Anda di halaman 1dari 231

Suara Warga Suara Pembangunan

Sebuah Studi RPJM-Desa di Kabupaten Sumba Timur

Suara Warga Suara Pembangunan


Sebuah Studi RPJM-Desa di Kabupaten Sumba Timur

Suara Warga Suara Pembangunan


Sebuah Studi RPJM-Desa di Kabupaten Sumba Timur Cetakan 1, Januari 2011
Hak Cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved

Tim Studi dan Penulis : Ferdinand Rondong, Angelus Taseng, John T. Joz, Dianus U. Sunga, dan Imelda S. Seda, dan Martha Hebi

Editor Foto & Foto Sampul Desain Sampul

: Sutoro Eko : Yosefina Linda : candracoret

Pengantar

Bupati Sumba Timur

Paling tidak ada tiga persoalan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam rangka otonomi desa saat ini, yaitu Pertama, kurangnya data monografi desa yang akurat dan akuntabel, padahal desa merupakan basis dari seluruh kegiatan pemerintahan, baik yang di tingkat desa, kabupaten, provinsi maupun pusat. Kedua, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), padahal APBDesa memuat rincian anggaran terhadap pelaksanaan kegiatan dari Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) tahunan yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) yang sangat urgent untuk diperhatikan ketika membicarakan otonomi desa. Karena kewenangan desa, tidak hanya dalam mengelola perencanaan pembangunan, tetapi juga pengelolaan keuangan desa. Di dalam APBDesa, RKP-Desa dan RPJM-Desa inilah kita dapat melihat sejauhmana desa dapat mengatur dan mengurus rumah tangga desanya sendiri secara otonom. Ini merupakan indikator penting untuk mengukur kemajuan otonomi desa. Ketiga, masih ada kesan yang kuat bahwa sebagian besar rakyat masih menempatkan diri sebagai warga pemerintah. Akibatnya, terjadi proses perubahan yang menuntut suatu kualitas tertentu dari keterlibatan warga masyarakat, terdapat kesan mereka tidak siap, menunggu, bahkan masih ingin menggantungkan nasib mereka kepada pemerintah.

Studi RPJM-Desa

Ketiga kondisi di atas, tentu tidak dapat dijadikan alasan atau sebagai justifikasi untuk kembali ke pola lama atau untuk mendiskreditkan warga masyarakat, melainkan perlu menjadikan rujukan untuk memperbiki pengelolaan pembangunan pedesaan agar sesuai dan relevan dengan konteks kebijakan dan realitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik kelokalan yang ada. Jika ketiga aspek ini masih belum dapat diperbaiki, maka kita tidak perlu berharap akan terealisasinya otonomi desa. Malahan yang terjadi nanti adalah terus membesarnya permintaan bantuan desa kepada pemerintah tingkat atasnya yang pada gilirannya akan memperkuat struktur dan budaya ketergantungan masyarakat desa kepada pemerintah secara sistemik. Dikatakan demikian karena sudah jelas bagi kita bahwa jika APBDesa, RKP-Desa dan RPJM-Desa tidak disusun, maka tidak ada hal yang diatur dan diurus oleh Kepala Desa dan warga masyarakatnya sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi desa, dan tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan oleh Kepala Desa kepada BPD walaupun dana terus dikucurkan dari pemerintah tingkat atas ke pemerintah desa. Persoalan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlanjut bila kita ingin otonomi desa itu terealisir dan pada akhirnya masyarakat akan lebih mandiri dan sejahtera dalam kehidupannya sebagai warga negara. Karena itulah, maka Pemerintah Kabupaten Sumba Timur berusaha mencari solusi terbaik terhadap persoalan-persoalan di atas melalui salah satu Catur Program Pembangunan Sumba Timur yang akan memasuki Jilid III yakni mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan berkomitmen untuk menjadikan perencanaan pembangunan desa sebagai basis perencanaan pembangunan daerah. Dalam rangka menindaklanjuti komitmen tersebut, maka salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan

vi

Suara Warga Suara Pembangunan

program itu adalah membangun kemitraan antara Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dengan ACCESS dan Mitra Samya serta LSM lokal melalui kegiatan fasilitasi penyusunan RPJM Desa/Kelurahan pada 11 Desa dan 2 Kelurahan di Kabupaten Sumba Timur dengan menggunakan pendekatan CLAPP-GPI. Dalam pelaksanaannya, langkah ini ternyata dapat membentangkan kesempatan yang luas bagi masyarakat, terutama orang miskin dan perempuan, untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan desa. Keraguan yang ada sebelumnya di mana warga masyarakat dan pemerintah desa/ kelurahan tidak mampu membuat perencanaan penganggaran yang berkualitas dan dapat diimplementasikan, menjadi hilang. Sejalan dengan itu, mulai muncul harapan dan optimisme baru bahwa warga masyarakat dan pemerintah desa, didukung oleh pemerintah di atasnya dan Organisasi Masyarakat Sipil dan lembaga donor, bisa mewujudkan otonomi desa secara meyakinkan. Hal ini dapat terlihat jelas dari hasil studi pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan, yang publikasikan dalam buku Suara Warga Suara Pembangunan. Buku ini banyak mengungkapkan berbagai cerita sukses, pendekatan, kekuatan-kekuatan, gambaran positif masa depan desa/kelurahan setelah RPJM-Desa/Kelurahan di 11 Desa dan 2 Kelurahan diterapkan beserta rekomendasirekomendasi untuk pemerintah, lembaga donor, LSM serta pemerintah desa/kelurahan dan warga masyarakatnya. Pemaparannyapun dinarasikan secara sederhana, lugas, dan disertai dengan data-data yang valid sehingga mudah dipahami oleh siapapun yang berkepentingan dengan isuisu penting dan kekinian terkait pembangunan pedesaan/ kelurahan seperti otonomi desa, demokrasi, kesejahteraan, pendekatan pembangunan yang partisipatif, pembangunan berbasis kekuatan, dan sebagainya.

vii

Studi RPJM-Desa

Bagi pemerintah, tepatlah kiranya apabila program pengembangan atau pemberdayaan masyarakat, didiskusikan dan direncanakan secara matang dan dibuat secara periodik, sebab membangun masyarakat tidak dapat dicapai dengan upaya-upaya yang sifatnya parsial, tetapi harus komprehensif dan terintegrasi. Ia harus menjadi kebutuhan bersama dan digerakkan secara komprehensif, gradual dan terus menerus dengan arah dan tujuan serta strategi yang jelas dan tepat. Pergerakkan semacam ini tidak mungkin dapat terwujud jika tidak ada kesepakatan untuk kita secara bersama-sama mewacanakan dan mendiskusikannya kemudian membuatnya dalam sebuah domuken perencanaan yang baik untuk ditaati bersama dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, bagi segenap jajaran Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dan siapapun juga kiranya perlu mencermati dan memperhatikan hasil studi ini untuk lebih mengoptimalkan komitmen kita untuk membangun desa/ kelurahan dalam mewujudkan otonomi desa dan kesejahteraan warga masyarakat secara adil dan bermartabat. Belajar dari pengalaman, pembelajaran dan cerita sukses 13 desa/ kelurahan yang telah memiliki dan menerapkan RPJMDesa dalam pembangunan desa/kelurahan selama ini, maka Pemerintah Kabupaten Sumba Timur telah mengalokasikan dana dari APBD untuk bekerjasama dengan ACCESS dan LSM lokal untuk memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa, RKPDesa, APBDesa bagi desa-desa yang belum memiliki dokumen perencanaan penganggaran desa yang bermutu dan dapat diterapkan. Selain itu, Pemerintah juga sudah memberikan ADD Proporsional kepada desa untuk mendukung implementasi program-program dalam RPJM-Desa. Harapan kami, berbagai cerita sukses dan rekomendasi dari hasil studi ini, dalam pelaksanaannya, dapat mengkulturasikan diri dalam budaya lokal, dan membuang prinsip-

viii

Suara Warga Suara Pembangunan

prinsip pemerintahan demokrasi yang fundamental agar bisa terlahir apa yang dinamakan peradaban pemerintahan, sehingga keinginan kita untuk mewujudkan desa sebagai sumber data yang akurat, pengelola pembangunan dan keuangan yang baik dengan mengedepankan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akutabilitas, dan berkeadilan sosial, serta mampu mewujudkan pelanyanan pemerintahan yang adil, mandiri, dan sejahtera mudah untuk dicapai. Perlu mengantisipasi dan menghindari, agar jangan sampai proses pengenalan, penetrasi dan pemantapan nilai-nilai baru berupa RPMJ-Desa/Kelurahan, yang sesungguhnya atau mungkin saja asing bahkan tidak disukai oleh masyarakat setempat, dapat menimbulkan resistensi dan penolakan dari masyarakat. Sehingga yang muncul bukannya prestasi atau keberhasilan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, demokrasi dan emansipasi desa, tapi malah sebaliknya, ketidakberdayaan dan menghancurkan nilai dan kearifan lokal. Demikianlah sambutan kami atas diterbitkannya buku Suara Warga Suara Pembangunan. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada ACCESS, KOPPESDA, tim peneliti dan pihak-pihak lain yang telah bekerja sehingga lahirnya buku ini. Semoga buku ini dapat menambah wawasan, menjadi panduan sekaligus mendukung sikap kita dalam mengoptimalkan pelaksanaan pembagunan pedesaan/ kelurahan secara efesien, efektif dan berkelanjutan. Waingapu, 13 Desember 2010 BUPATI SUMBA TIMUR

Drs. GIDION MBILIJORA, M.Si

ix

Pengantar ACCESS

Partisipasi Warga dalam Tata Kepemerintahan Lokal Demokratis


Paul Boon Direktur Program ACCESS Tahap II

Tata Kepemerintahan Lokal Demokratis (TKLD) menuntut peran warga yang aktif dan kritis, melalui partisipasi langsung dalam berbagai kegiatan publik dan menjalin interaksi yang dinamis (engagement) dengan pemerintah (Negara). Ini berarti, warga memiliki peran besar terhadap peningkatan dalam TKLD, dan dalam waktu yang sama juga membutuhkan peran pemerintah (Negara) yang kuat, serta interaksi (engagement) keduanya. Pada dasarnya, peningkatan dalam TKLD berkaitan erat dengan perubahan pada relasi kekuasaan (power relations) yang semakin setara antara warga dan pmerintah (Negara). Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar partisipasi warga dalam pemerintahan lokal demokratis berkontribusi kepada perubahan sosial yang demokratis dan keadilan sosial yang sungguh-sungguh? Apakah warga membutuhkan ruang dan mekanisme khusus yang menghubungkannya dengan pemerintah (Negara)? Pendekatan dan cara ACCESS bekerja, sebagai sebuah program yang menyumbang kepada

Studi RPJM-Desa

peningkatan dalam TKLD, demokrasi dan pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang diuraikan dalam pengantar ini, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial ini. Program mercusuar desentralisasi dan demokrasi yang sedang bergulir saat ini masih menyimpang dan tergelincir dari harapan-harapan besar yang menyertainya, dan gagal memperdalam makna demokrasi (Oyugi, 2000), lahirnya preman, meluasnya praktik politik uang dan korupsi, kolusi dan nepotisme ke daerah (Antlov 2003; Hadiz 2005; Malley 2003; Mietzner 2007; Sidel 2004 dalam Erb & Sulistiyanto 2009; Holtzappel, & Ramstedt, 2009). Sejalan dengan itu, dominasi berbagai bentuk kelembagaan demokrasi dan techno-birokrasi telah meminggirkan dan mengalienasi keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan kepemerintahan (Fung & Wright, 2001), elit mengontrol demokrasi dan politik lokal (Aspinal & Mietzner, 2010). Untuk mengembalikan semangat dan tujuan desentralisasi dimana melalui proses desentralisasi pemerintah lokal dapat menyediakan kesempatan bagi pemerintah (Negara) dan warganya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam pemerintahan, menyediakan kemungkinan untuk partisipasi akar rumput dalam konteks politik lokal dan partisipasi politik langsung (Erb & Sulistiyanto, 2009), maka formasi pemerintahan yang mengaitkan warga secara langsung menuntut sebuah pendekatan partisipasi warga yang memungkinkan warga, di manapun dan siapapun dia, menjadi pembuat dan penentu keputusan (Cornwall & Gaventa, 2000). Itu berarti, partisipasi warga juga mencakup akses warga untuk mengidentifikasi prioritas lokal, merencanakan dan melaksanakan program, dengan memposisikan warga sebagai aktor kunci pembuat kebijakan. Dalam konteks ini, partisipasi warga dapat dimaknai sebagai perluasan agenda masyarakat, di mana masyarakat dapat

xii

Suara Warga Suara Pembangunan

memobilisasi dan merumuskan tuntutannya (Cornwall & Gaventa, 2001). Partisipasi tidak hanya sekedar sebagai hak tetapi juga sebagai ruang atau arena beraktifitas yang melampaui batasan-batasan antara negara dan masyarakat sipil. Dalam logika ini, partisipasi yang dimaksud bukan partisipasi yang dipaksakan (induced and invited participation), atau artifisial atau hanya sebatas aksesoris pembangunan, tetapi partisipasi di mana warga masyarakat datang untuk membangun ruangnya sendiri dan melakukan perubahan menurut strateginya sendiri (Cornwall, 2000). Menurut Dadang Solihin (2004), dalam konteks governance, masyarakat bukanlah sebagai klien (client) atau penerima manfaat melainkan sebagai warga (citizen). Masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Partisipasi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat. Masyarakat bukan sekadar obyek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif menentukan kebijakan. Bahkan, Cornwall (2000), menempatkan warga sebagai pihak yang dapat bertindak (as the exercise of agency), ketimbang sekumpulan hak sebagaimana pemikiran kaum liberal. Pemaknaan kewargaan sebagai pihak yang dapat bertindak ini menjadi dasar dari sebuah pendekatan yang lebih inklusif dengan sejumlah hak yang dikembangkan oleh warga itu sendiri. Praktik partisipasi sebagai hak, dan juga sebagai ruang/ arena di mana warga dapat bertindak memiliki tiga substansi penting yaitu voice (bersuara), akses dan kontrol. Voice, yaitu hak dan tindakan warga menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Akses, yaitu ruang dan kapasitas warga untuk masuk dalam

xiii

Studi RPJM-Desa

arena government, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Dan, kontrol yaitu pengawasan warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Program ACCESS Tahap II diberi mandat agar mendukung mitra lokal dalam upaya-upaya untuk memastikan bahwa Warga dan organisasi mereka berdaya untuk melakukan interaksi aktif dengan pemeritahan lokal dalam upaya meningkatkan hasil-hasil pembangunan di 16 kabupaten di kawasan timur Indonesia. Pernyataan ini memiliki tiga substansi penting di dalamnya yaitu (1) warga dan organisasi warga yang berdaya, (2) hubungan atau interaksi aktif (engagement) antara warga dengan pemerintah (negara), dan (3) meningkatkan hasil-hasil pembangunan. Warga dan organisasi warga yang berdaya, dalam perspektif ACCESS, memiliki pemaknaan, penekanan dan pendekatan khusus terhadap: Pertama, konsep kewargaan (citizenship) terutama dalam mendorong upaya-upaya untuk memastikan terpenuhinya hak-hak sipil dan politik kewargaan dan keanggotaan dari sebuah komuniti/organisasi. ACCESS memberikan perhatian khusus kepada perempuan, orang miskin, dan kelompok marginal lainnya, serta organisasi berbasis komunitas seperti community center, kelompok perempuan, kelompok tani, komite sekolah, kelompok peduli hutan, kelompok pemuda, serta Organisasi Masyarakat Sipil lainnya (Lembaga Swadaya Masyarakat). Kedua, program ACCESS berfokus pada pembangunan dan penguatan pada sisi warga masyarakat sipil (demand side). Hal ini didasari pada sebuah asumsi bahwa pemerintah (Negara) akan bisa berubah semakin baik kalau tuntutan untuk peningkatan dalam tata kepemerintahan yang lebih baik (lebih partisipatif, transparan, akuntabel, pemberian

xiv

Suara Warga Suara Pembangunan

pelayanan publik yang berkualitas, dan pengakuan hak-hak sipil dan politik serta penegakkan hukum secara adil) berasal dari serta harus diartikulasikan dan diperjuangkan secara aktif, kolektif, dan terus menerus oleh warga masyarakat sipil sendiri. Selama ACCESS bekerja pada 16 kabupaten miskin di kawasan timur Indonesia, ACCESS memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru bahwa warga yang aktif dan kritis merupakan pilar utama bagi proses demokratisasi lokal dan perubahan yang berkelanjutan yang bermanfaat bagi orang miskin, perempuan dan kaum terpinggirkan lainnya. Ketiga, program ACCESS berfokus pada pemberdayaan (empowerment) warga dan organisasi mereka. Menurut Cornwall (2004), pemberdayaan merupakan proses yang membantu orang-orang yang dimarginalkan untuk mengenali dan menggunakan kemampuan mereka untuk bertindak dengan tujuan yang jelas dan pasti. Dalam proses itu, ACCESS menekankan pemberdayaan warga dan organisasinya pada tiga aspek atau Tiga O yaitu Otak, Organisasi dan Ongkos. Pemberdayaan pada aspek Otak yaitu berkaitan dengan pembangunan dan penguatan kesadaran kritis dan pemahaman warga terhadap hak dan kewajiban mereka. Pemberdayaan pada aspek Organisasi yaitu berkaitan dengan memfasilitasi terbentuk dan berfungsinya organisasiorganisasi warga untuk melayani kepentingan anggotanya dan mewadahi aspirasi mereka dalam berinteraksi dengan pihak lain untuk mendialogkan atau memperjuangkan padangan (views) dan kepentingan (interests) mereka. Sementara, pemberdayaan terkait aspek Ongkos, yaitu upaya-upaya yang mendorong warga dan organisasi mereka untuk mengelola dan memobilisasi secara optimal sumber-sumber daya atau asset-asset yang dimiliki untuk

xv

Studi RPJM-Desa

membiayai kegiatan-kegiatan atau program pembangunan guna meningkatkan kualitas kesejahteaan hidup dan mewujudkan kemandirian warga dan organisasi mereka. Dengan menggunakan pendekatan berbasis pada kekuatan/asset (Strength Based Approach), berfokus pada aktor, dan menebar investasi pada pembagunan kapasitas manusia, ACCESS bersama OMS mitra membantu komunitas dan pemerintah dari tingkat desa hingga kabupaten untuk merancang dan memimpin sebuah masa depan yang fantastis. ACCESS percaya bahwa kita semua bisa menjadi bintang (champion) di lingkungan kita. Kita semua memiliki kekuatan dan karunia. Kita semua memiliki kelebihan, keistimewaan dan keandalan. Oleh karena itu, kita mulai mengerjakan sesuatu hari ini dengan apa yang sudah kita punyai untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Skema merancang agenda kabupaten untuk mendorong peningkatan dalam TKLD dapat dilihat pada skema 1.1 pada halaman berikut. Interaksi aktif (engagement) antara masyarakat sipil dengan pemerintah. ACESS mendorong Inisiatif-inisiatif untuk mempromosikan dan memastikan partisipasi warga masyarakat sipil dalam pemerintahan lokal atau kemitraan masyarakat sipil dengan pemerintah (Negara). Ini berarti menciptakan dan/atau membuka ruang/arena bagi warga dan organisasi masyarakat sipil melakukan interaksi (engagement) atau berhubungan dengan pemerintah (Negara). Karena akan terjadi kontestasi dalam proses merebut dan menguasai ruang interaksi tersebut, maka masalah representasi, legitimasi dan relasi kekuasaan (power relations) harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, dengan memberikan perhatian besar kepada penguatan kapasitas warga masyarakat sipil, bagaimana saluran partisipasi bisa terjangkau oleh kedua belah pihak, dan strategi jitu untuk meningkatkan dan memastikan berartinya voice, akses dan

xvi

Suara Warga Suara Pembangunan

kontrol warga, khususnya perempuan, orang miskin, dan kaum marginal lainnya kepada pembuatan kebijakan dan implementasinya. Proses pemberdayaan warga dan organisasi warga dapat berkontribusi kepada engagement yang lebih dinamis, kritis dan setara antara warga masyarakat sipil dengan pemerintah (Negara). Karena salah satu tujuan dari pemberdayaan warga dan organisasi warga agar mereka mampu mempengaruhi proses pembutan peraturan dan pengambilan keputusan (legislatif), pelaksanaan dan penegakkan keputusan (eksekutif), pemeriksaan dan pengadilan (yudikatif) yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Lachapalle et all, 2004). Julius Court, Enrique Mendizabal, David Osborne, dan John Young (2006) menyebut engagement jenis ini sebagai policy engagement. Ruang dan proses kebijakan yang bisa dipengaruhi oleh warga masyarakat sipil dalam konteks policy engagement mulai dari penyusunan agenda (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation), pembuatan/ pengambilan kebijakan (decision-making), implementasi kebijakan (policy implementation), hingga monitoring dan evaluasi kebijakan (policy monitoring and evaluation) (Court et all, 2006). Dalam konteks citizen-state policy engagement, partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan publik bersama pemerintah tidaklah berdiri sendiri dan tidak cukup mendorong peningkatan yang berarti terhadap TKLD, demokrasi, dan desentralisasi. Dia terkait dan saling melengkapi dengan beberapa aspek lainnya seperti transparansi dan akuntabilitas, keadilan sosial dan gender, serta penegakkan hukum dan HAM. Dalam perspektif ini, ACCESS memetakan empat ruang/arena kunci di mana masyarakat sipil bisa berinterkasi dengan pemerintah (Negara) untuk mewujudkan TKLD, demokrasi, dan desentralisasi yang

xvii

Studi RPJM-Desa

baik yaitu (1) memastikan partisipasi langsung warga dan organisasi warga dalam proses pembuatan kebijakan hingga pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi, (2) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, (3) memastikan pengelolaan pelayanan publik yang bermutu, serta (4) mengupayakan keadilan sosial dan penegakkan hukum. Hal ini serupa dengan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam menilai pemerintahan yang baik yang disampaikan oleh Estrella (2001) yang terdiri atas lima aspek yaitu (1) partisipasi, (2) gaya kepemimpinan yang baru, (3) akuntabilitas dan transparansi, (4) pengelolaan pelayanan publik yang kapabel, dan (5) penegakkan hukum dan HAM. Policy engagement warga masyarakat sipil dengan pemerintah daerah bisa dilihat dan dalam konteks untuk mempengaruhi, untuk memperjuangkan nilai dan prinsip, untuk memastikan terpenuhi hak-hak sipil dan politik, dan untuk memastikan lingkungan yang kondusif. Selama proses engagement, kemampuan warga masyarakat sipil dalam melakukan lobi, advokasi, mediasi, dan negosiasi ditempa. Dan secara tidak langsung warga sipil semakin terampil berpolitik. Meningkatkan hasil-hasil pembangunan. Dengan berfokus pada pemberdayaan warga dan organisasi warga, serta mendorong interaksi dinamis masyarakat sipil dengan pemerintah dalam keselurahan proses kebijakan (dari proses formulasi, proses pembuatan, implementasi, monitoring dan evaluasi) diharapkan akan meningkatkan hasil-hasil pembangunan yang kemudian berkontribusi kepada pengurangan kemiskinan. Memang, demokrasi atau TKLD tidak secara langsung mengurangi kemiskinan, apalagi membuat kenyang perut orang miskin seketika. Demokrasi dan desentralisasi, secara teoretis, sering dibayangkan sebagai kondisi yang diperlukan bagi efektivitas pembangunan.

xviii

Suara Warga Suara Pembangunan

Desentralisasi dan demokrasi akan membuat aparat negara lebih terbuka dan akuntabel sehingga lebih cepat tanggap dan bertanggung jawab (responsiveness) dan representatif (representativeness) terhadap kebutuhan dan aspirasi lokal (Betham 1996; Crook dan Sverrisson, 2001). Namun, hubungan antara desentralisasi-demokrasi dan pengurangan kemiskinan tidak seluruhnya jelas. Studi Bank Dunia, World Development Report 2000/1, yang berjudul Attacking Poverty, menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang konsisten antara pro-poorness dan demokrasi. Dalam perspektif ACCESS, pengurangan kemiskinan bukan berarti memberi santunan atau sedekah secara langsung kepada warga miskin atau pembangunan fisik, tetapi harus dengan menebar investasi pada penguatan kapasitas SDM dan kebijakan yang lebih populis, yang memungkinkan warga, khususnya orang miskin mempunyai ruang, akses dan kontrol secara memadai. Demokrasi (partisipasi, akuntabilitas, transparansi, responsivitas, pengakuan hak-hak sipil dan politik, dan penegakkan hukum secara adil) tentu saja akan membuka ruang dan kesempatan bagi proses belajar, menciptakan interaksi atau hubungan antara pemerintah dengan warga miskin secara lebih manusiawi dan setara, membangkitkan kesadaran kritis dan kekuatan kolektif warga miskin, membuka kesempatan akses politik bagi kaum miskin, membuat pejabat publik lebih bertanggungjawab, responsif dan representatif, mengurangi praktik-praktik kebocoran dalam alokasi dana yang memungkinkan program lebih tepat sasaran untuk kaum miskin, dan seterusnya. Proses kebijakan yang lebih partisipatif dan responsif tentu memungkinkan lahirnya kebijakan yang relevan dengan kebutuhan dan kepentingan orang miskin, bukan sekadar kebijakan yang bias preferensi elit.

xix

Studi RPJM-Desa

ACCESS menyadari bahwa TKLD sendiri merupakan fokus besar. Sejalan dengan pemetaan ruang engagement antara masyarakat sipil dengan pemerintah, dan hasil agenda kabupaten untuk TKLD, maka dalam meningkatkan hasilhasil pembangunan pada 16 kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia, ACCESS berkontribusi kepada lima wilayah tematik pembangunan untuk peningkatan dalam TKLD dan penanggulangan kemiskinan. Lima wilayah tematik tersebut yaitu (1) akses orang miskin dan perempuan terhadap pelayanan publik yang lebih berkualitas dan adil, (2) perencanaan dan penganggaran desa yang dipimpin masyarakat, (3) pengelolaan sumber daya alam yang lestari, (4) pengembangan ekonomi lokal, dan (5) keadilan sosial. Tema-tema pembangunan TKLD ini merupakan Rencana Aksi (Plan of Actions) milik OMS mitra serta warga dan organisasi warga, yang didukung oleh pemerintah daerah setempat dan ACCESS serta stakeholders pembangunan lainnya. Perencanaan dan penganggaran desa partisipatif, merupakan salah satu dari lima wilayah tematik TKLD yang paling banyak diminati dan menjadi perhatian utama stakeholder lokal dan ACCESS sendiri, selain pelayanan publik yang berkualitas dan adil. Contoh yang cukup populer adalah pengembangan metodologi pengembangan kapasitas kader pembangunan masyarakat (KPM) untuk memfasilitasi proses-proses perumusan RPJM-Desa, RKP-Desa, APB-Desa dalam kerjasama dengan pemerintah desa, kecamatan dan pemerintah kabupaten yang memanfaatkan RPJM-Desa tersebut sebagai kerangka Musrenbang tahunan sekaligus memastikan penentuan sasaran program penanggulangan kemiskinan dan mengkoordinasikan program SKPD agar tepat sasaran.

xx

Suara Warga Suara Pembangunan

ACCESS bersama OMS mitra mendukung memfasilitasi penyusunan perencanaan penganggaran desa karena: Pertama, perencanaan dan penganggaran desa merupakan ruang/arena, saluran, mekanisme dan strategi yang tepat bagi warga dan organisasi warga sipil untuk melakukan eksperimentasi, memperjuangkan dan membudayakan nilai dan prinsip TKLD seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan sosial dan gender, dan lain sebagainya pada lingkup komunitas dan desa mereka. Selain itu, melalui mekanisme formal Musrenbang, tema ini merupakan ruang dan saluran yang strategis bagi warga masyarakat sipil untuk melakukan policy engagement dengan pemerintahan supradesa (kabupaten) untuk mengakses kebijakan, program, dan dana (APBD). Kedua, perencanaan dan penganggaran desa sejalan dengan agenda dari otonomi daerah, dan merupakan bagian dari kebijakan yang menempatkan desa sebagai basis desentralisasi dan demokrasi. Kebijakan ini penting karena tiga alasan yaitu: (1) sebagian besar warga masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan, dan desa merupakan pabrik dan kantong orang miskin. Hingga Maret 2010, jumlah penduduk miskin mencapai 31,02 juta, dimana 64,23 % penduduk miskin tersebut berada di daerah perdesaan (BPS, 2010); (2) komunitas pedesaan itu terkelompok ke dalam satuan masyarakat hukum yang memiliki pemerintahan yang otonom, dan (3) desentralisasi di tingkat desa akan meningkatkan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Ketiga, perencanaan dan penganggaran desa relevan dengan perspektif yang menempatkan desa sebagai basis partisipasi langsung (demokrasi deliberatif), di mana warga masyarakat tidak hanya menggunakan haknya, tetapi juga menjadi pihak yang bertindak (warga masyarakat datang

xxi

Studi RPJM-Desa

untuk membangun ruangnya sendiri dan melakukan perubahan menurut strateginya sendiri). Perspektif ini berpijak dari pengalaman historis dan empiris bahwa desa telah lama menjalankan fungsinya sebagai self governing community. Desa mempunyai pengalaman panjang di dalam mengembangkan pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan warganya. Desa juga memiliki sumberdaya lokal yang dapat menjamin berlangsungnya pemerintahan. Potensi partisipasi yang tinggi dari warga juga dapat ditumbuhkan karena masyarakatnya mempunyai modal sosial yang tinggi untuk mendukung dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dari pengalaman selama ini, manfaat dari partisipasi langsung warga dalam proses perencanaan penganggaran desa antara lain (1) program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi dan budaya yang sudah ada, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat (sesuai kebijakan desentralisasi); (2) menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu sendiri berkesinambungan; (3) memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat; (4) pelaksanaan kegiatan-kegiatan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat dan konteks kelokalan dan berfokus kepada keputusan warga masyarakat; dan (5) transparansi dan akuntabilitas semakin terbuka lebar akibat penyebaran informasi dan wewenang. Keempat, ACCESS bekerja dengan dan dalam sistem dan mekanisme yang sudah ada di pemerintah dan masyarakat. Indonesia sudah memiliki sistem dan mekanisme formal perencanaan dan penganggaran pembangunan, dan wadah-

xxii

Suara Warga Suara Pembangunan

nya adalah Musrenbang, yang diselenggarakan secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional/pusat. Melalui perencanaan dan penganggaran desa, ACCESS bersama OMS mitra berkontribusi kepada peningkatan kualitas proses dan hasil Musrenbang khususnya di ranah desa, khususnya dalam proses menetapkan RPJMD Desa, RKP Desa dan APBD Desa. Dalam skema Musrenbang, ACCESS bersama OMS mitra berperan untuk memfasilitasi warga masyarakat desa pada tahap pra-musrenbang-desa atau sebelum kegiatan musrenbang-desa dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk menjamin dan memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan di desa terutama orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya dalam setiap tahapan dan prosesnya. Karena hal yang krusial dalam perencanaan adalah partisipasi dan interaksi aktif warga untuk menyampaikan aspirasinya (bersuara), bermusyawarah untuk mufakat, memiliki akses dan kontrol dalam proses pembuatan keputusan. Selain itu, manakala MusrenbangDesa lazimnya dilaksanakan hanya 1 hari saja, intervensi pada tahap pra-musrenbang adalah untuk memastikan ketersediaan waktu dan ruang yang memadai bagi warga masyarakat untuk berproses dan belajar dari proses sehingga penyusunan perencanaan penganggaran desa tidak hanya sekedar mengisi format, mekanis dan artifisial. Juga, untuk memastikan semua aspirasi atau kepentingan dari warga masyarakat desa (terutama perempuan, kaum miskin dan kaum marginal lainnya) terakomodir dalam perencanaan penganggaran pembangunan desa. Dalam persepktif ACCESS, hal yang lebih penting bukanlah benda seperti RPJM-Desa, RKP-Desa, APB-Desa atau aturan-aturan. Memang itu penting, tapi semua itu hanya alat. Hal yang lebih penting bagi ACCESS adalah

xxiii

Studi RPJM-Desa

warga dan organisasi mereka berdaya, terutama orang yang miskin, perempuan dan kelompok marginal lain sudah berdaya. Dengan demikian mereka bisa merencanakan dan menentukan pembangunan sendiri. Buku Suara Warga Suara Pembangunan yang Anda baca saat ini merupakan rekaman dari pengelolaan pembangunan desa/kelurahan yang telah dilaksanakan selama ini oleh 13 desa/kelurahan di Kabupaten Sumba Timur, NTT yang di dalamnya bercerita tentang berbagai upaya, inovasi, cerita sukses, tantangan, dan pembelajaran berharga yang dilakukan oleh warga masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan dalam menggapai sebuah masa depan yang fantastis. Proses perencanaan penganggaran desa/kelurahan yang dipimpin masyarakat sendiri, yang dimulai dari dusun, desa/kelurahan dan dibawa ke mekanisme dan proses Musrenbang (desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten) ternyata telah menuai sejumlah hasil dan perubahan sosial yang membanggakan di ranah desa/kelurahan. Bagi ACCESS, buku ini menjadi salah satu kebangggan karena buku ini memberikan bukti nyata dan menjadi salah satu bahan untuk pertanggungjawaban kepada Pemerintah Australia, Pemerintah Indonesia dan publik yang lebih luas bahwa investasi program terutama pada wilayah tematik perencanaan penganggaran partisipatif telah berkontribusi secara signifikan kepada pencapaian mandat program yaitu Warga dan organisasi mereka berdaya untuk melakukan interaksi aktif dengan pemeritahan lokal dalam upaya meningkatkan hasil-hasil pembangunan di 16 kabupaten di kawasan timur Indonesia. Bagi kami, tidak ada jalan lain untuk meningkatkan kualitas hidup orang miskin, perempuan, dan kaum marginal lainnya, dan mendorong peningkatan pada Tata Kepemerintahan lokal demokratis, selain warga dan organisasi warga sendiri yang sudah berdaya

xxiv

Suara Warga Suara Pembangunan

yang mengartikulasikan dan menuntutnya secara aktif, kolektif, dan berkelanjutan. Mereka yang merencanakan dan menentukan pembangunan sendiri. Mereka yang mengambil tanggung jawab, berkuasa dan memimpin pembangunan dan benar-benar mendapat manfaatnya. Buku ini juga merupakan penghargaan yang dalam terhadap perjuangan warga masyarakat, khususnya perempuan, orang miskin dan kaum marginal lainnya, serta pemerintah desa/kelurahan dalam mengartikulasi hak partisipasi kewargaan, tanggung jawab pemerintah, dan membangun budaya emansipasi dan demokrasi pada komunitas dan desa/kelurahan. Bagi para pembaca yang budiman, semoga kehadiran buku ini dapat memperkaya perspektif dan memperbanyak referensi Anda untuk melahirkan berbagai terobosan dan gerakan baru yang inovatif dan kreatif, serta memberi amunisi baru untuk memperteguh keyakinan kita atas pelayanan yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan warga dan organisasi warga, mendorong engagement antara warga masyarakat sipil dengan pemerintah (Negara) dalam meningkatkan hasil-hasil pembagunan, serta mematangkan demokrasi, dan memberi makna terhadap program mercusuar desentralisasi. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dengan caranya masing-masing terhadap penerbitan buku ini. Secara khsusus ucapan terima kasih diberikan kepada Pemda Kabupaten Sumba Timur, warga masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan dari 13 desa/kelurahan yang menjadi mitra program di Kabupaten Sumba Timur, KOPPESDA sebagai mitra yang menjalankan studi ini, tim peneliti dan penulis, editor, dan semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan namanya satu per satu. Bagi perempuan, orang miskin, dan kaum

xxv

Studi RPJM-Desa

marginal di wilayah kerja ACCESS, kepada Anda buku ini juga kami persembahkan. Warga berdaya, negara kuat, kita semua sejahtera. Betapa tidak dan mengapa tidak. Selamat membaca.

xxvi

Daftar ISI

Pengantar Bupati Sumba Timur .................................... Pengantar ACCESS ...................................................... Daftar Isi ...................................................... Daftar Tabel/Garfik/Skema............................................. Pengantar Editor ...................................................... BAB I PENDAHULUAN ............................................ Latar Belakang ................................................ Titik Pijak dan Tujuan Studi.......................... Metodologi dan Pelaksanaan ......................... Sistematika Penulisan ....................................

v xi xxvi xxix 1 23 23 26 28 32

BAB II

MEMAHAMI KONSEP, KERANGKA REGULASI DAN KONTEKS PERENCANAAN DESA ...................................................... 35 Konsep Dasar ................................................. Nasional ...................................................... Kerangka Regulasi Versus Praktik .................. Eksperimentasi Pengintegrasian Pendekatan Clapp GPI Dalam Pembangunan Partisipatif ...................................................... 35 41 48

53

BAB III KEPUASAN WARGA KUALITAS PEMBANGUNAN ........................................... Gambaran Umum Karakteristik Responden . Temuan dan Analisis ..................................... Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat ..

59 60 63 63

Studi RPJM-Desa

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan .. Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Miskin ............................................ Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Kelas Menengah .................................................. Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Kaya .. Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Perencanaan Pembangunan Pedesaan/Kelurahan .......... Proses Penyusunan dan Hasil RPJM-Desa/ Kelurahan Mengakomodir Kebutuhan Perempuan ................................................. Penggunaan RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan Keuangan Desa/Kelurahan .... Penggunaan RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan Program yang Masuk ke Desa/ Kelurahan................................................... BAB IV PERENCANAAN, DEMOKRASI DAN KESEJAHTERAAN .........................................

66

68

71 72

74

76

80

82

85

Temuan Eksekutif .......................................... 87 Pengalaman dan Praktik Baik Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan ................................... 94 Berbagai Cerita Sukses Pembangunan Desa/ Kelurahan ...................................................... 96 Potret Cerah Kesejahteraan Lokal ............. 96 Penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan semakin Demokratis .................................. 102 Pendidikan Masyarakat Meningkat........... 103 Kesehatan Masyarakat Membaik .............. 110 Ekonomi Lokal kian Bergairah ................. 118

xxviii

Suara Warga Suara Pembangunan

Pembangunan Infrastruktur masih sebagai Ikon Pembangunan Lokal .......................... 127 Pembangunan Infrahuman mulai menjadi Fokus Pembangunan .................................. 141 Desa/Kelurahan Goes Green dan Keamanan Lingkungan ................................................ 143 Keadilan Sosial dan Jender menjadi Buah Bibir Masyarakat ............................. 146 Program RPJM-Desa/Kelurahan yang belum Terealisasi .................................................. 149 Pemanfaatan Peta Sosial ............................... 152 Faktor Penting di Balik Keberhasilan Implementasi Rpjm-Desa/Kelurahan .................................... 154 Praktik Cerdas Advokasi RPJM-Desa/Kelurahan .................................... 158 Pengawalan Partisipatif Warga Dalam Implementasi RPJM-Desa/Kelurahan 158 Tantangan Dalam Implementasi RPJM-Desa/Kelurahan .................................... 160 BAB V GAGASAN KE DEPAN: MELIPATGANDAKAN ANTUSIASME CITA-CITA PERUBAHAN .... 164 Berbagai Rekomendasi ................................... 169 Pemerintah Kabupaten................................... 169 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ............ 173 Kecamatan ................................................. 174 Warga Masyarakat dan Pemerintah Desa/ Kelurahan ................................................... 174 Lembaga Donor, Organisasi Masyarakat Sipil (LSM) dan Swasta ...................................... 176 Ketika Air Mata Haru Menetes .................. 179 Cerita Ketika Air Mata Haru Menetes di Kahaungu Eti ...................................................... 179 Biodata Penulis ...................................................... 189 Daftar Pustaka ...................................................... 191

xxix

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Tabel 2.1

Tabel 2.2 Tabel 3 .1 Tabel 4.1

Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12

Nama Desa/Kelurahan Lokasi Studi ........... Perbedaan Konsep Membangun Desa (Pembangunan Perdesaan) dan Desa Membangun (Pembangunan Desa) ............ Jenis Perencanaan Pembangunan Desa ....... Rekapitulasi Hasil Survei Kepuasan Warga atas Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan ... Potret Angka Kemiskinan Desa/Kelurahan .. Peningkatan Anggaran Pemerintah Daerah Bagi Desa/Kelurahan .................................... Anggaran Tahun 2007 .................................. Anggaran Tahun 2008 .................................. Anggaran Tahun 2009 .................................. Anggaran Tahun 2010 .................................. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru Menurut Desa/Kelurahan ............................. Realisasi Pembangunan Infrastruktur Pendidikan .................................................. Dukungan PNPM Untuk Pembangunan Infrastruktur Pendidikan ............................ Ketersedian Petugas dan Fasilitas Kesehatan Menurut Desa/Kelurahan ............................. Realisasi Pembangunan Infrastruktur Kesehatan .................................................... Realisasi Pembangunan Infrahuman Kesehatan ..................................................... Jumlah dan Jenis Pembelanjaan Ternak dari ADD/ADK dan APBD ...................................

30

42 49 62 97 98 98 99 100 100 106 108 110 114 115 117 121

Tabel 4.13 Realisasi Pengadaan Alat Produksi Pertanian/Ekonomi ....................................... Tabel 4.14 Realisasi Pengadaan Ternak ........................ Tabel 4.15 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Air .. Tabel 4.16 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Penerangan ................................................... Tabel 4.17 Realisasi Pembangunan Jalan Desa/Kelurahan ............................................ Tabel 4.18 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Pemerintah Desa ......................................... Tabel 4.19 Realisasi Pengadaan Input untuk Penghijauan dan Keamanan Lingkungan ... Tabel 4.20 Program RPJM-Desa/Kelurahan yang belum Terealisasi ..................................................... Tabel 5.1 Model kelembagaan perencanaan desa ......

122 125 129 132 136 139 145 150 167

Daftar Grafik

Grafik 3.1 Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat .... Grafik 3.2 Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan ..... Grafik 3.3 Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Miskin. Grafik 3.4 Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Menengah .......................................... Grafik 3.5 Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Kaya .... Grafik 3.7 Proses Penyusunan dan Isi Dokumen RPJM-Desa Mengakomodir Kebutuhan Perempuan ...................................................

