Anda di halaman 1dari 116

Pemuda Bergerak;

Mencapai Kejayaan Nusantara

Buku
Laris

Fitroh Nurwijoyo Legowo


Pengantar:
GKR Mangkubumi

DEWAN PENGURUS DAERAH


KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Pemuda Bergerak;
Mencapai Kejayaan Nusantara

Fitroh Nurwijoyo Legowo

Pengantar
GKR Mangkubumi
Ketua Majelis Pemuda Indonesia
DPD KNPI DIY 2015 - 2018

DEWAN PENGURUS DAERAH


KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Pemuda Bergerak;
Mencapai Kejayaan Nusantara
Hak Cipta © Fitroh Nurwijoyo Legowo

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia


Oleh DPD KNPI DIY, Januari 2016
h p://knpidiy.com
Email: redaksi.knpidiy@gmail.com

Penulis: Fitroh Nurwijoyo Legowo


Pengantar: GKR Mangkubumi
Penyun ng: Arjuna Putra Aldiano
Rancang Sampul: JPB Artwork

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengu p atau memperbanyakn sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara
Cetakan 2
Yogyakarta: DPD KNPI DIY, 2016
xii + 132 halaman; 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-74129-0-3
“... Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.
Ya.., bangsa pelaut dalam ar kata Cakrawa Samudera.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga dan armada
militer, yang kesibukannya di laut menandingi irama
gelombang lautan itu sendiri..”

- Bung Karno dalam peresmian Ins tute Angkatan Laut, 1953 -


Sebuah Pengantar

Di masa kini, KNPI mungkin bisa disebut sebagai


sebuah The Other, Sang Liyan (Liyaning Liyan) yang
kehadirannya menjadi ikhwal yang kontroversial. Banyak
yang mempertanyakan bahkan menggugat kedudukan
dan keberadaannya. Pandangan yang kerapkali muncul
selalu mengatakan bahwa ia lahir dari sebuah rahim
“korpora sme negara”. Namun apapun itu, buku ini
mengajarkan kita untuk sinau melihat dari sisi yang tak
pernah dilihat sebagai sisi. Memandang dari sudut yang
tak pernah diambil sebagai sebuah jarak pandang. Ia
mengajarkan kita tentang sebuah “tatapan”, tatapan yang
kerap membawa pikiran bahkan ndakan kita akan hal
ikhwal. Dari buku ini pula, kita bisa belajar bahwa sejarah
tak bisa selesai dalam satu tarikan nafas. Ia harus selalu
mendapat tafsiran dan tempaan yang membebaskan dan
juga membawa pada keutuhan cara pandang. Sehingga ia
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tak berhen menjadi “guneman” yang menutup cakrawala


yang lain, namun ia dihadirkan kembali menjadi sebuah
“harapan”. Dengan itu, kita memperlakukan sejarah
sebagai “kaca benggala”. Bukan menjadi “paranoid” yang
menghambat datangnya masa depan yang membebaskan.
Dari buku ini pula, kita bisa belajar bahwa dunia
mulai berubah, dan kita pun sebagai organisasi
kepemudaan harus juga berubah. Berubah dalam hal cara
kerja, cara menangani, cara berfikir dan cara merasa
kenyataan di sekeliling kita. Ternyata zaman itu bergerak.
Dan pemuda pun harus juga bergerak mengiku ritme
perubahan zaman. Dituliskan dalam buku ini, bahwa
zaman bergerak dari samudera Atlan k utara sana,
menuju ke samudera Pasifik. Dalam pandangan
Pramoedya Ananta Toer fenomena ini disebut sebagai
sebuah epos “Arus Balik”. Arus Balik yang singasananya
hadir di tempat kita dilahirkan, tempat kita bergulat dan
tempat kita menger tentang kehidupan yakni Indonesia,
yang sebagian besar wilayahnya berada di Asia Pasifik. Jika
dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, bahwa
Arus Balik itu membuat Jawa bahkan Nusantara mundur ke
sebuah peradaban yang terendah dari sebelumnya.
Bahkan di dalam buku ini pun dibahas bahwa ditambah
kehadiran kolonial telah membawa perspek f yang baru,
yang bertentangan dengan alam pikir masyarakat
Nusantara, yakni perspek f kon nental. Perspek f ini
bukan hanya tak sesuai namun menimbulkan berbagai
masalah pengelolaan di berbagai sektor, yang membuat
bangsa ini hingga sekarang mengidap simptom “salah
kelola” dalam membangun segenap aspek kehidupan

vi
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berbangsa dan bernegara. Namun penyakit salah kelola itu


tak disadari oleh kita. Karena ia ditanamkan selama ga
setengah abad. Dalam bahasa penulis, ia merupakan
proses “Colony Complex” yang ditanamkan di dalam alam
bawah sadar kita.
Bahkan proses “Colony Complex” itu melahirkan
“krisis iden tas” yang semakin menjauhkan alam pikir kita
dari bumi yang kita pijak. Alih-alih untuk menemukan
kembali iden tas yang hilang, banyak dari kita yang justru
terjerembab pada upaya mimikri yakni melakukan
peniruan wacana kolonial. Seper apa yang dikatakan
penulis, mimikri mengakibatkan iden tas menjadi
mpang dan dak sempurna. Pembentukan iden tas
“mirip namun dak sama” ini selalu berada dalam
ketegangan antara harapan untuk memposisikan diri
sebagai bagian dari masyarakat dunia dan dihorma
dengan kenyataan pahit akan selalu diposisikan sebagai
masyarakat inferior di mata masyarakat Barat sendiri.
Upaya ini bukan malah membantu kita menemukan
kembali iden tas yang hilang malah justru mengakibatkan
krisis iden tas yang berkepanjangan. Bentuk “mirip
namun dak sama” tak bisa menjadi sumber iden tas dan
penegasan ja diri, ia selalu dirundung anomali dan
membuat kita selalu dihantui bahkan terjatuh ke dalam
pusaran mimang. Oleh karena itu, Renaisans Yogyakarta
menjadi peluang sebagai proses penemuan kembali ja
diri. Dalam bahasa penulis, Renaisans Yogyakarta adalah
sebuah frase “menuju ke sana” yakni sebuah proses
transisi yang harus kita lalui untuk menuju era kelahiran
kembali, kebangkitan kembali. Kebangkitan kita dari

vii
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

keterpurukan dan keterkungkungan “Colony Complex”.


Dan keis mewaan Yogyakarta kita tempatkan
sebagai sebuah “rumah”, yakni tempat dimana kita
kembali. Tempat dimana kita memperoleh iden tas dan
keberadaan eksistensial. Seper apa yang dikatakan
penulis, bahwa globalisasi dak memiliki tanah terjanji
atau promised land, karena sekali-kali ia bukan konsep
tentang tempat, place atau territory. Sehingga kita
memerlukan tempat dimana sumber iden tas bisa
diperoleh, dalam hal ini ialah keis mewaan Yogyakarta itu
sendiri. Disinilah peranan pemuda menjadi pen ng, yakni
sebagai eksponen yang membangun jembatan kultural
untuk mempertautkan semangat renaisans dan
modernitas dengan tradisi kearifan masa lampau
(keis mewaan Yogyakarta). Penulis memberikan contoh
peranan pemuda di Jerman di era Third Reich, dimana
gerakan renaisans dirumuskan dalam suatu
kesinambungan yang hidup dengan kejayaan kerajaan
Prusia yang mendahuluinya. Disinilah kesinambungan
antara iden tas kultural (keis mewaan Yogyakarta)
dengan gerakan Renaisans menemui k pangkal
bersama, yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Namun
untuk menjadi “jembatan kultural” itu, sekiranya kaum
muda perlu meningkatkan kapabilitas dirinya agar mampu
benar-benar menjadi jembatan yang siap mempertautkan
dua agenda besar membangun iden tas dan subjek vitas
manusia Indonesia. Dalam buku ini, penulis menawarkan
konsepsi “Power of Knowledge” sebagai sebuah upaya
meningkatkan kapabilitas kaum muda saat ini. Dalam
penger an, modal intelektual didudukkan di tempat

viii
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu


organisasi. Kekuatan tak lagi mengandalkan uang atau
kedekatan personal seper yang lazim dilakukan. Namun
ia bertumpu pada pengetahuan, yakni pengetahuan
sebagai sebuah kekuatan guna menghadapi tantangan
zaman. Untuk itu perlu sekiranya buku ini mendapatkan
perha an dari generasi muda di zaman ini. Ia mengajak
kita untuk belajar bersama tentang ar sebuah peranan
dan menjawab tantangan zaman. Buku ini cukup
membuka dialog dan membuka cakrawala untuk siap
d i d i s ku s i ka n b e rs a m a , d i p e rd e b at ka n . B a h ka n
direkonstruksi ulang melalui penafsiran kita. Penulis pun
tak bisa menetapkan makna untuk linear bila dipahami
oleh para pembaca. Makna menjadi milik para peminat
buku ini. Dan ide sang penulis pun menjadi layaknya
seper nta yang sudah terlanjur tertuang dan tak bisa lagi
digenggam mutlak untuk tak bergerak. Tak ada gading
yang tak retak. Sebagai sebuah karya, apa yang tertuang
dalam tulisan ini pas tak lahir dari ruang kosong, tak bisa
terlepas dari dimensi kesejarahan pula. Sehingga
karenanya ia selalu terbuka dan siap untuk didialogkan
bahkan diperiksa ulang.

Selamat Membaca..!!!

Yogyakarta, Februari 2016

GKR Mangkubumi

ix
Daftar Isi
Halaman Judul i
Sebuah Pengantar v
Da ar Isi xi
Kata Pengantar 1
Dunia yang Bergolak 3
KNPI : Mimpi Para Pemuda 11
Menyelami Kembali Keis mewaan 24
Tahta Untuk Rakyat 27
Pisowanan Ageng dan
Demokrasi Delibera f 30
Renaissance Yogyakarta 35
Arus Balik : Sebuah Epos Pasca
Kejayaan Nusantara? 39
Krisis Iden tas yang Berkepanjangan 43
Renaissance Yogyakarta : Menempatkan
Timur sebagai Subjek? 47
Renaissance Yogyakarta dan Gerakan Kita 51
Kegagalan Modernitas dan
Kegagapan Kita 51
Menjadijan Renaissance Yogyakarta
sebagai Gerakan 56
Kodifikasi dan Sistema sasi 58
Pemuda Is mewa Pemuda Bergerak 63
Intelektual Organum : Menyongsong
Renaissance, Menyambut Keis mewaan 64
Power of Knowledge : Agenda
Peningkatan Kapabilitas 71
Mencapai Kejayaan Nusantara 77
Menentukan Arah Gerak 85
Da ar Pustaka 97

xii
Kata Pengantar

Pada edisi kedua buku ini, penulis dak mengubah


apapun. Semua isinya sama, hanya berbeda pada cover
depan saja.
Hal ini sengaja dilakukan oleh penulis atas
permintaan orang-orang yang merasa buku ini layak untuk
diterbitkan kembali, sebab, baru pada Januari 2016 terbit
barengan dengan pelan kan pengurus DPD KNPI DIY
periode 2015-2018, buku yang dicetak sebanyak 500
eksemplar telah ludes. Banyak kader KNPI dari berbagai
daerah yang menginginkan buku ini, sehingga dirasa perlu
untuk akhirnya diterbitkan kembali.
Hadirnya buku Pemuda bergerak; Mencapai
Kejayaan Nusantara diharapkan dak hanya selesai pada
ranah analisis saja, melainkan juga pada praksis. Sehingga
judul buku tersebut dak menjadi artefak belaka, tetapi
dapat menjadi semangat bersama untuk mengembalikan
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kejayaan Nusantara seper pada masa Sriwijaya dan


Majapahit.
Tidak perlu berlama-lama, mari kita berdialek ka
bersama untuk menemukan sintesis sebagai landasan
gerak menuju Kejayaan Nusantara.

Yogyakarta, 20 Februari 2016

Fitroh Nurwijoyo Legowo

2
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Dunia yang Bergolak

Dipermulaan abad 21 ini, tahun 2008 ialah tahun


yang penuh dengan fenomena drama s. Kejatuhan bursa
keuangan pada tahun 2008 memicu serangkaian krisis
yang berpotensi untuk mengubah dunia sebagaimana
yang kita kenal selama ini. Jutaan orang di seluruh dunia
telah kehilangan pekerjaan, rumah dan tabungannya.
Kelayakan kredit Amerika Serikat, Prancis, Inggris dan
Jepang, negara-negara in di orde ekonomi dunia, mulai
dipertanyakan. Masyarakat Eropa Selatan tercekik
penghematan. Amerika, Eropa,dan Timur Tengah
bergejolak. Hingga Agustus 2008, dampak krisis
mengakibatkan jumlah penganggur di Inggris melejit
menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan
kerja. Menurut Interna onal Labour Organiza on, inilah
ngkat pengangguran terparah sejak Juli 1991. Pelaku
utama sektor industri dan manufaktur di AS seper

3
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

raksasa General Motors dan ritel elektronik Circuit City


serta Wall Street dan afiliasinya harus menelan pil pahit
krisis. Amerika Serikat dan Eropa, negara-negara kapitalis
dunia dibayang-bayangi kebangkrutan dan jeratan hutang.
Disinilah muncul diskursus pada banyak kalangan
yangmenyimpulkan bahwa Amerika Serikat tengah
mengalami kemunduran pengaruh secara perlahan dalam
jangka panjang. Dan krisis keuangan global 2008
merupakan sinyal dari berakhirnya model keuangan
kapitalisme AS.
Namun di lain sisi, meskipun terjadi krisis
keuangan global, China justru mengalami pertumbuhan
dalam bidang perbankan. Pada tahun 2008, bank-bank di
AS dan negara-negara Eropa mengalami badai keuangan
terburuk semenjak era the Great Depression. Kondisi
tersebut dak terjadi pada perbankan di China. Industrial
and Commercial Bank of China, yang sekarang merupakan
bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia,
membukukan peningkatan 35,2 persen keuntungan bersih
sebesar 111,2 miliar Renmimbi atau sekitar 16,26 miliar
dolar AS. Kemudian, China Construc on Bank, yang
merupakan bank terbesar kedua, mengalami peningkatan
33,99 persen keuntungan bersih sebesar 92,64 miliar
Renmimbi. Sementara itu, Bank of China mengalami
peningkatan 14,42 keuntungan bersih sebesar 64,36
miliar Renmimbi. Bank-bank lain di seluruh dunia dak ada
yang mengalami peningkatan sebesar bank-bank tersebut
di atas. Dalam kondisi krisis keuangan yang dak menentu,
bank-bank di China justru terus melanjutkan peningkatan
yang luar biasa.

4
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Sekalipun ikut terpukul oleh krisis finansial global,


China diyakini dak akan limbung. Produk-produknya yang
murah dengan mutu yang cenderung meningkat
dipas kan akan menjadi pilihan belanja masyarakat global
di tengah amukan krisis finansial tersebut. China hari ini
adalah kekuatan ekonomi yang tak bisa diremehkan, yang
menguasai seper ga cadangan devisa dunia dan rela f
dak terpengaruh krisis ekonomi global. Dengan cadangan
devisanya yang mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar AS,
China dapat berbuat banyak guna menata perekonomian
global. Pada akhirnya, kita dak mungkin memungkiri
kenyataan bahwa China hari ini adalah pesaing sah
Amerika Serikat. Ekonomi China kini telah mampu
menandingi ekonomi pasar AS. Bahkan kini konsumen-
konsumen di AS menjadi pasar utama bagi produk China,
sehingga menjelang 2008, lebih dari 10 persen barang
impor AS berasal dari China. Pada tahun 2008, China
menyumbang hampir seper ga dari defisit perdagangan
AS. Seiring dengan perkembangan pesat perekonomian
China, keperkasaan AS di bidang ekonomi ternyata
semakin surut. Banyak pengamat melihat bahwa
kemunduruan ekonomi AS dewasa ini sebagian dari
pergerseran historis (historical shi ) yang menandai telah
berakhirnya “Abad Amerika” (American Century).
Dalam hal ini, Jeffrey Sach menyatakan bahwa
dominasi AS di dunia akan segera berakhir pada kuartal
kedua abad ke-21, ke ka Asia menggeser AS sebagai pusat
gravitasi ekonomi dunia. Situasi yang dihadapi AS kini
sering digambarkan mirip dengan yang dialami Inggris di
awal abad ke-20, yang perlahan namun pas surut dari

5
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

posisinya sebagai kekuatan hegemoni global. Di bidang


militer, AS tetap akan merupakan kekuatan terbesar,
namun di bidang ekonomi dan poli k peran AS akan
semakin menurun. Dalam dunia “Pasca-Amerika”, dunia
dak terbelah dalam kubu-kubu yang bermusuhan seper
halnya di era Perang Dingin, tetapi interconnected dan
saling tergantung satu sama lain. Bersama negara-negara
lain, seper India dan Brazil, China akan tetap
memperhitungkan posisi AS, namun lebih sulit bagi AS
untuk menempuh jalur unilateral seper yang
diperagakan dalam serangan Bush ke Irak. Kemunduran
finansial AS yang berdampak pada krisis finansial global
juga banyak dilihat sebagai bentuk kegagalan ekonomi
neoliberal model Anglo-Saxon. Model ekonomi China
disebut oleh Joseph S glitz dan kawan-kawan sebagai
contoh keberhasilan dalam melakukan investasi strategis
di bidang infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan
yang stabil. Model ekonomi China ini juga banyak disebut-
sebut oleh media massa internasional sebagai sebuah
contoh keberhasilan dari state basic yang akan banyak
di ru setelah kegagalan dari model Anglo-Saxon untuk
membendung krisis finansial.
Kenyataan ini juga menandakan bahwa pusat
kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah
mengalami pergeseran dari Poros Atlan k ke Poros Asia-
Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini
berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik,
wilayah yang diperkirakan memiliki ekonomi paling
progresif di dunia. Beberapa pemikir Geopoli k dari Eropa
dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of

6
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

the Atlan c era”. Ini juga didukung oleh pandangan Robert


D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopoli k
telah bergeser dari Eropa ke Asia. Ditambah kawasan Asia
Pasifik telah muncul sebagai salah satu pusat strategis
mari m dunia di abad ke 21 ini. Negara-negara Asia Pasifik
adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi
yang nggi, bahkan mungkin ter nggi di dunia saat ini,
mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bahkan
kita bisa melihat bahwa perdagangan dunia, baik itu
Timur-Barat dan mayoritas perdagangan dunia, semua
berasal dari Asia. Bahkan perdagangan intra-Asia adalah
yang terbesar, berikutnya adalah perdagangan Trans-
Pasifik dimana hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dari
perdagangan Amerika Serikat dan seluruh Eropa.
Indonesia adalah jalur laut yang paling strategis
yang bisa menghubungkan antara dua samudera pen ng
di dunia yaitu Samudera India dan Samudera Pasifik di era
perdagangan Trans-Pasifik. Maka daklah mengherankan
jika Robert D. Kaplan menyebut Indonesia sebagai The
Heart of Mari me Asia yang merupakan choke point paling
vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana posisi kita
telah mempertemukan Samudera India dan Pasifik Barat.
Lokasi regionalnya merupakan jalur persimpangan
(crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan
militer di Asia Timur laut, sub benua India dan sumber
minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik Tenggara.
Rute perdagangan dari samudera India menuju samudera
Pasifik akan menjadikan Indonesia sebagai rute tercepat di
antara dua samudera ini. Sebagai ilustrasi, bila ada enam
kapal tanker konvensional berlayar pulang – pergi dari

7
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Jepang ke Teluk Persia, dak boleh melalui perairan


Indonesia, maka memutar lewat Australia akan
menambah jarak 5.800 mil laut, menunda kedatangan
kapal-kapal tersebut selama 16 hari, dan menambah biaya
tambahan bahan bakar sebesar 2,9 juta US dollar. Maka
harus diakui selain rute terpendek, perairan Indonesia juga
menyediakan biaya paling murah dalam dunia transportasi
mari m.
Dari Samudera India yang luas, puluhan kapal-
kapal supertanker raksasa dari sumur-sumur minyak di
Teluk Persia akan melalui pos-pos pengintaian dan instalasi
jaringan di perairan Indonesia yang sebagian besar
mengelilingi Selat Malaka yang lebarnya enam mil.
Menuju Pusan, Yokohama, dan semakin banyak ke
Shanghai; di kawasan Samudera Pasifik Barat; dengan
muatan lebih dari lima belas juta barel ap hari (hampir
20% konsumsi dunia). Ke ka kapal-kapal super tanker
raksasa mengarahkan pelayarannya ke Timur, alterna f
tercepat adalah melalui Selat Malaka. Berdasarkan data
dari Energy Informa on Administra on (EIA), pada tahun
2008 diperkirakan sekitar 18 juta barrel minyak mentah
per hari melintasi Selat Malaka menuju Asia Timur Laut.
Total pengiriman minyak yang melintasi Selat ini ga kali
lebih besar dari Terusan Suez dan lima belas kali lebih
besar dari Terusan Panama. Berangkat dari perkembangan
lingkungan strategis di abad 21 inilah, tantangan bangsa
Indonesia menjadi sangat kri s. Di sisi lain banyaknya
n e ga ra p e m e ga n g ke p e n n ga n ( sta ke h o l d e r s )
mendambakan untuk memiliki kontrol pada Indonesia
atau se daknya memiliki 'commanding power' atas nama

8
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

the quest of energy security. Hal ini telah membuat


Indonesia menjelma menjadi layaknya arena bagi
kompe si kekuatan negara-negara besar. Kita harus sadar
akan itu.

