PEMERINTAHAN
Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis
ABSOLUTE M£I}IA
HUKUM PEMERINTAHAN DESA
(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)
HUKUM PEMERINTAHAN DESA
(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)
Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Dila Eka Juli Prasetya, S.H.
Desain Sampul:
Imam Syahirul Alim
Layout:
Eko Taufik
Penerbit:
CV. ABSOLUTE MEDIA
Krapyak Kulon RT 03 No. 100, Panggungharjo Sewon, Bantul
Yogyakarta. Telp: 087839515741 / 082227208293
Email: absolutemedia09@yahoo.com
Website: www.penerbitabasolutemedia.com
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Taufik, Rahmat, Hidayat, serta Inayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku yang diberi judul,
Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan
Konteks Yuridis).
Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan
bagi para mahasiswa, akademisi, dan praktisi di bidang hukum
pemerintahan desa untuk melakukan pengembangan kajian hukum
dan sebagai pemandu penyelenggaraan pemerintahan desa yang
ideal.
Dalam perjalannya, desa sebagai satuan pemerintahan
terbawah sekaligus terdepan di Negara Republik Indonesia
mengalami pasang-surut pengaturan dan perlakuan dari pemerintah.
Mulai dari era penjajahan yang cenderung memperlakukan desa
sesuai dengan kepentingan penjajah, era orde lama yang cenderung
fluktuatif antara sentralistis dan pemberian otonomi, era orde baru
yang cenderung sentralistis, orde reformasi pada masa berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang cenderung belum mengarusutamakan
desa sebagai pusat pembangunan kemasyarakatan, pelaksanaan
kemandirian pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi.
Puncaknya adalah setelah disahkan Undang-Undang tentang Desa
pada tanggal 18 Desember 2013 yang kemudian diundangkan pada
v
tanggal 15 Januari 2014 yang kemudian disebut sebagai Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dibangun
dengan konstruksi hybrid fungsi self governing community dengan
local self goverment, diharapkan melalui formulasi ini desa menjadi
lebih berkembang maju tanpa meninggalkan kepribadian sesuai
dengan Nawa Cita yang dicanangkan pemerintah yaitu melakukan
pembangunan dari pinggiran.
Tiada gading yang tak retak, tiada hal yang sempurna di
dunia ini kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Untuk penyempurnaan
dan pengembangan buku ini penulis menanti saran dan masukan
kepada semua pihak yang memiliki peminatan tentang hukum
pemerintahan desa. Atas terbitnya buku ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang membantu terwujudnya
karya ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Penulis,
KATA PENGANTAR........................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................ vii
vii
BAB V PENGATURAN DESA DALAM KURUN
WAKTU .PERTAMA BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG DASAR 1945 (18 AGUSTUS 1945 –
27 DESEMBER 1949)........................................ 93
A.. Pembentukan Negara dan Undang-undang Dasar
1945.................................................................... 93
B.. Dinamika Legislasi.............................................. 97
DESENTRALISASI DAN
PEMERINTAHAN DAERAH
1
kajian, di mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus
ilmu politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik
perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya,
ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.
Untuk keperluan studi ini, maka saya tidak akan menguraikan
satu persatu bagaimana di siplin ilmu pengetahuan itu memahami
desentralisasi, akan tetapi lebih difokuskan satu hal saja yaitu
desentralisasi dari perspektif pemerintahan dan administratif.
Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of
power from central to local government.2 Dalam perspektif yang lebih
luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan desentralisasi sebagai
the transfer of planing, decision making, or administrative authority
from central goverment to its field organisations, local administrative
units, semi autonomous and parastatal organisations, local government,
or non-government organisations.3 Dalam uraian selanjutnya,
Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya 4 (empat) bentuk
desentralisasi.4
Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang
administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi
autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian otoritas
manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu
yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara
langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, devolution,
yaitu penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of function and
authorities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
2
Mawhood P. (Editor), 1987, Local Government in the Third World:The Experience of
Tropical Africa, Chicheser, John Wiley & Son.