63 65 68

71 73

76

Studi RPJM-Desa

Grafik 3.8 Proses Penyusunan dan Isi Dokumen RPJM-Desa Mengakomodir Kebutuhan Orang Miskin ............................................... 78 Grafik 3.9 RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan APB-Desa/ Kelurahan dan ADD/ADK ............................ 80 Grafik 3.10 RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan Program yang Masuk Desa/Kelurahan ................................ 83

Daftar Bagan

Bagan 1 Piramida Sejati Otonomi Desa ............................ 4 Bagan 2.1 Pembangunan Skala Desa, Perdesaan, Regional dan Nasional ................................. 41 Bagan 2.2 Pengintegrasian CLAPP-GPI dalam Skema Musrenbang ................................................. 56

xxxii

Daftar Istilah

ACCESS ADD ADK AIPMNH APBD Bappeda Bimas BPD BPM BLM BOS CCF

: Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme : Alokasi Dana Desa : Alokasi Dana Kelurahan : Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bimbingan Masyarakat : Badan Permusyawaratan Desa : Badan Pemberdayaan Masyarakat : Bantuan Langsung Masyarakat : Bantuan Operasional Sekolah : Christian Children Fund

CLAPP GPI : Community Led Assessment and Planning Process Gender and Poverty Inclusive Dinas PPO DPRD Fasdes FGD Jamkesda Jamkesmas : Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Fasilitator Desa : Focus Group Discussion : Jaminan Kesehatan Daerah : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Studi RPJM-Desa

KBD KK KKM KOPPESDA KPM KPMD LPM LPMD LSM MCK NKRI NPK NTT OMS P2KP PAUD Pemdes Perda Perdes PIDRA PLTA PKH PKK PLN

: Kebun Bibit Dinas : Kepala Keluarga : Kepala Keluarga Miskin : Lembaga Koordinasi Pengkajian Pengelolaan Sumber Daya Alam : Kader Pemberdayaan Masyarakat : Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mandi Cuci Kakus : Negara Kesatuan Republik Indonesia : Nitrogen, Phosphorus, dan Kalsium : Nusa Tenggara Timur : Organisasi Masyarakat Sipil : Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan : Pendidikan Anak Usia Dini : Pemerintahan Desa : Peraturan Daerah : Peraturan Desa : Participatory Integrated Development in Rainfed Areas Perusahaan Listrik Tenaga Air : Program Keluarga Harapan : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga : Perusahaan Listrik Negara

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Pemilu Kada : Pemilihan Umum Kepala Daerah

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

xxxiv

Suara Warga Suara Pembangunan

PNPM PNPM GSC PNPM MP PNS Polindes Posyandu PP PT Puskesmas Pustu RAPB-Desa Raskin RKA RPJMD RPJM-Desa RKP-Desa RPJM-Kel RT RW Sekcam Sekdes SD SDM SKPD

: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Generasi Sehat Cerdas : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan : Pegawai Negeri Sipil : Pondok Bersalin Desa : Pos Pelayanan Terpadu : Peraturan Pemerintah : Perseroan Terbatas : Pusat Kesehatan Masyarakat : Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu : Rancangan Anggaran Belanja Desa Pendapatan dan

: Beras bagi Masyarakat Miskin : Rencana Kerja dan Anggaran : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa : Rencana Kerja Pemerintah Desa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan : Rukun Tetangga : Rukun Warga : Sekretaris Camat : Sekretaris Desa : Sekolah Dasar : Sumber Daya Manusia : Satuan Kerja Pemerintah Daerah

xxxv

Studi RPJM-Desa

SMP SMU/A SMK SPP SPPN SPSS TK Tupoksi UBSP UU WC WVI Yasalti YCM

: Sekolah Menengah Pertama : Sekolah Menengah Umum/Atas : Sekolah Menengah Kejuruan : Simpan Pinjam Perempuan : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional : Statical Package for Social Science : Taman Kanak-kanak : Tugas Pokok dan Fungsi : Usaha Bersama Simpan Pinjam : Undang-Undang : Water Closet : Wahana Visi Indonesia : Yayasan Wali Ati : Yayasan Cendana Mekar

xxxvi

Pengantar Editor

MERAYAKAN PERENCANAAN LOKAL UNTUK MEMPERKUAT NEGARA KECIL


Sutoro Eko

Suara otonomi desa tengah membahana di seluruh pelosok negeri. Kebijakan nasional maupun kebijakan daerah senantiasa menelorkan cita-cita pengembangan desa mandiri, sebagai jawaban atas ketergantungan, keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan desa selama ini. Para pemimpin desa selalu menuntut otonomi yang lebih jelas dan lebih besar, sementara yang lain telah bekerja keras mengembangkan potensi dan prakarsa lokal. Namun pemahaman tentang otonomi desa masih selalu simpang siur dan tidak jelas. Prof. Selo Soemardjann (1992), Bapak Sosiologi Indonesia, sejak dulu selalu berujar bahwa sikap pemerintah tentang desa tidak jelas meskipun wacana otonomi desa selalu hadir. Di Kementerian Dalam Negeri pun terdapat pemahaman yang beragam tentang posisi dan makna desa. Ditjen Otoda selalu abai dengan desa karena otonomi desa dianggap menganggu otonomi daerah. Bagi mereka, otonomi sudah dibagi habis dan berhenti di kabupaten/kota sehingga tidak lagi ada tempat bagi otonomi desa. Kalau pelayanan publik yang diselenggarakan oleh

Studi RPJM-Desa

daerah sudah baik, buat apa ada otonomi desa. Desa cukup diberi tugas pembantuan, demikian ungkap Dr. Made Suwandi, seorang pejabat Ditjen Otoda. Sementara Ditjen PMD memandang desa sebagai entitas yang sangat penting; desa sebagai organisasi pemerintahan paling depan yang dekat dengan masyarakat. Karena itu otonomi desa harus diperkuat, antara lain dengan cara membagi kewenangan berskala lokal kepada desa. Pandangan yang berbeda muncul dari Bappenas. Institusi ini merasa kurang firm dengan gagasan RUU Desa, sebab RUU ini mereka anggap terlalu memberi bobot pada isu pemerintahan (governance), yang kurang memperhatikan aspek pembangunan (development). Kalau PMD memandang desa sebagai basis pembangunan, sementara Bappenas memandang desa sebaiknya dikembangkan menjadi basis ekonomi atau basis pembangunan. Karena itu Bappenas tampil sebagai salah satu promotor RUU Pembangunan Perdesaan. Dua RUU, Desa dan Pembangunan Perdesaan, sebenarnya bisa disatukan sebab kalau bicara desa selalu mengandung tiga unsur: pemerintahan (governance), pembagunan (rural development) termasuk di dalamnya mencakup livelihood dan pemberdayaan (community empowerment). Tetapi karena kondisi pemerintahan yang cenderung terfragmentasi dan kuatnya ego sektoral, kedua RUU itu sampai sekarang belum disatukan menjadi satu RUU, yang kelak bisa menjadi sebuah keputusan politik dan legal tentang otonomi desa. Wacana dan gerakan otonomi desa sebaiknya digulirkan terus di seluruh pelosok negeri untuk mempengaruhi dan mewarnai keputusan politik kedepan. Kita membutuhkan pemahaman otonomi desa yang lebih sempurna dan berpihak kepada desa meski harus sesuai dengan koridor konstitusi. Berbeda dengan pemahaman otonomi daerah yang meminjam berbagai mazhab impor, otonomi desa sebaiknya dipahami

Suara Warga Suara Pembangunan

dalam konteks keragaman dan keunikan Indonesia. Desadesa di Indonesia memiliki mazhab tersendiri tentang desa yang tidak bisa disamakan dengan desa-desa di negara lain, juga tidak bisa dipahahami dalam kerangka desentralisasi. Orang Minangkabau, misalnya, sejak dulu meyakini nagari (desa) sebagai republik kecil. Belakangan seorang anggota DPD dari Papua, Paulus Yohanes, mengatakan dengan lantang bahwa desa adalah sebuah negara kecil, yang dalam konteks NKRI, bukan sebagai pemerintahan terendah seperti pada zaman Orde Baru, tetapi sebagai pemerintahan paling depan, paling bawah dan paling dekat dengan rakyat dan masyarakat. Negara kecil bukan berarti negara dalam negara sebagaimana ditampilkan oleh kementerian sektoral, bukan juga sebagai kepanjangan tangan negara sebagaimana hadir dalam bentuk kelurahan. Kalau desa sebagai negara kecil tentu dia mempunyai wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya, maupun institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dan lain lain). Indonesia sebagai negara besar merupakan kumpulan (unity) dari negara-negara kecil yang membentang secara beragam di desa. Negara besar itu akan kuat bila ditopang oleh kuatnya negara-negara kecil. Konsep negara kecil berarti desa mempunyai wilayah, masyarakat, tata kuasa, pemerintahan, rakyat, dan sumberdaya lokal sebagai sumber penghidupan warga. Desa bukan sekadar satuan administratif, bukan pula tempat bermukim penduduk, bukan juga hanya satuan komunitas lokal, tetapi juga organisasi pemerintahan yang paling dekat, paling bawah dan paling depan berhadapan dengan masyarakat. Kepala Desa, misalnya, selama ini mempunyai multifungsi bagi masyarakat sebagai administrator, orang tua, pemimpin dan bahkan hakim perdamian. Warga Aceh biasa menyelesaikan berbagai masalah dengan keuchik (kepala

Studi RPJM-Desa

desa), hal yang sama juga ditemui di Jawa, dan juga di Papua. Studi Justice for the Poor Bank Dunia (2007) menunjukkan bahwa masyarakat lokal lebih banyak memilih kepala desa (42 %) dan tokoh masyarakat (35 %) ketimbang pengadilan (4,0 %) dalam menyelesaikan masalah dan mencari keadilan. Konsep negara kecil itu sebaiknya digunakan untuk memahami otonomi desa. Sesuai dengan konstitusi dan perjalanan sejarah, saya memahami otonomi desa dalam bentuk piramida (bagan 1).

Bagan 1

Piramida Sejati Otonomi Desa

Piramida itu menggambarkan bahwa otonomi dari dalam merupakan fondasi yang harus lebih besar dan lebih kuat daripada otonomi dari bawah, apalagi otonomi dari atas. Otonomi dari dalam sering disebut dengan indigenous autonomy atau otonomi asli yang berangkat dari hak asal-usul desa. Hal ini mencakup sumberdaya lokal seperti tanah adat atau tanah ulayat, institusi lokal dan kearifan lokal dalam memelihara sumberdaya lokal. Konstitusi telah memberikan pengakuan dan penghormatan (rekognisi) terhadap otonomi asli itu. Sedangkan otonomi dari bawah (local autonomy)

Suara Warga Suara Pembangunan

adalah prakarsa dan gerakan lokal dalam menemukan dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Sebagai contoh desa secara mandiri bergerak mengembangkan desa kopi, desa kakao, desa pusaka, desa cengkih, desa ikan, desa kerajinan, desa batik, desa wisata dan seterusnya. Sementara otonomi dari atas datang dari pemerintah dalam bentuk transfer kewenangan dan keuangan kepada desa, termasuk program-program pemerintah yang berupaya merangsang partisipasi dan kemandirian masyarakat desa. Agar piramida otonomi desa itu berjalan dengan baik untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian, maka dibutuhkan perencanaan desa. Jika meminjam cara pandang governance, pilar dan kerangka institusional otonomi desa adalah kewenangan, perencanaan dan keuangan. Kewenangan adalah kekuasaan desa untuk mengambil keputusan tentang pemanfaatan hak asal-usul maupun aset lokal, yang kemudian diwadahi dalam perencanaan desa. Agar perencanaan desa bisa berjalan, maka dibutuhkan dukungan keuangan, baik yang bersumber dari desa sendiri (PADes) maupun transfer dana (Alokasi Dana Desa ADD) dari pemerintah. Otonomi desa tentu bukan bermakna kesendirian, yang berarti desa membiayai perencanaan desa dengan uang sendiri atau dengan eksploitasi swadaya masyarakat, tetapi sesuai dengan prinsip keadilan, negara harus membagi uang kepada desa.

Perencanaan Desa/Kelurahan
Perencanaan, sebagai sebuah pilihan tindakan untuk masa depan, bukan sekadar sebuah rancang bangun (master plan) yang dibuat para ahli (teknokrat), tetapi sebagai sebuah keputusan politik. Sebagai sebuah keputusan politik, perencanaan setidaknya mengandung beberapa

Studi RPJM-Desa

elemen penting dalam konteks hubungan antara pemimpin dengan rakyat. Pertama, perencanaan merupakan wujud konkret visi dan komitmen politik pemimpin yang dipilih atau memperoleh mandat dari rakyat. Kedua, perencanaan bermula dari berbagai aspirasi politik yang beragam dari masyarakat, dan perencanan adalah sebuah negosiasi yang mengambil keputusan secara strategis dan priositas di antara banyak aspirasi dan pilihan. Ketiga, perencanaan mensyaratkan tersedianya sebuah institusi politik (lembaga dan proses politik) untuk mengambil keputusan. Di sisi lain, dimensi politik perencanaan juga terkait dengan posisi desa dalam hubungannya dengan pemerintah daerah. Jika kita mengacu pada prinsip dasar otonomi desa, perencanaan desa tentu bukanlah bagian atau subsistem dari perencanaan daerah dan perencanaan nasional, melainkan sebagai perencanaan desa yang mandiri (village self planning). Artinya desa membuat perencanaan bukan semata-mata hanya mengusulkan kepada daerah tetapi memutuskan sendiri perencanaan lokal itu sesuai dengan konteks masalah, kebutuhan dan potensi lokal, meski secara normatif perencanaan desa perlu mengacu pada perencanaan daerah. Dengan kalimat lain, sesuai dengan prinsip subsidiarity, perencanaan desa ini adalah perencanaan yang berhenti di desa, bukan sekumpulan usulan yang disampaikan ke atas. Jika kita lihat dari dua dimensi politik di atas, tentu ada perbedaan yang kontras antara perencanaan desa dan perencanaan kelurahan. Perencaan kelurahan sebenarnya merupakan konsep yang tidak relevan dan terlalu dipaksakan, sebab kelurahan bukanlah sebuah institusi politik yang berwenang mengambil keputusan secara mandiri. Kelurahan hanya sebuah SKPD atau sebuah unit administratif yang hanya bertugas melayani masyarakat, bukan sebagai institusi

Suara Warga Suara Pembangunan

yang berwenang mengambil keputusan politik untuk rakyat. Di kelurahan hanya membuka kemungkinkan terbentuknya Community Action Plan (CAP) yang dijalankan oleh berbagai institusi lokal, meski akuntabilitas CAP ini juga problematik. Sementara perencanaan desa mempunyai dua prasyarat politik di atas. Pemerintah desa dan BPD merupakan institusi politik yang dibentuk secara mandiri oleh rakyat desa, yang kemudian mempunyai kewenangan, tanggungjawab (akuntabilitas) dan legitimasi dalam mengambil keputusan tentang perencanaan dan penganggaran desa. Di sisi lain, karena desa memiliki otonomi, maka ia juga berwenang memutuskan perencanaan desa secara mandiri yang relevan dengan konteks lokal. Perencanaan desa sebenarnya bisa juga menerapkan pendekatan politik dari atas, teknokrasi dan partisipasi dari bawah meskipun tidak harus dibuat rumit seperti halnya perencanaan daerah dan perencanaan nasional. Pendekatan politik berangkat dari visi seorang kepala desa. Dalam setiap perjumpaan dengan kepala desa, misalnya, saya selalu bertanya: Selama Anda dipercaya oleh rakyat menjadi kepala desa, apa impian Anda? Desa yang Anda pimpin ini mau Anda bawa kemana dan mau Anda jadikan apa? Perencanaan desa tentu berupaya menjabarkan impian sang pemimpin desa itu, meskipun harus melalui proses politik berupa proses negosiasi dengan aspirasi masyarakat secara partisipatif serta cara pandang dan kepentingan dari kalangan BPD. Pendekatan politik tidak cukup. Agar perencanaan desa menjadi berkualitas dan bermakna perlu disertai dengan pendekatan teknokrasi dan agar mempunyai legitimasi diperlukan pendekatan partisipasi dari bawah. Kalau pendekatan politik berupaya melakukan akomodasi terhadap partisipasi, maka pendekatan teknokrasi berupaya

Studi RPJM-Desa

melakukan translasi atas pendekatan politik dan partisipasi. Pendekatan teknokratis bukanlah pendekatan birokratis yang hanya sekadar mengisi blanko kosong secara rutin. Secara konseptual teknokrasi mengandung dimensi teori dan metodologi untuk mengelola data, informasi dan aspirasi secara logis, tepat dan cermat. Teori dan metodologi mengharuskan agenda perencanaan membuat analisis masalah dan tujuan secara tepat, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang tepat atau menjawab masalah dengan benar. Jika teori dan metodologi yang dipakai salah maka kebijakan atau tindakannya pasti keliru. Kalau kekeliruan ini dilakukan berulang-ulang maka masalahnya semakin akut dan susah ditangani. Pendekatan teknokrasi akan membuat perencanaan partisipatif lebih bermakna dan menjawab masalah. Di sisi lain, memasukkan partisipasi dalam proses teknokrasi akan membuahkan perencanaan yang lebih legitimate dengan didukung trust yang kuat dari masyarakat. Di dalam arena partisipasi pasti terjadi banyak kepentingan dan perspektif dalam memahami masalah, yang membuat pendekatan teknokrasi menjadi lebih kaya, dan sebaliknya pendekatan teknokrasi juga membantu menentukan perspektif yang tepat untuk memilih dan menjawab masalah. Engagement antara teknokrasi dan partisipasi secara nyata dapat dilihat dalam kisah pengambilan keputusan prioritas di antara berbagai kepentingan. Deliberasi merupakan sebuah proses yang mempertemukan antara pendekatan politik, teknokrasi dan partisipasi. Musrenbang desa untuk menyusun perencanaan desa merupakan bentuk deliberasi atau sebagai praktik demokrasi deliberatif yang mempertemukan ketiga pendekatan itu, sekaligus menjadi arena persenyawaan (engagement) antara pemerintah desa, BPD, institusi lokal maupun kelompok-

Suara Warga Suara Pembangunan

kelompok marginal lainnya. Proses deliberasi melalui musrenbang itu bermanfaat untuk membangun kebersamaan, partisipasi, hubungan saling percaya (mutual trust), legitimasi dan memutuskan pilihan-pilihan terbaik untuk perencanaan desa.

Pengabaian Perencanaan Desa


Perencanaan desa sejauh ini masih diabaikan oleh banyak pihak, setidaknya oleh empat rezim sekaligus yaitu rezim desentralisasi, rezim perencanaan, rezim pembangunan, dan rezim demokrasi. Rezim desentralisasi di bawah payung UU No. 32/2004 memberikan bobot yang sangat besar pada perencanaan daerah sebagai bagian dari agenda pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun UU ini juga mengatur tentang desa tetapi ia tidak menyebutkan secara eksplisit perencanaan pembangunan desa. Rezim perencanaan, atau sistem perencanaan pembangunan nasional, yang bekerja di bawah payung UU No. 25/2004 sama sekali tidak menyebut perencanaan pembangunan desa. UU ini memberikan bobot yang lebih besar pada perencanaan pembangunan nasional serta perencanaan pembangunan daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Sistem perencanaan diharapkan terkoordinasi dan sinkron yang dibantu dengan kombinasi pendekatan dari atas (top down) dan dari bawah (bottom up), selain juga ada pendekatan politik dan pendekatan teknokratik. UU ini hanya mengenal musrenbang desa, sebuah eksperimen pendekatan partisipasi dari bawah, yang menjadi titik awal perencanaan daerah dan nasional. Namun UU ini tidak mengamanatkan musrenbang desa untuk membangun decentralized planning di aras desa atau memutuskan village self planning yang berhenti di desa, melainkan sebagai proses

Studi RPJM-Desa

untuk mengusulkan perencanaan kepada daerah melalui musrenbang kecamatan. Dengan logika dan sistem seperti ini, orang desa mengusulkan rencana sebanyak-banyaknya meskipun harus dipotong di tingkat kecamatan, dan yang terjadi secara empirik usulan-usulan itu hampir tidak pernah terealisir. Masyarakat cenderung enggan mengikuti musrenbang desa karena ketidakjelasan itu, dan sebaliknya mereka sangat bersemangat dalam mengikuti musyawarah desa dalam PNPM Mandiri karena program ini begitu jelas dalam memberikan ruang dan uang. Rezim pembangunan dimiliki oleh berbagai kementerian sektoral yang sejauh ini tidak tunduk pada rezim desentralisasi dan juga tidak mengakui desa sebagai negara kecil (otonomi desa). Dengan membawa agenda penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, para kementerian sektoral membawa langsung programprogram dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ke desa. ESDM mempunyai program desa mandiri energi, Pertanian mengusung program Desa Mandiri Pangan melalui proyek Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), Budaya dan Pariwisata mengembangkan desa-desa wisata, Kementerian PDT mempunyai program bedah desa di desa-desa tertinggal, Kesehatan mempunyai desa siaga, Kelautan dan Perikanan mempunyai program masuk desa pesisir, Koperasi dan UMKM membina Koperasi Unit Desa, dan yang paling baru adalah program desa produktif karya Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Meski mereka mempunyai sebutan desa, tetapi konsep desa yang dimiliki oleh beberapa Kementerian ini berbeda dengan konsep desa yang dikenal dalam rezim desentralisasi. PNPM Mandiri Perdesaan saat ini merupakan produk rezim pembangunan paling terkemuka yang masuk ke ranah desa. Program ini memang bukan program untuk

10

Suara Warga Suara Pembangunan

memperkuat kemandirian desa, melainkan sebagai program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat atau yang disebut Bank Dunia sebagai pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community driven development - CDD). CDD pada dasanya meletakkan masyarakat sebagai aktor utama yang menggerakkan partisipasi, aksi kolektif dan modal sosial untuk mengambil keputusan, merencanakan, melaksanakan dan memanfaatkan program pembangunan. Model ini ditempuh dengan cara memberikan (delivery) dana pembangunan secara langsung kepada masyarakat tanpa melalui jalur hirarkhis birokrasi pemerintah. Peran birokrasi pemerintah diminimalisir dari regulator menjadi fasilitator (Ghazal Mansuri & Vijayendra Rao, 2004; Frederick Rawski, 2006; Victoria A. Beard and Aniruddha Dasgupta, 2006). Dalam praktik, PNPM yang menggunakan model CDD itu, ditempuh dengan pemberian Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari pemerintah pusat dan daerah langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat di desa. Kepala desa tidak boleh melakukan regulasi dan intervensi terhadap pengelolaan dana PNPM. Sejauh ini PNPM dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat karena dana PNPM lebih jelas dan lebih besar, hampir tidak ada dana yang tercecer, dana dimanfaatkan untuk membangun berbagai infrastruktur serta dana bergulir bagi kaum perempuan, serta proses pengelolaan dana berlangsung secara partisipatif, transparan dan bertanggungjawab. Tetapi PNPM tampil seperti negara dalam negara yang abai terhadap realitas dan harapan desa sebagai negara kecil. Meskipun dana sangat bermanfaat bagi masyarakat, tetapi PNPM tidak memberikan kontribusi, bahkan memperlemah, posisi dan peran pemerintah desa maupun institusi formal di desa. PNPM juga tidak menyatu

11

Studi RPJM-Desa

dengan sistem pemerintahan dan sistem perencanaan daerah maupun desa. Desa mempunyai perencanaan desa sendiri dan menyelenggarakan musrenbang secara reguler, sementara PNPM juga mempunyai musrenbang dan rencana tersendiri yang terpisah dari perencanaan desa. PNPM beserta program-program BLM yang lain telah membuat desa sebagai outlet atau pasar sehingga menciptakan terjadinya fragmentasi perencanaan. Perencanaan desa melalui musrenbang juga diabaikan oleh rezim demokrasi. Pemerintah, politisi dan masyarakat Indonesia sejauh ini masih sibuk merayakan demokrasi elektoral (berbagai bentuk pemilihan), sehingga terjebak apa yang disebut Lani Guinier (2008) sebagai elektokrasi, yakni penyelenggaraan pemerintahan yang semata-mata didasarkan pada proses elektoral. Jebakan elektokrasi bisa dilihat dari menguatnya pendekatan politik atau politisasi setiap pengambilan keputusan dan proyek-proyek pembangunan; sekaligus juga pengabaian demokrasi deliberatif dalam musrenbang. Para pemimpin politik lebih suka membuat pernyataan-pernyataan yang bersifat politis dan populis, atau lebih suka merayakan setiap perhelatan pemilihan yang sarat akan mobilisasi rakyat; sementara mereka kurang tertarik untuk merayakan musrenbang dari desa sampai daerah. Para anggota DPRD juga lebih bersemangat menggelar jaring asmara di dapil-dapil mereka daripada mengikuti musrenbang.

Terobosan dan Gerakan


Meskipun UU No. 25/2004 dan UU No. 32/2004 tidak secara eksplisit memberi amanat tentang perencanaan pembangunan desa, tetapi PP No. 72/2005 justru melakukan terobosan, bahkan Yando Zakaria menyebutnya sebagai

12

Suara Warga Suara Pembangunan

subversi, yang memberikan amanat, hak, kewenangan dan tanggungjawab kepada desa untuk menyiapkan perencanaan pembangunan desa. Terobosan ala PP No. 72/2005 itu diikuti oleh gerakan lokal mengembangkan perencanaan desa. Tetapi gerakan lokal ini mengikuti rute yang tidak lazim. Rute yang lazim adalah kewenangan, perencanaan dan keuangan. Kebijakan dan gerakan lokal menempuh rute terbalik: keuangan, perencanaan dan kewenangan. Sejauh ini hampir 100% kabupaten/kota belum memberikan transfer sebagian kewe-nangan kepada desa. Sementara keuangan (ADD) datang lebih dulu daripada kewenangan dan perencanaan. Begitu PP No. 72/2005 keluar, selain desakan dari Kemendagari, Asosiasi Desa yang didukung NGOs melakukan perjuangan merebut ADD sebab pemda pada umumnya tidak secara otomatis menelorkan kebijakan ADD. Sekarang sebagian besar kabupaten sudah menjalankan kebijakan ADD, meski mayoritas tidak mengikuti pola block grant yang memberi kepercayaan kepada desa sebagaimana diamanatkan PP. Para kepala desa di Lombok Barat, misalnya, berujar: Kami dikasih beras oleh pemda tetapi kami tidak boleh memasaknya. Setelah ADD berjalan kemudian diikuti dengan gerakan mempersiapkan perencanaan pembangunan desa. Kerjasama yang sinergis antara pemerintah daerah, NGOs dan lembagalembaga donor memungkin proses fasilitasi perencanaan desa di banyak daerah berjalan dengan baik. Yang paling dasar, mereka memfasilitasi para pelaku desa menemukenali potensi, masalah dan kebutuhan lokal melalui metode yang partisipatif sebagai basis untuk mempersiapkan perencanaan desa. Meskipun kewenangan desa belum ada sebagai dasar untuk menentukan perencanaan, tetapi ada proses memilah dan memilih usulan lokal yang sesuai dengan skala dan kemampuan lokal sebagai pintu masuk membuat

13

Studi RPJM-Desa

perencanaan. Proses perencanaan itu berlangsung cukup melelahkan tetapi sungguh dinikmati oleh para pemimpin dan masyarakat desa. Ada proses musyawarah besar di level desa, ada pula musyawarah di tingkat yang lebih kecil seperti dusun maupun institusi-institusi lokal. Selain melalui proses politik dan partisipasi itu, desa juga memiliki tim teknokrat desa yang melakukan kajian, membuat rancangan draft serta membuat rumusan dari proses-proses musyawarah. Berdasarkan pengalaman, untuk memperkuat perencanaan desa dibutuhkan kombinasi pendekatan regulasi dan fasilitasi dari atas dan emansipasi dari bawah. Regulasi berisi kebijakan dan komitmen pemerintah daerah untuk memperkuat desa, sedangkan fasilitasi merupakan tindakan dan gerakan bersama pemerintah daerah dengan kalangan NGOs maupun donor dalam meningkatkan kapasitas desa serta mendorong aksi kolektif berbagai komponen desa mulai dari menyiapkan sampai dengan melaksanakan perencanaan desa. Namun regulasi dan fasilitasi itu tidak akan mempunyai makna kalau tidak ada emansipasi desa secara mandiri, yakni prakarsa dan gerakan lokal mengembangkan aset-aset yang mereka miliki. Emansipasi ini yang antara lain menghasilkan ciri khas unggulan desa atau lebih dikenal dengan satu desa satu produk (one village one product), sebagai penopang kemakmuran warga masyarakat. Bruce Mitchell (1994), misalnya, meski tidak memakai konsep emansipasi itu, tetapi telah menunjukkan bahwa kearifan lokal dan struktur pemerintahan tradisional Bali, yang mengutamakan kerjasama, konsensus dan keseimbangan, telah memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan desa yang berkelanjutan. Sebaliknya keputusan pembangunan yang berasal dari luar desa justru menimbulkan masalah dalam inisiatif pembangunan lokal.

14

Suara Warga Suara Pembangunan

Belum lama ini saya melakukan kajian cepat terhadap desa-desa di Kabupaten Jembrana, Bali, yang berjumlah 41 desa. Jembrana tidak mempunyai desa tertinggal dan angka kemiskinan sebesar 5,5% pada tahun 2009. Secara geografis wilayah dan tata ruang Jembrana dapat dipotret dengan mudah dan jelas, yakni terbelah oleh jalan utama dan terbagi menjadi utara dan selatan. Wilayah selatan yang berdekatan dengan laut dan kegiatan perikanan mempunyai budaya sharing of poverty, dimana kantong kemiskinan berada di desa-desa di tepi laut. Kaum miskin itu sebagian besar adalah pendatang dari kabupaten lain, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Maluku Utara dan Madura, yang sebagian besar tidak memiliki aset. Sebaliknya wilayah utara adalah lahan pertanian, perkebunan, dan hutan yang mayoritas penghuninya adalah orang asli Bali. Orang-orang utara masih memegang teguh adat Bali yang mempunyai kultur sharing of prosperity dengan baik. Desa-desa di sebalah utara barat (Kecamatan Melaya dan Negara) pada umumnya merupakan desa kakao, dan desa-desa di utara timur merupakan desa cengkih. Di utara-barat Kecamatan Melaya, terdapat Desa Blimbingsari (komunitas Kristen) dan Desa Ekasari (komunitas Katholik) yang masih memegang teguh adat Bali untuk mengelola tata ruang, lingkungan, sawah, kebun, dan lain-lain. Dua desa ini begitu tertata, bersih, indah dan makmur karena ditopang oleh sumber kakao dan jaringan sosial di Eropa, Jepang dan Amerika. Rintisan kakao di dua desa ini juga berkembang di desa-desa tetangganya seperti Nusasari dan Warnasari. Sementara di utara-timur di wilayah Kecamatan Pekutatan (Asah Duren, Manggissari, Pengragoan, dan lain lain) merupakan desa cengkih yang dirintis oleh Driyo Pangarso dari Jawa dan kemudian diteruskan oleh orang-orang lokal. Meskipun desa-desa di utara-timur tidak memiliki tata ruang

15

Studi RPJM-Desa

yang cantik seperti halnya di utara-barat, tetapi desa-desa di utara timur telah lama membangun dirinya sendiri dan mampu melakukan sharing of prosperity secara mandiri. Hasil cengkih dan kakao tersebut kemudian dimanfaatkan untuk investasi manusia melalui pendidikan, yang menghasilkan banyak orang pintar. Kata kunci dari pengalaman ini adalah gerakan lokal yang bersandar pada emansipasi, kearifan dan konteks lokal, bukan karena intervensi dari pemerintah. Baik di utara-barat maupun utara-timur, pemerintah tidak banyak campur tangan; kalaupun campur tangan dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan yang angkanya kecil, misalnya melalui program-program PNPM maupun program daerah.

Tentang Buku Ini


Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT, telah gegap gempita mendorong dan memfasilitasi penyiapan perencanaan desa pada tahun 2006-2007. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, ACCESS Phase I dan Mitra Samya serta LSM lokal memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa/ Kelurahan pada 11 desa dan 2 kelurahan di Sumba Timur. Pengalaman Kabupaten Sumba Timur dalam penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan tersebut sudah menjadi kebanggaan kabupaten dan mengantar kabupaten ini menjadi kabupten model di Provinsi NTT dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan partisipatif. Setelah perencanaan lokal itu berjalan, kemudian menimbulkan tantangan dan pertanyaan lanjutan. Apa makna perencanaan desa? Perubahan sosial dan pembangunan apa yang sudah terjadi pada 13 desa/kelurahan tersebut setelah mereka memiliki dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan yang lebih baik? Keberhasilan pada perencanaan tidaklah berarti apa-apa kalau tidak

16

Suara Warga Suara Pembangunan

disertai dengan keberhasilan pada tahap implementasi serta didukung oleh kebijakan lokal. Sejauhmana pembangunan partisipatif berkontribusi kepada peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat secara keseluruhan, terutama orang miskin, perempuan dan kaum terpinggirkan lainnya. Untuk menjawab beberapa pertanyaan krusial ini, maka Pemda Kabupaten Sumba Timur, ACCESS Phase II dan KOPPESDA bersama dengan 13 desa/kelurahan berinisiatif untuk melakukan refleksi terhadap implementasi RPJMDesa/Kelurahan dalam mewujudkan pembangunan yang pro orang miskin dan perempuan. Studi reflektif itu dinarasikan melalui buku ini. Buku ini menyampaikan sejumlah pelajaran, temuan dan keyakinan penting. Pembaca bisa membaca sendiri lembar demi lembar buku ini, mulai dari hasil suvei yang menunjukkan betapa puasnya warga terhadap RPJMDes/ Kelurahan, hingga story telling bermakna yang disampaikan para fasilitator dalam penyiapan perencanaan desa/ kelurahan. Bagi saya buku ini mempunyai sejumlah pelajaran berharga. Pertama, buku ini memberi cerita bahwa desa ternyata mampu berbuat, berbeda dengan stigma dari atas bahwa desa tidak siap dan desa tidak mampu. Melalui arena perencanaan, desa mampu melakukan aksi kolektif bersama warga dalam menemukenali potensi dan kebutuhan lokal, sekaligus menyiapkan sebuah perencanaan secara partisipatif dan responsif. Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan telah berkontribusi kepada peningkatan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, sarana air bersih, irigasi, fasilitas kesehatan, penerangan, pembangunan rumah layak huni, penambahan gedung baru atau ruang sekolah. Dengan adanya sarana air bersih yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk maka beban pekerjaan ibu-ibu dan

17

Studi RPJM-Desa

anak perempuan semakin berkurang. Anak-anak tidak terlambat lagi ke sekolah karena biasanya sebelum ke sekolah mereka harus mengambil air untuk kebutuhan di rumah. Akses masyarakat atas pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi semakin baik dan terjangkau. Semakin banyak ibu hamil yang mendapat pelayanan kesehatan (melahirkan di Puskesmas dan dilayani oleh tenaga kesehatan). Anak-anak semakin rajin ke sekolah sehingga partisipasi pendidikan dasar meningkat. Perbaikan jalan memungkinkan kegiatan ekonomi berjalan lancar. Warga desa lebih mudah menjual hasil-hasil buminya. Pembuatan jalan raya juga membuka keterisolasian desa, sehingga warga desa lebih mudah melakukan mobilitas atau berinteraksi dengan desa lain, kecamatan dan kabupaten. Implementasi RPJM-Desa/Kelurahan juga mampu menghidupkan kembali (revitalisasi) modal sosial seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat dan swadaya. RPJM-Desa/Kelurahan tidak hanya dipakai untuk mengakses program dan anggaran dari kabupaten, tetapi juga mendorong swadaya masyarakat dan kepemilikan lokal atas pembangunan. Dengan demikian desa mampu membuktikan bukan sebagai beban bagi pemerintah, tetapi emansipasi yang kuat membuat mereka lebih mandiri dan lebih berguna bagi warga. Kedua, buku ini memberikan cerita yang bermakna tentang kemitraan yang sinergis antara pemerintah daerah, LSM lokal dan lembaga donor dalam memfasilitasi kebangkitan desa. Pendekatan fasilitasi yang mereka tempuh itu pada gilirannya membangkitkan emansipasi dan aksi kolektif berbagai komponen desa untuk maju ke depan melalui wadah dan proses perencanaan desa. Tentu hal ini merupakan sebuah investasi besar yang meletakkan fondasi dasar pembangunan berkelanjutan bagi desa. Secara inkremental dan berkelanjutan, desa bakal tumbuh mandiri

18

Suara Warga Suara Pembangunan

dalam mengembangkan berbagai aset lokal sebagai basis penghidupan warga. Ketiga, ADD/ADK, meskipun secara nominal sangat kecil, bahkan sering saya sebut sisanya sisa, tetapi sungguh bernilai dan bermakna bagi desa. Studi ini menemukan bahwa ADD/ADK dipakai untuk mendukung program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan, bukan dipakai untuk kepentingan segelintir elite atau kaum mampu di desa/kelurahan. Tidak ditemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan penggunaan ADD/ADK di luar dari program RPJM-Desa/ Kelurahan. Kenyataan ini tentu menjawab keraguan dan kekhawatiran banyak pihak akan bahaya korupsi jika desa menerima ADD. Dana itu juga memperkuat kewenangan dan hak desa/kelurahan untuk mengelola ADD/ADK untuk kesejahteraan masyarakat. Kehadiran ADD/ADK juga telah mendorong efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik, membuat RPJM-Desa/Kelurahan lebih bermakna dan dinamis. Hal ini relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal dan otonomi (termasuk pengelolaan keuangan) tidak hanya berhenti di kabupaten, tetapi mengalir terus hingga ke desa. ADD/ ADK telah menjadi arena pembelajaran bagi desa/kelurahan untuk menempa kapasitas dalam perencanaan, merawat dan membudayakan akuntabilitas dan transparansi dan sebagainya. Keempat, buku ini kian memperkaya konsep dan praktik tentang apa yang disebut Hilary Wainwright (2003) sebagai merebut negara (reclaim the state) dan pendalaman demokrasi (deepening democracy). Merebut negara bukan dalam pengertian warga merebut aset-aset negara dengan cara pembalakan liar, melainkan mengambil domain atau ruang-ruang politik yang selama ini dimonopoli oleh

19

Studi RPJM-Desa

tangan-tangan negara. Pendalaman demokrasi sebenarnya merupakan sebuah bentuk merebut negara, sekaligus sebagai upaya untuk menjawab defisit demokrasi prosedural. Upaya memperdalam demokrasi antara lain bisa ditempuh melalui: (a) memperkuat voicing warga daripada voting dalam pemilihan; (b) membuka ruang-ruang publik; (c) mengembangkan partisipasi dan participatory governance; (d) memperkuat organisasi masyarakat sipil menjadi penyeimbang negara dan masyarakat politik; (e) menjalankan desentralisasi yang lebih dengan masyarakat lokal; (f) memperkuat aksi kolektif organisasi maupun komunitas lokal; (g) memperkaya praktik-praktik demokrasi deliberatif; (h) membiasakan praktik engagement antara masyarakat dengan pemerintah (Archon Fung dan Erik Olin Wright, 2003; John Gaventa, 2006; Alan Fowler & Kees Biekart, 2008) Konsep dan praktik perencanaan desa itu sendiri mempunyai makna merebut negara, mengingat ia berupaya menerobos rezim pemerintahan, rezim perencanaan, rezim pembangunan dan rezim demokrasi yang selama ini mengabaikan desa. Pada saat yang sama, perencanaan desa menjadi arena pendalaman demokrasi lokal yang sangat dekat dengan warga. Buku ini menyampaikan keyakinan bahwa demokrasi desa/kelurahan, tidak hanya berjalan secara prosedural tapi juga subtansial (bermakna), dan praktik baik democratic governance di akar rumput bertumbuh subur, berakar kuat dan mulai menjalar. Partisipasi langsung warga masyarakat dan organisasi mereka selama implementasi RPJM-Desa/Kelurahan menunjukkan peningkatan yang impresif. Wujud partisipasi tidak hanya sekadar kehadiran secara fisik atau mobilisasi warga (demokrasi prosedural) sebagaimana dilakukan pada tahun-tahun sebelum RPJMDesa/Kelurahan, tetapi sudah menekankan pada partisipasi untuk bersuara, memanfaatkan akses dan kontrol dalam

20

Suara Warga Suara Pembangunan

pembuatan kebijakan publik di desa/kelurahan, dan adanya penghargaan atas hak-hak kewarganegaraan terutama orang miskin, perempuan, kaum minoritas dan marginal lainnya (demokrasi subtansial). Dengan partisipasi langsung warga dalam proses pembangunan merupakan jalan ketiga untuk menutup kegagalan demokrasi perwakilan. Manakala wakil rakyat daerah gagal atau disengajakan tidak memperjuangkan kepentingan konstituennya, maka perjuangan lewat RPJM-Desa/Kelurahan, adalah solusinya. Dengan cara itu, warga masyarakat dapat merencanakan, melaksanakan dan mengontrol sumberdaya publik (termasuk anggaran), bagaimana uang rakyat dikelola dan kemana uang rakyat dibelanjakan. Selain itu, partisipasi langsung dalam gimplementasi RPJM-Desa/Kelurahan selama 3-4 tahun terakhir memperlihatkan perubahan dan peningkatan cara pandang dan pemahaman warga masyarakat dan organisasi mereka terhadap proses-proses pembuatan kebijakan di tingkat desa/ kelurahan dan rasa kepemilikan lokal terhadap keputusan yang diambil. Implikasinya, kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah desa/kelurahan semakin meningkat. Konflik vertikal (antara warga dengan pemerintah desa/ kelurahan) maupun horizontal (antara sesama warga masyarakat) jarang terjadi. Hal ini karena pemerintah desa/ kelurahan memiliki legitimasi yang kuat di hadapan rakyat karena lebih akuntabel, transparan dan responsif. Rasa saling curiga atau berburuk sangka, warga terhadap kepala desa/ lurah beserta aparatnya, atau sebaliknya, berkurang secara cukup menyolok. Pada saat yang sama, partisipasi perempuan di ranah publik dan menduduki posisi strategis di tingkat lokal semakin meningkat. Perempuan terlibat langsung dalam pertemuan-

21

Studi RPJM-Desa

pertemuan formal maupun informal desa/kelurahan, seperti Musrenbang, pertemuan desa dan lain-lain. Mereka semakin berani dan percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya saat pertemuan, dan terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan juga mulai menduduki beberapa posisi strategis di pemerintahan dan organisasi akar rumput. Misalnya, ada Fasilitator Desa (Fasdes) perempuan yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Sumba Timur, perempuan menjabat sebagai kepala desa, sekretaris desa, anggota BPD, LPMD, Ketua RT, Ketua RW, dan pengurus kelompok. Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa emansipasi dan demokrasi desa berbasis gender mulai tumbuh subur. Perempuan tidak hanya berpartisipasi pada ranah bersuara dan telibat dalam pembuatan keputusan publik, tetapi juga mulai menjangkau wilayah lainnya yang krusial yaitu kekuasaan publik dengan menduduki posisi strategis. Interaksi dinamis antara warga dengan pemerintahan lokal (citizen local government engagement) juga tumbuh semakin meningkat. Warga dan pemerintah desa/ kelurahan semakin aktif melakukan interaksi dinamis dengan pemerintahan supradesa (Bupati, SKPD, kecamatan) dan pihak-pihak lain untuk meminta hak dan dukungan dalam pengimplementasian RPJM-Desa/Kelurahan. RPJM-Desa/Kelurahan menjadi alat advokasi desa/ kelurahan ketika melakukan interaksi. Interaksi aktif warga (engagement) dengan pemerintah daerah dalam konteks untuk mempengaruhi, untuk memperjuangkan nilai-nilai dan prinsip, untuk memastikan terpenuhi hak, dan untuk memastikan lingkungan yang kondusif. Selama proses interaksi, kemampuan warga dalam melakukan lobi, advokasi, mediasi, dan negosiasi ditempa, dan secara tidak langsung warga semakin terampil berpolitik.

