diri bangsa sudah menjauh dari cita-
cita luhur dari para pendiri bangsa ini.
Di sisi lain, masih banyak teknologi yang belum dikuasai. Sebut
saja teknologi pembuatan garam. Adalah ironis, Benua Maritim Indo-
nesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia itu ternyata
tak mampu membuat garam untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Di banyak daerah, masyarakatnya juga belum mendapatkan
3
bagian besar didominasi oleh kapal motor berukuran di bawah 5 GT.
Dengan kondisi tersebut sangatlah sulit meningkatkan produksi peri-
kanan tanpa intervensi pemerintah. Begitu juga untuk kegiatan bu-
didaya laut yang memiliki efisiensi SDM sangat rendah dibandingkan
Vietnam, Cina, dan India.
Untuk sektor pariwisata, posisi daya saing Indonesia semakin
menurun. Menurut The Travel & Tourism Competitive Index, indikator
SDM pariwisata Indonesia berada di urutan 42 dari 133 negara.
Selain itu SDM di bidang promosi pemasaran wisata bahari juga tidak
memiliki strategi dan visi. Kondisi ini menghambat mutu berbagai
kegiatan pemasaran dan promosi.
Di bidang transportasi laut, Kementerian Perhubungan (2013)
mencatat, Indonesia kekurangan 43.000 tenaga pelaut tingkat
perwira dan tingkat rating atau 7.000 pelaut setiap tahun. Indonesia
hanya mampu menyediakan 1.500 pelaut setiap tahun.
Untuk industri perkapalan, Indonesia masih kekurangan SDM
yang memiliki sertifikasi di bidangnya. Menurut Ketua Kluster
Industri Perkapalan Surabaya (Kikas) M Moenir, dari seluruh tenaga
kerja industri perkapalan di Surabaya hanya 10 - 20% yang sudah
bersertifikat (ahli).
Ke depan kita juga diharapkan mampu melakukan pengeboran
minyak dan gas di laut lepas (offshore drilling) dan pengeboran di laut
dalam (deep sea drilling) secara mandiri. Hal ini mutlak dibutuhkan
karena potensi sumber daya laut yang kita miliki sangat berlimpah
ruah. Dan jika kita berhasil mengelolanya, niscaya kita akan menjadi
negara maritim yang kuat.
Sejarah telah mencatat, dengan kekayaan alam yang hebat itu
Indonesia menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota
G-20. Prestasi itu merupakan hasil dari pembangunan ekonomi yang
berbasis pada potensi sumber daya alam. Indonesia baru menyediakan
keunggulan komparatif berupa kekayaan alam. Sedangkan
keunggulan kompetitifnya (penguasaan inovasi teknologinya) masih
dikuasai negara lain.
Ke depan pola pembangunan berbasis sumber daya alam harus
diubah menjadi pembangunan ekonomi berbasis inovasi. Bangsa
yang unggul pada abad ke-21 adalah mereka yang mampu mengelola
sumber daya alamnya dengan sentuhan Iptek.
Tentu banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk
menggapai kejayaan maritim pada abad ke-21. Di antaranya dalam hal
SDM yang melek Iptek. Penguasaan inovasi memang terkait dengan
3
Fakultas Kelautan.
Seiring dengan rendahnya pendidikan formal yang dimiliki,
kemiskinan juga melanda sebagian besar masyarakat yang bermukim
di pesisir. Tahun 2014 warga miskin di Indonesia mencapai sekitar 28
juta orang.
Rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka kemiskinan
tersebut, berdampak pada banyak hal. Adopsi teknologi sulit diserap.
Tingkat akselerasi penerapan teknologi yang dihasilkan peneliti ke
masyarakat pengguna terlihat berjalan sangat lambat.
Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia memiliki daya saing
rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Coba
lihat indeks pencapaian teknologi (technology achievement index)
yang diraih Indonesia, tergolong masih rendah.
Menurut data United Nation for Development Program
(UNDP) (2013), Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 72 negara
berdasarkan indeks pencapaian teknologi. Sementara itu, tingkat
pertumbuhan daya saing (growth competitiveness index) Indonesia
menduduki peringkat ke-72 dari 102 negara.
Banyak hal yang menyebabkan daya saing kita rendah. Di
antaranya adalah rendahnya kualitas SDM dan lemahnya penguasaan
Iptek. Menurut Dewan Kelautan Indonesia dalam Kajian Sumber Daya
Manusia Kelautan (2008), SDM di daerah belum dapat diandalkan
karena masih lemah, baik dari segi pengetahuan, latar belakang
pendidikan dan manajemen usaha, maupun hukum. Penyerapan SDM
3
secara berkelanjutan diperlukan integrasi dan keterpaduan lintas
sektor mulai dari up land hingga down land. Dengan begitu kita
dapat meminimalkan berbagai dampak dari pemanfaatan sumber
daya tersebut seperti pencemaran, kerusakan habitat, erosi, bahaya
tsunami dan sebagainya dapat diminimalisasi.
Tak mudah memang mengintegrasikan dan memadukan
kepentingan antarsektor, baik di tingkat pemerintah (daerah, pusat),
perguruang tinggi dan badan Litbang sebagai penghasil teknologi,
maupun industri (swasta). Setidaknya ada empat masalah yang
mengganjal dan perlu ditangani segera, yakni:
1. Para pengelola dan pelaku usaha di bidang kelautan belum
menerapkan Iptek secara intensif.
2. Sebagian besar teknologi pesisir dan lautan masih impor.
3. Lembaga penghasil Iptek (perguruan tinggi dan lembaga penelitian)
masih kurang produktif atau bersifat menara gading.
4. Ada missing link antara kebijakan dan program pemerintah dengan
pelaku usaha di grass root (terutama rakyat kecil), serta antara
lembaga penghasil Iptek dengan pengguna (users).
Menurut Prof. Dr. Priyo Suprobo, dari Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya, di Indonesia terjadi ketimpangan peran
antara aktor sehingga rantai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak tersambung secara baik. Ada dua permasalahan utama
yang kita hadapi.
Pertama, sektor industri (terutama sektor swasta) tidak berperan
3
miliar dari sektor bioteknologi kelautan. Inggris juga memperoleh
devisa dari sektor ini sekitar US$ 2,3 miliar per tahun.
Di sisi lain, anggaran riset secara keseluruhan termasuk untuk
kelautan sangat kecil, hanya 0,09% Produk Domestik Bruto (PDB).
Karena itulah pemerintah perlu menaikkan anggaran riset sehingga
diperoleh inovasi di bidang maritim. Fasilitas laboratorium, stasiun
lapang, dan kapal riset juga perlu dilengkapi.
Dengan demikian potensi sumber daya laut dan perikanan
yang sangat besar tersebut dapat dikembangkan secara lebih serius
sehingga mampu menambah devisa negara sekaligus menjadi
penggerak ekonomi Indonesia.
J
epang dapat dijadikan contoh dalam pengembangan SDM yang
kreatif. Perguruan tinggi dan industri saling berkolaborasi seiring
dengan berkembangnya industrialisasi di Jepang. Secara periodik,
industri dan universitas bertemu dan berkomunikasi membahas
nilai-nilai baru yang dihasilkan universitas yang berpeluang untuk
memenuhi kebutuhan industri.
Kolaborasi harmonis antara nilai-nilai baru yang lahir bersama
perkembangan Iptek dan nilai-nilai lama menghasilkan suatu sistem
nilai yang andal. Inilah yang membuat Jepang menjelma menjadi
negara yang sangat kompetitif dan mampu memenangkan kompetisi
dalam banyak hal.
3
melihat hasil penelitian tersebut dipajang di perpustakaan.
Fakta ini memerlukan reorientasi sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan kata lain sistem pendidikan harus mengikuti selera zaman
tanpa meninggalkan sistem budaya lokal yang ada. Pembinaan SDM
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga terjadi hubungan yang
intensif antara perguruan tinggi dan dunia usaha.
Sudah saatnya pihak industri dan dunia riset (perguruan tinggi
dan badan Litbang) memiliki forum dan kegiatan bersama. Dengan
demikian, hasil-hasil penelitian dan kajian dari lembaga riset memiliki
relevansi kuat sesuai dengan kebutuhan pasar.
Menurut McCuen (1996), setidaknya ada 3 manfaat penting dari
hasil kerja sama riset tersebut. Pertama, terjadi transfer teknologi dari
pihak penemu (institusi riset) ke sektor industri yang membutuhkan.
Kedua, divisi Litbang di lingkungan industri memiliki nilai
strategis. Mereka tak perlu investasi laboratorium canggih atau SDM
andal yang semuanya membutuhkan biaya tinggi. Sebab, kebutuhan
ini dapat disuplai oleh perguruan tinggi dan badan Litbang nasional.
Ketiga, perguruan tinggi juga mampu melahirkan lulusan yang
bermutu untuk memenuhi kebutuhan industri. Dengan begitu,
industri nasional memiliki fondasi yang kuat sehingga tak mudah
goyah menghadapi serbuan barang impor.
Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya kita sudah memiliki
payung yang dapat melindungi berbagai kegiatan pengembangan
Iptek di Tanah Air. UU No 18/2010 tentang Sistem Pengembangan
3
pelabuhan, konservasi laut, dan lain sebagainya.
Sayangnya, fakta menunjukkan, sampai sejauh ini data base dari
laut Indonesia masih belum memenuhi syarat (belum lengkap) dalam
pembuatan tata ruang laut. Riset dan eksplorasi data-data kelautan
tersebut masih belum banyak dilakukan.
Dibukanya Fakultas Kelautan di setiap provinsi diharapkan
mampu mengatasi masalah tersebut. Para alumni dari Jurusan
Planologi Kelautan nantinya dapat mempercepat pekerjaan tata
ruang, baik provinsi (0 – 12 mil dari garis pantai), maupun nasional (di
atas 12 mil dari garis pantai).
Jelas bahwa kiprah perguruan tinggi sangat penting dalam
melahirkan SDM profesional untuk mendorong tersusunnya tata
ruang laut guna mengakselerasi pembangunan kelautan sebagai
prime mover pembangunan ekonomi nasional. Jika saja hal itu
tercapai maka potensi sumber daya laut Indonesia yang sangat kaya
dan melimpah yang dapat dijadikan sebagai keunggulan kompetitif
(competitive advantages) bangsa dan prime mover pembangunan
ekonomi nasional.
Kemitraan antara perguruan tinggi, pemerintah daerah dan
pusat, serta dunia usaha perlu lebih direkatkan. Kegiatan riset di
perguruan tinggi dan lembaga Litbang pemerintah harus difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia usaha guna
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam memanfaatkan sumber
daya laut secara berkelanjutan.
3
membimbing nelayan untuk memanennya pada usia dan ukuran yang
bernilai ekonomi tinggi.
Di bidang bioteknologi kelautan, perguruan tinggi dapat
melakukan penelitian dan pengembangan berbagai kandungan
sumber daya hayati laut, seperti algae, plankton, nekton dan
sebagainya, baik untuk suplemen, bahan pangan, obat-obatan
dan berbagai produk lainnya yang bisa memberikan manfaat ke
masyarakat langsung maupun secara tidak langsung.
Dalam pengembangan industri perikanan dan sumber daya
hayati laut serta proses pasca panennya, perguruan tinggi dapat
mengembangkan berbagai aplikasi teknologi yang digunakan oleh
masyarakat, misalnya pengembangan teknologi offshore aquaculture,
mariculture di pulau-pulau kecil dan sebagainya terutama untuk
mata pencaharian alternatif masyarakat di samping pekerjaan utama
sebagai nelayan.
Di samping itu perguruan tinggi juga dapat mengembangkan
teknologi penangkapan ikan yang optimal dan ramah lingkungan
dan teknologi pasca panen alat pengering rumput laut energi surya,
modifikasi palka, cold storage dan sebagainya untuk menjaga kualitas
produk perikanan dan produk hayati laut lainnya.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya laut
dan pesisir terutama kawasan pulau-pulau kecil keterisoliran pulau-
pulau kecil harus dibuka dan dikembangkan, melalui transportasi dari
dan ke kawasan pulau-pulau kecil terutama melalui transportasi udara
3
Untuk mendukung pengembangan marine ecotourism tersebut,
kebersihan lingkungan pantai dan laut manjadi faktor yang penting
terutama untuk menunjang keberlanjutan kegiatan marine ecotourism
sebagai penyumbang devisa utama di masa mendatang. Untuk itu
dukungan semua pihak, dan tentunya perguruan tinggi sangat penting
terutama dalam melakukan penyadaran, sosialisasi, pendidikan dan
agent of pioneer dalam mendukung program bersih pantai dan laut,
salah satunya melalui Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL) yang
telah dilakukan di beberapa kota.
Berbagai peran perguruan tinggi tersebut, terutama dalam
pengembangan berbagai aplikasi teknologi yang dibutuhkan
dunia usaha dan masyarakat dalam menjalankan usahanya, serta
mengembangkan teknik kelautan maupun pemanfaatan jasa kelautan
seperti teknologi wahana bawah laut (misalnya terumbu buatan),
mengembangkan teknik reklamasi pantai yang ramah lingkungan
sehingga meminimalkan atau bahkan menghilangkan timbulnya
erosi pantai di tempat lain, teknologi listrik tenaga surya skala rumah
tangga, dan sebagainya.
Aplikasi teknologi juga bisa dibutuhkan untuk mengolah rumput
laut menjadi produk akhir yang bisa dijual secara kompetitif di pasar.
Mengurangi polusi dari sampah non-biodegradable (plastik, botol,
dan lain-lain). Salah satu aplikasi teknologi yang menjanjikan adalah
mengembangkan genetic manipulation untuk ikan karang dan kerapu
sehingga masa pertumbuhannya bisa diperpendek dengan harga
3
berupa rumput laut yang telah dikeringkan. Hanya sedikit sentuhan
teknologi yang diperlukan. Akibatnya, nilai tambah dari produk
tersebut masih rendah.
Peluang mengembangkan industri hilir bernilai tambah dan
berdaya saing tinggi berbahan baku rumput laut sangat besar dan
terbentang luas mulai untuk industri makanan, minuman, obat-
obatan, farmasi (kapsul), dan lain sebagainya.
Kiprah para peneliti dan ilmuwan kelautan perlu ditingkatkan,
terutama pada bidang-bidang yang strategis namun selama ini belum
diteliti dan dikembangkan. Sumber daya laut dalam (deep sea) misal-
nya, sampai sejauh ini belum banyak diteliti, dikaji, dan dikembang-
kan.
Begitu juga dengan pihak industri. Sampai sejauh ini belum
ada perusahaan nasional yang berani mengelola potensi sumber
daya alam di laut dalam. Padahal potensinya menghampar luas dan
sangat besar, mulai dari sumber daya hayati (ikan dan biota laut) dan
nonhayati (mineral logam dan air laut dalam).
Sekitar 40 persen dari luas perairan Indonesia adalah laut dalam
yang tersebar mulai dari barat hingga timur dengan kedalaman 350
meter sampai ribuan meter. Inilah potensi yang tak dimiliki oleh
negara lain.
Jepang dan Korea Selatan termasuk negara yang intensif
mengelola laut dalam meskipun kedua negara itu tak punya potensi
sebanyak Indonesia. Jepang misalnya, telah mengelola air laut dalam
3
(deep ocean water atau DOW) untuk produk air Peluang untuk
kemasan bermineral dan bernutrisi tinggi. Air ini mengembangkan
industri hilir rumput
sangat sehat dikonsumsi karena mengandung
laut di Indonesia
mineral dan nutrisi secara alami. sangat tinggi.
Prosesnya sebenarnya cukup sederhana.
Air disedot pada kedalaman 350 meter lalu
didesalinasi. Air hasil desalinasi ini lalu dikemas. Sedangkan sisa garam
yang mengendap adalah produk garam bernilai tambah tinggi.
Pengalaman Korea Selatan lain lagi. DOW dialirkan ke rumah,
hotel, dan kantor dengan pipa-pipa yang menempel di dinding.
Suhu DOW yang dingin ini dapat menjadi penyejuk udara. Teknologi
pemanfaatan DOW sebagai penyejuk udara ruangan semacam ini
dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak yang akhir-akhir
ini menjadi biang kerok perubahan iklim. Jadi tak perlu perangkat AC
yang menggunakan energi listrik untuk mendinginkan udara.
Teknologi perkapalan berbahan baku kayu yang awet terhadap
3
Indonesia dapat sejahtera. Ekonomi nasional pun membaik.
Sesuai amanat UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang, ada tujuh bidang yang perlu
dikembangkan menjadi industri kelautan, yakni perikanan, industri
maritim, perhubungan laut, energi dan sumber daya mineral, wisata
bahari, jasa-jasa lingkungan, serta bangunan kelautan.
Beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan telah mampu
memanfaatkan suhu dingin air laut dalam (deep sea) untuk mendinginkan
suhu ruangan (AC) ke gedung-gedung perkantoran dan permukiman.
3
harus naik. Sebab, proses pengembangan teknologi tidak akan pernah
berhenti dan terus berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan umat
manusia yang makin meningkat.
M
ari kita lihat faktanya. Kejayaan ekonomi Jepang, AS,
Norwegia, Singapura, Korea Selatan, dan beberapa negara
maju lainnya ditopang oleh kemampuannya dalam
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan kata lain,
Iptek menjadi pilar utama dalam memperkuat fondasi ekonomi.
Keseriusan penguasaan Iptek itu ditunjukkan dengan besarnya
alokasi anggaran untuk kegiatan riset dan pengembangan yang
sangat tinggi dan cenderung naik dari tahun ke tahun berikutnya.
Baik pemerintah maupun perusahaan sama-sama peduli dalam
mengembangkan Iptek untuk memutar roda perekonomian.
Hasilnya, mereka memiliki nilai tambah tinggi dan mampu
kompetitif di dunia internasional. Berbagai produk kelautan dan
Instrumen Pelengkap
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia? Hingga kini, kita
masih memandang Iptek baru sebatas instrumen pelengkap, belum
menjadi ujung tombak bagi kemajuan perekonomian nasional. De-
ngan kata lain, sistem inovasi di Indonesia kurang berperan dalam
meningkatkan daya saing nasional.
Pada awal Indonesia membangun misalnya, fondasi ekonomi-
3
nya bertumpu pada kekayaan sumber daya alam. Hal ini bisa dimak-
lumi karena dalam situasi politik yang tak menentu usai mengusir
cengkraman penjajah, bangsa ini tidak mudah memanfaatkan Iptek
dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa.
Lalu, semasa Orde Baru, pembangunan ekonomi nasional
bergeser dengan bertumpu pada industri. Hasil dari pembangunan
semacam ini telah memacu investor (baik domestik maupun asing)
menanamkan modalnya di Indonesia.
Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sumber daya
alam dan industri tersebut nyatanya belum mampu menyejajarkan
Indonesia dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan,
Singapura, Cina, dan lain-lain. Kini, tak ada salahnya kalau kita perlu
belajar dari negara-negara maju tersebut bagaimana membangun
perekonomiannya melalui penguasaan dan penerapan Iptek.
Apalagi saat ini merupakan momentum yang tepat. Sebab,
Indonesia secara alami memiliki keunggulan komparatif (kekayaan
sumber daya alam laut) yang tak dimiliki negara maju.
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan ini jika dikelola
dengan penguasaan Iptek maka akan menjadi produk bernilai
tambah tinggi sehingga memiliki keunggulan kompetitif seperti
halnya yang telah lama diraih negara maju.
Jepang tampaknya dapat menjadi contoh yang menarik dalam
membangunan perekonomian melalui sentuhan Iptek. Christopher
Freeman dalam bukunya Technology Policy and Economic Performance:
3
“ Industri yang memang memiliki keterbatasan
SDM di bidang Litbang dapat bersinergi dengan
universitas yang punya peneliti unggul beserta
fasilitas laboratoriumnya. Anggaran risetnya bisa
ditanggung oleh industri dan pemerintah.
“
Visi tersebut akan tercapai dengan percepatan transformasi
ekonomi melalui bisnis yang tak biasa (not business as usual).
Transformasi ekonomi tersebut identik dengan ekonomi berbasis
ilmu pengetahuan (economic base knowledge) di mana dalam
pembangunan ekonomi dibutuhkan kolaborasi bersama ABGC
(akademisi, pemerintah pusat dan daerah, industri atau BUMN, BUMD,
dan swasta, serta masyarakat).
Pemahaman tersebut harus direfleksikan dalam kebijakan pe-
merintah. Kebijakan dan regulasi serta peraturan perundangan yang
dibuat harus mendorong partisipasi dunia usaha secara maksimal se-
hingga tercipta pertumbuhan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
Hasil Survei
Survei yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi pada
tahun 2010 di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, menunjukkan
betapa lemahnya penggunaan Iptek baik di tingkat pelaku usaha
maupun pemerintah pusat dan daerah. Survei tersebut melibatkan
71 responden. Perinciannya; 21 orang dari kelompok akademisi atau
peneliti, 17 orang pelaku usaha (bisnis), dan 23 orang berasal dari
3
pemerintah (birokrat).
Berdasarkan keterangan responden tersebut, sistem inovasi
di NTB kurang berperan dalam meningatkan daya saing daerah.
Survei tersebut juga merekomendasikan perlunya campur tangan
pemerintah.
Wajar saja demikian karena terdapat beberapa indikator yang
masih lemah baik di kelompok makro (kebijakan dan regulasi), messo
(kelembagaan dan program), maupun mikro (kapasitas inovasi). Di
tingkat makro misalnya, kelemahan terdapat pada dua hal, yakni
master plan (rencana induk) serta pendidikan dan latihan (Diklat).
Sementara itu, di tingkat messo, terdapat lima hal yang harus
diperkuat, yaitu pembiayaan sistem teknologi dan inovasi, program
Litbang terapan, program Litbang bersama, intermediasi, serta
dukungan kewirausahaan. Sedangkan di kelompok mikro, terdapat
tiga kelemahan yang menyangkut institusi riset dasar, inovator, dan
kewirausahaan.
Fenomena NTB juga cenderung terjadi di daerah-daerah lainnya
di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang
baru dibentuk pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo --yang
menjadi unsur makro-- diharapkan dapat menggerakkan kelompok
messo dan mikro terkait dengan pembangunan poros maritim dunia.
Melalui koordinasi Kemenko Maritim yang efisien dan efektif di empat
kementerian (Kelautan dan Perikanan, Energi dan Sumber Daya
Mineral, Perhubungan, serta Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ) niscaya
3
perikanan bernilai tambah tinggi serta berdaya saing yang kuat.
Bab 4
Merencanakan
Tata Ruang Laut
4
komprehensif, terpadu, dan optimal. Pembangunan ekonomi
terus dipacu namun aspek kesejahteraan dan kelestarian
lingkungan belum mendapat perhatian yang proporsional.
P
embangunan ekonomi tanpa diimbangi dengan perlindungan
sumber daya alam akan berbalik mengancam kehidupan umat
manusia dan seluruh sistem kehidupan lainnya. Itu artinya,
pembangunan tersebut hanya dinikmati sesaat, tidak dapat dinikmati
oleh generasi berikutnya sebagai akibat hancurnya ekologi.