9
KNPI : Mimpi Para Pemuda

Dimana ada pemuda, disitulah tersimpan harapan


akan perubahan. Di tangan pemuda, dunia seringkali
menghadapi masa-masa yang tak terduga. Mungkin
pernyataan ini cenderung terlihat berlebih, namun
kenyataan di dunia membenarkan pernyataan itu. Di
Prancis, misalnya, gerakan pemuda, terutama mahasiswa
yang bergejolak di bulan Mei 1968 yang kemudian terkenal
dengan is lah “revolusi mahasiswa” hampir saja
menumbangkan Jenderal De Gaulle di pucuk kekuasaan.
Meskipun tergolong “revolusi” yang gagal, tapi gerakan
mahasiswa di Perancis ini merupakan gerakan poli k
mahasiswa pertama yang berhasil menebarkan wacana
tentang kebebasan dan demokra sasi.
Mungkin kita terlampau jauh, melupakan peranan
pemuda di dalam roda sejarah yang lebih lampau. Amerika
La n adalah pemberi contoh terbaik bagaimana pemuda
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berperan pen ng dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi


mereka diawali dari adanya Manifesto Cordoba di
Argen na pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi
deklarasi hak pemuda (mahasiswa) yang pertama di dunia,
dan sejak itu pemuda di sana memainkan peran yang
konstan dan militan dalam kehidupan poli k. Namun di
negeri kita sendiri sebenarnya apa yang disebut
“pergerakan pemuda” sudah di mulai jauh sejak tahun
1908 yakni adanya Budi Utomo, walau masih dalam
bentuk pergerakan yang cenderung lebih koopera f
bahkan lunak terhadap kekuatan establishment.
Akan tetapi ia menjadi penanda awal kemunculan
kaum muda dalam panggung poli k nasional yang
kemudian di iku oleh lahirnya organisasi-organisasi
lainnya seper Serekat Islam, Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah dan organisasi masyarakat bumiputra
lainnya. Pada tahun-tahun ini pula, mahasiswa-mahasiswa
Indonesia yang berada di Belanda membuat organisasi
yang bernama Indische Vereeniging. Atau yang kemudian
dikenal dengan nama “Perhimpunan Indonesia”. Sebuah
perkumpulan kaum muda cerdik pandai yang giat
menyuarakan kesengsaraan dan kemerdekaan bangsanya.
Di tengah situasi semacam ini, kemudian lahirlah pemuda
seper Soekarno, Moh, Ha a, Sutan Syahrir dan lainnya.
Pemuda yang berhasil mengoyak gundukan penjajahan
yang membebani punggung rakyat Indonesia dengan arus
dan deru pergerakan yang semakin besar. Dalam suasana
Perang Dunia I, pemuda di zaman ini berhasil menguatkan
kesadaran masyarakat Indonesia untuk menentukan nasib
sendiri.

12
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Kemudian, saat Perang Dunia II meletus, Jepang


keluar sebagai pihak yang kalah. Bangsa Indonesia
dibawah kekuasaan Jepang, berada di kondisi kekosongan
kekuasaan. Di tengah situasi ini, lagi-lagi pemuda
menjawab tantangan zaman yakni menuntut Sukarno dan
Ha a untuk segera memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Lahirlah apa yang selama itu diimpikan oleh
jutaan rakyat Indonesia yakni Indonesia sebagai na on,
pada tanggal 17 Agustus 1945. Disinilah kita mampu
membaca bahwa pergerakan pemuda di negeri kita bukan
sebuah en tas yang terasing dan terpisah dari masyarakat
dimana mereka lahir. Di negeri ini, gerakan kaum muda
adalah bagian dari pergerakan nasional. Bahkan ak f
dalam proses gerak membentuk dan mencipta sebuah
na on. Maka tak berlebihan jika Ben Anderson
mengatakan bahwa revolusi Indonesia adalah “revolusi
pemuda”.
Di beberapa dekade kemudian, pemuda kembali
menunjukan gaungnya. Di situasi perang dingin, dimana
dunia sedang dalam konstelasi kekuatan yang bipolar
yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet, gerakan pemuda
hadir di saat yang tak terpikirkan sebelumnya. Sebenarnya
senada dengan peta kekuatan dunia yang sedang terbagi
waktu itu, di dalam gerakan mahasiswa pun dua kekuatan
itu muncul sebagai dua kekuatan yang bertolak belakang
yakni diantara mereka yang berpandangan liberal dan an
komunis dengan mereka yang pro-komunis. Gesekan
mereka diperpanas oleh kegagalan Program Benteng di
tahun 1950 yang kemudian membelah perpoli kan
domes k menjadi dua kubu yang saling berseberangan.
Partai Sosialis Indonesia (PSI), Majelis Syuro Muslimin

13
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Indonesia (Masyumi), dan Partai Nasional Indonesia (PNI)


sayap moderat, mewakili kubu yang menghendaki
Indonesia dibuka selebar mungkin bagi penanaman modal
asing sebagai sumber pembangunan ekonomi. Di sisi lain,
PNI sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden
Soekarno menghendaki nasionalisme ekonomi dipandu
oleh negara (Richard Robison, 2012).
Di sisi yang lain lagi, kubu Militer mulai naik daun
baik secara poli k dan ekonomi ke ka undang-undang
tentang nasionalisasi diterbitkan pada 1958, militer,
khususnya Angkatan Darat, sudah menguasai bank-bank
dan perkebunan besar bekas milik Belanda, distribusi
beras, alokasi valuta asing, serta perusahaan tambang
minyak bumi di Sumatera Utara. Sejumlah pe nggi militer
juga memegang posisi kunci di birokrasi (Richard Robison,
2012). Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam periode
tak menentu ini ternyata merupakan bayangan bagi
penataan kekuatan-kekuatan ekonomi dan poli k dalam
periode Orde Baru.
Hingga membawa Indonesia ke dalam Malapetaka
30 September 1965 yang menjadi penanda awal
memudarnya negara Orde Lama. Soekarno pun terdepak
dari kekuasaan. Dan mahasiswa menjadi salah satu
penentu kejatuhan Presiden Soekarno dari kursi
kekuasaannya. Bersama militer (AD), gerakan mahasiswa
yang dikenal dengan nama “Angkatan 66” menjadi salah
satu aktor perubahan wajah poli k Indonesia saat itu.
Angkatan 66 bersama Militer mengambil alih negara.
Negara Orde Baru lahir dengan mendapuk Jenderal
Soeharto ke tampuk kekuasaan. Bandul kehidupan
ekonomi-poli k Indonesia pun berbalik arah.

14
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Namun di satu sisi muncul sebuah ironi dari cerita


heroisme Angkatan 66 ini. Salah satu ironi itu disampaikan
oleh aktor dari Angkatan 66 itu sendiri yakni Soe Hok Gie.
Ia menyesalkan teman-temannya yang dulu gencar
berdemontrasi, mengusung keadilan dan kelaliman rezim.
Namun mereka justru ikut terperosok dalam lubang
kekuasaan Orde Baru. Berangsur-angsur, yang muda yang
dulu nyaring berteriak melawan justru berubah dras s
menjadi bagian penopang bangunan yang didirikan dan
diberi nama ”Orde Baru” itu. Para pemuda bukan lagi
bergerak, melainkan harus antre dengan ter b menunggu
remahan dan tah dari sang penguasa tunggal. Mereka
masuk ke dalam sebuah jeratan kekuasaan yang
mema kan akal dan menumpulkan nalar.
Mereka terjebak oleh apa yang disebut teori si
Mazhab Frankfrut, Jurgen Habermas dengan is lan
“rasionalitas instrumental”, yakni cara berpikir jangka
pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan
sikap-sikap pragma s. Ia melahirkan One Dimensional
Man manusia berdimensi satu yang tertelan oleh
homogenitas kekuasaan. Poli k kaum muda pun menjadi
sangat miskin dengan ide-ide perubahan, yang ada
hanyalah apa yang disebut Nietzsche dengan is lah
“moralitas kawanan”. Dunia tempat pikiran serba sempit
dan serba prak s, tetapi pongah, dimana kemandirian
berfikir dan kedaulatan diri terdesak dan lenyap di telan
kekuasaan. Hingga akhirnya pergerakan kaum muda yang
dulu di isi oleh ide-ide besar (seper keadilan, kesetaraan
dan kemanusiaan) kini hanya di isi oleh sta s k kekuasaan
dan pertarungan diantara kelompok kepen ngan.

15
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Namun didalam perkembangannya, rezim Orde


Baru berjalan tak seper apa yang idealkan dulu oleh para
demonstran. Borok pembangunan dan demoralisasi
perilaku rezim mulai mencuat. Akhirnya di tahun 1970
pemuda dan mahasiswa kembali berteriak, mereka
mengambil inisia f dengan membentuk Komite An
Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Namun aksi itu
tak mendapat respon dari pemerintah. Hingga menjelang
Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru justru melakukan
berbagai cara dalam bentuk rekayasa poli k, untuk
mempertahankan dan memapankan status quo dengan
mengkooptasi kekuatan-kekuatan poli k masyarakat
antara lain melalui bentuk perundang-undangan.
Misalnya, melalui Undang-Undang yang mengatur tentang
pemilu, partai poli k, dan MPR/DPR/DPRD (Hasibuan,
2008).
Di tahun-tahun ini pula mahasiswa melakukan
gerakan Golput yang menentang pelaksanaan pemilu
pertama di masa Orde Baru karena Golkar dinilai curang.
Ditambah muncul pula reaksi terhadap kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM), yang membebankan
kehidupan ekonomi rakyat, namun di lain sisi
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah justru tak
menguntungkan rakyat kecil. Masalah yang sangat disorot
oleh mahasiswa waktu itu ialah isu korupsi di tubuh
Pertamina, dan Proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
yang dianggap mirip proyek Mercusuar. Akhirnya gerakan
menentang proyek pembangunan TMII mencuat hingga
lahirlah apa yang disebut gerakan "Mahasiswa
Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program
utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan

16
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

BBM, dan korupsi (Hasibuan, 2008).


Pada akhir 1973, demonstrasi an -TMII meredup.
Gelombang protes bergeser ke isu penolakan Rancangan
Undang-Undang Perkawinan, yang dimotori organisasi
Islam, dan an -modal asing, yang diusung komite
mahasiswa. Melihat gerakan mahasiswa yang dinilai bisa
membahayakan rezim Orde Baru, melalui Operasi Khusus
(Opsus), pemerintah Orde Baru yang diwakili oleh Ali
Murtopo giat menjalankan poli k wadah tunggal bagi
kalangan terdidik. Mereka menyasar kelompok
mahasiswa, wartawan, pegawai negeri, hingga istri
pegawai negeri dan militer. Operasi itu dimulai dengan
mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) didirikan pada
tanggal 23 Juli 1973 dengan maksud untuk menarik
perngaruh Ormas dari dunia Mahasiswa. Pembentukan
KNPI ini dimotori oleh Jendral Ali Moertopo beserta ak vis
1966, seper Akbar Tanjung, Abdul Gafur, David
Napitupulu.
Namun pembentukan KNPI dak semata-mata
hasil dari kebijakan monoli k Orde Baru. Organisasi
pemuda terutama yang nan nya tergabung dalam
kelompok Cipayung, juga memiliki peranan yang pen ng
dalam pembentukan KNPI terutama terkait dengan posisi
KNPI di tengah kancah organisasi kemahasiswaan dan
kepemudaan. Yang dimulai dengan pertemuan-
pertemuan informal secara bilateral antara Sekretaris
Papelmacenta dengan Ketua GMNI Suryadi, Ketua HMI
Akbar Tanjung, dan pimpinan organisasi mahasiswa
lainnya seper PMII, PMKRI, GMKI yang saat itu tergabung
dalam kelompok Cipayung. Pertemuan itu dilakukan

17
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

secara con nue, dan prak s merupakan peyeragaman visi


tentang urgensi wadah nasional yang akan dibentuk.
Kehadiran kelompok ini juga sekaligus menegaskan satu
hal bahwa kehadiran KNPI dak boleh meniadakan
keberadaan organisasi - organisasi maha- siswa ekstra
kampus maupun organisasi-organisasi pemuda yang
sudah ada. Ia bukan “satu-satunya” wadah namun tempat
dimana organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada untuk
berhimpun dan berkomunikasi. Visi tersembunyi mereka
ialah mengusahakan KNPI agar berfungsi sebagai forum
komunikasi poli k yang saling mempertautkan eksistensi
berbagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan.
Sehingga KNPI harus lebih bercorak “universal”.
Disini kita bisa melihat dari latar sebelum
terbentuknya KNPI, bahwa peris wa yang mendahuluinya
yakni kian besarnya peran pemuda terutama mahasiswa
dalam mempersoalkan kebijakan-kebijakan pemerintah
Orde Baru yang dinilai tak berpihak pada rakyat bahkan
mulai tercium sebagai sebuah rezim yang despo k dan
korup. Sehingga sikap-sikap mahasiswa yang semacam itu
dianggap membahayakan tegaknya rezim Orde Baru.
Untuk itu, ia perlu dikontrol terutama dengan wadah
tunggal sehingga segala gerakan yang dinilai mengancam
mudah diredam. Namun menurut pemaparan para
pendirinya, dalam pembentukan KNPI terjadi sebuah
“kompromi” dimana KNPI akhirnya dak menjadi satu-
satunya wadah pemuda,yang menjadi bagian dari
korpora sme negara. KNPI hanya menjadi wadah
komunikasi dari para pemuda dan mahasiswa di
Indonesia. Bukan satu satunya wadah yang menghimpun
pemuda, sebab ia tak menghilangkan eksistensi organisasi

18
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda lainnya. Wadah komunikasi itu terkait dengan


soal bagaimana pemuda yang datang dari berbagai
organisasi di seluruh tanah air itu betul-betul menjadi
kekuatan potensi bangsa. Termasuk terkait dengan
bagaimana mengembangkan program kepemimpinan
pemuda.
Namun yang menjadi pertanyaan, lantas
bagaimana perkembangan KNPI setelah dibentuk?
Bagaimana dinamika dan eksistensinya, terutama terkait
dengan peris wa Malari. Apakah dalam perjalanannya
dalam rentang masa itu, track KNPI sudah sesuai dengan
cita-citanya diawal yakni sebagai sebuah wadah
komunikasi dan kordinasi? Apakah tak ada tendensi
pengontrolan dan kooptasi negara?
Dalam perkembangannya, KNPI justru jauh dari
sentuhan semangat pemuda sebagai agen kontrol sosial.
Menurut salah satu pendirinya, KNPI justru sibuk dengan
berbagai kegiatan yang jauh dari wilayah poli k dan
kontrol sosial. Doktrin “pembinaan poli k” masih kental,
yang justru mengasingkan KNPI dari aksi-aksi poli k
pemuda bahkan menjauhkan KNPI dari wacana dan
praktek berfikir kri s. Disinilah menjadi sebuah masa
ke ka kita prak s tak mendengar lagi kata ”pemuda”
sebagai en tas yang terkait dengan gerakan. Kita tak
mendengar dengus nafasnya sebuah “komite pemuda”
menjadi simpul gerakan perubahan. Hal ini membuat KNPI
layaknya “hidup segan ma tak mau”, yang eksistensinya
hanya bergulat dengan kegiatan yang kurang substansial.
Padahal keberadaan KNPI pada dasarnya perlu mendapat
apresiasi posi f, dimana apabila kita dengungkan kembali
Deklarasi Pemuda Indonesia 23 Juli 1973, maka akan

19
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

ditemukan seberkas spirit yang kuat. In dari deklarasi itu


adalah, Pertama, Pengakuan bahwa pemuda Indonesia
adalah ahli waris cita-cita bangsa yang sah. Kedua,
Pen ngnya tanggung jawab kebangsaan sebagai suatu
pesan suci yang harus dijalankan. Ke ga, Penekanan spirit
Sumpah Pemuda 1928, Indonesia Raya dan Bhinneka
Tunggal Ika. Keempat, Tekad melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945. Kelima, Keharusan penyatuan tenaga dan
pikiran untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dan
pembangunan bangsa. Keenam, Pengakuan kesadaran
bahwa kaum muda memiliki keterpanggilan untuk
menjadi faktor penggerak bagi terciptanya cita-cita bangsa
I n d o n e s i a . Tu j u h , Pe n ga ku a n b a h wa p e m u d a ,
pembangunan, dan masa depan merupakan satu
kesatuan.
Namun dalam perjalanannya, posisi KNPI justru
semakin limbung sebagai kekuatan sosial-poli k kalangan
pemuda. Di beberapa momen yang melibatkan peranan
kaum muda seper peris wa Malari, pergolakan gerakan
mahasiswa 1978 dan Kebijakan Normalisasi Kehidupan
Kampus (NKK), peranan KNPI justru terlihat absen bahkan
tak ada sikap dan tanggapan terkait hal itu. Sehingga wajar
apabila dalam perjalanan waktu KNPI di kalangan ak vis
mendapat lebel sebagai manifestasi poli k Orde Baru.
KNPI di cap sebagai bagian dari penguasa, sebagai
kepanjangan tangan Orde Baru. Apalagi sewaktu terjadi
persoalan terkait UU No.8/1985 atau yang dikenal dengan
nama Undang-undang Keormasan yakni terkait
pembatasan dan kontrol pemerintahan terhadap
organisasi kemasyarakatan. Dimana KNPI kemudian
memposisikan dirinya menjadi piran poli k pemerintah

20
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dalam menegakan UU itu. maka cap sebagai organisasi


kepanjangan tangan pemerintah dak bisa dielakkan. KNPI
menjadi tameng dan stempel pemerintah untuk segala
kebijakannya. Hal ini membuat KNPI semakin kurang
dipercaya masyarakat dan pemuda untuk menjadi
kekuatan agregasi kepen ngan kalangan pemuda
Indonesia. Gejala kronis yang muncul beberapa tahun
sebelum runtuhnya orde baru nyaring terdengar bahwa
KNPI dianggap dak lagi mampu menampung aspirasi
pemuda Indonesia.
Maka wajar saat terjadi eskalasi poli k di
Indonesia era 1998, yang ditandai dengan jatuhnya
tampuk kepemimpinan Soeharto, yang berdampak juga
pada berubahnya atmosfer poli k di tanah air, banyak
komponen masyarakat yang menghendaki KNPI
dibubarkan saja karena dicap sebagai salah satu pilar
pendukung Orde Baru. KNPI dianggap paralel dengan Orde
Baru yang telah membawa bangsa ini kedalam kehancuran
dan nyaris bangkrut. KNPI tak lagi dianggap sebagai
indikator penentu organisasi pemuda di Indonesia.
Eksistensi KNPI secara mendasar mendapat peninjauan
ulang. Namun melalui Kongres IX di Caringin, Bogor tahun
1999 KNPI yang menghadapi desakan pembubaran
berhasil merumuskan dirinya sebagai pendukung gerakan
reformasi. Dan ke ka Idrus Marham terpilih sebagai Ketua
Umum pada Kongres itu, mewacanakan rejuvenasi KNPI
atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas
poli k nasional. Rejuvenasi dilakukan tak lain karena
situasi dan kondisi atau realitas obyek f internal dan
eksternal yang dihadapi oleh KNPI telah mengalami
perubahan signifikan dan mendasar dibanding yang

21
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dialami pada Orde Baru. Rejuvenasi ini akhirnya memuat


ide KNPI untuk independen dan kembali memposisikan
pemuda sebagai mitra kri s pemerintah.