3
Rondineeli dan Cheema, 1983, Decentralisation and Development: Policy
Implementation of Developing Countries, hlm. 18.
4
Ibid., hlm. 18-25.
5
Slater, 1990, “Debating of Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and
Change, Vol. 21., hlm. 504.
6
Henry Maddick, 1996, Democracy: Decentralization and Development, London, Asia
House Publishing, hlm. 23.
7
Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hossen, 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit P2P-LIPI, hlm. 23-25.
8
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.
9
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press,
hlm. 27.
10
Ibid., hlm. 29.
11
Abdurrahman (Editor), 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, hlm. 56.
12
Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta,
Penerbit Rineka Cipta, hlm. 29.
13
RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia, Bandung, Penerbit Bina Cipta, hlm. 14-15.
15
B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London,
Asia Publishing House.
16
J. Rulland, 1993, Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local
Government, Bouldier, Westview Press, hlm. 3.
19
Ibid., hlm. 34.
20
Ibid., hlm. 33-34.
21
Ibid., hlm. 34.
C. PEMERINTAHAN DAERAH
1. Makna Pemerintahan Daerah
Sepadan dengan percakapan pemerintahan daerah, dalam
literatur sering dijumpai juga istilah local government. Sebagai
sebuah konsep Barat, maka ada baiknya terlebih dahulu dituntun
hlm. 3.
26
Setelah 4 kali Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, susunan konstitusi dewasa ini
meliputi Pembukaan dan Pasal-Pasal, sedangkan Penjelasan, yang kontroversial karena dianggap
tidak lazim dihapus dan materi di dalamnya menjadi ketentuan Pasal-Pasal.
27
I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia,
Bandung: Alumni, hlm. 52.
28
Ibid., hlm. 53. Lihat juga: Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni, hlm. 16.
29
Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999”,
makalah, Bandung, 1999, hlm. 2.
30
Diskusi lebih lanjut, lihat dalam Kanneth Dacey, “Hubungan Keuangan Pusat
dan Daerah di Indonesia”, dalam Niekh Dvas, et.al., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di
Indonesia, Jakarta, Penerbit UI Press.
31
Pratikno, “Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok Otonomi Dearah di
Indonesia Pasca Soeharto”, dalam www.pratikno.staff.ugm.ac.id, diakses di Sukoharjo pada
tanggal 14 April 2010, pukul 2.06 WIB., hlm. 14.
Ibid.
34
36
Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II dan
Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm. 5-6.
37
Ibid.
38
B. Hestu Cipta Handoyo, 1998, Otonomi Daerah: Titik Berat Otonomi dan Urusan
Rumah Tangga Daerah Pokok-Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan
Daerah, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya, hlm. 41.
dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia:
Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, hlm. 97.
2. Sistem Otonomi
Sistem otonomi41 adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.
Menurut Bagir Manan, salah satu penjelmaan dari pembagian
tersebut, maka daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.42 Secara konseptual
dikenal adanya 3 (tiga) macam sistem otonomi, yaitu sistem
otonomi materiil, sistem otonomi formal, dan sistem otonomi
nyata/riil.
40
Lihat dalam Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April 1991, hlm. 14.
41
Bagir Manan menggunakan istilah “sistem rumah tangga daerah”, Mahfud M.D.
menggunakan istilah “asas otonomi.”
42
Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hlm. 24-25.
43
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm. 254.
45
Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang...., loc.cit.
46
Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta, Penerbit
Ghalia Indonesia, hlm. 98.
47
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 254-255.
50
Syarief Hidayat, dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan
Pusat-Daerah di Indonesia: Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan
Indonesia, hlm. 1.
51
Ibid., hlm. 4.
52
James Manor, 1999, The Political Economy of Democratic Decentralization, Washington
D.C., World Bank, hlm. 55.
53
Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 24.
54
Ibid., hlm. 25.
Pemerintah daerah yang terdiri atas daerah besar dan kecil harus
dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan”
artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah,
pemerintahan itu harus berdasarkan atas permusyawaratan, jadi
misalnya, dengan mengadakan dewan perwakilan daerah.]