Cara pengelolaan semacam ini harus diubah agar kawasan
laut dan pesisir tetap lestari dan berkelanjutan. Artinya, antara
pembangunan ekonomi dan lingkungan beserta sosial budaya
masyarakatnya harus senantiasa serasi dan harmonis.
Konsep pembangunan berkelanjutan seperti ini sebenarnya
sudah sejak lama dikenalkan masyarakat dunia. Sejarah mencatat,
pada tahun 1972 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar
konferensi bertajuk lingkungan dan pembangunan (United Nations
Conference on Environment and Development atau UNCED).
4
otoritas atau kewenangan yang melibatkan banyak pihak dan
menyeluruh. Komisi ini juga mengajak masyarakat internasional untuk
menangani masalah-masalah lingkungan secara efektif.
Komisi Brundtland juga mempublikasikan hasil kajiannya dalam
sebuah buku berjudul Our Common Future pada 1987. Sejak saat
itulah, konsep pembangunan berkelanjutan memiliki pengaruh besar
terhadap dunia. Sebab, pembangunan berkelanjutan yang diusung
Komisi Brundtland menekankan keterpaduan konsep politik untuk
melakukan perubahan yang mencakup berbagai masalah, baik sosial,
ekonomi, maupun lingkungan.
Laporan tersebut juga memaparkan definisi pembangunan
berkelanjutan, yakni pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa
mengorbankan generasi mendatang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Dengan demikian ada tiga dimensi penting
dalam pembangunan berkelanjutan; ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan.
Ketiga unsur tersebut saling terkait. Dimensi ekonomi
menekankan pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumber daya alam. Pemenuhan kebutuhan tersebut
4
program pengelolaan terpadu dan pembangunan berkelanjutan
wilayah pesisir, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); perlindungan
lingkungan bahari; pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hayati
bahari secara berkelanjutan; menanggulangi ketidakpastian yang
mengancam pengelolaan lingkungan bahari dan perubahan iklim;
memperkuat koordinasi dan kerja sama internasional, termasuk pada
tingkat regional; serta pembangunan berkelanjutan pulau-pulau
kecil.
Pada 1993 Belanda menjadi tuan rumah Konferensi Pesisir Dunia
atau World Conference on Coasts (WCC). Di forum akbar inilah muncul
konsep integrated coastal management (ICM). Konsep ini di Indonesia
dikenal sebagai Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT). Konsep
ini merupakan model paling tepat dalam mengelola pesisir, baik untuk
kepentingan saat ini maupun jangka panjang. Termasuk di dalamnya
mencakup kerugian habitat, degradasi kualitas air, perubahan siklus
hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, adaptasi terhadap
kenaikan paras muka air laut, serta dampak lain akibat perubahan
iklim dunia.
PWPT bisa juga dipakai sebagai alat utama untuk mencapai pem-
bangunan berkelanjutan pada negara yang mempunyai pesisir dan
4
dan penyusunan usaha perencanaan, (c) identifikasi stakeholders dan
memastikan partisipasi mereka pada proses manajemen, (d) analisa
program perencanaan yang ada, pengaturan institusi dan manajemen
instrumen untuk menentukan apakah mereka berguna bila dikaitkan
dengan permasalahan, (e) menyusun kelompok tindakan yang secara
sistem berkaitan dengan kelompok tujuan terhadap keadaan sistem
pesisir sekarang ini, (f ) pengumpulan dan analisa data yang ada dan
evaluasi kebutuhan penelitian dan informasi lebih lanjut, serta (g)
menyediakan informasi untuk evaluasi program kepada pengambil
keputusan.
PWPT adalah proses pengelolaan yang mempertimbangkan
hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang
terdapat di wilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang
secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut.
Oleh karena itu, secara geografis PWPT mencakup DAS bagian
hulu; lahan pesisir (pantai, dunes, lahan basah, dan lain-lain); perairan
pesisir dan estuaria; dan perairan laut lepas yang masih dipengaruhi
atau mempengaruhi wilayah pesisir serta segenap kegiatan yang
terdapat di dalamnya.
Di samping itu, PWPT dapat didefinisikan sebagai suatu proses
4
faatan berkelanjutan dari wilayah pesisir berserta segenap sumber
daya alam yang terdapat di dalamnya.
Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa PWPT dirancang untuk
mengatasi permasalahan fragmentasi antarsektor dan yurisdiksi
wilayah pengelolaan antar berbagai tingkat pemerintaan.
Fragmentasi tersebut dapat diatasi melalui penjaminan bahwa
semua keputusan dari semua sektor pembangunan dan tingkat
pemerintah harus diserasikan dan sesuai dengan kebijakan pesisir
(kelautan) nasional.
Oleh karena itu, komponen terpenting dalam PWPT adalah
rancangan proses kelembagaan (institutional processes) untuk
mencapai harmonisasi yang secara politis dapat diterima.
Menurut Chua Thia-Eng (2006), ICM atau pengelolaan pesisir se-
cara terpadu menekankan perlunya harmonisasi antara pertumbuhan
ekonomi, perbaikan kehidupan manusia, dan melindungi lingkungan
untuk kebutuhan masa kini dan generasi berikutnya. Sementara itu,
Rokhmin Dahuri (2008) menyatakan, kaidah ekologi, ekonomi, dan
sosial yang menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan di
wilayah pesisir hanya bisa terwujud jika pendekatan pembangunan-
nya dilakukan secara terpadu mulai dari tahap perencanaan, imple-
4
ekonomi, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan.
Kaidah Ekologis
Kaidah ekologi pertama yang harus dipenuhi adalah adanya
perencanaan yang komprehensif dan terpadu, baik bersifat spasial
dan nonspasial. Komprehensif mencakup fisik, ekonomi, lingkungan,
dan sosial budaya. Terpadu melibatkan antarsektor, antarwilayah,
antarekosistem, dan antardisiplin ilmu.
Perencanaan yang bersifat spasial (keruangan) berupa tata ruang/
rencana zonasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya tata
ruang/rencana zonasi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil diharapkan
terwujud ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang aman, nya-
man, produktif, dan berkelanjutan. Aman berarti masyarakat dapat
menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai
ancaman baik alam maupun manusia, termasuk ancaman konflik.
Nyaman artinya memberi kesempatan yang luas bagi masyara-
kat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya
sebagai manusia dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif
berarti proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga
mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan ma-
4
dan budidaya laut tersebut harus disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan wilayah pesisir, khususnya kemampuan wilayah tersebut
dalam menetralisir limbah.
Kalau saat ini banyak tambak udang terbengkalai di sepanjang
pantai utara Jawa, hal ini membuktikan bahwa kawasan tersebut
dibuka tanpa menghiraukan daya dukung lingkungannya. Hutan
mangrove yang selama ini diketahui mampu mengendalikan polutan
justru ditebang habis untuk dijadikan tambak.
Di sisi lain, pabrik dan rumah tangga juga membuang limbah
secara sembarangan melalui sungai-sungai. Inilah yang mengakibat-
kan kualitas air yang masuk ke tambak tidak sehat bagi pertumbuhan
udang.
Ketiga, mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Hal
ini perlu dilakukan agar risiko akibat bencana (seperti gempa bumi,
tsunami, banjir, dan rob) serta perubahan iklim yang terjadi terhadap
investasi yang telah ditanamkan dapat diminimalkan.
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara spasial atau
keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen yang rentan, dan potensi
risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana tata ruang/rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan-kawasan rawan
4
Prinsip reduce dilakukan dengan cara sebisa mungkin
meminimalisasi barang atau material yang digunakan. Semakin
banyak material yang dipakai, kian banyak sampah yang dihasilkan.
Prinsip reuse dilakukan dengan cara sebisa mungkin memilih
barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-
barang yang sekali pakai. Hal ini dapat memperpanjang waktu
pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Prinsip recycle dilakukan dengan cara sebisa mungkin barang-
barang yang sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua
barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri
non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah
menjadi barang lain misalnya sampah plastik kemasan menjadi produk
tas atau kerajinan tangan lainnya.
Daur ulang adalah salah satu teknik pengolahan sampah an-
organik dengan meningkatkan nilai ekonomis suatu benda sehingga
dapat digunakan kembali untuk keperluan yang sama maupun ber-
beda. Sampah yang biasa didaur ulang di antaranya plastik, kertas,
gelas, dan logam.
Di samping itu diusahakan seluruh limbah dari hasil produk sum-
ber daya kelautan dijadikan input bagi produk aktivitas yang lain.
4
terbarukan (non-renewable resources) harus dilakukan secara ramah
lingkungan. Di samping itu, semua aktivitas reklamasi dan konstruksi
bangunan harus didesain dan dikerjakan sesuai kaidah ramah
lingkungan. Dengan begitu, dampak negatif yang ditimbulkan dari
kegiatan tersebut masih dapat ditoleransi oleh ekosistem alam.
Kaidah Ekonomi
Pengelolaan sumber daya harus memprioritaskan kepentingan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Dari perekonomian yang tumbuh inilah, bakal terwujud
pemerataan untuk generasi masa kini dan generasi masa mendatang.
Ini berarti bahwa pembangunan generasi masa kini harus selalu
memperhatikan kebutuhan generasi berikutnya di masa depan.
Harus diakui, dalam mengelola kelautan dan perikanan, kita
belum mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang,
berkeadilan, dan berkelanjutan. Buktinya, kendati sumber daya
laut telah banyak dimanfaatkan, namun masih banyak masyarakat
yang belum beranjak sejahtera dan makmur. Karena itu diperlukan
terobosan melalui industrialisasi kelautan dan perikanan.
4
Konektivitas Konektivitas
4
sumber daya bagi generasi mendatang.
Dengan beragamnya kepentingan dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan laut, maka perencanaan pengelolaan pesisir dan
laut harus dilakukan secara lebih konstruktif, terintegrasi dan
komprehensif serta mampu mengikutsertakan berbagai kepentingan
dalam setiap proses pemanfaatan pesisir dan laut, untuk kemudian
diambil pilihan desain pemanfaatan terbaik dan diterima oleh semua
kelompok masyarakat.
Dengan menjadikan konsultasi publik yang transparan melalui
dengar pendapat, pembentukan komisi review, serta pengajuan
keberatan atas suatu keputusan, sebagai proses yang dilaksanakan
di dalam setiap pengambilan keputusan pemanfaatan sumber
daya pesisir dan laut perlu dilakukan. Di dalam proses perencanaan
semacam ini ada suatu azas penting yang perlu dilakukan, yaitu azas
prior-informed consent.
Untuk wilayah pesisir dan laut azas tersebut menjadi amat
penting karena demikian sensitifnya ekosistem pesisir dan laut
terhadap rekayasa manusia. Sehingga dapat digariskan di sini bahwa,
perubahan atas lingkungan pesisir dan laut dengan segala manfaat
dan resikonya perlu diketahui sebagai dasar persetujuan masyarakat.
4
peruntukannya.
Menilik pengalaman sebelumnya, harus kita akui bahwa pe-
negakan hukum (law enforcement) di kawasan pesisir dan laut masih
lemah. Hukuman terhadap perusak lingkungan seperti pengguna
bom dan racun untuk menangkap ikan, pengguna alat tangkap ikan
tak ramah lingkungan, pelaku pencurian ikan (illegal fishing), dan
pelaku jual beli ikan di tengah laut (transhipment) boleh dibilang ma-
sih ringan, belum menimbulkan efek jera bagi terhukum. Akibatnya,
tindakan-tindakan ilegal tersebut masih saja marak terjadi.
Fenomena ini juga terjadi di berbagai daerah. Meskipun dalam
Perda memuat larangan penggunaan bahan peledak untuk menang-
kap ikan, namun para pelaku yang jelas-jelas merusak ekosistem
terumbu karang itu belum mendapat sanksi hukum. Kita bisa bayang-
kan, sudah ada Perda saja, para pelanggar masih bebas melakukan
pengrusakan. Lalu, bagaimana kalau Perda tersebut tidak ada?
Karena itulah pemerintah daerah provinsi wajib membuat Perda
tata ruang laut atau RZWP-3-K. Pada saat bersamaan kelembagaan
(polisi air, penyidik, dan hakim) juga perlu diperkuat eksistensinya.
Para pihak tersebut harus terlibat dalam proses law enforcement
sebagai dasar bagi para pihak untuk menaatinya. Dengan demikian
4
lain: penggunaan ruang laut yang tidak efisien, pemanfaatan sumber
daya yang tidak optimal, dan konflik klaim atas ruang laut. Sementara
itu, meningkatnya tekanan terhadap wilayah pesisir dan laut memicu
degradasi wilayah dan sumber daya, hilangnya keanekaragaman
hayati laut, serta menurunnya kualitas lingkungan laut.
Dengan demikian, keterpaduan antara PWPT dan tata ruang
laut akan mendorong dua hal, Pertama, keberlanjutan aktivitas dan
pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir dan
laut. Kedua, keberlanjutan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
PWPT menyediakan kerangka kerja yang responsif, proses yang
komprehensif berbasis ilmu pengetahuan dan berbasis konteks lokal.
Pada tingkat praktis, komponen inti dari penataan ruang laut men-
cakup dan melibatkan penelitian ilmiah dan analisis (termasuk ilmu
alam, engineering, sosial, dan ekonomi) serta pengumpulan dan pe-
nyajian data terkait dengan penggunaan ruang laut saat ini dan masa
depan. Dalam hal ini integrasi antara sains (berbagai bidang ilmu) dan
manajemen menjadi satu keharusan, dan PWPT memberikan atau
memfasilitasi keterpaduan tersebut.
Bagian menarik dari proses ini adalah kontribusi dari para
pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintahan, sektor
4
ekonomi, sosial dan lingkungan. Tak hanya itu, rencana tata ruang
laut juga perlu memperhatikan kepentingan dan kebijakan antara
pemerintah dan pemerintah daerah bagi pengembangan kegiatan di
bidang transportasi laut, perikanan budidaya, pertambangan, energi
lepas pantai (Migas dan energi terbarukan), pariwisata dan rekreasi,
serta konservasi. Bahkan untuk kawasan yang berbatasan dengan
negara lain juga memerlukan keterpaduan regional dan global.
Pada tataran praktis, tata ruang laut juga sekaligus menjadi
tool atau alat untuk menjamin keterpaduan dan keberlanjutan
pemanfaatan sumber daya dan wilayah pesisir dan laut yang
merupakan tujuan utama dari implementasi pengelolaan pesisir
terpadu.
170
RUANG LAUT (WADAH)
Pengelolaan
Pemanfaatan
Perencanaan
Ruang Laut
Pemanfaatan Ruang
Laut Rencana Tata Ruang
Laut/Rencana Zonasi
4
perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata, pertambangan
mineral dan Migas, transportasi laut, serta konservasi
menyebabkan minat terhadap perencanaan ruang laut
semakin meningkat.
T
ata ruang laut (marine spatial planning) merupakan hal yang
relatif baru dibandingkan dengan tata ruang darat (land use
planning). Sebelum mengenal lebih jauh mengenai tata ruang
laut, ada baiknya dipahami lebih dulu beberapa pengertian atau
definisi dari ruang, tata ruang, laut, dan tata ruang laut berikut ini.
Pengertian Ruang
Ruang berasal dari bahasa latin, spatium atau dalam bahasa
Inggris spatial. Ruang diartikan sebagai tempat di mana terdapat
benda-benda terletak sebagai wadah. Jika orang mempunyai ruang
berarti mempunyai tempat untuk melakukan kegiatan dalam rangka
pencapaian tujuan. Ruang didefinisikan sebagai tempat atau wadah
bagi manusia atau makhluk lainnya yang hidup dalam rangka
4
penggunaan dan pengembangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan
ruang tertentu untuk melakukan kegiatan. Dalam hal ini, ruang
dapat diartikan sebagai tempat atau wadah seseorang atau banyak
orang untuk melakukan kegiatan. Atau secara fungsional ruang
dapat diartikan sebagai tempat atau wadah yang dapat menampung
sesuatu.
Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pe-
nataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah atau tempat yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelang-
sungan hidupnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, ruang dapat diartikan
sebagai berikut. Pertama, ruang merupakan satu wadah yang
mengandung atau menerima kegiatan materi. Kedua, ruang
merupakan alat untuk menempatkan kegiatan dengan memberikan
struktur-struktur dan batas-batas dimana kegiatan itu berlangsung.
Ketiga, ruang merupakan tempat untuk melakukan aktivitas hidup
dan makhluk lainnya untuk melangsungkan hidupnya. Keempat,
4
rangka menata atau menyusun bentuk struktur dan pola pemanfaatan
ruang secara efisien dan efektif. Berdasarkan definisi tersebut ada
beberapa makna yang terkandung di dalamnya.
Pertama, dalam tata ruang terdapat suatu proses kegiatan
yang terkandung di dalamnya. Kedua, kegiatan tersebut adalah
menata dan menyusun struktur dan pola pemanfaatan ruang. Ketiga,
adanya kegiatan yang sifatnya lebih efisien dan efektif, sehingga
menghindarkan penggunaan ruang yang berlebihan.
Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pena-
taan Ruang, tata ruang diartikan sebagai wujud struktur ruang dan
pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pen-
dukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional (Ibid, Undang-undang).
Pengertian Laut
Laut adalah keseluruhan massa air yang saling berhubungan,
yang mengelilingi semua sisi daratan di bumi. Di dalam wilayah
kedaulatan NKRI, laut mempunyai empat fungsi vital. Pertama, laut
sebagai faktor integrasi teritorial wilayah nasional, yaitu: integrasi
4
kelangsungan hidup rakyat dan eksistensi NKRI bisa terancam.
Keempat, laut sebagai pertahanan dan keamanan negara. Jika
fungsi ini tidak terlaksana, keutuhan dan eksistensi NKRI terancam.
Laut dapat dipandang sebagai ruang hidup dan ruang juang.
Sebagai ruang hidup, bangsa Indonesia memandang wilayahnya yang
terdiri dari daratan, laut, dan udara di atasnya sebagai ruang hidup
(lebensraum) yang utuh. Penerapan Wawasan Nusantara sebagai
geopolitik bangsa, Indonesia dipandang sebagai kesatuan kepulauan
yang terletak antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra
(Hindia dan Pasifik).
Laut sebagai ruang juang berarti wilayah laut Indonesia pada
kenyataanya berbatasan langsung dengan 10 negara. Jika tidak awas
dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan
laut dunia (conveyor belt) dapat menjadi ancaman serius bagi ma-
suknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penya-
kit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan
bangsa Indonesia.
Ditinjau dari konektivitas, laut memiliki empat fungsi. Pertama,
laut sebagai wujud konektivitas ekologis. Artinya, ekologis laut
dengan keanekaragaman hayati mempunyai peran sebagai faktor
4
Wilayah laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia
memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang
mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
dan ekologi, merupakan modal dasar bagi terwujudnya kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Menurut UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, laut adalah ru-
ang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan
daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatu-
an geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang ba-
tas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.
Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi
serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan
meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
Sementara itu, wilayah yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.
Perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
176
Zona Maritim Indonesia - UNCLOS 1982
4
pada kolom air.
Menurut Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A., landas kontinen sampai
sejauh 200 mil dari garis pangkal Nusantara, atau sampai ke batas
terluar dari wilayah darat Indonesia ke dasar laut sepanjang dasar
laut tersebut masih merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah darat
Indonesia, yang dalam hal-hal tertentu bisa mencapai 350 mil dari
garis-garis dasar Nusantara atau 100 mil di luar kedalaman air 2.500
meter. Di landas kontinen, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat
atas kekayaan alam, tapi dengan kewajiban bagi hasil dengan ISA atas
eksploitasi di luar batas 200 mil dari garis-garis pangkal/garis dasar
Nusantara.
Pengertian Tata Ruang Laut
Ada sejumlah definisi perencanaan tata ruang laut. Menurut
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO), perencanaan ruang laut adalah proses publik dalam
menganalisis dan mengalokasikan distribusi spasial dan temporal
dari aktivitas manusia di wilayah laut untuk mencapai tujuan ekologi,
ekonomi, dan sosial yang biasanya telah ditetapkan melalui proses
politik.
4
zoning (MFZ) yang didefinisikan sebagai suatu perangkat/alat untuk
mengakomodasi kepentingan berbagai pihak/sektor di wilayah laut,
seperti energi, industri, konservasi, dan pariwisata guna menyusun
informasi dan keputusan bersama (konsensus atau kesepakatan)
dalam rangka pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan. MFZ
menggunakan peta untuk mewujudkan gambaran menyeluruh di
wilayah laut, mengidentifikasi dimana dan bagaimana wilayah laut
dimanfaatkan sesuai dengan sumber daya dan ekosistemnya.
MFZ merupakan suatu perangkat atau alat untuk mengoordina-
sikan berbagai aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya ke-
lautan secara berkelanjutan dan sebagai perangkat untuk mengelola
berbagai peruntukan di kawasan laut.
Melalui proses perencanaan dan pemetaan ekosistem kelautan,
para perencana dapat mempertimbangkan dampak kumulatif
dari industri kelautan di kawasan laut, menciptakan industri yang
berkelanjutan dan proaktif untuk meminimalisasi konflik. MFZ
juga merupakan perangkat untuk mengoordinasikan aktivitas-
aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan serta merupakan alat mengelola kawasan laut untuk
berbagai peruntukan (pemanfaatan sumber daya kelautan yang
4
perencanaan penggunaan lahan. Apapun unsur bangunannya,
pertimbangan penting adalah bahwa mereka perlu bekerja lintas
sektor dan memberikan konteks geografis untuk membuat keputusan
tentang penggunaan sumber daya, pengembangan, konservasi dan
pengelolaan kegiatan di lingkungan laut.
Perencanaan ruang laut yang efektif memiliki tiga atribut pen-
ting. Pertama, multi-tujuan. Artinya, perencanaan tata ruang laut harus
menyeimbangkan tujuan ekologi, sosial, ekonomi, dan pemerintahan,
tetapi tujuan yang lebih utama adalah meningkatkan keberlanjutan.
Kedua, jelas fokus spasialnya. Wilayah laut yang akan dikelola harus
didefinisikan secara jelas. Idealnya pada tingkat ekosistem harus cu-
kup besar untuk menampung proses-proses ekosistem yang relevan.
Ketiga, terpadu. Proses perencanaan harus membahas hubung-
an timbal balik dan saling ketergantungan dari setiap komponen
dalam area manajemen yang telah ditetapkan, termasuk proses alam,
kegiatan, dan otoritas.
Secara umum, perencanaan ruang laut (marine spatial planning)
dapat didefinisikan sebagai analisis dan alokasi bagian dari ruang laut
secara tiga dimensi untuk pemanfaatan tertentu atau nonpeman-
faatan, untuk mencapai tujuan secara sosial, ekonomi, dan lingku-
4
pengambil keputusan untuk mempertemukan tujuan dari visi.