22

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Desa menurut UU 32/2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa ada bagaikan negara kecil yang (1) memiliki wilayah yuridiksi teritorial, (2) mempunyai rakyat kumpulan orang dari satu hubungan genealogis dan/atau bukan hubungan genealogis, (3) memiliki pemerintahan sendiri, (4) mempunyai kekayaan sumber daya (alam, manusia, ekonomi dan keuangan, sarana dan prasarana fisik, serta sosial, budaya dan politik), dan (5) memiliki kebijakan atau peraturan, termasuk kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan tersebut terkait dengan menjalankan fungsi pembangunan (rural development), fungsi kepemerintahan (village governance) dan fungsi kemasyarakatan (community empowerment). Semuanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat desa (human-well being) dan mengurangi bahaya laten kemiskinan struktural dan kultural yang masih menggerogoti desa.

Studi RPJM-Desa

Dalam menjalankan kewenangan mengurus dan mengatur urusan rumah tangga dan kepentingan masyarakat setempat, desa berhak, berwenang dan wajib memiliki perencanaan dan penganggaran pembangunan dalam periode tertentu. Perencanaan pembangunan tersebut harus mencerminkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat, berbasis pada potensi-kekuatan keaslian desa, yang disusun secara partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan desa (terutama orang miskin, perempuan, kaum muda dan kelompok marginal lainnya). Karena, mereka merupakan pemilik sumber daya sekaligus sebagai pihak yang akan terkena dampak dari perencanaan pembangunan tersebut. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia (Pasal 1 ayat 1 UU No.25/2004 dan Pasal 1 ayat 1 PP No.8/2008). Perencanaan pembangunan adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan pembangunan desa adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan desa bersama masyarakat dengan memanfaatkan secara optimal semua potensi-kekuatan keaslian desa. Dengan adanya perencanaan, desa memiliki road map tentang masa depannya. Regulasi makro yang mengatur tentang perencanaan pembangunan, seperti UU No. 25/2004 tentang SPPN, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, memang tidak secara eksplisit memberikan ruang bagi perencanaan desa. Tetapi PP No. 72/2005 tentang Desa secara tegas memberikan payung bagi hak, kewenangan dan kewajiban bagi desa untuk mempersiapkan perencanaan pembangunan desa.

24

Suara Warga Suara Pembangunan

PP itu secara operasional dijabarkan dalam Permendagri No. 66/2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa, yang memberikan amanah bahwa partisipasi langsung warga masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan merupakan kunci bagi pembangunan yang pro rakyat miskin dan perempuan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian proses penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan (RPJM-Desa) merupakan pintu masuk bagi upaya peningkatan partisipasi langsung warga masyarakat dalam pembangunan. Pararel dengan upaya membangun negara yang demokratis (democratic state) yang didasari pada nilai dan prinsip good governance, dalam jangka panjang, RPJM-Desa merupakan alat yang efektif untuk mempromosikan otonomi desa yang lebih luas serta memperkuat pembangunan emansipasi dan demokrasi desa. Pada tingkat implementasi, berbagai inisiatif lokal (pilot projects) telah dikembangkan untuk memfasilitasi desa menyusun perencanaannya sendiri secara partisipatif, transparan dan akuntabel. Misalnya, pada tahun 2006 hingga 2007, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, ACCESS Phase I dan Mitra Samya serta LSM lokal memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan pada 11 desa dan 2 kelurahan di Kabupaten Sumba Timur. Keberhasilan Kabupaten Sumba Timur dalam penyusunan RPJM-Desa/ Kelurahan tersebut sudah menjadi kebanggaan kabupaten dan menghantar kabupaten ini menjadi kabupten model di Provinsi NTT dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan partisipatif. Perubahan sosial dan pembangunan apa saja yang sudah terjadi pada 13 desa/kelurahan tersebut setelah mereka memiliki dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan yang lebih baik? Keberhasilan pada peren-

25

Studi RPJM-Desa

canaan tidaklah berarti apa-apa kalau tidak disertai dengan keberhasilan pada tahap implementasi serta didukung oleh kebijakan lokal. Pada akhirnya sejauhmana pembangunan partisipatif berkontribusi kepada peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat secara keseluruhan, terutama orang miskin, perempuan dan kaum terpinggirkan lainnya. Untuk menjawab beberapa pertanyaan krusial ini, maka Pemda Kabupaten Sumba Timur, ACCESS Phase II dan KOPPESDA bersama dengan 13 desa/kelurahan berinisiatif untuk melakukan refleksi terhadap implementasi RPJMDesa/Kelurahan dalam mewujudkan pembangunan yang pro orang miskin dan perempuan.

Titik Pijak dan Tujuan Studi


Studi ini bertitik pijak pada Pasal 66, PP 72/2005 tentang desa yang memberi ruang bagi evaluasi terhadap pelaksanaan perencanaan desa. Meski hingga saat ini belum ada Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur yang bisa dijadikan sebagai panduan aplikatif bagi desa untuk melakukan evaluasi, tetapi sebuah refleksi penting untuk dilakukan bukan hanya mencari baik dan buruk, tetapi membuat narasi tentang pembelajaran berharga dari implementasi perencanaan desa. Studi ini tentu bukanlah sebuah studi berbasis akademik seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset ternama atau kalangan universitas. Istilah yang lebih tepat adalah sebuah refleksi dan narasi yang menemukan berbagai pelajaran berharga dari pengalaman 13 desa/kelurahan dalam implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Boleh dikatakan studi ini adalah studi dampak implementasi RPJM-Desa/ Kelurahan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat. Ketimbang memusatkan pada permasalahan dan kekurangan warga masyarakat desa/kelurahan, studi ini

26

Suara Warga Suara Pembangunan

lebih berfokus pada mencari dan menemukan cerita-cerita sukses atau perubahan-perubahan menggugah yang telah terjadi pada 13 desa/kelurahan yang menjadi lokasi studi. Pertanyaan utama (grand question) studi ini adalah sejauhmana RPJM-Desa/Kelurahan telah berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan lokal. Berangkat dari pertanyaan ini, secara spesifik studi ini merupakan sebuah upaya untuk: Mengetahui tingkat kepuasan warga (orang miskin, perempuan, orang/kelas menengah dan kaya) dan pemerintahan desa/kelurahan atas pemanfaatan RPJMDesa/Kelurahan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat dan kualitas pengelolaan perencanaan dan penganggaran pembangunan desa/ kelurahan. Mengetahui konsistensi pemerintah desa/kelurahan menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan pembangunan desa/kelurahan. Mengetahui perubahan atau manfaat yang dirasakan desa/kelurahan, terutama orang miskin, perempuan, kaum muda, anak, dan kelompok marginal lainnya sebagai dampak dari implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Menemukenali pola-pola atau praktik-praktik baik yang dilakukan oleh desa/kelurahan dalam memperjuangkan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Mengetahui faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan, beserta peluang dan tantangan selama implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Menghasilkan rekomendasi untuk perubahan kebijakan publik dan program pembangunan perdesaan/ kelurahan yang semakin pro rakyat miskin dan

27

Studi RPJM-Desa

perempuan. Rekomendasi ini akan disampaikan kepada pemerintah daerah, lembaga donor dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) serta agen-agen pembangunan lainnya (agents of development).

Metodologi dan Pelaksanaan


Studi ini bukanlah field study yang mendalam, tetapi hanyalah rapid study dengan pengumpulan data melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD), observasi lapangan, survei, story telling, dan pertemuan kabupaten untuk pendalaman hasil temuan lapangan dan rekomendasi. Tim studi juga melakukan pengumpulan, analisa data sekunder dan studi dokumen seperti dokumen RPJM-Desa/Kelurahan, Kabupaten Sumba Timur Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka, profil desa, dan lain-lain. Teknik survei dilakukan untuk mengetahui kepuasan warga dan pemerintah desa/kelurahan terkait manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat. Pemilihan responden dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan keterwakilan dari kategori tingkat kesejahteraan masyarakat (miskin, menengah dan kaya), keseimbangan antara laki-laki dan perempuan, dan mereka yang dipilih adalah orang-orang yang terlibat secara langsung dalam proses penyusunan dan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Jumlah responden per desa 10 orang, terdiri dari 4 orang (2 laki dan 2 perempuan) dari kelompok kelas bawah-orang miskin, 4 orang (2 laki dan 2 perempuan) dari kelompok menengah, dan 2 orang (1 laki dan 1 perempuan) dari kelompok atas-orang kaya. Total responden 128 orang (67 laki-laki dan 61 perempuan). Data

28

Suara Warga Suara Pembangunan

hasil survei diolah dengan menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk grafik. Wawancara dan story telling dilakukan dengan berbagai pelaku perencanaan desa. Tim peneliti memandu berbagai pertanyaan yang memungkinkan mereka bertutur (story telling) mengenai pemahaman dan pengalaman mereka, mulai dari mempersiapkan, melaksanakan sampai dengan memanfaatkan hasil-hasil perencanaan desa. Diskusi kelompok terfokus atau FGD dilakukan di setiap desa/kelurahan. Diskusi ini dilakukan untuk mengisi Tabel Kemajuan Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan dan pendalaman hasil. Total keseluruhan peserta FGD 303 orang, 177 laki-laki dan 126 perempuan. Jumlah peserta per desa berkisar 18 hingga 25 orang. Dengan memperhatikan perwakilan dari stratifikasi sosial di desa/kelurahan (miskin, menengah dan kaya), seimbang laki-laki dan perempuan dan ada perwakilan dari pemerintah desa/kelurahan dan ka bupaten. Observasi lapangan dilakukan untuk mengamati perubahan-perubahan fisik dan non-fisik yang terjadi di desa/ kelurahan. Termasuk mengecek kebenaran atau membandingkan antara apa yang disampaikan oleh peserta pada waktu diskusi kelompok atau wawancara dengan fakta fisik atau non-fisik yang ada di lokasi tersebut. Pertemuan kabupaten untuk memperdalam hasil temuan studi dan rekomendasi. Pertemuan ini dihadiri oleh SKPDSKPD terkait, LSM, lembaga donor, termasuk pemerintah kecamatan serta desa dan warga masyarakat (utusan) dari desa/kelurahan lokasi penelitian. Studi ini dilaksanakan selama 3 bulan (Februari-April 2010) pada 11 desa dan 2 kelurahan yang tersebar pada 5

29

Studi RPJM-Desa

kecamatan di Kabupaten Sumba Timur (Lihat Tabel 1.1 di bawah ini).


Tabel 1.1
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Nama Desa/Kelurahan Lokasi Studi


Kecamatan Kahaungu Eti

Desa/Kelurahan Kamanggi Matawai Katingga Kataka Laimbonga Kotak Kawau Matawai Maringu Meurumba Mauramba Kambata Bundung Ndapayami Praihambuli Kelurahan Malumbi Kelurahan Kawangu

Kanatang Nggaha Ori Angu Kambera Pandawai

Keterbatasan dan Tantangan


Sebagai sebuah rapid research, tentu studi ini menghadapi beberapa keterbatasan dan tantangan yang dialami. Pertama, keterbatasan waktu. Waktu untuk persiapan dan pelaksanaan studi cukup singkat. Alokasi waktu persiapan hanya dua hari sehingga ada kegiatan yang harus dilakukan pada tahap persiapan seperti pre-test kuesioner tidak dilakukan. Alokasi waktu untuk FGD juga hanya satu hari per desa/kelurahan sehingga penggalian informasi kurang lengkap. Terutama terkait dengan pengisian Tabel Kemajuan Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan. Ada cukup banyak informasi yang belum sempat digali.

30

Suara Warga Suara Pembangunan

Kedua, keterbatasan SDM. Tim studi yang melakukan pengumpulan data lapangan, termasuk memfasilitasi FGD, hanya dua orang. Dengan alokasi tim lapangan yang sangat efisien, satu desa satu orang, kecuali FGD di Kelurahan Malumbi yang melibatkan 3 orang, maka skuad ini kurang efektif dalam mendapat informasi desa secara lengkap. Selain itu, tim lapangan yang terlibat, mereka pernah menjadi fasilitator dari LSM yang terlibat dalam memfasilitasi penyususan RPJM-Desa. Walaupun mereka hanya memfasilitasi pada dua desa, tetapi bisa berpengaruh terhadap faktor independesi dan obyektivitas tim studi. Ketiga, keterbatasan data skunder di desa/kelurahan. Tim studi lapangan mengalami kesulitan untuk mendapat laporan-laporan tertulis tentang perkembangan program dan penggunaan dana (ADD/ADK). Semua desa belum memiliki sistem data base desa/kelurahan yang lengkap sehingga lebih banyak informasi diperoleh dengan mengandalkan kemampuan daya ingatan. Selain itu, ada desa yang tidak membawa dokumen RPJM-Desa pada saat FGD. Mereka mengakui bahwa dokumennya ada, tetapi disimpan di rumah kepala desa atau sekretaris desa. Keempat, tim studi sedikit mengalami kesulitan dalam mengumpulkan warga masyarakat karena pelaksanaan studi ini bertepatan dengan persiapan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada). Warga masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan lebih hati-hati dalam menyelenggarakan pertemuan di desa/kelurahan, karena kuatir dituding memobolisasi rakyat untuk mendukung kandidat tertentu. Meskipun demikian pelaksanaan studi ini sungguh memberikan pembelajaran bagi kami, terutama bagi tim studi. Dengan prinsip learning by doing kami betul-betul belajar melakukan penelitian, yang menghasilkan stok

31

Studi RPJM-Desa

pengetahuan guna memperkuat kapasitas dan kepercayaan diri kami dalam melakukan advokasi otonomi desa.

Sistematika Penulisan
Sistematika laporan studi ini terdiri atas lima bab. Dimulai dengan Bab Pertama yang membahas secara detail tentang (1) rasionalisasi pelaksanaan studi, (2) tujuan dan hasil yang diharapkan, (3) metodologi dan pelaksanaan, (4) keterbatasan dan tantangan, serta (5) sistematika penulisan laporan. Bab Kedua, secara umum mengupas tentang kerangka regulasi dan konteks pembangunan perdesaan. Bab ini membahas sejauhmana regulasi memberi kewenangan kepada desa untuk membuat perencanaan pembangunan sendiri. Dan bagaimana proses perencanaan dilakukan dan menjamin partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Bab ini memiliki tiga sub pokok pembahasan yaitu (1) konsep dasar, (2) kerangka regulasi versus praktik penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan desa, dan (3) eksperimentasi pengintegrasian pendekatan CLAPP GPI dalam pembangunan partisipatif. Kepuasan warga masyarakat merupakan bukti kualitas pembangunan, dibahas secara lengkap dalam Bab Ketiga. Bab ini mengupas secara tuntas tentang hasil survei kepuasan warga terhadap pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan dalam mewujudkan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan, baik yang dirasakan oleh kelas miskin, menengah hingga orang kaya. Karena sejatinya, RPJMDesa/Kelurahan didesain untuk semua warga negara di desa/kelurahan tanpa pengecualian. Pada bagian ini, juga menghadirkan penilaian responden mengenai pemanfaatan RPJM-Desa terhadap pengelolaan ADD/ADK dan sinergisitas program-program yang masuk ke ranah desa/kelurahan.

32

Suara Warga Suara Pembangunan

Perencanaan, demokrasi dan kesejahteraan dibahas pada Bab Keempat. Bab ini sejatinya mengupas secara lengkap disertai dengan bukti-bukti dari lapangan mencakup (1) temuan eksekutif studi, (2) pengalaman dan praktik baik desa/kelurahan terkait pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan, (3) berbagai cerita sukses dari lapangan terkait pembangunan perdesaan/kelurahan seperti: (a) potret cerah kesejahteraan lokal, (b) peningkatan anggaran Pemda bagi desa/kelurahan, (c) penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan demokratis, (d) pendidikan, kesehatan dan ekonomi desa/kelurahan yang kian bergairah, (e) pembangunan infrastruktur tetap sebagai ikon pembangunan sementara pembangunan infrahuman masih sebagai pelengkap, (f) desa/kelurahan goes green dan keamanan lingkungan, (g) keadilan sosial dan jender jadi buah bibir masyarakat, dan (h) program yang belum terealisasi. Hal mendasar lainnya yang disoroti pada bab ini, yaitu pemanfaatan peta sosial, faktor pendukung dibalik keberhasilan RPJM-Desa/Kelurahan, praktik-praktik cerdas advokasi RPJM-Desa/Kelurahan, pemantauan partisipatif warga masyarakat, dan tantangan dalam implementasi, juga tidak luput disoroti dalam bab ini. Bab terakhir, yaitu Bab Kelima membahas tentang gagasan ke depan: melipatgandakan antusiasme. Bagian ini terdiri dari rekomendasi kebijakan dan program yang ditujukan kepada pemerintah daerah, lembaga donor dan Organisasi Masyarakat Sipil, dan desa/kelurahan. Rekomendasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembangunan pedesaan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Sebuah cerita Ketika Air Mata Haru Menetes di Kahaungu Eti, menutupi lembar akhir buku ini. Cerita ini merupakan ungkapan hati dan rasa bangga dari seorang

33

Studi RPJM-Desa

fasilitator LSM yang dulu terlibat dalam memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan.

34

BAB II MEMAHAMI KONSEP, KERANGKA REGULASI DAN KONTEKS PERENCANAAN DESA

Semua level pemerintah dari pusat hingga desa menjalankan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Dalam kerangka desentralisasi dan otonomi, pemerintah desa diberi kewenangan untuk menyusun program pembangunannya sendiri melalui proses partisipatif dan pelibatan masyarakat agar lebih mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Sejauhmana regulasi memberi kewenangan kepada desa untuk membuat perencanaan pembangunan sendiri? Dan bagaimana proses perencanaan dilakukan? Bagaimana menjamin partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran? Bagian ini membahas beberapa hal ini, termasuk situasi yang mendorong lahirnya inovasi dan eksperimentasi pendekatan untuk penyusunan perencanaan pembangunan pada 13 desa/kelurahan di Kabupaten Sumba Timur.

Konsep Dasar
Kita sudah biasa menghadapi istilah desa versus kelurahan maupun konsep pembangunan perdesaan dan pembangunan desa. Konsep desa dan kelurahan mulai

Studi RPJM-Desa

diperkenalkan secara seragam dalam UU No. 5/1979. Desa untuk menyebut organisasi pemerintahan paling bawah di bawah camat di wilayah perdesaan, sementara kelurahan adalah satuan pemerintahan yang berada di wilayah perkotaan. Karena itu sejak 1982, desa-desa di kotamadya diubah secara serentak menjadi kelurahan. Sejak saat itu sampai sekarang muncul pemahaman yang salah kaprah bahwa desa-desa di perkotaan, termasuk yang berada di ibukota kecamatan, harus diubah menjadi kelurahan. Belakangan sebenarnya tidak ada aturan yang mengharuskan desa-desa di perkotaan diubah menjadi kelurahan. Buktinya empat kabupaten di DIY (Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo) sampai sekarang tidak mempunyai kelurahan. Di Kota Batu, Jawa Timur, juga masih mempertahankan desa. Kota Ambon, selain memiliki 20 kelurahan, juga tetap mempertahankan sejumlah 22 negeri (desa adat) dan 8 desa. Bahkan di Banda Aceh, sejumlah 70an kelurahan, yang dibentuk pada tahun 1982, secara serentak dikembalikan menjadi desa (gampong) sejak 2008. Meskipun belum ada payung hukum yang tegas mengatur perubahan dari kelurahan menjadi desa, tetapi hal itu bisa dilakukan dengan mudah, yakni pemda melakukan pembubaran terhadap kelurahan, dan kemudian dibangun prakarsa pemda bersama masyarakat untuk membentuk kembali desa. Dilihat dari sisi otonomi dan demokrasi lokal, perubahan dari desa menjadi kelurahan sungguh merupakan kerugian yang besar. Desa, bagaimanapun, berposisi sebagai sebuah institusi politik yang mempunyai otonomi dan berhak memiliki aset asal-usul, dan sekaligus berhak menyelenggarakan pemilihan pemimpin secara demokratis oleh rakyat. Sebagai sebuah institusi politik, desa tentu mempunyai hak-kewenangan untuk membuat perencanaan desa yang sesuai dengan preferensi dan konteks lokal. Jika desa

36

Suara Warga Suara Pembangunan

bisa disebut sebagai negara kecil, maka kelurahan hanya merupakan kepanjangan tangan negara. Kelurahan adalah satuan administratif atau sekarang disebut sebagai satuan kerja perangkat daerah yang berada di bawah kecamatan. Karena bukan institusi politik, sebenarnya kelurahan tidak memenuhi syarat membuat perencanaan kelurahan, kecuali hanya Community Action Plan yang disiapkan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan. Di sebagian besar kota di Indonesia, perilaku masyarakat sebenarnya masih bersifat komunal seperti halnya masyarakat desa, dimana mereka masih mengharapkan uluran tangan lurah untuk mengatasi berbagai masalah privat dan komunal, dan meminta pelayanan lurah 24 jam tanpa henti. Tetapi sesuai dengan prosedur administratif, lurah bisa datang dari tempat lain dan tidak mungkin berkantor selama 24 jam tiada henti sebagaimana dijalankan oleh kepala desa. Jika di kelurahan di kota mengenal pembangunan masyarakat (community development) maupun pembangunan perkotaan (urban development), di desa di kabupaten mengenal konsep pembangunan desa (village development) dan pembangunan perdesaan (rural development). Rural development di kabupaten dan urban development pada ranah desa di Indonesia menampilkan perbedaan yang fundamental. Sebagian besar kabupaten di Indonesia, kecuali kabupaten-kabupaten yang dikaruniai kekayaan sumberdaya alam, menghadapi tantangan keterbatasan input, proses dan output pertumbuhan. Dengan anggaran yang sangat terbatas, pemerintah kabupaten diharuskan membangun pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertanian dan perdesaan. Kabupaten memiliki banyak desa, yang sebagian besar menghadapi keterbatasan sumber penghidupan sehingga desa selalu menjadi hulu kemiskinan dan ketertinggalan. Banyak kabupaten yang mendulang

37

Studi RPJM-Desa

sukses dalam membuat pendidikan dan kesehatan secara pro poor, yang berarti mampu meningkatkan akses orang miskin terhadap pelayanan dasar itu. Tetapi kabupaten umumnya menghadapi kesulitan yang serius dalam membangun ekonomi lokal dari sisi pertanian, perdesaan dan desa. Kesalahan strategi yang diambil membuat desa bukan menjadi potensi pembangunan, tetapi justru menjadi beban yang berat bagi kabupaten. Karena itulah predikat daerah tertinggal bukan diberikan kepada kota, tetapi kabupaten. Desa tentu menjadi penyokong terbesar predikat daerah tertinggal itu. Sebaliknya, kota memiliki cakupan geografis yang lebih kecil serta surplus pertumbuhan, yang ditopang oleh sektor nonpertanian serta kecukupan berbagai fasilitas publik (pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, informasi dan sebagainya). Setiap titik kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, mulai dari sekadar warung kecil hingga investasi yang besar seperti mall. Surplus pertumbuhan dalam bentuk penumpukan kue di kota yang mendorong orang-orang desa melakukan urbanisasi ke kota. Masalah dan tantangan yang serius di kota adalah dampak pertumbuhan (growth impact), yakni marginalisasi dan segregrasi komunitas dan lingkungan (M. Nadarajah and Ann Tomoko Yamamoto, 2007; Edgar Pieterse, 2008; Carl Maida, 2008), dalam bentuk lingkungan yang kotor, perkampungan kumuh (slum), kelangkaan air, krisis ruang publik, anak-anak jalanan dan pengemis yang berkeliaran, kejahatan, dan lain-lain. Dengan bahasa yang bertenaga Eben Fodor (2001) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kota membuat komunitas menjadi lebih besar (bigger), tetapi tidak membuat komunitas menjadi lebih baik (better). Para aktivis selalu anti pertumbuhan, sebab pertumbuhan menimbulkan kerusakan sosial dan lingkung-

38

Suara Warga Suara Pembangunan

an. Tetapi jalan lain apa yang bisa dilalui untuk melakukan urban development dan governance reform, mengingat pertumbuhan tidak bisa dihindari. Tentu tidak ada resep tentang kota ideal di saat pertumbuhan sudah melaju. Mungkin yang lebih pas adalah gagasan tentang kota bermakna sebagai jalan lain untuk mengontrol (dan menjadi penyeimbang) atas surplus pertumbuhan kota beserta dampak-dampak negatifnya. Enrique Penalosa (Walikota Bogota Colombia 1998-2001), ketika berkunjung ke Jakarta beberapa bulan lalu banyak bercerita bagaimana membuat kota menjadi bermakna. Bagi Penalosa, kota bukan sekadar tempat untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anakanak, anak muda dan orang tua. Kota bukan sekadar sebagai pusat kekuasaan politik, bukan juga pusat kekayaan, tetapi juga sebagai tempat reproduksi kebudayaan (Malcom Miles, 2007). Kota yang bermakna tentu membutuhkan berbagai strategi yang beyond pertumbuhan ekonomi. Sudah banyak teori dan stretegi tentang merawat kota yang bermakna dan berkelanjutan. Para pemerhati yang kritis pada krisis kota umumnya menaruh perhatian pada strategi kebudayaan sebagai penyeimbang strategi ekonomi. Edgar Pieterse (2008) mengedepankan konsep recursive political empowerment, yakni memperkuat masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang negara dan pasar. Di sisi lain berbagai literatur tentang community development menaruh harapan besar terhadap model community driven development maupun community based organization sebagai penjaga keberlanjutan kota. Bagi Shatkin (2007), misalnya, komunitas lokal (community based organization) itu menjadi tempat berlindung (shelter) yang utama bagi anak-anak, orang usia lanjut, perempuan dan bahkan kaum miskin kota.

39

Studi RPJM-Desa

Sebaliknya di kabupaten, pertumbuhan dan desa menjadi tantangan tersendiri. Keberadaan desa itu menghasilkan dua konsep yang berbeda tetapi tetap berkaitan, yakni pembangunan desa dan pembangunan perdesaan. Bagan 2.1 memberi gambaran tentang skala pembangunan, sementara tabel 2.1 mendeskripsikan perbedaan antara pembangunan perdesaan dan pembangunan desa. Melalui cara pandang geografi politik, bagan 2.1 itu menggambarkan tentang tempat (place), ruang (space), skala, dan level pemerintahan dan pembangunan. Sebagai tempat (place), desa mengandung wilayah, kekuasaan, tata ruang, tata pemerintahan, sumberdaya lokal, identitas lokal dan komunitas. Karena itu desa bisa disebut negara kecil. Di masa lalu, dan bahkan sisa-sisanya masih ada, desa mempunyai kearifan lokal dan aturan/adat lokal untuk mengatur dan mengurus pengelolaan sumberdaya lokal (tanah, hutan, kebun, sungai, dan lain-lain) untuk kemakmuran masyarakat secara komunal. Pengelolaan ini pada umumnya disandarkan pada prinsip kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan. Atas pengalaman ini, konstitusi maupun regulasi memberikan pengakuan atas hak asal-usul kesatuan masyarakat adat atau desa. Jika dikaitkan dengan teori pembangunan, model inilah yang disebut dengan indigenous development yang berlandaskan pada kearifan lokal dan modal sosial. Karena itu, konsep desa membangun atau pembangunan desa sebaiknya berdasarkan pada indigenous development itu, selain harus mengacu pada indikator-indikator modernitas seperti pendidikan dan kesehatan.

40

Suara Warga Suara Pembangunan

Bagan 2.1

Pembangunan Skala Desa, Perdesaan, Regional dan Nasional

Desa (village) Perdesaan (rural) Daerah (regional) Nasional

Nasional
Sebagai ruang (space), desa menyediakan arena bagi perencanaan pembangunan, penyelenggaraan pelayanan publik, modal sosial, gerakan lokal, pemberdayaan dan pembelajaran, partisipasi dan lain-lain. Masyarakat yang aktif dan semarak (engage society) di ranah desa bisa terjadi kalau komponen-komponen lokal itu terus disemai. Konsep skala dan level memperlihatkan cakupan dan kewenangan dalam pembangunan yang berbeda antara desa, perdesaan, regional dan nasional. Pembangunan desa atau desa membangun merupakan skala dan level desa, yang menjadi kewenangan pemerintah desa beserta masyarakat desa. Selama ini ada banyak praktik pembangunan yang menyimpang dari prinsip-prinsip tempat, ruang, skala dan level. Pertama, kementerian di pusat, kecuali Kementerian

41

Studi RPJM-Desa

Dalam Negeri, mengabaikan desa sebagai kenyataan dan tempat (place). Desa hanya dianggap sebagai unit administratif. Kementerian Dalam Negeri adalah pemakai utama konsep desa, termasuk juga menggunakan konsep pembangunan desa. Beberapa kementerian lain juga memakai desa, misalnya Departemen Kesehatan punya desa siaga, Departemen Kehutanan punya hutan desa, Departemen Kelautan dan Perikanan bermain di desa pesisir atau desa nelayan, Departemen ESDM punya desa mandiri energi, Departemen Pertanian punya desa mandiri pangan, Departemen Pariwisata mampunyai mainan desa wisata, dan Kementerian PDT mempunyai desa tertinggal. Tetapi konsep desa yang dimiliki oleh beberapa departemen/kementerian ini berbeda dengan konsep desa yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri. Mereka menyebut desa dalam pengertian lembaga-lembaga dan masyarakat sebagai penerima manfaat program-program mereka, bukan sebagai tempat (place) atau kesatuan masyarakat hukum atau organisasi pemerintahan yang memiliki otonomi.
Tabel 2.1 Perbedaan Konsep Membangun Desa (Pembangunan Perdesaan) dan Desa Membangun (Pembangunan Desa)
Membangun desa (pembangunan perdesaan) Perdesaan Functional Rural development Desa Membangun (pembangunan desa) Desa Locus Local development

Item/Isu Pintu masuk Pendekatan Level

42

Suara Warga Suara Pembangunan

Item/Isu Isu dan konsepkonsep terkait

Membangun desa (pembangunan perdesaan) Rural-urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan, infrastruktur, kawasan, sektoral, dan lain-lain.

Desa Membangun (pembangunan desa) Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, gerakan lokal, pemberdayaan, dan lain-lain. Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa Regulasi menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. Desa (pemerintah desa dan masyarakat) Menjadikan desa sebagai basis penghidupan dan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta desa yang mandiri. Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa.

Level, skala dan cakupan Skema kelembagaan

Pemegang kewenangan Tujuan

Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa. Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. Pemerintah daerah Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan.

Peran pemerintah daerah

Merencanakan, membiayai dan melaksanakan.

43

Studi RPJM-Desa

Item/Isu Peran desa

Hasil

Membangun desa (pembangunan perdesaan) Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik. Tumbuhnya kotakota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota. Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dan lain-lain.

Desa Membangun (pembangunan desa) Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan. Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga. Satu desa mempunyai produk ekonomi unggulan (one village one product).

44

Suara Warga Suara Pembangunan

Kotak 1:

Prinsip-Prinsip Pembangunan Desa (Desa Membangun)

Desa mempunyai perencanaan mandiri (village self planning). Berdasarkan pada kearifan lokal dalam pengelolaan tata ruang dan sumberdaya lokal. Berada di desa dan berskala desa. Berdasarkan pada kewenangan desa, yakni kewenangan asal-usul dan kewenangan nyata yang tumbuh berkembang bersamaan dengan dinamika masyarakat lokal. Kewenangan asal-usul untuk mengelola communal goods dan kewenangan nyata untuk mengelola public goods (jalan desa, kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lain-lain). Menjadi kewenangan pemerintah desa dan masyarakat. Membutuhkan aktor-aktor baik lokal maupun pendamping yang memahami konteks lokal dan mampu membangkitkan kearifan lokal dan gerakan lokal. Pemerintah tidak perlu campur tangan terlalu dalam dan detail dalam ranah desa atau menjadi pemain langsung di tingkat desa, melainkan memberikan pengakuan, dukungan, penguatan dan supervisi. Alokasi dana dari pemerintah masuk ke satu pintu Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk membiayai perencanaan desa.

45

Studi RPJM-Desa

Kotak 2:

Prinsip-Prinsip Dasar Membangun Desa atau Pembangunan Perdesaan:

Berskala kawasan perdesaan atau lintas desa/desa. Mempunyai cakupan lebih besar dan strategis daripada pembangunan desa. Menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Mengandung sektor-sektor (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, air minum, pertanian, kehuatanan, dan lain-lain). Perencanaan didasarkan pada potensi yang perlu dikembangkan dan kerentanan yang membutuhkan afirmasi. Menyediakan ruang-ruang mobilitas sosial ekonomi warga dan masyarakat desa, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah. Membutuhkan analisis dan pendekatan spasial yang integrated, dan didukung dengan model consolidated budget. Membutuhkan pendekatan teknokratis yang canggih. Membutuhkan keseimbangan antara pro poor, pro growth, pro jobs dan pro environment. Melibatkan partisipasi desa. Responsif pada masalah lingkungan dan sosial. Sementara kementerian lain (Bappenas, Departemen PU, Depdiknas) tidak menggunakan desa, melainkan menggunakan perdesaan dan secara spesifik pembangunan

46

Suara Warga Suara Pembangunan

perdesaan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan RPJPMN 2009-2014 serta UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 yang merupakan karya besar Bappenas mempunyai satu bab tentang Pembangunan Perdesaan, yang lebih banyak berbicara tentang perdesaan daripada desa. RPJMN dan RPJP ini sama sekali tidak melihat desa ataupun masyarakat adat sebagai sebuah entitas, basis dan hulu penghidupan dan kehidupan masyarakat. Di atas semua itu, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut desa dan perdesaan. Kedua, pemerintah pusat (yang sebenarnya mempunyai tanggungjawab pada pembangunan nasional) masuk terlalu dalam sampai ke dalam desa. Apa yang dilakukan pemerintah ini tidak bisa disebut sebagai pembangunan perdesaan atau pembangunan desa, melainkan pembangunan di desa. Pemerintah mengusung program-program pemberdayaan dan dana stimulan yang jenisnya sangat beragam untuk memajukan desa dan mengurangi kemiskinan desa. Dana yang beragam itu membuat desa menjadi obyek atau menjadi pasar pembangunan, yang justru mematikan indigenous development (kearifan dan gerakan lokal), sebab semua orang di desa sibuk mengurus uang yang berasal dari pemerintah, mulai dari perencanaan sampai pelaporan. Tetapi berbagai program silih berganti dan mengalami inovasi dari tahun ke tahun yang tentu mendatangkan manfaat bagi masyarakat desa, tetapi semua itu tidak membuahkan hasil signifikan berupa kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Ketiga, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak menaruh perhatian secara serius pada ranah pembangunan perdesaan/perdesaan (rural development). Kebijakan pembangunan terlalu banyak masuk ke ranah desa dan masuk ke sektor yang bias kota. Di hampir semua daerah, proyek-

47

Studi RPJM-Desa

proyek sektoral (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, air bersih dan sanitasi, dan sebagainya) lebih banyak diletakkan di kota mengingat kota tempat konsentrasi penduduk. Akibatnya kawasan perdesaan dan masyarakat cenderung terabaikan.

Kerangka Regulasi Versus Praktik


Pembicaraan tentang perencanaan desa berada dalam konteks dan konsep pembangunan desa atau desa membangun. Perencanaan pembangunan desa itu sangat otentik dan relevan dengan otonomi desa dan regulasi supra-desa yang berkaitan dengan sistem perencanaan pembangunan. Secara makro, dasar hukum perencanaan pembangunan desa berpijak pada regulasi yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25/2004) dan regulasi tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 212 UU No. 32/2004). Lebih lanjut, secara spesifik dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Pasal 63 ayat 1 PP 72/2005 mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Dalam konteks ini, walaupun perencanaan pembangunan desa ditempatkan sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan daerah kabupaten/kota, itu tidak berarti lebih banyak kebijakan pembangunan yang masuk di ranah desa diarahkan dari atas (government driven development), justru sebaliknya, digerakkan dari dalam dan bawah (community driven development). Karena itu, perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa

48

Suara Warga Suara Pembangunan

sesuai dengan kewenangannya (ayat 2), dan wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa (ayat 3). Dengan demikian, partisipasi langsung warga masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan merupakan kunci bagi pembangunan yang pro rakyat miskin dan perempuan. Lebih lanjut, dalam pasal 64 ayat 1 PP 72/2005 mengatur bahwa perencanaan pembangunan desa tersebut mencakup Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) untuk jangka waktu 5 tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) untuk jangka waktu satu tahun, yang merupakan penjabaran dari RPJM-Desa. Dengan demikian, desa harus memiliki dua dokumen perencanaan pembangunan yaitu RPJM-Desa dan RKP-Desa (Lihat Tabel 2.2 di bawah ini). RKP-Desa merupakan penjabaran dari RPJM-Desa. Dengan demikian, sebelum membuat RKP-Desa, desa harus memastikan telah memiliki dokumen RPJM-Desa. Secara empirik, hampir semua desa hanya memiliki RKPDesa. Praktik penyusunan RKP-Desa yang terjadi selama ini melalui proses Musrenbang-Desa belum sesuai dengan ketentuan yang ada. Mayoritas RKP-Desa merupakan anak haram karena ia terlahir bukan dari induknya RPJM-Desa sebagaimana amanah PP 72/2005.
Tabel 2.2 Jenis Perencanaan Pembangunan Desa
Nama Forumnya Musrenbang RPJM-Desa Keluaran (Output) Nama Format Dokumen Hukum Peraturan Rencana Pembangunan Desa Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disingkat RPJM-Desa

Jenis Perencanaan Perencanaan Lima Tahunan Desa

49

Studi RPJM-Desa

Jenis Perencanaan Perencanaan Tahunan Desa

Nama Forumnya MusrenbangDesa

Keluaran (Output) Nama Format Dokumen Hukum Rencana Kerja SK Kepala Pembangunan Desa Desa yang selanjutnya disingkat RKP-Desa

RPJM-Desa dapat dimaknai sebagai dokumen cetak biru atau buku pintar pembangunan desa. Secara konsepsional dan empirik, dokumen ini memuat arah dan orientasi pembangunan desa selama lima tahun yang mencakup strategi dan arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa dan program prioritas kewilayahan, yang disertai dengan rencana kerja tahunan dan anggaran. RPJM-Desa merupakan penjabaran dari visi dan misi dari kepala desa terpilih (Pasal 5 ayat 1 Permendagri No. 37/2007). RPJM-Desa disusun untuk menjadi panduan atau pedoman bagi warga masyarakat desa dan supradesa, dalam rangka mengelola pembangunan desa. Karena itu, RPJMDesa merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Namun, itu tidak berarti RPJM-Desa hanya meng-copy-paste atau mengikuti arahan RPJM-Daerah atau Renstra Dinas/SKPD. RPJM-Desa juga tidak hanya dipakai untuk mengakses program dan anggaran pembangunan dari pemerintah kabupaten melalui mekanisme Musrenbang yang dilaksanakan setiap tahun sebagaimana diatur dalam sistem perencanaan nasional. Akan tetapi, ia juga merupakan alat kontrol dan negosiasi desa untuk mengakses program dan anggaran dari aktor-aktor pembangunan di luar pemerintahan supradesa (negara) seperti lembaga donor, lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha swasta yang

50

Suara Warga Suara Pembangunan

melakukan kegiatan pembangunan di desa. Dengan cara itu, pembangunan desa tidak dilaksanakan secara sporadis tetapi terkontrol dan terkelola dengan baik, dan semua sumber daya (uang, tenaga, peralatan, fasilitas, dan lain-lain) yang biasanya dipakai untuk melakukan penjajakan kebutuhan (need assessment) di desa bisa direalokasi untuk mendukung implementasi program-program dari RPJM-Desa. Sehingga sumber daya tersebut dikelola secara lebih efektif dan efisien, dan pada sisi lain, desa merasa upaya mereka diakui dan didukung. Inilah wujud konkrit dari upaya membumikan otonomi desa dan memperkuat kedaulatan warga masyarakat atas pembangunan. Karena RPJM-Desa merupakan instrumen pembangunan yang efektif untuk mempromosikan otonomi desa yang lebih luas dengan membuat road map bagi warga masyarakat untuk menemukan sumber daya mereka sendiri untuk pembangunan lokal dan memberi mereka ruang dan kesempatan yang lebih besar untuk mengontrol proses pembuatan keputusan desa. Dalam praktik, tidak banyak desa yang memiliki atau mampu menyusun RPJM-Desa dan RKP-Desa. Pasalnya, Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa tidak menyebut secara detail bagaimana seharusnya kedua dokumen tersebut disusun. Selain itu hampir seluruh pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki peraturan daerah yang bisa dijadikan sebagai panduan aplikatif bagi desa untuk menyusun kedua dokumen itu. Contohnya, hingga tahun 2006, semua desa dan kelurahan (140 desa dan 16 kelurahan) di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT belum memiliki dan mampu menyusun dokumen RPJM-Desa/Kelurahan. Setiap tahun, Desa menyusun RKPDesa melalui Musrenbang-Desa. Namun, RKP-Desa tersebut bukan merupakan penjabaran dari RPJM-Desa sebagaimana diamanahkan oleh PP 72/2005. Ditambah lagi dengan proses

51

Studi RPJM-Desa

pembuatan RKP-Desa melalui forum Musrenbang-Desa yang masih defisit roh demokrasi dan pemberdayaan. Proses penyusunan RKP-Desa dalam forum Musrenbang, pada praktiknya, masih bersifat mekanistik, elitis, formalistik, seremonial dan defisit roh demokrasi (terutama partisipasi langsung perempuan, orang miskin, dan kaum marginal lainnya). Musrenbang-Desa dilaksanakan tanpa ada persiapan masyarakat secara memadai. Apalagi Musrenbang-Dusun jarang dilakukan. Peserta yang hadir pada Musrenbang-Desa hanya didominasi oleh tokoh-tokoh atau elit dari desa, kecamatan dan kabupaten. Sehingga lebih banyak waktu diisi oleh kata sambutan dari pejabat ketimbang menyediakan ruang dan kesempatan bagi warga desa untuk bermusyawarah dan bermufakat. Tidak ada fasilitator Musrenbang yang handal dan independen dalam memfasilitasi proses. Dari praktik tersebut, MusrenbangDesa lebih cocok dimaknai sebagi forum deliberatif elit lokal ketimbang forum deliberatif warga untuk merancang pembangunan secara partisipatif, akuntabel dan transparan. Implikasinya, hasil (isi dan substansi) usulan dalam RKPDesa lebih banyak didominasi oleh daftar keinginan segelintir elit/kaum mampu desa daripada kebutuhan mayoritas warga desa (orang miskin, perempuan, kaum muda dan kelompok marginal lainnya). Selain itu, usulan dalam RKP-Desa lebih banyak untuk pembangunan fisik investasi untuk pembangunan infrastruktur pedesaan ketimbang untuk penguatan kapasitas SDM investasi pada infrahuman pedesaan. Sehingga pembangunan desa tidak lebih dari sekedar perbaikan sarana fisik atau infrastruktur pedesaan. Akibatnya, pemerintahan supradesa yang mengurus pembangunan desa hanya SKPD tertentu yang berurusan dengan pembangunan fisik seperti Dinas Pekerjaan Umum karena usulan-usulan lebih banyak

52

Suara Warga Suara Pembangunan

menumpuk di instansi tersebut. Selain itu, usulan untuk pembangunan fisik lebih dominan karena sifatnya yang basah, alias ada peluang untuk melakukan manipulasi (mark up) dan korupsi proyek. Berangkat dari kondisi yang telah diuraikan di atas, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur bersama dengan ACCESS dan LSM memfasilitasi 13 desa/kelurahan untuk penyusunan RPJM-Desa, RKP-Desa dan RAPB-Desa.