55
Bhenjamin Hossein, 2000, hlm. 4-6.
56
Perlu dicatat bahwa Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang diklaim merupakan
satu kesatuan naskah dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, semenjak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga pedoman penataran P-4 masa Orde Baru, bukanlah karya PPKI
yang menetapkan konstitusi pada 18 Agustus 1945. Keseluruhan naskah penjelasan adalah
karya pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia
Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946. Adapun bahan untuk penjelasan itu terutama
sekali disarikan dari pembahasan Undang-Undang Dasar dalam forum BPUPKI.
41
Kedaulatan rakyat yang antara lain tercermin dalam bentuk
demokrasi, bagi bangsa Indonesia jauh sebelum republik terbentuk
merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Tradisi kedaulatan
rakyat itu umumnya mengacu kepada tradisi kemasyarakatan
yang berkembang di masyarakat pedesaan. Tradisi pedesaan ini
dibedakan dengan tradisi yang berkembang di lingkungan kraton
yang menjadi pusat pemerintahan di masa yang lalu. Menurut
Jimly Asshiddiqie, dengana adanya 2 (dua) konfigurasi tradisi
kedaulatan rakyat tersebut maka telah mengakar dua macam
kedaulatan yaitu kedaulatan raja (berlaku di keraton-keraton) dan
kedaulatan rakyat (berlaku di pedesaan).62 Timbul pertanyaan,
bagaimanakah bentuk kedaulatan rakyat sebagai tradisi asli di
pedesaan itu?
Menurut Aidul Fitriciada Azhari, bentuk-bentuk kedaulatan
rakyat di pedesaan dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusan yang dilakukan secara bersama-sama melalui musyawarah
nagari (Sumatera Barat), rembug desa (Jawa), sakehe desa (Bali),
begundem (Sasak), dan sebagainya. Selain itu, di pedesaan Jawa
dikenal pula adanya lembaga pepe yang merupakan cara bagi rakyat
untuk menyatakan protesnya kepada penguasa.63 Ditambahkan
oleh Aidul Fitriciada Azhari bahwa:64
62
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaan di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co, hlm. 39.
63
Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut
Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press, hlm. 38.
64
Ibid., hlm. 38-39.
65
Alfian, 1986, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 127.
66
Mohammad Hatta, “Menuju ke Arah Kedaulatan Rakyat”, dalam Miriam Budiardjo
(Editor), 1986, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 41-42.
70
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani
Press, hlm. 9.
71
A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 102-103.
72
J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-
Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang,
hlm. 18.
75
Ibid.
76
J.H.A. Logemann, loc.cit.
77
Dalam Miriam Budiardjo (Editor), Masalah Kenegaraan, op.cit., hlm. 51.
B. KONFIGURASI PEMAHAMAN
Pada awalnya kesatuan masyarakat adat (desa, nagari, binua,
kampung, gampong, negeri, huta, sosor, marga, lembang, kuwu,
pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain) yang tersebar
di penjuru Nusantara mempunyai karakter yang hampir sama.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya. Ia
lahir, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.
Menurut Ade Saptomo, masyarakat adat, yang dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 karya Soepomo diklaim berjumlah
lebih kurang 250 zelfbestuurende landschappen tidak sama dengan
pengertian sebagai persekutuan masyarakat adat. Dalam hal ini,
persekutuan masyarakat adat merupakan volksgemeen-scappen,
yang mempunyai sistem sosial sendiri dan mempunyai hubungan
yang kuat dengan tanah, pengelolaan sumber daya alamnya, dan
mempunyai keleluasaan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai
lokal atau kearifan-kearifan lokal yang ada.78
Persekutuan masyarakat adat semacam itu, lanjut Ade
Saptomo, mempunyai nilai yang berbeda dengan yang dianut oleh
78
Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 15.
Ibid.
79
81
Departemen Dalam Negeri, 2007, Laporan Akhir Studi Revitalisasi Otonomi Desa,
Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 47-48.