Perencanaan ruang laut yang komprehensif biasanya jangka
panjang, umum, dan berorientasi kebijakan serta diimplementasikan
melalui peta alokasi ruang yang lebih detil, peraturan pemanfaatan ru-
ang (peraturan zonasi) dan sebuah sistem perizinan. Izin perorangan
atau pemberian lisensi selanjutnya dibuat berdasarkan peta alokasi
ruang, yang mencerminkan visi dari rencana tata ruang laut kompre-
hensif.
Perencanaan ruang laut hanya dapat mempengaruhi distribusi
spasial dan temporal dari berbagai aktivitas manusia. Tindakan lain
yang dapat mempengaruhi input terhadap aktivitas manusia (seperti
pembatasan terhadap kegiatan dan kapasitas penangkapan ikan),
proses dari kegiatan manusia (contohnya persyaratan untuk praktik
lingkungan yang terbaik), atau output dari kegiatan manusia (misalnya
pembatasan tonase pada penambangan mineral), perlu dilakukan
dengan memperhatikan aspek perencanaan tata ruang.
Perencanaan ruang laut merupakan kegiatan yang sangat
komplek mencakup banyak aspek dan unsur dalam proses
penyusunannya. Penataan ruang laut harus memperhatikan tiga aspek
utama agar hasil yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan
4
subandono.diposaptono@yahoo.com
a. Kondisi Biofisik
Perencanaan ruang laut harus memperhatikan lingkungan biotik
(biologis) dan abiotik (fisik) dari ekosistem laut. Kedua lingkungan
tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi kondisi satu dengan
yang lainnya. Lingkungan biotik yang utama antara lain: sumber daya
ikan, mamalia laut, ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove,
dan lamun) serta biota laut lainnya. Sedangkan lingkungan abiotik
yang penting meliputi oseanografi, batimetri, geologi, geomorfologi,
4
produktivitas perairannya.
Secara langsung dan tidak langsung, kegiatan pemanfaatan
akan memberikan dampak bagi lingkungan biofisik. Semua kegiatan
manusia di laut pada dasarnya adalah melakukan “gangguan” terhadap
keseimbangan yang ada di dalam ekosistem. Aktivitas industri,
pemukiman, budidaya, dan penangkapan ikan, merupakan beberapa
contoh kegiatan manusia yang mengganggu ekosistem laut.
Kerentanan terhadap bencana dan perubahan iklim juga menjadi
isu sangat penting mengingat bencana dapat menghilangkan seluruh
investasi yang sudah ditanamkan di wilayah pesisir. Namun, dengan
tata ruang laut, kita mampu mengidentifikasi berbagai lokasi rawan
bencana sehingga akan mengurangi secara signifikan risiko terhadap
bencana di kawasan tersebut.
Tata ruang laut harus mampu mengantisipasi dinamika dan
interaksi yang terjadi di lingkungan laut dalam menentukan dan
mengalokasikan ruang serta kegiatannya. Antisipasi tersebut
mencakup kondisi saat tata ruang laut disusun, kondisi saat tata ruang
laut berlaku, dan kondisi pada kurun waktu tertentu di masa datang.
Untuk itu, tata ruang laut harus bersifat adaptif dan responsif jika
terjadi perubahan kondisi biofisik lingkungan lautnya.
4
- Menempatkan berbagai kegiatan tersebut agar tidak saling
merugikan satu dan lainnya namun bersifat saling melengkapi/
kompatibel.
- Mengurangi potensi konflik antar pemanfaatan dan antar
pengguna laut.
- Memfasilitasi perizinan pemanfaatan dari masing-masing kegiatan
agar sesuai dengan kodisi biofisik lingkungan lautnya.
- Menjadi rujukan resmi ketika terjadi perselisihan dalam
implementasi di lapangan.
- Memprediksikan trend dan perkembangan pemanfaatan
multisektor tersebut pada jangka waktu tertentu (20 tahun).
4
property/open access) sehingga banyak pihak yang ingin mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari laut. Hal ini seringkali mengakibatkan
pemanfaatan sumber daya laut yang berlebihan seperti penangkapan
ikan melebihi potensi lestarinya (over fishing).
Ketiga, pemanfaatan sumber daya laut tidak dapat dilepaskan
pada mekanisme pasar (demand-supply). Sebab, tidak semua sumber
daya laut seperti habitat alam dan rantai makanan dapat dinilai
dengan uang. Tanpa ada pengaturan, sumber daya yang tidak dapat
dinilai dengan uang itu akan kalah bersaing dalam ruang laut.
Keempat, tingginya tuntutan terhadap pemanfaatan sumber
daya laut dapat menyebabkan konflik pemanfaatan. Berdasarkan
empat alasan itulah maka harus ada suatu proses yang dilakukan oleh
masyarakat atau negara untuk memutuskan sumber daya laut yang
mana dapat dimanfaatkan seiring berjalannya waktu dan tersedianya
ruang.
Kita dapat belajar banyak hal dari pengalaman negara lain yang
telah sukses membuat tata ruang laut. Berdasarkan pengalaman
penulis, ada empat keuntungan (ekonomi, lingkungan, sosial budaya,
dan strategis) yang dapat dipetik dari pembuatan rencana tata ruang
laut.
4
a) Mengarahkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dalam
rangka pemenuhan kedaulatan pangan seperti kegiatan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Berdasarkan data dan analisis
maka, perencana dapat menentukan daerah-daerah mana saja
yang sesuai untuk kegiatan tersebut.
b) Memberi kepastian hukum untuk zona-zona yang berhubungan
dengan pemenuhan kedaulatan pangan. Elit daerah tidak bisa
serta merta mengubah alokasi ruang. Alokasi ruang yang ada
tidak bisa digeser begitu saja karena zona tersebut dilindungi oleh
peraturan perundangan (Peraturan Daerah).
c) Menyediakan kawasan/zona/fasilitas pendukung bagi zona
tersebut seperti kawasan konservasi, zona industri perikanan,
zona pelabuhan, dan jaringan infrastruktur lainnya. Kawasan
konservasi sebagai penyokong kegiatan perikanan juga terjamin
kelestariannya.
d) Mengurangi risiko gangguan terhadap zona tersebut dari ke-
giatan-kegiatan lainnya. Dalam penentuan alokasi ruang telah
melalui proses harmonisasi dan melihat kompatibilitas antara zona
yang satu dan zona lainnya.
4
bagi kepentingan sosial budaya masyarakat seperti untuk upacara
adat, wilayah ulayat, wilayah suci laut, wilayah masyarakat hukum
adat, dan nelayan tradisional. Dengan demikian, seluruh komunitas
masyarakat mendapat perlakuan yang adil dan proporsional dalam
memanfaatkan sumber daya lautnya.
Keempat, keuntungan strategis. Fakta menunjukkan, kesuksesan
membuat rencana tata ruang laut telah mampu mengurangi konflik
pemanfaatan ruang, baik antara pemanfaatan yang tidak kompatibel
maupun konflik antara pemanfaatan manusia dan kelestarian
lingkungan alam.
Lebih lanjut, tata ruang laut dapat berfungsi sebagai daya pikat
dan daya ikat investasi. Daya pikat artinya menciptakan peluang
investasi mengingat dengan tata ruang laut akan diketahui distribusi
spasial kutub-kutub pertumbuhan ekonomi kelautan dan potensi
ekonomi masing-masing wilayah yang dapat dikembangkan. Daya
ikat artinya memberikan kepastian hukum, mengingat dengan tata
ruang laut dapat ditentukan alokasi ruang yang sesuai peruntukannya
dan ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Di banyak negara, tata ruang laut juga dapat membantu
menyelesaikan konflik pemanfaatan sumber daya yang berbenturan
4
menyusun rencana tata ruang laut diperlukan sejumah dataset. Di
antaranya batimetri, geologi dan geomorfologi laut, oseanografi
(baik fisik, kimia, maupun biologi), ekosistem pesisir, sumber daya
ikan (jenis dan kelimpahan ikan baik demersal maupun pelagis),
pemanfaatan wilayah laut yang ada, infrastruktur yang telah ada,
ekonomi kecamatan, sosial budaya termasuk masyarakat hukum adat
dan masyarakat tradisional, risiko bencana alam dan perubahan iklim,
serta pencemaran.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya komitmen pimpinan.
Mereka beranggapan, penyusunan rencana tata ruang laut kurang
mempunyai nilai politis karena pekerjaan tersebut sepertinya hanya
berupa dokumen. Kondisi serupa juga terjadi di tingkat fasilitator
yang memiliki pengetahuan terbatas mengenai pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil beserta tata ruang lautnya. Perencana
wilayah juga belum menoleh ke laut. Mereka masih menitikberatkan
pada pekerjaan tata ruang darat. Padahal luas laut kita adalah 2/3 dari
total wilayah RI.
Tak hanya itu saja. Sumber daya manusia, baik di pusat dan
daerah juga belum mengerti cara menyusun rencana tata ruang laut
yang disertai dengan peraturan zonasi/peraturan pemanfaatan ruang.
4
Tata Ruang Laut vs Tata Ruang Darat
Sifat laut sebagai ruang --yang pada setiap segmennya, baik
secara vertikal maupun horizontal-- memiliki potensi yang dapat di-
manfaatkan untuk suatu peruntukan tertentu merupakan perbedaan
mendasar antara penataan ruang darat dan laut. Secara horizontal,
wilayah permukaan laut dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran baik
penumpang maupun barang.
Demikian pula pada perairan laut sekitar pantai dapat
dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut. Pada area kolom
air merupakan wilayah penangkapan ikan atau tempat olah raga
selam. Di dasar laut sering digunakan sebagai pemasangan jalur
kabel komunikasi dan jalur pipa. Di dasar perairan laut tertentu
mengandung mineral dan ditemukan kapal tenggelam yang
bermuatan benda berharga. Sedangkan tanah di dasar laut dapat
merupakan daerah cadangan minyak dan gas.
Penataan wilayah laut pada dasarnya diperlukan terkait dengan
pengaturan pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomo-
dasi semua kepentingan untuk menghindari adanya konflik peman-
faatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada suatu pemahaman
bahwa pemanfaatan suatu sumber daya laut diberikan batas yang
4
servasi, serta pertahanan dan keamanan. Fungsi ekonomi dimaksud-
kan sebagai kebijakan secara makro bahwa suatu kawasan perairan
ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan
karakter yang dimiliki setiap kelompok perairan laut maka dapat di-
perkirakan seperti arahan komoditi unggulan, kebutuhan infrastruk-
tur, kelembagaan, format jaringan pemasaran produk, atau perkiraan
tingkat kerawanan bencana.
Sementara itu, fungsi konservasi dimaksudkan sebagai langkah
mempertahankan kelangsungan suatu kondisi alam, sosial, budaya,
atau kearifan lokal di kawasan perairan laut atau pulau. Penetapan
fungsi ini nantinya dapat dijadikan kawasan konservasi atau lindung.
Fungsi pertahanan dan keamanan dimaksudkan untuk
mengupayakan penempatan fungsi pulau-pulau kecil di suatu
kawasan perairan laut sebagai titik pangkal teritorial dan basis
pangkalan pertahanan negara guna menjaga kedaulatan wilayah.
Di samping itu, di kawasan perairan yang memiliki indikasi rawan
kejahatan (penyelundupan, penangkapan ikan ilegal, dan lain-lain),
penetapan fungsi pertahanan dan keamanan menjadi prioritas.
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam tata
ruang laut/rencana zonasi. Pertama, sifat dinamis laut. Alam tersusun
4
beragam. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya
pengaturan lahan laut atau sering disebut hak ulayat laut.
Keempat, aspek kepastian hukum pemanfaatan perairan laut.
Menurut UU No. 26 Tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Dalam kaitan ini, ruang
diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan
hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dikembangkan
konsep bahwa laut merupakan suatu kesatuan wilayah negara yang
perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pusat kegiatan yang berkembang pada ruang laut diwujudkan
dalam berbagai aktivitas. Di antaranya permukiman, perikanan tang-
kap dan budidaya, pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, wisata
bahari, pertambangan, dan jasa kelautan.
Dalam lingkup perencanaan wilayah, pusat kegiatan ini berfung-
si sebagai pusat permukiman pada kedudukan hierarki tertinggi,
menengah atau terendah, berdasarkan kajian dalam suatu unit wilayah
perencanaan (nasional, provinsi). Untuk lingkup ruang laut, hierarki
pusat permukiman diposisikan sesuai dengan kajian unit analisis pada
4
(administrasi/fungsional) (ZEE, fungsional)
2. Inventarisasi data dasar Inventarisasi data dasar (ekosistem,
biota laut, dan lain-lain) ) tiga
dimensi (permukaan, kolom air, dan
dasar laut)
3. Inventarisasi peta dasar Inventarisasi peta dasar (batimetri,
(topografi, geologi, dan lain- geologi, oseanografi, dan lain-lain)
lain)
4. Analisis kebijakan Analisis kebijakan
5. Analisis fisik (overlay) Analisis fisik (overlay)
6. Analisis ekonomi Analisis ekonomi (MSY)
7. Analisis sosial (penduduk) Analisis sosial (mediasi konflik)
8. Konsep rencana Konsep rencana (identifikasi fungsi
kegiatan)
9. Strategi pemanfaatan ruang Strategi pemanfaatan ruang
10. - Rencana struktur ruang - Rencana struktur ruang (pusat-
(pusat-pusat pertumbuhan) pusat pertumbuhan)
- Rencana pola ruang (land - Rencana alokasi ruang (identifikasi
use) fungsi kegiatan)
11. - Resolusi konflik
4
tentu yang sama pula harus dilengkapi dengan peraturan zonasi/per-
aturan pemanfaatan ruang yang akan mengatur mekanisme sistem
pelaksanaan kegiatannya termasuk manajemen waktu pemanfaatan
dari masing-masing pola untuk setiap kegiatan, selain peraturan zona-
si yang mengatur ketentuan-ketentuan pada setiap pola ruang yang
ditetapkan.
Rencana pola ruang pada layer permukaan laut mendeliniasi
batasan area yang diberikan izin yang diperoleh suatu perusahaan
untuk mengeksplorasi sumber daya kelautan dan batasan area
rekreasi, pelayaran, serta jaringan alur (rute) kapal wisata, dan area
aktif eksplorasi.
Rencana pola ruang pada layer kolom laut mendeliniasi batasan
area penangkapan ikan, berdasarkan ikan yang terdapat pada area
kolom laut tersebut. Sementara itu, rencana pola ruang pada layer
dasar laut mendeliniasi lokasi pertambangan, konservasi dan lokasi
cagar laut dan cagar budaya laut.
Prinsip utama dalam tata ruang laut adalah perencanaan dan
pengelolaan aktifitas manusia di wilayah laut, bukan penataan
ekosistem laut atau komponen ekosistem laut. Untuk itu, agar alokasi
penggunaan ruang laut menurut tujuan dan kegunaan selaras dengan
subandono.diposaptono@yahoo.com
Dimensi perairan laut mulai dari permukaan, kolom, hingga dasar laut.
Mengakomodasi Kepentingan
Lalu, bagaimana strategi menata ruang laut sehingga dapat
mengakomodasi berbagai kepentingan? Setidaknya, ada tiga prinsip
dasar yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana tata ruang
laut.
Pertama, kegiatan yang berlangsung pada ruang laut bersifat
dinamis dan statis. Kegiatan pelayaran, alur migrasi ikan, serta aktivitas
wisata bahari (seperti snorkling, diving, dan selancar) tergolong
dalam aktivitas dinamis. Sedangkan yang bersifat statis antara lain
permukiman atas air, rig pertambangan, bagan tancap, bagan apung,
dan lain-lain.
4
Kedua, ruang laut memiliki tiga dimensi yaitu permukaan, kolom,
dan dasar laut. Setiap dimensi dapat memiliki aktivitas berbeda dalam
suatu zona yang sama dan bisa dilakukan pada waktu yang sama pula.
Contoh konkrit adalah penggunaan dasar laut untuk kabel pipa bawah
laut, pada dimensi kolom dapat berfungsi sebagai daerah migrasi ikan,
sedangkan pada permukaannya untuk alur pelayaran.
Ketiga, penetapan jangka waktu perencanaan (20 tahun). Prediksi
jangka waktu perencanaan ruang laut dipengaruhi oleh sumber daya
(resources) yang dikembangkan oleh masing-masing kegiatan.
Terkait struktur ruang, dapat diwujudkan sebagai pusat-pusat
permukiman yang merupakan sentra (pusat) aktivitas kegiatan dalam
jangkauan pelayanan tertentu. Struktur ruang dalam suatu wilayah
perencanaan memiliki hierarki berdasarkan jangkauan pelayanannya,
mulai dari hierarki paling tinggi dengan jangkauan pelayanan lebih
jauh sampai hierarki terendah dengan pelayanan lebih dekat.
Pusat kegiatan yang berkembang pada ruang laut diwujudkan
dalam berbagai aktivitas di antaranya permukiman, perikanan tangkap
dan budidaya, pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, wisata bahari,
pertambangan, dan jasa kelautan. Dalam lingkup perencanaan
wilayah, pusat kegiatan ini berfungsi sebagai pusat permukiman
4
lokasi pusat kegiatan. Lokasi ini pada akhirnya berfungsi sebagai
pusat kegiatan atau pusat pengembangan (permukiman) dalam
konstelasi wilayah yang lebih luas, yaitu provinsi atau nasional. Atau
bisa juga sebagai titik pusat pengembangan yang mendukung fungsi
salah satu pusat pengembangan (pusat permukiman) pada konstelasi
perencanaan regionalnya (wilayah provinsi atau nasional).
4
berdasarkan kompatibilitasnya.
Kebutuhan pengembangan ruang laut pada masa yang akan
datang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi dan
kelestarian lingkungannya. Oleh karena itu, penyusunan rencana tata
ruang laut dapat mengakomodasi kepentingan multi sektor pada satu
area yang sama.
Rencana tata ruang laut dapat digunakan sebagai alat sinergitas
spasial dan koordinasi rekomendasi perizinan pemanfaatan laut.
Keuntungan lain adalah adanya kepastian hukum yang bersifat spasial
dalam pemanfaatan ruang laut.
Perlu Dilegalkan
Berdasarkan mandat UU No 27/2007 Jo UU No 1 Tahun 2014,
pemerintah daerah (provinsi) diwajibkan menyusun rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K).
RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan
sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetap-
an struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat
kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta ke-
giatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. RZWP-3-
F
akta menunjukkan, tata ruang kerap menjadi kambing
hitam dalam banyak hal, seperti lambatnya investor untuk
menanamkan modal di kawasan tersebut, terjadinya degradasi
lingkungan, terjadinya konflik, atau bencana. Padahal, rencana tata
ruang laut/rencana zonasi dapat dipergunakan sebagai alat sinergitas
spasial dan koordinasi rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang
laut. Keuntungan lain adalah adanya kepastian hukum yang bersifat
spasial dalam pemanfaatan ruang laut.
Disadari atau tidak, saat ini masih terdapat beberapa kendala
dalam menyusun tata ruang laut di Indonesia. Pertama, belum adanya
kesamaan pola pikir dan cara pandang di antara para eksekutif dan
legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam masalah pe-
nataan ruang laut. Kedua, banyak daerah yang belum mengerti cara
menyusun rencana tata ruang laut/rencana zonasi yang dilengkapi
dengan peraturan zonasi.
4
sifatnya partisipatif. Dibutuhkan biaya tinggi untuk kegiatan survei di
permukaan hingga dasar laut.
Kendala lain adalah kurangnya komitmen pimpinan dan
fasilitator dalam proses perencanaan partisipatif tata ruang laut yang
mempunyai pengetahuan yang luas. Jumlah dan mutu sumber daya
manusia juga masih terbatas.
Kalau sudah begini kondisinya, mau dikemanakan (quo vadis) tata
ruang laut kita ini? Mampukah tata ruang laut menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat pengguna sumber daya alam laut sekaligus
menjaga agar potensi sumber daya alam laut tetap lestari?
Payung Hukum
Lahirnya tiga Undang-undang (UU), yakni UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, UU No. 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
serta UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, merupakan tonggak
sejarah bagi pengelolaan laut dan wilayah pesisir serta pulau-pulau
kecil di Indonesia. Hal ini karena ketiga produk hukum tersebut
menjadi payung hukum yang mengatur perencanaan yang bersifat
spasial (keruangan), baik di darat maupun laut. Ketiga UU tersebut
4
(keruangan), yaitu:
a. Perencanaan tata ruang laut nasional, merupakan proses
perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang laut
nasional. Rencana tata ruang laut tersebut ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.
b. Perencanaan zonasi kawasan laut, merupakan perencanaan untuk
menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional (RZKSN),
rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (RZKSNT), dan
rencana zonasi kawasan laut antarwilayah (teluk, selat, dan laut)
atau RZKLAW. Seperti diketahui, RZKSN dan RZKLAW ditetapkan
melalui Peraturan Presiden. Sedangkan RZKSNT (termasuk pulau-
pulau kecil terluar) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.
c. Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-
3-K), merupakan rencana alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, yang selanjutnya diatur dalam UU Nomor 27/2007
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1/2014. Sesuai
dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mana
pengelolaan ruang laut 0 - 12 mil menjadi kewenangan provinsi,
maka RZWP-3-K ditetapkan Perdanya oleh provinsi.
subandono.diposaptono@yahoo.com
4
ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian yang terdapat dalam
dua UU tersebut, sejatinya dapat dikatakan bahwa rencana zonasi
adalah juga merupakan rencana tata ruang. Namun demikian, terdapat
perbedaan peristilahan dalam pembagian kawasan pola ruang yang
perlu dipahami agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam
implementasinya.
Dalam UU No 26/2007 misalnya, pola ruang meliputi kawasan
budidaya dan kawasan lindung. Namun menurut UU No 27/2007 Jo.
UU 1/2014, pola ruang meliputi kawasan pemanfaatan umum dan
kawasan konservasi. Berdasarkan penjelasan Pasal 10 pada UU No
27/2007 Jo. UU 1/2014, kawasan pemanfaatan umum setara dengan
kawasan budidaya dalam UU No 26/2007. Sementara itu, kawasan
konservasi dalam UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 setara dengan kawasan
lindung dalam UU No 26/2007. Sedangkan menurut UU No 32/2014,
kawasan laut juga terdiri dari kawasan pemanfaatan umum, kawasan
konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu.
Dalam pembagian zona di dalam kawasan, juga terdapat
perbedaan istilah (nomenklatur). Misalnya kawasan lindung di UU No
4
adanya kegiatan pemanfaatan baik yang ekstraktif maupun
nonekstraktif dengan pengaturan-pengaturan tertentu sesuai dengan
tujuan kawasan konservasinya. Dengan kata lain, pengaturan ruang
laut tidak dapat menggunakan terminologi yang sama dengan
pengaturan ruang di darat.
Perbedaan lain, di dalam UU No 26/2007 dikenal dengan adanya
alur pelayaran. Sedangkan di dalam UU No 27/2007 Jo. UU 1/2014 dan
UU 32/2014 dikenal dengan adanya alur laut antara lain alur pelayaran,
migrasi ikan, dan kabel laut. Hal ini sesuai fakta bahwa di laut tidak
hanya terdapat alur pelayaran tetapi juga alur migrasi ikan, migrasi
biota, dan kabel laut.