Eksperimentasi Pengintegrasian Pendekatan Clapp Gpi dalam Pembangunan Partisipatif


Sejak tahun 2003, Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS), sebuah program kemitraan antara pemerintah Asutralia dan Indonesia, bekerja sama dengan Mitra Samya bersama beberapa mitra OMS lokal pada 8 Kabupaten di kawasan timur Indonesia mengembangkan sebuah pendekatan pembangunan yang mengakomodasi kemiskinan dan jender dalam pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini disebut dengan nama CLAPP-GPI (Community Led Assessment and Planning Process - Gender and Poverty Inclusive) atau Proses Pengkajian dan Perencanaan yang Dipimpin Masyarakat dan Bersifat Inklusif Kemiskinan dan Jender. Pada tahun 2006, CLAPP-GPI secara khusus didesain untuk menyusun RPJM-Desa dan RKP-Desa dan diintegrasikan dalam skema dan mekanisme Musrenbang. Eksperimen awalnya, hanya terbatas dilaksanakan di 16 desa yang tersebar pada 8 kabupaten. Di Kabupaten Sumba Timur, mulanya hanya pada 2 desa, kemudian pada tahun 2007 memperluas cakupannya ke 9 desa dan 2 kelurahan. Hingga tahun 2007, ada 13 desa/

53

Studi RPJM-Desa

kelurahan yang mampu menyusun dan memiliki dokumen RPJM-Desa/Kelurahan. Dalam proses penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan, ACCESS mempromosikan sebuah inovasi pendekatan pembangunan partisipatif yaitu CLAPP-GPI. Pendekatan ini memiliki beberapa tahapan dan proses pokok mencakup: Persiapan sosial dan desain kajian. Identifikasi kondisi umum desa. Analisis kemiskinan/kesejahteraan. Refleksi mendalam. Penyusunan RPJM-Desa (5 tahun). Penyusunan RKP-Desa (1 tahun). Pleno membangun komitmen.

Dalam skema Musrenbang, posisi dan intervensi CLAPP-GPI terletak pada tahap pra-musrenbang-desa (lihat Bagan 2.2 di bawah). Artinya, ke-7 tahapan yang disebutkan di atas, mulai dari persiapan sosial dan desain kajian hingga pleno membangun komitmen, dilakukan sebelum kegiatan Musrenbang-Desa. Hal ini dilakukan untuk menjamin dan memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan di desa terutama orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya dalam setiap tahapan dan prosesnya. Karena hal yang krusial dalam perencanaan adalah partisipasi dan interaksi aktif warga (active citizen engagement) seperti berani bersuara, memiliki akses dan kontrol dalam proses pembuatan keputusan. Selain itu, manakala MusrenbangDesa lazimnya dilaksanakan hanya 1 hari saja, intervensi CLAPP-GPI pada pra-musrenbang adalah untuk memastikan ketersediaan waktu dan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk berproses dan belajar dari proses sehingga penyusunan

54

Suara Warga Suara Pembangunan

RPJM-Desa tidak hanya sekedar mengisi format. Juga, untuk memastikan semua aspirasi atau kepentingan dari warga masyarakat desa (terutama perempuan, kaum miskin dan kaum marginal lainnya) terakomodir dalam RPJM-Desa. Sebagai pendekatan yang berfokus pada analisis kemiskinan dan jender, pendekatan ini tidak hanya menghasilkan RPJM-Desa, RKP-Desa dan RAPB-Desa, tetapi lebih mendasar dari itu adalah ia mampu meletakan nilai dan fondasi pemberdayaan masyarakat yang tangguh dengan memberikan perhatian khusus kepada kaum perempuan, keluarga/orang miskin, serta kaum marginal lainnya dengan cara memberi ruang, kesempatan, kekuasaan dan trust seluasluasnya kepada mereka untuk berani berbicara, terlibat secara penuh dalam setiap proses dan tahapan pengambilan keputusan dalam pembangunan pedesaan/kelurahan. Warga masyarakat ditempatkan sebagai pemimpin dan pusat pembangunan. Pembelajaran berharga dari proses ini yaitu kalau ada proses yang baik maka warga akan antusias, ingin terlibat dan mempunyai rasa memiliki. Hasil yang baik hanya bisa lahir dari sebuah proses yang baik. Dengan sendirinya, mereka menyadari dan meyakini bahwa partisipasi masyarakat adalah hal krusial dan merupakan kunci utama pembangunan yang pro rakyat miskin dan perempuan. Pendekatan CLAPP-GPI berfokus pada pembangunan infrahuman (investment in people). Transformasi kapasitas masyarakat untuk mendukung proses perubahan dan pembangunan sosial di desa dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan dengan mempersiapkan para fasilitator CLAPP-GPI, yang semuanya adalah komunitas desa dan disebut Fasilitator Desa (Fasdes). Ada 5 orang Fasdes pada setiap desa yang terdiri dari unsur pemerintahan desa, unsur masyarakat yang dipilih langsung oleh komunitas, dan unsur organisasi perempuan yang ada di desa/kelurahan.

55

Studi RPJM-Desa

Dukungan pendampingan dilakukan oleh 1 orang fasilitator dari LSM setempat dan 1 orang fasilitator wakil instansi perencana dari kabupaten. Dengan pendekatan ini, maka desa memiliki orang-orangnya sendiri (village champion) yang mampu memfasilitasi perencanaan pembangunan yang inklusif orang miskin dan perempuan.

Bagan 2.2

Pengintegrasian CLAPP-GPI dalam Skema Musrenbang

Eksperimentasi pendekatan ini telah menghasilkan banyak fasilitator desa orang-orang biasa di desa yang dilatih dan memiliki kapasitas, antusiasme dan rasa percaya diri yang mumpuni untuk memfasilitasi penyusunan perencanaan-penganggaran desa. Kini, selain sebagai fasilitator perencanaan pembangunan desa, ada dari mereka yang berperan aktif di ranah publik dan menduduki posisi

56

Suara Warga Suara Pembangunan

strategis pada beberapa organisasi seperti sebagai kepala desa, sekretaris desa, BPD, LPM, fasilitator PNPM (KPMD) dan lain sebagainya. Bahkan, pada pemilu legislatif tahun 2009, salah satu Fasdes dari Kahaungu Eti, Ibu Dorkas Day Duka, terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumba Timur.

57

BAB III KEPUASAN WARGA KUALITAS PEMBANGUNAN

Kepuasan warga, terutama orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya, atas pembangunan merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas kinerja pembangunan. Artinya, sudah sejauhmana pembangunan itu telah membuat warganya merasa puas dan sejahtera. RPJM-Desa/Kelurahan merupakan salah satu alat perencanaan pembangunan yang didesain untuk meningkatkan kualitas pelayanan pembangunan publik di ranah desa/kelurahan. Dalam konteks desentralisasi, desentralisasi kepemerintahan yang baik (dari kabupaten ke desa) dalam kerangka untuk pemberian pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Kepuasan warga terhadap pemanfaatan RPJM-Desa/ Kelurahan dalam pembangunan desa/kelurahan merupakan data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat terhadap pembangunan desa/kelurahan selama ini. Data ini dapat menjadi bahan penilaian terhadap pencapaian pelayanan pembangunan pedesaan/kelurahan selama ini serta menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik ke depannya. Tentu kepuasan warga tidak cukup hanya dilihat dari pendapat subyektif warga melalui survei terhadap sejumlah

Studi RPJM-Desa

responden yang representatif, melainkan juga harus dibuktikan oleh kinerja pembangunan yang konkret. Kinerja ini akan diuraikan dalam bab IV, sementara bab III ini akan menguraikan hasil survei yang berkaitan dengan kepuasan warga terhadap pelaksanaan perencanaan desa/kelurahan.

Gambaran Umum Karakteristik Responden


Survei kepuasan warga terhadap pemanfaatan RPJMDesa/Kelurahan dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2010. Survei ini telah melibatkan 128 responden (67 laki-laki dan 61 perempuan), pada 13 desa/kelurahan di Kabupaten Sumba Timur. Ada 10 orang responden per desa/kelurahan, kecuali Ndapayami yang hanya melibatkan 8 orang. Karakteristik responden, menurut jenis kelaminnya, hampir seimbang dimana 48% perempuan dan 52 % lakilaki. Dari sisi umur, responden yang terlibat dalam survei ini berasal dari umur 20 hingga lebih dari 50 tahun. Dengan perbandingan per kategori, 12 % di atas 20 hingga 30 tahun, 31 % di atas 30 hingga 40 tahun, 34 % di atas 40 hingga 50 tahun, dan 23 % di atas 50 tahun. Data ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok usia produktif. Dari sisi pendidikan terakhir responden, lebih dari dua pertiga responden hanya tamat SD/sederajat bahkan tidak bersekolah dimana 34 % tidak sekolah atau tidak tamat SD, 42 % tamat SD/sederajat. Selebihnya, 12 % tamat SMP, 9 % tamat SMA, dan hanya 3 % yang tamat perguruan tinggi. Sementara, dari sisi pekerjaan responden cukup bervariasi, walaupun mayoritas pekerjaan responden adalah 74 % petani, 10 % bekerja sebagai aparat desa/kelurahan, 8 % sebagai Ibu Rumah Tangga, 2 % bekerja sebagai PNS, 2 % wiraswasta, 1 % peternak, dan 3 % lain-lainnya. Dari data pendidikan dan pekerjaan ini memperlihatkan bahwa

60

Suara Warga Suara Pembangunan

sebagian besar responden berpendidikan rendah dengan mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Data ini menggambarkan bahwa dan memperkuat lokasi studi ini adalah di daerah pedesaan. Dari segi status atau strata sosial ekonomi, 41 % responden berasal dari kalangan miskin, 40 % menengah dan 19 % kaya. Ini memperlihatkan bahwa studi ini bersifat inklusif karena ada perwakilan dari setiap strata sosial di masyarakat. Hasil survei, secara umum, menunjukkan bahwa 68 % responden (baik dari kaum miskin, menengah maupun kaya) merasa sangat puas bahwa RPJM-Desa/Kelurahan bermanfaat terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. RPJMDesa/Kelurahan membantu dalam meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan pedesaan/kelurahan, ada 86 % responden yang merasa sangat puas. Sementara, 80 % responden merasa sangat puas bahwa RPJM-Desa/Kelurahan membantu dalam pengelolaan APB-Desa/ADD dan APBKel/ADK. Selanjutnya, 80 % responden merasa sangat puas bahwa RPJM-Desa/Kelurahan membantu dalam mengakses dan mengelola program dan anggaran yang masuk ke desa/ kelurahan. Dari sisi proses dan konten/muatan RPJM-Desa/ Kelurahan, 69 % responden merasa sangat puas bahwa proses dan konten RPJM-Desa/Kelurahan merefleksi/mengakomodir kebutuhan/kepentingan perempuan. Sementara, 77 % responden merasa sangat puas bahwa proses dan konten RPJM-Desa/Kelurahan mengakomodir kebutuhan dan kepentingan orang miskin. Gambaran lebih detail tentang hasil survei dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini.

61

Studi RPJM-Desa

Tabel 3 .1

Rekapitulasi Hasil Survei Kepuasan Warga atas Pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan


Persentase (%)

No. 1

Item Pengukuran Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup perempuan Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup orang miskin Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup orang menengah Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup orang kaya Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas perencanaan pembangunan desa/kelurahan Proses penyusunan dan isi dokumen RPJM-Desa/Kelurahan telah mengakomodir kebutuhan perempuan Proses penyusunan dan isi dokumen RPJM-Desa/Kelurahan mengakomodir kebutuhan orang miskin Penggunaan RPJM-Desa/ Kelurahan membantu membuat keputusan terkait pengelolaan APB-Desa/ADD/ADK Penggunaan RPJM-Desa/ Kelurahan membantu membuat keputusan terkait pengelolaan program-program yang masuk di desa/kelurahan

Tidak Puas

Kurang Puas

Puas

Sangat Puas

23

77

22

77

20

78

40

52

28

57

86

22

69

13

77

15

80

10

16

80

62

Suara Warga Suara Pembangunan

Temuan dan Analisis


Bagian ini membahas secara detail hasil temuan beserta analisis dari survei kepuasan warga terhadap pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan dalam pembangunan lokal.

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat


Hasil survei ini memperlihatkan bahwa responden merasa sangat puas (77%) karena RPJM-Desa/Kelurahan bermanfaat bagi peningkatan dalam kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Tingginya persentasi ini memperlihatkan bahwa pembangunan pedesaan/kelurahan yang direncanakan secara baik dan berkualitas berkontribusi secara mencolok terhadap perbaikan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan menjadi prasyarat penting agar pembanguan pedesaan/ kelurahan memiliki arah dan orientasi yang jelas yang pada akhirnya berkontribusi kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tanpa perencanaan, program pembangunan desa hanya sekedar daftar kegiatan tanpa arah dan tujuan.

63

Studi RPJM-Desa

Beberapa alasan yang diutarakan responden mengapa mereka merasa sangat puas dengan manfaat RPJM-Desa/ Kelurahan. Pertama, mereka sangat puas dengan proses penyusunannya. Dimana RPJM-Desa/Kelurahan dibuat dengan melibatkan semua komponen masyarakat dengan penekanan pada partisipasi yang luas dari kelompok yang umumnya voiceless dan powerless seperti perempuan, orang miskin dan kaum marginal lainnya. Dari proses ini mereka belajar bahwa kalau ada proses yang baik maka warga akan antusias, ingin terlibat dan mempunyai rasa memiliki. Mereka sadar bahwa partisipasi masyarakat adalah hal krusial dalam pembangunan pedesaan/kelurahan. Oleh karena itu mereka berpartisipasi langsung. Kedua, program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan dan pelaksanaannya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan ril masyarakat setempat serta memiliki arah dan tujuan yang jelas yaitu untuk peningkatan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya RPJM-Desa/Kelurahan maka pembangunan pedesaan/kelurahan terdokumentasi secara baik, pelaksanaannya lebih baik dan lancar, peruntukannya tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat. Masyarakat melihat, merasakan dan mendapat secara langsung bantuan atau program dari pemerintah. Ketiga, ada bukti nyata dari hasil dan perubahan, baik fisik maupun non fisik, yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Ada perbaikan infrastruktur pedesaan seperti jalan raya, sarana air bersih, irigasi, fasilitas kesehatan (Posyandu, Polindes, Pustu, Puskesmas, dan lain-lain), penerangan, pembangunan rumah layak huni, penambahan gedung baru atau ruang kelas untuk SD, SMP dan SMU. Dengan adanya sarana air bersih yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk maka beban pekerjaan ibu-ibu dan anak perempuan berkurang. Anak-anak tidak terlambat lagi

64

Suara Warga Suara Pembangunan

ke sekolah karena biasanya sebelum ke sekolah mereka harus mengambil air untuk kebutuhan di rumah. Akses masyarakat atas pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi semakin baik dan terjangkau. Semakin banyak Ibu hamil yang mendapat pelayanan kesehatan (melahirkan di Puskesmas dan dilayani oleh tenaga kesehatan). Anakanak semakin rajin ke sekolah sehingga partisipasi pendidikan dasar meningkat. Dengan adanya perbaikan jalan maka kegiatan ekonomi berjalan lancar. Warga desa lebih mudah menjual hasil-hasil buminya. Pembuatan jalan raya juga membuka keterisolasian desa, sehingga warga desa lebih mudah melakukan mobilitas atau berinteraksi dengan desa lain, kecamatan dan kabupaten. Selain itu, pengimplementasian RPJM-Desa/Kelurahan mampu menghidupkan kembali (revitalisasi) kapital sosial lokal seperti gotong royong, nilai-nilai lokal seperti musyawarah untuk mufakat dan swadaya. RPJM-Desa/Kelurahan tidak hanya dipakai untuk mengakses program dan anggaran dari kabupaten, tetapi juga mendorong swadaya masyarakat dan kepemilikan lokal atas pembangunan.

65

Studi RPJM-Desa

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan


Hasil survei ini menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa sangat puas karena RPJM-Desa/Kelurahan memberikan kontribusi yang impresif terhadap peningkatan kualitas hidup perempuan. Hasil persentasi yang sangat bagus ini mencerminkan bahwa RPJM-Desa/Kelurahan berpihak kepada kepentingan kaum perempuan. Itu berarti kebijakan pembangunan pedesaan/kelurahan yang pro perempuan tidak hanya sebatas retorika belaka atau jargon, tetapi betul-betul terbukti. Setidaknya, pencapaian yang luar biasa ini mencermikan kualitas dari proses penyusunan dan hasil RPJM-Desa/Kelurahan. Hal ini bisa terjadi karena dari sisi prosesnya, penyusunan RPJM-Desa/ Kelurahan dirancang sedemikian rupa sehingga partisipasi kelompok perempuan terjadi. Selama proses, ada kreasi ruang ditambah pendekatan khusus, memiliki cara penanganan yang berbeda, dan pendekatan yang integratif dan berfokus. Karena, sejatinya, kebutuhan kelompok yang berbeda sulit muncul pada perencanaan yang biasa. Selain itu, pada tahap implementasinya, perempuan betul-betul terlibat secara aktif dan mempunyai rasa memiliki terhadap program. Bahkan, perempuan tidak hanya hadir, bersuara dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Tetapi, berkat proses pemberdayaan yang ditanamkan selama penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan, perempuan sudah mulai memasuki wilayah kekuasaan dengan menduduki beberapa posisi strategis dalam masyarakat dan pembangunan. Beberapa argumentasi atau alasan yang dituturkan responden yang memperkuat penilaian rasa sangat puas mereka terhadap manfaat RPJM-Desa/Kelurahan bagi perempuan diantaranya: Pertama, dengan implementasi RPJM-Desa/

66

Suara Warga Suara Pembangunan

Kelurahan, perempuan mendapat haknya, yang sebelumnya tidak diperhatikan, apalagi mendapatkannya. Dalam pertemuan atau musyawarah desa, peserta harus seimbang laki-laki dan perempuan. Perempuan diberi kesempatan untuk berbicara dan terlibat dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan desa/kelurahan. Pembuatan kebijakan pembangunan desa/kelurahan tanpa keterlibatan langsung perempuan, demokrasi desa mati. Kedua, akses dan kontrol perempuan terhadap pembangunan lebih mudah. Peran dan tanggung jawab mereka untuk pembangunan dalam keluarga dan desa/ kelurahan meningkat. Perempuan terlibat dalam kegiatan membangun desa seperti membangun fasilitas kesehatan, sarana air bersih, pembentukan kelompok-kelompok usaha simpan pinjam, dan sebagainya. Perempuan menjadi kader pembangunan desa, kader kesehatan, ketua kelompok, kepala desa, dan lain sebagainya. Ada beberapa Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (KSPP) yang didukung oleh PNPM MP semakin berfungsi dan melayani kebutuhan anggota dengan baik. Perempuan merasakan ada peningkatan pendapatan keluarga, peningkatan taraf hidup perempuan. Ketiga, perempuan merasakan manfaat langsung dari realisasi program-program dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Seperti program air bersih dan perpipaan, simpan pinjam, kesehatan, pendidikan, bantuan-bantuan sosial seperti BLM, Jamkesmas, Jamkesda, PKH, Raskin dan lain sebagainya. Dalam RPJM-Desa ada program khusus untuk perempuan seperti pelatihan kepemimpinan perempuan, pelatihan teknologi rumah tangga, dan lain-lain. Keempat, perempuan merasakan ada peningkatan dalam perubahan pola pikir, peningkatan semangat hidup, peningkatan keterampilan, berani berbicara, lebih percaya diri, dan berkomitmen untuk membagi peran yang merata

67

Studi RPJM-Desa

dalam rumah tangga dengan suami. Selain itu, minat anak perempuan untuk masuk sekolah baik pada jenjang SD, SMP maupun SMU meningkat secara cukup signifikan. Kelima, kelompok-kelompok yang berbasis keanggotan pada perempuan semakin banyak dan kuat seperti kelompok simpan-pinjam, arisan, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini menjadi forum untuk menukar gagasan dan membagi pengalaman, memperkuat solidaritas antara sesama perempuan, mencari solusi dan sebagai alat perekat sosial.

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Miskin


Hasil survei ini memperlihatkan bahwa pemanfaaatn RPJM-Desa/Kelurahan berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup orang miskin. Selain RPJM-Desa/Kelurahan berpihak kepada perempuan, tingginya persentasi rasa puas responden, menggambarkan bahwa RPJM-Desa/Kelurahan juga berpihak kepada kaum miskin, kaum marginal atau kaum terpinggirkan lainnya. Hal ini

68

Suara Warga Suara Pembangunan

bisa terjadi karena dari segi proses, masyarakat miskin berpartisipasi secara aktif pada kegiatan penyusunan RPJMDesa/Kelurahan. Ada pendekatan dan penanganan khusus sebagai tindakan afirmatif yang memungkinkan kaum miskin dan kaum marginal lainnya terlibat secara penuh. Kalau ada proses yang baik maka warga miskin akan merasa antusias, ingin terlibat dan mempunyai rasa memiliki. Dari segi substansi, program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan merupakan program-program yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar orang miskin seperti kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, juga partisipasi. Tingginya penilaian responden terhadap manfaat RPJMDesa/Kelurahan bagi peningkatan kualitas hidup orang miskin diantaranya karena: Pertama, ada program dalam RPJM-Desa/Kelurahan yang memberikan perhatian khusus untuk peningkatan taraf hidup orang miskin. Misalnya, pembuatan rumah layak huni, bantuan alat produksi pertanian, bantuan ternak, beasiswa dan lain-lain. Orang miskin tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi diberi ruang dan kesempatan untuk terlibat dalam pertemuan dan proses-proses pembuatan keputusan di desa/kelurahan. Kedua, proses yang dibangun selama penyusunan RPJMDesa/Kelurahan dan pada tahap implementasinya, hampir semua orang miskin terlibat. Hal ini mendorong orang miskin untuk semakin bergairah dan rajin bekerja sehingga terjadi peningkatan hasil pertanian mereka dan kemudian secara perlahan-lahan mereka bisa keluar dari jeratan kemiskinan. Orang miskin tidak hanya bergantung pada bantuan dari luar. Orang miskin merasa yakin dan percaya diri bahwa mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari kemiskinan. Mereka mempunyai harapan untuk memperoleh hidup yang lebih baik.

69

Studi RPJM-Desa

Ketiga, orang miskin mendapat lebih banyak perhatian dan bantuan dari pemerintah kabupaten dan juga Organisasi Masyarakat Sipil seperti WVI, CD Bethesda, gereja, PNPM MP dan PNPM GSC. Orang miskin/KKM/RTM mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten dan OMS setiap tahun. Misalnya melalui pembuatan rumah layak huni, Jamkesda, Raskin, PKH, BLM, serta pendidikan dan pelatihan keterampilan. Selain itu, perbaikan infrastruktur pedesaan/ kelurahan seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, jalan raya serta air bersih dan sanitasi, membuat orang/keluarga miskin memiliki akses untuk mendapat pelayanan publik yang semakin lebih murah, mudah dan terjangkau. Peta sosial yang dihasilkan pada proses penyusunan RPJMDesa/Kelurahan menjadi alat negosiasi orang miskin untuk mendapat bantuan-bantuan yang masuk ke desa. Dengan peta itu, maka target pemberian bantuan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan mengalir begitu banyak program yang masuk ke desa/kelurahan dan targetnya tepat, maka ada keluarga miskin yang mengalami peningkatan dalam status kesejahteraan hidupnya. Misalnya, ada cukup banyak KKM yang naik menjadi kategori keluarga menengah. Hal ini, berkontribusi kepada perbaikan stratifikasi sosial dan struktur kemiskinan di desa/kelurahan. Keempat, program-program yang masuk ke desa/ kelurahan dari pemerintah, PNPM, P2KP, WVI, CD Bethesda, gereja dan lain-lain mendukung pelaksanaan program yang ada dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Dukungan mereka memberi amunisi kepada desa/kelurahan dalam mempercepat proses pembangunan pedesaan/kelurahan dalam mengurangi kemiskinan pedesaan/kelurahan dan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat secara keseluruhan.

70

Suara Warga Suara Pembangunan

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Kelas Menengah Hasil survei ini juga memperlihatkan bahwa penduduk pedesaan/kelurahan dari kelas menengah juga merasa sangat puas dengan pemanfaatan RPJMDesa/Kelurahan. Tingginya persentasi kepuasan kelas menengah pedesaan/kelurahan merefleksikan bahwa RPJM-Desa/Kelurahan tidak hanya disusun dan bermanfaat untuk orang miskin, perempuan dan kaum terpinggirkan lainnya, akan tetapi juga untuk kepentingan dan peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat dari kelas menengah. Hal ini bisa terjadi karena pada proses penyusunan RPJM-Desa/ Kelurahan, kaum menengah di pedesaan juga terlibat secara penuh. Kehadiran mereka dalam proses tersebut juga merupakan kesempatan untuk menyuarakan kebutuhan mereka. Hal ini bisa terjadi karena proses penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan (metologi CLAPP GPI) bersifat inklusif, terbuka bagi semua kelas sosial di pedesaan/kelurahan untuk terlibat secara penuh.

71

Studi RPJM-Desa

Beberapa alasan yang diulas responden yang memperkuat penilaian mereka bahwa pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan berkontribusi kepada peningkatan taraf hidup kelas menengah pedesaan/kelurahan di antaranya: Pertama, kelas menengah pedesaan/ kelurahan terlibat secara aktif dalam proses penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan, mengusulkan kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga kebutuhan mereka juga tidak luput dari perhatian pembangunan. Mereka juga mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten. Kedua, kelas menengah pedesaan/kelurahan juga merasa bahwa akses untuk mendapat pelayanan pembangunan terkait pendidikan, kesehatan, ekonomi, sanitasi dan air bersih semakin lebih baik, mudah dan terjangkau jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Ketiga, usaha-usaha bisnis mereka juga mengalami peningkatan dari segi omzet dan pendapatan karena ada sarana jalan yang memungkinkan arus perdagangan dan pemasaran-pembelian hasil-hasil bumi masyarakat berjalan lebih lancar. Akibatnya, mereka merasakan ada peningkatan kualitas kesejahteraan hidup. Dengan adanya RPJM-Desa/ Kelurahan maka pengelolaan pembangunan pedesaan/kelurahan lebih terarah, terukur dan bermanfaat untuk semua lapisan masyarakat. RPJM-Desa/Kelurahan dirancang untuk semua, bukan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Sehingga semua lapisan masyarakat mendapat manfaatnya.

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Orang Kaya


Hasil survei menunjukkan bahwa kelas mampu/ kaya pedesaan/kelurahan juga merasakan manfaat yang

72

Suara Warga Suara Pembangunan

berarti dari pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan terhadap peningkatan kualitas hidup mereka. Pencapaian yang cukup impresif ini mencerminkan bahwa RPJM-Desa/Kelurahan juga bermanfaat untuk orang kaya. Pembangunan pedesaan/ kelurahan adalah untuk semua penduduk dari desa/ kelurahan tersebut. Karena orang kaya pun memiliki hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan.

Beberapa alasan yang mendukung penilaian responden bahwa RPJM-Desa/Kelurahan juga membuat orang/kaum kaya merasa puas di antaranya: Pertama, kaum kaya mendapat haknya dari negara lewat pembangunan yang dilaksanakan di desa/kelurahan. Ada perhatian untuk mereka walaupun secara ekonomi mereka sudah memiliki kemampuan dan kemandirian. Meskipun, orang kaya bukan menjadi fokus utama pembangunan pedesaan/kelurahan, tetapi mereka merasakan manfaat dari pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan. Kedua, perbaikan infrastruktur pedesaan seperti jalan, jembatan, penerangan, pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih, keamanan juga dirasakan manfaatnya oleh orang kaya. Dengan membuka jalan raya, transportasi dan komunikasi maka usaha mereka semakin berkembang. Adanya peningkatan modal usaha, lebih mudah mendapat

73

Studi RPJM-Desa

informasi dan jaringan pemasaran lebih luas. Selain itu, adanya peningkatan keterampilan masyarakat karena diberikan pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas SDM, baik oleh pemerintah provinsi, kabupaten, maupun LSM-LSM. Ketiga, meningkatnya rasa kepekaan dan solidaritas sosial, terutama untuk mengutamakan kepentingan orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya.

Manfaat RPJM-Desa/Kelurahan terhadap Peningkatan Kualitas Perencanaan Pembangunan Pedesaan/Kelurahan


Perencanaan yang baik membuat desa/kelurahan memiliki arah dan tujuan pembangunan yang jelas. Perencanaan pembangunan pedesaan/kelurahan tidak hanya sekedar daftar kegiatan. Jika desa/kelurahan sudah memiliki RPJM-Desa/Kelurahan maka pemerintah desa/kelurahan tidak merasa susah lagi untuk membuat usulan pada saat Musrenbang karena acuannya sudah ada. Mereka tinggal membuka dokumen RPJM-Desa/Kelurahan saja. Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa sangat puas di mana pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan dapat meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan pedesaan/kelurahan. Pencapaian yang cukup berarti ini menggambarkan bahwa pembangunan itu berkualitas kalau memiliki perencanaan yang matang yang dihasilkan melalui sebuah proses yang partisipatif. Ilmu managemen mengatakan bahwa jika kita sudah memiliki perencanaan yang baik, itu berarti kita sudah menyelesaikan 50 % dari pekerjaan kita. RPJM-Desa/Kelurahan berkontribusi kepada pengelolaan pembangunan pedesaan/kelurahan secara lebih berkualitas

74

Suara Warga Suara Pembangunan

karena beberapa alasan. Pertama, pembangunan pedesaan/ kelurahan dilakukan setelah ada kesepakatan yang dilakukan melalui sebuah proses yang partisipatif dan inklusif antara semua warga dan aparat pemerintah desa/kelurahan. Jadi, ada proses musyawarah, negosiasi, dan mufakat. Ini merupakan sebuah proses deliberatif warga atas pembangunan. Kedua, RPJM-Desa menjadi acuan atau buku pintar pembangunan pedesaan/kelurahan. Hampir semua program pembangunan yang masuk ke desa/kelurahan, dan yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, sesuai dengan RPJM-Desa/kelurahan. hampir tidak ada program yang dijalankan di luar program RPJM-Desa/Kelurahan. Ketiga, pembangunan pedesaan/kelurahan lebih terkelola dan terkontrol dengan baik, mempunyai arah yang jelas dan terukur karena ada tujuan, target dan indikator per tahunnya. Hal ini membantu pemerintah desa/kelurahan untuk mengelola secara efektif berbagai sumber daya yang ada untuk mendukung implementasi program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Keempat, pemerintah desa/kelurahan merasa semakin dekat dengan masyarakat, semakin akuntabel dan transparan dalam pengelolaan program dan anggaran-anggaran yang masuk ke desa/kelurahan, terutama pengelolaan ADD/ADK. Kelima, dengan adanya dokumen RPJM-Desa/Kelurahan, ia membantu pemerintah dan warga desa/kelurahan ketika menyusun usulan pada kegiatan Musrenbang tahunan. Musrenbang menjadi lebih dinamis, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hasilnya lebih berkualitas karena Musrenbang menjadi forum deliberatif warga untuk menyepakati kebijakan pembangunan. Keenam, pembangunan desa/kelurahan memberikan perhatian khusus kepada perempuan dan orang miskin untuk

75

Studi RPJM-Desa

terlibat aktif dalam pembangunan. Dengan memberikan perhatian khusus berupa menciptakan ruang, menyediakan kesempatan dan memberi trust kepada orang miskin dan perempuan, maka mereka lebih antusias, ingin terlibat dan mempunyai rasa memiliki terhadap pembangunan. Ketujuh, dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, maka masyarakat mengetahui secara baik proses-proses penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan. Hal ini kemudian akan menghasilkan pemerintah desa/kelurahan yang memiliki legitimasi yang kuat karena didukung warganya. Sehingga proses-proses pembangunan akan berjalan lancar karena mendapat dukungan dan rasa kepemilikan yang besar dari warga masyarakat setempat.

Proses Penyusunan dan Hasil RPJM-Desa/ Kelurahan Mengakomodir Kebutuhan Perempuan

76

Suara Warga Suara Pembangunan

Ibu-ibu berebutan berbicara pada saat penyusunan RPJM-Kelurahan. Setiap orang menyampaikan apa yang mereka butuhkan. Mereka berani berbicara. Tidak biasanya begitu. Pokonya menarik sekali prosesnya waktu itu (Ridja Ana Ndiha, Fasilitator RPJM-Kelurahan Malumbi). Ini merupakan salah satu kesaksian atau testimoni dari seorang fasilitator terkait keterlibatan perempuan selama proses penyusunan rencana pembangunan kelurahan. Hasil survei ini memperlihatkan bahwa responden merasa sangat puas terkait proses penyusunan dan hasil RPJM-Desa/ Kelurahan karena mengakomodir kepentingan dan kebubutuhan kaum perempuan. Pencapaian yang cukup impresif ini mencerminkan proses penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan memiliki kualitas yang baik dan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan kaum perempuan. Hal ini bisa terjadi karena pendekatan CLAPP-GPI yang dipakai dalam penyusunan RPJMDesa/Kelurahan memberikan perhatian yang besar dan berfokus kepada orang miskin dan perempuan. Mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan memang memiliki tantangan yang luar biasa beratnya baik dari segi sosial budaya maupun kapasitas yang dimiliki perempuan. Namun demikian, jikalau kita konsisten dan betul-betul memberi ruang, kesempatan dan trust kepada mereka dan didukung dengan proses yang dirancang sedemikian rupa, mereka menjadi antusias dan ingin terlibat. RPJM-Desa/Kelurahan bisa mengakomodir kebutuhan kaum perempuan karena: Pertama, perempuan diberi kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan kebutuhan-kebutuhan perempuan pada proses penyusunan RPJM-Desa maupun Musrenbang tahunan. Isu 77

Studi RPJM-Desa

jender menjadi pembahasan yang selalu dibicarakan dan berulang-ulang (repetitive) selama proses penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan. Sehingga kaum perempuan sangat puas dengan proses dan hasilnya.
Kedua, perempuan mendapat hak dan perlakuan yang sama. Bahkan, perempuan diberi tempat untuk terlibat aktif dalam pembangunan di desa/kelurahan. Ada programprogram khusus yang dirancang untuk perempuan seperti pelatihan kepemimpinan perempuan, pengolahan pangan lokal, usaha simpan pinjam, dan lain-lain. Ketiga, fasilitator perempuan yang memfasilitasi proses perencanaan desa/kelurahan mampu membangkitkan antusiasme perempuan untuk terlibat secara penuh, bersuara, dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Proses Penyusunan dan Hasil RPJM-Desa/Kelurahan Mengakomodir Kebutuhan Orang Miskin

Perencanaan pembangunan di Indonesia mau78

Suara Warga Suara Pembangunan

pun negara berkembang lainnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan hidup orang miskin menjadi perhatian utama pembangunan saat ini, termasuk tujuan pembangunan milenium. Perhatian khusus terhadap orang miskin ini juga menjadi keberpihakan para pihak dalam penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan. Hasil survei ini memperlihatkan secara nyata bahwa sebagian besar responden menyatakan sangat puas karena proses penyusunan dan program-program dari RPJM-Desa/ Kelurahan merefleksi kebutuhan-kebutuhan orang miskin dan kaum marginal lainnya.
Tingginya rasa kepuasan responden terhadap proses dan hasil RPJM-Desa/Kelurahan yang mengutamakan pemenuhan hak-hak dasar orang miskin karena: Pertama, ada proses yang baik. Orang miskin diberi ruang dan kesempatan untuk berbicara, menyampaikan aspirasi mereka dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Mereka menjadi antusias dan percaya diri untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka citacitakan dan yang dibutuhkan. Selama proses, ada perhatian khusus untuk kelompok-kelompok marginal seperti janda, kelompok lanjut usia (Lansia), dan cacat fisik (kaum difabel). Walaupun mereka belum berani berbicara, tetapi para fasilitator mendorongnya dengan trik-trik khusus, akhirnya mereka berani berbicara atau menyampaikan aspirasi mereka dengan cara yang mereka bisa lakukan. Orang miskin senang karena merasa dihargai, pendapat mereka didengarkan dan diakomodir dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Lebih banyak program dalam RPJM-Desa/Kelurahan diperuntukkan bagi orang miskin dan kelompok marginal lainnya.

79

Studi RPJM-Desa

Kedua, ada program-program khusus yang dirancang untuk orang miskin, seperti pembuatan rumah layak huni, pengadaan ternak, pemberian beasiswa bagi anak sekolah dari keluarga kurang mampu, bantuan alat dan sarana produksi pertanian, dukungan modal usaha, dan lain sebagainya. Ketiga, mereposisi peran dan fungsi orang miskin dalam pembangunan pedesaan/kelurahan, dimana mereka bukan lagi sebagai obyek atau penerima manfaat proyek tetapi sebagi pelaku utama pembangunan. Merekalah yang memimpin proses pembangunan di desa/kelurahan. Pembangunan pedesaan/kelurahan kehilangan rohnya jika orang miskin tidak terlibat secara proaktif.

Penggunaan RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan Keuangan Desa/Kelurahan Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa sangat puas karena ketika desa/ kelurahan memiliki dokumen perencanaan yang baik, maka membantu mereka dalam membuat keputusan terkait pengelolaan keuangan desa/kelurahan, terutama ADD/ADK. Selain desa, Pemda Kabupaten Sumba Timur juga memberikan ADK kepada pemerintah kelurahan. Pemberian ADD/ADK di Kabupaten Sumba Timur telah menggunakan asas proporsional. Dari hasil studi ini memperlihatkan bahwa dengan adanya dokumen perencanaan, maka pemerintah desa/kelurahan dapat mengelola ADD/ADK secara lebih akuntabel dan transparan. Ada begitu banyak program-program dalam RPJM-Desa/Kelurahan terimplementasi karena didukung oleh ADD/ADK. Namun, menurut Bagian Pemerintahan Desa, Setda Kabupaten SumbaTimur, belum semua 80

Suara Warga Suara Pembangunan

desa dapat membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan ADD secara tepat waktu dan bermutu. Hal ini diakuinya karena kapasitas perangkat desa belum memadai dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Sebagian besar responden merasa sangat puas dimana RPJM-Desa/Kelurahan membantu desa/kelurahan dalam membuat keputusan terkait pengelolaan keuangan desa/ kelurahan karena: Pertama, dana-dana (APB-Desa/ADD, dan APB-Kelurahan/ADK) mendukung pengimplementasian program-program yang sudah disepakati bersama dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Artinya, dana-dana yang ada dipakai berdasarkan rencana bersama, bukan keinginan segelintir orang atau elit desa/kelurahan. Juga, dibuat kesepakatan antara kepala desa/lurah dengan LPM, BPD dan masyarakat. Sehingga tidak ada saling curiga karena ada kesepakatan gelap yang dibuat. Kedua, pemanfaatan ADD/ADK lebih tepat sasaran, terarah, terukur, akuntabel, dan transparan, serta ada laporan

81

Studi RPJM-Desa

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Dengan ini, maka desa/kelurahan dilatih untuk membudayakan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam pengelolan keuangan publik. Bagaimana dan kemana uang rakyat dibelanjakan, direncanakan dan ketahui oleh masyarakat. Ketiga, dengan adanya RPJM-Desa/Kelurahan, danadana yang masuk ke desa mendukung pelaksanaan program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Misalnya, dana dari PNPM, WVI, CD Bethesda, gereja, dan lain-lain disalurkan untuk mendukung program-program masyarakat. Dengan adanya RPJM-Desa/Kelurahan, maka intervensi dari pihak luar atau elit-elit desa/kelurahan dalam menentukan pemanfaatan dana publik (ADD/ADK) dapat dicegah sedini mungkin.