22
Menyelami Kembali Keistimewaan

Ke ka kita menatap layar kaca televisi seharusnya


kita girang, karena televisi adalah pusat hiburan ditengah
kehidupan yang mengguratkan. Atau paling dak kita
memperoleh pengetahuan, karena televisi juga media
pendidikan. Namun kini hal itu tak terjadi. Saat kita
menghidupkan televisi, yang muncul justru keributan para
poli kus kita. Mulai dari kasus korupsi sampai pelanggaran
e k seorang anggota DPR. Berita itu hadir tanpa hen ,
memenuhi sorot pandang kita. Seakan-akan negeri ini
sedang didera sebuah krisis poli k yang tak kunjung usai.
Gonjang-ganjing poli k tak juga berakhir hingga kita
bosan, jengah melihat pentas para pembesar negeri ini
yang tak lagi ada sisa rasa malu. Masyarakat se ap harinya
dijejali dengan perseteruan elite poli k yang mungkin tak
lagi berbicara kepen ngan masyarakat banyak. Entah apa
yang mereka perjuangkan. Namun mereka berdiri, tegak di
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

meja parlemen atas nama rakyat. Mereka mendakwa


dirinya sebagai sebuah “representasi”, mewakili kehadiran
rakyat di sebuah mejelis perwakilan. Namun representasi
itu kini tak lagi menjadi simbol sebuah kedaulatan rakyat
banyak. Ia justru menjadi sebuah pentas segelin r orang.
Gedung perwakilan pun akhirnya lebih gaduh dengan
pertarungan kepen ngan para pembesar. Ia kini lebih
mirip seper gedung pegadaian dimana kepen ngan
orang banyak justru tergadaikan. Seper apa yang
dikumandangkan Slank, ”Mau tahu gak mafia di Senayan?
Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-
ujungnya duit”.
 Anehnya, mereka berkuasa melalui proses
pemilihan. Di pilih langsung oleh masyarakat banyak
melalui proses demokrasi yang disebut pemilu. Ternyata
pemilu yang demokra s tak selalu melahirkan pemimpin
yang juga demokra s, jujur dan menjalankan amanah
rakyat. Ia justru menghasilkan kepemimpinan yang anarkis
bahkan nyaris minus kepemimpinan. Pemilu yang
demokra s seringkali justru memuluskan kekuasaan kaum
oligarki, yakni kekuasaan yang dijalankan oleh mereka,
segelin r orang-orang kaya. Sehingga demokrasi bukan
memberikan pencerahan kepada masyarakat melainkan
menjadi sebuah petaka yang menakutkan. Akhirnya
Negara dan ins tusi publik dijadikan sebagai tempat
pencurian dan pemerasan. Kekayaan negara dijadikan
sebagai sasaran pencurian. Pusat-pusat kekuasaan dan
aset-aset ekonomi negara menjadi rebutan di antara
mereka. Ternyata demokrasi di negeri ini hanya untuk
menuai kemakmuran oleh segelin r orang. Rakyat
kebanyakan tetap terpinggirkan, daya belinya menurun,

24
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dak terurusi.
Sebenarnya demokrasi semacam ini sudah jauh-
jauh hari dikecam oleh Sokrates, seorang filsuf yang
mengkri k keras sistem demokrasi yang agung-agungkan
oleh orang kebanyakan pada waktu itu. Bagi Sokrates, di
dalam sistem demokrasi menyimpan sebuah bahaya yang
dapat membawa malapateka terhadap kehidupan publik.
Kri k pedas Sokrates berlandaskan bahwa sistem
demokrasi memberi kemungkinan besar suatu negara
diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan
memperoleh suara terbanyak. Karena tak menutup
kemungkinan bahwa masyarakat dak selalu memberikan
dukungannya kepada orang-orang yang dianggap paling
mampu dalam menjalankan roda pemerintahan. Tetapi
lebih kepada orang yang mereka sukai dan celakanya
orang yang mereka sukai daklah selalu orang-orang yang
kompeten membela nasib hidupnya.
 Bahkan yang lebih miris dari itu, demokrasi kita
layaknya sebuah permainan “tong setan”. Kita dipaksa
untuk memilih sosok yang disodorkan di depan mata kita,
yang kita tak pernah tahu siapa ia. Sebuah wajah tanpa
riwayat. Namun terus menerus ditampilkan di depan kita,
disosialisasikan kepada khalayak ramai. Lantas berharap
untuk dipilih dalam kontestasi kekuasaan. Maka partai-
partai pun menjadi seper toko pakaian. Di etalase mereka
memasang deretan para calon yang sudah dipoles yang
hampir mirip satu sama lain yang ditawarkan untuk
disukai. Namun para calon itu terlihat seper sebuah
badan yang tak punya ha dan pikiran. Mereka layaknya
sebuah komoditas, yang diperjual belikan di pasar. Maka
mau tak mau, demokrasi menjadi semacam doorprize yang

25
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

seringkali membuat kita terkejut, terkaget, dan tak


terduga. Kepemimpinan pun dak lahir dari keterlibatan,
namun dari pencitraan dunia iklan. Sehingga ia justru
bersifat ar fisial dan tak menyentuh akar permasalahan.
Memilih wakil rakyat kini sama dengan membeli krim
pemu h atau obat kecan kan. Di k ini, kons tuen
adalah konsumen.
Demokrasi semacam ini menyebabkan kian
mahalnya biaya persaingan poli k, yang berar kebutuhan
akan sumber daya finansial kian meningkat. Bukan hal
aneh jika kemudian muncul perkawinan antara kekuatan
modal dan kekuatan poli k. Dan massa yang dulu sebagai
sumber kekuatan poli k, kini jadi sumber kekuatan
marke ng. Massa ditaklukkan oleh kapasitas ekonomi
ke mbang kapasitas poli k dan moral. Kekuasaan pun
berubah menjadi monster yang korup dan despo k, yang
siap memangsa kehidupan publik. Ia menggerogo
kekayaan negara dan hak-hak rakyat. Demokrasi dak
memiliki keterkaitan dengan kehidupan rakyat. Ia menjadi
semacam sistem yang mengambang di atas awan, berjalan
tanpa kaki, yang akhirnya melahirkan kebijakan yang
mengabaikan kaum miskin. Poli k pun seolah-olah hanya
semacam permainan kekuasaan yang ditentukan oleh kiat
mengelabui dan berpura-pura. Poli k cuma jadi intrik:
sebuah pertarungan di suatu arena nun jauh di luar
wilayah orang ramai dan tak pernah
dipertanggungjawabkan kepada publik. Ak vitas
demokrasi semata-mata menjadi ladang aktualisasi para
elite poli k untuk mengambil keuntungan pribadi dan
kelompoknya sendiri Sementara rakyat hanya jadi
penonton yang resah ke ka kesusahan hidupnya semakin

26
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menghimpit namun negara tak kunjung hadir.


 Seper apa yang tertulis dalam kitab Wulangreh,
karya Pakubuwana IV bahwa demokrasi semacam ini, akan
menghasilkan pemimpin yang disebutnya dengan is lah
"orang yang berha saudagar". Hanya menyukai kekayaan.
Siang-malam cuma laba yang ia hitung, cemas kalau
berkurang. "Uang tujuh karung" pun tetap tak akan
memuaskannya. Ia akan murung "selama empat tahun"
bila jumlahnya berkurang sedikit, seakan-akan hartanya
lenyap berjuta-juta. Dan dalam kitab ini, Pakubuwana pun
mengecam keras orang-orang semasanya yang setelah
memperoleh kedudukan bersikap seper pedagang yakni
sibuk membuat perhitungan, ingin serba cepat dapat,
hingga ngkah lakunya pun berantakan. Atau dalam
bahasa jawa disebut polahe salang-tunjang. Dalam kitab
ini pula, Pakubawana berkata linggihe lawan nuku tan
wurung angrusak desa, yakni kedudukan yang diperoleh
lewat jual-beli akhirnya akan merusak ruang hidup
bersama. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat justru menyisihkan kehidupan rakyat. Bahkan
rakyat dianggap apa yang dalam bahasa Rancière disebut
sebagai orang-orang “di luar hitungan”. Bukanlah bagian
dari himpunan, yang disisihkan untuk tak bisa ambil
bagian. Sehingga kekuasaan yang dihasilkan oleh
demokrasi justru mengancam demokrasi itu sendiri.

Tahta Untuk Rakyat


Orang banyak menuduh bahwa sistem kesultanan
adalah suatu ikhwal yang bertentangan dengan
demokrasi. Ia dianggap bentuk pemerintahan otoritarian
yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Simbol kekuasaan

27
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

yang mutlak berada di tangan sultan. Namun perlu diingat,


bahwa demokrasi tanpa kepemimpinan hanya melahirkan
“gerombolan”. Dalam gerombolan, kepen ngan warga
negara mudah menjelma menjadi anarki dan pelanggaran
menjadi habit kekuasaan. Pengemban amanat rakyat pun
lebih menghaya dirinya sebagai ”centeng” peraturan
untuk ditransaksikan. Akhirnya kekuasaan pun justru
melahirkan sifat seper apa yang dikecam oleh
Pakubuwana IV dalam Wulangreh, yakni sifat pemadat
(wong mada ), sifat penjudi (wong ngabotohan), sifat
penjahat (wong durjana) dan sifat "orang yang berha
saudagar". Untuk itu demokrasi perlu kepemimpinan.
Kepemimpinan yang menjaga nilai-nilai keluhuran, dan
memegang teguh prinsip kebaikan bersama.
Demokrasi membutuhkan nilai yang dalam
bahasa Jawa disebut dengan is lah Memayu Hayuning
Bawono. Sebuah sistem norma yang berfungsi untuk
menjadikan kekuasaan bersifat mengayomi, serta mampu
melestarikan dan menjaga bukan hanya alam namun
kehidupan sosial. Sehingga kekuasaan tak merusak
kehidupan bersama. Dalam Pancasila, kita mengatahuinya
dalam filosofi sila keempat, bahwa kerakyatan harus
dipimpin oleh “hikmah-kebijaksanaan”. Dipimpin oleh
hikmah yang berar memberikan kebenaran pengetahuan
yang mencerahkan dan membebaskan serta
kebijaksanaan yang bertaut dengan kelapangan keadilan
dan pertanggungjawaban. Sehingga ia tak berkembang
menjadi ajang avonturisme kepen ngan perseorangan
dan golongan.
Inilah “ruh keis mewaan yogyakarta”, yakni
dibawah kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

28
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

demokrasi berjalan dengan visi “tahta untuk rakyat”.


Dimana sultan di daulat oleh rakyat untuk mengemban
tahta, menjalankan kekuasaan dan mengelola kehidupan
sosial. Sehingga kekuasaan tak lagi liar dan menjadi ladang
perebutan kepen ngan pribadi serta golongan. Kekuasaan
pun tunduk kepada kehidupan bersama dan mengabdi
p a d a ke p e n n g a n r a k y a t b a n y a k . K e k u a s a a n
memanifestasikan dirinya layaknya sifat Dewa Baruna
dalam kisah Asthabrata yakni mengalahkan kepen ngan
pribadi untuk kepen ngan rakyat banyak atas dasar cinta
kepada sesama. Disini demokrasi tak lagi hanya dimaknai
semata-mata sebagai proses formalitas dan instrumen
poli k kekuasaan. Tak lagi dimaknai hanya sekedar
kuan ta f yang ditentukan oleh suara terbanyak tanpa
memperhitungkan kualitas. Namun ia didasarkan pada
kepemimpinan moral dan budaya adiluhung.
Sultan disini di daulat oleh rakyat untuk
memegang kekuasaan otorita f demi menegakan ajaran
dan nilai-nilai baik agama maupun budaya. Tidaklah sama,
antara pemerintahan otoriter dengan pemerintahan
otorita f. Pemerintahan otorita f yakni pemerintahan
yang bermaksud menegakan kembali kewibawaan
otoritas yang dulu hilang karena dikalahkan oleh sebuah
gerombolan, moralitas kawanan yang menjadikan
kekuasaan sebagai ladang aktualisasi syahwat pribadi dan
golongan yang membuat aneka peraturan dan
pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas
atas gerombolan. Kepemimpinan otorita f juga bukan
sebuah bentuk personifikasi kekuasaan pada diri Sultan.
Namun ia sebuah upaya mempertahankan kewibawaan
otoritas agar ia berkhidmat bagi kepen ngan orang

29
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

banyak. Kepemimpinan otorita f juga untuk menghindari


seper apa yang dikhawa rkan Sokrates, “suatu negara
diperintah oleh orang-orang dungu yang kebetulan
memperoleh suara terbanyak”. Agar kekuasaan dan
pemerintahan dak dimanfaatkan oleh sekelompok
gerombolan yang menjadikan kekuasaan layaknya
Leviathan dalam bahasa Hobbes, seekor monster yang
ganas nan liar yang siap menerkam dan memangsa
kehidupan publik.
Yang menjadi pertanyaan bagi kita, dalam
demokrasi semacam ini, bagaimanakah aspirasi rakyat itu
di akomodasi? Dan bagaimanakah kekuasaan Sultan di
awasi dan di kontrol agar tak sewenang-wenang?

Pisowanan Ageng dan Demokrasi Delibera f


Masyarakat berbondong-bondong datang ke
Alun-alun Utara Yogyakarta. Di alun-alun utara mereka
berjemur diri di panas terik matahari. Mereka berjemur
(pepe, dalam bahasa Jawa) hingga Sultan datang menemui
mereka dan menanyakan apa dan mengapa mereka
melakukan laku pepe. Cara santun masyarakat Yogyakarta
dalam menyampaikan keluh kesahnya ini menjadi ajang
pertemuan dialogis antara Sang Raja dan rakyatnya. Hal ini
menunjukkan, sejak lama konsep demokrasi sudah
ditradisikan dalam kehidupan komunal masyarakat
Yogyakarta di bawah kekuasaan rajanya meski corak
pemerintahannya bersifat monarki. Pisowanan Ageng
melibatkan berbagai komponen masyarakat Yogyakarta.
Masyarakat tanpa dibatasi sekat- sekat aturan
menyampaikan aspirasi kepada Sultan. Tanpa harus
diwakili berbagai kekuatan sosial poli k atau aliran dan

30
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

golongan, masyarakat serantak menyampaikan aspirasi


kepada Ngarsa Dalem.
Disini pisowanan ageng telah mendobrak
kebekuan yang terjadi dalam demokrasi prosedural yang
terjebak pada formalitas dan legalitas prosedur demokrasi
namun rendah subtansi. Pisowanan ageng juga
membongkar manifestasi demokrasi dalam bentuk
representa ve democracy (demokrasi perwakilan) yang
mengadakan pemisahan antara mereka yang mendakwa
mewakili rakyat dan mereka yang diwakili. Kehadiran
rakyat dalam pisowanan ageng tak diwakili oleh siapapun,
tak pula diwakili oleh lembaga poli k apapun. Hal ini
membuat keberadaan partai poli k yang seringkali
mendaulat dirinya membawa aspirasi rakyat menjadi tak
berdaya. Rakyat benar-benar hadir mewakili dirinya
sendiri, membawa aspirasinya sendiri. Rakyat benar-benar
menjadi “subyek” poli k.
Pisowanan ageng barangkali juga bisa disebut
sebagai bentuk people power ala Yogyakarta. Karena ia
dihadiri berbagai kelompok masyarakat dari berbagai
l a p i s a n d a n g o l o n ga n . M u n g k i n i n i l a h m o d e l
ins tusionalisasi yang cocok dengan konteks sistem poli k
Indonesia yang dijelaskan dalam aktualisasi modalitas
lokal. Sebuah model ins tusionalisasi demokrasi di luar
tradisi Barat. Pisowanan ageng juga termasuk sebagai
upaya menegasikan fenomena penumpukan kekuasaan
dalam satu ins tusi yang terjadi saat ini, sebuah kebekuan
yang terangkai dalam jaringan berbasis kapital yang
cenderung hegemonik atau dalam kesempatan lain bisa
sangat koersif. Ia mampu menggan kan sistem tafsir
penguasa dan meresolusikannya dengan logika tafsir

31
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

publik yang delibera f. Sehingga pisowanan ageng adalah


bentuk demokrasi yang delibera f.
Sebuah model demokrasi yang menjujung nggi
serangkaian proses komunikasi yang berorientasi pada
kesetaraan dialog, dengan pelibatan diri, subyek yang
turut serta atau individu dan kelompok yang menjadi
bagian dari proses kompromi yang ideal untuk kebaikan
bersama yang direfleksikan dalam ruang publik (alun-
alun). Disini tersirat makna ada sebuah kesetaraan dalam
interaksi sosial, terutama kesetaraan menyampaikan hak
dimana tak ada lagi hukum siapa aktor yang memiliki
sumber daya melimpah bisa mempunyai akses yang lebih
maksimal untuk mendapatkan haknya dan keuntungan
pribadi. Dalam pisowanan ageng, demokrasi bukanlah
kendaraan untuk mewakili agregasi kepen ngan
individual. Namun ia adalah jalan untuk menciptakan
arena publik yang mampu meredam konflik dan mencapai
kebaikan bersama melalui dialog antara Sultan yang
didaulat mengemban amanah dengan rakyatnya, sang
pemberi amanah. Yang dalam bahasa Jawa disebut
dengan is lah manunggaling kawula lan gus , dimana
pemimpin dengan rakyatnya tak ada sekat yang
memisahkannya, ia berada dalam satu tubuh kekuasaan.
Seper yang diceritakan dalam kisah pewayangan “Petruk
dadi Ratu”, bahwa tak ada raja tanpa rakyat dan tak bisa
rakyat ada tanpa raja.
Disini pisowanan ageng mempunyai fungsi
sebagai pengendali, kontrol yang oten k serta k
kompromi yang menjadikan demokrasi lebih substansial
bukan sekadar simbolisasi saja. Pisowanan ageng juga
menawarkan notasi par sipa f yang ideal dimana

32
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kemampuan aktor poli k (Sultan) bisa diselaraskan


dengan tuntutan par sipan untuk menghasilkan
konsensus-konsensus poli k dalam rangka pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan bersama. Hal ini mempunyai
persamaan dengan bagaimana memposisikan kedudukan
civilian (orang di luar struktur negara) untuk bergerak
dalam legi masi ruang yang disebut civil society. Dan
dialog dalam pisowanan ageng adalah dialog yang mampu
mewadahi intersubyek vitas di antara warga yogyakarta,
dalam ruang poli k yang terbuka dan memasukkan ngkat
par sipasi semaksimal mungkin.
Ia mempercayai intersubyek vitas sebagai
k e k u a t a n p e m b a n g k i t ko m u n i k a s i . S e h i n g g a
memunculkan apa yang dikatakan Jurgen Habermas
sebagai aksi komunikasi yang bebas dari represi. Ia
memanfaatkan lokalitas sebagai ruang untuk membangun
proses dan segenap pemenuhannya, yang bertujuan pada
pemberdayaan dimensi lokalitas itu sendiri. Dalam
pisowanan ageng, laku poli k adalah perbuatan yang
disangga moralitas dalam ar an yang paling realis s,
bukan mengurusi persoalan privasi individu tetapi publik,
integrasi antara kolek vitas sebagai manifestasi nilai-nilai
dengan hak invidual sebagai pernyataan sifat par sipasi
sehingga akan menghasilkan atribut baru berupa tekanan
yang lebih besar pada posisi tawar civil society. Dengan
demikian kita dapat memahami bahwa Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah en tas yang
monoli k, bukan pula pemerintahan yang otoritarian. Ia
justru menjadi ruang pergulatan antara civil society
dengan poli cal society. Bahkan ia mencoba menjaga
akselerasi dan interaksi antara kekuasaan poli k dengan

33
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

civil society.
Hal ini membuk kan bahwa kekuasaan Sultan
bukanlah terbentuk dari rangkaian panjang penguasaan
oleh satu kelompok tertentu, kelas, ataupun aparatusnya
sendiri. Melalui pisowanan ageng ia justru menawarkan
dirinya sebagai bagian dari rakyat dan kemenyeluruhan
proses par pasi. Ia tetap menjadi ruang yang sistemik
namun mempunyai keunikan, kekhasan, dan kemandirian
yang rela f bertahan dengan model dan perjuangannya
sendiri. Pisowanan ageng telah membuka ruang poli k
yang selama ini macet oleh berbagai blokade kepen ngan
kuasa dan uang. Ruang yang selama ini dipakai hanya
untuk pencitraan diri demi kedudukan atau di mbun oleh
prosedur-prosedur ru n yang membunuh inisia f warga.
Dalam pisowanan ageng pula, interaksi sosial digerakkan
oleh solidaritas. Bukan dengan kode uang dan kuasa. Para
individu rela melampaui kepen ngan privatnya dengan
mengambil alih peran warga Yogyakarta. Ia membongkar
apa yang disebut Habermas sebuah ”kolonisasi sistem atas
dunia-kehidupan” yang tak hanya membunuh par sipasi
warga dalam pembangunan, tetapi juga mengakibatkan
marjinalisasi dan pemiskinan karena kolaborasi birokrat-
investor membuat sistem seleksi yang menguntungkan
sepihak.
Sehingga ia memulihkan harapan pada demokrasi
dan otoritas, ia menjadikan kekuasaan untuk bisa “mawas
diri” dan mencegah kekuasaan berubah menjadi seper
binatang buas, yang menjadikan rakyatnya sendiri sebagai
mangsanya.