Di sini jelas sekali bagaimana UU No. 27/2007 Jo. UU 1/2014 dan
UU 32/2014 melengkapi dan mengisi kekosongan yang tidak diatur
dalam UU No. 26/2007. Bahkan untuk kepentingan perlindungan ka-
wasan migrasi biota laut, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Hal ini tentu saja tidak akan dapat dilakukan apa-
bila mengacu pada alur menurut UU No. 26/2007.
Sesuai dengan pertimbangan karakteristik dan cakupan
kepentingan pengelolaan sumber daya laut yang dinamis dan saling
terkait tersebut, penulis mengusulkan, untuk perairan laut di wilayah
4
Tentu saja rencana zonasi kawasan laut dan rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut harus diserasikan, diselaraskan,
dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, sesuai amanat UU No
27/2007 Jo. UU 1/2014.
subandono.diposaptono@yahoo.com
4
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
4
tambahan, ZEEI, landas kontinen), kerja sama penataan ruang laut
antarnegara, arahan pemanfaatan dan pengendalian ruang laut
nasional, serta arahan pemanfaatan ruang laut provinsi.
RTRLN dalam implementasinya akan menjadi pedoman dalam
rangka penyusunan rencana pembangunan kelautan jangka panjang
dan jangka menengah serta pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang laut di wilayah nasional. RTRLN juga menjadi
pedoman dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah laut provinsi, serta
keserasian antarsektor. Tak hanya itu, RTRLN juga mampu menjadi
pedoman dalam menetapkan lokasi dan fungsi ruang laut untuk
investasi, menata ruang kawasan strategis laut nasional, serta menata
ruang/zonasi kawasan laut dan provinsi.
Di wilayah darat, kita mengenal wilayah yang memiliki kesamaan
alamiah ditandai dengan adanya kesamaan karakteristik fisik, sosial,
dan ekonominya yang berada dalam satu yurisdiksi pemerintah
daerah, dan atau mencakup lebih dari satu yurisdiksi pemerintah
daerah/lintas provinsi. Di situ juga dijumpai paradigma daerah aliran
sungai (DAS). Di perairan laut, kita mengenal adanya teluk, selat, dan
laut.
4
alur laut yang secara umum merupakan penetapan prioritas kawasan
laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi
laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. Dalam
pelaksanaannya, rencana zonasi kawasan laut memberikan arahan
kerja sama penataan ruang laut antarprovinsi. Di samping itu rencana
zonasi teluk, rencana zonasi selat, dan rencana zonasi laut berfungsi
sebagai instrumen perizinan di perairan laut di atas 12 mil.
Dalam struktur perencanaan tata ruang di wilayah laut, rencana
zonasi kawasan laut (laut, selat, dan teluk) merupakan dokumen
perencanaan yang mendetilkan gambaran struktur dan pola ruang
laut nasional dan sekaligus juga menjadi rencana yang komplementer
untuk RZWP-3-K. RTRLN merupakan arahan struktur dan pola ruang
makro (skala kecil) dan jangka panjang (20 tahun).
Arahan jangka panjang itu harus tetap dipegang dan dijaga
keberlanjutannya sehingga tidak ada penyimpangan dari tujuan dan
arah RTRLN. Untuk menjaga konsistensi dalam keterkaitan program
pelaksanaan antarsektor dan antarwilayah laut provinsi, maka
ditetapkan rencana zonasi kawasan laut.
Dalam rangka memperkuat otonomi daerah dalam pengelolaan
ruang laut, menurut ketentuan UU No. 23/2014 maka pengelolaan
4
sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. RZWP-3-
K juga dapat menjadi acuan dalam rujukan konflik di perairan laut
wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, acuan dalam pemanfaatan
ruang di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta
acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
RZWP-3-K memberikan arahan pemanfaatan sumber daya
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada ruang laut 0 - 12 mil
ke dalam kawasan serta arahan zona pemanfaatannya. RZWP-3-
K memuat antara lain: alokasi ruang dalam kawasan pemanfaatan
umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan
alur laut. Di samping itu, RZWP-3-K juga memuat keterkaitan antara
ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion.
RZWP-3-K Provinsi yang dituangkan ke dalam peta dengan skala
1:250.000 ini juga memuat penetapan pemanfaatan ruang laut dan
penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial
budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan
dan keamanan.
Efektivitas penerapan rencana tata ruang/zonasi laut sangat
4
yang dinilai belum efektif sebagai acuan dalam pelaksanaan peman-
faatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang lautnya. RZR ditu-
angkan dalam peta skala 1:10.000 dan disusun sesuai dengan prioritas
kebutuhan zona di kawasan pemanfaatan umum dan/atau kawasan
strategis nasional tertentu.
RZR dilengkapi dengan analisis daya dukung dan daya tampung,
serta peraturan pemanfaatan ruang ke dalam subzona dan/atau blok-
blok di dalam peta yang juga berfungsi sebagai zoning map bagi
peraturan pemanfaatan ruang.
IZIN PRINSIP
1
IZIN LOKASI Izin Lokasi
(Di Darat) 2 1 Di Perairan Laut
IZIN PENGGUNAAN/
Izin Pengelolaan/
PEMANFAATAN TANAH 3 2 Izin Sektor
Amar Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010
IMB 4
213
4
1/2014 dan UU 32/2014, izin di perairan laut diberikan dalam bentuk
izin lokasi dan izin pengelolaan sumber daya perairan pesisir.
Izin lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang
dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan
tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau
kecil. Sedangkan izin pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil.
Oleh karena itu, setiap pemanfaatan ruang dari sebagian perairan
laut dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap
wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi terdiri dari izin lokasi perairan
pesisir dan izin lokasi pulau-pulau kecil. Izin lokasi di perairan pesisir
diberikan berdasarkan RZWP-3-K. Sedangkan izin lokasi pulau-pulau
4
kecil diberikan berdasarkan RTRW. Izin lokasi diberikan dalam luasan
dan waktu tertentu, dan tidak dapat diberikan pada zona inti di
kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Izin lokasi merupakan dasar pemberian izin pengelolaan sumber
daya perairan laut dan pesisir yang berupa kegiatan produksi garam,
biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain
energi, wisata bahari, kegiatan survei, dan pengangkatan benda
muatan kapal tenggelam. Sedangkan untuk perizinan terhadap
pemanfaatan perairan pesisir selain kegiatan-kegiatan tersebut dan
pada wilayah masyarakat hukum adat, tetap dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan sesuai dengan
kewenangan masyarakat hukum adat setempat.
Pemberian izin lokasi tersebut wajib mempertimbangkan
kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat hukum adat, nelayan
tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal
asing. Sementara itu, untuk pemberian izin pengelolaan sumber
daya perairan laut dan pesisir wajib mempertimbangkan kelestarian
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat hukum adat, serta
kepentingan nasional.
4
Selatan), WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa), WPPNRI 713 (perairan Selat
Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), WPPNRI 714 (perairan
Teluk Tolo dan Laut Banda), WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau), WPPNRI 716
(perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), WPPNRI
717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), WPPNRI 718
(perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur).
Selama ini manajemen pengelolaan perikanan tangkap
(seperti penetapan WPP) didasarkan pada pemahaman bidang
biologi perikanan, yang umumnya ditentukan dari data sebaran
potensi populasi biota secara biologis. Namun pendekatan ini tidak
menempatkan sumber daya ikan (SDI) sebagai komponen dari
ekosistem secara keseluruhan (Pauly, 2009).
Dengan kata lain, pendekatan tersebut tidak mengakomodasi
keragaman spasial dan ancaman-ancaman yang ada terhadap SDI
(Halpern dkk, 2008). Ketiadaan integrasi dari pola dan proses ekosistem
secara spasial berakibat pada manajemen SDI dan ekosistem yang
tidak berimbang (Wilen, 2004). Akibatnya, dari 11 WPP, sebanyak 2
WPP (WPP 571 dan 714) dalam kondisi overfishing.
4
berdampak pada terganggunya ekosistem secara keseluruhan.
Sementara itu, RTRL/Rencana Zonasi adalah rencana yang
menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang
pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.
Pengelolaan ruang laut berbasis ekosistem berarti mengede-
pankan paradigma kewilayahan (area-based resource) berbasis eko-
sistem seperti potensi perikanan tangkap, areal konservasi, dan anali-
sa keberlanjutan sumber daya berbasis spasial. Prinsip utama dalam
pengelolaan ruang laut untuk menunjang pemanfaatan WPP adalah
pertimbangan bahwa SDI merupakan sumber daya yang bergerak,
sehingga tidak mungkin memanfaatkan ruang yang sama sepanjang
waktu.
Untuk itu diperlukan data yang lebih presisi untuk optimalisasi
WPP karena SDI memiliki lokasi yang dinamis, baik dalam ruang mau-
pun waktu. Jika penataan ruang laut termasuk kawasan WPP disusun
berdasarkan potensi sumber daya ekosistem (termasuk di dalamnya
SDI), maka di masa depan nelayan tidak perlu menghabiskan bahan
4
pelabuhan, dan lain sebagianya) di perairan laut. Dari sinilah, untuk
kegiatan perikanan tangkap yang telah tertuang di dalam RTRL/
Rencana Zonasi selanjutnya dikelola dengan menggunakan kaidah
kaidah yang diatur dalam rencana pengelolaan perikanan dalam WPP
bergantung kepada di mana RTRL/Rencana Zonasi dan WPP sama-
sama berada.
Tak hanya itu. Dalam menentukan arahan pemanfaatan ruang
dan peraturan pemanfaatan ruang perikanan tangkap dalam RTRL/
Rencana Zonasi juga wajib memperhatikan kaidah-kaidah yang telah
diatur dalam rencana pengelolaan perikanan di WPP.
Setidaknya ada empat hal yang bisa menjelaskan hubungan
harmonisasi antara WPP dan RTRL/Rencana Zonasi. Pertama, Pasal
10 dari kode etik internasional untuk Perikanan Bertanggung Jawab,
mempromosikan integrasi perikanan ke dalam manajemen wilayah
pesisir (FAO, 1995).
Kedua, RTRL/Rencana Zonasi harus dilihat sebagai pendekatan
untuk pengelolaan ruang laut yang terintegrasi dan komprehensif
dengan memperhatikan komponen-komponen kunci dari masing-
masing sektor seperti pengelolaan perikanan (wilayah pengelolaan
perikanan, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem), pengelolaan
4
Zonasi. Informasi daerah ekologis dan biologis sensitif meliputi:
daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, endemisme
tinggi, daerah dengan produktivitas yang tinggi, daerah pemijahan,
daerah pembibitan, koridor migrasi ikan dan titik-titik persinggahan.
Proses penyusunan RTRL/Rencana Zonasi juga mencakup
pengumpulan informasi dan pemetaan kegiatan manusia yang ada
dan masa depan di wilayah perairan pesisir/laut di dalam dan sekitar
WPP. Kedua informasi spasial tersebut memberikan informasi penting
dalam menentukan rencana pengelolaan perikanan.
Berdasarkan pengertian WPP dan RTRL/Rencana Zonasi tersebut,
keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya
meliputi: WPP dan Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi sama-sama
menjadikan ruang laut sebagai arena pengaturan atau pengelolaan.
Keduanya juga menetapkan bentuk-bentuk pemanfaatan dimana
WPP mencakup kegiatan-kegiatan terkait dengan sumber daya ikan,
sedangkan tata ruang laut meliputi semua bentuk kegiatan manusia
dalam menggunakan ruang laut. Persamaan lainnya baik WPP maupun
RTRL/Rencana Zonasi bertujuan untuk memastikan keberlanjutan
pemanfaatan sumber daya.
Sedangkan perbedaannya meliputi tiga hal. Pertama, WPP tidak
4
ditetapkan melalui Peraturan Daerah (untuk kasus perairan 0 - 12 mil),
peraturan presiden, atau peraturan pemerintah.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan tersebut maka WPP
dan RTRL/Rencana Zonasi dapat saling melengkapi dan memperkuat
kepentingan Kelautan dan Perikanan dalam tiga hal. Pertama,
memastikan kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya dan ruang
laut. Kedua, menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya
perikanan, baik secara ekonomi maupun sosial dan budaya. Ketiga,
mewujudkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil baik yang berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya, maupun
masyarakat adat.
Untuk mewujudkan hal-hal tersebut maka integrasi dan
harmonisasi yang harus dilakukan meliputi tiga hal:
1. WPP memberikan masukan secara fungsional dan teknis
terhadap rencana alokasi ruang atau zona dalam rencana tata
ruang laut/rencana zonasi. Variabel yang diintegrasikan antara
lain informasi potensi stok perikanan penting, jalur migrasi
ikan, habitat esensial, wilayah pemijahan, dan wilayah-wilayah
perikanan adat.
4
penentuan lokasi pelabuhan pada kawasan-kawasan habitat
penting perikanan, pembangunan anjungan-anjungan Migas yang
bertumpangan dengan kawasan budidaya laut. Hal-hal tersebut akan
semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya di masa datang sesuai
dengan prioritas pemerintah yang akan menjadikan laut sebagai
ujung tombak pembangunan nasional. Potensi konflik tidak hanya
terjadi pada kompetisi penggunaan ruang lautnya namun juga pada
level masyarakat, bisnis, dan pemerintahan.
Kata kunci dari penataan ruang laut berbasiskan ekosistem/
kewilayahan adalah manajemen pengelolaan perikanan yang berhasil
harus mampu mengakomodasi keragaman spasial dalam ekosistem.
Dengan demikan, pola umum yang selama ini ‘mencari ikan’ beralih
menjadi ‘menunggu’ ikan dan menangkapnya pada tempat dan waktu
yang tepat (place-based fishery management).
222
Keterkaitan dalam:
1. Siklus hidup biota
2. Rantai makanan
Perikanan
tangkap
Perubahan iklim
1. Bathymetry WPP
2. Arus
3. Gelombang
Ekonomi/ 4. Biomassa
subandono.diposaptono@yahoo.com
Konsepsi optimalisasi pemanfaatan WPP melalui pendekatan kewilayahan berbasis penataan ruang laut.
Data Spasial,
Kunci Keberhasilan
Rencana Tata Ruang Laut/
Rencana Zonasi
K
ini, Norwegia menjadi bangsa yang sangat maju, kompetitif,
dan berdaya saing tinggi. Terbukti dari kelautan dan perikanan
menyumbang devisa tertinggi dibandingkan sektor lainnya.
Negara tersebut mengelola sumber daya kelautan berupa minyak
dan gas (Migas) di laut lepas (offshore), perikanan budidaya, perikanan
tangkap (termasuk ikan laut dalam atau deep sea), pelabuhan, dan
lain-lain berdasarkan data dan informasi spasial yang komplet dan
tentu saja terkini. Dengan demikian, pengambil keputusan mampu
4
Potensi tersebut tersebar di perairan laut seluas 6.315.222 km2. Wilayah
Nusantara juga ditaburi sekitar 17.504 pulau dan dikelilingi laut yang
aduhai memikat dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah ruah.
Potensi ini jelas memiliki peranan sangat vital dalam memajukan taraf
hidup masyarakatnya.
Namun mengapa Indonesia yang dikaruniai sumber daya kelaut-
an dan perikanan yang sangat kaya raya itu belum mampu menye-
jahterakan warganya? Kenapa sumber devisa dari sektor kelautan dan
perikanan masih relatif kecil kontribusinya? Sebelum menjawab per-
tanyaan tersebut, mari kita lihat fenomena menarik berikut ini.
4
ambilan
keputusan Survei dan
analisis data
Perekayasa, ilmuwan
Komunikasi
perencanaan
Surveyor,
pengelola data,
sistem analisis,
dll Database informasi
subandono.diposaptono@yahoo.com
Kedudukan data dan informasi dalam pengambilan keputusan.
4
Jabar, Jateng, dan Maluku Utara yang memiliki Perda tata ruang laut.
Itupun hanya wilayah perairan 4-12 mil.
4
dengan cara delineasi batas/poligon.
Guna mendapatkan data yang valid, perlu dilakukan ground check
dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Ground check untuk
data suhu permukaan laut, klorofil, dan TSS dilakukan berdasarkan
keragaman warna atau variabilitas data pada hasil analisis citra satelit,
sehingga setiap interval nilainya dapat terwakili secara proporsional.
Ground check untuk data ekosistem pesisir dan substrat dasar laut
dilakukan berdasarkan keterwakilan setiap jenis ekosistem pesisir dan
jenis substrat dasar laut.
Tujuan ground check adalah untuk mendapatkan data pengukur-
an lapangan yang digunakan untuk mengoreksi dan memvalidasi
hasil analisis citra satelit. Sehingga dihasilkan data suhu permukaan
laut dan klorofil yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Dari data yang sudah divalidasi sinilah dilakukan penyusunan
peta kontur suhu permukaan laut dan klorofil dengan cara interpolasi
nilai-nilai suhu permukaan laut dan klorofil di setiap titik-titik grid yang
ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan.
Untuk data ekosistem pesisir dan substrat dasar laut, hasil ground
check digunakan untuk validasi objek dan memperbaiki batas poligon
untuk setiap jenis ekosistem pesisir dan substrat dasar laut yang di-
4
diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur isoline tinggi gelombang
dan diklasifikasi dengan interval 0,1 meter.
Untuk arus, distribusi spasial pola arus (setiap grid maksimum
2,5 km dan 500 meter untuk RZWP-3-K Provinsi) di seluruh perairan
wilayah perencanaan disimulasikan dengan model matematik hidro-
dinamika pola arus. Hasilnya berupa nilai kecepatan dan arah arus di
setiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perenca-
naan.
Untuk memvalidasi hasil pemodelan hidrodinamika pola arus,
dilakukan kalibrasi dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada
kondisi pasang tinggi (spring tide) selama 3 hari 3 malam setiap jam
yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran pasang surut. Setelah
itu, nilai kecepatan arus di setiap titik-titik grid yang diperoleh dari hasil
pemodelan matematik diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur
isoline kecepatan arus dan diklasifikasi dengan interval 0,05 m/detik.
Ketiga, kombinasi analisis citra satelit dan pemodelan mate-
matik. Analisis citra satelit dan pemodelan matematik dapat dikombi-
nasikan untuk mendapatkan data daerah penangkapan ikan pelagis.
Analisis citra satelit dilakukan untuk mendapatkan data suhu permu-
kaan laut, klorofil, dan sea surface height (SSH), sedangkan pemodelan
4
dihasilkan data lokasi DPI pelagis harian, mingguan, bulanan, musiman,
dan tahunan dalam bentuk raster dan perubahannya. Data lokasi DPI
ini kemudian diolah dan dianalisis menggunakan Sistem Informasi
Geografis (GIS) sehingga dihasilkan pola sebaran DPI pelagis untuk
kurun waktu tertentu. Untuk mengetahui akurasi hasil pemodelan DPI
pelagis, dilakukan validasi menggunakan data hasil survei densitas
ikan di lapangan.
Keempat, pengukuran langsung atau survei lapangan. Survei
lapangan dilakukan untuk memperoleh data dasar dan tematik yang
tidak dapat diperoleh melalui analisis citra satelit dan pemodelan
matematik. Survei atau pengukuran langsung di lapangan membu-
tuhkan biaya tinggi karena pengukurannya harus mewakili wilayah
perencanaan. Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan antara
lain bathimetri, kecerahan, salinitas, pH, dan data geoteknik.
Sebagai contoh, survei bathimetri dilakukan dengan cara pe-
meruman menggunakan alat Echosounder di atas perahu motor. Un-
tuk provinsi dengan skala perencanaan 1:250.000 dilakukan pemeru-
man dengan interval lajur maksimal 2,5 km. Untuk skala perencanaan
1:50.000 dilakukan pemeruman dengan interval lajur maksimal 500
meter. Untuk skala perencanaan 1:25.000 dilakukan pemeruman den-
4
yang dibutuhkan, meliputi skala, akurasi geometrik, kedetilan
informasi, kemutakhiran data, dan kelengkapan atribut. Selain itu,
data dan informasi spasial harus memenuhi kaidah One Map Policy,
dimana data dan informasi spasial harus dibangun secara bersama
menjadi data spasial yang memiliki satu format, satu referensi, satu
basis data (geodatabase), dan satu geoportal.
Yang dimaksud satu format adalah data spasial yang digunakan
harus memiliki standar format yang sama yaitu shapefile. Satu
referensi berarti data harus mempunyai acuan referensi geografis
yang sama sehingga dapat dengan mudah diintegrasikan, yaitu
Universal Transverse Mercator (UTM).
Satu database berarti data dan informasi disimpan dalam sistem
geodatabase yang terintegrasi dan mengacu pada katalog unsur
geografis nasional sehingga tidak terjadi duplikasi dalam perolehan
dan pengelolaan. Satu geoportal memiliki arti informasi spasial harus
dapat diintegrasikan dalam jaringan data spasial nasional.
Dari sisi skala, rencana tata ruang laut di tingkat provinsi
menggunakan skala minimal 1:250.000. Setelah melalui proses
pengolahan melalui Sistem Informasi Geografis (GIS), data dan
informasi spasial yang telah dikumpulkan kemudian disajikan secara
4
ikan demersal, sumber daya ikan pelagis, risiko pencemaran, dan data
deposit pasir laut. Berikut ini uraian singkat mengenai parameter-
parameter tersebut.
1. Bathimetri
Bathimetri merupakan data kedalaman laut yang ditampilkan
dalam bentuk kontur isoline. Bathimetri memberikan gambaran
tentang morfologi dasar laut (perairan). Data bathimetri diperoleh
dari pengukuran lapangan menggunakan pemeruman echosounder
yang terintegrasi dengan global position system (GPS) pada titik-titik
tertentu.
Data pengukuran lapangan diolah menggunakan interpolasi
spasial sehingga menghasilkan garis kontur kedalaman laut. Garis
kedalaman tersebut digunakan untuk membuat peta bathimetri yang
memberikan gambaran topografi dasar laut.
Informasi kedalaman laut sangat penting untuk menentukan alo-
kasi pola ruang laut. Setiap peruntukan di laut memiliki karakteristik
masing-masing sesuai dengan kriteria kesesuaian pemanfaatannya.
Di antaranya alokasi ruang untuk pariwisata, pelabuhan, pertambang-
an, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan pelagis, in-
4
Data geologi dan geomorfologi laut dapat diperoleh dari
interpretasi citra penginderaan jauh dan dikomparasikan dengan
pengukuran lapangan. Citra yang digunakan memperhatikan daya
tembus spektral citra pada kolom air dan hal-hal yang mempengaruhi
daya tembus, seperti kekeruhan. Resolusi spasial citra memperhatikan
output peta yang akan dihasilkan. Pengukuran lapangan digunakan
untuk mengambil data yang tidak dapat diperoleh dari interpretasi
citra, serta uji akurasi (ground check) untuk validasi hasil interpretasi.
Data geologi dan geomorfologi laut tersebut diolah menjadi peta
geologi dan geomorfologi dasar laut. Kedua informasi tersebut diman-
faatkan untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, industri maritim, konservasi, alur laut, serta reklamasi.