Penggunaan RPJM-Desa/Kelurahan Membantu Membuat Keputusan terkait Pengelolaan Program yang Masuk ke Desa/Kelurahan
Hasil survei ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden merasa sangat puas di mana RPJM-Desa/Kelurahan membantu desa/kelurahan dalam membuat keputusan secara lebih tepat terkait pengelolaan program-program yang masuk ke desa/kelurahan. Pencapaian yang lumayan impresif ini menggambarkan bahwa RPJM-Desa/Kelurahan merupakan alat negosiasi dan kontrol warga terhadap pengelolaan pembangunan pedesaan/kelurahan. Pihak-pihak yang masuk ke desa/kelurahan menggunakan dokumen RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan dalam membuat program. Misalnya, PNPM MP, PNPM GSC, WVI, gereja, dan program-program dari pemerintah kabupaten menggunakan dokumen yang sudah ada untuk kegiatan pembangunan di desa/kelurahan. Pencapaian yang impresif ini karena kepala desa/lurah aktif melakukan lobi, negosiasi dan promosi

82

Suara Warga Suara Pembangunan

RPJM-Desa/Kelurahan kepada aktor-aktor pembangunan yang masuk di desa/kelurahan. Mereka menggunakan metode informal yaitu menjemput bola dan tidak hanya menunggu mekanisme formal Musrenbang-Desa/Kelurahan. Desa/Kelurahan aktif dalam mempromosikan, melobi dan membangun interaksi yang dinamis dengan berbagai aktor dan institusi yang memberi perhatian pada pembangunan desa/kelurahan sehingga membuat program-program yang ada dalam RPJM-Desa/Kelurahan dilaksanakan sesuai dengan harapan masyarakat. Walaupun belum semua program dilaksanakan secara tuntas.

Sebagai besar responden merasa sangat puas dimana RPJM-Desa/Kelurahan membantu mengelola program yang masuk ke ranah desa/kelurahan karena pemerintah desa/ kelurahan memiliki bahan untuk melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak-pihak yang masuk ke desa/kelurahan. Telah menjadi kesepakatan bersama, bahwa RPJM-Desa/ Kelurahan menjadi acuan bagi semua program yang masuk

83

Studi RPJM-Desa

di desa. Siapa saja yang masuk ke desa/kelurahan diharapkan menggunakan dokumen yang sudah ada. Ada beberapa program yang masuk ke desa/kelurahan dan mendukung pengimplementasian RPJM-Desa/Kelurahan, seperti PNPM MP, PNPM GSC, P2KP, LSM-LSM, dan gereja. Pemerintah kabupaten juga mendorong semua pihak, termasuk SKPDSKPD untuk menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah ada dalam merancang program pembangunan pedesaan/ kelurahan. Semua stakeholders patuh, mau bekerjasama, dan saling membantu. Hal ini mendukung pelaksanaan kebijakan satu desa satu perencanaan.

84

BAB IV PERENCANAAN, DEMOKRASI DAN KESEJAHTERAAN

Partisipasi warga dalam pembangunan merupakan istilah yang sering terdengar, baik dalam jargon politik maupun dalam praktek pemerintahan (state) dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Namun sayangnya, secara konseptual dan empirik, partisipasi warga belum menjadi diskursus pengetahuan yang dielaborasi secara baik. Padahal pemahaman kritis mengenai konsep, konteks, praktik partisipasi serta hasil dan dampaknya sangat penting untuk membangun pengetahuan yang lengkap mengenai partisipasi itu sendiri. Bagian ini, tidak membahas tentang konsepnya secara teoritis, tetapi menyajikan praktik, hasil dan dampak konkrit dari partisipasi warga dalam pembangunan. Terutama berkaitan dengan pembangunan pada level desa/kelurahan. Berbeda dari partisipasi politik yang lebih menekankan representasi dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi sebagai mobilisasi warga di luar lembaga pemerintahan atau sekedar kepedulian terhadap penerima bantuan, partisipasi warga dalam studi ini sebagai partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan dan dalam implementasi. Suara warga suara pembangunan artinya pembangunan yang di-

Studi RPJM-Desa

gerakkan berdasarkan suara atau aspirasi keaslian warga (citizen driven development). Warga yang secara langsung menyusun, melaksanakan, mengevaluasi dan melaksanakan pembangunan itu sendiri serta memetik pembelajarannya. Penyusunan dan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan secara partisipatif merupakan bukti nyata dari partisipasi langsung warga dalam proses dan siklus pembangunan desa/ kelurahan. Seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan bahwa ada 13 desa/kelurahan di Kabupaten Sumba Timur, yang telah memiliki RPJM-Desa/Kelurahan. Dalam rentang waktu tiga hingga empat tahun sejak penyusunan, setiap desa/kelurahan tentu sudah memiliki pengalaman dalam implementasi. Sejalan dengan itu, berbagai perubahan pun telah digapai. Pertanyaannya adalah sudah sejauh mana implementasi dan perubahan-perubahan seperti apa yang telah terjadi pada ranah desa/kelurahan dan pemerintah supradesa/kelurahan. Sebagaimana studi ini mendasari pendekatannya pada pendekatan pencarian apresiatif, artinya sebuah studi yang didesain untuk menemukan (1) cerita-cerita sukses masa lalu terutama selama implementasi RPJM-Desa/Kelurahan, (2) kekuatan-kekuatan yang ada dalam warga masyarakat saat ini, dan (3) menemukan mimpi mereka, ketimbang mencari masalah-masalah dalam warga masyarakat, studi ini telah menemukan keberhasilan-keberhasilan yang impresif dari 13 desa/kelurahan dalam pelaksanaan RPJM-Desa/ Kelurahan. Melalui wawancara apresiatif, diskusi kelompok terfokus dengan 303 warga masyarakat (177 laki-laki dan 126 perempuan), dan observasi lapangan, serta story telling, studi ini telah menemukan dan menyimpulkan beberapa keberhasilan mendasar, yang diringkas pada bagian temuan eksekutif berikut ini.

86

Suara Warga Suara Pembangunan

Temuan Eksekutif
RPJM-Desa/Kelurahan diperlakukan sebagai buku pintar pembangunan lokal. Semua desa dan kelurahan menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan secara konsisten sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan desa/ kelurahan. Warga dan pemerintah desa/kelurahan merasa bahwa dokumen RPJM-Desa/Kelurahan sangat membantu mereka dalam mengakses program dan anggaran dari kabupaten dan membuat usulan pada proses MusrenbangDesa/Kelurahan setiap tahun. Mereka tinggal membuka dokumen tersebut dan mengambil program-program yang sudah ada untuk diusulkan pada Musrenbang. Selain itu, ia membantu desa/kelurahan untuk melakukan negosiasi dan kontrol dalam rangka mensinkronkan atau mensinergikan program-program lain yang masuk ke ranah desa/kelurahan dengan RPJM-Desa/Kelurahan. Seperti program dari PNPM, LSM dan pihak-pihak lainnya. Praktiknya selama ini, PNPM dan LSM tidak membuat program yang sama sekali baru. Akan tetapi mereka mendukung pelaksanaan programprogram dari RPJM-Desa/Kelurahan. Untuk pendalaman program agar sesuai dengan tujuan dan strategi programnya, mereka biasanya melakukan review. Sekitar 70 % program dari RPJM-Desa/Kelurahan sudah terealisasi. Program-program yang dirancang dalam RPJMDesa/Kelurahan sebagian besar atau hampir semuanya sudah dan sedang terlaksana. Secara rata-rata, tingkat pelaksanaannya sudah mencapai 70 % dengan tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan. Kami menilai bahwa sekitar 70 % program-program dalam RPJM-Kel telah terlaksana. Masyarakat sudah menikmati hasilnya (Andreas Mulla, SE, Lurah Malumbi). Keberhasilan yang impresif terjadi pada pembangunan infrastruktur dan pelayanan

87

Studi RPJM-Desa

publik yang semakin baik. Pencapaian yang luar biasa ini terjadi karena ada dan meningkatnya dukungan program dan penganggaran dari pemerintah daerah kabupaten melalui SKPD-SKPD, ADD/ADK yang dikelola secara akuntabel dan transparan, peningkatan swadaya dan partisipasi warga desa/ kelurahan, serta adanya dukungan dari PNPM, P2KP, PIDRA dan program-program LSM seperti WVI, CD Bethesda, gereja, dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur, infrahuman dan pelayanan publik desa/kelurahan meningkat secara cukup signifikan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah terkait pembangunan infrastruktur desa/kelurahan seperti perbaikan atau pembukaan jalan baru, pembangunan atau penambahan gedung sekolah, pembangunan rumah layak huni bagi keluarga miskin, pembangunan fasilitas kesehatan, pembangunan sarana air bersih dan sanitasi, ekonomi, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, juga terjadi peningkatan pelayanan publik terutama pada sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi, serta peningkatan kualitas SDM. Perubahan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang semakin baik berimplikasi pada meningkatnya partisipasi pendidikan dasar, angka kematian bayi dan ibu berkurang karena semakin banyak ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong tenaga medis (bidan desa). Juga, pada beberapa desa/kelurahan mengalami pengurangan angka kemiskinan. Karena ada beberapa orang miskin yang naik status kesejahteraan hidupnya. Hal ini tentunya memperbaiki stratifikasi sosial dan struktur kemiskinan desa/kelurahan. Pengelolaan ADD/ADK semakin transparan, akuntabel dan mendorong efektivitas dan efisiensi pelayanan publik desa/kelurahan. ADD adalah dana distribusi pemerintah daerah kepada desa untuk memperkuat otonomi (keman-

88

Suara Warga Suara Pembangunan

dirian) desa, sementara ADK bisa disebut sebagai bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk mendukung community development maupun community empowerment. Penerima ADD adalah pemerintah desa, sementara penerima BLM ADK adalah masyarakat. ADD/ADK merupakan ikon terkemuka dan merupakan salah satu komponen APB-Desa yang paling utama saat ini dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan desa/ kelurahan. Hal ini karena 13 desa/kelurahan yang ada belum mengembangkan pendapatan asli desa/kelurahan yang cukup besar. Untuk menyelenggarakan pembangunan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya, Pemda Kabupaten Sumba Timur memberikan ADD/ADK dengan azas adil (ADD/ADK Proporsional). ADD merupakan hak desa/kelurahan untuk memperoleh anggaran dari APBD karena sesuai dengan amanah PP 72/2005 tentang Desa. Studi ini menemukan bahwa ADD/ADK dipakai untuk mendukung program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan, bukan dipakai untuk kepentingan segelintir elite atau kaum mampu di desa/kelurahan. Tim studi tidak menemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan penggunaan ADD/ ADK di luar dari program RPJM-Desa/Kelurahan. Hal ini tentu mampu mematahkan kekhawatiran sebagian pihak, termasuk pajabat pusat, akan risiko korupsi terhadap ADD/ ADK yang dilakukan oleh elite lokal. Selain itu ADD/ADK kian memperkuat kewenangan dan hak desa dan masyarakat kelurahan untuk mengelola ADD/ADK untuk kesejahteraan masyarakat. Juga, tidak ada intervensi dari pihak luar. Meskipun masih ada beberapa desa yang masih terlambat dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban karena keterbatasan kapasitas SDM, hal itu sebagai proses pembelajaran. Pengalaman yang akumulatif yang disertai dengan supervisi dengan baik,

89

Studi RPJM-Desa

niscaya kapasitas SDM tersebut akan semakin meningkat secara inkremental. Kehadiran ADD/ADK telah mendorong efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik, membuat RPJM-Desa/Kelurahan lebih bermakna dan dinamis. Hal ini relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal dan otonomi (termasuk pengelolaan keuangan) tidak hanya berhenti di kabupaten, tetapi mengalir terus hingga ke desa. ADD/ADK telah menjadi arena pembelajaran bagi desa/kelurahan untuk menempa kapasitas dalam perencanaan, merawat dan membudayakan akuntabilitas dan transparansi dan sebagainya. Di sinilah praktikpraktik tata kepemerintahan lokal demokratis pada tingkat akar rumput (democratic governance at grass root level) menemukan bentuknya. Demokrasi lokal di desa/kelurahan, tidak hanya prosedural tapi juga subtansial, dan praktik baik democratic governance di akar rumput bertumbuh subur, berakar kuat dan mulai menjalar. Partisipasi langsung warga masyarakat dan organisasi mereka selama implementasi RPJM-Desa/Kelurahan menunjukkan peningkatan yang impresif. Wujud partisipasi tidak hanya sekedar kehadiran secara fisik atau mobilisasi warga (demokrasi prosedural) sebagaimana dilakukan pada tahun-tahun sebelum RPJMDesa/Kelurahan, tetapi sudah menekankan pada partisipasi untuk bersuara, memanfaatkan akses dan kontrol dalam pembuatan kebijakan publik di desa/kelurahan, dan adanya pengakuan, penghargaan dan pemberian jaminan atas hakhak kewarganegaraan terutama orang miskin, perempuan, kaum minoritas dan marginal lainnya (demokrasi subtansial). Dengan ini, gagasan awal dan asli tentang demokrasi yaitu tentang bentuk pemerintahan (kratos) oleh rakyat (demos)

90

Suara Warga Suara Pembangunan

atau pemerintahan rakyat menemui maknanya karena pada akhirnya demokrasi hanya bermakna apabila pengakuan tehadap hak-hak sipil dan politik individu diberikan, dijamin, dan dihormati (civil liberties). Dengan partisipasi langsung warga dalam proses pembangunan merupakan jalan ketiga untuk menutup kegagalan demokrasi perwakilan. Manakala wakil rakyat daerah gagal atau disengajakan tidak memperjuangkan kepentingan konstituennya, maka perjuangan lewat RPJM-Desa/Kelurahan, adalah solusinya. Dengan cara itu, warga masyarakat dapat merencanakan, melaksanakan dan mengontrol sumberdaya publik (termasuk anggaran), bagaimana uang rakyat dikelola dan kemana uang rakyat dibelanjakan. Selain itu, partisipasi langsung dalam implementasi RPJM-Desa/Kelurahan selama 3-4 tahun terakhir memperlihatkan perubahan dan peningkatan cara pandang dan pemahaman warga masyarakat dan organisasi mereka terhadap proses-proses pembuatan kebijakan di tingkat desa/ kelurahan dan rasa kepemilikan lokal terhadap keputusan yang diambil. Implikasinya, kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah desa/kelurahan semakin meningkat. Konflik vertikal (antara warga dengan pemerintah desa/ kelurahan) maupun horizontal (antara sesama warga masyarakat) jarang terjadi. Hal ini karena pemerintah desa/ kelurahan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyatnya karena lebih akuntabel, transparan dan responsif. Rasa saling curiga atau berburuk sangka, warga terhadap kepala desa/ lurah beserta aparatnya, atau sebaliknya, berkurang secara cukup mencolok. Partisipasi perempuan di ranah publik dan menduduki posisi strategis di tingkat lokal semakin meningkat. Perempuan terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan formal

91

Studi RPJM-Desa

maupun informal desa/kelurahan, seperti Musrenbang, pertemuan desa dan lain-lain. Mereka semakin berani dan percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya saat pertemuan, dan terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan juga mulai menduduki beberapa posisi strategis di pemerintahan dan organisasi akar rumput. Misalnya, ada Fasilitator Desa (Fasdes) perempuan yang menjadi anggota DPRD Sumba Timur, perempuan menjabat sebagai kepala desa, sekretaris desa, anggota BPD, LPMD, Ketua RT, Ketua RW, dan pengurus kelompok. Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa emansipasi dan demokrasi desa berbasis gender mulai bertumbuh. Perempuan tidak hanya berpartisipasi pada ranah bersuara dan telibat dalam pembuatan keputusan publik, tetapi juga mulai menjangkau wilayah lainnya yang krusial yaitu mengisi ruang kekuasaan publik dengan menduduki posisi-poisis strategis dalam pemerintahan desa/kelurahan. Interaksi dinamis antara warga dengan pemerintahan lokal (citizen local government engagement) semakin meningkat. Warga dan pemerintah desa/kelurahan semakin cukup aktif melakukan interaksi dinamis dengan pemerintahan supradesa (Bupati, SKPD, kecamatan) dan pihak-pihak lain untuk meminta hak dan dukungan dalam implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. RPJM-Desa/ Kelurahan menjadi alat advokasi desa/kelurahan ketika melakukan interaksi. Interaksi aktif warga (active civic engagement) dengan pemerintah daerah dalam konteks untuk mempengaruhi, untuk memperjuangkan nilai-nilai dan prinsip, untuk memastikan terpenuhi hak, dan untuk memastikan lingkungan yang kondusif. Selama proses interaksi, kemampuan warga dalam melakukan lobi, advokasi, mediasi, dan negosiasi ditempa. Dan secara tidak langsung warga semakin terampil berpolitik.

92

Suara Warga Suara Pembangunan

Upaya menjemput bola oleh desa/kelurahan dilakukan baik melalui mekanisme formal Musrenbang maupun mekanisme non-formal di luar Musrenbang seperti melalui lobi, negosiasi, pertemuan informal, memanfaatkan jaringan sosial, dan membuat proposal untuk diberikan kepada SKPD-SKPD. Pada saat yang sama, daya tanggap atau respon balik dari pemerintah kabupaten juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Pemerintah daerah semakin akuntabel kepada warganya, dan warga semakin mendukung pemerintahnya. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur semakin responsif dalam mendukung pembangunan desa/kelurahan melalui kebijakan dan anggaran. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur memberi pengakuan dan dukungan yang luar biasa melalui pemberian anggaran dan kebijakan terhadap implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Dari sisi anggaran, pemberian ADD/ADK selama 4 tahun (2007-2010) kepada 13 desa/kelurahan, secara total, sebesar Rp. 5.156.433.400,(Lima Milyard Seratus Lima Puluh Enam Juta Empat Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Empat Ratus Rupiah). Tahun 2009, total APBD Kabupaten (melalui SKPD-SKPD) kepada 13 desa/kelurahan, sebesar Rp. 6.852.703.000 (Enam Milyard Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tiga Ribu Rupiah). Dari sisi kebijakan, walaupun sejauh ini Pemda Kabupaten Sumba Timur belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang RPJM-Desa atau pembangunan partisipatif, namun Bupati dan Bappeda selalu menghimbau SKPDSKPD untuk menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai basis dan acuan pembangunan daerah. Adanya kemauan baik pimpinan daerah dan perangkat daerah (SKPD-SKPD) didukung dengan semakin meningkatnya program dan alokasi anggaran daerah kepada 13 desa/kelurahan menggambarkan

93

Studi RPJM-Desa

bahwa Pemda Kabupaten Sumba Timur serius mendukung implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Dengan demikian, pro poor planning dan budgeting yang sering terdengar di mazhab desentralisasi dan otonomi saat ini, tidak hanya sekedar jargon atau retorika, tetapi ada buktinya.

Pengalaman dan Praktik Baik Pemanfaatan RPJMDesa/Kelurahan


Desa/kelurahan memiliki pengalaman dan praktik yang cukup banyak dalam pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan selama ini. Studi ini menemukan bahwa desa/kelurahan menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan pembangunan desa/kelurahan. Studi ini mencatat beberapa pengalaman dan praktik baik yang dilakukan desa/kelurahan dalam pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan. RPJM-Desa/Kelurahan dipakai sebagai acuan pelaksanaan Musrenbang dan pengelolaan APB-Desa/Kel dan ADD/ ADK. Usulan-usulan yang masuk dalam Musrenbang berasal dari program-program dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Hanya, kalau ada kebutuhan mendesak warga masyarakat yang belum ada dalam RPJM-Desa/Kelurahan, maka usulan tersebut akan ditambahkan dalam usulan Musrenbang. Selain Musrenbang, Desa/Kelurahan menggunakan RPJMDesa/Kelurahan sebagai acuan dalam pengelolaan keuangan APB-Desa/Kelurahan dan ADD/ADK. Sehingga pengelolaan keuangan desa lebih terarah, tepat sasaran, transparan dan akuntabel. RPJM-Desa/Kelurahan juga menjadi acuan untuk mengukur kemajuan atau perkembangan pembangunan desa/kelurahan dan pengelolaan keuangannya. Termasuk, kinerja pemerintah desa/kelurahan dalam menjalankan kewenangan dan fungsinya terkait pembangunan (rural development), fungsi penyelenggaraan pemerintahan

94

Suara Warga Suara Pembangunan

(village governance) dan fungsi pemberdayaan masyarakat (community empowerment). RPJM-Desa/Kelurahan dipakai sebagai alat negosiasi atau koordinasi program dengan pihak-pihak lain. Pada saat penggalian gagasan dengan program PNPM, desa/ kelurahan menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan pada saat menyusun perencanaan program. PNPM juga mengakomodir dan mendukung program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah ada. Hal yang sama juga dilakukan ketika desa/kelurahan membuat program dengan pihak lainnya seperti PIDRA, Gapoktan, LSM dan lain-lain. Desa/kelurahan menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan untuk melakukan lobi dengan pemerintahan supradesa (SKPD-SKPD) untuk mengakses program dan anggaran dari kabupaten. Beberapa kepala desa/lurah membawa dokumen RPJM-Desa/Kelurahan atau membuat proposal dengan mengacu pada RPJM-Desa/Kelurahan dan kemudian diserahkan kepada kepala dinas atau SKPD-SKPD terkait. Misalnya, Desa Mauramba, berhasil mendapat 27 ekor sapi dan bantuan beras dari kabupaten karena melobi di luar mekanisme Musrenbang. Selama implementasi RPJM-Desa/Kelurahan, desa/ kelurahan juga menemukan berbagai tantangan atau hambatan seperti keterbatasan sumber-sumber pembiayaan, kapasitas SDM yang masih terbatas, usulan-usulan yang naik ke kabupaten yang belum terealisasi, swadaya lokal yang masih minim, dan ketergantungan desa/kelurahan terhadap kabupaten yang masih kuat. Terkait dengan usulan-usulan yang belum terealisasi, desa/kelurahan biasanya mengajukan lagi usulan tersebut pada tahun berikutnya, dengan tetap mempertimbangkan pada faktor kemendesakan, prioritas dan usulan tersebut merupakan kebutuhan mayoritas warga masyarakat.

95

Studi RPJM-Desa

Berbagai Cerita Sukses Pembangunan Desa/ Kelurahan


Selama tiga hingga empat tahun ini, berbagai cerita keberhasilan dari 13 desa/kelurahan tercipta menyertai upaya mereka melaksanakan perencanaan pembangunan yang mereka buat. Perubahan-perubahan impresif terjadi, baik pada aspek pembangunan infrastruktur, akses masyarakat terhadap pelayanan publik, maupun perubahan pada aspek manusianya (infrahuman) serta modal sosial. Pembangunan desa/kelurahan telah berkontribusi terhadap pengurangan angka kemiskinan desa dan peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat secara keseluruhan.

Potret Cerah Kesejahteraan Lokal


Hasil studi ini menemukan peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di beberapa desa/kelurahan. Sementara, di beberapa desa/kelurahan tidak mengalami perubahan dan ada yang turun, walaupun turunnya tidak signifikan (Lihat Tabel 4.1). Dari wawancara dengan warga dan aparat pemerintah desa/kelurahan, peningkatan kesejahteraan ini terjadi karena adanya program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah terlaksana, terutama program yang berkaitan langsung dengan indikator kemiskinan, seperti kepemilikan rumah dan hewan. Desa/kelurahan yang mengalami peningkatan kesejahteraan atau penurunan angka kemiskinan yaitu Mauramba, Kataka, Ndapayami dan Kelurahan Malumbi. Sementara, Matawai Maringu dan Matawai Katingga merupakan dua desa yang angka kemiskinannya bertambah. Menurut kepala desa, penambahan ini terjadi karena faktor kekeringan yang mengakibatkan banyak petani mengalami gagal tanam dan gagal panen.

96

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.1

Potret Angka Kemiskinan Desa/Kelurahan


Data KKM Tahun 2008/2009 121 Data KKM Tahun 2010 85 Jumlah KKM (-/+) 36

No.

Desa/ Kelurahan Mauramba

Keterangan

2 3 4 5

Meurumba Ndapayami Malumbi Kataka

227 122 335 150

156 75 324 150

71 47 32 0

Kamanggi

188

188

Matawai Maringu Matawai Katingga

140

147

107

109

Berkurang karena pembuatan rumah layak huni dan pengadaan kerbau Pembuatan rumah layak huni Pembuatan rumah layak huni Pembuatan rumah layak huni Tidak ada pengurangan kemiskinan Tidak ada pengurangan kemiskinan Tambah karena gagal tanam dan panen Bertambah karena gagal tanam dan panen

Pembuatan rumah layak huni untuk warga miskin, selain meningkatkan status sosialnya, tetapi juga mengurangi ketergantungan atau beban pada keluarga besarnya. Pada awalnya, setelah menikah, saya masih menumpang di rumah mertua. Dengan adanya program ini, saya sudah memiliki rumah sendiri. Hidup saya tidak bergantung lagi pada keluarga mertua. Saya senang sekali karena saya sudah punya rumah sendiri (Bpk. Thomas Kore Radja, warga di Kelurahan Malumbi).

97

Studi RPJM-Desa

Peningkatan Anggaran Pemerintah Daerah Bagi Desa/Kelurahan


Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur menyediakan dukungan anggaran yang cukup besar terhadap implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Jumlah total pemberian ADD/ADK selama 4 tahun (2007-2010) kepada 13 desa/ kelurahan, sebesar Rp. 5.156.433.400,- (Lima Milyard Seratus Lima Puluh Enam Juta Empat Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Empat Ratus Rupiah). Tahun 2009, total APBD Kabupaten (melalui SKPD-SKPD) kepada 13 desa/kelurahan, sebesar Rp. 6.852.703.000 (Enam Milyard Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tiga Ribu Rupiah). Informasi yang diperoleh selama studi ini tentang anggaran dari Pemda (ADD/ADK dan APBD) dari tahun 2007 2010, dan pihak lainnya untuk mendukung implementasi RPJM-Desa/Kelurahan dapat dilihat pada beberapa tabel di bawah ini.
Tabel 4.2
Desa/ Kelurahan Matawai Maringu Matawai Katingga Kotak Kawau Laimbonga Praihambuli Kelurahan Kawangu Kamanggih Mauramba Meurumba

Anggaran Tahun 2007


APB-Desa/ ADD; APB-Kel/ ADK 79,621,800 79,340,450 94,651,800 82,101,650 92,742,800 131,881,150 91,468,300 79,684,350 91,678,250 175,000,000 62,500,000 60,000,000 360,000,000 APBD Kabupaten 50,000,000 Propinsi Pusat PNPM/ P2KP LSM

98

Suara Warga Suara Pembangunan


Desa/ Kelurahan Kelurahan Malumbi Kambata Bundung Ndapayami Kataka TOTAL APB-Desa/ ADD; APB-Kel/ ADK 91,590,850 95,497,400 83,591,300 88,283,650 1,182,133,750 707,500,000 APBD Kabupaten Propinsi Pusat PNPM/ P2KP

LSM

(Sumber data dari hasil FGD lapangan, Bappeda dan Setda Bagian Pemdes Kabupaten Sumba Timur).

Tabel 4.3
Desa /Kelurahan Matawai Maringu Matawai Katingga Kotak Kawau Laimbonga Praihambuli Kelurahan Kawangu Kamanggih Mauramba Meurumba Kelurahan Malumbi Kambata Bundung Ndapayami Kataka TOTAL

Anggaran Tahun 2008


APB-Desa/ ADD; APBKel/ADK 79,621,800 79,340,450 94,651,800 82,101,650 92,742,800 131,881,150 91,468,300 79,684,350 91,678,250 91,590,850 95,497,400 83,591,300 88,283,650 1,182,133,750 611,865,000 100 198 104,5 420,000,000 42,200,000 24,000,000 21,915,000 68,750,000 10 16 172 APBD Kabupaten 25,000,000 10,000,000 100 103 1,5 Propinsi (juta) Pusat (juta) PNPM /P2KP (juta) LSM

(Sumber data dari hasil FGD lapangan, Bappeda dan Setda Bagian Pemdes Kabupaten Sumba Timur).

99

Studi RPJM-Desa

Tabel 4.4

Anggaran Tahun 2009


APB-Desa /ADD; APBKel/ADK 79,621,800 PNPM /P2KP (juta)

Desa /Kelurahan Matawai Maringu Matawai Katingga Kotak Kawau

APBD Kabupaten 280,000,000

Propinsi

Pusat (juta)

LSM (juta)

79,340,450

75,625,000

94,651,800

152,000,000

Laimbonga Praihambuli Kelurahan Kawangu Kamanggih Mauramba Meurumba Kelurahan Malumbi Kambata Bundung Ndapayami Kataka TOTAL

82,101,650 92,742,800 131,881,150

1,202,200,000 80,000,000 151,250,000 2,250,000 45

228,000,000 354,000,000

91,468,300 79,684,350 91,678,250 91,590,850

1,292,764,000 175,000,000 1,503,000,000 1,034,864,000 669,560,200

95,497,400

476,000,000

29,9 juta 742,000,000

83,591,300 88,283,650 1,182,133,750

430,000,000

6,852,703,000

2,250,000

45

1,993,560,200

29,9

(Sumber data dari hasil FGD lapangan, Bappeda dan Setda Bagian Pemdes Kabupaten Sumba Timur).

Tabel 4.5
Desa/ Kelurahan Matawai Maringu Matawai Katingga Kotak Kawau Laimbonga Praihambuli Kelurahan Kawangu

Anggaran Tahun 2010


APB-Desa/ ADD; APB-Kel 94,644,050 94,208,550 114,950,000 97,378,650 114,460,900 134,131,000 134,131,000 150,000,000 APBD Kabupaten

Propinsi

Pusat

PNPM/P2KP

LSM

100

Suara Warga Suara Pembangunan

Desa/ Kelurahan Kamanggih Mauramba Meurumba Kelurahan Malumbi Kambata Bundung Ndapayami Kataka TOTAL

APB-Desa/ ADD; APB-Kel 111,020,800 94,434,500 111,184,650 93,840,800 116,265,850 99,648,800 105,891,800 1,382,060,350

APBD Kabupaten

Propinsi

Pusat

PNPM/P2KP

LSM

40,000,000

298,840,800

112,505,000

225,000,000

735,476,800

225,000,000

(Sumber data dari hasil FGD lapangan, Bappeda dan Setda Bagian Pemdes Kabupaten Sumba Timur).

Dalam pemberian ADD, Kabupaten Sumba Timur telah menggunakan asas ADD Proporsional. Sama halnya dengan desa, Pemda juga menyediakan dana khusus untuk kelurahan (ADK Proporsional). Dari tahun 2007 hingga 2009, ADD/ ADK jumlahnya sama. Sementara pada tahun 2010, jumlah ADD bertambah. Sementara, sejak tahun 2010, Pemda sudah tidak memberikan ADK kepada kelurahan, tetapi masuk dalam ABPD Kabupaten (sama dengan SKPD). Dari tabel-tabel di atas terlihat bahwa pemerintah kabupaten, melalui kebijakan anggaran, mempunyai komitmen yang besar untuk mendukung implementasi RPJM-Desa/ Kelurahan. Informasi tentang anggaran (APBD Kabupaten) pada tabel-tabel di atas belum menggambarkan secara menyeluruh dana kabupaten untuk desa/kelurahan. Karena informasi ini baru sebatas informasi yang dicatat oleh tim studi dari FGD bersama warga masyarakat dan dari Bappeda dan Setda Bagian Pemerintahan Desa Kabupaten Sumba Timur.

101

Studi RPJM-Desa

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan semakin Demokratis


Pemerintah desa/kelurahan merasakan manfaat yang luar biasa dari pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan. Mereka tidak lagi bekerja keras untuk membuat perencanaan pembangunan karena perencanaannya sudah ada. Ketika pelaksanaan Musrenbang-Desa/Kelurahan, mereka tinggal membuka dokumen tersebut. Dokumen RPJM-Desa/Kelurahan juga membantu kepala desa/lurah untuk mengelola dan mensinergikan program pembangunan dari lembaga lain yang masuk ke ranah desa/kelurahan. Semua program yang kami buat berdasarkan hasil penjajakan pada 4 dusun yang dituangkan dalam RPJM-Desa kemudian dimasukan dalam skala prioritas program. Kami menggunakan RPJM-Desa sebagai acuan pembangunan desa. Musrenbang-Dusun dan Desa selalu mengacu pada RPJM-Desa. Bantuan-bantuan lain yang masuk di desa, juga selalu mengacu pada RPJMDesa. Dengan adanya RPJM-Desa sangat berkontribusi pada pembangunan di desa. Kami sangat merasakan manfaatnya (U.B. Taranggela, Kepala Desa Laimbonga). Dengan adanya RPJM-Desa/Kelurahan, maka pengelolaan keuangan desa/kelurahan (APB-Desa/Kel dan ADD/ADK) semakin akuntabel dan transparan. Dikatakan akuntabel, karena hasil studi ini menemukan bahwa dana ADD/ADK dipakai untuk mengimplementasikan program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah ada. Walaupun studi ini bukan untuk mengevaluasi penggunaan ADD/ADK, namun selama proses pengumpulan data di lapangan, tim studi tidak mendapat informasi penyalahgunaan pemanfaatan ADD/ADK. Oleh karena itu, studi ini menyimpulkan bahwa salah satu faktor keberhasilan implementasi RPJM-Desa/ Kelurahan adalah dukungan dana ADD/ADK dari pemerintah

102

Suara Warga Suara Pembangunan

daerah dan karena ADD/ADK dikelola secara transparan dan akuntabel oleh pemerintah desa/kelurahan. RPJM-Desa/Kelurahan telah membantu pemerintah desa/kelurahan untuk melaksanakan wewenang mereka dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat secara partisipatif, akuntabel dan transparan. Kepala desa/lurah tidak lagi menjadi penguasa tunggal dalam hal mengatur dan mengurus pembangunan desa/kelurahan. Tetapi melaksanakan mandat pembangunan yang telah didesain secara partisipatif oleh warga. Inilah wujud dari pembangunan yang demokratis yaitu pembangunan yang dipimpin warga. Sehingga pemerintah semakin responsif terhadap warganya. Dan sebaliknya, warganya semakin mendukung pemerintahnya sehingga menghasilkan pemerintah yang kuat dan berwibawa.

Pendidikan Masyarakat Meningkat


Program dari RPJM-Desa/Kelurahan untuk bidang pendidikan telah menghasilkan perubahan yang cukup signifikan pada sisi supply maupun demand. Pada sisi supply sebagai penyedia layanan yaitu Pemda, guru, dan lembaga pendidikan perubahan terjadi pada peningkatan pembangunan infrastruktur pendidikan, penyediaan dana dan tenaga guru, serta cakupan (coverage) dan pusat pelayanan publik pendidikan dasar yang berada di tengah atau semakin dekat dengan masyarakat. Pada sisi demand sebagai penerima layanan yaitu masyarakat perubahan terjadi pada cara pandang dan kesadaran masyarakat yang semakin baik tentang pendidikan. Kepala Desa Kamanggih mengatakan bahwa kalau dulu adat dan acara kematian diutamakan, tapi sekarang yang diutamakan adalah pendidikan untuk anak. Selain orang tua, anak-anak usia sekolah juga semakin antusias untuk bersekolah.

103

Studi RPJM-Desa

Ketika akses masyarakat terhadap pendidikan lebih mudah dan terjangkau, maka pendidikan bukan lagi barang langkah. Dari segi pembangunan infrastruktur pendidikan, hasil studi ini menemukan bahwa semua desa/kelurahan memiliki minimal satu Sekolah Dasar. Dan selama 3-4 tahun

104

Suara Warga Suara Pembangunan

terakhir, pembangunan rehabilitasi gedung atau penambahan gedung dan ruang kelas baru untuk SD, hampir terjadi di semua desa/kelurahan. Selain hanya memiliki SD, ada juga desa/kelurahan yang memiliki TK, SMP dan bahkan SMU, seperti Desa Praihambuli dan Kelurahan Kawangu. (Gambar di atas: SMA Negeri 1 Pandawai, Kelurahan Kawangu, program RPJM-Kel). Dari fakta-fakta ini, secara keseluruhan, masyarakat di 13 desa/kelurahan, terutama anak usia pendidikan dasar, memiliki akses yang lebih mudah dan terjangkau untuk mendapat pendidikan dasar tingkat SD. Namun akses ke pendidikan dasar SMP masih cukup sulit, terutama bagi anak-anak yang ada di desa Laimbonga, Kambata Bundung, Meurumba, Mauramba dan Ndapayami. Karena secara geografis, desa-desa tersebut masih jauh dari desa/kelurahan yang memiliki SMP seperti Kamanggih, Kataka dan Praihambuli. Apalagi sarana transportasi ke desa/kelurahan yang memiliki SMP cukup sulit. Informasi tentang jumlah sekolah, murid dan guru dapat dilihat pada Tabel 4.6 di bawah ini. (Gambar di samping, Guru Honor di SDI Nari, Matawai Katingga. Sudah 4 tahun ia mengajar sebagai guru honor). Hasil studi ini juga menemukan bahwa partisipasi sekolah pada pendidikan dasar meningkat secara cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah anak usia sekolah yang masuk sekolah. Misalnya, di SDM Mauramba, jumlah murid pada tahun 2009 yaitu 105 orang, dan tahun 2010 bertambah menjadi 118 orang. SD di Kambata Bundung, jumlah murid pada tahun 2009 115 orang, tahun 2010 bertambah menjadi 132 orang. Sementara, SDN Ndapayami, jumlah murid pada tahun 2009 sebanyak 87 orang, tahun 2010 bertambah menjadi 95 orang. Perubahan yang signifikan juga terjadi berkaitan dengan persentase kelulusan pada ujian akhir nasional. Misalnya, dalam dua

105

Studi RPJM-Desa

tahun terakhir, persentase kelulusan SDM Laimbonga mencapai 100%, dibandingkan sebelumnya hanya mencapai 60% 70%.
Tabel 4.6 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru Menurut Desa/ Kelurahan
Jenis Sekolah SD Masehi SD Pararel SD Negeri SD Negeri SD Swasta TK Swasta SMP Negeri SD Inpres SD Negeri SD Negeri SMP Negeri SD Masehi SD SD Jumlah
Sekolah Gedung Kelas

No

Desa/ Kelurahan Laimbonga

L -

# Murid P Total 65 36 41 133 104 55 85 96 302 223

# Guru 11

Ratio 10

2 3 4

Matawai Katingga Matawai Maringu Kamanggi

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2

2 2 2 2 2 2 2 3 6 3

6 8 3 6 6 6 3 7 12 11

49 55 169 119

3 8 9 15

28 12 25 14

Kotak Kawau

Kataka

169 49 101 169

133 58 64 133

302 107 165 302

8 7 12 13

37 15 14 23

7 8 9

Mauramba Meurumba Kambata Bundung

106

Suara Warga Suara Pembangunan


No Desa/ Kelurahan Praihambuli Jenis Sekolah TK Swasta SD Negeri SD Swasta SMP Negeri TK Negeri SD Negeri SMP Negeri SMA Negeri SD Negeri SD Negeri Jumlah
Sekolah Gedung Kelas

L 431 394 49 134

10

1 1 1 1 1 3 1 1 1 1

3 3

7 11

# Murid P Total 85 330 370 36 127 120 231 75 45 761 764 276 85 261

# Guru 5 8 18 10 6 44 34 19 6 13

Ratio 17 15 12 7,5 7,5 17 22 14,5 17 20

11

Kelurahan Kawangu

12 13

Ndapayami Kelurahan Maulumbi

Peningkatan pendidikan juga terjadi pada orang dewasa dengan adanya penurunan angka buta huruf di kalangan masyarakat dewasa.Tahun 2008, ada 117 orang orang dewasa di Desa Laimbonga dan Matawai Katingga yang bisa membaca huruf latin karena ada program pemberantasan buta huruf (kecakapan fungsional) dan paket A dari Dinas PPO (Pendidikan Luar Sekolah). Beberapa program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah terealisasi yang berkontribusi kepada peningkatan pendidikan masyarakat diuraikan berikut ini. Pembangunan infrastruktur pendidikan yang terealisasi selama ini mencakup rehabilitasi dan/atau pembangunan gedung sekolah baru, perumahan guru, penambahan bangku dan meja belajar dan penambahan fasilitas pendidikan lainnya (Lihat Tabel 4.7 di bawah).