82
S. Wojowasit, 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta, Penerbit Ictiar Baru
van Hoeve, hlm. 66.
53
dijadikan pemerintah daerah yang bersifat istimewa setelah
dilakukan pembaruan, yaitu dengan mengadopsi sistem
demokrasi dalam sistem pemerintahannya.
83
Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty,
hlm. 15.
84
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta,
Penerbit Grasindo, hlm. 53.
B. TIPOLOGI DESA
Menurut Sutoro Eko, berdasarkan sketsa teori dan pengalaman
sejarah, setidaknya ada 3 (tiga) posisi politik desa bila ditempatkan
Ibid.
87
88
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,
dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 81.
89
Ibid., hlm. 82.
90
Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 24.
91
Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas
Parahiyangan, Bandung, 1983.
92
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.
93
Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi
96
Syamsuddin Haris, “Otonomi Desa, Perlukah Diatur?”, dalam www.forumdesa.
com., diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 21.33 WIB.
97
Ibid.
73
kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur
Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut
kerajaan/kesultanan memiliki status “negara semi merdeka” dalam
lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah
sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan
lokal sendiri.98 Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan
para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau
Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada
kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian
muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan
nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja atau
berpemerintahan sendiri atau otonom). Di samping itu terdapat
suatu kesatuan hukum adat yang mengurus rumah tangganya
sendiri berdasarkan hukum adat seperti Desa, Marga, Huta, Kuria,
Nagari, dan sebagainya. Menurut Soehino, kesatuan masyarakat
hukum ini cara pengaturannya dibedakan antara yang ada di Jawa
dan Madura dengan yang ada di luar Jawa dan Madura. Di Jawa
dan Madura diatur dalam Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java
end Madura (IGO, S. 1906-83). Sedangkan untuk di luar Jawa
dan Madura diatur dalam Inlandsce Gemeente Ordonannantie
Buitengewesten (IGOB, S.1938-490 jo S. 1983-68).99
Sementara, direct bestuurd gebeied atau gouvernnement
gebeied adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara
hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut
“pemerintahan pangreh praja”. Pemerintahan ini pun dibedakan
98
Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 14-15.
99
Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty,
hlm. 6.
Ibid., hlm. 6.
101
102
Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial
Belanda: Kebijakan dan Upya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-
1940), Malang, Penerbit Bayumedia Publishing, hlm. 4.
103
Ibid., hlm. 5.
Ibid.
105
108
Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah...., op.cit., hlm. 13.
109
Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 85.
110
Ibid., hlm. 179.
Ibid.
112
2. Pengaturan Desa
Walaupun sudah diundangkan ketentuan Decentralisatie Wet
1903 jo. Decentralisatie Besluit jo. Local Ordonantie 1905, apa yang
disebut sebagai inlandsche gemeenten (baik yang berada dalam kota
yang dikenal sebagai kampung maupun di luar kota yang dikenal
sebagai desa) belum dimaksukkan dalam pembicaraan. Barulah
kemudian dipandang perlu untuk menganggapi kepentingan
perkembangan kehidupan golongan penduduk pribumi di desa-
desa disiapkanlah dan diundangkan sebuah ordonansi khusus, yaitu
De Inlanfsche Gemeente Ordonantie (Ind. S. 1906-83, 3 Februari
1906), yang dalam kepustakaan disingkat IGO. Ordonansi
itu dimaksudkan utnuk mengatur urusan pengelolaan berikut
kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas pedesaan
pribumi di Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh
pemerintah Hindia Belanda (yang oleh sebab itu desa-desa di
daerah Vorstenlanden dan beberapa daerah particuliere landerijen di
Ibid.
113
118
Soetandyo Wignjosubroto, op.cit., hlm. 36.
119
Ibid.
120
E.B. Sitorus, dkk, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa,
Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 43.
Ibid.
121
Ibid.