34
Renaissance Yogyakarta

Gerakan itu sebenarnya bermula dari Italia pada


pertengahan abad ke-14. Gerakan ini menyimpan
semangat untuk membingkai segala maksud dan usaha
manusia dalam rangka merengkuh cita cita manusia ideal
sebagai makhluk individual dan sosial. Semangat ini di
ilhami dari kebudayaan Yunani dan Romawi, yang mereka
anggap telah mencapai tahap ter nggi dari budi manusia.
Mereka pun giat mempelajari warisan budaya dan mitos
Yunani, La n dan Romawi klasik dengan studi yang bersifat
lebih kri s. Dari sinilah mereka menemukan nilai-nilai
kemanusiaan dan kepercayaan akan kemampuan akal budi
manusia. Dari sini pula mereka mulai mempertanyakan
dogma gereja, yang bagi mereka telah mema kan nalar
dan membelenggu mereka dalam ke dakberdayaan. Bagi
mereka abad pertengahan adalah masa dimana eksistensi
manusia beserta bakat alamiahnya tenggelam oleh
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dogma-dogma gereja. Manusia di masa ini terpasung dan


terjerembab ke dalam lubang kebodohan dan kerendahan
nalar.
Mereka pun mengadakan koreksi total terhadap
pola berpikir konvensional yang selama ini dilantunkan
oleh gereja. Pada awalnya doktrin resmi gereja
mengatakan bahwa alam ini tak lebih dari sekedar suatu
sistem terbatas bagai bidang lingkaran yang berputar
mengelilingi bumi atau biasa disebut dengan teori
geosentris. Namun mereka membantah pandangan itu,
dan menemukan bahwa sebenarnya alam ini tak sebatas
itu melainkan jauh lebih luas, dan bumi ini hanyalah salah
satu anggota alam secara makro, teori heliosentris.
Pengetahuan ini kemudian memberi mereka keyakinan
bahwa pemahaman terhadap alam daklah semudah dan
sesederhana sebagaimana yang terkandung dalam syair-
syair Kris ani. Dan kemudian mereka terdorong untuk
menekuni berbagai disiplin ilmu yang beraneka ragam.
Dari sinilah kemudian muncul banyak sikap dan
prestasi baru yang berbeda dengan pandangan dunia
(world view) Abad Pertengahan. Munculah karya-karya
agung dari para seniman dan pemikir seper Leonardo da
Vinci, Dante, Galileo Galile dan Francis Bacon yakni
seorang bangsawan Inggris yang meletakkan dasar
filosofis untuk perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan dengan mengarang suatu maha karya yang
bermaksud menggan kan teori Aristoteles tentang ilmu
pengetahuan dengan suatu teori baru dalam bukunya
Novum Organon. Gerakan renaisans terus berkembang
dari sini. Penyebaran ilmu pengetahuan yang pesat
didukung oleh penemuan pen ng berupa mesin cetak

36
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

hingga buku-buku yang tersebar di lingkungan gereja


dapat diperbanyak dan dibaca oleh masyarakat pada saat
itu. Is lah mencerdaskan bangsa, serentak dimulai pada
awal abad ini.
Gerakan ini memuncak, dan munculah pandangan
Rene Descartes, yang terkenal dengan ungkapan “Cogito
Ergo Sum” (Aku berfikir maka aku Ada) hingga semboyan
dari Immanuel Kant yang berbunyi “Sapere Aude”
(Beranilah berfikir sendiri) yang kemudian menjadi
landasan keyakinan bahwa nalar manusia dimulai dari
proses berpikir dan menger bukan bermula pada doktrin
agama. Pada saat inilah manusia mulai dianggap sebagai
pusat kenyataan. Manusia berani berpikir secara baru,
antara lain mengenai dirinya sendiri, manusia
menganggap dirinya sendiri tak lagi sebagai viator mundi,
yaitu orang yang berziarah di dunia ini, melainkan sebagai
faber mundi, yaitu orang yang menciptakan sendiri
dunianya. Inilah zaman yang bisa juga disebut sebagai
zaman pembentukan “subjek vitas”. Sebuah zaman yang
dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan
pemikiran mengenai subjek vitas manusia. Dulu di abad
pertengahan Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang ada,
namun pada zaman ini, peranan substansi diambil alih
oleh manusia sebagai “subjek” yang terletak di bawah
seluruh kenyataan, dan memikul seluruh kenyataan yang
melingkupinya. Inilah mengapa zaman renaisans disebut
sebagai era kelahiran kembali atau kebangakitan kembali.
K e b a n g k i t a n m a n u s i a d a r i ke t e r p u r u k a n d a n
keterkungkungan dogma sme agama. Voltaire menyebut
zaman Pencerahan adalah "zaman kebangkitan akal ".
Cita-cita pemikiran pencerahan dibawa sampai

37
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

ke p a d a p u n c a k n y a o l e h I s a a c N e w t o n , y a n g
mengembangkan ilmu pengetahuan alam. Dia telah
memberikan alas kepada fisika yang klasik, yang
menjanjikan suatu perkembangan yang ada batasnya.
Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang
memang telah ada pada Renaisans serta yang
mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme.
Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran manusia dari
pemikiran tentang kehidupan pribadi hingga sistem
pengaturan Negara. Di lain sisi, kebesaran gereja merosot
tajam, filsafat skolas k mulai dak berdaya dan dipandang
rendah, supermasi agama dan e ka hidup secara perlahan
tapi pas menjadi kurang diperha kan. Bersamaan
dengan itu, secara bertahap muncul ins tusi baru dan pola
berpikir yang baru, yang sekaligus menandai abad ini, abad
dengan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan
sebelumnya.
Rentan Abad ke-18 masa itu terkenal dengan
sebutan zaman Au larung. Jadi, Renaisans sebenarnya
merupakan masa transisi untuk menuju ke zaman
Au larung abad ke-18, yang dimaknai dengan hadirnya
perkembangan ilmu alam, penemuan teknologi hingga
revolusi industri yang merebak setelah Zaman Renaisans.
Hal ini bisa dimaklumi bahwa pada akhirnya kebudayaan
banyak mempengaruhi perkembangan ilmu, seni dan
teknologi. Disinilah kita memahami bahwa Renaisans
merupakan suatu periode sejarah yang panjang, suatu
masa dimana terjadi perubahan tradisi berfikir dan pola
kehidupan yang sangat mendasar dan banyak pengaruh
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, seni
dan desain dan arsitektur. Sebuah k tolak reformasi

38
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

abad ke 16 menyusul bangkitnya pengetahuan di zaman


Au larung dan perkembangan ide humanisme.
Pe r i o d e Re n a i s a n s i n i d i ta n d a i d e n ga n
diterjemahkannya literature-literatur klasik Yunani-
Romawi ke dalam bahasa la n untuk kemudian dibaca dan
dipelajari oleh berbagai kalangan. Penemuan kembali
pikiran-pikiran yang telah dicetuskan pada masa klasik
Yunani-Romawi tersebut memberi “pencerahan”, dan
pengetahuan baru yang kelak menjadi suatu tanda
lahirnya ilmu pengetahuan modern yang menjadi cikal
bakal industri dan desain modern. Pada dasarnya, masa
Renaisans merupakan suatu reaksi terhadap kehidupan
yang sangat dipengaruhi oleh sikap absolu sm agama
(gereja) yang sangat dogma s, theosentris dan dak
rasional. Penggalian literatur yang akhirnya kemudian
membuka kembali pikiran-pikiran masa Yunani-Romawi
dan membangkitkan kesadaran baru tentang fitrah
manusia dan perannya dalam dunia kehidupan.

Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara?


 Pramoedya Ananta Toer dalam romannya yang
berjudul Arus Balik, mengisahkan bahwa Nusantara dulu
di era Majapahit berjaya sebagai penguasa mari m
terbesar. Arus bergerak dari selatan ke utara, segala-
galanya; kapal - kapalnya, manusianya, amal perbuatan-
nya, dan cita-citanya. Bergerak dari Nusantara di selatan ke
“Atas angin” di utara, sebab Nusantara bukan saja
kekuatan darat melainkan juga kerajaan laut terbesar
diantara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Namun
kemudian arus itu membalik.
Arus raksasa menggelombang dari utara

39
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menghempas Nusantara mundur ke selatan, dan yang


ter nggal hanya negara kota kecil-kecil di pesisir utara
Jawa. Bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke
pedalaman, ke desa-desa di kaki pegunungan. Mundur,
mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya
geografis, tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri
sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian menggan
nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang
paling aman, pedalaman yang tak akan mampu disentuh
oleh siapapun. Pedalaman dimana bisa dibangun
kekuasaan yang merasa diri paling perkasa dan bisa
berbuat segala-galanya. Namun khayal dan bersimpang
dengan kenyataan tanpa batas.
Kenyataan itu lebih diperpahit dengan datangnya
kolonialisme Barat yang menjajah Nusantara, yang
membuat Nusantara semakin merosot. Belanda berhasil
menanamkan perspek f kon nental atas Nusantara di
dalam benak masyarakat pribumi lewat kebijakan kolonial
yang masif dan agresif. Belanda memang dak pernah
memandang laut di Nusantara sebagai sumber daya alam
strategis. Pelayaran Hongi yang dilancarkan pada abad ke-
17 justru bertujuan melakukan blokade laut untuk
mencegah perdagangan gelap rempah-rempah antara
pribumi penanam rempah dan pesaing-pesaing VOC, serta
mengontrol perdagangan hasil bumi darat (cengkih). Lalu,
dengan dikeluarkannya kebijakan tanam paksa pada 1830,
ak vitas perdagangan dan ekonomi makin memusat ke
daratan, terutama di bidang pertanian dan hor kultura.
Sebagai dampaknya, industri perkapalan dan usaha
perikanan dak pernah mengalami kemajuan. Tak ada lagi
kapal-kapal besar yang dibangun oleh kaum pribumi yang

40
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dak hanya sanggup melayari selat-selat antarpulau tetapi


juga samudra-samudra luar. Ditambah lagi dengan
ditetapkannya Batavia sebagai pelabuhan utama dan
pusat administrasi pemerintahan Hindia Belanda, yang
menyebabkan ma nya banyak pelabuhan-pelabuhan
tradisional di sepanjang pantai-pantai Nusantara
menjelang akhir abad ke-17.
Sehingga kekuasaan kolonial Belanda dapat
dikatakan sebagai biang kerok dari marginalisasi aspek
mari m secara sistema s dalam evolusi kesadaran
kebangsaan dengan penanaman perspek f kon nental.
Bahkan kolonialisme membuat rakyat Nusantara
kehilangan ja diri dan iden tas dirinya sendiri. Bangsa
Nusantara mengalami krisis iden tas. Hal ini bisa
dijelaskan melalui psikoanalisis Lacanian dalam
gagasannya tentang kompleks koloni. Pada fase pra-
kolonial, kaum pribumi (masyarakat Nusantara) layaknya
seper bayi, yang berada pada kondisi yang rela f serba
berkecukupan. Bayi mendapat kepuasan, kenyamanan,
dan kecukupan dari ibunya (alam). Masa-masa indah ini
te r p e ca h ka n s a at ke h a d i ra n s a n g aya h d a l a m
kemarahannya membuyarkan impian sang bayi (pribumi)
untuk tetap bersatu dengan ibunya (alam). Dalam konteks
kolonialisme, sang ayah tersebut adalah Barat, para
penjajah. Sang ayah tersebut hendak memisahkan sang
anak dari ibunya, dengan dua tujuan: untuk “menga-
mankan” sang ibu dari sang anak dan memperkenalkan
sang anak kepada realitas kehidupan. Bagi ayah, kehadiran
sang anak “mengganggu” kein man hubungan-nya
dengan sang ibu. Oleh karena itu satu-satunya jalan adalah
mengkastrasi/memisahkan sang anak dari ibunya.

41
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Dalihnya adalah memperkenalkan sang anak kepada


kebudayaan. Lagipula, syarat seseorang untuk berbudaya
adalah berhasil mengatasi ketergantungannya dengan
ibunya (alam). Wajar apabila sang ayah, yang berniat
mendewasakan anaknya, harus terlebih dahulu menyapih
sang anak dari ibunya (Hizkia, 2008).
Kemudian para penjajah melakukan ndakan-
ndakan “pengondisian” secara paksa untuk memisahkan
sang anak dari ibunya. Se daknya ada ga macam
pengondisian tersebut, yaitu penghancuran budaya
setempat, poli k adu domba (devide et impera), dan
interterpelasi hasrat. Seper apa yang diungkapkan Frantz
Fanon, bahwa Situasi kolonial memberhen kan
kebudayaan pribumi di hampir semua bidang. Kebudayaan
pribumi di bawah dominasi kolonial adalah kebudayaan
yang diperebutkan yang kehancurannya diupayakan
secara sistema s. Setelah seabad atau dua abad berlalu
terjadilah penipisan budaya nasional. Hingga negasi atas
kebudayaan pribumi, penghinaan terhadap manifestasi
apapun dari kebudayaan pribumi, apakah ak f atau
emosional.
Setelah Barat telah memegang kontrol atas tanah
jajahan, dan mengambilnya dari para pribumi. Ia
kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam dan
manusia (sebagai budak). Serta yang paling pen ng misi
mulia pengadaban kaum terjajah dimulai. Fase ini dak
lagi menekankan pada penggunaan senjata sebagai alat
penaklukan, walau dak meninggalkannya sama sekali,
namun lebih kepada strategi diskursif yang dilakukan oleh
penjajah, dalam rangka membentuk mentalitas dan
iden tas kaum terjajah. Dan saat kaum terjajah telah

42
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

benar-benar teralienasi dari alam dan konteks kulturalnya,


masuklah ia pada fase cermin yakni proses pembentukan
iden tas kaum terjajah dalam konstruksi yang diciptakan
oleh sang penjajah. Hal ini kemudian melahirkan kompleks
inferioritas pada diri kaum terjajah yaitu perasaan dimana
seseorang merasa inferior/rendah diri saat melihat orang
lain yang dianggap “ideal”. Tertanamlah di benak kaum
terjajah bahwa dirinya adalah makhluk hina dan tak
beradab. Kita mengenalnya dengan is lah mentalitas
Inlander, dan ini adalah gejala-gejala kompleks
inferioritas. Sampai pada pandangan “Barat yang dinamis”
sedangkan “Timur yang stagnan”.
Sedangkan produk berikutnya adalah sistem
sosial. Barat menggan seluruh tatanan kehidupan kaum
terjajah dengan tatanan baru ala Barat. Liberalisme
menggan kan feodalisme, individualisme menggan kan
komunalisme, pasar bebas menggan kan sistem ekonomi
tradisional, tradisi-tradisi yang dianggap kuno, dekaden,
bahkan an humanis pun dilarang dan digan kan “tradisi-
tradisi” yang lebih modern. Ujungnya masyarakat
Nusantara mengalami krisis iden tas. Yang selanjutnya
menjadi legi masi atas ndakan- ndakan dominasi,
eksplorasi, serta ekploitasi masyarakat Nusantara yang
dianggap lebih rendah. Kolonialisme Barat
mempergunakan stereo pe non-kulit pu h, barbar, serta
atheis pada para koloninya (Timur) untuk dapat
mencerahkan, mendidik, dan menguasai sumber daya
wilayah-wilayahnya.

Krisis Iden tas yang Berkepanjangan


Peran nasionalisme dalam revolusi kemerdekaan

43
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

kaum terjajah bisa dikatakan cukup signifikan. Ia diyakini


menjadi unsur utama dalam revolusi kemerdekaan,
namun ternyata tak cukup untuk membebaskan
masyarakat Nusantara dalam lubang krisis iden tas.
Bentuk lainnya dalam upaya keluar dari krisis iden tas
ialah melakukan peniruan wacana kolonial yang dikenal
dengan is lah mimikri. Mimikri mengacu pada masyarakat
terjajah yang telah memperoleh kemerdekaannya namun
tetap dak dapat mengatasi pengaruh inferioritas yang
ditanamkan oleh penjajah. Keadaan ini memacu berbagai
kesenjangan serta keterputusan dengan iden tas mereka
sendiri. Mimikri mengakibatkan iden tas menjadi
mpang dan dak sempurna. Pembentukan iden tas
“mirip namun dak sama” ini selalu berada dalam
ketegangan antara harapan untuk memposisikan diri
sebagai bagian dari masyarakat terpelajar dan dihorma
dengan kenyataan pahit akan selalu diposisikan sebagai
masyarakat inferior di mata masyarakat Barat sendiri.
Namun, di balik ke mpangan dan ke daksempurnaan
iden tas yang diakibatkan proses mimikri, masyarakat
pribumi yang mengadopsi nilai-nilai kolonial pun tetap
memiliki negosiasi tersendiri.
Timur yang digambarkan bersifat mis s, primi f,
dan barbar dianggap perlu diter bkan Barat yang logis,
modern, dan berbudaya. Selanjutnya, wacana pencerahan
ala Barat diterapkan pada subyek terjajah agar mudah
dikuasai serta diatur. Sebaliknya, subyek terjajah (Timur)
akhirnya beradaptasi dan berasimilasi dengan wacana
penjajah (Barat) sebagai upaya untuk didengar dan
dikenal. Wacana pencerahan ala Barat diperkenalkan
untuk menegaskan gambaran Barat sebagai pusat yang

44
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

mengetahui segalanya di luar dirinya, yang dianggap


berhak mengatur hal-hal di luar dirinya. Oleh karena itu,
Timur yang ingin dikuasai kemudian diproyeksikan sebagai
Other (Liyan), hal di luar Self (Diri) Barat. Derrida menyebut
konsep tersebut sebagai “white mythology”. Konsep ini
hanya bertumpu pada kebudayaan dan iden tas Barat
(orang kulit pu h) yang mengutamakan logika (reason).
Logika yang digunakan disini pun hanya dikhususkan pada
bahasa dan ilmu pengetahuan ala Barat. Bahasa dan ilmu
pengetahuan tersebut ditempatkan sebagai kebenaran
universal yang dapat diterapkan di bagian dunia mana pun.
Oleh karena itu, mimikri dipicu oleh penjajah yang
berusaha menerapkan mitologinya ke dalam tubuh subyek
jajahannya. Hal ini dilakukan melalui penerapan berbagai
oposisi biner yang menyebabkan Timur selalu dipersepsi,
yang pada akhirnya mempersepsi dirinya sendiri sebagai
Other (Liyan) yang selalu berada di bawah kekuasaan Barat
sebagai Self (Diri) yang utuh dan otonom. Dengan kata lain,
mimikri Timur terhadap kolonial Barat merupakan ekses
pembedaan hirarkis yang selalu ditekankan Barat
terhadapnya. Timur berusaha menjadi bagian dari Barat
dengan melakukan berbagai peniruan.
Keadaan yang serupa berlangsung di dunia
modern. Berbagai film serta iklan membanjiri pasar dunia
menkonstruksi gambaran Barat yang kuat, moralis, dan
berpendidikan. Film-film Rambo dan James Bond
melambangkan Barat yang tetap berkuasa. Sebaliknya,
masyarakat Timur selalu diperlihatkan sebagai pihak yang
lemah, barbar, serta dak berpendidikan. Stereo pe
tersebut digambarkan melalui karakter orang kulit hitam
yang selalu diperlihatkan sebagai kriminal dan penjahat