107

Studi RPJM-Desa

Tabel 4.7
No 1

Realisasi Pembangunan Infrastruktur Pendidikan


Jenis Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Keterangan

Desa/ Kelurahan Laimbonga

Matawai Katingga

Meurumba

Kotak Kawau

Kamanggi

Pembangunan gedung baru (dua ruang) kelas SDM Laimbonga Pembangunan gedung (dua ruang kelas) SDN Matawai Katingga Pembangunan MCK dan lapangan bola voly Pembangunan kantor sekolah SD Inpres Lakombu dan SDK Lindi Pingu Sedang dalam proses pembangunan 4 unit mes (perumahan) guru Rehab 2 gedung sekolah, pembangunan 2 unit perumahan guru, 2 unit kantor sekolah dan WC Pembangunan lapangan bola voly, pengadaan bola dan net untuk masing-masing SD Negeri dan SD Inpres Pembangunan gedung SMP Negeri Pembangunan gedung baru (3 ruang kelas) bagi SDM Kamanggi Rehab 3 unit perumahan guru, penambahan bangku SDM Kamanggi dan pembangunan SD Pararel

Dinas PPO (Rp. 360.000.000), tahun 2007 Dinas PPO, tahun 2007 WVI, tahun 2007 Dinas PPO, tahun 2008 Dinas PPO, tahun 2010 sekarang Dinas PPO, tahun 2009

WVI, tahun 2009

Dinas PPO dan ADD, tahun 2007 Dinas PPO, tahun 2008 Dinas PPO, tahun 2009

108

Suara Warga Suara Pembangunan Desa/ Kelurahan Praihambuli Jenis Pembangunan Infrastruktur Pendidikan

No 6

Keterangan

Pembangunan 1 unit gedung SMP Negeri dan perumahan guru Pembangunan 1 unit gedung SDK dan SDN Uma Hapi

Dinas PPO, tahun 2008 Bantuan hibah dari Pemerintah Belanda, tahun 2009 Dinas PPO, tahun 2009 Dinas PPO, tahun 2008

Malumbi

Matawai Maringu

Rehab gedung sekolah dan pembangunan WC SDI Malumbi Pembangunan 1 unit gedung SD Inpres Matawai Maringu

Penambahan sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan melalui penyediaan insentif bagi guru honor terjadi di hampir semua desa/kelurahan yang memiliki guru honor. Misalnya, ada penambahan guru di SDN Matawai Katingga yaitu 1 guru PNS dan 2 orang guru honorer. Sesuai dengan kebijakan nasional, maka pemerintah daerah memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bagi semua sekolah di 13 desa/kelurahan. Juga, pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga kurang mampu dan berprestasi. Misalnya, pada tahun 2008 dan 2009, ada 40 anak di Desa Laimbonga yang mendapat beasiswa sebesar Rp. 14.800.000 dari Dinas PPO dan 45 anak di Kelurahan Malumbi mendapat beasiswa sebesar Rp. 19.000.000 dari P2KP. PNPM-GSC atau PNPM MP dan LSM seperti WVI mendukung program pendidikan yang ada dalam RPJM-Desa/ Kelurahan. Dukungan dari program atau lembaga tersebut berupa penyediaan makanan tambahan anak sekolah, pemberian pakaian seragam, sepatu, alat tulis menulis, alat

109

Studi RPJM-Desa

penerangan untuk belajar. Beberapa dukungan dari PNPM dan WVI yang berhasil dicatat selama studi ini dapat dilihat pada Tabel 4.8 di bawah ini.
Tabel 4.8
No. 1

Dukungan PNPM Untuk Pembangunan Infrastruktur Pendidikan


Jenis Dukungan PNPM/WVI Keterangan

Desa/ Kelurahan Laimbonga

Matawai Katingga

Pandawai

Kotak Kawau

Pakaian seragam, sepatu, alat tulis menulis dan pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) Biaya persiapan siswa baru ke SMP Pakaian seragam, sepatu, alat tulis menulis dan PMTAS Pakaian seragam, sepatu dan alat tulis menulis Pakaian seragam, sepatu dan alat tulis menulis Bantuan lantera alat penerangan bagi siswa berprestasi

120 anak SDM Laimbonga dan SD Pararel Marda Mbalar dan 24 murid SMP, tahun 2008 dan 2009 10 orang, Rp. 1.500.000,-, tahun 2008 99 murid SD dan 11 siswa SMP, tahun 2008 803 anak SD dan SMP, tahun 2008 200 anak di 2 SD, tahun 2008 72 anak dari WVI, tahun 2008

Kesehatan Masyarakat Membaik


Implementasi program kesehatan dari RPJM-Desa/ Kelurahan telah menujukkan perubahan yang impresif di

110

Suara Warga Suara Pembangunan

kalangan masyarakat di satu pihak, dan penyedia/penyelenggara pelayanan publik pada sektor kesehatan pada pihak lainnya. Pada masyarakat, terjadi perubahan pola perilaku terkait kesehatan seperti menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar, pembangunan rumah yang lebih sehat. Pembangunan rumah dengan memperhatikan pemisahan antara ruang tidur atau ruang keluarga dengan dapur. Membuat rumah berlantai (bukan rumah panggung) sehingga ada pemisahan antara kandang ternak dan tempat tinggal. Ternak, seperti kuda, kambing, babi dan ayam, tidak dipelihara di kolong

rumah. Walaupun, masih ada juga warga yang membuat rumah panggung dan mereka masih memelihara ternak di kolongnya. Kebiasaan masyarakat untuk berobat atau mendapat pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan daripada dukun kampung semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah kunjungan masyarakat ke Posyandu, Pustu, Polindes, dan Puskesmas terdekat. Di beberapa desa/

111

Studi RPJM-Desa

kelurahan yang ada tenaga medisnya, tingkat kematian bayi baru lahir menurun karena semakin banyak Ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga medis. Misalnya, selama tahun 2010, ada 10 ibu hamil di Desa Kamanggi yang melahirkan di Puskesmas. Desa Kataka, tahun 2009, ada 4, dan tahun 2010 ada 3 ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas. (Gambar di samping: Puskesmas Kataka di Desa Kamanggi program RPJM-Desa). Hal yang sama, juga di Desa Kambata Bundung, tahun 2009, ada 1 orang ibu hamil, dan tahun 2010, ada 2 ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas. Sementara di Desa Ndapayami, tahun 2009 ada 2 ibu hamil, dan tahun 2010 ada 2 ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas. Warga juga merasakan adanya peningkatan gizi bagi keluarga, terutama bagi ibu hamil dan menyusui, dan Balita karena ada penyediaan makanan tambahan oleh Dinas Kesehatan dan PNPM. Akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang cepat, terjangkau dan murah semakin baik. Karena fasilitas dan sarana kesehatan ada di tengah masyarakat. Biaya tinggi untuk kebutuhan kesehatan berkurang karena masyarakat tidak perlu harus selalu ke kota. Sehingga biaya transportasi menjadi lebih murah. Pasien yang mengalami penanganan khusus bisa dirawat di Puskesmas. Mereka tidak perlu harus dibawa ke rumah sakit di Kota Waingapu, kecuali kalau Puskesmas tidak mampu menanganinya. Akses masyarakat untuk mendapat air bersih juga lebih mudah karena terealisasinya program pipanisasi dan pembuatan sumur. Masyarakat memperolah supply air bersih yang memadai untuk masak, minum, mandi, cuci dan pengembangan tanaman sayuran (apotik hidup). Selain itu, penyakit kulit seperti kudis, koreng dan gatal-gatal berkurang secara cukup mencolok karena masyarakat lebih sering dan rajin membersihkan badan (mandi) dan mencuci pakaian.

112

Suara Warga Suara Pembangunan

Pelayanan kesehatan bagi masyarakat semakin efektif dan efisien. Pelayanan diberikan di tempat tinggal atau pemukiman penduduk dan diberikan oleh tenaga kesehatan (bidan desa, kader kesehatan, dan lain-lain) yang lebih handal dan profesional. Dinas kesehatan juga menyediakan pelayanan kesehatan keliling sebulan sekali terutama bagi desa yang di Pustu dan Polindesnya belum ada petugas kesehatan. Pemberian insentif bagi tenaga medis juga dapat meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Mereka semakin termotivasi untuk bekerja dan tinggal menetap di desa. Walaupun di beberapa desa masih ada bidan desa yang kurang betah tinggal di desa karena selalu datang ke kota.

Dari segi supply penyedia layanan, studi ini menemukan bahwa ketersediaan infrastruktur dan infrahuman kesehatan desa/kelurahan masih jauh api dari panggang (Lihat Tabel 4.9 di bawah). Jumlah dokter dan petugas kesehatan (bidan dan perawat) masih sangat terbatas. Pembangunan infrastruktur kesehatan berjalan lebih di depan ketimbang ketersediaan tenaga kesehatan. Pustu atau Polindes ada hampir di semua

113

Studi RPJM-Desa

desa/kelurahan. Namun sayangnya, ada bangunan Polindes atau Pustu menjadi mubazir karena tidak digunakan secara efektif karena ketiadaan petugas. Bangunannya ada, tetapi petugasnya tidak ada. Misalnya, Desa Laimbonga dan Kambata Bundung memiliki bangunan Polindes yang permanen. Tapi petugasnya belum ada. Bangunan kurang terawat dan penuh dengan kotoran ternak. Keterbatasan petugas kesehatan juga dapat dilihat dari belum terpenuhinya permintaan dari beberapa desa untuk penempatan tenaga medis (Bidan) di desa/kelurahannya. Kami masih sangat mengharapkan perhatian pemerintah untuk menempatkan bidan di Pustu kami sehingga kami bisa mendapat pelayanan kesehatan yang optimal dan cepat (Ibu Ketua PKK Desa Mauramba). Memang, Pemda Sumba Timur mengakui bahwa kekurangan tenaga kesehatan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi daerah hingga saat ini. (Gambar di atas: Polindes Kataka dan Bidan Desa yang bertugas, Desa Kataka.)
Tabel 4.9 Ketersedian Petugas dan Fasilitas Kesehatan Menurut Desa/Kelurahan
# Petugas Kesehatan Dok Bidan 1 1 1 1 4 1 Perawat Kader 8 12 10 20 18 15 10 Dukun 3 # Fasilitas Kesehatan Pustu 1 1 1 1 1 1 Posyandu 3 3 2 5 4 3 2 1 1 Polindes 1 Puskesmas 1 -

No

Desa/ Kelurahan Laimbonga Matawai Katingga Matawai Maringu Kamanggih Kotak Kawau Kataka Mauramba

1 2 3 4 5 6 7

1 -

114

Suara Warga Suara Pembangunan


No Desa/ Kelurahan Meurumba Kambata Bundung Praihambuli Kelurahan Kawangu Ndapayami Kelurahan Maulumbi # Petugas Kesehatan Dok Bidan 1 1 1 Perawat 6 Kader 8 13 23 Dukun # Fasilitas Kesehatan Pustu 1 1 Posyandu 2 2 3 5 Polindes 1 1 Puskesmas 1

8 9 10 11

12 13

1 2

9 -

2 4

1 1

Beberapa program dalam RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah terealisi sehingga berkontribusi kepada perubahan mencolok pada infrastruktur kesehatan desa/kelurahan, dipaparkan berikut ini. Pembangunan infrastruktur kesehatan desa/kelurahan: pembangunan ini mencakup pembangunan gedung baru, merehab gedung yang sudah rusak, pengadaan fasilitas atau sarana kesehatan. Beberapa pembangunan infrastruktur kesehatan yang telah terealisasi selama 3 4 tahun belakangan ini dapat dilihat pada Tabel 4.10 di bawah.
Tabel 4.10 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Kesehatan
No. 1 Desa/ Kelurahan Matawai Katingga Kambata Bundung Jenis Pembangunan Infrastruktur Keterangan

Pembangunan 1 unit Polindes Pembangunan 3 unit Polindes di 3 dusun

Dinas Kesehatan, tahun 2007 Dinas Kesehatan, tahun 2009

115

Studi RPJM-Desa

No. 3

Desa/ Kelurahan Malumbi

Jenis Pembangunan Infrastruktur

Keterangan

Penambahan gedung (ruang) Polindes

Kamanggih

Praihambuli

Penambahan ruang nginap di Puskesmas Pembangunan 2 unit Posyandu

Dinas Kesehatan dan PNPM MP (Rp. 121.000.000) Dinas Kesehatan, tahun 2009 PNPM MP (Rp. 240.000.000), tahun 2009

Pembangunan infrastruktur kesehatan lainnya adalah berupa penyediaan sarana air bersih seperti program pipanisasi di Desa Mauramba, Kambata Bundung, Matawai Katingga, Kotak Kawau dan pembuatan sumur gali di Desa Kamanggi, Mauramba, Kawangu, dan Praihambuli. Tahun 2008, Desa Kotak Kawau, mendapat bantuan dari CD Bethesda (LSM) berupa penampung air bersih dari fiber dan pembangunan WC bagi 30 KK. Tahun 2009, Kelurahan Malumbi mendapat dukungan dari PNPM MP (Rp. 25. 750.000) untuk pembangunan 5 unit MCK umum yang dimanfaatkan oleh 162 KK di kelurahan tersebut. Pemberian kelambu di Desa Kambata Bundung, Meurumba, Mauramba, Laimbonga, dan Kamanggih. Misalnya, Tahun 2009 246 KK di Desa Kambata Bundung mendapat bantuan kelambu dari Dinas Kesehatan. Pembangunan infrahuman kesehatan: mencakup penambahan sumber saya manusia, pengembangan kapasitas manusia, dan peningkatkan kesejahteraan petugas (Lihat Tabel 4.11 di bawah ini).

116

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.11 Realisasi Pembangunan Infrahuman Kesehatan


No. 1 Desa/ Kelurahan Kambata Bundung Mauramba Jenis Pembangunan Infrahuman Keterangan

Penempatan 1 orang bidan Penempatan 1 orang bidan Penyediaan insentif bagi kader Posyandu Pelatihan Kader Posyandu dan masyarakat, pola hidup sehat dan pencegahan dini dari penyakit (30 peserta) Penyediaan insentif bagi Kader Posyandu Bantuan PMT bagi 27 orang ibu hamil, 30 orang ibu menyusui, dan 97 Balita Bantuan PMT bagi 6 orang ibu hamil PMT bagi ibu hamil, ibu menyusui dan Balita PMT bagi 10 ibu hamil, dan 30 Balita

Kataka

Dinas Kesehatan, tahun 2009 Dinas Kesehatan, tahun 2008 Dinas Kesehatan, tahun 2008 Dinas Tenaga Kerja Provinsi NTT, tahun 2008

Meurumba

Matawai Katingga

Dinas Kesehatan, tahun 2008 PNPM GSC, tahun 2008

Ndapayami

Matawai Maringu Praihambuli

Dinas Kesehatan, 2008 PNPM GSC 2008 Dinas Kesehatan, tahun 2008

117

Studi RPJM-Desa

Dukungan pengadaan rumah sehat (layak huni) bagi warga dari kalangan ekonomi kurang mampu merupakan salah satu pencapaian impresif untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan bantuan rumah, maka rumah mereka lebih sehat. Dan, secara signifikan meningkatkan status kesejahteraan dan sosial mereka di masyarakat. Misalnya, tahun 2008, Desa Maramba membangun 8 unit rumah sehat bagi 8 KKM dari ADD. Tahun 2009, pengadaan material untuk pembuatan rumah sehat bagi 5 KKM (seng 50 lembar dan semen 20 sak) di Ndapayami. Sementara di Malumbi, tahun 2009, PNPM MP mendukung pembangunan 31 unit rumah sehat bagi 31 KKM. Dana untuk pembangunan 31 unit rumah tersebut sebesar Rp. 127.500.000. Di Desa Meurumba, sedang dibangun 20 unit rumah sehat bagi 20 KK miskin dari Dinas Pertambangan dan Energi.

Ekonomi Lokal kian Bergairah

Ekonomi lokal semakin bergairah. Pemasaran hasil panen berjalan lancar. Karena kami sudah memiliki pasar kelurahan yang dulu direncanakan dalam RPJM-Kel (Ketua PKK Kelurahan Kawangu). Ungkapan ini merupakan salah

118

Suara Warga Suara Pembangunan

bentuk perubahan yang dirasakan masyarakat setempat. Selama 3-4 tahun terakhir, perubahan yang impresif terjadi pada kehidupan ekonomi masyarakat desa/kelurahan. Menurut penuturan warga masyarakat, kehidupan ekonomi mereka semakin baik, ada peningkatan pendapatan rumah tangga yang kemudian berkontribusi kepada peningkatan taraf kesejahteraan hidup mereka. Misalnya di Kelurahan Malumbi, dari hasil usaha tanam sayur (pemanfaatan lahan kering), Mama Maria Bela mampu membangun rumah tembok (permanen), dan Mama Yuliana Hamu mampu membeli motor untuk memperlancar usahanya. Di Desa Kamanggi, UKM bertumbuh subur. Misal pembuatan batako dari tanah (Gambar di atas: kerajinan batako di Desa Kamanggi).Hal itu bisa terjadi karena mereka bekerja keras ditambah dengan dukungan yang semakin meningkat dari pemerintah, PNPM, LSM, dan juga pihak-pihak lainnya. Bantuan alat produksi ekonomi/pertanian (alat, bibit, pupuk dan modal usaha) berkontribusi kepada peningkatan produksi dan perluasan lahan garapan ekstensifikasi. Warga masyarakat merasakan bahwa rata-rata perluasan lahan garapan menjadi setengah hingga satu hektar lebih. Selain itu, mereka juga menerapkan sistem intensifikasi melalui diversifikasi penanaman tanaman. Dengan peningkatan alat produksi tersebut, maka hasil produksi pertanian mereka meningkat. Ketersediaan kebutuhan pangan semakin mencukupi. Rumah tangga memiliki kecukupan pa-ngan. Meski, semua petani mengeluh karena kekeringan yang berkepanjangan. Tahun 2010 ini, banyak petani yang mengalami gagal tanam dan gagal panen. Akibat kekeringan tersebut maka Kabupaten Sumba Timur menjadi salah satu kabupaten rawan pangan di Provinsi NTT. Bagi para kelompok usaha mikro desa/kelurahan, mereka merasakan adanya peningkatan omzet dan peng-

119

Studi RPJM-Desa

hasilan meningkat. Hal ini karena adanya peningkatan dan perluasan jenis usaha. Perluasan atau peningkatan volume barang yang dijual karena mendapat bantuan dari PNPM MP dan juga dari pemerintah. Dengan adanya Gapoktan dari Dinas Pertanian dan KSPP dari PNPM MP, maka masyarakat memiliki akses yang lebih mudah untuk mendapat pinjaman modal usaha. Bagi para petani peternak, mereka juga mengalami penambahan ternak seperti kuda, kerbau, sapi, kambing dan babi. Selama tahun 2007-2010, dari data FGD lapangan, tercatat 1.115 ternak besar (sapi, kerbau, kuda, kambing dan babi) yang dibelanjakan melalui ADD/ADK, APBD Kabupaten untuk 13 desa/ kelurahan (lihat Tabel 4.12 di bawah). Kambing merupakan ternak yang paling banyak dibelanjakan dan dipelihara oleh masyarakat (57 %), kemudian diikuti oleh sapi, babi, kuda dan kerbau. Orang memelihara Kambing karena lebih mudah pemeliharaannya, perkembangbiakannya cepat dan lebih cepat dijual. Dengan program pengadaan ternak, keluarga miskin pun memiliki ternak. Sehingga kepemilikan ternak di desa tidak hanya didominasi oleh kaum bangsawan dan kelas Maramba. Orang Sumba menggunakan ternak untuk transportasi (kuda), mengolah lahan pertanian (kerbau), acara adat perkawinan dan kematian, serta dijual.

120

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.12 Jumlah dan Jenis Pembelanjaan Ternak dari ADD/ADK dan APBD
Desa/ Kelurahan Laimbonga Matawai Katingga Maurumba Ndapayami Kawangu Kambata Bundung Kataka Kotak Kawau Matawai Maringu Kamanggi Praihambuli Malumbi Meurumba Total 281 13 83 100 655 10 10 20 30 41 72 40 108 10 100 123 5 27 78 60 Jenis dan Jumlah Ternak Sapi 6 5 27 60 8 8 Kerbau Kuda 8 Kambing 112 25 102 5 65 5 Babi 8 Total 134 30 145 70 65 10 10 125 95 41 220 10 200 1155

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Beberapa program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang sudah terealisasi dan berkontribusi kepada peningkatan kehidupan ekonomi desa/kelurahan adalah sebagai berikut: Pembangunan alat produksi ekonomi atau pertanian: penggadaan sarana produksi pertanian seperti: pengadaan motor air, handtracktor, pacul/cangkul, bibit, pupuk, alat semprot hama (handsprayer), mesin pengolahan jagung (mol jagung), dan lain sebagainya. Informasi lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.13 di bawah ini.

121

Studi RPJM-Desa

Tabel 4.13 Realisasi Pengadaan Alat Produksi Pertanian/ Ekonomi


No. 1 Desa/ Kelurahan Kawangu Jenis Alat Produksi Keterangan

Pengadaan 90 unit pacul/cangkul bagi Pengadaan benang tenun bagi 186 KK dan pukat tembang 1 inchi bagi 5 KK

Mauramba

Kotak Kawau

Pengadaan 1 unit mesin mol jagung, bagi 127 KK Pengadaan bawang merah 170 kg Pengadaan 1 unit handtracktor untuk 168 KK Pengadaan 2 unit motor pompa air untuk 199 KK Pengadaan 2 unit handsprayer untuk 10 KK Pengadaan handsprayer untuk 40 KK, 300 buat sabit bagi 100 KK, alat rumah tangga dan bibit padi bagi 12 KK Pengadaan bibit kacang bagi 100 KK Bantuan anakan kopi, jambu mente, jati, sukun, mahoni, kalengkeng dan mangga bagi 100 KK Bantuan bibit jagung 950 kg bagi 100 KK

Dari ADK (Rp. 4.500.00), tahun 2009 Dari ADK (Rp. 12.090.000 untuk tenun, dan Rp. 3.275.000), tahun 2008 Dari PIDRA, tahun 2008 Dinas Pertanian, tahun 2009 Dari ADD (Rp. 24.000.000), tahun 2008 Dari ADD, tahun 2008 Dari ADD, tahun 2008 Dari WVI, tahun 2008 dan 2009

Dari Dinas Pertanian, tahun 2009 Dari Dinas Kehutanan dan WVI tahun 2008 dan 2009 Dari Dinas Pertanian, tahun 2009

122

Suara Warga Suara Pembangunan


Desa/ Kelurahan Matawai Maringu

No. 4

Jenis Alat Produksi

Keterangan

Malumbi

Ndapayami

7 8

Kambata Bundung Meurumba

Pengadaan 2 unit handtracktor dan gandengan untuk 155 KK Pengadaan 2 unit handtracktor untuk 154 KK Pengadaan 2 unit tracktor, untuk semua masyarakat Malumbi Bantuan bibit sayuran dan pupuk bagi 200 KK Bantuan modal usaha bagi 8 kelompok (78 orang) Simpan Pinjam Perempuan Pengadaan 915 kg bibit jagung hibrida Pengadaan anakan mahoni, gamelina dan kemiri (luas areal 25 hektare) Pemberian bantuan modal usaha kelompok perempuan (SPP) Pengadaan 1.645 kg kacang kedelai Pengadaan alat pertanian, benih padi unggul, bibit sayur, jahe merah, bawang merah dan putih, bagi 256 KK

Dari ADD (Rp. 45.000.000), tahun 2007 Dari ADD, 2008

Dari ADK (Rp. 22.500.000)

Dari Dinas Pertanian, tahun 2009 Dari PNPM MP (Rp. 76.310.200), tahun 2009 Dinas Pertanian, tahun 2009 Dinas Kehutanan

Dari PNPM (Rp. 24.000.000), tahun 2009 Dinas Pertanian, tahun 2009 Dari ADD, tahun 2009

123

Studi RPJM-Desa

No. 9

Desa/ Kelurahan Kamanggi

Jenis Alat Produksi

Keterangan

10

Praihambuli

11

Kawangu

Pengadaan bibit jahe, kacang merah, kacang kedelai dan kacang hijau Bantuan bibit jagung dan padi untuk 50 KK Bantuan bibit jagung untuk 20 KK Bantuan penambahan modal usaha bagi 1 kelompok UBSP perempuan (12 orang) dan pemuda (20 orang) Bantuan 1.000 benih ikan nila bagi satu kelompok (20 orang), Bantuan penguatan usaha kelompok (7 orang) Pengadaan pupuk NPK bagi 65 KK Pemberian modal usaha kepada 2 kelompok UBSP (20 orang) Pengadaan pupuk dan obat-obatan

Dari Dinas Pertanian, 2009

Dari Dinas Pertanian, tahun 2008 Dari Dinas Pertanian, tahun 2009 Dari BPM (Rp. 6.000.000), tahun 2008

12

Matawai Katingga

Dinas Perikanan dan Kelautan, tahun 2008 Dari Kementerian Daerah Tertinggal (Rp. 10.000.000), tahun 2008 Dari ADK (Rp. 6.541.000), tahun 2009 Dari ADD (Rp. 3.000.000), tahun 2007 Dari Dinas Pertanian, 2009

13

Kataka

Selain program-program yang telah disebutkan di atas, penyediaan ternak bagi masyarakat merupakan program unggulan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi desa/ kelurahan. Realisasi pengadaan ternak dapat dilihat pada Tabel 4.14 di bawah ini.

124

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.14 Realisasi Pengadaan Ternak


No. 1 Desa/ Kelurahan Laimbonga Jenis dan Jumlah Ternak Keterangan

Pengadaan 8 ekor kuda untuk 88 KK Pengadaan 112 ekor kambing untuk 36 KK Pengadaan 6 ekor sapi bagi 6 KK Pengadaan 25 ekor kambing bagi 5 KK Pengadaan 8 ekor anak babi bagi 8 orang perempuan dan 5 ekor sapi paron untuk 5 KK miskin Pengadaan 102 ekor kambing untuk 102 KKM. Pengadaan 8 ekor kerbau bagi 8 KKM, 8 ekor kuda bagi 8 KKM dan 27 ekor sapi paron bagi 27 KKM. Pengadaan 60 ekor sapi untuk 15 KK Pengadaan 5 ekor babi untuk 1 kelompok dan 5 ekor kambing Pengadaan 65 ekor ternak kambing untuk 65 KK Pengadaan 10 ekor sapi untuk 10 KK Pengadaan 10 ekor sapi untuk 10 KK

Matawai Katingga

Dari ADD (Rp. 12.800.000), tahun 2007 Dari BPM (Rp. 35.000.000), tahun 2008 Dari ADD, tahun 2007 Dari ADD (Rp. 6.250.000), tahun 2008 Dari ADD (Rp. 14.500.000), tahun 2009

Mauramba

Dari PIDRA dan P3DM, tahun 2008 Dari ADD dan PIDRA tahun 2009

Ndapayami

Dari Dinas Peternakan, tahun 2009 Dari BP4K, tahun 2009 Dari ADK (Rp. 26.000.000), tahun 2009 Dari Dinas Peternakan, tahun 2009 Dari ADD, tahun 2009

Kawangu

Kambata Bundung Kataka

125

Studi RPJM-Desa
Desa/ Kelurahan Kotak Kawau

No. 8

Jenis dan Jumlah Ternak

Keterangan

Matawai Maringu

10

Kamanggi

11

Praihambuli

Pengadaan 78 ekor kambing bagi 26 KK dan 27 ekor kuda untuk 27 KK Pengadaan 13 ekor sapi untuk 13 KK Pengadaan 7 ekor sapi untuk 7 KK Pengadaan 30 ekor sapi bagi 10 KKM. Pengadaan 60 ekor kambing bagi 15 KK dan 5 ekor kerbau bagi 5 KKM. Pengadaan 12 ekor sapi untuk 12 KK Pengadaan 10 ekor sapi untuk 10 KK, dan sapi 19 ekor untuk 19 KK Pengadaan 6 ekor kuda untuk 6 KK dan 40 ekor kambing untuk 20 KK Pengadaan 14 ekor ternak kuda bagi 14 KK dari ADD (Rp. 42.000.000), Pengadaan 40 ekor sapi untuk 40KK dan pengadaan 68 ekor ternak kambing untuk 20 KK Pengadaan 32 ekor sapi untuk 32 KK Pengadaan 10 ekor babi bagi 10 KK

Dari P3MD (Rp. 60.000.000), tahun 2007 Dari ADD (Rp. 32.500.000), tahun 2007 Dari ADD (Rp. 21.000.000), tahun 2008 Dari Dinas Peternakan, tahun 2007 Dari Dinas Peternakan, tahun 2008 Dari P3DM, tahun 2006 Dari P3DM, 2007 dan ADD tahun 2007 Dari ADD (Rp. 17.000.000), tahun 2008 Dari ADD (Rp. 42.000.000), tahun 2009 Dari Dinas Sosial (Rp. 114.000.000), tahun 2009 Dari Departemen pertanian Pusat, tahun 2010

12

Malumbi

Dari ADK (Rp. 5.000.000), tahun 2009

126

Suara Warga Suara Pembangunan


Desa/ Kelurahan Meurumba

No. 13

Jenis dan Jumlah Ternak

Keterangan

Pengadaan 100 ekor ternak kambing dan 100 ekor babi untuk 100 KK

Dari ADD, tahun 2009

Program RPJM-Desa/Kelurahan lain yang telah terealisasi adalah program pengadaan lumbung pangan (padi dan jagung) bagi 5 kelompok (ada 150 KK) di Malumbi dari Bimas Sumba Timur. Dana untuk program ini sebesar Rp. 150.000.000. Program ini memberi jaminan ketahanan pangan masyarakat akibat kekeringan tahun 2010 yang mengakibatkan gagal tanam dan gagal panen. (Gambar di samping: Kambing dari ADD di Desa Kotak Kawau).

Pembangunan Infrastruktur masih sebagai Ikon Pembangunan Lokal

Dari hasil studi ini memperlihatkan bahwa perubahan yang impresif terjadi pada pembangunan infrastruktur desa/ kelurahan. Memang, selama 3-4 tahun berjalan, perubahan lebih banyak terjadi pada pembangunan sarana prasarana fisik desa/kelurahan ketimbang infrahuman. Sehingga, tidak

127

Studi RPJM-Desa

bisa dipungkiri bahwa pembangunan desa/kelurahan lebih berfokus pada pembangunan dan perubahan infrastruktur, sehinga seolah-olah pembangunan desa itu hanya sekedar pembangunan fisik. Gambar di samping: Bak Air Minum, dari ADD, Desa Matawai Katingga). Beberapa program dari RPJM-Desa/Kelurahan yang telah terealisasi dan berkontribusi kepada pencapaian pembangunan infrastruktur desa/kelurahan diuraikan berikut ini. Pembangunan infrastuktur air untuk kebutuhan manusia, ternak, tanaman dan makhluk hidup lainnya. RPJM-Desa/Kelurahan membuat warga bisa mengkonsumsi air yang lebih layak dan sehat. Dengan adanya RPJMDesa maka pembangunan desa semakin meningkat dan berdampak pada masyarakat. Contohnya, dengan adanya pembangunan jaringan air bersih, masyarakat bisa mandi, cuci, masak, minum, dan lain-lain. Sebelumnya, masyarakat mandi di danau yang juga tempat mandi dan minum kerbau, sapi, kuda (Ungkapan pada FGD di Desa Praihambuli).

128

Suara Warga Suara Pembangunan

Realisasi pembangunan infrastruktur air seperti Cekdam, embung, saluran irigasi, pipanisasi dan tangki plastik penampung air. Pembangunan fasilitas air memberikan supply air yang cukup memadai untuk kebutuhan rumah tangga, irigasi, ternak, tanaman hortikultura, tanaman umur panjang dan lain-lain. Para petani merasakan ada peningkatan hasil produksi pertanian seperti padi, jagung, sayur-sayuran karena ketersediaan air yang mencukupi. (Gambar di atas: Persawahan di Desa Kataka. Pembuatan embung untuk irigasi dari ADD). Realisasi program infrastruktur dalam RPJMDesa/Kelurahan dapat dilihat pada Tabel 4.15 di bawah ini.
Tabel 4.15 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Air
No. 1 Desa/ Kelurahan Matawai Katingga Ndapayami Pembangunan Infrastruktur Air Pembangunan jaringan perpipaan (paralon) bagi 36 KK Rehabilitasi saluran irigasi (16 meter) Keterangan Dari ADD (Rp. 6.000.000), tahun 2008 Dari ADD, tahun 2009

129

Studi RPJM-Desa Desa/ Kelurahan Kawangu Pembangunan Infrastruktur Air

No. 3

Keterangan

Kamanggi

Pembangunan saluran irigasi untuk 73 KK Pengadaan mesin Pompa Air dan perlengakapan untuk mengairi lahan pertanian (kebun dan sawah), untuk 37 KK, Pembuatan sumur bor 1 unit dan jaringan perpipahan bagi 56 KK Pembangunan irigasi desa Perluasan jaringan perpipaan, pembuatan bak Penampung Air Hujan, irigasi dan cek dam, pengadaan sumur pompa, pemeliharaan mesin pompa air, pengamanan mata air dan jaringan perpipaan Pembuatan 2 unit bak Penampung Air Hujan (PAH) dan perpipahan Pembangunan embung untuk irigasi oleh dan selokan air 600 meter untuk irigasi.

Dari ADK (Rp. 49.472.000), tahun 2008 Dari ADK (Rp. 3.677.000), tahun 2008

Dari Pemerintah Provinsi NTT, tahun 2009 Dari ADD, tahun 2009 Dari ADD, tahun 2009 dan 2010

Mauramba

Dari PIDRA, tahun 2008

Kataka

Dari Dinas Peternakan dan PU, tahun 2009

130

Suara Warga Suara Pembangunan Desa/ Kelurahan Praihambuli Pembangunan Infrastruktur Air

No. 7

Keterangan

Malumbi

Pembuatan 10 sumur gali untuk 150 KK, Pembuatan perpipaan, pembuatan bak penampung dan pengadaan mesin pompa air bagi semua warga desa dan desa tetangga (Tanatuku dan Makamenggit). Pembangunan saluran irigasi tersier di Kapua Ratu, untuk pengairan sawah, dimanfaatkan oleh 67 KK Pembuatan jaringan perpipaan untuk menyuplai air bersih bagi 387 KK (1833 jiwa)

Dari PPKDBPM (Rp. 18.000.000), tahun 2008 Dari Kimpraswil, tahun 2009

Dari PNPM MP (Rp. 246.000.000), tahun 2009

Dari PDAM, tahun 2009

Pembangunan infrastruktur penerangan (listrik masuk desa). Realisasi pembangunan penerangan ini termasuk perluasan jaringan listrik, pengadaan Genset, pengadaan listrik tenaga surya, dan PLTA. Pembangunan penerangan di desa/kelurahan berkontribusi kepada peningkatan hasil usaha produktif warga. Karena Ibu-Ibu bisa melakukan pekerjaan menenun dan menganyam pada malam hari. Anak-anak sekolah lebih siap untuk mengikuti pelajaran di sekolah karena mereka bisa belajar dan mengerjakan pekerjaan dari sekolahnya di rumah. Masyarakat juga bisa

131

Studi RPJM-Desa

mengakses informasi lewat berita televisi, radio dan hand phone. (Gambar di bawah: listrik masuk rumah orang miskin di Kawangu. Dari ADK). Bahkan, ada temuan yang tak terduga tapi sangat menarik, yaitu penerangan bisa menekan angka kelahiran penduduk di desa. Karena, menurut penuturan warga, jika ada penerangan di malam hari maka suami atau isteri bisa mengerjakan aktivitas lainnya seperti menganyam dan menenun, sehingga intensitas berhubungan badan berkurang. Realisasi pembangunan infrastruktur penerangan dapat dilihat pada Tabel 4.16 di bawah ini.

Tabel 4.16 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Penerangan


No. 1 Desa/ Kelurahan Laimbonga
Jenis Infrastruktur Penerangan Keterangan

Pengadaan 1 unit Genset (mesin listrik) untuk 22 KK, Pengadaan 1 unit Genset 1500 watt untuk masyarakat

Dari Distamben, tahun 2008 Dari ADD (Rp. 4.000.000), tahun 2009

132

Suara Warga Suara Pembangunan Desa/ Kelurahan Kawangu

No. 2

Jenis Infrastruktur Penerangan

Keterangan

Kotak Kawau Kamanggi

Malumbi

Pengadaan 1 unit Genset kepada 87 KK Pengadaan 3 unit Genzet untuk 99 KK Pengadaan 3 unit Genset untuk 116 KK dan SD Inpres Perluasan jaringan listrik bagi semua masyarakat Pengadaan 1 unit Genset bagi 37 KK Pembangunan PLTA untuk semu masyarakat

Dari Distamben, tahun 2008 Dari PNPM GSC, tahun 2010

Dari Distamben, tahun 2008 Dari PLN Kabupaten, tahun 2008-2009 Dari Distamben, tahun 2008 Dari PLN Kabupaten Sumba Timur dan PT dari Jakarta, 2009 sekarang (penandatanganan MoU dan survey lapangan sudah dilakukan).

133

Studi RPJM-Desa

Infrastruktur jalan desa/kelurahan. Pembangunan infrastruktur ini mencakup pembuatan jalan baru, peningkatan kualitas jalan (penambahan luas badan jalan atau kualitasnya). Perubahan yang dirasakan masyarakat adalah membuka keterisolasian desa sehingga mobilitas atau pergerakan warga ke luar kampungnya lebih mudah, desa lebih terbuka dalam berinteraksi dengan lingkungan atau dunia sekitarnya. Anak-anak sekolah lebih mudah dan cepat ke sekolah sehingga mereka tiba tepat waktu di sekolah. Kegiatan ekonomi desa/kelurahan pun semakin bergairah karena masyarakat lebih mudah mendistribusikan atau memasarkan hasil buminya, seperti komoditi pertanian, peternakan dan kerajinan masyarakat. (Gambar di atas: pembuatan jembatan di Desa Ndapayami. Bantuan PNPM MP). Temuan menarik dari studi ini adalah ketersediaan sarana jalan yang baik dapat mengurangi angka kematian ibu hamil, ibu melahirkan, bayi baru lahir dan keluarga yang menderita sakit berat. Karena pasien atau orang sakit lebih cepat dibawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapat pertolongan pertama dari tenaga kesehatan. Akibat adanya RPJM Desa pembangunan desa semakin meningkat, salah satunya jalan desa diaspal 1 km dan pengerasan atau pemberian sirtu 2 km. Dampaknya arus transportasi masuk dan keluar desa kami meningkat, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Masyarakat dapat memasarkan ke luar desa dengan lebih lancar hasil usaha tani dan ternaknya. Angka kematian ibu melahirkan yang sebelumnya berkisar antara 1-2 orang per tahun menjadi tidak ada. Sebelumnya, kematian ibu melahirkan paling sering terjadi pada saat musim hujan karena tidak ada kendaraan yang masuk Desa Laimbonga akibat jalan rusak dan medannya sangat berat. Sehingga ibu-ibu yang hendak melahirkan dan butuh pertolongan medis di puskesmas Desa

134

Suara Warga Suara Pembangunan

Kamanggih tidak bisa tertolong, akhirnya meninggal. Karena itu, dalam RPJM-Desa, kami sepakat membuat pengaspalan jalan desa. Dan hasilnya sudah ada. Saat ini arus trasportasi sudah lancar, baik pada saat musim hujan maupun kemarau. Ibu melahirkan yang butuh pertolongan cepat dari tenaga medis bisa segera dibawa ke puskesmas Desa Kamanggi (Cerita menarik warga masyarakat pada saat FGD di Desa Laimbonga). (Gambar di atas: Jalan Desa Laimbonga. Program RPJM-Desa. Bantuan dari PNPM dan ADD).

135

Studi RPJM-Desa

Tabel 4.17 Realisasi Pembangunan Jalan Desa/Kelurahan


No. 1 Desa/ Kelurahan Laimbonga Jenis Pembangunan Jalan Keterangan

Mauramba

Pengaspalan 1 km, dan pengerasan 2 km Pembukaan jalan dusun

Dari PNPM MP, tahun 2009 Dari PIDRA dan swadaya masyarakat, tahun 2008 Dari ADD dan PNPM, 2009-2010

Ndapayami

Kawangu

Kambata Bundung

Peningkatan jalan desa (pengaspalan 1.78 km, dan pengerasan 2 km) Perluasan badan jalan di Hudubrung sepanjang 5 km, penerima manfaat 238 KK Pembuatan jalan usaha tani 1 km bagi 32 KK Peningkatan badan jalan sepanjang 8 km dan pembukaan badan jalan sepanjang 5 km

Dari Kimpraswil, tahun 2009 Dari Dinas Pertanian, tahun 2009

Dari Dinas PU, tahun 2009

136

Suara Warga Suara Pembangunan Desa/ Kelurahan Meurumba Jenis Pembangunan Jalan

No. 6

Keterangan

Kataka

Kamanggi

Praihambuli

Pembangunan jembatan La Kuta Program yang sedang berjalan, pembuatan jalan raya Watu Ngguling Umadjawa, pembuatan jembatan di Pala Kaju, Umadjawa, La Kombu dan Tana Bara, pembuatan deker di Karipi, Langira, Karuku, La Liang, Lola Kudu, Nara Pembukaan jalan raya katakaumbu rundi dan Kataka Matawai Katingga Peningkatan dan pembukaan jalan baru jalan dusun. Pembukaan jalan 2.8 km dari Haurami ke Hapi, mendapat manfaat 600 jiwa.

Dari Dinas PU, tahun 2009 Dari Dinas PU, tahun 2010

Dari Dinas PU, tahun 2009

Dari ADD, tahun 2010

Dari PNPM-MP (Rp. 114.000.000), tahun 2009

137

Studi RPJM-Desa

Pembangunan infrastruktur pemerintah desa/kelurahan. Realisasi pembangunan ini mencakup pembangunan kantor dan pengadaan fasilitas untuk memperlancar pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Warga masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan merasakan bahwa dengan terbangun dan tersedianya fasilitas pemerintah desa/ kelurahan yang lebih memadai maka pelayanan yang diberikan kepada masyarakat semakin optimal, pelayanan administrasi berjalan lebih lancar, masyarakat lebih mudah melakukan musyawarah desa, dan kemudahan untuk mengakses informasi pembangunan desa. (Gambar di atas: Kantor Kepala Desa Laimbonga. Dari Dana ADD).

Selama 3-4 tahun ini, hampir semua desa menaruh perhatian besar pada pembangunan infrastruktur pemerintahan, terutama pembangunan kantor dan pengadaan kendaraan bermotor untuk kepala desa. Sehingga hampir semua desa sudah memiliki kantor yang lebih layak dan memadai untuk penyelenggaraan pemerintahan. Realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah desa/kelurahan dapat dilihat padaTabel 4.18 di bawah ini.