4
Suhu air laut juga dapat mempercepat atau memperlambat
proses pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama
dan setelah pemijahan menentukan “kekuatan keturunan” dan daya
tahan larva pada berbagai spesies ikan.
Suhu ekstrem selama musim pemijahan dapat memaksa ikan
memijah ke daerah lain. Dalam jangka panjang, perubahan suhu
dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan dan fishing
ground secara vertikal.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat
karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh
angin, pada lapisan teratas sampai kedalaman sekitar 50 - 70 m terjadi
pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat, sekitar
28 °C.
Lapisan teratas atau lapisan vertikal ini bisa menjadi lebih tebal
lagi akibat pengaruh arus dan pasang surut. Di perairan dangkal,
lapisan vertikal ini sampai ke dasar laut.
Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam
yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
atau disebut termoklin (lapisan diskontinyuitas suhu). Suhu pada
lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin
4
ekuatorial selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.
Data SPL diperoleh dari hasil ekstraksi citra, analisis spasial
yang dikomparasikan dengan pengukuran lapangan (groundcheck
pengambilan sampel), dan interpolasi spasial. Data tersebut
direpresentasikan dengan garis kontur isotherm rentang 20 – 35 oC
untuk perairan Indonesia/tropis, dengan interval 0,5 oC. Pemanfaatan
data SPL dalam pembuatan rencana tata ruang laut adalah sebagai
salah satu parameter dalam menentukan alokasi ruang untuk
pariwisata, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap pelagis.
4. Klorofil
Fitoplankton merupakan produsen primer dari rantai makanan
yang ada di laut. Fitoplankton memiliki kandungan klorofil warna
hijau untuk melakukan fotosintesis. Karakteristik klorofil yang
memantulkan spektral hijau menyebabkan konsentrasi klorofil dapat
diestimasi melalui citra satelit. Oleh karena itu, tingginya konsentrasi
klorofil menjadi representasi dari tingginya kelimpahan fitoplankton
dan sebaliknya.
Besarnya kandungan klorofil dalam air laut diukur secara lang-
sung (ground check) dengan mengambil air contoh (sampel). Data
5. Cahaya
4
Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan
sebelum matahari terbenam. Setelah matahari tenggelam, ikan-ikan
ini menyebar pada kolom air. Lain lagi setelah matahari terbit, ikan-
ikan ini tenggelam ke lapisan lebih dalam. Ikan demersal biasanya
menghabiskan waktu pada siang hari di dasar. Lalu, naik dan menyebar
pada kolom air pada malam hari.
Cahaya berpengaruh terhadap pemijahan dan larva. Jumlah
cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan.
Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak
langsung. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik
yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga
mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan
pelagis lebih banyak pada malam hari dibandingkan siang hari.
6. Kecerahan
Nilai kecerahan (berkorelasi dengan indeks kekeruhan air) dapat
dijadikan parameter untuk mengukur kedalaman air. Nilai kecerahan
juga dapat dijadikan indikator kandungan oksigen, bahan organik dan
anorganik, serta kandungan klorofil dalam air.
Nilai kecerahan diperoleh dari pengukuran lapangan dengan
7. Salinitas
Salinitas merupakan banyaknya kadar garam pada setiap 1 kg air
laut. Salinitas setiap tempat memilik variasi tersendiri. Hal tersebut di-
pengaruhi oleh iklim berkaitan dengan tinggi rendahnya penguapan
4
dan keseimbangan terhadap curah hujan di suatu wilayah.
Perolahan data distribusi salinitas di laut dilakukan dengan peng-
ukuran langsung di lapangan. Pengukuran dapat dilakukan langsung
dengan alat dan diukur di lapangan atau dengan mengambil sampel
air untuk diuji laboratorium. Nilai salinitas yang diperoleh pada titik
sampel diolah dengan interpolasi spasial sehingga memberikan gam-
baran batas yang tegas pada interval perubahan salinitas.
Pemanfaatan informasi spasial sebaran salinitas di laut
sangat penting untuk membantu menentukan pola ruang dalam
penyusunan tata ruang laut. Penggunaan data tersebut antara
lain untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, konservasi, industri maritim, alur laut, serta reklamasi.
Salinitas merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi
tekanan osmotik pada ikan sehingga variasi salinitas akan
mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan.
8. pH
Kandungan senyawa dalam air laut sangat berpengaruh terhadap
ekosistem laut di sekitarnya. Oleh sebab itu pengukuran kadar senya-
4
(turbiditas) karena dapat menghalangi cahaya untuk fotosintesis dan
visibilitas perairan. Pengukuran TSS dapat dilakukan melalui beberapa
tahap. Pertama, identifikasi berdasarkan visibilitas dan variabel nilai
tertentu permukaan air melalui interpretasi citra penginderaan jauh.
Tahapan selanjutnya adalah uji akurasi (ground check) pada wilayah
yang dikaji berdasarkan variabilitas nilai yang dikaji.
Hasil dari uji validasi ke lapangan diolah dengan menggunakan
interpolasi spasial sehingga diperoleh batas sesuai nilai yang
digunakan. Informasi tersebut disajikan dalam bentuk peta TSS.
Informasi TSS digunakan untuk menentukan alokasi ruang bagi
pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan budidaya, serta
perikanan tangkap demersal dan pelagis.
10. Gelombang
Gelombang laut merupakan pergerakan air laut secara vertikal
akibat adanya arus laut. Gelombang memiliki peranan penting dalam
ekosistem laut dan pesisir. Fungsi dari dinamika gelombang laut
antara lain untuk menjaga kestabilan suhu dari iklim dunia, sebagai
sarana pertukaran gas di laut, meningkatkan keanekaragaman hayati,
serta membantu proses pembentukan pantai.
4
bang laut. Gerakan gelombang menyebabkan pasir di bawah permu-
kaan laut tersuspensi dalam air laut. Akibatnya, pasir bisa saja terbawa
ke pantai.
Pengaruh lainnya dalam pembentukan pantai adalah terjadi-
nya pengikisan di wilayah pantai akibat gelombang. Karakteristik
gelombang menjadi salah satu faktor yang akan menentukan ter-
bentuknya morfologi pantai.
Data gelombang diperoleh dari pengukuran lapangan
menggunakan Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP) bersensor
tekanan untuk merekam tinggi dan periode gelombang dengan
memanfaatkan gelombang akustik yang berlangsung dalam waktu
tertentu. Hasil pengukuran lapangan diolah menjadi model matematis
refraksi gelombang yang kemudian diinterpolasi.
Hasil interpolasi tersebut diubah menjadi infromasi spasial beru-
pa peta gelombang. Peta gelombang dapat dimanfaatkan untuk me-
nentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan, pertambangan,
perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan pelagis, indus-
tri maritim, alur laut, serta reklamasi.
4
ikan pelagis, perpindahan telur ke area bertelur ikan, hingga menuju
area feeding ground (area untuk mencari makanan). Setiap fase re-
produksi ikan memiliki kriteria lingkungan masing-masing, seperti
pada fase telur dan anak ikan. Lingkungan yang mendukung adalah
perairan dengan arus yang lebih tenang.
Fungsi lainnya, arus digunakan sebagai orientasi dan penentu-
an arah oleh ikan untuk melakukan migrasi. Arus pasang surut yang
terjadi di suatu tempat juga mempengaruhi perilaku ikan. Arus ber-
pengaruh terhadap transport plankton, sehingga akan menyebabkan
perpindahan konsentrasi ikan di laut sesuai dengan arah arus yang
membawa plankton.
Menurut Lavastu dan Hayes (1981), terdapat hubungan arus
dengan penyebaran ikan. Arus mengalihkan telur-telur, anak-anak
ikan petagis, dan spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery
ground (daerah pembesaran) serta ke feeding ground (tempat mencari
makan). Migrasi ikan-ikan dewasa dipengaruhi arus, sebagai alat
orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami.
Arus juga dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa.
Secara tidak langsung, arus mempengaruhi pengelompokan makanan,
atau faktor lain yang membatasinya, seperti suhu.
4
dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus Eddies melalui rantai
makanan.
Arus juga berpengaruh terhadap perubahan fisik pantai. Arus
yang menuju ke daratan akan menyebabkan abrasi dan akresi pada
pantai. Informasi arus diperoleh dari pengukuran lapangan dalam
waktu tertentu sehingga diperoleh data karakteristik arus suatu
wilayah.
Data arus laut dapat diperoleh melalui pengukuran lapangan. Ha-
sil pengukuran lapangan diolah untuk kalibrasi model hidrodinamika
pola arus yang kemudian dilakukan interpolasi spasial. Interpolasi
akan menghasilkan informasi arus berdasarkan kecepatan dan arah-
nya. Informasi tersebut direpresentasikan pada peta arus yang ber-
fungsi untuk menentukan alokasi ruang bagi pariwisata, pelabuhan,
pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap demersal dan
pelagis, konservasi, industri maritim, alur laut, serta reklamasi.
4
rajungan (Portunus spp.), udang (Penaeus spp.), penyu hijau (Chelonia mydas),
duyung/dugong (Dugong dugong), dan manate (Trichechus manatus).
4
Metode identifikasi terumbu karang serta jenis dan kelimpahan ikan demersal.
4
ikan pelagis. Termasuk ikan demersal antara lain: sebelah, nomei,
peperek, manyung, beloso, biji nangka, gerot-gerot, merah, kakap,
kerapu, lencam, kurisi, swangi, mata besar, ekor kuning, gulamah,
semgeh, cucut hiu, cucut martil, cucut totol, pari kelapa, pari kemang,
pari burung, bawal hitam, bawal putih, kuro, senangin, layur, lidah,
bambangan, beronang kuning, dan beronang lingkis.
Sementara itu, berdasarkan identifikasi kelimpahan ikan (lihat
gambar halaman 245), dapat diketahui tingkat kelimpahan ikan (sa-
ngat kaya, kaya, sedang, miskin). Perairan yang mempunyai kelimpah-
an ikan yang sangat kaya (>25 %) dengan jenis ikan komersial dapat
dijadikan dasar dalam penentuan alokasi ruang untuk perikanan tang-
kap demersal.
Sedangkan perairan yang memiliki kelimpahan ikan yang sangat
kaya (>25 %) dengan jenis ikan yang dilindungi dapat dijadikan dasar
dalam penentuan alokasi ruang untuk kawasan konservasi.
Ikan yang berasosiasi dengan substrat dasar laut pasir berlumpur
berkedalaman laut kurang dari 65 m dan arus tidak terlalu kencang
antara lain rajungan, kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus), dan
Epinephelus stictus. Sementara itu yang berasosiasi dengan substrat
dasar laut berlumpur di antaranya kerang kotok (Polemysoda
4
bathimetri. Setelah analisis citra satelit dilakukan maka dilakukan
survei lapangan untuk mengetahui densitas ikan. Peta sumber daya
ikan pelagis digunakan untuk menentukan alokasi ruang perikanan
tangkap pelagis. Informasi yang terdapat dalam peta sumber daya
ikan pelagis adalah sebaran, luas, jenis, dan kelimpahan ikan pelagis.
Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan
permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu
dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan
melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Contoh ikan
pelagis antara lain: tuna, cakalang, tongkol, layang, teri, kembung,
tengiri, marlin, wahoo, tuna, sarden, salmon, trout, ikan teri, barakuda,
lemuru, tembang, japuh, dan kembung.
Upwelling
Ikan pelagis biasanya banyak dijumpai di perairan yang terjadi
upwelling dan front. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari
suatu lapisan dalam ke permukaan. Menurut Barnes dan Hughes
(1988), proses upwelling dapat terjadi dalam tiga bentuk. Pertama,
pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan
seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di
Proses upwelling atau naiknya massa air laut dari lapisan yang dalam ke permukaan
laut.
4
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya
saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya Coriolis dan
massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh
gaya Coriolis juga. Keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang
kosong” pada lapisan di bawahnya.
Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah
massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut
dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya divergensi
pada perairan laut tersebut.
Ketiga, upwelling juga dapat disebabkan oleh arus yang menjauhi
pantai akibat tiupan angin darat secara terus-menerus selama
beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke
laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang
kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan dapat disebabkan upwelling.
Sebab, gerakan air naik ini membawa serta air bersuhu lebih dingin,
4
fitoplankton akan terbawa turun kembali dan keluar dari zona fotik
secara cepat.
4
Lydekker di bagian timur.
Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan
kelimpahan biota tinggi. Beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan
endemik. Selain Selat Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi
di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala
burung dan perairan timur Papua. Satu-satunya lokasi upwelling di luar
kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.
Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara vertikal dan horizontal
sangat membantu untuk menduga terjadinya upwelling. Pola-pola
sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk mengetahui jarak
vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat (Sumber:
http://andiracandoit.blogspot.co.id/2011/10/fenomena-fenomen-pada-
daerah.html)
Tingginya kadar hara, terutama fosfat, nitrat, dan silikat di
permukaan berpadukan intensitas cahaya matahari yang tinggi, akan
memacu laju fotosintesa, fitoplankton (plankton nabati). Fitoplankton
ini akan dimakan oleh kopepoda dan zooplankton lainnya (plankton
feeder) yang merupakan pakan utama bagi berbagai jenis ikan pelagis
kecil.
4
Setidaknya, ada lima faktor upwelling bisa terjadi. Di antaranya
kecepatan angin berkisar 15 - 25 knot dan berembus terus-menerus
di sepanjang pantai. Suhu permukaan air laut berkisar kurang dari
28 oC. Suhu dari permukaan bawah laut dan kolom perairan berkisar
antara 25 - 27 oC. Kedalaman perairan berkisar antara 50 - 300 meter.
Kecepatan arus 1 - 5 meter per hari.
Front
Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai
karakteristik berbeda baik temperatur maupun salinitas. Sebut saja
pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan
Samudra Hindia yang lebih dingin.
Front terbentuk dalam estuari (antara air sungai dan air estuari
yang tinggi salinitasnya), dan di luar mulut-mulut estuari (antara air
estuari dan air laut). Umumnya terdapat di laut-laut dangkal dan
memisahkan air terlapis dari air yang tercampur vertikal. Front juga
terbentuk di sepanjang pinggiran paparan benua, memisahkan pantai
atau air paparan dari air laut terbuka.
Menurut Robinson (1991), front penting dalam hal produktivitas
perairan laut karena cenderung bersama-sama air yang dingin mem-
4
punyai karakteristik berbeda baik temperatur maupun
dengan mening-
salinitas. Front mudah dikenali dari citra satelit dan foto katnya stok ikan di
udara. Front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung. daerah tersebut.
Front yang ter-
bentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap bagi
zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan
feeding ground bagi jenis ikan pelagis. Selain itu, pertemuan massa air
yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan atau pengha-
lang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak
yang besar. Pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar inilah
yang menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik.
Dengan demikian front sangat berpengaruh terhadap daerah penang-
kapan ikan.
Front mudah dikenali dari citra satelit dan fotografi aerial (foto
udara), terutama bila terdapat perubahan kekasaran permukaan dan
refleksi optiknya. Front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung.
Upwelling dan front dapat diprediksi melalui parameter antara
lain arus (current), suhu permukaan laut (sea surface temperature atau
SST), dan klorofil (lihat gambar skema di atas). Parameter arus yang
4
permukaan air bagian pusat lebih tinggi daripada daerah sekitarnya.
Sedangkan eddy yang bergerak berlawanan arah jarum jam memiliki
inti dingin dan ketinggian air di pusatnya lebih rendah.
Skematik gerakan eddy dan akibatnya terhadap pergerakan vertikal massa air di
bumi belahan selatan (Sumber: Ganachaud, et al. 2011).
4
ASST. Apabila di suatu perairan terjadi ASST ≥ 1,5 °C dengan panjang
daerah anomali lebih dari 10 km dan lebar daerah anomali lebih dari 2
km maka menandakan perairan tersebut terjadi front.
Secara visual, front ditandai oleh garis busa atau sisa-sisa yang
mengapung karena front adalah daerah-daerah dimana air permukaan
saling bertemu pada bagian-bagian batas. Pertemuan arus membawa
semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi di
permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua
arus tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan
bagi ikan kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar
lagi dalam teori rantai makanan. Pertemuan massa air permukaan ini
memiliki karakteristik yang berbeda yaitu massa air panas dan dingin.
Selain air permukaan, pada daerah front biasanya ditandai
dengan terjadinya proses upwelling. Upwelling merupakan fenomena
atau kejadian naiknya massa air secara vertikal karena perbedaan suhu
yang mengakibatkan percampuran nutrisi sehingga menyebabkan
melimpahnya plankton. Kombinasi dari suhu dan peningkatan
kandungan hara yang timbul dari percampuran tersebut akan
meningkatkan produktivitas plankton yang mempengaruhi kesuburan
suatu perairan. Perairan yang kaya makanan biasanya menjadi feeding
4
Peta sebaran front di WPP 716 pada Oktober 2013 – September 2015.
4
terjadi upwelling.
Menurut Kunarso (2005), berdasarkan intensitas upwelling
dibedakan menjadi upwelling lemah, sedang, dan kuat. Upwelling lemah
terjadi jika suhunya 27,5 – 28,5 oC dan konsentrasi klorofil kurang dari
0,5 mg/m3. Upwelling sedang terjadi apabila suhunya 26 – 27,5 oC dan
konsentrasi klorofil ≥ 0,5 mg/m3. Sementara itu, upwelling kuat terjadi
bila suhunya ≤ 26 oC dan konsentrasi klorofil ≥ 0,5mg/m3(lihat Tabel ).
subandono.diposaptono@yahoo.com
18. Pencemaran
Peta pencemaran digunakan untuk menentukan alokasi ruang
bagi pariwisata, industri, perikanan budidaya, perikanan tangkap
demersal, dan konservasi. Penentuan alokasi ruang tersebut mengacu
4
pada sebaran, luas, dan kondisi bahan pencemar yang terdapat
di kawasan pesisir dan laut. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode interpretasi citra satelit dan survei lapangan berdasarkan
variabilitas nilai bahan pencemar.
Metode
Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis peta-peta
tematik adalah kesesuaian lahan (perairan pesisir dan/atau daratan
pulau kecil) terhadap kawasan, zona, dan subzona. Analisis kesesuaian
4
c. Zona pertambangan (subzona pasir laut) menggunakan parameter
bathimetri, arus, gelombang, substrat dasar laut, sedimen dasar
laut (kandungan deposit), pemanfaatan wilayah laut eksisting
(konservasi, pipa/kabel bawah laut, daerah penangkapan ikan
tradisional, lokasi BMKT, dan lain-lain).
Hasil deliniasi masing-masing parameter peta-peta tematik
tersebut dilakukan pembobotan dan overlay (tumpang susun). Proses
ini dilakukan dengan cara yang sama terhadap parameter peta-peta
tematik tertentu berdasarkan kriteria zona/subzona lainnya.
Hasil dari proses overlay tersebut berupa peta-peta kesesuaian
untuk masing-masing zona/subzona dengan kategori sesuai (S1),
kurang sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Masing-masing peta kesesuaian
zona/subzona tersebut kemudian di-overlay sehingga menghasilkan
peta multikesesuaian untuk zona/subzona.
Peta multi kesesuaian merupakan peta yang menunjukkan
kesesuaian untuk beberapa zona/subzona pada lokasi yang sama.
Berdasarkan peta ini, dapat diterapkan skenario pengembangan WP-
3-K. Artinya, di setiap lokasi tersebut diberikan beberapa alternatif
pemanfaatan zona/zubzona yang memungkinkan untuk diterapkan
dan disertai dengan informasi mengenai rekayasa teknis dan
4
di pusat dan daerah, lembaga pendidikan dan penelitian, maupun
lembaga nonpemerintah lainnya. Setiap institusi tersebut melakukan
pengumpulan data dan informasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan kebutuhannya masing-masing, sehingga kualitas
datanya tidak sesuai dengan kebutuhan perencanaan tata ruang laut/
rencana zonasi WP-3-K.
Persoalan lainnya adalah data dan informasi yang dihasilkan
oleh berbagai institusi tersebut tidak dapat langsung digunakan
untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
karena belum terintegrasi dan belum menjadi acuan secara nasional.
Diperlukan sejumlah upaya tambahan dalam rangka pengelolaan
data dan informasi agar digunakan secara tepat, akurat, mutakhir, dan
dapat dipertanggungjawabkan sebagai input dalam perencanaan
pengelolaan tata ruang laut/rencana zonasi WP-3-K. Namun hingga
saat ini mekanisme pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil masih diatur secara parsial bagi masing-
masing jenis data dan informasi oleh berbagai institusi.
Adanya tumpang tindih penyediaan data dan informasi spasial
dari berbagai kementerian/lembaga yang menyebabkan munculnya
“pulau-pulau data dan informasi spasial” mengakibatkan hambatan
4
bangan masa kini dan masa datang untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya. Standar teknis data dan pengelolaan data dan in-
formasi WP3K harus dirumuskan secara terintegrasi, ditetapkan, dan
dilaksanakan secara tertib dan kerja sama semua pihak.
Selain itu, data dan informasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil perlu diatur dan dikelola secara tepat, efektif, dan efisien dalam
bentuk mekanisme pengelolaan lintas sektor yang mengakomodasi
dan mensinergiskan kepentingan seluruh pemangku kepentingan
di pusat dan daerah. Keberadaan mekanisme pengelolaan data dan
informasi WP-3-K tersebut selain bermanfaat untuk menghasilkan
data dan informasi yang tepat, akurat, mutakhir, dan dapat
dipertanggungjawabkan, juga dapat menciptakan efisiensi dan
efektivitas pembelanjaan anggaran pemerintah dan pemerintah
daerah.
Di samping itu, pengelolaan data dan informasi WP-3-K harus
sinkron dengan kerangka kebijakan One Map Policy, dimana data
spasial harus dibangun secara bersama menjadi data spasial yang
memiliki satu standar, satu referensi, satu basis data, dan satu
geoportal yang dapat dijadikan rujukan secara nasional.
Dari berbagai penjelasan itulah, kita paham dan sadar pentingnya
4
input tersebut diproses secara komprehensif, baik pada
kondisi masa lalu, terkini, dan mendatang. Dari proses inilah
akan menghasilkan rencana tata ruang laut/rencana zonasi
yang andal.
P
erencanaan tata ruang laut/rencana zonasi adalah suatu proses
publik dalam menganalisis dan mengalokasikan distribusi
spasial dan temporal dari aktivitas manusia di wilayah laut
untuk mencapai tujuan ekologi, ekonomi, dan sosial yang biasanya
ditentukan melalui proses politik (UNESCO, 2009).
Perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar terwujud alokasi
ruang laut yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ke-
seimbangan antar wilayah. Nyaman dalam arti memberi kesempat-
an yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai
sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia dalam suasana yang
tenang dan damai.
4
pulau kecil provinsi, maupun rencana zonasi bagian wilayah pulau-
pulau kecil (WP3K). Dari input dan proses inilah akan menghasilkan
output berupa Rencana Tata Ruang Laut, Rencana Zonasi Kawasan
Laut, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Provinsi yang menyeluruh.