45
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

atau karakter orang Asia Timur yang diperlihatkan percaya


pada hal-hal gaib. Kenyataan tersebut merupakan ekses
dunia neokolonial modern, sebuah dunia yang selalu
memproduksi ke dakadilan dan ke mpangan kekuasaan
sistem poli k dan sosial. Kolonisasi Barat atas dunia mur,
terus tumbuh sebagai kategori-kategori determinan
dalam putaran sejarah global hingga saat ini. Bahkan
kolonisasi baru hadir tetap dengan visi yang sama yakni
eksploitasi, namun dengan corak yang berbeda.
Kolonisasi baru ini datang dengan cara maksimali-
sasi pelayanan atas tubuh dan terus merangsang pertum-
buhan seduksi yang dikandungnya. Rasa yang diserap oleh
tubuh, adalah apriori, sekaligus menjadi dasar (fundamen)
dari pertumbuhan modus seduksi tertentu. Ini adalah
ruang ins ng f, dimana seduksi dibentuk melalui benda-
benda sebagai perangsang, dan kemudian ruang di dalam
tubuh (adalah kesadaran) ditentukan sepihak. Dalam kata
lain, tubuh sang Timur itu dideka berdasar aspek
ins ng fnya ke mbang kategori humanisnya sebagai
“manusia” yang berbudi. Ia mendorong perubahan
persepsi dan kebiasaan (penataan dinding ruang
kesadaran), bukan melalui relasi tubuh dengan teknologi
(nilai guna), namun lebih jauh dalam relasi tubuh ins ng f
dengan benda-benda baru di sekitarnya. Pertautan
tersebut lebih terbaca sebagai pertautan hedonik, dimana
benda-benda seper gadget, komputer, dan lainnya yang
memungkinkan percepatan dalam konteks yang terbatas
dihadirkan hanya untuk melayani seduksi tubuh.
Sementara sistema ka nalar yang menghasilkan benda-
benda itu sendiri, sebagai pangkal percepatan, dak
pernah hadir dalam tubuh sang Timur itu sendiri. Tubuh itu

46
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masih berada dalam kategori ruang waktunya sebagai


“orang pedalaman”, namun sedang berada dalam
kecanduan seduksi atas benda-benda dari luar ruang
waktunya sendiri. Atau, benda-benda yang datang bukan
dari tubuh sejarahnya sendiri.
Dalam konstruk demikian, benda-benda ins ng f
tersebut sesungguhnya dak memadai untuk pelanjutan
kesejarahan ruang kesadaran masyarakat Timur. Dalam
kedekatan bersama benda-benda dalam kerangka
hedonik tersebut, apa yang disebut “kemajuan” diukur
adanya berkat kehadiran benda-benda modern (gadget,
komputer, dll), yang pada dasarnya hanya sekedar
pelayanan atas seduksi tubuh. Semakin lama semakin
membuat persepsi menyejarah (ruang kesadaran) justru
semakin kabur atau bahkan hilang. Jika ditelisik dari apa
yang sedang berlangsung di lapangan aktualnya sendiri,
lebih tepat disebut sebagai proses sedang berlangsungnya
kerja pemutusan sejarah, atau kerja untuk meninggalkan
sejarah (lebih ekstrim daripada sekedar melupakan
sejarah).

Renaissance Yogyakarta : Sebuah Peluang Menempatkan


Timur sebagai Subjek?
Dalam Rapat Kerja Daerah II DPD KNPI DIY, Sri
Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY
memberikan sambutan yang berjudul “Renaisans
Yogyakarta” (Menyongsong Peradaban Baru). Dalam
sambutan ini beliau menekankan bahwa ada peluang
besar khususnya Yogyakarta untuk melakukan Renaisans.
Namun peluang renaisans itu akan terganjal apabila
persoalan krisis iden tas masih mendera sebagian besar

47
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masyarakat kita. Proyek renaisans nicaya akan terhambat


oleh narasi besar kolonialisme dalam bentuk studi,
penulisan, dan penciptaan image mengenai Timur. Untuk
itu, proyek renaisans harus di tempatkan dalam upaya
pembebasan image Timur yang telah tercipta oleh narasi
kolonial. Dengan kata lain, proyek renisans harus memuat
bentuk penyadaran dan kri k atas neo-kolonialisme serta
hubungan hegemonis kekuasaan dalam bermacam-
macam konteks. Sehingga ia termasuk dalam proses
“membentuk subjek”. Terutama mengkri k pemusatan
dan logosentrisme narasi kebudayaan Eropa. Ia adalah
“perang” atas pandangan totalis k narasi besar. Atau
sebagai sebuah tanggapan atas modernisme yang berasal
dari kemunculan berbagai macam “yang lain” dari wilayah-
wilayah jajahan. Sehingga proyek renaisans menjadi
sebuah sikap dan cara pandang yang dapat membuka
pemahaman yang objek f terhadap permasalahan yang
ada.
Proyek renaisans tak bisa dilakukan apabila kita
masih saja mengalami kompleks inferioritas. Untuk itu, ia
harus menjadi bagian upaya menghilangkan rasa dak
p e rcaya d i r i ata u i n fe r i o r i t y co m p l ex . U p aya
m e m b e b a s ka n d i r i d a r i h e g e m o n i B a ra t , d a n
mendongkrak inferioritas Timur demi posisi yang sejajar
dengan Barat. Ia harus ditujukan untuk menghilangkan
inferioritas aku (Timur) dengan menjadikannya sebagai
pengkaji. Sehingga proyek renaisans dapat menggerakkan
krea vitas aku dan menentukan hubungan dialek s antara
aku dan liyan. Hal ini dilakukan sebagai manifestasi
perpindahan poros dari Atlan k ke Pasifik, sebagai bentuk
penyongsongan kita atas perpindahan kebudayaan dari

48
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Barat ke Timur. Sehingga kita bisa mengaitkan makna-


makna yang dihasilkan dari cara baca masa kini dengan
masa lampau dan merasakan masa lampau dengan masa
kini. Agar proyek renaisans dapat menjadi waktu transisi
yang berkaitan dengan peringatan peralihan kedaulatan.
Terutama peralihan kedaulatan dari Barat ke Timur.

49
Renaissance Yogyakarta
dan Gerakan Kita

Dalam pembahasan yang lalu, kita sudah sama-


sama memahami bahwa masyarakat Nusantara
mengalami pembalikan arus, dimana setelah masa
kejayaannya justru berbalik dengan masa kemunduran
hingga mengalami dentuman kolonialisme Barat.
Akibatnya masyarakat Nusantara mengalami krisis
iden tas, mengalami kemandegan sampai kemandulan
kebudayaan. Akhirnya kita hanya menjadi korban dari
modenitas. Hanya menjadi penikmat dan konsumen abadi
hasil perdaban modernitas.

Kegagalan Modernitas dan Kegagapan Kita


 Modernisasi pada awalnya dilaksanakan sebagai
usaha untuk mencapai prospek kemajuan bagi Negara
dunia ke ga (negara berkembang dan eks jajahan). Hal ini
pertama kali muncul pada tahun 1950-an setelah perang
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dunia kedua. Ini dilakukan di suatu Negara untuk


mengembangkan suatu daerah dari tahapan primi f
ketahapan yang lebih maju dan modern, serta membuat
masyarakat memiliki bentuk dan struktur yang serupa. Di
era 50an ini kemudian muncul berbagai program bantuan
dari negara maju untuk negara berkembang dengan
mengatas namakan proyek modernisasi.
 Namun yang seringkali terjadi, upaya modernisasi
hanya menjadi proses yang diprakarsai dan dikontrol “dari
atas” oleh elite poli k yang memutuskan untuk
mengangkat negara mereka dari keterbelakangan melalui
upaya terencana. Ia bukan sebagai gerakan yang bekerja
sendiri dari bawah. Sehingga kurang terjadi ke arah yang
p r o g r e s i f. B a h ka n y a n g t e r j a d i j u s t r u p r o s e s
“Amerikanisasi”, pembaratan dan homogenisasi yang
berjalan sangat massif dan terstruktur. Maka modernisasi
justru hanya menjadi semacam proses menyamai,
mencangkokkan pola dan hasil prestasi negara lain ke
negara sendiri. Bukan sebagai proses evolusi yang
berlangsung berkala menuju progresifitas atas
kekuatannya sendiri.
 Modernisasi hanya semata-mata menjadi gerakan
menuju ciri-ciri masyarakat yang dijadikan model.
Terutama peniruan terhadap masyarakat Barat yang
dianggap sebagai cetak biru modernitas. Masyarakat
industri Barat yang demokra s dijadikan sebagai
masyarakat rujukan. Apabila modernisasi diar kan hanya
sebatas ini, maka niscaya ia akan mengalami kegagalan
bahkan kemerosotan kualitas hidup di berbagai bidang.
Fenonema yang sudah terjadi menunjukan demikian,
yakni ke ka proyek modernisasi gencar dilaksanakan di

52
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

negara kita, yang terjadi justru hanya perubahan material


semata, seper adanya kehadiran bangunan-bangunan
megah, gedung pencakar langit, masuknya teknologi
canggih. Namun spirit yang mendasari modernitas itu
sendiri tak pernah hadir, seper cara berpikir ilmiah, sikap
hidup yang rasional bahkan pencapaian ngkat hidup yang
efek f dan efisien.
 Revolusi Hijau adalah contoh nyata dimana
program modernisasi menemui kegagalan bahkan justru
mengkibatkan kemerosotan kualitas hidup dan involusi.
Revolusi hijau merupakan awal dari merebaknya
transformasi total dalam tata cara dan organisasi produksi
pangan, terutama padi, yang masih tradisional menjadi
tata cara dan organisasi produksi yang modern. Di njau
secara sosiologis dan human ecology, transformasi itu
akan mengganggu mekanisme kerja pada sistem sosial
petani dan menggoncangkan hubungan antara sistem
sosial petani dengan ekosistem pertaniannya.
Keseimbangan terutama keseimbangan hubungan antara
manusia dengan alam menjadi tergang gu saat
berlangsungnya revolusi hijau, Sehingga hubungan antara
kedua sistem itu dak lagi bersifat simbiosis mutualis k.
Akhirnya petani mulai kelimpungan menghadapi serangan
hama, kesuburan tanah yang merosot, ketergantungan
pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pes sida
dak manjur lagi. Revolusi hijau bahkan telah mengubah
secara dras s hakekat petani. Dalam sejarah peradaban
manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam
dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas
mandiri, tetapi dengan pertanian konvensional, petani

53
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

justru dak mandiri. Petani menjadi tergantung terhadap


ketersediaan pupuk kimia, pes sida dan benih serta
sarana pertanian lain.
Program penyeragaman yang secara struktural
dan sistema s ini sangat merusak pola pikir para petani
subsisten, dan ternyata berhasil juga menyeragamkan pola
pikir para petani pada umumnya. Dimana kultur bertani di
kalangan para petani pun memudar. Revolusi Hijau
ternyata menyebabkan hilangnya beberapa tradisi dalam
sistem pertanian kita. Petani menjadi bodoh dengan
melupakan banyak pengetahuan lokal dan
menggantungkan diri pada paket-paket teknologi produk
industri. Ia juga banyak menghancurkan keragaman haya
di lahan pertanian yang menjadi sumber pangan bagi
masyarakat dan petani tradisional. Kesadaran ekologi
petani pun hilang. Pertanian yang berjalan sepenuhnya
hanya menggunakan kalkulasi sarana-tujuan. Atau dalam
bahasa Adorno dan Horkheimer, petani kita terjebak pada
struktur mental yang disebut Zweckra onalitat, cara
berpikir yang hanya memen ngkan capaian target
material dan manipulasi teknis semata. Yang terjadi justru
seper apa yang dikatakan Weber yakni fenomena
memudarnya daya-daya pesona dunia atau hilangnya
pesona alam.
Pergeseran dari akal budi objek f ke akal budi
instrumental menurut Horkheimer menyebabkan
polarisasi atau keretakan kesadaran sehingga manusia
bukan lagi memahami realitas sebagai suatu keutuhan
yang bernilai pada dirinya, melainkan dengan cara distansi,
dimana realitas menjadi serpih-serpih yang berjarak satu
sama lain. Disinilah petani mengalami keterasingan

54
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

(alienasi) dengan dunianya yakni dengan alam material


(sistem pertanian) yang ia gelu sendiri, yang
menyebabkan ia kehilangan makna sebagai makhluk
pemelihara kehidupan. Petani sepenuhnya bergantung
pada kekuatan eksternal (buatan pabrik) untuk mengolah
lahan pertaniannya. Nilai intrinsik dari kerja bertani itu
hilang, ia sepenuhnya dijalankan dengan rasio
instrumental. Yang lebih terlihat saat ini, bahkan terjadi
degenerasi dibidang pertanian bahkan lost genera on.
Terjadi diskrepansi antara world view generasi saat ini
dengan realitas sosial yang dikonstruk oleh generasi
sebelumnya.
 Disinilah proses modernisasi yang dilakukan gagal
membawa masyarakat Nusantara kepada tahapan
masyarakat fungsional seper dalam skema budaya Van
Peursen. Kehadiran modernitas hanya mengubah struktur
material kehidupan masyarakat Nusantara semata. Tak
membawa perubahan mental masyarakat ke dalam alam
pikir rasional. Tak pula memberi “pencerahan”, dan
pengetahuan baru yang kelak menjadi suatu tanda
lahirnya ilmu pengetahuan modern bagi masyarakat
Nusantara. Hal itu justru membawa kemerosotan kualitas
hidup masyarakat Nusantara di berbagai sektor.
Pengembangan ilmu pun mandeg, kita hanya menjadi
masyarakat kompila f bahkan konsum f terhadap segala
bentuk dan hasil peradaban modern. Masyarakat kita
justru merasa dirinya terkepung oleh proyek modernisasi,
menjadi alien di tengah arus modernitas. Disinilah
modernitas justru membawa masyarakat kita ke dalam
tahapan mitologi baru.

55
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Menjadikan Renaissance Yogyakarta sebagai Gerakan


 Apa yang disebut Renaisans dapat dikatakan
sukses apabila ia mampu membawa masyarakat kita pada
tahapan masyarakat fungsional. Dengan kata lain, sebuah
upaya Renassaince dapat dinilai berhasil apabila ia mampu
menjadi transisi dari tahapan masyarakat mitologis atau
ontologis ke tahapan masyarakat fungsional. Disinilah kita
memaknai Renaisans sebagai sebuah gerakan. Sebagai
sebuah proses “menuju kesana”. Frase “menuju kesana”
dapat kita ar kan yakni sebuah masyarakat yang telah
mengalami pencerahan, pembebasan dari berbagai
keterkungkungan, masyarakat yang telah mampu
menempatkan dirinya sebagai “subjek”. Atau dalam
bahasa Jerman kita bisa menyebu nya sebuah upaya
menuju zaman Au larung.
 Masyarakat Nusantara pada umumnya
perkembangan kebudayaannya terhen pada tahapan
mitologis, terutama stagnan akibat distorsi kolonialisme.
Masyarakat mitologis ditandai dengan ciri dimana ia
merasa dirinya terkepung oleh dunia gaib. Ia merasa
dirinya terkungkung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, yaitu dewa-dewa, alam raya atau kekuatan
kesuburan, seper dipentaskan dalam mitologi. Di dalam
kehidupannya ditandai oleh adanya mitos-mitos yang
didalamnya terkandung suatu arahan atau pedoman
untuk kelompok masyarakat tertentu yang
terimplementasikan melalui cerita, tarian, simbol-simbol,
dan pertunjukan wayang. Arahan atau pedoman tersebut
berisi ajaran tentang kebaikan dan kejahatan, hidup dan
kema an, dosa dan pensucian. Muatan budaya itu
berfungsi menyadarkan manusia akan adanya kekuatan/

56
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

daya-daya yang bisa mempengaruhi dan menguasai


kehidupan mereka serta alam. Pas nya, menurut Peursen
(1968: 40-41), wujud apapun yang ditampilkan oleh
kebudayaan tersebut, dilipu kerangka pemikiran yang
bersifat spekula f.
 Namun tak berar semua dari mitos, ajaran
leluhur dan pengetahuan lokal itu tak berguna. Ada pula
mitos, ajaran leluhur dan pengetahuan lokal yang
merupakan hasil krea vitas dan uji coba secara terus-
menerus dengan melibatkan inovasi internal dan
pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyeasuakan
dengan kondisi baru. Tetapi ia hanya sekedar hasil
pengamatan maupun pengalaman, Biasanya diperoleh
berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-
temurun atau hasil pengalaman seseorang berhadapan
langsung dengan alam. Misalnya, dalam masyarakat Jawa
banyak pengetahuan lokal yang sebenarnya hasil
pemahaman (insight), persepsi dan suara ha atau
perasaan (intui on) yang berkaitan dengan lingkungan
yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan
atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan
meteorologis. Pengetahuan lokal ini kemudian sudah
sangat menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan
budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang
dianut dalam jangka waktu yang sangat lama. Misalnya,
mitologi, seringkali dipakai masyarakat Jawa untuk
menerangkan berbagai fenomena berdasarkan proses
alam yang sebenarnya.
 Akan tetapi yang perlu diperha kan ialah bahwa
pengetahuan lokal masyarakat kita kebanyakan
berdasarkan hasil evaluasi subyek f dengan cara

57
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

membandingkan antar perlakuan secara sederhana


meskipun kadang-kadang disertai dengan informasi
kuan ta f. Sehinggs seringkali dak akurat dan kurang
mendalam pada banyak kasus, Namun bukan berar tak
mampu memberikan penjelasan proses alamiah secara
logis. Memang mereka dak menggunakan alat ukur yang
ketat dan valid. Karenanya pengetahuan mereka sering
sebatas pada apa yang dapat mereka lihat dan rasakan.
Pe r b e d a a n a n t a ra p e n g e t a h u a n l o ka l d e n ga n
pengetahuan ilmiah hanya pada persoalan metodologi.
Maka yang membuat keduanya berbeda hanya pada
“ruang lingkup” dan “kedalaman”. Yang jadi soal, banyak
praktek-praktek tradisional yang sudah mencapai tahapan
mantap dalam proses evolusinya sehingga seringkali di ru
begitu saja dari generasi ke generasi tanpa berpikir dan
diteli lebih lanjut. Hal ini kemudian memberikan kesan
bahwa pengetahuan tradisional bersifat sta s. Sedangkan
untuk menuju masyarakat fungsional, perlu terlebih
dahulu mencapai ke tahap ontologis. Tahap ontologis ialah
manusia berusaha untuk mencapai suatu hubungan yang
masuk akal antara manusia dan daya daya kekuatan
sekitarnya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana manusia
mencapai hubungan yang masuk akal dengan daya
kekuatan di luar dirinya? Dengan kata lain, apa yang harus
dilakukan agar proses perkembangan masyarakat dapat
berjalan dari mitologis ke ontologis?

Kodifikasi dan Sistema sasi


Upaya yang perlu dilakukan untuk membangun
suatu hubungan yang masuk akal antara kita dan alam
ialah kodifikasi dan sistema sasi pengetahuan lokal.