138

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.18 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Pemerintah Desa


No. 1 Desa/ Kelurahan Laimbonga Jenis Pembangunan Infrastruktur Pemerintah Desa/ Kelurahan Keterangan

Pembangunan kantor desa Pengadaan motor dinas kepala desa Pengadaan meubeler kantor desa

Matawai Katingga

Pembangunan kantor desa Pengadaan 1 unit motor dinas bkepala desa Pengadaan mesin ketik Pengadaan I unit sepeda motor untuk desa dan 1 unit mesin ketik Penambahan 1 ruang kantor Desa dan pembuatan WC, yang mendapat manfaat 367 KK. Pembuatan jaringan air bersih ke kantor Desa. Pengadaan 1 unit motor dinas untuk kepala desa

3 4

Meurumba Mauramba

Dari ADD dan swadaya masyarakat, tahun 20082010 Dari ADD (Rp. 20.500.000), tahun 2008 Dari ADD (Rp. 4.000.000), tahun 2008 Dari ADD, tahun 2007 2010 Dari ADD (Rp. 21.000.000), tahun 2008 Dari ADD, tahun 2009 Dari ADD, tahun 2008 dan 2009 Dari ADD, tahun 2008

Kotak Kawau

Dari ADD, tahun 2008 Dari ADD (Rp. 20.500.000), tahun 2008

139

Studi RPJM-Desa Jenis Pembangunan Infrastruktur Pemerintah Desa/ Kelurahan

No. 6

Desa/ Kelurahan Kamanggi

Keterangan

Praihambuli

Rehab lantai kantor desa Pengadaan sarana dan prasarana kantor desa seperti lemari, meja, kursi desa Pengadaan motor dinas kepala desa

Dari ADD dan APBD Kabupaten, tahun 2007 Dari ADD, tahun 2010 Dari ADD (Rp. 22.000.000), tahun 2009

Pembangunan Pasar Inpres. Kelurahan Kamanggi berhasil membangun pasar inpres pada tahun 2009 sesuai dengan rencana dalam RPJM-Kelurahan mereka. Dalam pembangunan pasar tersebut, kelurahan mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ada sekitar 4.102 warga masyarakat setempat yang mendapat manfaat dari pasar ini. Masyarakat dapat memasarkan hasil-hasil buminya secara lancar, termasuk membelanjakan kebutuhankebutuhan rumah tangga. Masyarakat setempat tidak perlu

140

Suara Warga Suara Pembangunan

harus datang ke Kota Waingapu untuk memasarkan hasil bumi dan membelanjakan kebutuhan harian mereka. Pembangunan infrastruktur lainnya. Misalnya, pembangunan bronjong pelindung erosi di Kawangu tahun 2009 oleh Kimpraswil. Sehingga ada perlindungan daerah aliran sungai dan kawasan pemukiman penduduk (ada 96 KK) terlindungi dari ancaman banjir bandang. Pada tahun yang sama juga, Kelurahan Kawangu melakukan pembuatan selokan pembuangan sepanjang 1.5 km untuk mengurangi banjir pada musim hujan dan melindungi 155 KK dari ancaman banjir. Program ini juga didukung oleh Kimpraswil. Pembangunan gedung BPPP (Badan Pelayanan Penyuluhan Pertanian), sehingga infromasi dan teknologi, dan bantuan-bantuan lainnya lebih dekat, terjangkau dan cepat. Selain itu, di Ndapayami didirikan pusat pelayanan telekomunikasi dan informasi pedesaan oleh Telkomesel (Lihat gambar di samping).

Pembangunan Infrahuman mulai menjadi Fokus Pembangunan


Perhatian pembangunan desa/kelurahan tidak hanya berkaitan dengan pembangunan infrastruktur desa/kelurahan saja, tetapi juga mencakup pembangunan manusia dan budayanya. Perubahan yang terjadi selama 3-4 tahun terakhir di antaranya peningkatan kesadaran warga dan pemerintah desa/kelurahan untuk menjaga kelestarian identitas dan budaya lokal. Misalnya di Kamanggi pemerintah desa mendukung pengadaan sarana tari-tarian dan kerajinan tangan. Budaya gotong royong sebagai kapital sosial masyarakat desa tetap terpelihara. Masyarakat berswadaya untuk membangun gedung gereja di Kambata Bundung dan Kamanggi. Sehingga kebutuhan keagamaan dan spiritualitas warga masyarakat setempat dapat terpenuhi.

141

Studi RPJM-Desa

Desa/Kelurahan yang memberikan perhatian yang cukup besar untuk pengembangan kapasitas warga dan aparatnya adalah Malumbi dan Kamanggi. Misalnya, tahun 2009, Kelurahan Malumbi mengadakan beberapa pelatihan seperti pelatihan komputer bagi 10 orang, pelatihan menjahit bagi 5 orang, dan pelatihan meubeler (kerajinan bambu) bagi 10 orang. Pada tahun yang sama, Kelurahan Malumbi, juga menyelenggarakan pelatihan yang berkaitan dengan teknis pertanian seperti pembuatan pupuk bokashi, pestisida nabati, sambung pucuk, sekolah lapang dan pembuatan keripik pisang yang diikuti sekitar 50 orang warga masyarakat. Sementara di Desa Kamanggi, tahun 2008, mengadakan pelatihan penguatan kelembagaan desa (LPM, BPD dan pemerintah desa) dari Dinas Kehutanan. Pelatihan yang sama juga dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, pelatihan aparat desa dan kelembagaan di tingkat desa (berkaitan dengan Tupoksi). Selain itu, tahun 2009, Desa Kamanggi juga menyelenggarakan pelatihan kerajinan tangan atas kerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Di Ndapayami, desa memiliki kebijakan untuk memberikan bantuan bagi warga desa yang sudah lanjut usia (Lansia). Tahun 2009, ada 23 orang Lansia yangmendapat bantuan dari ADD. Sementara di Kelurahan Malumbi, P2KP memberikan bantuan sosial kepada 37 orang Lansia, dengan total dana sebesar Rp. 17.000.000,-. Secara keseluruhan, studi ini menemukan bahwa pembangunan manusia (investasi pada manusia) belum menjadi perhatian utama desa/kelurahan. Anggaran dari APB-Desa/ Kelurahan atau ADD/ADK lebih banyak dipakai untuk pembangunan infrastruktur desa ketimbang infrahuman. Pembangunan manusia nampaknya masih menjadi pelengkap pembangunan desa/kelurahan.

142

Suara Warga Suara Pembangunan

Desa/Kelurahan Goes Green dan Keamanan Lingkungan


Sumba Timur adalah kabupaten sabana dan kering, termasuk 13 desa/kelurahan yang menjadi lokasi studi ini. Pemerintah daerah kabupaten dan desa/kelurahan mempunyai perhatian yang besar untuk menghijaukan kabupaten padang sabana ini dan juga menjadi program prioritas dari RPJM-Desa/Kelurahan.

Beberapa pencapaian impresif selama 3-4 tahun ini di antaranya, pengadaan dan penanaman beberapa jenis tanaman umur panjang dan bernilai ekonomis tinggi seperti kopi, jambu mente, jati, gamalina, sukun, mahoni, kalengkeng, mangga, pinang di semua desa/kelurahan. Ini dilakukan untuk mencegah erosi, penangkapan dan penyerapan air, penyediaan kayu bakar dan bangunan rumah, buah-buahan, dan lain-lain. (Gambar di samping: Proyek Hutan Rakyat dari Dinas Kehutanan di Desa Kambata Bundung).Kesadaran masyarakat untuk menanam, meningkat secara signifikan.

143

Studi RPJM-Desa

Hal ini terlihat dari meningkatnya permintaan terhadap anakan tanaman umur panjang seperti mahoni, gamalina, jati, jambu mente, sukun, mangga, kalengkeng, dan kopi dan semakin meluasnya tanah yang ditanami tanaman umur panjang tersebut. Untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan membuka akses untuk mendapat pembibitan tanaman dan bantuan teknis, maka Pemda membangun Kebun Bibit Dinas di tengah masyarakat seperti di Desa Matawai Katingga. Pengelolaan fungsi lahan pun semakin baik. Masyarakat memisahkan lahan untuk padang gembala dan kebun rakyat dengan membangun pagar pemisah lahan kebun dan ternak. Hal ini membantu masyarakat untuk memastikan kejelasan status pemanfaatan lahan. Dengan adanya pagar, maka tanaman-tanaman penduduk bisa terlindungi. Dengan itu, hasil produksi pertanian mereka meningkat. Studi ini menemukan bahwa pembelanjaan pengadaan kawat berduri dari ADD/ADK cukup besar. Misalnya, Kelurahan Kawangu membelanjakan hampir lebih dari setengah anggaran ADK tahun 2008 untuk pengadaan kawat berduri. Realisasi pengadaan fasilitas untuk penghijauan dan keamanan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 4.19 di bawah ini. Pengaturan status kepemilikan tanah juga menjadi perhatian pemerintah desa. Di Kambata Bundung, dilakukannya pendataan tanah untuk memperkuat status kepemilikan masyarakat atas tanah.

144

Suara Warga Suara Pembangunan

Tabel 4.19 Realisasi Pengadaan Input untuk Penghijauan dan Keamanan Lingkungan
No. 1 Desa/ Kelurahan Kawangu Jenis Barang/Fasilitas Keterangan

Kambata Bundung Mauramba

Kotak Kawau

Matawai Maringu

Kamanggi

Pengadaan kawat berduri untuk 135 KK Penyediaan anakan mahoni 2.000 pohon untuk 400 KK Pengadaan 3.290 anakan jati dan mahoni Penyediaan mahoni 11.000 pohon, mangga 45 pohon, Lemon China 18 pohon Pengadaan kawat berduri 50 roll untuk 10 KK Pengadaan kawat berduri 160 rol bagi 155 KK (507) orang Pengadaan kawat berduri 36 roll Pengadaan 10.000 pohon anakan mahoni Pengadaan anakan mahoni, gamelina, sengon, jati, jambu mente, sukun, kakao, kopi arabika dan robusta, pembuatan hutan keluarga.

Dari ADK (Rp. 60.240.000), tahun 2008 Dari Dinas Kehutanan, tahun 2009 Dari Dinas Kehutanan, tahun 2009 Dari PIDRA dan Dinas Kehutanan, tahun 2009

Dari ADD, tahun 2007 Dari ADD (Rp. 9.600.000), tahun 2007 Dari Dinas Peternakan, tahun 2008 Dari Dinas Kehutanan, tahun 2008 Dinas Kehutanan, Perkebunan dan ADD, tahun 2009

145

Studi RPJM-Desa Desa/ Kelurahan Praihambuli

No. 7

Jenis Barang/Fasilitas

Keterangan

Pengadaan 1500 anakan mahoni bagi 100 KK Pengadaan 3000 anakan tanaman mahoni dan gamalina bagi 47 KK Hutan Rakyat 25 hektare untuk 25 KK

Dari ADD (rp. 1.500.000), tahun 2009 Dari Yayasan Sumba Sejahtera, tahun 2009 Dinas Kehutanan, 2009

Keadilan Sosial dan Jender menjadi Buah Bibir Masyarakat


Sumba memiliki budaya patriaki dan feodalisme yang masih cukup kuat mengakar. Stratifikasi sosial di Sumba Timur terdiri atas tiga yaitu Maramba (kaum bangsawan), Kabihu (kaum merdeka atau kelas menengah) dan Ata (kaum hamba). Masih banyak Maramba yang memiliki hamba. Di desa-desa di Sumba Timur, hingga saat ini fenomena penghambaan masih terjadi, meski sudah jauh berkurang. Adat di daerah ini memang masih kuat dan memungkinkan orang terpandang (Maramba) memiliki lebih dari satu budak atau mereka sebut hamba. Benar-benar hamba, karena yang dihambakan melakukan dengan sukarela. Dua kutub (tuan dan hamba) bekerjasama, hingga menyuburkan kebiasaan pengorbanan, yaitu pengorbanan diri rela mati demi tuannya. Dulu, seorang hamba merasa terhormat jika bisa masuk liang kubur bersama tuannya. Itu berarti, mereka akan minta dikubur hidup-hidup atau sengaja dilakukan ritual untuk memenggal kepala menemani sang tuan yang sudah pindah ke dunia lain. Sekarang, kebiasaan itu sudah jauh berkurang.

146

Suara Warga Suara Pembangunan

Sebagai ganti, mereka akan memotong kuda atau hewan lain. Menjadi perlambang menemani sang tuan. Dalam budaya patriaki, masih menganggap perempuan sebagai warga negara kelas dua. Tanggung jawab perempuan yang utama adalah hanya di wilayah domestik, sehingga lebih banyak perempuan yang tidak memahami tanggung jawab publiknya sebagai warga negara dan memilih untuk tidak ikut campur urusan negara dalam menentukan kebijakan publik. Dalam konteks kultur seperti ini, berbicara tentang keadilan sosial dan jender tidaklah semudah membalik telapak tangan. Namun demikian, air yang jatuh terus menerus dapat melubangi karang yang keras. Hal yang sama juga bisa terjadi jika keadilan sosial dan jender dibicarakan oleh publik tiada henti dan secara konsisten, bukan tidak mungkin, dia bisa bertumbuh subur dalam budaya feodalisme, tanpa harus melakukan revolusi budaya. Dalam 3-4 tahun belakangan ini, berbicara tentang jender sudah menjadi buah bibir orang-orang desa/kelurahan. Bahkan, tidak hanya berhenti pada berbicara saja, tetapi sudah ada pencapaian yang menggembirakan. Studi ini menemukan beberapa pencapaian impresif sebagaimana dipaparkan berikut ini. Partisipasi langsung kaum perempuan dan orang miskin (dari strata bawah Ata) dalam proses pem-bangunan meningkat. Perempuan dan orang miskin sering dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal desa/ kelurahan, seperti Musrenbang. mereka semakin berani dan percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya saat pertemuan, dan terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus untuk perempuan meningkat. Misalnya, Desa Ndapayami menyelenggarakan pela-tihan kepemimpinan perempuan. Adanya dukungan terhadap

147

Studi RPJM-Desa

kelompok-kelompok yang berbasis keang-gotaan perempuan seperti Usaha Bersama Simpan Pinjam, Simpan Pinjam Perempuan (program PNPM), dan kelompok tenun. Perempuan menduduki posisi strategis di pemerintahan dan organisasi akar rumput. Perhatian untuk perempuan tidak hanya terkait adanya alokasi dana untuk kegiatan perempuan, tetapi perempuan menduduki posisi strategis di masyarakat dan pembangunan. Misalnya, ada Fasilitator Desa (Fasdes) perempuan yang menjadi anggota DPRD Sumba Timur, perempuan menjabat sebagai kepala desa, sekretaris desa, anggota BPD, LPMD, Ketua RT, Ketua RW, dan pengurus kelompok. Pengakuan laki-laki terhadap keberadaan perempuan dan peran perempuan meningkat. Pada pertemuan di desa/ kelurahan, laki-laki menghargai dan mendengar suara

148

Suara Warga Suara Pembangunan

perempuan. Laki-laki memberi kesempatan atau mengizinkan perempuan untuk mengikuti pertemuan dan kegiatankegiatan di luar rumah. Pembagian peran untuk pekerjaan domestik atau urusan rumah tangga semakin seimbang. Laki-laki sudah mau mengerjakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh perempuan seperti menumbuk padi, mencuci, mengurus anak dan memasak. (Gambar di samping: seorang bapak sedang menumbuk padi, di Desa Matawai Katingga). Peranan perempuan dalam pembangunan desa semakin diakui oleh pemerintah desa/kelurahan.

Program RPJM-Desa/Kelurahan yang belum Terealisasi


Studi ini mencatat beberapa program dari RPJM-Desa/ Kelurahan yang belum terealisasi atau belum dilaksanakan. Secara umum, desa/kelurahan mengalami keterbatasan pembiayaan dan juga kapasitas SDM dalam mengeksekusi semua program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Manakala PADDesa masih kecil bahkan tidak ada, maka ketergantungan desa/kelurahan terhadap kabupaten dan PNPM untuk membiayai pelaksanaan program RPJM-Desa/Kelurahan yang tersisa, masih tinggi. Walaupun tersandung keterbatasan dana dan SDM, segenap warga dan pemerintah desa/kelurahan tetap berkomitmen dan bekerja keras untuk mengimplementasikan program-program yang tersisa. Program yang belum terealisasi dapat dilihat pada Tabel 4.20 di bawah ini.

149

Studi RPJM-Desa

Tabel 4.20 Program RPJM-Desa/Kelurahan yang belum Terealisasi


No. 1 Desa/Kelurahan Laimbonga Program/Kegiatan Belum Terealisasi Peningkatan kualitas badan jalan antara desa (Laimbonga-Matawai Katingga, Laimbonga Kamanggi, Laimbonga-Maubokul. Pembangunan jaringan air bersih/perpipahan dan irigasi di Kabanda serta pembangunan jembatan yang menghubungkan LaimbongaKamanggih. Pembangunan mes guru. Pembuatan irigasi kecil di Galu, pengadaan handtracktor Pembangunan rumah Posyandu, pengadaan genset, penambahan tenaga bidan. Pembangunan Polindes Pembangunan 50 unit rumah layak huni Rehabilitasi 3 unit mess guru Peningkatan jalan dusun 13 km Pembuatan jembatan penyebrangan ke SD Pelatihan kepemimpinan perempuan Pembangunan rumah Posyandu Sertifikasi Lahan Masyarakat Pembangunan aula Puskesmas Kawangu Pengadaan Genzet untuk RT 01, 06 dan 07 Pemasangan gorong-gorong sumur Pembangunan rumah layak huni Pembangunan kantor desa Rehab gedung ibadah 4 unit Pembangunan SMP Pengadaan Genset Pengadaan ternak kerbau 50 ekor Pengembangan budidaya ikan tawar Penempatan 1 orang tenaga Petugas Penyuluh Lapangan Pembangunan 15 unit rumah layak huni Pembukaan jalan raya desa Rehabilitasi Pustu Penempatan tenaga kesehatan (bidan desa) Pengadaan laptop untuk desa Pengadaan Genset dan motor air Pengadaan itik, babi, kambing dan sapi Pembuatan perpipipahan 500 meter Pengadaan kawat berduri

Matawai Katingga

Ndapayami

Kawangu

Kambata Bundung

Mauramba

150

Suara Warga Suara Pembangunan

No. 7

Desa/Kelurahan Kataka

Program/Kegiatan Belum Terealisasi Pembangunan rumah layak huni 50 unit Pengadaan ternak sapi 10 ekor Pengadaan bibit: padi 1200 kg, jagung hibrida 2300 kg, kelapa hibrida 1500 pohon, Mahoni 4000 pohon, Pengadaan kawat berduri 500 roll Rumah adat 1 unit Mes Guru SD Kataka 2 unit dan SMP Kataka 2 unit Penambahan tenaga guru SD Kataka dan SMP Kataka Pembangunan rumah Posyandu 3 unit, pembuatan sumur bor Pengaspalan jalan 6 km dan peningkatan badan jalan 6 km Pengadaan Genset 1 unit Pelatihan kader posyandu, pelatihan menjahit, pelatihan Tupoksi bagi aparat pemerintah desa Pengadaan handtracktor 2 unit Pengadaan pompa air 2 unit Pengadaan komputer 1 unit Pembangunan perlindungan (emper) Polindes Pembuatan selokan air Penempatan tenaga medis untuk Pustu. Pengaspalan jalan desa Pembangunan rumah layak huni Penambahan 1 Gedung SD Pararel di Dusun Matawai Waki Pengadaan sarana tari-taraian budaya Pembangunan tanggul penahan longsor di Bunduwai Pembukaan badan jalan dan peningkatan badan jalan: tana lingu bunduwai, pinduluri bunduwai Pembangunan perluasan jaringan listrik Makamenggit Kahiri Pembangunan embung di Tana Lingu Pembangunan Gedung SMK

Kotak Kawau

Matawai Maringu

10 11

Kamanggi Praihambuli

151

Studi RPJM-Desa

No. 12

Desa/Kelurahan Malumbi

Program/Kegiatan Belum Terealisasi Pembangunan PLTS dan penerangan jalan Pembuatan pagar kelurahan Pembuatan Peraturan Kelurahan tentang waktu penyimpanan mayat, batas pemotongan hewan untuk adat, miras dan judi Penambahan tenaga medis untuk polindes, pembangunan Posyandu dan pengadaan alat operasional (PMT) Pengembanagn PAUD Pembuatan Bak Sampah Pengembangan wisata bendungan irigasi Pengadaan kerambah pembenihan ikan Pelatihan Tenun Ikat Pembangunan Posyandu 4 unit Pembuatan rumah layak huni 20 unit Pembuatan perumahan guru 4 unit

13

Meurumba

Pemanfaatan Peta Sosial


Salah satu instrumen atau alat kajian penyusunan RPJMDesa/Kelurahan adalah pemetaan sosial dan ruang sumber daya. Produk dari pemetaan ini adalah Peta Sosial. Peta ini memberikan informasi kunci yang berkaitan dengan sebaran penduduk berdasarkan tingkat kesejahteraannya. Potensi sumberdaya alam dan permasalahannya. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sarana umum serta akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap pemanfaatan sarana umum tersebut. Semua desa/kelurahan memiliki peta sosial. Dalam studi ini, ditemukan masih ada desa/kelurahan yang menyimpan dengan baik peta sosial tersebut. Namun, ada juga yang sudah hilang. Studi ini memperlihatkan bahwa warga dan pemerintah desa/kelurahan menggunakan peta sosial untuk pembangunan desa/kelurahan. Beberapa cerita sukses tentang pemanfaatan peta sosial di antaranya:

152

Suara Warga Suara Pembangunan

Pertama, peta sosial dipakai sebagai acuan-data dasar untuk menyusun program pembangunan sehingga program lebih tepat target sasarannya (tepat siapa yang menerima), terarah (sesuai kebijakan desa/kelurahan untuk mengurangi kemiskinan dalam RPJM-Desa/Keluarahan) dan berfokus (menjadi pusat perhatian dan kepedulian utama pembangunan). Kedua, mengetahui ketersebaran klasifikasi kesejahteraan masyarakat: targeting individu (berdasarkan nama, alamat, rumah tangga dan jenis kelamin). Sehingga memudahkan pemerintah desa/kelurahan mengetahui daerah atau kantong-kantong kosentrasi orang miskin-menengah-kaya di daerah yuridiksinya. Ketiga, memantau-memonitoring: pergerakan/mobilitas vertikal kesejahteraan masyarakat dalam stratifikasi sosial: yaitu individu-individu atau rumah-rumah tangga mana saja yang naik atau turun kelas kesejahteraannya dalam struktur sosial hal ini berkontibrusi kepada perbaikan struktur kemiskinan desa/kelurahan. Keempat, alat/instrumen negosiasi warga dan pemerintah desa/kelurahan dengan pemerintahan supradesa/ kelurahan dalam membuat keputusan untuk men-goal-kan usulan-usulan program mereka yang masuk lewat mekanisme Musrenbang dan juga PNPM. Juga, alat negosiasi dengan program-program non-pemerintah yang masuk ke desa/ kelurahan seperti WVI, CD Bethesda, CCF, Yayasan Sumba Sejahtera, dan lain-lain. Kelima, membantu pemerintah desa/kelurahan dalam menyalurkan program-program bantuan sosial secara tepat seperti PKH, BLM, Dana BOS, Raskin, Jamkesmas dan Jamkesda, dan lain-lain. Sehingga dapat meminimalisir konflik akar rumput- baik horizontal (antar warga) maupun vertikal (warga dengan aparat pemerintah desa/kelurahan)

153

Studi RPJM-Desa

akibat penyaluran bantuan-bantuan yang tidak tepat sasaran atau penyalahgunaan wewenang kepala desa atau lurah. Namun, ada permintaan dari Desa Matawai Katingga untuk mengkaji lagi klasifikasi kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa masyarakat yang masuk kategori sedang sudah turun menjadi miskin karena panen kutu lack sudah tidak ada. Klasifikasi kesejahteraan desa harus dibuat ulang karena masyarakat yang masuk dalam kategori kesejahteraan sedang/menengah pada saat penyusunan RPJM-Desa dulu, sekarang mereka di kategori miskin. Kondisi sebelum dan saat penyusunan RPJM-Desa, masyarakat Matawai Katingga lagi hoki karena panen kutu lack dalam jumlah besar. Dari hasil penjualan kutu lack, masyarakat bisa membangun rumah layak huni, beli ternak besar, dan motor sehingga pada perhitungan kesejahteraan, mereka masuk pada kategori sedang/cukup. Sekarang tidak ada lagi panen kutu lack, karena ada hama. Akibatnya, banyak masyarakat yang menjual kembali ternak besar yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Dengan merevisi klasifikasi kesejahteraan, angka kemiskinan desa dapat dilihat kembali dan penyebaran rumah tangga miskin dalam peta sosial bisa lebih tepat dengan kondisi sekarang (ungkapan masyarakat pada saat FGD di Desa Matawai Katingga).

Faktor Penting di Balik Keberhasilan Implementasi RPJM-Desa/Kelurahan


Studi ini menemukan beberapa faktor penting yang berkontribusi kepada keberhasilan pemanfaatan RPJM-Desa/ Kelurahan oleh 13 desa/kelurahan selama ini. Beberapa faktor penting tersebut dipaparkan berikut ini. Regulasi: dasar hukum perencanaan pembangunan desa/kelurahan berpijak pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang

154

Suara Warga Suara Pembangunan

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah (Pasal 212). Dan beberapa peraturan sebagai penjabaran lebih lanjut dari UU ini, yaitu Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan PP No. 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. PP 72/2005 kemudian dijabarkan dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa dan Permendagri No. 37/2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Regulasi ini sangat otentik dan relevan dengan otonomi desa yang memberikan kewenangan kepada desa untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat. Tiga belas desa/kelurahan di Sumba Timur menjalankan kewenangan ini melalui penyusunan dan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Dengan ini, otonomi tidak hanya berhenti di kabupaten, tetapi mengalir terus hingga ke desa/ kelurahan, sehingga akhirnya menjadi otonomi milik rakyat atau otonomi kerakyatan. Kemauan politik Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur (Kabupaten dan Kecamatan). Bupati Sumba Timur memiliki kemauan dan komitmen politik yang kuat dalam mengakui dan mendukung proses penyusunan dan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Dalam berbagai forum, baik di kabupaten, provinsi maupun nasional, Bupati selalu menegaskan bahwa basis perencanaan kabupaten adalah RPJM-Desa. Oleh karena itu, Bupati selalu menghimbau kepada semua SKPD untuk mengakomodir dan mensinkronkan perencanaan SKPD dengan perencanaan dari desa/kelurahan. Sehingga sejak tahun 2007, dukungan SKPD-SKPD terhadap 13 desa/kelurahan, melalui program dan anggaran (terutama ADD/ADK Proporsional), semakin meningkat secara cukup mencolok. Dukungan yang sama juga diberikan oleh camat. Misalnya, Camat dari Kecamatan Kahaungu Eti sangat mendukung program ini, bahkan terlibat

155

Studi RPJM-Desa

secara langsung dalam proses penyusunan dan memonitor implementasi. Kemauan baik dan komitmen kuat dari Bupati juga dapat dilihat dari adanya anggaran melalui APBD untuk membiayai penyusunan RPJM-Desa/Kelurahan dan penunjukkan instansi BPM dan Bappeda bertanggungjawab dalam teknis pelaksanaannya. Bupati memiliki cita-cita bahwa pada tahun 2011, semua desa/kelurahan di Sumba Timur sudah memiliki dokumen RPJM-Desa/Kelurahan. Dan, ada gagasan untuk membuat Perda Pembangunan Partisipatif. Perda ini akan menjadi payung hukum di daerah untuk melegitimasi dukungan pemanfaatan RPJM-Desa/ Kelurahan dalam perencanaan kabupaten. Musrenbang Tahunan Mekanisme dan Ruang Perencanaan Penganggaran Partisipatif. Walaupun RPJM-Desa/ Kelurahan tidak hanya dipakai pada saat Musrenbang, tetapi mekanisme ini merupakan jembatan yang berpengaruh untuk mengakses program dan anggaran dari kabupaten, provinsi dan pusat. Banyak program dari RPJM-Desa/ Kelurahan yang terealisasi berkat diakses lewat mekanisme ini. Sehingga Musrenbang merupakan saluran advokasi yang tepat untuk memperjuangkan kepentingan atau aspirasi warga masyarakat kepada pemerintah supradesa/kelurahan (negara). Kemauan baik dan komitmen pemerintah desa/ kelurahan. Kepala Desa/Lurah secara konsisten menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan atau buku pintar pembangunan. Mereka tidak menggunakan acuan-acuan yang lain, atau kepentingan segelintir orang, selain merujuk pada RPJM-Desa/Kelurahan yang ada. ADD/ADK dikelola secara akuntabel untuk mendukung implementasi RPJMDesa/Kelurahan. Bahkan, ada beberapa kepala desa/lurah yang secara aktif melakukan promosi dan lobi kepada SKPD-

156

Suara Warga Suara Pembangunan

SKPD, PNPM dan LSM untuk mendukung pelaksanaan program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Partisipasi Langsung Warga Masyarakat. Faktor lain yang juga krusial adalah partisipasi langsung warga masyarakat, adanya rasa kepemilikan dan keswadayaan lokal dalam mengkawal dan mengimplementasikan program-program RPJM-Desa/Kelurahan. Mereka menyadari betul bahwa RPJMDesa/Kelurahan merupakan alat perjuangan atau amunisi untuk menggapai cita-cita mereka. Mereka mengetahui bahwa pemegang kunci keberhasilan pembangunan adalah mereka sendiri. Semua komponen masyarakat di desa/ kelurahan memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan harapan dan cita-cita mereka dalam RPJM-Desa/Kelurahan. Oleh karena itu, implementasi program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan tidak hanya menunggu bantuan dari pihak luar, seperti dari pemerintah kabupaten, PNPM atau pihak-pihak lainnya. Tetapi masyarakat juga memberikan kontribusi berupa swadaya lokal. Dukungan dari lembaga atau program lain. Keberhasilan pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan dalam pembangunan, juga tidak terlepas dari dukungan-dukungan yang diberikan oleh PNPM, PIDRA, ACCESS, AIP-MNH, dan LSM seperti WVI, CD Bethesda, Yasalti, YCM, Tananua, Yayasan Sumba Sejahtera, KOPPESDA, Pahadang Manjoru dan sebagainya. Lembaga-lembaga atau program-program ini mendukung pelaksanaan program dari RPJM-Desa/ Kelurahan. Mereka tidak membuat program yang sama sekali baru, tetapi mengkaji ulang beberapa hal penting untuk menyesuaikan dengan strategi program mereka.

157

Studi RPJM-Desa

Praktik Cerdas Advokasi RPJM-Desa/Kelurahan


Studi ini menemukan pola-pola atau praktik-praktik cerdas advokasi yang dilakukan oleh warga dan pemerintah desa/kelurahan dalam implementasi program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Secara umum, praktik-praktik yang digunakan di setiap desa atau kelurahan hampir sama polanya. Diantaranya: memanfaatkan mekanisme Musrenbang, mempromosikan RPJM-Desa/Kelurahan di luar mekanisme Musrenbang kepada para pihak seperti Pemda (SKPD-SKPD), DPRD, PNPM dan LSM. Mereka memberikan foto kopi dokumen RPJM-Desa/Kelurahan kepada para pihak tersebut. Mereka juga melakukan lobi, negosiasi, membuat proposal dan memanfaatakan hubungan kekerabatan. Pemerintah desa/kelurahan juga menggunakan peta sosial sebagai alat/instrumen negosiasi warga dan pemerintah desa/kelurahan dengan pemerintahan supradesa/ kelurahan dalam membuat keputusan untuk men-goalkan usulan-usulan program mereka yang masuk lewat mekanisme Musrenbang dan juga PNPM. Juga, alat negosiasi dengan program-program non-pemerintah yang masuk ke desa/kelurahan seperti WVI, CD Bethesda, dan lain-lain.

Pengawalan Partisipatif Warga dalam Implementasi RPJM-Desa/Kelurahan


Studi ini menemukan beberapa praktik cerdas warga dan pemerintah desa/kelurahan dalam memantau atau memastikan implementasi program-program dari RPJMDesa/Kelurahan secara tepat dan konsisten. Secara umum, momentum atau ruang pemantauan partisipatif warga selama ini yaitu pada saat pertanggungjawaban tahunan kepala desa, pertemuan enam bulanan perangkat desa/kelurahan,

158

Suara Warga Suara Pembangunan

pertemuan di tingkat dusun atau RT/RW, monitoring langsung di lapangan oleh warga, dan lain-lain. Meski, dari segi konsistensi dan intensitas, ada beberapa desa yang melakukan pemantauan secara rutin, ada juga yang belum. Juga, semua desa/kelurahan belum memiliki alat untuk memantau kemajuan implementasi RPJM-Desa/Kelurahan. Beberapa contoh dari praktik baik warga dalam pemantauan pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan diuraikan berikut ini: RPJM-Desa/Kelurahan dibahas setiap tahun pada saat sidang pertanggungjawaban kepala desa/lurah. Pada kesempatan ini kepala desa/lurah menyampaikan pencapaian-pencapaian program RPJM-Desa/Kelurahan. RPJM-Desa/Kelurahan dibahas oleh kepala desa ber-sama perangkat desa lainnya seperti LPM, BPD, Ketua PKK dan tokoh-tokoh masyarakat sekali setiap enam bulan. Pertemuan tahunan di tingkat dusun, RT/RW. Juga, dibentuk kelompok dan memantau secara langsung di lapangan. Monitoring pada saat pelaksanaan program oleh pemerintah desa beserta perangkat yang ditunjuk kepala desa. Evaluasi RPJM-Desa/Kelurahan juga dilakukan pada saat Musrenbang ketika menyusun Rencana Kerja Tahunan. Monitoring dilakukan secara internal oleh pemerintah desa untuk memantau pelaksanaan program baik dari ADD, SKPD maupun PNPM.

159

Studi RPJM-Desa

Tantangan dalam Implementasi RPJM-Desa/ Kelurahan


Walaupun ada berbagai cerita sukses tentang pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan, itu tidak berarti tidak ada hambatan atau tantangan yang dihadapi selama ini. Studi ini telah menemukan beberapa tantangan yang dihadapi desa/kelurahan selama implementasi RPJM-Desa selama ini. Diantaranya: Keterbatasan dana untuk pembiayaan programprogram dari RPJM-Desa/Kelurahan. Sumber-sumber pendanaan masih terbatas. Selama ini, lebih banyak program-program dari RPJM-Desa/Kelurahan dibiayai oleh APBD Kabupaten dan ADD/ADK, termasuk PNPM. PAD desa/kelurahan masih minim. Swadaya dan kepemilikan lokal dari masyarakat sudah ada tapi belum cukup. Ketergantungan masyarakat pada pihak luar untuk menjalankan program-program dalam RPJM-Desa/Kelurahan masih cukup tinggi. Inisiatif lokal untuk memperjuangkan RPJM-Desa/ Kelurahan, salurannya masih sebatas menggunakan mekanisme Musrenbang. Memang, ada praktikpraktik desa/kelurahan yang melakukan upaya di luar Musrenbang alias menjemput bola melalui lobi, promosi, negosiasi dengan pihak-pihak lainnya. Namun, upaya ini hanya faktor keberanian oknumoknum tertentu kepala desa atau lurah. Belum menjadi gerakan sosial desa/kelurahan secara bersama. Tingkat partisipasi masyarakat desa/kelurahan pada Musrenbang Dusun dan Desa cukup tinggi. Namun ketika proses itu naik ke kecamatan dan kabupaten, tingkat partisipasi masyarakat berkurang sejalan dengan tingkat Musrenbangnya. Semakin tinggi

160

Suara Warga Suara Pembangunan

tingkat Musrenbang semakin rendah partisipasi masyarakat desa/kelurahan. Dan, proses Musrenbang seolah-olah berhenti pada Musrenbang Kabupaten. Warga masyarakat desa tidak mendapat informasi pascamusrenbang Kabupaten. Hal ini karena belum ada mekanisme lokal pascamusrenbang yang mengatur dan menjadi ruang atau saluran untuk menyampaikan usulan mana yang diterima atau diakomodir dalam RKA-SKPD dan APBD dan usulan mana yang sudah dicoret. Kapasitas pemerintah desa/kelurahan dan perangkatnya serta warga masyarakat dalam pengelolaan pembangunan desa/kelurahan masih kurang. Misalnya, dalam hal pembuatan dan pemutakhiran data base desa/profil desa, pembuatan pelaporan pertanggungjawaban penggunaan dana APB-Desa dan ADD. Juga, kapasitas untuk melakukan negosiasi atau melobi proyek dengan SKPD-SKPD dan programprogram lainnya masih kurang. Pemerintah desa belum sepenuhnya transparan dan akuntabel terhadap masyarakat dalam pengelolaan ADD/ADK. Pada sisi lain, pengawasan dari masyarakat juga belum kuat. Mekanisme penyerahan dokumen-dokumen penting (termasuk RPJM-Desa/Kelurahan) dari kepala desa/ lurah lama kepada pejabat yang baru. Ada beberapa kepala desa/lurah baru yang tidak menerima dokumen RPJM-Desa/Kelurahan dari pejabat yang lama. Pembangunan desa/kelurahan masih kental berorientasi pembangunan infrastruktur ketimbang pembangunan kapasitas manusia. Memastikan pembangunan infrastruktur dan infrahuman, dua-duanya, sama penting, juga untuk meningkatkan kesadaran bahwa proses dan hasil (output), dua-duanya juga

161

Studi RPJM-Desa

sama penting, memiliki tantangan yang luar biasa. Keterbatasan tenaga kesehatan dan pendidikan. Semua desa/kelurahan memiliki sekolah dasar dan fasilitas kesehatan (Posyandu, Pustu, Polindes) tetapi petugasnya masih sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Sarana fisik yang telah dibangun tidak digunakan secara maksimal. Perangkat regulasi yang mengatur tentang perencanaan partisipatif (RPJM-Desa/Kelurahan), baik di kabupaten maupun di desa, belum ada. Mencari titik temu common interests antara tiga kepentingan yaitu suara/aspirasi warga (RPJM-Desa/ Kelurahan) perencanaan birokratis dan teknokratis (SKPD-SKPD) kepentingan politik (janji kampanye, jaring asmara), sangat kompleks. Kondisi faktual yang terjadi selama ini, suara atau aspirasi warga masyarakat masih menjadi perhatian pada urutan terakhir.

162

BAB V GAGASAN KE DEPAN: MELIPATGANDAKAN ANTUSIASME

Secara kelembagaan perencanaan merupakan sebuah pilar penting dalam otonomi desa. Perencanaan pembangunan desa/kelurahan merupakan panduan bagi desa/kelurahan agar dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat secara efektif, efisien, transparan, akuntabel dan berkelanjutan. Oleh karena itu semua desa berhak dan wajib memiliki dokumen perencanaan, baik jangka panjang (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Desa-RPJP-Desa), jangka menengah (RPJMDesa) maupun jangka pendek (RKP-Desa). Dengan ini, pembangunan desa/kelurahan memiliki arah dan tujuan yang jelas dan terukur. Keberhasilan dari 13 desa/kelurahan dalam proses penyusunan maupun dalam pengimplementasian RPJMDesa/Kelurahan memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan hidup warga masyarakat setempat. Dan, merupakan bukti dari praktik cerdas perencanaan pembangunan partisipatif. Oleh karena itu, untuk melipatgandakan antusiasme perencanan pembangunan partisipatif perlu menemukan kekuatan dari keberhasilan

Studi RPJM-Desa

pada masa lalu dalam komunitas, (2) menghargai apa yang komunitas miliki sekarang (kekuatan saat ini), dan (3) membuat mimpi sebagai daya tarik (pendorong) dari bayangan positif di masa depan. Masa lalu, sekarang dan masa depan adalah sumber pembelajaran, inspirasi dan interpretasi yang tiada habisnya untuk sebuah perubahan. Upaya menemukan cerita sukses atau keberhasilan 13 desa/kelurahan dalam pengimplementasian RPJM-Desa/ Kelurahan selama ini merupakan upaya untuk menemukan keberhasilan, menghargai kekuatan saat ini, dan dari itu mereka merancang masa depannya.

Cita-Cita Perubahan
Hasil studi ini menemukan bahwa 13 desa/kelurahan memiliki cita-cita untuk membangun desa/kelurahannya secara lebih baik, terutama berkaitan dengan perencanaan pembangunan yang responsif dan partisipatif. Secara umum, cita-cita mereka adalah masih berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat secara lebih baik. Untuk mencapai itu, maka semua komponen masyarakat di desa/ kelurahan harus bekerja keras, meningkatkan keswadayaan tanpa harus bergantung pada bantuan pihak luar, dan membangun dengan aset-aset atau kekuatan-kekuatan yang ada di komunitas. Mereka menyadari bahwa pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan secara efektif membantu mereka untuk mewujudkan mimpi mereka. Cita-cita mereka adalah ingin memiliki dokumen RPJMDesa/Kelurahan yang disusun oleh mereka sendiri dengan inputs atau bantuan yang minimal dari pihak luar seperti LSM. Mereka juga bercita-cita agar dokumen RPJM-Desa ditetapkan melalui Perdes tentang RPJM-Desa. Dan berharap, pemerintah kabupaten akan membuat Perda tentang RPJM-

164

Suara Warga Suara Pembangunan

Desa dan meningkatkan pengalokasian anggaran untuk desa/ kelurahan baik melalui ADD maupun melalui SKPD-SKPD. Mereka juga berharap agar program-program dari RPJMDesa/Kelurahan yang masih tersisa dapat diimplementasikan selama satu dua tahun ke depan, sehingga semua harapan mereka dalam RPJM-Desa bisa terwujud. Untuk mewujudkannya, mereka akan tetap meningkatkan kerjasama dengan semua pihak, terutama dengan pemerintah kabupaten, PNPM, LSM dan program-program bantuan lainnya yang masuk ke ranah desa/kelurahan. Mereka juga tetap berkomitmen untuk meningkatkan swadaya masyarakat dan mengelola ADD/ADK secara lebih maksimal. Beberapa peluang yang bisa memaksimalkan upaya 13 desa/kelurahan dalam menggapai cita-cita mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial melalui pemanfaatan RPJM-Desa/Kelurahan ke depannya adalah sebagai berikut: Kemauan politik dan komitmen yang kuat dari Pemda Kabupaten Sumba Timur untuk menjadikan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai basis perencanaan pembangunan daerah. RPJMD 2010-2015 Kabupaten Sumba Timur akan menggunakan RPJM-Desa/Kabupaten sebagai basis penyusunan perencanaannya. Penyatuan perencanaan regular dan partisipatif. Mulai tahun 2011, PNPM tidak akan membuat perencanaan sendiri tetapi mengikuti proses dan mekanisme Musrenbang. Dengan demikian, PNPM akan menyatu dan mendukung RPJM-Desa/Kelurahan yang telah dihasilkan. Kebijakan satu desa satu perencanaan. Dengan demikian, aktor-aktor pembangunan yang masuk ke desa dan pemerintah desa/kelurahan tidak perlu

165

Studi RPJM-Desa

membuat perencanaan baru, tetapi menggunakan dokumen perencanaan yang sudah ada. Dukungan dana dari APBD, ADD/ADK dan dana dari provinsi (program anggur merah) dan dari pusat. Dukungan dari lembaga donor, LSM, gereja dan program-program lain yang masuk ke ranah desa/ kelurahan. Pengembangan otonomi (kemandirian) desa, dimana desa berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat. Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara langsung, mendorong mereka untuk semakin responsif, akuntabel dan transparan terhadap konstituennya.