122
93
Inti Pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia terdapat
pemerintahan daerah. Pemerintahan tersebut meliputi daerah besar
dan daerah kecil. Pemerintah daerah yang dibentuk tersebut baik
dalam daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan
dua hal: (i) dasar permusyawaratan; dan (ii) hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa. Yang dimaksud dengan harus
memperhatikan dasar musyawarah adalah pemerintahan daerah
harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya ada musyawarah
dalam dewan perwakilan rakyat. Sedangkan yang dimaksud
dengan harus memperhatikan hak asal-usul dalam daerah yang
bersifat istimewa adalah, pemerintah daerah yang dibentuk tidak
boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang
pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut
zelfbesturende landschappen dan kesatuan masyarakat hukum
pribumi seperti desa, nagari, marga, dan lain-lain, yang disebut
volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen atau
dorfgemeinschapten.128
128
Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 48-49.
B. DINAMIKA LEGISLASI
1. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
a. Sistem Pemerintahan Daerah
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang
yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan
yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain
itu digunakan pula aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan
sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. Sidang PPKI pada 19
Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan
pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan
yang sudah ada.
Dalam konteks ini, PPKI hanya menetapkan adanya Komite
Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah
seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh
PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-
provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-
karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur.
Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan
Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite
Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan
daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan
b. Pengaturan Desa
Pada bab IV Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:
130
Moh. Mahfud M.D., 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES,
hlm. 104.
b. Pengaturan Desa
Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
menentukan satu macam pemerintahan di daerah yaitu satuan
pemerintahan daerah otonom. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang ini menetapkan bahwa daerah tersusun dalam tingkatan
yaitu provinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil).
Sedangkan dalam angka 2 disebutkan daerah otonom lain yaitu
“daerah istimewa”, ialah daerah mempunyai hak-hak asal usul sejak
zaman sebelum proklamasi kemerdekaan.
Ketentuan mengenai bentuk dan susunan pemerintahan
daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
menampakkan hal-hal sebagai berikut.
(i) Tidak menganut dualisme pemerintahan secara luas karena
hanya ada satu macam satuan pemerintahan daerah yaitu
pemerintahan daerah otonom.
(ii) Desa merupakan salah satu tingkatan daerah otonom sebagai
satuan pemerintahan daerah.
(iii) Desa, yang di masa Hindia Belanda dikenal inlandshe gemeente
atau volksgemenschappen ditegaskan berbeda dengan daerah
istimewa lainnya yaitu daerah mempunyai hak-hak asal usul
sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan, yang similiar
dengan daerah swapraja (zelfbestuurende landschappen).
111
Selatan, dan Kalimantan Tengah); dan (iv) Negara Indonesia Timur
(Sulawesi/Maluku Utara, Nieuw Guinea/Maluku Selatan, dan
Kepulauan Sunda Kecil).
Konferensi itu dilanjutkan dengan Konferensi Pangkal
Pinang (Bangka) untuk golongan minoritas Eropa, Indo, Cina, dan
Arab, yang menyetujui resolusi Malino dan kemudian diadakan
konferensi lagi Denpasar, Bali, yang sekaligus mendeklarasikan
Negara Indonesia Timur (1946). Selanjutnya, dengan tekanan
Belanda, berturut-turut dibentuk Negara Sumatera Timur (1947)
dan Negara Madura (1948), Negara Pasundan, Negara Sumatera
Selatan dan Negara Jawa Timur (1948). Pada Maret 1948, semua
negara ini akan membentuk Bijeenkomst voor Federale Overleg
(BFO).
Sebelum pembentukan daerah-daerah itu berlangsung, pada
tanggal 15 November 1946 Belanda bersedia membuat persetujuan
dengan pemerintah Republik Indonesia di Linggajati, yakni bahwa
mereka secara de facto mengakui keberadaan republik di Jawa dan
Sumatera. Kecuali itu, di dalam persetujuan itu disebutkan juga
bahwa daerah-daerah yang diduduki Belanda secara berangsur-
angsur paling lambat 1 Januari 1949 akan dimasukkan ke wilayah
republik, hanya saja disebutkan bahwa Belanda dan Republik
Indonesia akan membentuk negara federal bernama Indonesia
Serikat yang akan merupakan bagian dari Uni Indonesia-Belanda
di bawah mahkota Kerajaan Belanda.