Penyusunan rencana tata ruang laut mencakup tiga hal
utama, yaitu analisis kebijakan, analisis data biogefisik, dan proses
kesepakatan. Analisis kebijakan pada tahap awal dimulai dengan
melakukan perumusan tujuan, sasaran, kebijakan, dan strategi dalam
penataan ruang laut melaui proses Focus Group Discussion (FGD)
dengan melibatkan seluruh stakeholders.
Mengacu pada pembangunan berkelanjutan seperti tertuang
pada World Summit 2005, maka tujuan pembangunan kelautan diarah-
kan pada tujuan-tujuan ekonomi, sosial, lingkungan, serta pertahanan
keamanan nasional. Menentukan tujuan dan sasaran dalam penataan
ruang laut sangat penting agar pelaksanaan penataan ruang tetap
fokus dan sesuai dengan hasil pencapaian yang diinginkan. Biasanya,
tujuan dan sasaran didapatkan dari hasil identifikasi permasalahan
dan konflik di wilayah perencanaan.
4
Dari aspek sosial budaya maritim, tujuan yang ingin diraih adalah
memperkuat identitas bangsa melalui transformasi budaya bahari,
pengembangan sumber daya manusia di seluruh aspek maritim, serta
perlindungan terhadap kepentingan maritim budaya masyarakat adat
dan maritim adat, wilayah ulayat laut, wilayah suci laut, serta nelayan
tradisional.
Berkaitan dengan ekonomi maritim, tujuan utamanya adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan pu-
sat-pusat pertumbuhan ekonomi baru berdasarkan azas pemerataan
yang bersumber pada perikanan, energi, sumber daya mineral, wisata
bahari, bioteknologi, industri maritim, dan peningkatan transportasi
laut dalam mewujudkan konektivitas maritim.
Dari berbagai tujuan tersebut maka dapat ditentukan kebijakan
dan strategi untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dan meng-
atasi isu-isu strategis, baik terkait dengan isu potensi sumber daya
alam maupun tekanan serta ancaman yang dihadapi dalam pemba-
ngunan kelautan.
Secara umum, tahapan atau proses penyusunan tata ruang laut/
rencana zonasi dijelaskan pada gambar berikut ini:
4
DAN ALOKASI RUANG
Ya
ANALISIS NON SPASIAL
DAN ANALISA KONFLIK
PERATURAN
INDIKASI
PEMANFAAATAN
PROGRAM
RUANG
Ranperpres/
Ranpermen/Ranperda
DOKUMEN FINAL Ya
(Perbaikan dokumen antara)
Proses Legalisasi
subandono.diposaptono@yahoo.com
4
Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan pendekatan dan strategi
untuk melancarkan pelaksanaan penyusunan tata ruang laut/rencana
zonasi.
Sosialisasi
Sosialisasi perlu dilakukan sebelum dilakukan penyusunan
tata ruang laut/rencana zonasi. Sosialisasi dimaksudkan untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengelolaan
ruang laut termasuk di dalamnya terkait kebijakan dan program
terkait penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi, menumbuhkan
rasa kepemilikan dari para pemangku kepentingan terhadap rencana
yang berlangsung di daerahnya. Sosialisasi perlu dilakukan untuk
meminimalisir konflik di kemudian hari. Oleh karena itu pada saat
sosialisasi harus melibatkan berbagai pihak terkait.
Sosialisasi penyusunan tata ruang laut/rencana zonasi harus me-
miliki strategi komunikasi agar tercapai tujuan secara efektif. Penentu-
an target, pesan utama yang akan disampaikan (key message), media
penyampaian (channeling), dan metode penyampaian harus disusun
sedemikian rupa agar masing-masing stakeholders memahami perlu-
nya tata ruang laut/rencana zonasi. Identifikasi target sosialisasi dapat
4
dataset tematik.
Ke-11 data tersebut meliputi geologi dan geomorfologi laut,
oseanografi, ekosistem pesisir, sumber daya ikan (jenis dan kelimpah-
an ikan), penggunaan lahan dan status lahan, pemanfaatan wilayah
laut eksisting, sumber daya air, infrastruktur, sosial budaya, ekonomi
wilayah, risiko bencana, serta pencemaran. Semua data tersebut dapat
diperoleh dari lembaga atau institusi terkait dalam bentuk laporan,
buku, diagram, peta, foto, dan media penyimpanan lainnya. Fungsi
data/peta tematik tersebut adalah sebagai dasar penyusunan peta
kesesuaian perairan. Teknologi dan metodologi pengumpulan dan
analisis data dijelaskan secara ringkas pada Sub Bab Data Spasial Kunci
Keberhasilan Rencana Tata Ruang Laut/Rencana Zonasi.
4
komponen yang harus diperhatikan antara lain input data, proses
pengolahan data, dan output peta tematik yang dihasilkan.
Kedalaman data dan skala peta disesuaikan dengan kebutuhan
perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi. Untuk Rencana Tata Ru-
ang Laut Nasional diperlukan peta dengan skala minimal 1:2.000.000.
Untuk Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (Teluk, Selat, Laut) di-
perlukan peta dengan skala minimal 1:500.000. Sementara itu untuk
Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (Pulau-Pulau
Kecil Terluar) diperlukan peta dengan skala 1:50.000. Sedangkan Ren-
cana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi diperlukan
peta dengan skala minimal 1:50.000-1:250.000.
4
kebijakan, dan strategi pengelolaan laut pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perumusan tujuan, sasaran, kebijakan, dan strategi tersebut dilakukan
melalui Focus Group Discussion (FGD) melibatkan stakeholders terkait
dengan pengelolaan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Menentukan
tujuan dan sasaran dalam penyusunan rencana tata ruang laut/ren-
cana zonasi juga penting agar fokus dan upaya menuju pencapaian
hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Konsultasi Publik
Setelah peta tematik serta deskripsi potensi dan pemanfaatan
wilayah laut yang ada selesai disusun, tugas berikutnya adalah
melakukan konsultasi publik untuk memverifikasi data, informasi, dan
peta-peta tematik, serta untuk mendapatkan masukan, tanggapan,
atau saran. Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan
dialog masukan, tanggapan serta sanggahan antara pemerintah, dan
pemangku kepentingan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
4
kesesuaian kawasan/zona tersebut kemudian di-overlay sehingga
menghasilkan peta multi kesesuaian untuk kawasan/zona. Berdasar-
kan peta multikesesuaian, lalu dilakukan penilaian kesesuaian akhir
untuk kawasan/zona. Dari sinilah akhirnya dihasilkan usulan alokasi
ruang dalam bentuk peta alokasi ruang.
4
berbagai kriteria. Di antaranya ruang yang dapat dimanfaatkan untuk
alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut yang per-
lu dilindungi. Aturan mengenai alur pelayaran dapat mengikuti Per-
men Perhubungan No.68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut.
Menurut Permen tersebut, alur pelayaran di laut terdiri dari alur pela-
yanan umum dan perlintasan serta alur pelayaran masuk pelabuhan.
Pipa/kabel bawah laut merupakan instalasi yang dapat dibangun
di perairan asalkan memenuhi lima syarat. Pertama, penempatan,
pemendaman, dan penandaan. Kedua, tidak menimbulkan kerusakan
terhadap bangunan atau instalasi sarana bantu navigasi-pelayaran
dan fasilitas telekomunikasi-pelayaran. Ketiga, memperhatikan ruang
bebas dalam pembangunan jembatan. Keempat, memperhatikan
koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut. Kelima, berada
di luar perairan wajib pandu.
Sementara itu, alur migrasi ikan adalah pola ruaya (migrasi) ikan
yang dipengaruhi suhu, salinitas, kecepatan dan arah arus, pasang
surut, tinggi dan panjang gelombang, warna perairan, substrat dasar,
kedalaman perairan, serta tipologi kelandaian dasar laut. Kecepatan
dan arah arus akan memberikan indikasi terhadap pola pergerakan
dan alur migrasi ikan.
4
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah untuk zona perikanan
budidaya. Komoditas budidaya laut bernilai ekonomi tinggi antara
lain rumput laut, ikan, udang, kerang-kerangan, dan mutiara. Berbagai
komoditas tersebut membutuhkan kriteria kesesuaian yang berbeda-
beda. Budidaya rumput laut misalnya, agar menghasilkan panen
berlimpah dan bermutu diperlukan berbagai parameter yang sesuai
(lihat Tabel).
Berbagai kriteria tersebut dijadikan input dalam pengolahan
data spasial guna menghasilkan peta kesesuaian budidaya rumput
laut. Berikut ini penjelasan singkat faktor-faktor kesesuaian budidaya
rumput laut dan pertimbangannya di suatu perairan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
4
9. Kesuburan Subur Cukup Kurang
perairan
10. Sumber bibit dan Banyak Sedang Kurang
induk
11. Sarana penunjang Baik Cukup Kurang
12. Pencemaran Tidak cemar Cemar ringan Cemar
13. Keamanan Aman Sedang Tidak aman
14. Pelayaran Tidak Tidak Mengganggu
mengganggu mengganggu
pelayaran pelayaran pelayaran
Sumber : Winanto, dkk (1991)
u Kedalaman perairan
Kedalaman suatu perairan ditentukan oleh relief dasar dari
perairan tersebut (Wibisono, 2005). Perairan dangkal memiliki
kecepatan arus yang relatif cukup besar dibandingkan daerah yang
lebih dalam (Odum, 1979). Kedalaman perairan juga berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiami, penetrasi
cahaya, dan penyebaran plankton.
Rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam
dibandingkan dengan budidaya ikan, kerang, dan mutiara. Kedalaman
u Habitat kritis
Habitat kritis meliputi mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Ketiga habitat tersebut sangat sensitif dan sangat rentan terhadap
perubahan. Apabila kondisi eksisting telah terdapat mangrove, lamun,
dan terumbu karang maka disarankan tidak ada kegiatan budidaya
rumput laut. Sebab, keseimbangan ekosistem akan terganggu dan
4
keberlanjutan dari kegiatan tersebut dipastikan akan terhenti.
Data habitat kritis diperoleh dari hasil survei lapang dan peta
ekosistem pesisir yang telah ada serta bersifat up to date. Selanjutnya,
ketiga habitat kritis tersebut didelineasi. Hasilnya, ditunjukkan oleh
warna ungu (lihat Gambar B) yang berarti lokasi perairan tersebut
berada di luar ketiga ekosistem tersebut dan sesuai untuk budidaya
rumput laut.
G
E
u Kecerahan air
Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya
rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar penetrasi cahaya matahari
dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara
sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses
4
fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak
kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut
(Deptan, 1992). Sedangkan, menurut Winanto dkk (1991), kecerahan
yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut adalah lebih dari 40
cm.
u Salinitas
Salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh penguapan dan
jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan minim
sehingga penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka
penguapan berkurang dan salinitasnya rendah.
Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan
menyebabkan pertumbuhan rumput laut tidak normal. Salinitas
4
perairan berperan penting bagi organisme laut terutama dalam
mengatur tekanan osmose yang ada dalam tubuh organisme dengan
cairan lingkungannya. Rumput laut tumbuh pada salinitas yang relatif
tinggi yaitu berkisar antara 30 - 34 promil (‰) (Winantodkk, 1991).
Data salinitas diperoleh dari hasil survei lapang. Selanjutnya,
data tersebut didelineasi melalui interpolasi. Hasilnya, berupa area
(polygon) untuk salinitas yang sesuai dengan kriteria budidaya rumput
laut dan diberi warna ungu (lihat Gambar F).
b. Oksigen terlarut
Pada perairan terbuka, konsentrasi oksigen terlarut berada pada
kondisi alami sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang
“
Keberadaan oksigen di perairan sangat
penting yaitu terkait dengan berbagai proses
kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan 4
dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia
“
dan respirasi berbagai organisme perairan
(Dahuri, 2004).
4
Offshore: < 9 m
Tinggi gelombang 5 meter Lepas pantai (offshore): 5 m
signifikan (1 - 2 meter = Pantai (coast): 3 -4 m
substansial) Pesisir (coastal): 1 m
Kecepatan arus 0,5 - 1 m/s Substansial
Kecepatan angin < 21 knot Substansial: 10 knot
Substrat Kerikil, pasir, tanah liat Baik
Redox potential > (-200) Baik
Zat padat < 10 mg/l Baik
tersuspensi
Kecerahan air 1-5m Optimal
Oksigen terlarut (DO) 6 - 7 mg/l Optimal
Temperatur 28 - 32 oC Optimal
Range: 16 - 35 oC
Salinitas 30 - 35 ppt Optimal
Range: 0-36 ppt untuk
budidaya laut
pH 7,5 - 8 Optimal
Amonia < 0,5 ppm Optimal
Nitrite < 4 mg/liter Optimal
Nitrate < 200 mg/liter Optimal
Tampak laut Indonesia memiliki sabuk yang tenang (calm belt). Perairan di
atas dan di bawahnya menunjukkan lokasi yang sering terkena badai (storm).
Berdasarkan parameter ini, laut Indonesia lebih unggul dalam pemanfaatan
budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di lepas pantai (offshore).
Perairan Indonesia tidak pernah diterjang badai, paling hanya terkena ekor
badai, itupun hanya sebatas di wilayah utara Sulwesi serta di sepanjang selatan
Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
4
Contoh budidaya ikan dengan menggunakan KJA di offshore Norwegia. Negara
ini sangat maju dalam budidaya ikan salmon lepas pantai.
8 Analisis Nonspasial
Setelah diperoleh Peta Alokasi Ruang, selanjutnya perlu
dilakukan analisis nonspasial. Hasil analisis nonspasial ini nantinya
diformulasikan untuk menyempurnakan usulan peta alokasi ruang
“
Setelah diperoleh Peta Alokasi Ruang,
selanjutnya perlu dilakukan analisis nonspasial.
Hasil analisis nonspasial ini nantinya
diformulasikan untuk menyempurnakan usulan
peta alokasi ruang menjadi peta rencana
tata ruang laut/rencana zonasi. Berdasarkan
4
“
ketentuan, ada delapan analisis nonspasial yang
perlu mendapat perhatian.
“
Kondisi infrastruktur dapat diketahui
berdasarkan data sekunder yang telah ada
dan observasi langsung di lapangan. Pemetaan
dilakukan dengan cara digitalisasi data
sekunder dan plotting lokasi secara langsung
4 di lapangan, meliputi sarana dan prasarana
“
transportasi, air bersih, listrik dan energi,
sanitasi, serta prasarana lainnya.
4
PDRB, pertumbuhan pusat-pusat kegiatan di wilayah kajian, sektor
basis wilayah dan/atau kawasan untuk mengetahui sektor yang
memberikan sumbangan/kontribusi relatif yang cukup besar terhadap
PDRB di suatu wilayah dan/atau kawasan.
Dengan demikian sektor tersebut sebagai sektor basis (dominan),
dan komoditas unggulan wilayah pada sektor basis yang memiliki
keunggulan komparatif dan berpotensi ekspor. Komoditas unggulan
merupakan komoditas kunci yang memiliki peran penting, baik secara
langsung maupun tidak langsung dan bersifat multiplier effect.
Kelima, analisis pengembangan wilayah. Identifikasi ini
meliputi berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya di masa
mendatang yang diproyeksikan di dalam kawasan perencanaan
yang berpotensi untuk pengembangan wilayah. Beberapa
pertimbangan untuk melihat potensi pengembangan wilayah di
antaranya:
4
airan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Kegiatan identifikasinya
meliputi antara lain:
• Identifikasi daerah rawan bencana seperti banjir, tsunami, erosi,
abrasi, sedimentasi, akresi garis pantai, subsiden/longsoran tanah,
serta gempa bumi.
• Identifikasi masalah lingkungan dan pencemaran yang meliputi
intrusi air laut/asin, polusi, kerusakan ekosistem/habitat hutan
mangrove, dan kerusakan ekosistem/habitat terumbu karang.
• Identifikasi daerah konservasi/perlindungan: kawasan lindung
nasional/kawasan konservasi yang ditetapkan secara nasional
(taman nasional, taman laut, cagar alam, suaka alam laut), kawasan
konservasi yang sedang diusulkan oleh daerah, dan daerah
perlindungan laut lokal.
• Identifikasi aktivitas di daratan yang berpengaruh terhadap
kegiatan pada kawasan perairan.
• Konflik penggunaan lahan.
• Konflik sosial.
• Kesenjangan ekonomi antara wilayah pesisir dan daratan utama.
Manajemen Konflik
Pada tahap penyusunan rencana alokasi ruang, identifikasi kon-
flik dilakukan terhadap berbagai kegiatan di wilayah pesisir dan pu-
lau-pulau kecil yang bersinggungan namun tidak sesuai (compatible).
Hasil analisis paket sumber daya dilanjutkan dengan beberapa analis-
is lanjutan. Dari sini lalu diidentifikasi antarkegiatan/zona untuk me-
milih kegiatan/zona yang paling sesuai dengan cara membuat matrik
kesesuaian/keterkaitan. Matrik keterkaitan antarzona menguraikan
4
Di sisi lain, konflik dalam konsultasi publik bisa berdampak
negatif saat ada satu atau lebih pihak memaksakan keinginannya dan
tidak mau bernegosiasi. Pada tahapan ini, jika semua pihak bersikeras
untuk memasukkan keinginannya dalam rencana zonasi maka akan
terjadi dead lock sehingga tidak terjadi kesepakatan. Rencana zonasi
menjadi terkatung-katung penyelesaiannya.
Pada tahap pembahasan pemberian tanggapan dan/atau saran,
konflik kepentingan berpeluang terjadi apabila masing-masing
pemangku kepentingan ada yang merasa kebutuhannya tidak
terakomodasi.
Berbagai konflik yang muncul tersebut memerlukan manajemen
konflik, yaitu suatu proses yang diarahkan pada pengelolaan konflik
agar terjadi suatu kondisi yang lebih terkendali melalui suatu rekayasa
yang dilakukan untuk mengendalikan konflik agar menjadi lebih baik.
Dengan berusaha mengendalikan konflik, diharapkan tidak sampai
terjadi akumulasi dan besaran berkembangnya konflik menjadi
destruktif.
Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam
manajemen konflik. Pertama, mencegah konflik, yakni suatu usaha
yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
4
Secara umum strategi resolusi konflik seharusnya dimulai de-
ngan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik
sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan peta tersebut, segala ke-
mungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cer-
mat sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan
dengan baik.
4
Indikasi program memuat program-program utama dalam rangka
mewujudkan rencana tata ruang dan dijabarkan dalam jangka waktu
perencanaan lima tahunan hingga akhir tahun perencanaan 20 tahun.
Peraturan pemanfaatan ruang berisi ketentuan pemanfaatan ruang
dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap zona
peruntukan.
Konsultasi Publik
Konsultasi publik pada tahap ini merupakan pelaksanaan
konsultasi publik yang dilakukan untuk memverifikasi draft rencana
zonasi, arahan pemanfaatan dan memeriksa konsistensi draft RZWP-
3-K dengan RTRW dan aturan-aturan lainnya. Dengan demikian,
draft rencana alokasi ruang dapat disepakati oleh semua pemangku
kepentingan daerah.
Sasaran yang ingin dicapai adalah perbaikan dan penyempur-
naan dari draft dokumen antara dan memfasilitasi aspirasi dari seluruh
stakeholder terkait, serta penetapan alokasi ruang ke dalam kawasan/
zona dalam dokumen final yang akan disusun. Hasil dari konsultasi
publik) adalah diperoleh kesepakatan pemanfaatan ruang (kawasan/
zona).
4
zonasi ditunjukkan pada tabel berikut.
Jenis, skala dan bentuk legalisasai perencanaan tata ruang laut/rencana zonasi
Skala Peta
No. Jenis Bentuk Legalitas
Minimal
1. Tata Ruang Laut Nasional 1:1.000.000 Peraturan Pemerintah
2. Rencana Zonasi KSN 1:50.000 Peraturan Presiden
3. Rencana Zonasi KSNT(PPKT) 1:50.000 Peraturan Menteri
4. Rencana Zonasi Teluk 1:500.000 Peraturan Presiden
5. Rencana Zonasi Selat 1:500.000 Peraturan Presiden
6. Rencana Zonasi Laut 1:500.000 Peraturan Presiden
Renacana Zonasi WP3K 1:250.000
7. Peraturan Daerah
Provinsi dan 1:50.000
B
egitu pula sebaliknya, perencanaan yang terburu-buru --apa-
lagi tanpa melibatkan masyarakat -- hanya akan menghasilkan
kebijakan yang kurang dapat diterima oleh stakeholders dan
masyarakat. Implikasi berikutnya, menimbulkan berbagai konflik di
antara stakeholder yang berkepanjangan, tiada akhir.
Rencana tata ruang laut merupakan kebijakan publik lintas sek-
tor yang berjangka 20 tahun dan merupakan bagian tak terpisahkan
dari rencana pembangunan jangka panjang. Oleh karena itu agar pe-
4
negara-negara maju dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Pendekatan partisipatif dapat menutupi terbatasnya informasi
yang berdampak serius pada terjadinya bounded rationality. Pende-
katan partisipatif yang baik pada dasarnya juga akan menjamin pe-
nerimaan (acceptability) dari pihak-pihak yang berkepentingan,
dibandingkan pendekatan lainnya. Perencanaan partisipatif merupa-
kan proses yang paling kompleks dengan biaya transaksi (transaction
cost) di dalam proses pengambilan keputusannya relatif tinggi.
Dalam praktiknya, proses ini dapat berlangsung lama dan
kompleks karena melibatkan pihak yang sangat luas dengan interest
yang sangat berbeda. Namun, secara teoritik, biaya yang tinggi
dari proses ini dapat “terbayar” dari rendahnya biaya pelaksanaan
dan pengendaliannya. Terdapatnya kesamaan pemahaaman, visi,
dan rencana pelaksanaan serta sistem pengendaliannya sebagai
hasil keputusan bersama antar stakeholders akan lebih menjamin
kemudahan-kemudahan di dalam pelaksanaan dan pengendalian,
karena adanya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dari
keputusan-keputusan perencanaan yang disepakati di dalam proses
partisipatif.
Biaya transaksi proses perencanaan partisipatif akan meningkat
“ Perencanaan partisipatif
dalam skala regional akan efektif jika
“
4
proses-proses sosial dan social capital
berlangsung secara memadai.
4
kebijakan, misalnya bagian isi (what) dari rencana, bisa disusun melalui
partisipasi masyarakat.
Ketiga, tindakan dan kegiatan, misalnya bagian bagaimana (how)
dari rencana, bisa diselesaikan oleh para pemangku kepentingan yang
akan ikut serta dalam pelaksanaan rencana tersebut. Keempat, ada
fasilitasi dari sekelompok tim ahli yang terdiri dari latar belakang dan
keahlian disiplin ilmu yang beragam. Kelima, ada tim koordinator yang
ditunjuk dari pemangku kepentingan dan tim ahli tersebut.