Pengalaman di 13 desa/kelurahan tentu memberikan pelajaran dan teladan yang baik sehingga dibutuhkan adaptasi ke desa/kelurahan yang lain. Pelajaran tentang perencanaan desa/kelurahan yang lebih terpadu, intensif, sistematis, responsif dan partisipatif cukup mudah diadaptasi untuk memperbaiki regulasi perencanaan yang sudah ada, sekaligus juga diadaptasi kepada desa-desa dan kelurahan-kelurahan lainnya. Adaptasi model baru ini sangat penting untuk penyegaran dan inovasi atas praktik perencanaan musrenbang yang membosankan, tetapi adaptasi bukan sekadar copy and paste atas model baru yang telah dilaksanakan menjadi regulasi baru. Di balik adaptasi model tampaknya perlu memperhatikan pelajaran berharga dari program yang sebenarnya sangat berguna untuk menjaga konsistensi dalam implementasi,

166

Suara Warga Suara Pembangunan

sekaligus membuat musrenbang dan perencanaan lokal menjadi lebih bermakna. Sebuah pelajaran bermakna yang kami catat, dengan sentuhan yang minimal sebenarnya mampu menghasilkan perubahan yang signifikan dalam musrenbang. Sentuhan itu antara lain hadir dalam bentuk informasi, ruang-ruang yang dibuka bagi masyarakat, kehadiran teman pendamping, stimulus dana yang tidak terlalu besar, dan lain-lain. ACCESS sebagai institusi dari luar tidak mungkin akan menjadi teman bagi desa/ kelurahan dalam melakukan mengawal perencanaan secara terus-menerus. Pemerintah daerah maupun NGOs lokal diharapkan menjadi pemain utama dalam memberikan sentuhan-sentuhan yang memberdayakan kepada desa/ kelurahan secara berkelanjutan, setidaknya tradisi baru perencanaan lokal yang bermakna terlembaga dengan baik dan desa/kelurahan mempunyai kemandirian yang lebih kuat.
Tabel 5.1 Model kelembagaan perencanaan desa
Fragmented planning Gambaran Desa terdapat berbagai outlet perencanaan atau program baik dari desa sendiri maupun dari luar Integrated planning Desa mempunyai wadah tunggal RPJMDes dan APBDes. Semua program dan uang masuk ke dalam rencana dan penganggaran desa. Congested/ network planning Desa mempunyai RPJMDes. Programprogram yang masuk ke desa tidak membuka outlet secara bebas seperti model pasar, tetapi mengacu sekaligus memperkuat RPJMDes.

167

Studi RPJM-Desa Fragmented planning Peran pemerintah desa Minimalist state Pemerintah desa hanya menjadi fasilitator, bahkan hanya menjadi penonton Integrated planning Maximalist state Pemdes menjadi regulator yang kuat Congested/ network planning Congested state Melakukan kontrol dan memastikan bahwa programprogram yang masuk desa sesuai dengan rencana desa. Menyambungkan missink link atau membuat jaringan berbagai program yang masuk ke desa dengan rencana desa.

Tujuan

Memotong mata rantai perencanaan daerah yang ruwet seperti benang kusut. Juga memberi kepercayaan kepada masyarakat dalam kerangka community driven development.

Membuat agenda desa membangun lebih terarah dan terpadu guna memperkuat otonomi desa.

Menyiapkan dan melembagakan perencanaan di level desa/kelurahan yang lebih terpadu (integrated) niscaya akan membuahkan hasil yang lebih baik dan mempercepat kemandirian masyarakat. Buku ini merekomendasikan pelembagaan dan penguatan perencanaan satu rumah dan satu pintu yang tidak hanya seolah-olah terpadu, tetapi benarbenar integrated planning, sebagaimana tersaji dalam tabel 5.1. Model ini mempunyai skema desa mempunyai wadah tunggal RPJM-Desa dan APB-Desa. Semua program dan uang masuk ke dalam rencana dan penganggaran desa. Pemerintah desa tidak hanya bertindak sebagai fasilitator tetapi menjadi regulator, yang mengatur dan mengurus barang-barang

168

Suara Warga Suara Pembangunan

publik untuk kepentingan warga. Tujuan besarnya tidak lain adalah membuat agenda desa membangun lebih terarah dan terpadu guna memperkuat otonomi desa. Kalau desa menjadi lebih kuat dan mandiri, maka hal ini bukan menjadi beban pemerintah sebagaimana selama ini terjadi, tetapi menjadi potensi dan fondasi yang lebih kuat di masa depan.

Berbagai Rekomendasi
Studi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, baik untuk pemerintah kabupaten, DPRD, kecamatan, desa/ kelurahan, maupun organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian besar bagi upaya membangun kedaulatan rakyat atas pembangunan dengan titik masuk melalui desa/ kelurahan.

Pemerintah Kabupaten
Hasil studi ini memberikan rekomendasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten. Pertama, Perencanaan desa itu akan semakin kuat bila didukung oleh penyerahan sebagian kewenangan dari kabupaten kepada desa. Pemerintah kabupaten bisa mengambil referensi jenis-jenis urusan yang tertuang dalam Permendagri No. 30/2006, yang tentu saja disesuaikan dengan kapasitas dan konteks lokal. Dari sekitar 230-an jenis urusan yang bisa diserahkan kepada desa, pemerintah kabupaten bisa mengambil jenis-jenis yang relevan, dan kemudian desa-desa juga akan mengambil jenis-jenis urusan yang sesuai dengan kondisi desa. Karena itu penyerahan urusan dari kabupaten ke desa ini bersifat beragam (asimetris). Kedua, menyediakan regulasi melalui Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur mengenai tahapan, tata cara

169

Studi RPJM-Desa

penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan desa, sesuai amanah Pasal 66 PP 72/2005 tentang desa. Penjabaran lebih lanjut dari pasal ini adalah Pasal 19 Permendagri 66/2007 menegaskan bahwa rencana pembangunan yang diatur oleh Perda adalah RPJM-Desa dan RKP-Desa (ayat 1). Perda yang dimaksud paling sedikit memuat RPJM-Desa dan RKP-Desa, penyusunan RPJM-Desa dan RKP-Desa dan pelaksanaan RPJM-Desa dan RKP-Desa (ayat 2). Dengan adanya Perda ini maka akan memberikan jaminan atau kepastian hukum terkait rencana pembangunan desa yang telah disusun. Ketiga, menyediakan dukungan dana secara memadai melalui APBD untuk membiayai pengimplementasian rencana pembangunan desa. Termasuk, Kabupaten hendaknya mengalokasikan ADD kepada desa sesuai amanah Pasal 68 ayat 1 poin c, PP 72/2005 tentang Desa yaitu paling sedikit 10% dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. Dalam pengalokasian ADD, kabupaten sebaiknya memperhatikan aspek formula, relevansi, desain implementasi, kapasitas, akuntabilitas dan lain-lain. Pada saat yang sama, kabupaten melakukan penguatan kapasitas, perencanaan dan sistem pengelolan APB-Desa. Keempat, mendukung dan memperluas promosi perencanaan-penganggaran lokal yang sensitif jender (gender sensitive local planning and budgeting). Perencanaan-penganggaran lokal bersensitif gender tidak hanya sekedar pengalokasian anggaran untuk perempuan, tetapi juga partisipasi perempuan dalam proses-proses pembangunan, dan posisi perempuan dalam masyarakat dan pembangunan merupakan agenda yang sangat penting. Ini termasuk memastikan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran seperti delegasi masyarakat dalam Musrenbang. Kabupaten sebaiknya memperhatikan

170

Suara Warga Suara Pembangunan

keseimbangan jender dalam tim delegasi Musrenbang (kecamatan dan kabupaten), dan meyediakan dana yang memadai untuk tim delegasi. Kelima, menyiapkan kebijakan dan program yang mengurus desa. Fungsi mengurus ini antara lain melakukan fasilitasi terhadap perencanaan-penganggaran, pengelolaan keuangan desa, penguatan kapasitas pemerintah desa/ kelurahan dan perangkatnya seperti LPM, BPD, Sekdes terkait Tupoksi, serta supervisi yang memadai. Keenam, menempatkan tenaga kesehatan dan pendidikan bagi desa/kelurahan yang sangat membutuhkan. Sebaiknya, diutamakan bagi desa/kelurahan yang sudah memiliki gedung atau fasilitas, tetapi belum memiliki tenaganya. Ketujuh, memfasilitasi dan membentuk Tim Koordinasi Pengendalian Perencanaan-Penganggaran Desa/Kelurahan untuk melakukan monitoring, evaluasi, sharing pembelajaran terkait perencanaan-penganggaran desa/kelurahan. Tim ini sebaiknya beranggotakan perwakilan dari instansi pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil dan Swasta yang memiliki program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Tim ini juga diberi peran untuk menyusun rekomendasi kebijakan kepada kabupaten dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan-penganggaran pembangunan desa/kelurahan. Kedelapan, pemerintah kabupaten sebaiknya merayakan Musrenbang desa/kelurahan sampai daerah, sebagai forum deliberatif warga dan saluran perencanaan partisipatif yang dilaksanakan setiap tahun. Musrenbang desa/kelurahan dan daerah lebih baik dirayakan agar dinamika perencanaan daerah, termasuk proses engagement antara masyarakat dan pemerintah, menjadi lebih bermakna dan semarak. Musrenbang bagaimanapun identik dengan pemilihan

171

Studi RPJM-Desa

umum atau pilkada, sebagai arena praktik demokrasi. Kalau pemilu/pilkada merupakan arena demokrasi elektoral untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin yang datang lima tahun sekali. Sementara musrenbang sebenarnya merupakan arena demokrasi deliberatif, sebuah ruang dan arena bagi pemerintah daerah, wakil rakyat dan masyarakat berdialog dan bersenyawa (engagement) mengambil keputusan setip tahun tentang pilihan-pilihan perencanaan dan penganggaran. Secara teoretis, proses deliberasi itu akan mempertemukan antara pendekatan politik dari atas, pendekatan teknokrasi dalam tubuh birokrasi daerah dan partisipasi dari bawah, yang selama ini terjadi kesenjangan dan missing link. Proses deliberasi sangat berguna untuk mengambil keputusan lokal yang menjadi kesepahaman bersama, memanusiakan manusia, merevitalisasi kepercayaan (trust) masyarakat kepada pemerintah, sekaligus juga mendongkrak legitimasi pemerintah di hadapan rakyat. Perayaan musrenbang desa/kelurahan dan daerah tentu tidak terlalu sulit untuk dirumuskan dan dijalankan. Bupati melakukan mobilisasi informasi, birokrasi dan pendanaan untuk mendukung proses pramusrenbang dari bawah hingga proses musrenbang daerah. Musrenbang disiapkan sebaik mungkin dengan didukung oleh jajaran birokrasi, informasi mengenai evaluasi pembangunan tahun lalu dan tahun berjalan, serta arah prioritas pembangunan tahun yang akan datang. Musrenbang sebaiknya dihadiri lengkap oleh jajaran pemerintah daerah, DPRD, kecamatan, desa/ kelurahan, unsur masyarakat, maupun para pelaku ekonomi, tentu dengan waktu yang cukup. Sebagai pemimpin daerah, bupati tidak hanya memberi sambutan pada saat musrenbang dan setelah itu pergi, tetapi diharapkan dengan sabar dan berperan aktif memberikan pencerahan kepada masyarakat, memberikan dorongan kepada para pelaku pembangunan,

172

Suara Warga Suara Pembangunan

menyampaikan informasi evaluasi dan kebijakan, mendengar aspirasi masyarakat sekaligus berdialog dengan para peserta musrenbang. Inilah proses deliberasi yang niscaya akan memperoleh banyak kebajikan dan menentukan pilihanpilihan politik yang terbaik bagi daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Hasil studi ini memberikan rekomendasi kepada DPRD. Pertama, menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan untuk melakukan jaring aspirasi masyarakat. Sebaiknya, DPRD melakukan kegiatan jaring asmara selama proses pelaksanaan Musrenbang-Desa dan Kecamatan sehingga para wakil rakyat daerah mengetahui secara jelas kepentingan/ aspirasi konstituennya dan memperjuangkannya pada saat pembahasan dan penetapan APBD dengan pihak eksekutif. DPRD juga sebaiknya memiliki atau memegang foto kopi dokumen RPJM-Desa/Kelurahan. Kedua, berkoordinasi dengan eksekutif untuk membuat regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur mengenai tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan desa, sesuai amanah Pasal 66 PP 72/2005 tentang Desa. Ketiga, sebaiknya, DPRD terlibat dalam proses penyusunan perencanaan, pengimplementasian, monitoring, evaluasi dan sharing pembelajaran RPJM-Desa/Kelurahan. Sehingga DPRD memiliki gambaran yang lengkap tentang proses pembangunan di desa/kelurahan dan akan menjadi inputs dalam melakukan fungsinya (anggaran, regulasi dan kontrol).

173

Studi RPJM-Desa

Kecamatan Hasil studi ini memberikan rekomendasi kepada Kecamatan untuk: Pertama, menggunakan RPJM-Desa/
Kelurahan sebagai acuan untuk membuat rencana strategis kecamatan. Kedua, memfasilitasi desa dan/atau kelurahan untuk melakukan monitoring, evaluasi dan sharing pembelajaran antar-desa terkait pengalaman pemanfaatan RPJM-Desa/ Kelurahan serta upaya-upaya untuk melipatgandakan praktik-praktik yang baik. Ketiga, memfasilitasi desa/kelurahan dalam mempersiapkan pelaksanaan Musrenbang Kecamatan. Sebaiknya, pihak kecamatan menyediakan fasilitator kecamatan yang handal dan independen dalam memfasilitasi proses Musrenbang-Kecamatan dan jumlah harinya ditambah. Serta, memperhatikan Tim Delegasi dari desa/kelurahan agar seimbang jender. Keempat, membantu desa/kelurahan untuk mendapat akses atas anggaran dan program dari pemerintah kabupaten, lembaga donor, swasta, LSM, dan pihak-pihak lainnya untuk mendukung pengimplementasian RPJM-Desa/Kelurahan.

Warga Masyarakat dan Pemerintah Desa/ Kelurahan


Studi ini memberikan rekomendasi kepada warga masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan untuk: Pertama, meningkatkan swadaya masyarakat dan kepemilikan lokal dalam perencanaan, pengimplementasian, pemantauan, evaluasi dan pembelajaran pembangunan pedesaan/kelurahan. Kedua, membuat regulasi dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) tentang RPJM-Desa sesuai amanah PP 72/2005 dan Permendagri 66/2007.

174

Suara Warga Suara Pembangunan

Ketiga, tetap menggunakan RPJM-Desa/Kelurahan sebagai acuan pembangunan desa/kelurahan. Sebaiknya, pemerintah desa/kelurahan lebih pro-aktif (menjemput bola) untuk melakukan lobi, promosi, koordinasi dengan para pihak (kecamatan, SKPD-SKPD, PNPM, donor, LSM, swasta, dan lain-lain) dalam memperjuangkan pelaksanaan programprogram dari RPJM-Desa/Kelurahan yang belum terealisasi. Keempat, perlu membentuk Tim Terpadu untuk melakukan monitoring, evaluasi dan sharing pembelajaran terkait pelaksanaan RPJM-Desa/Kelurahan, manfaat, tantangan, dan lain-lain. Kelima, mempublikasikan data, informasi dan laporan perkembangan program dan penggunaan dana (APB-Desa, ADD, dan dari sember-sumber lainnya) melalui papan informasi desa/kelurahan atau disampaikan pada pertemuanpertemuan desa/kelurahan, misalnya pada MusrenbangDesa/Kelurahan, dan kesempatan-kesempatan lainnya. Keenam, membuat data base kader-kader desa yang sudah dilatih atau mengikuti pelatihan-pelatihan, keterampilan-keterampilan yang dimiliki dan kebutuhan pengembangan kapasitas mereka. Sebaiknya, desa/kelurahan juga mengkonsolidasi dan memfasilitasi kader-kader desa/ kelurahan (KPM, KPMD, Fasdes/Faskel) untuk melakukan sharing pembelajaran, dan melembagakan dalam bentuk asosiasi. Ketujuh, meningkatkan penggunaan peta sosial desa data klasifikasi tingkat kesejahteraan (indikator kemiskinan lokal) tetap menjadi acuan dalam program pembangunan desa/kelurahan. Bagi desa/kelurahan yang menilai peta sosialnya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang, maka sebaiknya segera direvisi.

175

Studi RPJM-Desa

Kedelapan, memberi ruang, kesempatan dan kepercayaan yang lebih luas bagi perempuan, orang miskin, kaum muda dan kaum marginal lainnya untuk terlibat secara lebih aktif lagi dalam pembangunan desa/kelurahan.

Lembaga Donor, Organisasi Masyarakat Sipil (LSM) dan Swasta


Studi ini memberikan rekomendasi kepada lembaga donor, OMS/LSM dan swasta untuk: Pertama, mendukung desa/kelurahan melalui dana dan program untuk pengimplementasian program dari RPJM-Desa/Kelurahan. Sebaiknya, tidak perlu membuat perencanaan yang sama sekali baru tetapi cukup mendalami atau mengkaji dokumen perencanaan yang ada dan mensinergikan dengan strategi program lembaga. Kedua, menyediakan bantuan pengembangan kapasitas bagi desa/kelurahan melalui pelatihan, pendampingan lapangan, studi banding, magang, diskusi dan jenis-jenis pengembangan kapasitas lainnya dalam mendukung pengimplementasian RPJM-Desa/Kelurahan. Pengembangan atau penguatan kapasitas tidak hanya berfokus orang per orangan tetapi juga kelembagaan desa/kelurahan dan organisasi warga. Namun sebaiknya, tetap mendukung swadaya dan kepemilikan lokal sehingga tidak menimbulkan budaya ketergantungan desa/kelurahan yang sistemik pada pihak luar. Ketiga, memfasilitasi desa/kelurahan dalam melakukan Musrenbang-Dusun dan Desa, memonitoring, mengevaluasi serta membagi pembelajaran dari praktik-praktik yang baik terkait pembangunan desa/kelurahan. Juga, dalam pengkawalan hasil perencanaan desa/kelurahan ke pemerintah supradesa/kelurahan.

176

Suara Warga Suara Pembangunan

Keempat, membantu desa/kelurahan dalam mempromosikan kepada agen-agen pembangunan di luar pemerintah tentang RPJM-Desa/Kelurahan dan praktik-praktik baik desa/kelurahan dalam pengimplementasian RPJM-Desa/ Kelurahan. Kelima, membuat studi tentang (1) pengaruh penerangan terhadap angka kelahiran penduduk desa/kelurahan, (2) pengaruh aksesibilitas jalan terhadap angka kematian ibu hamil, ibu melahirkan, dan Balita di daerah pedesaan, (3) sejauhmana regulasi dan APBD Kabupaten mengakomodir perencanaan dan penganggaran pembangunan desa/kelurahan, (4) pengelolaan ADD, dan studi-studi lainnya yang relevan terkait dengan otonomi atau demokrasi desa.

177

Ketika Air Mata Haru Menetes Di Kahaungu Eti


Oleh: Imelda Sulis Seda

Tinggal bersama masyarakat, merasakan apa yang menjadi kebiasaan, kebutuhan dan tradisi mereka, merupakan anugrah tersendiri bagi saya sebab hal ini tidak semua orang merasakannya. Sebuah panggilan kehidupan yang impresif. Kalau selama ini, kita merasakan hidup yang serba mudah, enak dan mapan ternyata jauh di sana di pelosok desa, di balik bukit-bukit terjal dan hamparan padang sabana yang luasnya tak terkira, masih banyak teman dan sahabat kita yang belum merasakan kemerdekaan hidup. Setidaknya, hidup yang seperti saya alami. Mereka belum merdeka dalam berbagai aspek kehidupan. Miskin informasi sebab letak desa yang nun jauh dan sulit dijangkau oleh arus deras kemajuan informasi dan teknologi. Mereka belum merdeka atas pendidikan. Sekolah ibarat barang mewah. Sekolah jauh. Guru juga terbatas. Bahkan, hanya ada satu guru mengajar untuk satu sekolah. Begitupun kesehatan. Fasilitas serba minim. Petugas medis tidak berada di tempat. Padahal, gedungnya ada. Perempuan saat itu belum berani untuk terlibat secara aktif dalam pertemuan di tingkat desa. Jangankan berani berbicara, hadir pada pertemuan saja jarang. Pokoknya, wilayah gerak perempuan hanya di sekitar dapur, sumur dan tikar. Atau orang pintar bilang wilayah domestik.

Studi RPJM-Desa

Namun, mereka tidak merasa putus asa. Hidup mereka mengalir terus. Tidak ada kata menyerah. Mereka memiliki kekuatan bahwa mereka harus dan tetap berjuang untuk hidup mereka. Setidaknya, berjuang untuk mempertahankan hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Dan, berjuang untuk keluar dari cengkeraman kemiskinan yang sistemik dan membudaya. Berawal dari kepedulian saya yang besar terhadap orang miskin, perempuan dan kaum terpinggirkan di desa, saya bergabung dengan Mitra Samya. Tahun 2006 hingga 2007, Mitra Samya yang didukung oleh ACCESS Phase I dan Pemda Sumba Timur, membantu 13 desa/kelurahan memfasilitasi penyusunan perencanaan desa (RPJM-Desa). Saya menjadi fasilitator CLAPP-GPI. CLAPP-GPI merupakan sebuah pendekatan yang dipakai untuk penyusunan perencanaan desa. Saya diberi tugas untuk memberi bantuan teknis bagi Fasilitator Desa (Fasdes) dalam proses penyusunan RPJMDesa. Saya, bersama dengan beberapa fasilitator dari LSM lokal lainnya, ditempatkan di Kecamatan Kahaungu Eti. Dengan semangat yang luar biasa, kami berangkat ke Kahaungu Eti. Setiap hari, kami berjalan dan melakukan pertemuan dari satu dusun ke dusun yang lain, dari satu desa ke desa yang lain. Jarak yang jauh, jalan desa yang berlikuliku, mendaki, menurun, panas matahari yang menyengat, angin malam yang dingin, tidak menjadi masalah. Bahkan, ada pengalaman yang tidak pernah pergi dari ingatan saya, yaitu ketika kami tidak makan selama satu hari dan satu malam. Waktu itu, makanan dan minuman sudah habis. Tapi, kami tetap melaksanakan pertemuan bersama masyarakat. Rasa dahaga dan lapar tidak menjadi penghambat bagi kami untuk maju terus menggapai impian. Bahkan, kami merasa kenyang terus karena terobati dengan keberadaan masyarakat desa yang sangat berantusias mengikuti per-

180

Suara Warga Suara Pembangunan

temuan, berdiskusi, tertawa ria, menari, menyanyi. Apalagi kaum perempuan berebutan untuk berbicara. Kami mendorong mereka untuk berbicara dalam bahasa setempat. Berbicara apa saja. Tidak perlu takut salah atau benar. Ruang dan kesempatan, kami beri seluas-luasnya. Dan, ternyata, cara itu efektif. Di beberapa desa, untuk mengumpulkan kaum perempuan sulit, karena kesibukan mereka di kebun, rumah tangga dan kegiatan lainnya. Kami tidak hilang akal. Kami menyesuaikan dengan rutinitas mereka. Terkadang, kami harus melakukan pertemuan di malam hari dengan menggunakan penerangan yang ala kadarnya yaitu pelita. Walaupun pertemuan di malam hari dan jaraknya cukup jauh, tetapi mereka tetap datang ke pertemuan. Semangat mereka untuk berubah tidak bisa terhambat hanya karena ketiadaan penerangan. Salah satu keberhasilan yang membanggakan adalah mereka berhasil menyusun indikator kemiskinan lokal. Mereka sendiri yang menentukan dan menyepakati siapa yang miskin, siapa yang menengah, dan siapa yang kaya di desanya. Mereka yang menentukan sendiri ciri-ciri pembeda, yang membedakan satu dengan yang lainnya. Ciri-ciri pembeda ini, bukan bermaksud untuk membuat gap sosial baru. Akan tetapi, hal ini dilakukan sematamata agar proses pembangunan desa lebih terarah dan tepat sasaran. Dengan ini, data kemiskinan desa menjadi sangat jelas. Jelas siapa orangnya, berjenis kelamin apa, dan tinggalnya di mana. Kemudian, dari informasi-informasi kemiskinan lokal tersebut, masyarakat membuat visualisasinya dalam bentuk gambar peta sosial desa. Pada momen ini, imajinasi dan emosi mereka pada seni mengalir begitu saja di atas kanvas yang kami sediakan. Mereka berebutan menyumbag ideide kreatifnya untuk menggambar dan memberikan simbol

181

Studi RPJM-Desa

pada peta sosial tersebut. Peta ini memberikan informasi kunci yang berkaitan dengan sebaran penduduk berdasarkan tingkat kesejahteraannya. Potensi sumberdaya alam dan permasalahannya. Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sarana umum serta akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap pemanfaatan sarana umum tersebut. Peta sosial ini dipasang di kantor desa dan juga dalam dokumen RPJM-Desa. Momen lain yang tak kalah penting menarik dan berharganya bagi saya, ketika pelatihan tentang CLAPP-GPI bagi Fasilitator Desa. Pelatihan ini diselenggarakan di Hotel Jemmy, Waingapu. Difasilitasi oleh Mitra Samya. Pelatihan ini dimulai dengan mengeksplorasi harapan peserta dari pelatihan. Tibatiba saja, saya didekati beberapa orang Fasdes. Mereka mengatakan, Ibu, kami ini orang desa. Kami tidak tahu mau bicara apa di sini. Bahasa Indonesia kami kurang bagus. Jangan sampai, kami menjadi bahan tertawaan orang-orang. Ada seorang Fasdes lain lagi. Ia seorang ibu rumah tangga. Ia mendekati saya dan mengatakan, Ibu, saya sekolah tidak sampai SMA. Saya tidak sama seperti ibu mereka. Saya gugup duduk dengan peserta-peserta lain di sini. Apalagi, saya ini hanya seorang perempuan desa. Saya baru pertama kali ikut kegiatan seperti ini. Dan, teman lainnya juga mengatakan, Ibu, saya mau omong tapi bagaimana caranya? Inilah potret kepolosan orang-orang desa. Mereka tidak malu mengatakan yang sebenarnya. Apa adanya. Tanpa tedeng aling-aling. Lalu saya memberikan kekuatan dan membangkitkan rasa percaya diri mereka. Bapa dan mama, jangan kuatir. Bapa dan mama, ungkapkan saja apa yang dipikirkan. Kemudian saya memberi kertas meta plan dan spidol kepada mereka untuk menulis. Mereka mencoba menulis dan kemudian membacakan hasil tulisannya pada saat pleno.

182

Suara Warga Suara Pembangunan

Ada yang tangannya gemetar dan napasnya tersengal-sengal ketika berdiri dan membaca tulisan tersebut. Pada saat rehat, saya bertanya kepada seorang mama, Bagaimana perasaan mama waktu membaca tulisan tadi? Saya punya jantung berdebar dan keringat dingin, jawab mama itu polos. Kemudian saya katakan kepada mama itu, Mama, di tempat ini tidak ada yang berbeda. Semua sama. Tidak akan pernah ada orang yang tertawa atau beranggapan bapak dan mama mereka tidak mampu. Kita di sini saling belajar. Kami juga ingin belajar dari mama. Oleh karena itu, kita berada di tempat ini sekarang untuk maksud itu. Inilah awal mulanya, transformasi pengetahuan bagi Fasdes, yang memfasilitasi proses penyusunan RPJM-Desa di desa. Mereka sangat sederhana dari penampilan. Miskin gaya. Polos dan lugu dalam berbicara. Namun, saya menghayati dengan sungguh bahwa di balik semua itu, mereka memiliki semangat dan militansi untuk berjuang serta ketulusan untuk mengabdi bagi sesama. Mereka memiliki rasa solidaritas sosial yang mumpuni dan orisinal untuk melayani sesama. Setelah pelatihan, kami bersama Fasdes memulai proses penyusunan RPJM-Desa. Kami menghabiskan waktu tiga hingga empat bulan lamanya dalam memfasilitasi setiap desa menyusun RPJMDesa. Tahun 2006, kami memfasilitasi dua desa dan tahun 2007, tujuh desa. Akhirnya, semua desa di Kecamatan Kahaungu Eti memiliki dokumen RPJM-Desa. Waktu yang sangat singkat, tetapi meninggalkan dan memberikan beribu pengalaman berharga bagi saya dalam menjalankan panggilan hidup di bidang pemberdayaan masyarakat. Benar kata orang bijak bahwa pengalaman harus dilalui, dan dijalani, tidak bisa diajarkan. Sejak itu, saya pun bekerja di desa lain di Sumba, dan bergabung dengan proyek Pro Air, GTZ.

183

Studi RPJM-Desa

Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa, sudah tiga hingga empat tahun lamanya, RPJM-Desa berada dalam tahap pengimplementasian. Saya menjadi penasaran dan ingin tahu perubahan-perubahan yang telah terjadi di desa setelah mereka memiliki dokumen perencanaan yang lebih baik. Waktu yang ditunggu pun datang. Ketika saya diajak oleh Pak Ferdi Rondong (Koordinator Provinsi ACCESS Sumba), untuk berbicang tentang rencana merefleksi pemanfaatan RPJM-Desa di Kahaungu Eti. Kami sepakat untuk melakukan pertemuan dengan semua kepala desa pada tanggal 23 Januari 2010 di Kecamatan Kahaungu Eti. Jam setengah tujuh pagi, tanggal 23 Januari 2010, saya bersama Pak Ferdi dan Ibu Linda (PAO ACCESS Sumba), berangkat dari Waingapu menuju Kahaungu Eti. Sekitar jam Sembilan kami tiba di kantor Kecamatan Kahaungu Eti. Pihak kecamatan dan beberapa kepala desa sudah menunggu kedatangan kami. Pagi itu udara segar dan langit cerah. Sambil menikmati keindahan alam Kahaungu Eti, sebelum pertemuan dimulai, saya menyapa dan menyalami beberapa Fasdes yang dulu memfasilitasi RPJM-Desa. Saya senang karena kami masih saling kenal. Dan, diberi kesempatan untuk bersua lagi. Mulanya, saya mengira kalau mereka juga akan mengikuti pertemuan refleksi. Ternyata bukan. Mereka datang untuk mengikuti pertemuan dengan KPUD. Mereka dipilih sebagai tim pengawas pemilu kepala daerah (Pemilu Kada) tingkat kecamatan. Kemudian saya bertanya lagi, selain sebagai Tim Pengawas, aktivitas apa saja selama ini? Mereka menjawab bahwa mereka sudah menjadi KPMD PNPM MP. Kami dipilih menjadi fasilitator PNPM karena kami sudah memiliki kemampuan dan pengalaman memfasilitasi masyarakat pada waktu dengan Mitra Samya. Kami menggunakan cara CLAPP-GPI dalam

184

Suara Warga Suara Pembangunan

memfasilitasi masyarakat, demikan diungkapkan salah satu Fasdes. Jujur, saya merasa kaget, bangga dan terharu. Masih segar dalam ingatan saya, kalau Fasdes yang menjadi Panwas Pemilu Kada dan KPMD PNPM MP itu, adalah dia yang dulu pada saat pelatihan CLAPP-GPI di Waingapu, belum bisa berbicara, malu, kurang percaya diri, dan sebagainya. Sekarang dia sudah menjadi orang. Luarbiasa! Untuk membagi rasa haru itu, saya mengatakan kepada Pak Ferdi, Pak, mereka ini dulu Fasdes. Tapi, sekarang sudah menjadi Tim Panwas Pemilu Kada dan KPMD PNPM. Lalu Pak Ferdi mengatakan wah bagus dan hebat ya. Setelah, semua kepala desa datang, kami memulai pertemuan. Saya menjadi fasilitator. Saya memberikan kesempatan kepada Sekcam untuk membuka pertemuan. Kemudian, kepada Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB, sebelumnya sebagai Camat Kahaungu Eti, Pak Okto, untuk menceritakan kilas balik penyusunan RPJM-Desa dan dukungan-dukungan yang diberikan dari kecamatan. Kemudian, kesempatan diberikan kepada Pak Ferdi untuk menjelaskan tujuan ACCESS terlibat dalam proses ini. Setelah itu, saya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap kepala desa untuk bercerita tentang kemajuan pemanfaatan RPJM-Desa di desanya. Dari sharing pengalaman tersebut, kami mendapat begitu banyak cerita keberhasilan dari setiap desa. Semua kepala desa mengatakan bahwa mereka menggunakan RPJMDesa sebagai acuan pembangunan di desa. Mereka menggunakannya pada saat Musrenbang-Desa untuk mengakses dana dan program dari kabupaten. Mereka mendapat alokasi dana yang semakin meningkat dari Pemda Kabupaten. ADD lancar dan dipakai untuk melaksanakan program dari RPJMDesa. Partisipasi masyarakat, terutama perempuan dan orang miskin, dalam komunitas dan pembangunan desa

185

Studi RPJM-Desa

meningkat. Perempuan tidak hanya berbicara dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan desa, tetapi juga mulai menduduki posisi-posisi strategis di kelembagaan desa, sebagai Kepala Desa, LPM, BPD, KPMD PMPN, dan lainlain. Bahkan ada Fasdes dari Kecamatan Kahaungu Eti yang terpilih menjadi anggota DPRD pada pemilu tahun 2009. PNPM juga mendukung pelaksanaan program-program dalam RPJM-Desa. Pembangunan sarana fisik perdesaan seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, penerangan, jalan raya serta sarana air bersih dan irigasi meningkat secara mencolok. Pelayanan publik pun semakin baik. Misalnya, di Laimbonga, satu gedung SDM Laimbonga sudah dibangun. Sehingga hasil pendidikan semakin baik. Perubahan pada bidang pendidikan sudah baik. Proses belajar-mengajar sudah berjalan lancar. Kehadiran murid di sekolah sudah mencapai 80 hingga 90%. Kehadiran guru-guru di sekolah juga sudah mencapai 80 hingga 90%. Dalam dua tahun terakhir, SDM Laimbonga lulus 100% pada ujian akhir nasional. Hal ini terjadi karena kami menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai bagi guru dan murid. Ini berkat RPJM-Desa, (Kepala Desa Laimbonga). Di Desa Meurumba, angka kemiskinan menurun. Dan diperkirakan sudah 60% program-program dalam RPJMDesa sudah tercapai. Tahun ini sudah masuk tahun ketiga. Dengan melihat tingkat perkembangan dan perubahan yang terjadi, saya menilai sudah 60% program-program yang ada dalam RPJM-Desa sudah tercapai. Ada penurunan angka kemiskinan. Ada pemberdayaan orang miskin dan perempuan. Pembangunan di desa selalu mengacu pada RPJM-Desa. Pengelolaan ADD pun mengacu pada RPJMDesa. Kami sudah merencanakan untuk melakukan evaluasi

186

Suara Warga Suara Pembangunan

secara menyeluruh setelah 5 tahun kami menggunakan RPJM-Desa (Kepala Desa Meurumba). Untuk menyukseskan program RPJM-Desa, maka kepala desa rajin menjemput bola alias melakukan lobi dengan SKPD-SKPD. Misalnya, Kepala Desa Kataka memberikan proposal kepada SKPD. Dimana, program-program yang sudah ada dalam RPJM-Desa ditulis lagi dalam bentuk proposal. Kami selalu melakukan lobi dengan dinas-dinas terkait di kabupaten berdasarkan perencanaan yang tertuang dalam RPJM-Desa dan kami buatkan dalam bentuk proposal. Dalam pembuatan usulan tersebut, kami tetap melibatkan perempuan, orang mikin, laki laki dan semua unsur terkait di desa (Kepala Desa Kataka). Masih ada banyak lagi cerita sukses dari para kepala desa yang tidak ditulis dalam cerita ini. Saking banyaknya cerita sukses, pertemuan yang semulanya direncanakan tutup jam tiga sore, ternyata berlangsung hingga jam lima. Akhirnya, kami pulang ke Waingapu dengan rasa gembira yang luar biasa. Dari sekian banyak cerita sukses tersebut, yang membuat saya terharu hingga air mata menetes tak terasa, adalah Fasdes yang telah berhasil menjadi orang. Betapa tidak! Bayangkan saja, kalau awalnya mereka mengatakan kami tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik. Kami tidak berani berbicara. Kami tidak mampu memfasilitasi. Kami tidak tahu bagaimana melaksanakan program dari RPJM-Desa. Ternyata, kini semua ketakutan dan keterbatasan itu tidak punya arti apa-apa lagi. Mereka telah menjadi champion (bintang) perubahan sosial yang mumpuni di desa. Dari orang biasa menjadi orang luar biasa. Dari merasa diri tak berarti menjadi menjadi orang yang sangat berarti. Ini bukan keniscayaan, tetapi sungguh sebuah keberadaan dari perubahan nyata.

187

Studi RPJM-Desa

Sebuah semangat yang mendorong saya untuk lebih banyak belajar dari mereka adalah mereka tidak pernah putus asa. Mereka tidak pernah kenal lelah berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Jujur, saya secara pribadi sebenarnya tidak mampu berkatakata, sembari menetes air mata haru, saya membatin bahwa KEADILAN akan menjadi milik semua orang apabila ada rasa solidaritas dan mengakui bahwa setiap orang memiliki kekuatan. Setiap orang memiliki talenta. Talenta untuk menggapai mimpi akan sebuah kehidupan yang lebih baik, adil dan bermartabat. Betapa tidak dan mengapa tidak!

188

Biodata Penulis

Dianus Umbu Sunga, aktif di Yayasan Pahadang Manjoru, sedang menekuni Penguatan Ekonomi Lokal. Juga, Fasilitator Perencanaan Penganggaran Partisipatif (CLAPP GPI). Sulis Setiawati Seda adalah Direktur Yayasan Peduli Kasih, Waingapu, saat ini aktif dalam isu perencanaan dan penganggaran desa bersama Mitra Samya. Juga sebagai Pelatih Perencanaan Penganggaran Partisipatif (CLAPP GSI) Johny T. Joz, aktif di Yayasan Pahadang Manjoru, sedang menekuni Penguatan Ekonomi Lokal. Dan juga Fasilitator Perencanaan Penganggaran Partisipatif (CLAPP-GPI).

Angelus Taseng, saat ini sedang menekuni isu perencanaan dan penganggaran desa bersama Mitra Samya, Fasilitator Perencanaan Penganggaran Partisipatif (CLAPP GSI).

Studi RPJM-Desa

Yosefina Linda P., Provincial Administrative Officer ACCESS NTT di Sumba

Martha Hebi, Program Officer ACCESS NTT di Sumba

Ferdinandus Rondong, Koordinator Provinsi ACCESS NTT di Sumba

190

Daftar Pustaka

Aspinal, E., and Mietzner, M., (2010), Problems of Democratization in Indonesia: Elections, Institution, and Society, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Badan Pusat Statistik, (2010) Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010, Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Bank Dunia, (2000), World Development Report 2000/1, Attacking Poverty. Beetham, D. (1996), Theorising democracy and local government in King, D. and Stoker, G. (eds.) Rethinking Local Democracy. Macmillan, London. 28-49. Beard, Victoria. dan Aniruddha Dasgupta (2006), Collective Action and Community-Driven Development in Rural and Urban Indonesia, Urban Studies, Vol. 43, No. 9. Cornwall, A. (2000), Bridging the gap? Good governance, citizenship and rights. In Cornwall, A. Beneficiary, customer, citizen: Perspectives on Participation for Poverty Reduction. SIDA studies No.2: 60-68. Cornwall, A and Gaventa, J. (2000), From users and choosers to makers and shapers: Repositioning participation in social policy. IDS Bulletin 31 (4): 50-62. Cornwall A. and Gaventa, J. (2001), Bridging the gap: citizenship, participation and accountability, in Deliberative Democracy and Citizen Empowerment

Studi RPJM-Desa

- PLA Notes 40:32-35. International Institute for Environment and Development (IIED), London. Cornwall A. (2004), Spaces for Transformation? Reflection on Issues of Power and Difference in Participation in Development, in S. Hickey and G. Mohan (eds.), Participation: From Tyranny to Transformation? Exploring New Approaches to Participation in Development, pp. 75-91, London: Zed Books. Court, J., Mendizabal, E., Osborne, D., and Young J., (2006), Policy Engagement, How Civil Society Can be More Effective, Overseas Development Institute. Erb, M., and Sulistiyanto, P., (2009), Deepening Democracy in Indonesia Direct Election for Local Leaders (Pilkada), Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Estrella, M. (2001), Review of Literature on Indicators of Good Local Governance, Institute for Popular Democracy (IPD), Manila. Fowler, Alan. dan Kees Biekart (eds) (2008), Civic Driven Change: Citizens Imagination in Action. The Hague: Institute of Social Studies. Fung, Archon dan Erik Olin Wright (2003), Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance, London, New York: Verso. Fung, A. and Wright, E. O. (2001), Deepening Democracy: Innovations in Empowered Participatory Governance, Politics and Society 29 (1): 5-41. Gaventa, John. (2006), Triumph, Deficit or Contestation? Deepening the Deepening Democracy Debate, IDS Working Papers 264. Guinier, Lani (2008), Beyond Electocracy: Rethinking the Political Representative as Powerful Stranger, The Modern Law Review, Vol. 71, No. 1.

192

Suara Warga Suara Pembangunan

Holtzappel, C.J.G & Ramstedt, M., (2009), Decentralization and Regional Autonmy in Indonesia: Implementation and Challenges, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Lachapalle, Paul R., Smith, P. D., and McCool, S. (2004), Access to Power or Genuine Empowerment? An Analysis of Three Community Forest Groups in Nepal, in Human Ecology Review 11 (1). Mansuri, Ghazal & Vijayendra Rao (2004), CommunityBased and Driven Development: A Critical Review, The World Bank Research Observer Vol 19 No. 1. Mitchell, Bruce. (1994), Sustainable Development at the Village Level in Bali, Indonesia, Human Ecology, Vol. 22, No. 2. Oyugi, W.O. (2000), Decentralisation for good governance and development: Concepts and Issues. Regional Development Dialogue 21 (1): 3-25. Rawski, Frederick. (2006), World Bank Community Driven Development Programming in Indonesia and East Timor, International Law and Politics, Vol. 37, No. 919. Soemardjann, Selo (1992), Otonomi Desa: Apa Itu?, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, No. 2. Solihin, D, (2004), Perencanaan Partisipatif Presentation Transcript, Latihan Keuangan Daerah Angkatan X L, Diklat LPEM Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Wainwright, Hilary. (2003), Reclaim the State: Adventures in Popular Democracy (London: Verso.

193

Anda mungkin juga menyukai