Parlemen Belanda (Staten Generaal) baru meratifikasi
perjanjian itu pada 20 Desember 1946, dengan serangkaian tafsir
dan syarat tambahan, sedangkan Komite Nasional Indonesia Pusat
baru meratifikasi pada awal Maret 1947. Tetapi Perjanjian Linggajati
itu tidak efektif, karena Belanda kemudian melakukan agresi militer
pada Juli 1947, yang memancing Dewan Keamanan Perserikatan
Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, 2006, Rekonstruksi Politik Hukum
137
Pemerintahan Desa dari Desa Terkooptasi dan Marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratis,
117
eksis di wilayah BFO.138 Faktor lainnya adalah prestise Republik
Indonesia yang tinggi karena dianggapsebagai pemenang perang
dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat
dengan terjaminnya law and order di wilayah Republik Indonesia
(di Jogjakarta), kelancaran administrasi pemerintahan, dan
korupsi yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara
bagian lainnya.
Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat
dan terus dipelihara dalam tubuh Pemerintahan dan Negara
Republik Indonesia (di Jogjakarta) untuk mengembalikan bentuk
negara kesatuan di Indonesia. Hal itudapat diketahui dengan
ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai
negara kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia
dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri
Republik Indonesia (di Jogjakarta).
Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul
karena dua kejadian.139 Pertama, ditariknya kekuatan militer
Belanda di negara bagian yang tergabung dalam BFO. Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, kondisi tersebut menyebabkan
dibebaskannyaribuan tahanan politik yang sangat pro-republiken
dari berbagai penjara. Semua kondisi itu menyebabkan
kekuatan gerakan persatuan menjadi lebih besar. Gerakan
yang menentangnyahanya muncul di tempat-tempat di mana
sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk Nederlandsch
Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.
138
Meutia Farida Swasono, 1980, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Jakarta,
Penerbit Sinar Harapan, hlm. 184-187.
139
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press, , hlm. 572.
Pasal 131
ayat (1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(autonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya
C. PENGATURAN DESA
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tidak ada penyebutan secara eksplisit bahwa yang dimaksudkan
sebagai Daerah Tingkat III adalah desa, sesuatu yang berlainan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Namun dengan
mencermati ketentuan yang ada dalam bagian Penjelasan, maka
dapat disimpulan 2 (dua) hal pokok yang berkaitan dengan
eksistensi desa:
Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita
berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan
suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikat
kasatuannya. Sebab itulah maka handaknya di mana menurut
keadaan masyarakat belum dapat diadakan (3) tingkat, untuk
sementara waktu dibentuk dua tingkat dahulu.
141
Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Bandung, Penerbit Fokus
Media, hlm. 20.
142
Soehino, op.cit., hlm. 51.
143
Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, Cetakan Ketiga, Jakarta, Penerbit
Pustaka Utama Grafiti bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation, hlm. 28-29.
131
Dalam manifesto politik yang dikeluarkan pada tanggal 1
November 1945 sebagai tindaklanjut Maklumat Nomor X, maka
pemilihan umum bagi pemerintahan konstitusional secara eksplisit
dijelaskan sebagai berikut:144
C. PENGATURAN DESA
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965,
yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat
hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai
harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa
kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa
di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah
Desapraja menurut undang-undang ini. Dengan demikian,
persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam
(bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja.
Dengan memggunakan nama Desapraja, Undang-Undang 19
Tahun 1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam
untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang
3. PENGATURAN DESA
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa yang betul-betul paralel dengan
semangat sentralisasi dan regimentasi dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974, serta paralel dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1969 tentang Kepartaian, yang melancarkan
kebijakan massa mengambang di Desa. Ketentuan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 membuat format pemerintahan
Desa secara seragam di seluruh Indonesia.