Perencanaan partisipatif merupakan pendekatan baru yang ma-
sih menyisakan beberapa kesulitan. Di antaranya, kesulitan mendapat-
kan komitmen dari pimpinan, kesulitan dalam melegitimasikan hasil
rencana kerja, khususnya dalam pendanaan dan kesulitan menetap-
kan sasaran/target secara kuantitatif. Kendala lain adalah cenderung
menggunakan banyak tenaga namun jumlah fasilitator dan tenaga
ahli yang andal masih terbatas.
Walaupun terdapat beberapa kendala tersebut, namun proses
perencanaan partisipatif benar-benar merupakan proses penguatan
kapasitas di antara para pemangku kepentingan. Untuk perencanaan
tata ruang laut/rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
kolaborasi dan kerja sama di antara pemangku kepentingan merupa-
4
dasarnya, setiap orang mempunyai ketrampilan, kemampuan,
prakarsa, dan hak untuk menggunakan prakarsa tersebut dalam setiap
proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.
Ketiga, transparansi. Artinya, semua pihak harus dapat menum-
buhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan
kondusif sehingga menimbulkan dialog.
Keempat, kesetaraan kewenangan (sharing power atau equal
powership). Di sini, berbagai pihak yang terlibat harus dapat
menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk
menghindari terjadinya dominasi.
Kelima, kesetaraan tanggung jawab (sharing responsibilty). Ini
berarti, berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam
setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power)
dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan
langkah-langkah selanjutnya.
Keenam, pemberdayaan (empowerment). Keterlibatan berbagai
pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
setiap pihak. Dengan demikian, melalui keterlibatan aktif dalam
setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling
4
lebih terjamin implementasinya, (e) terhindar dari penyusunan doku-
men perencanaan yang tidak dapat diimplementasikan di lapangan,
(f ) mencegah terjadinya disharmonisasi antarlembaga (sektoral), an-
tarkompetensi (di lapangan) dan lain-lain, serta (g) dimulainya proses
penyusunan dokumen perencanaan yang bersifat bottom-up.
Selain itu, konsultasi publik juga akan menjamin: (a) mekanisme
peran serta yang memadukan berbagai aspirasi, (b) berbagai kelompok
sosial ekonomi masyarakat secara aktif dan genuine mengemukakan
pendapat serta ambil bagian dan memberikan kontribusinya dalam
sebuah proses pengambilan keputusan, serta (c) masyarakat dapat
ikut mengawasi dan mengevaluasi.
L
alu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi bencana
alam tersebut yang tidak pasti kapan datangnya itu? Harus
diakui, tidaklah mudah mengelola bencana tersebut. Apalagi
kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim. Selain
itu, kita juga masih lemah dalam melakukan perencanaan tata ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis mitigasi.
Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian harta benda ketika
bencana alam menghampiri mereka. Kondisi itu diperparah lagi
dengan karakteristik bencana alam yang memiliki kekuatan teramat
besar.
4
pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah
wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi
bencana sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya.
Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan
bencana yang selama ini dilakukan perlu direformasi dari pendekatan
fatalistik-reaktif melalui majemen krisis menjadi pendekatan terencana
pro-aktif melalui pengurangan risiko. Pengurangan risiko ini meliputi
tiga upaya; pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di dalam UU No
27/2007 ketiga upaya tersebut disebut mitigasi.
Perencanaan tata ruang/rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil merupakan amanat UU No 27/2007 Jo UU 1/2014
yang wajib disusun oleh pemerintah daerah provinsi dalam bentuk
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
Dokumen RZWP-3-K memberikan arah penggunaan sumber daya
tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan
pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang
boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya boleh
dilakukan setelah memperoleh izin. Dalam hal ini penetapan struktur
dan pola ruang mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta
risiko bencana.
4
risiko).
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang
dengan mempertimbangkan keindahan, keberaturan, dan
keselamatan.
Budaya Keselamatan
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara spasial
atau keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen yang rentan, dan
potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan-kawasan rawan
bencana sebaiknya tidak dialokasikan untuk kegiatan pemanfaatan.
Namun dalam praktiknya, masyarakat bersikap pragmatis. Bagi
mereka bencana alam merupakan takdir yang harus dihadapi
sehingga tetap menempati atau memanfaatkan daerah rawan
bencana. Sikap ini membawa konsekuensi terhadap rendahnya
tingkat keamanan ketika bencana alam terjadi. Akibatnya, dampak
dari bencana alam tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar
di masyarakat.
Di sisi lain, perencana tata ruang kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil memiliki idealisme tinggi dengan mengutamakan
Kompromi
Fenomena
?
Positivisme Pragmatisme
Perencana Warga
4
Kondisi ideal Bencana itu takdir
- tingkat keamanan - tingkat keamanan
maksimum (total rendah asal dapat
safe) dimanfaatkan
subandono.diposaptono@yahoo.com
4
alam yang terjadi akibat tsunami atau kenaikan paras muka air laut/
tsunami. Cara ini yang paling banyak dikembangkan di Indonesia.
Kedua, pola akomodatif, yakni berusaha menyesuaikan pengelola-
an pesisir dan pulau-pulau kecil dengan perubahan alam yang terjadi
akibat tsunami atau kenaikan paras muka air laut/tsunami. Saat
ini mulai banyak dikembangkan pendekatan mega scale, di mana
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil direncanakan berdasar
pola morfodinamika spesifik di pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dikembangkan.
Ketiga, pola mundur (retreat) atau do-nothing, yakni dengan tidak
melawan proses dinamika alami yang terjadi, misalnya tsunami atau
kenaikan paras muka air laut tetapi “mengalah” pada proses alam dan
menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam
yang terjadi akibat kenaikan paras muka air laut/tsunami dengan
menerapkan batas sempadan pantai yang perlu dialokasikan sebagai
kawasan lindung dalam rencana pola ruang di darat sebagai mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, kombinasi
antara pola protektif, pola akomodatif, dan pola mundur (retreat).
Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal
subandono.diposaptono@yahoo.com
Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana.
4
c. perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir,
dan bencana alam lainnya;
d. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah,
mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir,
estuaria, dan delta;
e. pengaturan akses publik; dan
f. pengaturan untuk saluran air dan limbah.
m
o.co
yaho
no@
apto
o.dipos
ndon
suba
5
P
epatah Tuntutlah ilmu hingga ke Cina tampaknya cocok bagi
Indonesia dalam upaya untuk menata ruang laut kita. Mengapa
demikian? Berdasarkan diskusi singkat penulis dengan ahli
tata ruang laut dari Third Institute of Oceanography State Of Oceanic
Administration (SOA) Cina Prof Zhou Qiulin, Negeri Tirai Bambu itu
telah menyelesaikan tata ruang laut (marine functional zoning atau
MFZ) baik tingkat nasional, provinsi, maupun country (setingkat
kabupaten/kota) sejak tahun 2002.
Tidak hanya itu saja, setelah 10 tahun kemudian, tata ruang laut
tersebut juga ditinjau kembali pada 2011. Kini, seluruh laut Cina telah
diatur tata ruangnya sesuai dengan peruntukannya masing-masing.
Berkat tata ruang laut itulah, negeri dengan populasi penduduk
terbesar di dunia itu menuai banyak manfaat, baik ekonomi, sosial,
maupun lingkungan.
5
membuat kawasan budidaya laut minimal seluas 2,6 juta ha.
Selain itu, tata ruang laut juga memberikan kepastian hukum
dalam meningkatkan kawasan konservasi sebesar 5 persen di laut
yurisdiksi dan 11 persen di perairan teritorialnya. Seperti diketahui,
Conference of Bio Diversity (CBD) di Aichi Jepang 2010 menargetkan,
setiap negara wajib memiliki kawasan konservasi laut 10 persen dari
luas total perairan teritorialnya sampai tahun 2020.
5
dan monitoring ilmiah serta meningkatkan kadar keilmiahan dalam
proses pengambilan keputusan pemanfaatan ruang laut. Kelima,
pemanfaatan secara hukum yang mengacu pada kepastian hukum,
mempercepat otoritas pemanfaatan, serta menjamin keberlanjutan
pemanfaatan untuk menjamin hak dan kepentingan pengguna ruang
laut.
5
Keempat, perlindungan lingkungan sebagai prasyarat. Tujuan dari
prinsip ini adalah memperkuat perlindungan lingkungan dan rancang
bangun ekologi, koordinasi perlindungan lingkungan, pengaturan
pencegahan pencemaran yang bersumber dari aktivitas daratan, serta
meningkatkan kontrol limbah yang dibuang ke laut. Tujuan lainnya
adalah meningkatkan kondisi lingkungan dan ekologi laut, mencegah
kecelakaan di laut, serta melindungi ekosistem di estuari, teluk, dan
wilayah pesisir.
Kelima, koordinasi tata ruang darat-laut sebagai kriteria.
Prinsip ini bertujuan untuk mengoordinasikan pembangunan serta
memanfaatkan konservasi pada perairan dan daratan berdasarkan
konektivitas darat-laut. Secara ketat melindungi garis pantai dan
menjamin pengendalian banjir di kawasan estuari.
Keenam, keamanan nasional sebagai kunci utama. Tujuannya,
untuk menyesuaikan kebutuhan pemanfaatan ruang laut dengan
kepentingan pertahanan dan keamanan, menjamin keamanan
Hierarki Perencanaan
Pengelolaan wilayah laut di Cina memiliki hierarki yang berbeda,
berdasarkan administrasi dan isu-isu di tingkat nasional, provinsi, dan
kota. MFZ skala nasional didefinisikan sebagai pedoman kebijakan
strategis. Nasional memberikan arahan dan pembatasan (restrictive
document).
Sementara itu, MFZ Provinsi menangani isu-isu provinsi yang
bersifat umum. Tingkat kota/kabupaten menangani isu lokal. MFZ
yang disusun oleh pemerintah daerah harus mengacu pada rencana
nasional MFZ.
Vertical
5
Horizontal
2. Zona pemanfaatan
perikanan
3. Zona konservasi
4. Zona pemanfaatan
sumber daya energi
5
dan mineral
7. Zona pemanfaatan
khusus
8. Pencadangan untuk
pemanfaatan lainnya
5
No Name Code Name No Name Code Name
1. Pertanian 1.1 Reklamasi lahan 4. Mineral dan 4.1 Minyak dan gas
dan untuk pertanian energi 4.2 Mineral padat
Perikanan 1.2 Infrastruktur 4.3 Garam
perikanan
4.4 Energi
1.3 Budidaya terbarukan
1.4 Peningkatan 5. Pariwisata 5.1 Pariwisata
perikanan dan Rekreasi 5.2 Rekreasi
1.5 Perikanan
tangkap 6. Kawasan 6.1 MPA
konservasi 6.2 MSPA
1.6 Konservasi
spesies utama 7. Pemanfaatan 7.1 Militer
perikanan khusus 7.2 Pemanfaatan
2. Pelabuhan 2.1 Pelabuhan khusus lainnya
dan 2.2 Alur navigasi 8. Pencadangan 8.1 Pencadangan
navigasi
2.3 Pelabuhan/
pendaratan
3. Industri 3.1 Konstruksi
dan industri
konstruksi 3.2 Konstruksi
perkotaan perkotaan
5
Contoh MFZ di Kota Xiamen.
5
Tujuan dan Prosedur MFZ
Tujuan umum dari pengaturan pemanfaatan wilayah laut Cina
antara lain memperkuat administrasi pemanfaatan wilayah laut
dan memelihara kewenangan negara atas penguasaan wilayah
laut dan mengawasi hak para pengguna wilayah laut. Selain itu,
tujuan berikutnya adalah memajukan pembangunan nasional dan
pemanfaatan ruang laut secara berkelanjutan.
Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2020
dengan adanya MFZ setidaknya ada enam hal. Pertama, memberikan
peran pengaturan yang lebih luas dalam pemanfaatan ruang laut
yang luas dalam kerangka kendali makro. Melalui peningkatan di
legislatif, ekonomi, administrasi, dan teknis pengelolaan ruang laut
maka keseluruhan kontrol MFZ meningkat, mekanisme pasar hak
pemanfaatan perairan bertambah baik, hak yang sah, dan jaminan
untuk seluruh pengguna terjamin secara efektif.
Kedua, meningkatkan kualitas lingkungan laut dan memperbe-
Manfaat MFZ
Hingga tahun 2012 Pemerintah Cina dan pemerintah daerahnya
telah menetapkan 3 juta hektare lahan perairan. Di samping itu,
ditetapkan juga kegiatan perikanan seluas 84,04%, transportasi seluas
4,7%, pertambangan pasir seluas 3,01%, dan rekayasa bawah laut
seluas 2,99%.
Pemerintah Cina terus memantau dan mengevaluasi guna
memastikan konsisten antara aktivitas pembangunan dan MFZ. Hasil
penelitian tahun 2008 menunjukkan, konsistensi antara MFZ dan
pembangunan adalah 90,75%. Sementara itu, konsistensi kegiatan
transportasi, rekayasa bawah laut (seabed), dan wisata melebihi 98%.
Fakta ini menunjukkan bahwa kepatuhan pengguna laut terhadap
MFZ sangat tinggi.
Setelah MFZ diterapkan, Pemerintah Cina mengevaluasi dampak
5
terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan ekosistem yang meng-
acu pada standar berupa pengukuran kualitas air laut, sedimen, dan
biologi. Riset membuktikan, hanya aktivitas eksploitasi minyak dan
gas, rekayasa kelautan (pipa bawah laut, anjungan Migas, reklamasi,
jembatan, kegiatan lain) dan wilayah khusus (riset ilmiah dan dump-
ing) yang perlu penanganan serius terkait dengan menurunnya kuali-
tas perairan laut.
Tindak Lanjut Implementasi MFZ
Setidaknya ada enam tindak lanjut dari penerapan atau
implementasi MFZ di Cina. Pertama, menjalankan keterpaduan,
konsep dasar zonasi, dan keterbatasan fungsi zona. Langkah ini dapat
dilakukan dengan:
u Memperkuat MFZ melalui pengendalian secara top-down.
u Menggabungkan MFZ lingkup provinsi.
u Mengkonsultasikan dengan departemen-departemen terkait,
5
u Secara praktis melindungi sumber daya perairan dan melindungi
pembangunan perikanan yang lestari.
5
P
roses pembuatan penataan ruang laut di Norwegia patut di-
lirik. Negara bependuduk sekitar 5,109 juta (tahun 2014) dan
memiliki laut seluas 1,4 juta km2 atau empat kali luas daratan-
nya itu sangat maju dalam pemanfaatan sumber daya lautnya.
Dalam bidang perikanan misalnya, nilai produk perikanan
Norwegia adalah tertinggi di dunia, yakni sebesar US$ 3.732 per ton.
Bandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya sekitar US$1.891 per
ton.
Kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan tak terlepas
dari kesuksesan mereka menata ruang lautnya. Pemerintah Norwegia
mengesahkan white paper tentang rencana pengelolaan terintegrasi
Norwegia sebagai bagian dari Laut Barents pada April. Paper ini lalu
disahkan oleh Parlemen pada tahun yang sama (Ehler, 2010).
5
dengan penyusunan RTRL tersebut. Ke-7 hal itu adalah sebagai
berikut:
1) Kejelasan Otoritas Penyusun
Otoritas yang diberi kewenangan memimpin adalah Menteri
Lingkungan. Tim ini beranggotakan unsur kementerian terkait.
2) Transparan
Proses perencanaan dilakukan secara transparan dan didukung
oleh keandalan sistem informasi dan konsultasi publik.
3) Partisipasi
Partisipasi semua pihak sangat dibutuhkan untuk meminimalkan
konflik dan melegitimasikan rencana yang dirumuskan. Stakehold-
ers dikelompokkan berdasarkan individu, kelompok atau marine
users yang terkenan rencana, terlibat dan tertarik secara positif.
4) Kelengkapan data dan keandalan sistem informasi
Proyek pemetaan dasar laut yang disebut Mareano merupakan
salah satu sistem informasi yang menampilkan hasil-hasil pemetaan
5
giatan di masa yang akan datang berdasarkan skenario dan kepen-
tingan kebutuhan negara atau wilayah perencanaan.
5
dan kondisi lain seperti
pencemaran terhadap
sumber daya, lingkung-
an, dan masyarakat.
Pengukuran menggu-
nakan variabel umum
yang telah ditentukan
dan menggunakan
data dasar tahun 2003
sebagai tahun awal
perencanaan hingga
tahun 2020.
Pada tahap analis-
is terpadu dilakukan
analisis semua hasil
yang dilakukan pada Perencanaan kawasan laut di Norwegia.
Perizinan
Perizinan pemanfaatan ruang di wilayah perairan dikembalikan
ke institusi yang bertanggung jawab. Kegiatan perikanan menerap-
kan Norwegian System Quota yaitu sistem industri perikanan dengan
kuota dan konsesi dalam bentuk regulatory chain yang berlaku satu
tahun, proses sangat interaktif dan ilmiah.
Sistem dibangun berdasarkan penelitian pengumpulan data,
negosiasi kuota antara pemerintah dan pengusaha perikanan serta
5
negara tetangga lain.
Peranan the Institute of Marine Research (IMR) and the
International Council for the Exploration of the Sea (ICES) sangat
penting dalam merekomendasikan kuota perikanan yang ditawarkan
setiap tahunnya.
5
Perizinan Tambang Migas
Sistem perizinan pertambangan minyak dan gas bumi (Migas)
dilakukan oleh Kementerian Perminyakan dan Energi setiap tahun
melalui pelelangan konsesi minyak. Pada 26 Juni 2013 Pemerintah
Norwegia mengeluarkan perizinan ke-22 untuk 24 lisensi produksi
baru yang terdiri dari 86 blok Migas di Laut Barents dan Laut
Norwegia.
5
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat menerjemahkan tu-
gas atau fungsi lainnya yang belum diatur oleh hukum/undang-un-
dang.
Pemerintah provinsi bertanggung jawab untuk masalah pem-
bangunan regional, sekolah menengah atas, pelayanan kesehatan
spesialis, perawatan gigi, institusi untuk kesejahteraan anak-anak dan
institusi untuk perawatan pecandu obat dan alkohol, jalan provinsi,
transportasi umum dan museum.
Sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab
untuk isu-isu pembangunan lokal dan pengaturan penggunaan lahan
(misalnya alokasi lahan untuk industri/komersial atau perumahan),
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, taman kanak-kanak,
kesejahteraan anak, perpustakaan umum, pelayanan kesehatan dasar,
dukungan keuangan untuk jaminan sosial, perawatan panti jompo
dan para pensiunan, pemadam kebakaran, pelabuhan, jalan kota,
penyediaan air, limbah, dan pembuangan limbah.
5
lainnya.
Rencana pembangunan di darat digunakan untuk mengarahkan
alokasi ruang bagi perkantoran, perumahan, jalan, listrik, air, dan
sistem pembuangan limbah. UU ini juga memberikan hak kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun rencana yang mengikat
secara hukum (sejenis Peraturan Daerah) terkait dengan pemanfaatan
ruang di perairan pesisir yang berbatasan langsung dengan daratan.
Pendekatan alokasi ruang di perairan diadaptasi pendekatan
perencanaan penggunaan lahan di daratan dimana alokasi ruang
dikategorikan untuk berbagai kategori pemanfaatan.
Dengan mengamanahkan penyusunan rencana pesisir dan de-
ngan mengarahkan proses penyusunannya, maka PBA memiliki peran
penting dalam menentukan integrasi pengelolaan ruang di wilayah
pesisir. Peraturan perundangan lainnya tentu juga perlu diperhati-
kan karena pemerintah daerah tidak sepenuhnya memiliki otonomi
secara utuh. Contohnya Undang-undang tentang perikanan perairan
Ice edge
Polar front
Bear Island
65 km zone
Tromsoflaket
bank area
Lofoten-
Norwegia
vesteralen
5 Rusia
www.unesco-ioc-marinesp.be/spatial_management_practice.
5
limbah dan pengolahan limbah menjadi tanggung jawab pihak yang
melaksanakan kegiatan (penghasil limbah). Pemerintah kabupaten/
kota juga bertanggung jawab untuk mengawasi pembangunan dan
pengelolaan instalasi dermaga dan pelabuhan di wilayah mereka,
termasuk instalasi dan pemeliharaan lampu dan buoy dalam kawasan
pelabuhan.
Dari 275 kabupaten/kota, 267 di antaranya sudah memiliki ren-
cana wilayah pesisir. Kabupaten/kota bertugas menyusun perenca-
naan ruang di seluruh wilayah daratannya. Sedangkan perencanaan
ruang di perairannya akan diatur jika memang diperlukan. Norwegia
juga sudah memiliki usulan 36 Marine Protected Area.
5
Perencanaan di tingkatan provinsi berfungsi memadukan ren-
cana-rencana yang berada di kabupaten/kota dengan cara mengin-
tegrasikan dan mengoordinasikan seluruh rencana yang dimiliki
kabupaten/kota. Dalam situasi ini, kabupaten/kota kurang atau ti-
dak memiliki kapasitas dalam melakukan koordinasi dan melakukan
implementasi pembagunan regional. Rencana regional atau provinsi
telah dikembangkan pada pertengahan 1990 dengan tujuan untuk
mengoordinasikan perencanaan kabupaten/kota dan aktivitas pem-
bangunan fisik, sosial dan budaya terkait dengan pasal 18.6 dari PBA
1985. Rencana wilayah pesisir provinsi lebih sebagai arahan bagi ka-
bupaten/kota dalam mengembangkan wilayah pesisirnya.
Perencanaan wilayah pesisir berdasarkan PBA 85, masih
dipandang sebagai salah satu alat yang sangat penting dalam
pengelolaan wilayah pesisir di Norwegia. Motivasi utama untuk
melakukan perencanaan datang dari kebutuhan untuk mengarahkan
industri perikanan budidaya dan menyelesaikan permasalahan konflik
5
merupakan salah satu strategi dalam mengintegrasikan program dan
kegiatan terutama pada isu-isu yang kompleks dan terkait dengan
pengelolaan sumber daya. Tekanan di wilayah pesisir mendorong
pihak-pihak yang terkait untuk lebih bekerjasama dan berkoordinasi
dengan memberikan berbagai sudut pandang untuk menyelesaikan
berbagai masalah.
Di awal-awal inisiasi penyusunan rencana detail wilayah
pesisir, beberapa daerah mengalami permasalahan akan kurangnya
ketersediaan data yang berkualitas. Pemerintah Norwegia sadar
akan hal tersebut, lalu kemudian bekerjasama untuk menyediakan
informasi yang dibutuhkan dan dikumpulkan dalam satu sumber.
Pemerintah Provinsi Hordaland memiliki projek untuk menyediakan
satu portal informasi di internet yang tujuannya untuk menyediakan
daerah-daerah yang sesuai untuk perikanan budidaya.