58
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Kodifikasi dan sistema sasi yakni terkait dengan


transformasi pengetahuan lokal ke dalam metodologi
ilmiah. Sehingga dengan cara ini pengetahuan yang
dihasilkan diharapkan mempunyai karakteris k-
karakteris k tertentu yang diminta oleh pengetahuan
ilmiah, yaitu rasional dan teruji. Kodifikasi dan
sistema sasi juga sebagai upaya melengkapi pengatahuan
lokal yang masih terbatas pada hasil evaluasi subjek f
dengan metode ilmiah dan gagasan pengetahuan modern.
Namun yang menjadi kendala, pengetahuan indigenous
atau lokal sudah melebur di dalam suatu sistem yang
dinamis dimana aspek sp ritual, kekerabatan, poli k lokal
dan faktor lain terikat bersama dan saling mempengaruhi.
Sebagai misal, pengetahuan ekologi petani Jawa seringkali
sulit terdeteksi karena sudah demikian menyatu dalam
praktek bertani mereka. Sehingga mitologi sudah
merupakan suatu bagian integral dari pengetahuan
indigenous dan dak perlu dipisahkan dari pengetahuan-
pengetahuan teknis. Kepercayaan spiritual tentang alam
mungkin mempengaruhi bagaimana mereka mengelola
sumber daya alam dan bagaimana masyarakat tersebut
mengadopsi strategi baru pengelolaan sumber daya.
 Untuk itu, tahap pertama dalam proses ini adalah
mengatasi adanya hambatan bahasa dengan inventarisasi
is lah lokal dan kemudian diiku oleh eksplorasi
pengetahuan lokal yang ada. Tahap kedua, eksplorasi
pemahaman tentang pengetahuan lokal misalnya yang
melipu pemahaman tentang komponen bentang lahan,
iklim, tanah, vegetasi dan fauna dan tentang dinamika
hubungan antar elemen-elemen tersebut, termasuk
usaha-usaha pengelolaannya. Disini dengan metode

59
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

ilmiah, pengetahuan lokal akan digubah menjadi


systema c knowledge. Pengetahuan lokal yang diadopsi
masyarakat itu dikumpulkan,kemudian dirangkai dan
dianalisa menjadi model pengetahuan yang lebih
terstruktur. Dilengkapi dengan gagasan pengetahuan
modern. Kemudian diuji cobakan kembali bersama
masyarakat. Memang yang sulit terkait dengan preservasi
khazanah kearifan lokal adalah adanya kenyataan bahwa
pengetahuan seper ini pada dasarnya merupakan
pengetahuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, pengetahuan ini dak semata-mata
dapat diperoleh dari buku atau dokumen-dokumen
tercetak lainnya melainkan berada di sekitar kita
menunggu untuk ditemukan, dikaji dan dikumpulkan.
Dengan kata lain, meminjam is lah Polanyi (1966),
kearifan lokal lebih banyak berbentuk sebagai
pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge), yakni
pengetahuan yang melekat dalam sikap, pandangan,
praktek atau pengalaman individu atau masyarakat
te r te nt u s e h i n g ga m e ny u l i t ka n ko d i fi ka s i d a n
pengaturannya. Polanyi juga menambahkan bahwa
pengetahuan yang terungkap dalam bahasa formal
(explicit knowledge) sebenarnya hanya mewakili puncak
gunung es dari keseluruhan badan pengetahuan. Dalam
konteks ini, bagaimana pun perlu ada upaya untuk
mentransformasi kearifan lokal sebagai tacit knowledge ke
explicit knowledge sehingga dapat diakses, dipelajari dan
didayagunakan.
Tujuan dari kodifikasi dan sistema sasi
pengetahuan lokal adalah membawa masyarakat
Nusantara pada tahapan ontologis dimana ia dak hidup

60
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

lagi dalam kepungan kekuatan mi s, melainkan yang


secara bebas ingin meneli segala hal ikhwal. Manusia
mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu
dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun ajaran
atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu dan
mengenai segala sesuatu menurut rinciannya. Untuk
mencapai perubahan dari ketergantungan-
ketergantungan sikap dan perilaku tahap mi s, menuju ke
pembebasannya (tahap ontologis), dan itulah manfaat
prak s bukan teori s, yang memang sangat diharapkan.
Maksud dari penggambaran yang bersifat gaib,
transendental, dan abstrak digan dengan keterangan-
keterangan yang lebih faktual. Kesadaran ontologis yang
mengarah pada implementasi faktual ini, mengharuskan
manusia untuk menghadapi dunia ini dengan lebih krea f
serta inova f, dan hidup yang selalu berubah serta baru
(Van Peursen, 1968: 55-59). Kesadaran yang demikian
tampak lebih aktual dan progresif ke mbang kesadaran
mi s yang lebih bernuansa pasrah.

61
Pemuda Istimewa Bergerak

Dalam menjawab Renaisans dan keis mewaan


Yogyakarta, apa yang disebut pemuda yang selama ini
dikenal dan menjadi konsepsi organisasi KNPI, perlu di
reposisi atau di redefinisi kembali. Karena mau tak mau,
telah terjadi perubahan alam material, terutama terkait
adanya perubahan poros Antlan k ke Pasifik dan upaya
penyongsongan kita atas ide Renaisans dan keis mewaan
Yogyakarta. Sehingga akan terjadi ketegangan antara
struktur subjek f manusia atau individu dengan struktur
objek f yang ada di luar dirinya. Karena manusia selalu
dalam posisi dialek s (interaksi mbal balik) antara apa
yang ada di dalam dirinya dengan struktur atau realita yang
terjadi di luar dirinya. Untuk itu, organisasi sebagai tempat
dimana proses komunikasi antara individu atau kenyataan
subjek f dengan struktur sosial di luar dirinya itu terjadi,
perlu memperbaharui diri. Jika dak, ia akan mengalami
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

krisis legi masi.


 Dalam pendekatan sosiologi pengetahuan Peter L.
Berger dan Thomas Luckman hal ini disebut dengan is lah
“eksternalisasi” yakni proses penyesuaian diri dengan
dunia sosiokultural yang mengalami perubahan.
Kemudian proses ini akan berlanjut pada tahap
“obyek vasi” yakni interaksi sosial dalam dunia
intersubjek f yang kemudian nan nya akan mengalami
proses pelembagaan atau mengalami proses
in tusionalisasi. Namun disini kita akan berbicara proses
ekternalisasi lebih dulu, baru di pembahasan selanjutnya
kita akan berbicara soal “obyek vasi”.

Intelektual Organum : Menyongsong Renaissance,


Menyambut Keis mewaan
 Di era sekarang ini, posisi pemuda dalam
kehidupan sosial semakin kabur bahkan abu-abu. Hal ini
dikarenakan sejak zaman Orde Baru gencar dilakukannya
“depoli sasi” massa termasuk didalamnya adalah
pemuda. Seper yang disampaikan oleh Bennedict
Anderson, misalnya, menyebut bahwa definisi “pemuda”
sejak revolusi kemerdekaan sampai menjelang Orde
Lama mereka selalu dikaitkan dengan “dimensi poli k”.
Akan tetapi setelah Orde Baru berkuasa bukan hanya
terjadi degradasi makna bahkan dekadensi. Pergesaran
makna “Pemuda” menjadi “Remaja”. Ar nya hasil dari
depoli sasi pemerintah Orde Baru, Pemuda mengalami
pergeseran makna yang dulunya memuat dimensi poli s,
menjadi “Remaja” yang berkaitan dengan soal gaya hidup.
Disinilah pemuda menjadi massa yang mengambang
(floa ng mass). Pemuda menjadi kalangan yang seringkali

64
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

“galau”.
Memasuki era reformasi yang mulai compang-
camping, gerakan pemuda mulai menunjukkan k beku
dan hanya muncul gerakan-gerakan permukaan. Bahkan
k in i p a s ca p ro s es d em o k ra s a s i h a l i t u m u l a i
memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawa rkan.
Apalagi soal sensi vitas isu global, mereka kurang
memahami adanya perubahan-perubahan konstelasi
global yang berkembang. Bahkan mereka hanya sekedar
“ikut-ikutan” isu yang berkembang sehingga dengan tanpa
sadar-sebenarnya mereka lebih banyak mengusung
wacana yang kurang menyentuh persoalan dan jauh dari
kenyataan yang ada di masyrakat ke mbang masalah yang
sebenarnya dihadapi oleh masyarakat sipil di negara
berkembang (periphery). Hal ini mempengaruhi struktur
mental dan pengetahuan mereka. Dalam struktur
mentalnya, mereka seringkali menempatkan dirinya
sebagai Ratu Adil yang jika tanpa dirinya, persoalan itu
dak akan selesai. Dengan kondisi struktur mental dan
pengetahuan seper itu, kalangan pemuda seringkali
bersikap dan berperilaku “heroisme narsis”, yang dengan
gaya hidupnya mereka sengaja mengidealkan diri mereka
sebagai kelas kosmopolitan, yang justru sebenarnya malah
semakin menjauhkan diri mereka dari kenyataan.
Dengan kondisi mental yang cenderung eli s,
lemah dalam menangkap perubahan global, dak salah
jika sebagian masyarakat ada yang menganggap
perjuangan mereka dak lebih sebagai bentuk
kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu globalisasi.
Bahkan korban dari globalisasi itu sendiri. Meminjam
is lah Anton Lucas, yang muncul "pemuda-pemudaan".

65
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Mereka muda, tapi tak lekat pada dirinya nilai dan


semangat revolusioner. Sebab, mereka lahir dari tradisi
dan budaya poli k profitur, mereka tergugah bergerak
karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Untuk
itu, perlu adanya sebuah konsepsi yang progresif untuk
membangkitkan pemuda yang lemah ini, seper kata
Chairil Anwar perlunya "menyediakan api" bagi pemuda
ber ndak sebagai splendor varita s, orang yang mampu
memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan
hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap
cahaya kebenaran.
Dan kini sejarah memberikan kita pertanda akan
pen ngnya sosok pemuda pembawa terang. Perlu segera
ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di
masa gawat. Maka disinilah pen ngnya upaya reposisi
g e ra ka n p e m u d a , te r u ta m a d e m i m e nya m b u t
keis mewaan dan renaisans Yogyakarta. Sebuah reposisi
yang bisa mengembalikan poli cal will pemuda itu sendiri
dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih
kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Reposisi
yang sesuai dengan semangat keis mewaan dan renaisans
Yogyakarta, ialah menempatkan peranan gerakan pemuda
sebagai “intelektual organum”. Terutama reposisi
mendasar peran kepemudaan perlu dilakukan terkait
tantangan-tantangan umum globalisasi dan
kesinambungan budaya. Reposisi peran pemuda ini
menjadi sebuah keniscayaan karena tantangan pada
perubahan dunia secara global dak lagi sama dengan
tantangan perubahan dunia pada 10-20 tahun yang lalu.
Intelektual Organum ialah komunitas cendekia
yang santun, namun ak f dan kri s. Sebagai golongan

66
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

intelektual, tugas kita memang bukan sekedar “memberi


makna” terhadap realitas sosial globalisasi, menguatnya
neoliberalisme saat ini, dan meratapinya. Tugas kita
sebagai intelektual adalah ikut menciptakan sejarah
dengan membangun gerakan pemikiran dan kesadaran
kri s untuk memberi makna masa depan kita sendiri.
Komunitas intelektual organum memang minoritas, tapi
minoritas krea f, karena kita hendak membangun
pemuda yang punya cakrawala berpikir luas dan visi jauh
ke depan. Dengan ide keis mewaan dan renaisains
Yogyakarta yang diemban serta visi yang melekat di
dalamnya sekaligus menuntut kita ber ndak menjadi
ujung tombak gerakan. Dengan itu, kita bisa menghindari
seper apa yang ditegaskan Ngarso Dalem dalam
karangannya “Kerangka dan Konsepsi Poli k Indonesia”
yakni kecenderungan KNPI untuk menjadi organisasi
wadah “vested interest” dan sebagai suatu jawatan
(KGPH.H. Mangunbumi, SH, 1989). Yang dalam hal ini, bisa
merusak elan vital perjuangan KNPI itu sendiri sebagai
organisasi pemuda. Inilah tantangan terbesar kaum muda
zaman kita yakni berani mengadakan perubahan
mendasar sikap mental yang meminta jabatan. KNPI harus
memiliki jiwa pembaruan yang berakar pada keyakinan
yang mendalam di tangannya sendiri. Jika kita bergerak
memperbarui diri maka dengan itu kita harus menata
kembali keadaban poli k pemuda. Yang nan nya juga
bertanggung jawab atas keadaban publik.
Oleh karena itu, perlu adanya kesebangunan
antara gerakan poli k kaum muda dengan gerakan
renaisans dan keis mewaan Yogyakarta yang bertujuan
untuk memperbaiki keadaban publik. Disini peranan

67
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda (KNPI) layaknya peranan pemuda di Eropa di saat


gerakan Renaisans terjadi, yakni bagian dari upaya besar
membangun jembatan kultural yang mempertautkan
semangat renaisans dan modernitas dengan tradisi
kearifan masa lampau. Seper yang terjadi di Jerman di era
Third Reich, misalnya, dimana gerakan renaisans
dirumuskan dalam suatu kesinambungan yang hidup
dengan kejayaan kerajaan Prusia yang mendahuluinya.
Mereka mampu memaknai kearifan masa lampau secara
hidup, dinamis dan interpreta f. Sehingga mengilhami
gagasan-gagasan progresif dan dapat membuka
pendefinisian ulang modernitas dalam hubungannya
dengan tradisi.
Seper gagasan Dante misalnya, ia berbicara
tentang ar pen ng sebuah kolek vitas budaya. Bahwa
didalam masyarakat, singkatnya, melekat sebuah budaya.
Sementara se ap budaya memiliki kontribusi yang unik
dan tak tergan kan bagi kemajuan umat manusia, maka
perjumpaan dan kesinambungan antara renaisans sebagai
bangunan modernitas dengan kultural yang dalam hal ini
kita memiliki konsepsi keis mewaan menjadi kebutuhan
yang laten dan krusial. Sehingga renaisans dan
keis mewaan Yogyakarta sebagai konsepsi merupakan
kerangka kolek f yang diperlukan bagi kebutuhan
perjumpaan dan kesinambungan kultural ini. Ia
menempatkan kembali semangat renaisans dan kultural
yang hidup, dinamis dan interpreta f terhadap
modernitas dalam kaitannya yang erat dengan konsepsi
kesinambungan budaya dan fitrah manusia. Jika dak ada
upaya kesinambungan antara modernitas (renaisans)
dengan kearifan budaya masa lampau (keis mewaan)

68
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

maka kita bakal tergulung oleh arus globalisasi ke arah apa


yang disebut Giddens sebagai kemunculan impresif
“masyarakat kosmopolitanisme global”. Dimana
supremasi individu ditegakan diatas komunalisme ikatan-
ikatan sosial. Kehidupan bersama pun terancam oleh
keserakahan individu. Melepaskan individu dari kewajiban
sosial, memudarkan daya tarik nilai-nilai kebajikan publik
atau virtu, memburamkan roman ka sosial terhadap
memori-memori kolek f, dan pada akhirnya membuat
individu-individu kian terdesak dalam situasi krisis
iden tas. Tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak
kunjung mendapatkan alterna f sumber iden tas baru
yang sepadan di ngkat global Sampai memenjarakan kita
pada rantai ketergantungan..
Maka tak khayal, kita pun terjabak oleh apa yang
disebut Zygmunt Bauman dengan is lah “vagabondisme”.
Dimana globalisasi menjanjikan kenyamanan petualangan
tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan itu, ia lebih
sering jatuh dalam vagabondisme. Vagabondisme
memang is lah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds
berar “para gembel” yang dijumpai di mana-mana.
Dalam hal ini, di era globalisasi seseorang berkelana bukan
karena keinginan sendiri. Melainkan karena dak punya
pilihan. Ia menjadi vagabond, seorang gembel yang
tercerabut iden tasnya yang didefinisikan dalam kaitan
suatu tempat. Bahkan ia dak lagi memiliki tempat untuk
kembali. Disinilah pen ngnya konsepsi renaisans yang
bersanding dengan keis mewaan Yogyakarta, agar kita tak
keluar dari sarang tradisi. Karena globalisasi dak memiliki
tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia
bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam

69
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi


menjadi sekadar ruang, space, atau tempat singgah yang
oleh karena sifatnya dak cukup kuat untuk menjadi
sumber iden tas.
Disinilah peranan gerakan pemuda dalam kaitan
yang integral dengan ar pen ng renaisans dan
keis mewaan Yogyakarta sebagai kesinambungan budaya.
Dan ar gerakan pemuda disini bukan hanya sekedar
sekumpulan individu atau paguyuban OKP, namun gerakan
pemuda sebagai sebuah eksponen budaya. Memang,
sejak revolusi bunga tahun 1970'an, generasi muda dunia
yang kemudian disebut baby boomers, memang lebih
banyak muncul sebagai konsumen komersialisasi budaya
pop dunia ke mbang sebagai agen sosial yang kri s.
Namun gerakan Teologi Pembebasan Amerika La n 1980-
an mulai terlihat kembali progresivitas poli k kaum muda.
Walau masih pada taraf heroisme ababil seper
menambah lebih banyak kaos bergambar Che Guevara
yang seringkali membuat narasi-narasi progresif menjadi
bagian dari budaya pop. Tanpa pemaknaan dan
penghayatan substansi yang mendalam. Sehingga dak
mengembalikan keterperangkapan umum mereka dalam
krisis budaya.
Maka sebuah reposisi dan reaktualisasi peran-
peran kultural kaum muda dalam muara-muara
penguatan iden tas kolek f yang secara elegan mewadai
kebutuhan bagi perjumpaan kultural di satu sisi dan
kesinambungan budaya di sisi yang lain secara kontekstual
menemukan ar pen ngnya kembali. Gerakan ini bukan
sebagai “kolek vitas etnik”, melainkan “hak atas budaya”.
Oleh karenanya, transformasi peran kultural kaum muda

70
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

dalam peran-peran progresif renaisans dan keis mewaan


sangatlah pen ng untuk menjawab perubahan dunia
global yang sudah di depan mata.

Power Of Knowledge: Agenda Peningkatan Kapabilitas


Napoleon Bonaparte pernah berkata bahwa ”Suatu
ke ka nan , akan ba masanya sebuah gagasan
mempunyai kekuatan yang lebih dahsyat ke mbang
sebatalion tentara”, ungkapnya.
Kini sedang terjadi sebuah perubahan terpen ng,
yakni sebuah perubahan yang kini sedang membentuk
ulang planet kita. Bukan hanya sekedar perubahan poros
dari Atlan k ke Pasifik. Namun perubahan itu berkaitan
dengan hal yang lebih mendasar. Lebih tepatnya ia sebuah
“pergeseran”, pergeseran kekuasaan. Kekuasaan adalah
salah satu fenomena sosial paling mendasar dan ia terkait
dengan sifat dasar alam semesta. Selama ga ratus tahun,
kita melihat wajah dunia penuh dengan pergolakan, mulai
dari perang antar imperium kerajaan besar dunia sampai
pada perang dunia. Semuanya menjadikan kekuatan fisik
atau senjata sebagai andalan atau penggerak utama dari
konstelasi yang bergerak. Begitu juga di era pasca perang
dingin, kekuatan berubah menjadi dominasi lewat
penawaran atau pengambilan keuntungan material.
Namun Alvin Toffler, seorang pemikir yang di pertengahan
abad ke-20 telah menyatakan secara an sipa f dan apa
adanya bahwa logika kekuasaan itu telah mengalami
pergeseran di lapis yang paling mendasar. Jika sebelumnya
kekuasaan bergerak karena kekuatan fisik (dominasi lewat
senjata) dan kekuatan uang (dominasi lewat penawaran
atau pengambilan keuntungan material), maka di masa

71
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

depan kekuasaan bergerak lewat kekuatan pengetahuan


sebagai perantaranya. Persisnya: kekuasaan meluas dan
menyebar lewat cara bagaimana pengetahuan diperoleh,
diolah, ditafsirkan, dan dipahami.
Singkatnya, bukan lagi senjata dan uang,
melainkan epistemologi (apa yang dapat saya ketahui dan
bagaimana sesuatu dapat diketahui) yang menjadi poros
penggerak kekuasaan di masa depan (Ito Prajna-Nugroho,
2014). Dengan kata lain, menurut Alvin Toffler, sekarang ini
kita sedang berada dalam momentum dimana struktur
kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dunia sedang
mengalami disintegrasi dan suatu struktur kekuasaan yang
sama sekali berbeda sedang mengambil bentuknya.
Struktur kekuasaan baru, yang ditandai oleh peranan
sentral pengetahuan itu, kini sedang muncul pada semua
ngkat kehidupan masyarakat bangsa manusia. Apa yang
disebut oleh Toffler (dalam Ito Prajna-Nugroho, 2014)
sebagai trinitas kekuasaan dengan derajat kualitas
ter nggi adalah pengetahuan. Dalam bahasa Toffler:
“Pengetahuan memperlihatkan diri dak hanya
sebagai sumber dari kekuasaan dengan derajat kualitasnya
yang ter nggi, melainkan juga menyatakan diri sebagai
unsur yang terpen ng dalam (memanfaatkan) kekuatan
fisik dan uang. Pengetahuan telah bergeser dari sekadar
pelengkap kekuatan uang dan fisik, menjadi dasar yang
paling hakiki. Pengetahuan faktanya merupakan kekuatan
yang terkuat. Inilah kunci menuju pergeseran kekuasaan
yang terbentang di depan, dan ini juga menjelaskan
mengapa pertarungan untuk mengendalikan
pengetahuan dan sarana-sarana komunikasi tengah
terjadi dengan sengit.”