Menurut C.S.T. Kansil, sebenarnya sebelum perumusan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, pemerintah telah
menyadari bahwa untuk menyebut “desa”, sebagai nama kesatuan
masyarakat, di Indonesia dalam berbagai wilayah dan tempat
menggunakan istilah yang bermacam-macam. Berikut ini adalah
tabel yang berisi penyebutan nama “desa” untuk sejumlah wilayah
dan tempat di Indonesia.
154
Lihat juga Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan
Daerah, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, hlm. 28-29.
161
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan
Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang,
hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-Undang
tersendiri. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai
masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk
sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh
Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas
nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena
jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam
menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah,
Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati.
Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota
bertanggungiawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.
B. PENGATURAN DESA
1. Pengertian dan Substansi Otonomi Desa
Desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
pengaturannya terdapat dalam Bab XI DESA, yang meliputi Pasal
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah
Kabupaten. (Pasal 1 huruf o).
157
Soehino, 2002, Hukum Tata Negara: Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jogjakarta, BPFE Yogyakarta, hlm. 70.
158
Ibid.
160
Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Bandung, Penerbit Fokus Media, hlm. 70.
187
1945 itu mempunyai makna yang penting karena 2 (dua) hal.162
Pertama, sepanjang sejarahnya, Indonesia belum pernah berhasil
melakukan reformasi konstitusi. Keempat usaha yang dilakukan
pada tahun 1945, 1949, 1950, dan 1956-1959, gagal menciptakan
sebuah konstitusi yang demokratis, terutama yang tidak bersifat
sementara. Kedua, usaha reformasi konstitusi yang kelima pada
kurun waktu 1999-2002 sangat krusial untuk mengantarkan
transisi Indonesia dari kekuasaan otoriter Soeharto ke sebuah
tatanana kelembagaan yang demokratis.
Dalam kerangka perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 tersebut, salah satu hal yang dihasilkan adalah amandemen
terhadap ketentuan Pasal 18 (mengenai pemerintahan daerah) yang
ditetapkan dalam Perubahan Kedua (2000). Secara struktur, Pasal
18 sama sekali diganti baru. Yang semula hanya satu pasal menjadi
3 (tiga) pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Penggantian
secara menyeluruh, berakibat juga bagi Penjelasan.163 Penjelasan
yang selama ini menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan
daerah tidak berlaku lagi.
Berikut ini dikutipkan bunyi selengkapnya ketentuan Pasal
18, Pasal 18A, dan Pasal 18B tersebut.
162
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran,
Bandung, Penerbit Mizan, hlm. 47.
163
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sama sekali bukan karya BPUPKI dan
PPKI, tetapi karya pribadi Prof. Soepomo yang kemudian dimuat dalam Berita Republik
Indonesia Nomor II Tahun 1946. Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, naskah
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan meliputi Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.
Demikian seterusnya, terutama era Orde Baru, yang mensosialisasikannya melalui Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dari 1978-1998.
164
Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 7.
165
Ibid., hlm. 8.
166
Ibid., hlm. 12.
167
Ibid., hlm. 12-13.
168
Ibid., hlm. 13-14.
C. PENGATURAN DESA
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal
200 – Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005.
Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 masih menyisakan beberapa
persoalan dari sisi substansi dan regulasi. Ada beberapa isu krusial
yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.
3. Perangkat Desa
Perangkat Desa yang diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sangat berbeda dengan pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perangkat Desa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri
dari sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya. Ketentuan Pasal
202 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan
Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan. Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditegaskan:
6. Peraturan Desa
Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang
melekat pada Desa, maka Desa mempunyai kewenangan
(mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun
Peraturan Desa (Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005). Jabaran dari ketentuan tersebut, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Perlu
diketahui bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri itu menetapkan
7. Kerjasama Desa
Ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
maupun Pasal 82-87 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 menyebutkan bahwa Desa dapat mengadakan kerjasama
untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama
dan dilaporakan kepada Bupati/ Walikota melalui Camat.