Di tingkatan nasional malah ada project yang lebih detail,
Mareano yang ditujukan untuk survey dan menyiapkan data dasar
Provinsi Hordaland
Hordaland merupakan provinsi yang memiliki populasi 3 terbe-
sar di Norwegia. Topografinya berbukit bukit, memiliki banyak pulau-
pulau dan memiliki fjord (teluk yg seperti sungai, menjorok jauh ke
daratan) yang sangat dalam dan terlindung (oleh pulau-pulau). Kota
terbesar dari Provinsi Hordaland adalah Bergen yang juga merupakan
kota terbesar kedua di Norwegia setelah Oslo. Banyak kota/kabupaten
di Hordaland yang terletak di pinggir Fjord (masuk kategori kota pe-
sisir). Salah satu moda transportasi utama yang digunakan di provinsi
ini adalah kapal feri.
Provinsi ini memiliki industri yang cukup banyak, namun
umumnya pada skala kecil hingga menengah. Industri metalurgi dan
5
pertambangan sangat penting, sebagaimana kegiatan pelayaran,
perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri maritim, dan
pariwisata.
Dalam rencana strategis provinsi menyebutkan bahwa “Potensi
pertumbuhan ekonomi seharusnya diletakkan pada industri di mana
kita memiliki keunggulan komparatif di antaranya seperti kelautan,
perikanan, pariwisata, budaya dan energi”. Berdasar penilaian para
peneliti di Institute Norwegia bahwa, Hordaland merupakan salah
satu provinsi yang memiliki perencanaan regional yang terkoordinasi
secara baik.
Pemerintah Provinsi Hordaland memiliki peran penting dalam
proses koordinasi kabupaten/kota yaitu dengan memberikan arah-
an dan penyediaan informasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
perencanaan pesisir di tingkat kawasan dan lokal (kabupaten/kota).
Pemeritah provinsi memberikan saran dan masukan kepada kabupa-
ten/kota dan melihat keterkaitannya dengan perencanaan regional.
5
rencana.
Provinsi melihat kolaborasi, koordinasi, dan jaringan sebagai
jalur utama dalam rangka mewujudkan perencanaan pesisir lokal
yang terintegrasi. Setiap tahun rata-rata pemerintah provinsi harus
merespon/menanggapi 20 rencana daerah untuk diimplementasikan.
5
peranan penting dalam lingkup nasional dalam tahun-tahun
mendatang. Saat ini pengelolaan perikanan Norwegia dianggap
salah satu yang terbaik didunia.
u Pengambilan pasir laut: Pasir laut dikeruk dan digunakan untuk
meningkatkan pertanian. Izin untuk ekstraksi dikeluarkan oleh
provinsi.
u Rekreasi dan pengembangan pariwisata: Peningkatan
pengembangan pariwisata meningkatkan kebutuhan akan
pelabuhan dan fasilitas tambat kapal kecil untuk pariwisata.
Rekreasi berperahu dengan perahu kecil meningkat yang kemudian
menimbulkan konflik dengan kayakers dan kapal-kapal lainnya.
Rekreasi menyelam juga meningkat dan Hordaland merupakan
tempat penggunaan dan pengembangan teknologi bawah laut
yang dioperasikan jarak jauh.
u Jangkar: Kompetisi untuk jangkar meningkat seiring dengan
5
hari. 9 dari 600 pulau-
pulau dalam gugus Kota Austevoll.
pulau Austevoll yang berpenduduk merupakan daerah yang relatif
makmur. Daerah ini memiliki armada penangkapan ikan pelagis lepas
pantai dan armada pengiriman dalam jumlah besar. Daerah sekitar Pu-
lau Austevoll dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan dan per-
ikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan yang penting (daerah
ini memiliki 25 lokasi budidaya berizin).
Kunci Penggerak
Rencana pesisir Austevoll berlaku 10 tahun dan dapat ditinjau
kembali setiap 4 tahun. Rencana pesisir saat ini telah berkembang
dari rencana-rencana sebelumnya dimana rencana saat ini meng-
gabungkan rencana terestrial, pelabuhan dan rencana tata ruang laut
dalam satu peta. Rencana tata ruang laut pertama kali dikembangkan
di Austevoll pada tahun 1997 disiapkan karena kebutuhan untuk me-
Rencana tata
ruang pesisir di
Austevoll (2003).
HA Harbour area
(line symbol) Main sea route
(line symbol) Importantcables on seabed
5
dan meningkat. Meskipun ada dasar hukum untuk perencanaan di
perairan Norwegia sebagai amanah dari PBA 85, namun demikian
masih ada ketergantungan namun cukup tinggi pada kesepakatan
sukarela stakeholder terhadap zonasi serta intervensi (bila perlu)
dari pemerintah pusat. Keterlibatan pemangku kepentingan lokal
dipandang sangat penting, banyak pekerjaan penyusunan rencana
rinci dilaksanakan oleh otoritas lokal.
Studi independen oleh Institut Penelitian Norwegia (NIBR)
menunjukkan ada kebutuhan untuk bimbingan dari pemerintah
pusat untuk memfasilitasi integrasi regional dan untuk menggerakkan
partisipasi berbagai pemangku kepentingan. Bekerja dengan
pemerintah daerah di tingkat kabupaten dapat membantu untuk
mengembangkan perencanaan pesisir yang terpadu, menetapkan
standar implementasi ICZM di tingkat lokal, dan mendorong
konsistensi mereka dalam implementasi ICZM. Kerja kolaboratif
dengan kabupaten, penyediaan dukungan GIS, dan jaringan semua
5
Penataan ruang laut di Amerika Serikat dilakukan secara
bottom-up dan ilmiah guna mengatasi isu-isu regional.
Meskipun tata ruang laut regional bersifat sukarela namun
negara bagian, wakil kelompok masyarakat, dan lembaga
Federal bersatu padu melakukannya.
P
roses bottom-up ini dikombinasikan dengan proses top-down,
dimana Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan
membentuk National Ocean Council (Dewan Kelautan Nasional
atau NOC) untuk mengesahkan 9 Regional Planning Bodies guna
menyusun Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut di masing-
masing wilayah regional. Pedoman ini menjadi panduan Negara
bagian untuk menyusun RTRL masing-masing Negara bagian yang
disahkan oleh Pemerintah setempat.
5
Marine Ecosystem (LME) yang dimodifikasi dengan kondisi institusi
pengelolaan regional yang ada dan aspek lain. TRLR akan disusun
secara bottom-up dan ilmiah untuk mengatasi isu-isu bersifat regional.
TRLR bersifat suka rela dan mendorong negara bagian, wakil kelompok
masyarakat (suku lokal), dan institusi/lembaga Federal mengatasi isu-
isu bersifat lintas wilayah (regional).
Wilayah Perencanan mencakup laut teritorial, perairan zona
ekonomi ekslusif (ZEE), laut landas kontinen, dan dapat diperluas
hingga mencapai garis pantai (rata-rata pasang tertinggi, termasuk
teluk dan estuari). Perencanaan dapat melebihi perairan ZEE jika
kegiatan yang direncanakan berpotensi mempengaruhi aktivitas
manusia di wilayah perencanaan.
5
Management Planning;
c. WC: Oregon territorial Sea Planning Process, Washington Marine
Spatial Planning.
Mekanisme
NOC bekerja dengan Negara bagian dan perwakilan suku/
masyarakat setempat untuk menyusun 9 institusi perencanaan
regional (Regional Planning Bodies) dalam menyusun RTRL Regional
mengacu pada pedoman yang telah disiapkan oleh NOC. Rencana
kerja masing-masing institusi perencanaan harus mendapatkan
persetujuan oleh NOC dan sekurang-kurangnya mengandung
rekomendasi gugus tugas antar kebijakan.
RTRL Regional bukan merupakan regulatory instrument namun
merupakan pedoman pengambilan keputusan dan perizinan bagi
5
masing-masing institusi teknis dalam menyusun rencana tata ruang
laut yang lebih detil dan kemudian disahkan oleh instrumen hukum
negara bagian/wilayah setempat.
NOAA bertanggung jawab terhadap monitoring, pemetaan,
dengan pengelolaan 9 Regional Planning Bodies terutama melalui
Regional Ocean Partnership Grant dan US Geological Survey untuk
mendukung RTRL.
Studi Kasus
Salah satu contoh studi kasus yang menarik dalam menentukan
alokasi tata ruang laut adalah menyelaraskan antara fungsi konservasi
dan alur pelayaran cruise di AS. Tadinya alokasi ruang untuk alur kapal
tidak mempertimbangkan data kepadatan migrasi ikan paus (whale).
Namun sejak ada kasus tertabraknya ikan paus oleh kapal cruise, AS
langsung meresponnya.
5
tertabraknya ikan
Paus oleh kapal
cruise, diubahlah rute
alur pelayaran.
K
epulauan Grenadine terletak di atas tumpukan karang Granada
yang secara politik dikuasai oleh dua negara berkembang,
yakni Negara Persemakmuran Granada dan Negara St. Vincent
dan the Grenadine. Secara geografis, Kepulauan Grenadine seluas
2.000 km2 itu terletak di Laut Karibia yang terletak di antara Trinidad
– Tobago (sebelah tenggara), dan Venezuela (di barat daya).
Grenadine yang terdiri dari 105 pulau ini memiliki jumlah
penduduk sebanyak 212.288 jiwa. Perinciannya, 108.419 orang tinggal
di Granada dan 103.869 tinggal di St. Vincent dan the Grenadine (CIA,
2011). Mata pencaharian mereka mengandalkan sumber daya laut
berupa wisata bahari, transportasi laut, dan perikanan tangkap.
Wilayah Perencanaan
Penataan ruang laut di Kepulauan Grenadine dilakukan tidak
untuk seluruh wilayah kedua negara yang menguasainya tetapi hanya
pada pulau-pulau kecil dengan tidak melibatkan kedua pulau utama.
Wilayah perencanaan untuk penataan ruang laut tersebut dapat
dilihat pada Gambar berikut ini.
Wilayah
perencanaan
5
Batas negara
5
Total 74,5 17.371
5
Perencaan tata ruang laut di Kepulauan Grenadines ditujukan
untuk mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir guna untuk
dimanfaatkan secara arif oleh masyarakat. Di samping itu, tujuan
lainnya adalah untuk mempertahankan pola kehidupan masyarakat
yang ada dimana pada saat bersamaan dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Dalam merencanakan alokasi ruang, pendekatan yang dilakukan
adalah perencanaan bottom-up dengan berbasis komunitas (commu-
nity base bottom-up planning). Metode perencanaan berupa perenca-
naan partisipatif (participatory planning).
Dalam metode ini setiap stakeholder diberikan kesempatan
untuk menggambarkan kepentingannya dalam memanfaatkan
ruang laut dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Grenadines. Semua
kepentingan tersebut dirumuskan berdasarkan suatu tujuan
bersama (collective goals) sehingga masing-masing stakeholder
dapat memenuhi tujuannya. Ada lima tahapan dalam menyusun
5
anggota komitenya. Dari situ lalu disusun tujuan utama dan prioritas-
prioritasnya. Tujuan dan sasaran serta prioritas yang disetujui oleh
Komite Stakeholder menentukan skenario dan perencanaan yang akan
disusun kemudian.
Demikian juga dalam hal pencarian data, dilakukan secara
partisipatif oleh Komite Stakeholder berdasarkan pengalaman sehari-
hari yang dikumpulkan dari masyarakat. Data yang dikumpulkan pada
akhirnya membentuk suatu peta pemanfaatan ruang eksisting yang
memang sudah dilakukan oleh masyarakat seperti:
u Alur pelayaran kapal pesiar
u Alur pelayaran kapal sewa wisata
u Lokasi penyelaman
u Lokasi penangkapan ikan
u Lokasi akomodasi, restoran
u Rencana pengembangan kawasan
u Rencana investasi
PELIBATAN STAKEHOLDER
Serangkaian seminar,
workshop, rapat
Skenario-skenario
5
(offshore fishing zone), penangkapan ikan pantai (nearshore fishing
zone), dan budidaya laut (mariculture zone).
Penjelasan dari setiap zona tersebut dapat dilihat pada Tabel
berikut ini. Sementara itu, Peta Rencana Tata Ruang Laut yang
dihasilkan setelah serangkaian pertemuan dan kesepakatan antara
para stakeholder dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
5
Zona penangkapan ikan di pantai
Zona penangkapan ikan
di lepas pantai
St. Vincent
& the Grenadines
Grenada
National
Boundary
5
Kepentingan Strategis
Selama berabad-abad lamanya, lautan telah menjadi kepen-
tingan strategis besar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di Ero-
pa. Seperti diketahui, Uni Eropa (UE) memiliki garis pantai sepanjang
68.000 km. Angka ini setara dengan tujuh kali dari Amerika Serikat
atau empat kali lipat dari Rusia.
Hampir setengah dari penduduk Eropa hidup dalam radius 50 km
dari pantai. Konsekuensinya, laut dan pesisir Eropa sangat dipenga-
ruhi oleh meningkatnya konflik antara pengguna (European Science
Foundation-Marine Dewan, 2006).
Visi Eropa di masa depan adalah menyeimbangkan kebutuhan
antara pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, kesejahteraan dengan
mempertahankan dan meningkatkan status lingkungan laut dan sum-
ber dayanya (Komisi Eropa, 2006a). Pada awal tahun 1999, Perspektif
Pembangunan Tata Ruang Eropa mengakui bahwa semua kebijakan
sektoral memiliki dampak teritorial (atau spasial) dan rencana tata ru-
5
laut sebagai kunci dari setiap kebijakan maritim dan penting bagi
kebijakan sektoral dan pemanfaatan struktur maritim yang efisien.
Dokumen tersebut juga menekankan, tanpa pengembangan sistem
perencanaan tata ruang kelautan berbasis ekosistem, maka dalam
waktu dekat adalah mustahil untuk mengelola penggunaan laut yang
semakin meningkat, dan seringkali saling bertentangan.
Kebijakan Maritim menyimpulkan, sistem perencanaan tata ru-
ang harus dilakukan melalui pendekatan berbasis ekosistem dan disu-
sun untuk kegiatan lepas pantai di seluruh perairan di bawah yurisdik-
si negara-negara anggota. Menurut Komisi Eropa, perencanaan tata
ruang laut yang terintegrasi merupakan kebutuhan mendasar bagi
pembangunan berkelanjutan dan juga untuk mencapai pendekatan
terpadu bagi pengelolaan kelautan.
Kebijakan penting lainnya dikeluarkan pada tahun 2005 berupa
Strategi Tematik Kelautan Uni Eropa (Strategi Kelautan), yang menjadi
pilar Kebijakan Maritim. Di situ dikenalkan prinsip perencanaan ruang
5
sis lokasi atau wilayah.
5
2007).
Di antara pendorong yang paling penting untuk perencanaan
tata ruang laut di Eropa adalah Legislasi Eropa tentang konservasi
alam sebagai bagian dari kontribusi Uni Eropa untuk melaksanakan
Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992. Dua direktif yang paling
signifikan adalah Birds Directive (Directive Masyarakat Uni Eropa,
79/409/EEC) dan Habitat Directive (Directive Masyarakat Uni Eropa,
92/43/EEC)/
Birds Directive menyediakan kerangka kerja untuk identifikasi
dan klasifikasi Wilayah Perlindungan Khusus (SPA) untuk spesies
yang langka, rentan atau secara teratur bermigrasi. Sementara itu,
Habitat Directive mewajibkan negara-negara anggota untuk memilih,
menunjuk, dan melindungi situs yang mendukung habitat alam
tertentu atau spesies tanaman atau hewan sebagai Special Areafor
Conservation (SACs). SCA dan SPA akan menciptakan sebuah jejaring
kawasan lindung di Uni Eropa, yang dikenal sebagai Natura 2000.
5
na, meliputi laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif (Plasman dan
Van Hessche, 2004). Perencanaan tata ruang laut di Belgia dikembang-
kan secara adhoc, terutama didorong oleh komitmen perlindungan
lingkungan Eropa dan peningkatan peluang baru bagi eksploitasi
lingkungan laut.
Kegiatan baru, perluasan kegiatan yang ada, kebutuhan yang me-
ningkat untuk konservasi alam, dan tujuan untuk mengintegrasikan
pengelolaan ekosistem laut dan pesisir menyebabkan meningkatnya
konflik yang tidak bisa ditangani oleh sistem perizinan atau penilaian
dampak lingkungan saja. Kebutuhan yang lebih komprehensif terha-
dap perencanaan tata ruang untuk Laut Utara yang menjadi bagian
Belgia (BPNS) menjadi sangat mendesak. Hal ini dapat dimaklumi
karena Belgia memiliki tujuan nasional yang baru, yakni menghasilkan
energi lepas pantai (yaitu, energi angin atau wind farm) dan pengem-
bangan jejaring kawasan lindung Eropa (Natura 2000) (Pendobelan
vere et al., 2007).
5
dampak spasial dari setiap penggunaan yang ada. Bagian yang
paling inovatif dari penelitian ini menggambarkan skenario untuk
penggunaan ruang masa depan yang mengekspresikan visi terpadu
untuk perencanaan tata ruang laut BPNS berdasarkan seperangkat
nilai-nilai kunci.
Enam skenario dikembangkan, tergantung pada kepentingan
relatif dari nilai-nilai kunci, yakni relaxed sea, natural sea, rich sea,
playful sea, mobile sea, dan sailing sea. Proses menciptakan skenario
untuk penggunaan ruang laut di masa depan dipandang sebagai alat
atau sarana dan bukan tujuan itu sendiri. Beragam nilai yang berbeda
dipertimbangkan dan diberikan bobot untuk mengelaborasi rencana
tata ruang struktural BPNS secara lengkap. Namun, pemilihan rencana
struktural yang diinginkan dianggap sebagai keputusan politik, bukan
teknis atau ilmiah.
Sebuah studi ilmiah dari kegiatan valuasi biologis dari BPNS
juga telah dilakukan. Penelitian ini menghasilkan satu set peta yang
Tata ruang laut Belanda untuk Laut Utara yang menjadi bagiannya.
5
membutuhkan ruang laut, termasuk energi angin (wind farm) dan
kawasan lindung laut.
Pada tahun 2005, Kementerian Perumahan, Tata Ruang dan
Lingkungan Belanda menerbitkan untuk pertama kalinya bab Laut
Utara di Dokumen Kebijakan Perencanaan Tata Ruang nasional
mereka. Kebijakan perencanaan tata ruang laut Belanda bertujuan
untuk mencegah fragmentasi dan mempromosikan penggunaan
ruang yang efisien. Hal ini juga sekaligus memberikan ruang bagi
pihak swasta untuk mengembangkan inisiatif mereka sendiri di Laut
Utara.
Tujuan keseluruhan dijabarkan secara lebih rinci dalam Rencana
Terpadu untuk North Sea 2015 (IMPNS 2015) yang diterjemahkan ke
dalam tiga hal. Pertama, penataan ruang untuk mendorong laut yang
sehat. Kedua, penataan ruang untuk mendorong laut yang aman.
Ketiga, pengelolaan spasial untuk mendorong laut yang bermanfaat
profitable secara ekonomi (IMPNS 2015, 2005).
5
aplikasi dari berbagai berbagai izin.
u Kerangka penilaian terpadu (spasial) untuk pemberian izin yang
memberikan panduan yang lebih kuat dan eksplisit atas dasar
aspek spasial seperti penggunaan ruang secara multiguna.
u Studi tata ruang yang bersifat eksplorasi untuk kegiatan tertentu
yang memungkinkan penyesuaian dalam pengelolaan satu atau
lebih kegiatan.
u Kompensasi kerugian yang dapat diklaim dari instansi yang
berwenang jika ia dirugikan oleh penggunaan hukum lain.
u Kegiatan bersama yang dipromosikan oleh pemerintah untuk
mengundang sektor swasta dan masyarakat sipil untuk
menyampaikan inisiatif yang menggabungkan fungsi-fungsi
pemanfaatan.
5
dan kemungkinan harmonisasi dan kompatibilitasnya, bergantung
pada estimasi tingkat pertumbuhan ekonomi (lambat, menengah
atau tinggi) dari kegiatan lepas pantai selama 10 tahun mendatang.
Skenario ini selain memberikan wawasan yang lebih baik, juga
memberikan pedoman tentang tindakan pemerintah dalam bentuk
perencanaan tata ruang yang diperlukan.
5
proyek tumpang tindih secara ruang dan menimbulkan kekhawatiran
terkait efek pada lingkungan laut. Hal ini dapat memunculkan ber-
bagai konflik antara pengguna yang berbeda.
Karena itulah Jerman menetapkan dasar hukum yang kuat untuk
pengembangan tata ruang laut. Pada Juli 2004, amandemen Undang-
undang Penataan Ruang Federal mulai berlaku. Di situ dikatakan,
Kementerian Federal Transportasi, Bangunan dan Urusan Perkotaan
harus mengembangkan instrumen hukum yang menetapkan tujuan
dan prinsip-prinsip perencanaan tata ruang di zona ekonomi eksklusif
(ROG, 2006). Badan Federal Maritim dan Hidrografi diberi tanggung
jawab untuk menyiapkan rencana tata ruang Laut Utara dan Laut
Baltik. Rencana tata ruang dirilis untuk konsultasi publik pada awal
tahun 2008.
Tujuan dari rencana tata ruang adalah membangun pengelolaan
ruang secara berkelanjutan, di mana tuntutan sosial dan ekonomi
konsisten dengan fungsi-fungsi ekologis. Elemen-elemen kunci dari
5
Sebuah valuasi sosial dan ekonomi, misalnya harus menghubungkan
kegiatan lepas pantai tertentu dengan masyarakat dan ekonomi da-
ratan, dan mengevaluasi pentingnya kegiatan lepas pantai bagi ma-
syarakat dan ekonomi di darat.
5 Skotlandia
Skotlandia
ZEE
5
Kawasan Konservasi Laut
Australia Dalam proses penyusunan
Karang
5
Selesai dan disetujui, belum
Kanada Laut Beaufort
diimplementasikan
Bengen, G.D. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumber daya Alam Pesisir Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT
Pradnya Paramita, Jakarta.
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2013. Pedo-
man Teknis Penyusunan RZWP-3-K Kabupaten/Kota. Jakarta.
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2013. Pedoman
Teknis Pemetaan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta.
Ehler, Charles dan Fanny Douvere. 2006. Visions for A Sea Change,
Report of the First International Workshop on Marine Spatial
Planning. UNESCO, Paris.
http://andiracandoit.blogspot.co.id/2011/10/fenomena-fenomen-pada-
daerah.html)
Ollsen, Eriik and Alf Hakon Hoel. 2011. Norwegian Marine Spatial
Planning and the Ecosystem Approach. Institute of Marine
Research, Bergen, Norway.
Rais Jacub dkk. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Robinson, A., Golnaraghi, M., Leslie, W., Artegiani, A., Hecht, A., Lazzori,
E., Michelato, A., Sansone, E., Theocharis, A., and Ünlüata, U. (1991).
The Eastern Mediterranean general circulation: features, structure
and variability. Dynamics od Atmospheres and Oceans, 15:215-
240.
Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., dan Poniman, A. 2009.
Peta Mengroves Indonesia. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut,
Bakosurtanal, Bogor.
Wyatt, T. (1980) The growth season in the Sea. J. Phnkton Res. 2: 8 1-9 6.