72
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Menyikapi pergeseran kekuasaan ini, maka sudah


saatnya kita menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan
utama dalam pergerakan. Dengan kata lain, modal
intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks
kinerja atau kemajuan suatu organisasi. Mungkin pertama
dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran pe
masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke
masyarakat pengetahuan dalam Drucker (1997, 2001)
misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus
mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat
pengetahuan (knowledge society). Dalam masyarakat pe
ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning
capability), dan ndakan berinvestasi untuk maksud
membangun basis-basis intelektual merupakan
penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan
karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan
(knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Vitalnya
kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah
disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan
bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling
powerfull (dalam Bon s 2005). Secara ringkas Smedlund
dan Poyhonen (2005) mewacanakan modal intelektual
sebagai kapabilitas organisasi untuk menciptakan,
melakukan transfer, dan mengimplementasikan
pengetahuan. Tampak sebanding dengan itu, Nahapiet
dan Ghoshal (1998) merujuknya sebagai knowledge dan
knowing capability yang dimiliki oleh sebuah kolek vitas
sosial (misalnya organisasi, komunitas intelektual). Definisi
ini digunakan mereka dengan per mbangan
kedekatannya dengan konsep modal manusia, salah satu
unsur modal intelektual yang oleh Fitz-enz (2000) disebut

73
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

sebagai katalisator yang mampu mengak an


intangibles, komponen lain yang inac ve.
Sejalan dengan itu, Gramsci juga mengatakan
bahwa “Tidak ada organisasi tanpa intelektual, dengan
kata lain, dak ada pengorganisasian, tanpa aspek teori s
dari kesatuan teori-dan-prak k yang dalam konkritnya
terwujud dalam strata orang-orang yang berspesialisasi
dalam elaborasi konseptual dan filosofis”. Peningkatan
kapabilitas dan intelektual dalam organisasi merupakan
sebuah hal yang mendesak di tengah pendangkalan
intelektual yang semakin merebak di dunia pendidikan,
termasuk pendidikan nggi. Fenomena yang ditandai oleh
pendangkalan intelektualitas yang dak disadari disertai
dengan menurunnya kualitas akademik dan merosotnya
komitmen terhadap bidang ilmu yang digelu para
akademisi. Atau sebuah fenomena floa ng academic.
Fenomena ini pun mengakibatkan banyak orang yang
mempersoalkan tentang Quo vadis organisasi pemuda
atau hendak kemana biduk organisasi pemuda digerakkan.
Namun peningkatan kapabilitas dan menjadikan
pengetahuan sebagai kekuatan, haruslah diciptakan
sebuah “habitus” yang memungkinkan adanya agenda itu.
H a b i t u s s e r i n g d i p a h a m i s e b a ga i h a s i l
keterampilan yang menjadi ndakan prak s yang dak
selalu harus disadari. Tindakan prak s itu menjadi suatu
kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang
dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994 : 16-17).
Habitus menjadi penghasil prak k-prak k kehidupan
sejalan struktur sosial yang membentuknya. Perilaku
buruk seper korupsi, mentalitas menerabas, mangkir
terhadap tanggung jawab, menolak mengundurkan diri

74
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

karena tugas dak beres, dan poli k uang adalah produk


dari habitus, yang kemudian menjadi kebiasaan atau
prak k yang wajar yang terus direproduksi. Kebiasaan
buruk itu terkait dengan prak k-prak k sosial, cara
pandang, sistem pengorganisasian, interaksi kekuasaan,
dan norma yang berlaku. Untuk mengubah kebiasaan
buruk itu perlu ditemukan simpul-simpul perubahan
habitus dalam interaksi sosial. Ada ga bentuk interaksi
sosial yang dominan yang perlu dicerma agar mampu
membawa perubahan, yaitu interaksi komunikasi,
kekuasaan, dan sanksi/moralitas (A Giddens, 1993 : 129).
Perubahan dalam modalitas dari ke ga bentuk interaksi
itu (kerangka penafsiran, fasilitas, dan norma) yang akan
menentukan perubahan habitus. Mengapa kerangka
penafsiran harus berubah? Karena habitus adalah
kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai
realitas. Ia sekaligus penghasil prak k-prak k sosial. Maka,
ia menjadi dasar kepribadian seseorang. Kerangka
penafsiran menentukan kualitas pemaknaan. Pertaruhan
dalam pemaknaan ialah gaya hidup (keseluruhan selera,
kepercayaan, prak k sistema s, opini poli k, dan
keyakinan moral). Perubahan ke ga modalitas itu hanya
bisa dimulai melalui pendidikan. Perubahan habitus
mengandaikan pendidikan yang membuat banyak anggota
masyarakat mengadopsi kesadaran refleksif yang
menempa kemampuan untuk membuka simpul-simpul
pengikat prak k-prak k sosial lama. Maka, wacana hanya
bisa bernilai bila menumbuhkan prak k-prak k sosial
baru.

75
Mencapai Kejayaan Nusantara

Mari m Yang Dilupakan


Dalam kumpulan suratnya untuk putri sulungnya yang
berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Pramoedya
mengeluhkan kondisi kapal yang mengenaskan, kapal
yang membawanya ke pengasingannya di Pulau Buru.
Kapal itu reot bahkan nyaris rusak dan ini pertanda bahwa
kapal itu terlihat sama sekali tak terpelihara.

Cerita Pramoedya adalah secarik kisah miris


bahkan mungkin ironi. Ironi dari negeri bahari yang sama
sekali tak punya rasa peduli dengan pemeliharaan kapal-
kapalnya. Sungguh mengenaskan, negeri yang memiliki
lautan yang membentang luas di hampir semua
wilayahnya namun penduduknya miskin akan kesadaran
mari m, miskin akan kesadaran eksistensi lautan. Cerita
yang sama juga disampaikan oleh Pramoedya dalam Arus
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Balik bahwa pasca runtuhnya Malaka dan Majapahit,


negeri yang dulu dikenal dengan imperium mari m ini
mulai tak lagi mengurus armada-armada lautnya, banyak
dari armada-armada itu terbengkalai bahkan tak lagi
dikembangkan sebagai armada. Kerajaan-kerajaan yang
ada mulai terpecah belah, wilayahnya mulai menyempit ke
pedalaman dan tercerai berai hingga banyak dari kerajaan-
kerajaan kecil itu tak lagi mengembangkan armadanya di
wilayah laut. Tak ada lagi kapal-kapal besar sehebat kapal-
kapal Majapahit yang menaklukan lautan Asia. Inilah awal
pertanda kemunduran dari negeri bahari ini.
Namun kemunduran ini lebih terasa ke ka
kolonialisme Belanda mulai berkuasa di bumi per wi.
Belanda berhasil menanamkan perspek f kon nental atas
Nusantara di dalam benak masyarakat pribumi lewat
kebijakan kolonial yang masif dan agresif. Belanda
memang dak pernah memandang laut di Nusantara
sebagai sumber daya alam strategis. Pelayaran Hongi yang
dilancarkan pada abad ke-17 justru bertujuan melakukan
blokade laut untuk mencegah perdagangan gelap rempah-
rempah antara pribumi penanam rempah dan pesaing-
pesaing VOC, serta mengontrol perdagangan hasil bumi
darat (cengkih). Lalu, dengan dikeluarkannya kebijakan
tanam paksa pada 1830, ak vitas perdagangan dan
ekonomi makin memusat ke daratan, terutama di bidang
pertanian dan hor kultura. Sebagai dampaknya, industri
perkapalan dan usaha perikanan dak pernah mengalami
kemajuan. Tak ada lagi kapal-kapal besar yang dibangun
oleh kaum pribumi yang dak hanya sanggup melayari
selat-selat antarpulau tetapi juga samudra-samudra luar.
Ditambah lagi dengan ditetapkannya Batavia sebagai

78
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pelabuhan utama dan pusat administrasi pemerintahan


Hindia Belanda, yang menyebabkan ma nya banyak
pelabuhan-pelabuhan tradisional di sepanjang pantai-
pantai Nusantara menjelang akhir abad ke-17. Sehingga
kekuasaan kolonial Belanda dapat dikatakan sebagai biang
kerok dari marginalisasi aspek mari m secara sistema s
dalam evolusi kesadaran kebangsaan
Salah satu perpek f kon nental yang berhasil
ditanamkan kolonial Belanda pada masyarakat Nusantara
adalah sebuah peninggalan penger an bahwa Indonesia
adalah “negara kepulauan”. Atau yang biasa disebut
dengan “Achipelago State”, yang berar “pulau-pulau yang
dikelilingi air”. Atau sebuah “gugusan pulau”. Hal ini sangat
menyesatkan, mengingat ar Nusantara adalah “Kesatuan
Kepulauan yang terletak antar dua benua dan dua
samudera”. Atau “perairan yang bertaburkan pulau-
pulau”. Ar Nusa adalah kesatuan pulau sedangkan kata
Antara menunjukan letak “diantara”, terutama diantara
dua unsur yakni dua samudera dan dua benua. Sehingga
lebih tepatnya, Indonesia adalah “negara mari m”, bukan
negara kepulauan. Seper apa yang dikatakan Bung Karno
dalam peresmian Ins tut Angkatan Laut, 1953,
“….Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.
Ya.., bangsa pelaut dalam ar kata Cakrawa Samudera.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga dan
armada militer, yang kesibukannya di laut menandingi
irama gelombang lautan itu sendiri..” Namun perpek f
kon nental ini sudah lama tertanam di benak kita.
Perspek f kon nental kemudian kembali
diperkuat kembali ke ka Orde Baru berkuasa. Proyek
pembangunan yang digencarkan Orde Baru dari mulai

79
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Re p e l i ta s a m p a i Re v o l u s i H i j a u ta k a d a ya n g
mengembangkan wilayah mari m sebagai aspek yang
strategis. Ditambah orientasi pertahanan di era Orde Baru
yang hanya mengembangkan pertahanan di wilayah darat
seper pembangunan satuan pertahanan dari Kodam,
Korem, Kodim, Koramil sampai Babinsa semuanya
berpusat di daratan. Sedangkan aspek mari m kembali
terpinggirkan dari orientasi geopoli k nasional. Masalah
ini mulai mengeras dengan adanya sentralitas Jakarta
sebagai pusat administrasi kekuasaan. Dalam kaca mata
seper ini, laut-laut lenyap dari bayangan dan yang ada
nggalah seonggok daratan luas yang seolah tak teriris-iris
oleh air. Aspek kemari man semakin kering bahkan
terhapuskan dari perkembangan kesadaran kebangsaan
dan wawasan nusantara.
Memori kepulauan absen dari kesadaran kita.
Sehingga kita sebagai bangsa tak lagi dapat memandang
diri kita sebagai bagian dari sebuah en tas kepulauan. Di
tengah arus perdagangan dunia kita absen untuk bersaing
dengan potensi lautan kita yang maha luas. Yang ada
hanyalah kebingungan, mencoba mengais-ngais
kesadaran kebaharian yang lama sudah dibenamkan.
Persaingan dunia tetap berjalan sengit, kita justru seakan
teriak histeris, terkejut bahkan gagap merasa kehilangan
eksistensi kelautan kita. Wacana tentang kemari man
mulai gaduh dilontarkan dan ramai dibicarakan. Namun
didalam benak sudah tak lagi ada kesadaran tentang
eksistensi negeri bahari. Kesadaran kebangsaan yang
tercipta pun hanya melahirkan rasa cinta tanah air yang
mengering dan meranggas. Karena dimensi air yang
dinamis dan mengalir bebas dilesapkan ke dalam dimensi

80
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

tanah yang keras. Yang ada hanya apa yang disebut


Soekarno dengan is lah “Nasionalisme yang sempit budi”,
kesadaran kebangsaan yang hampa secara geopoli k dan
perkembangan riwayat ekonomi dunia. Teriakannya
bagaikan nasionalisme kesiangan, yang dipenuhi dinding-
dinding psikologis yang menghalangi pandangan mata
untuk menatap ruang-ruang bangsa.
Dan memang, sejak duduk di sekolah dasar kita di
konstruksi dengan keyakinan bahwa kita adalah Negara
agraris. Padahal 70 persen wilayah Negara kita terdiri dari
lautan. Disini kolonialisme berhasil menanamkan
perspek fnya di dalam benak masyarakat kita pada
umumnya. Mereka berhasil meneguk untung atas itu
semua. Dengan itu mereka bisa mengeruk keuntungan
atas investasi hasil pertanian dan perkebunan tanaman-
tanaman darat seper cengkeh, pala, kopi, gula, kokain
sampai sawit yang notebene sebagian besar modalnya
berada di tangan mereka. Hal ni bukan sesuatu yang
kebetulan dan terjadi begitu saja, namun sebuah proyek
pemutusan sejarah dari benak dan kesadaran masyarakat
kita yang dijalankan secara sistema k bahkan ini layaknya
sebuah proyek agar sebuah bangsa meninggalkan
sejarahnya. Dengan terhapusnya kesadaran geospasial
atau kesadaran akan ruang, bangsa ini seakan lumpuh
untuk mengembangkan kekuatannya dan membangun
kemajuan. Bangsa ini seakan-akan memang sudah tak lagi
mampu bersaing, tak lagi mampu berdiri di atas kakinya
sendiri. Dengan kata lain, dibuat tak berdaya mengahadapi
berbagai tantangan di depan mata. Sehingga seolah-olah
w a j a r u n t u k s e l a l u b e r ga n t u n g , u n t u k s e l a l u
membutuhkan uluran tangan dari sang paman yang

81
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menjalankan proyek imperial.


Hal ini lebih dari sekedar proyek hegemoni, lebih
dari sekedar hubungan yang domina f antara Barat-Timur,
antara Negara Maju-Berkembang, namun sebuah proyek
sistema k untuk melumpuhkan kesadaran eksistensial
sebuah bangsa. Dalam psikoanalisis Lacanian, proses ini
disebut dengan proses Colony Complex yakni proses
menjauhkan masyarakat pribumi dari eksistensi alam serta
ruang dan waktunya melalui mekanisme alam bawah
sadar. Sehingga ia berada di tengah kehancuran eksistensi
dirinya. Namun ia justru mengalami “kenyamanan
narsis k”. Tampak nyaman dan narsis ke ka dunia
berlomba menjadikan kita konsumen abadi modernitas.
Maka wajar apabila di tengah persaingan global saat ini,
solusi yang diambil oleh pejabat negeri ialah menjual kota,
menggadaikan sumber daya alam untuk mengundang
investor asing. Negara ini seakan mengalami “kutukan
kolonial” yang bersifat alamiah yang akhirnya
mengolonisasi kesadaran sosial secara laten. Hal ini
membuat bangsa kita seakan tak mampu untuk
merumuskan apa yang dinamakan dengan masa depan.
Seolah-olah bangsa ini tak punya pilihan masa depan.
Masa depan bangsa ini seakan hanya ada di tangan orang
lain, seakan berada di luar jangkauan kita, seakan sama
sekali di luar kesadaran kultural kita. Sehingga di tengah
berdirinya Negara Republik yang merdeka ini,
kenyataannya justru Negara ini terasa hanya seper
dominion dari Negara imperial.
Untuk itu, berdasarkan letak geografis Indonesia sebagai
negara mari m. Maka penghuni yang berada di wilayah
Nusantara seper Indonesia, konsekuensinya hrus

82
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

memiliki wawasan Nusantara atau wawasan Bahari.


Sehingga perlu adanya upaya “revitalisasi” pemahaman
dan kesadaran kebangsaan. Pendidikan kita yang berjalan
sekarang sangat bercorak kon nental, yang hanya
mengajarkan sisa pemahaman kolonial. Sehingga
pemahaman geopoli k dan geostrategi justru absen
dalam wawasan kebangsaan kita, yang juga membawa
pada rontoknya budaya bahari kita. Sektor pendidikan
perlu mendapatkan perha an dalam hal ini. Terutama
menggeser fokus paradigma pendidikan itu sendiri, yang
berfokus pada pengajaran pemahaman kon nental ke
arah pengajaran yang berbasis kemari man. Guna
menyiapkan visi dari “Among Tani” ke “Dagang Layar”.

83
Menentukan Arah Gerak

Keadaan Amerika Serikat saat ini sedang


mengalami kemerosotan. Krisis keuangan global telah
menusuk tepat dijantung ekonomi negeri paman sam itu.
Kebangkrutan Lehman Brother telah menjadi saksi bisu
pertanda akan kemerosotan itu. Dimana raksasa keuangan
dunia yang sudah bertengger ratusan tahun, jatuh di
kolam yang ia buat sendiri. Bahkan masa depan ekonomi
negara-negara in di orde ekonomi dunia seper Prancis,
Inggris dan Jepang, mulai dipertanyakan. Hal ini
berpotensi untuk mengubah dunia sebagaimana yang kita
kenal selama ini. Di sisi lain, dalam kondisi krisis keuangan
yang dak menentu, bank-bank di China justru terus
melanjutkan peningkatan yang luar biasa. Begitu juga di
perdagangan, produk-produknya yang murah dengan
mutu yang cenderung meningkat dipas kan akan menjadi
pilihan belanja masyarakat global di tengah amukan badai
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

krisis. Pada akhirnya, kita dak mungkin memungkiri


kenyataan bahwa China hari ini adalah pesaing sah
Amerika Serikat. Ekonomi China kini telah mampu
menandingi ekonomi pasar AS. Dengan cadangan
devisanya yang mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar AS,
China dapat berbuat banyak guna menata perekonomian
global.
Seiring dengan perkembangan pesat
perekonomian China, keperkasaan AS di bidang ekonomi
ternyata terus semakin surut. Banyak pengamat melihat
bahwa kemunduruan ekonomi AS dewasa ini sebagian dari
pergerseran historis (historical shi ) yang menandai telah
berakhirnya “Abad Amerika” (American Century). Dalam
hal ini, Jeffrey Sach menyatakan bahwa dominasi AS di
dunia akan segera berakhir pada kuartal kedua abad ke-21,
ke ka Asia menggeser AS sebagai pusat gravitasi ekonomi
dunia. Situasi yang dihadapi AS kini sering digambarkan
mirip dengan yang dialami Inggris di awal abad ke-20, yang
perlahan namun pas surut dari posisinya sebagai
kekuatan hegemoni global. Dalam dunia “Pasca-Amerika”
di masa kini dan masa depan, dunia dak lagi terbelah
dalam kubu-kubu yang bermusuhan seper halnya di era
Perang Dingin, tetapi interconnected dan saling tergantung
satu sama lain. Bersama negara-negara lain, seper India
dan Brazil, China akan tetap memperhitungkan posisi AS,
namun lebih sulit bagi AS untuk menempuh jalur unilateral
seper yang diperagakan dalam serangan Bush ke Irak.
Kenyataan ini juga menandakan bahwa pusat
kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah
mengalami pergeseran dari Poros Atlan k ke Poros Asia-
Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini

86
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik,


wilayah yang diperkirakan memiliki ekonomi paling
progresif di dunia. Beberapa pemikir Geopoli k dari Eropa
dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of
the Atlan c era”. Ini juga didukung oleh pandangan Robert
D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopoli k
telah bergeser dari Eropa ke Asia. Ditambah kawasan Asia
Pasifik telah muncul sebagai salah satu pusat strategis
mari m dunia di abad ke 21 ini. Negara-negara Asia Pasifik
adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi
yang nggi, bahkan mungkin ter nggi di dunia saat ini,
mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bahkan
kita bisa melihat bahwa perdagangan dunia, baik itu
Timur-Barat dan mayoritas perdagangan dunia, semua
berasal dari Asia. Bahkan perdagangan intra-Asia adalah
yang terbesar, berikutnya adalah perdagangan Trans-
Pasifik dimana hampir mencapai 4 (empat) kali lipat dari
perdagangan Amerika Serikat dan seluruh Eropa.
Dan Robert D. Kaplan menyebut Indonesia sebagai
The Heart of Mari me Asia yang merupakan choke point
paling vital dalam perdagangan dunia saat ini, dimana
posisi kita telah mempertemukan Samudera India dan
Pasifik Barat. Lokasi regionalnya merupakan jalur
persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri,
teknologi dan militer di Asia Timur laut, sub benua India
dan sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik
Tenggara. Rute perdagangan dari samudera India menuju
samudera Pasifik akan menjadikan Indonesia sebagai rute
tercepat di antara dua samudera ini. Dari Samudera India
yang luas, puluhan kapal-kapal supertanker raksasa dari

87
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

sumur-sumur minyak di Teluk Persia akan melalui pos-pos


pengintaian dan instalasi jaringan di perairan Indonesia
yang sebagian besar mengelilingi Selat Malaka yang
lebarnya enam mil. Menuju Pusan, Yokohama, dan
semakin banyak ke Shanghai; di kawasan Samudera Pasifik
Barat; dengan muatan lebih dari lima belas juta barel ap
hari (hampir 20% konsumsi dunia) (Kent E. Calder, dalam
Asia's Deadly Triangle, 1998).
Lantas, bagaimana peranan pemuda di tengah
perubahan ini?
Amerika La n adalah pemberi contoh terbaik
bagaimana pemuda berperan pen ng dalam kehidupan
bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya
Manifesto Cordoba di Argen na pada tahun 1918.
Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak pemuda
(mahasiswa) yang pertama di dunia, dan sejak itu pemuda
di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam
kehidupan poli k. Namun di negeri kita sendiri sebenarnya
apa yang disebut “pergerakan pemuda” sudah di mulai
jauh sejak tahun 1908 yakni adanya Budi Utomo, walau
masih dalam bentuk pergerakan yang cenderung lebih
ko o p e ra f b a h ka n l u n a k t e r h a d a p ke k u a t a n
establishment. Namun pergerakan pemuda di negeri kita
bukan sebuah en tas yang terasing dan terpisah dari
masyarakat dimana mereka lahir. Di negeri ini, gerakan
kaum muda adalah bagian dari pergerakan nasional.
Bahkan ak f dalam proses gerak membentuk dan
mencipta sebuah na on. Maka tak berlebihan jika Ben
Anderson mengatakan bahwa revolusi Indonesia adalah
“revolusi pemuda”.
KNPI sebagai salah satu eksponen organisasi

88
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

pemuda patut menjadi perha an. KNPI dalam sejarahnya


seringkali disebut sebagai produk poli k wadah tunggal
yang dijalankan rezim Orde Baru bagi kalangan terdidik.
Namun menurut pemaparan para pendirinya, dalam
pembentukan KNPI terjadi sebuah “kompromi” dimana
KNPI akhirnya dak menjadi satu-satunya wadah pemuda,
yang menjadi bagian dari korpora sme negara. KNPI
hanya menjadi wadah komunikasi dari para pemuda dan
mahasiswa di Indonesia. Bukan satu satunya wadah yang
menghimpun pemuda, sebab ia tak menghilangkan
eksistensi organisasi pemuda lainnya. Wadah komunikasi
itu terkait dengan soal bagaimana pemuda yang datang
dari berbagai organisasi di seluruh tanah air itu betul-betul
menjadi kekuatan potensi bangsa. Termasuk terkait
d e n ga n b a ga i m a n a m e n g e m b a n g ka n p ro g ra m
kepemimpinan pemuda.
Namun dalam perjalanannya, menurut salah satu
pendirinya, KNPI justru sibuk dengan berbagai kegiatan
yang jauh dari wilayah poli k dan kontrol sosial. Doktrin
“pembinaan poli k” masih kental, yang justru
mengasingkan KNPI dari aksi-aksi poli k pemuda bahkan
menjauhkan KNPI dari wacana dan praktek berfikir kri s.
Disinilah menjadi sebuah masa ke ka kita prak s tak
mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai en tas yang
terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus
nafasnya sebuah “komite pemuda” menjadi simpul
gerakan perubahan. Hal ini membuat KNPI layaknya
“hidup segan ma tak mau”, yang eksistensinya hanya
bergulat dengan kegiatan yang kurang substansial.
Mereka terjebak oleh apa yang disebut teori si
Mazhab Frankfrut, Jurgen Habermas dengan is lah

89
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

“rasionalitas instrumental”, yakni cara berpikir jangka


pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan
sikap-sikap pragma s. Ia melahirkan One Dimensional
Man manusia berdimensi satu yang tertelan oleh
homogenitas kekuasaan. Poli k kaum muda pun menjadi
sangat miskin dengan ide-ide perubahan, yang ada
hanyalah apa yang disebut Nietzsche dengan is lah
“moralitas kawanan”. Dunia tempat pikiran serba sempit
dan serba prak s, tetapi pongah, dimana kemandirian
berfikir dan kedaulatan diri terdesak dan lenyap di telan
kekuasaan. Hingga akhirnya pergerakan kaum muda yang
dulu di isi oleh ide-ide besar (seper keadilan, kesetaraan
dan kemanusiaan) kini hanya di isi oleh sta s k kekuasaan
dan pertarungan diantara kelompok kepen ngan. Maka
wajar jika saat ini posisi KNPI justru semakin limbung
sebagai kekuatan sosial-poli k kalangan pemuda. Cap
sebagai organisasi kepanjangan tangan pemerintah dak
bisa dielakkan. KNPI dianggap sebagai tameng dan
stempel pemerintah untuk segala kebijakannya. Hal ini
membuat KNPI semakin kurang dipercaya masyarakat dan
pemuda untuk menjadi kekuatan agregasi kepen ngan
kalangan pemuda Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana peranan
pemuda menjalankan tugas Renaisans dan Keis mewaan
Yogyakarta? Memasuki era reformasi yang mulai
compang-camping, gerakan pemuda mulai menunjukkan
k beku dan hanya muncul gerakan-gerakan permukaan.
Bahkan kini pasca proses demokra sasi hal itu mulai
memperlihatkan kondisi yang cukup mengkhawa rkan.
Apalagi soal sensi vitas isu global, mereka kurang
memahami adanya perubahan-perubahan konstelasi

90
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

global yang berkembang. Meminjam is lah Anton Lucas,


yang muncul "pemuda-pemudaan". Mereka muda, tapi
tak lekat pada dirinya nilai dan semangat revolusioner.
Sebab, mereka lahir dari tradisi dan budaya poli k profitur,
mereka tergugah bergerak karena ada pamrih nasi
ponggol dari dapur umum. Untuk itu, perlu adanya sebuah
konsepsi yang progresif untuk membangkitkan pemuda
yang lemah ini, seper kata Chairil Anwar perlunya
"menyediakan api" bagi pemuda ber ndak sebagai
splendor varita s, orang yang mampu memberikan
sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian
juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya
kebenaran.
Dan kini sejarah memberikan kita pertanda akan
pen ngnya sosok pemuda pembawa terang. Perlu segera
ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di
masa gawat. Maka disinilah pen ngnya upaya reposisi
g e ra ka n p e m u d a , te r u ta m a d e m i m e nya m b u t
keis mewaan dan renaisans Yogyakarta. Sebuah reposisi
yang bisa mengembalikan poli cal will pemuda itu sendiri
dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih
kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Reposisi
ini ialah menempatkan peranan gerakan pemuda sebagai
“intelektual organum”. Intelektual Organum ialah
komunitas cendekia yang santun, namun ak f dan kri s.
Sebagai golongan intelektual, tugas kita memang bukan
sekedar “memberi makna” terhadap realitas sosial
globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini, dan
meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut
menciptakan sejarah dengan membangun gerakan
pemikiran dan kesadaran kri s untuk memberi makna

91
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

masa depan kita sendiri. Komunitas intelektual organum


memang masih minoritas, tapi minoritas krea f, karena
kita hendak membangun pemuda yang punya cakrawala
berpikir luas dan visi jauh ke depan. Dengan itu, kita bisa
menghindari seper apa yang ditegaskan Ngarso Dalem
dalam karangannya “Kerangka dan Konsepsi Poli k
Indonesia” yakni kecenderungan KNPI untuk menjadi
organisasi wadah “vested interest” dan sebagai suatu
jawatan (KGPH.H. Mangunbumi, SH, 1989).
Sudah saatnya kita menjadikan pengetahuan
sebagai kekuatan utama dalam pergerakan. Dengan kata
lain, modal intelektual didudukkan di tempat strategis
dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi.
Sejalan dengan tesis Alvin Toffler, seorang pemikir yang di
pertengahan abad ke-20 yang telah menyatakan secara
an sipa f dan apa adanya bahwa logika kekuasaan itu
telah mengalami pergeseran di lapis yang paling
mendasar. Jika sebelumnya kekuasaan bergerak karena
kekuatan fisik (dominasi lewat senjata) dan kekuatan uang
(dominasi lewat penawaran atau pengambilan
keuntungan material), maka di masa depan kekuasaan
bergerak lewat kekuatan pengetahuan sebagai
perantaranya. Persisnya: kekuasaan meluas dan menyebar
lewat cara bagaimana pengetahuan diperoleh, diolah,
ditafsirkan, dan dipahami. Singkatnya, bukan lagi senjata
dan uang, melainkan epistemologi (apa yang dapat saya
ketahui dan bagaimana sesuatu dapat diketahui) yang
menjadi poros penggerak kekuasaan di masa depan (Ito
Prajna-Nugroho, 2014). Seper apa yang dikatakan
Napoleon Bonaparte, bahwa ”Suatu ke ka nan , akan ba
masanya sebuah gagasan mempunyai kekuatan yang

92
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

lebih dahsyat ke mbang sebatalion tentara”.


Inilah tantangan terbesar kaum muda zaman kita
yakni berani mengadakan perubahan mendasar sikap
mental yang meminta jabatan ke arah pengembangan
modal intelektual. Jika kita bergerak memperbarui diri
maka dengan itu kita harus menata kembali keadaban
poli k pemuda. Yang nan nya juga bertanggung jawab
atas keadaban publik. Oleh karena itu, perlu adanya
kesebangunan antara gerakan poli k kaum muda dengan
gerakan renaisans dan keis mewaan Yogyakarta yang
bertujuan untuk memperbaiki keadaban publik. Disini
peranan pemuda (KNPI) layaknya peranan pemuda di
Eropa di saat gerakan Renaisans terjadi, yakni bagian dari
upaya besar membangun jembatan kultural yang
mempertautkan semangat renaisans dan modernitas
dengan tradisi kearifan masa lampau. Seper yang terjadi
di Jerman di era Third Reich, misalnya, dimana gerakan
renaisans dirumuskan dalam suatu kesinambungan yang
h i d u p d e n ga n ke j aya a n ke ra j a a n P r u s i a ya n g
mendahuluinya. Mereka mampu memaknai kearifan masa
lampau secara hidup, dinamis dan interpreta f. Sehingga
mengilhami gagasan-gagasan progresif dan dapat
membuka pendefinisian ulang modernitas dalam
hubungannya dengan tradisi.
Karena renaisans dan keis mewaan Yogyakarta
sebagai konsepsi merupakan kerangka kolek f yang
d i p e r l u k a n b a g i ke b u t u h a n p e r j u m p a a n d a n
kesinambungan kultural antara modernitas (renaisans)
dengan kearifan budaya masa lampau (keis mewaan). Jika
dak ada upaya kesinambungan, maka kita bakal
tergulung oleh arus globalisasi ke arah apa yang disebut

93
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Giddens sebagai kemunculan impresif “masyarakat


kosmopolitanisme global”. Dimana supremasi individu
ditegakan diatas komunalisme ikatan-ikatan sosial.
Kehidupan bersama pun terancam oleh keserakahan
individu. Melepaskan individu dari kewajiban sosial,
memudarkan daya tarik nilai-nilai kebajikan publik atau
virtu, memburamkan roman ka sosial terhadap memori-
memori kolek f, dan pada akhirnya membuat individu-
individu kian terdesak dalam situasi krisis iden tas.
Tercerabut dari akar sosial setempat tetapi tak kunjung
mendapatkan alterna f sumber iden tas baru yang
sepadan di ngkat global. Sampai memenjarakan kita pada
rantai ketergantungan.
Maka tak khayal, kita pun terjabak oleh apa yang
disebut Zygmunt Bauman dengan is lah “vagabondisme”.
Dimana globalisasi menjanjikan kenyamanan petualangan
tanpa batas, tetapi alih-alih menyediakan itu, ia lebih
sering jatuh dalam vagabondisme. Vagabondisme
memang is lah yang kurang dikenal, tetapi vagabonds
berar “para gembel” yang dijumpai di mana-mana.
Dalam hal ini, di era globalisasi seseorang berkelana bukan
karena keinginan sendiri. Melainkan karena dak punya
pilihan. Ia menjadi vagabond, seorang gembel yang
tercerabut iden tasnya yang didefinisikan dalam kaitan
suatu tempat. Bahkan ia dak lagi memiliki tempat untuk
kembali. Disinilah pen ngnya konsepsi renaisans yang
bersanding dengan keis mewaan Yogyakarta, agar kita tak
keluar dari sarang tradisi. Karena globalisasi dak memiliki
tanah terjanji atau promised land, karena sekali-kali ia
bukan konsep tentang tempat, place atau territory. Dalam
globalisasi, konsepsi tentang tempat telah direduksi

94
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

menjadi sekadar ruang, space, atau tempat singgah yang


oleh karena sifatnya dak cukup kuat untuk menjadi
sumber iden tas.
Disinilah ar pen ng peranan gerakan pemuda
dalam renaisans dan keis mewaan Yogyakarta sebagai
kesinambungan budaya. Dan ar gerakan pemuda disini
bukan hanya sekedar sekumpulan individu atau
paguyuban OKP, namun gerakan pemuda sebagai sebuah
eksponen budaya.

95
Daftar Pustaka

Al-Fayydl, Muhammad, 2005, Derrida, Yogyakarta: PT LKis


Pelangi Aksara
Anderson, Benedict. 1988. Revolusi Pemoeda,
Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa
1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan.
Asia Pacific Energy Research Centre, APEC Energy Demand
and Supply Outlook 2002
Bauman, Zygmunt, 1989. Modernity and the Holocaust.
Ithaca, New York: Cornell University
Calder, Kent E. Asia's Deadly Triangle, How Arms, Energy,
and Growth Threaten to Destabilized Asia Pasific,
Prehallindo, Jakarta 1998.
Dharmawan, Bagus, Cermin dari China, Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2006
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist
Press
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Faruk, “Mimikri dalam Sastra Indonesia”, Jurnal Kalam,


Edisi 14 tahun 1999.
Foulcher, Keith. “Mimikri “Si Nurbaya”: Catatan untuk
Faruk”, Jurnal Kalam, Edisi 14, tahun 1999.
Gandhi , Leel a. 2001. Teori Poskolonial : Upaya
Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terjemahan
Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta:
Qalam
Giddens, Anthony. 2003. The Cons tu on of Sociology,
Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pasuruan:
Penerbit Peda .
Habermas, Jurgen. 1989. Ruang publik sebuah kajian
tentang kategori masyarakat borjuis. Kreasi
Wacana : Yogyakarta
Hadiz, V.R. (2005). Dinamika kekuasaan: Ekonomi poli k
Indonesia pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Harker, Richard; Mahar, Cheelen; Wilkes, Chris (ed), 2005.
(Habitus X Modal) + Panah = Prak k, Pengantar
Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra
Hardiman, F.B. (2009). Demokrasi delibera f: Menimbang
'negara hukum' dan 'ruang publik' dalam teori
diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hasibuan, Muhammad Umar Syadat, 2008. Revolusi Poli k
Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2003. Dialek ka
Pencerahan. Terjemahan Ahmad Sahidah.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: IRCiSoD.
Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kaplan, Robert.D, Monsoon : The Indian Ocean And The

98
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Future Of American Power, 2010


Kaplan, Robert. D, The Reverse of Geography, Foreign
Policy, 2009
Kompas, Asean dan Krisis Global, 25 Oktober 2008
_______, Saatnya China Bermain, 10 Oktober 2008
Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj.
Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang, 2003.
Lyotard, Jean-François. Posmodernisme: Krisis dan Masa
Depan Pengetahuan, terj. Kamaludin. Bandung:
Mizan, 2004.
Mahan, A. T. , The Influence of Sea Power Upon History,
The Project Gutenberg eBook, September 26,
2004
Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi.
Terjemahan Silvester G. Sukur dan Yusup
Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya
Mohamad, Goenawan. “Wog”, Catatan Pinggir, Tempo,
Senin 6 Desember 1999.
Purwawidjana, Ari J. “Pola Narasi Kolonial dan
Pascakolonial”, dalam Jurnal Kalam, Edisi 14 tahun
1999.
Said, Edward W. Orientalisme, terj. Asep Hikmat. Bandung:
Penerbit Pustaka, 2001.
Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan,
Membongkar Mitos Hegemoni Barat,
(terjemahan Rahmani Astu ). Bandung: Mizan
Sarup, Madan, 2003, Postrukturalisme dan
Postmodernisme, Sebuah Pengantar Kri s,
Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Sugiono, Muhadi. 1999, Kri k Antonio Gramsci Terhadap

99
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Pembangunan Dunia Ke ga, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
S glitz, Joseph E., Making Globaliza on Work, Bandung:
Mizan, 2006
Toffler, Alvin, 1988, Gelombang Ke ga, Jakarta: PT Panca
Simpa .
Toffler, Alvin. 1992. Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan,
Kekayaan, dan Kekerasan di Penghujung Abad ke-
21, (terjemahan Hermawan Sulistyo). Jakarta:
Pantja Simpa .

100
Pemuda Bergerak; Mencapai Kejayaan Nusantara

Fitroh Nurwijoyo Legowo adalah Ketua


terpilih DPD KNPI DIY periode 2015-2018, melalui
sebuah proses Musyawarah Daerah DPD KNPI DIY
pada 5 September 2015.
Lahir di Kulon Progo, 9 Agustus 1978.
Alumnus Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta, ak f di berbagai organisasi
kemahasiswaan, diantaranya Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia dan Keluarga Mahasiswa
Nahdatul Ulama. Selain itu juga ak f di organisasi intra kampus, Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas dan Universitas.
Setelah menyelesaikan studinya, memutuskan untuk berwirausaha
dan tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sebagai
Sekretaris BPC HIPMI kabupaten Kulon Progo dan dilanjutkan kepengurusan
sebagai Wakil Ketua di BPD HIPMI DIY, serta ak f sebagai anggota Junior
Chamber Interna onal (JCI). Organisasi yang tak kalah pen ng dalam
membentuk watak dan kepribadiannya adalah Gerakan Pemuda Ansor yang
diiku sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliah mulai ngkat ran ng
sampai Pengurus Cabang. Melalui GP Ansor kabupaten Kulon Progo inilah ia
diutus dan didaulat menjadi ketua DPD KNPI kabupaten Kulon Progo melalui
Musyawarah Daerah DPD KNPI kabupaten Kulon Progo tahun 2014.
Pria berdarah Jawa yang suka diajak manggung kethoprak kampung
dan pandemen wayang ini menjabat direktur salah satu perusahaan daerah
kabupaten Kulon Progo, memiliki dedikasi dan pemikiran untuk menyusun
ulang kejayaan Nusantara, yang akhirnya tertuang dalam buku ini.

ISBN 978-602-74129-0-3

DEWAN PENGURUS DAERAH


KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
9 786027 412903

Anda mungkin juga menyukai