Selanjutnya, dalam pasal 214 ayat (4) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, pelaksanaan kerjasama antar Desa ataupun Desa
dengan pihak ketiga dapat dilakukan dengan membentuk badan
kerjasama. Jabaran lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur
A. PENGATURAN DESA
1. Kedudukan Desa
Prinsip utama dalam negara kesatuan adalah negara yang
mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah
atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah
pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan
karena di dalam negara kesatuan tidak terdapat negara-negara yang
berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-
wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak
mempunyai kekuatan asli seperti halnya dengan negara-negara
bagian dalam bentuk negara federasi.173 Hal ini dalam konteks
Negara Republik Indonesia terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) dan
18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
173
Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan
Daerah Otonomi Khusus, PT Refika Aditama, Bandung, 2013. hlm. 11.
233
Kedudukan desa sendiri dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-
undangan, termasuk di dalamnya adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, bila
telusuri lebih lanjut yaitu Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintah daerah yang
diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud di
sini adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah dan yang
saat ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah tampak jelas kedudukan desa bahwa
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota (2)
Daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi
atas kelurahan dan/atau desa. Hal ini ditegaskan oleh ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bahwa Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan
178
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
179
Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa..”, Op.Cit., hlm. 30.
180
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
2. Pemerintahan Desa
a. Pengertian Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa Pemerintahan Desa
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud dengan Pemerintah Desa dalam
Pasal 1 angka 3 adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa. Lalu yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) atau yang disebut dengan nama lain dalam Pasal 1 angka
4 adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Ramlan
Surbakti terkait dengan perbedaan konsep antara pemerintah
dan pemerintahan menyatakan bahwa antara pemerintah dan
b. Kelembagaan Desa
Sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di dalam undang-
undang ini diatur mengenai kelembagaan desa/desa adat, yaitu
lembaga pemerintahan desa/desa adat yang terdiri atas Pemerintah
Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat,
Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat.
Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama
lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai
kepanjang tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai
pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip
pengaturan tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a. sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan
lokal;
b. Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan desa/desa adat dan sebagai pemimpin
masyarakat;
c. Kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung
oleh masyarakat setempat, kecuali bagi desa adat dapat
menggunakan mekanisme lokal; dan
181
Didik Sukriono, 2008, “Pemerintah Desa dalam Politik Hukum”, Jurnal Law
Enforcement, Vol. 2, No. 1, hlm. 4.
182
Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.
183
Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah: Perspektif
Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan
Kesatuan, Malang, Setara Press, hlm. 33.
184
Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi
Masyarakat, Malang, Setara Press, hlm. 37.
185
Earlita Korompis, 2013, “Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam Menjalankan
Fungsi Pengawasan Pemerintahan”, Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1, hlm. 5.
Pasal 34
(1) Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. sistem organisasi masyarakat adat;
b. pembinaan kelembagaan masyarakat;
c. pembinaan lembaga dan hukum adat;
d. pengelolaan tanah kas Desa; dan
e. pengembangan peran masyarakat Desa.
Pasal 5
Kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat;
b. kewenangan yang mempunyai ruang lingkup pengaturan
dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat
Desa yang mempunyai dampak internal Desa;
c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan
kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;
d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar
prakarsa Desa;
Pasal 7
Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. bidang pemerintahan Desa;
b. pembangunan Desa;
c. kemasyarakatan Desa; dan
d. pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 8
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain
meliputi:
a. penetapan dan penegasan batas Desa;
b. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa;
c. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;
d. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;
e. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan non sektor pertanian;
f. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk
usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat
partisipasi angakatan kerja;
Pasal 9
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:
Pasal 10
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar
sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:
a. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
b. pengembangan tenaga kesehatan Desa;
c. pengelolaan dan pembinaan Posyandu melalui:
1) layanan gizi untuk balita;
2) pemeriksaan ibu hamil;
3) pemberian makanan tambahan;
4) penyuluhan kesehatan;
5) gerakan hidup bersih dan sehat;
6) penimbangan bayi; dan
7) gerakan sehat untuk lanjut usia.
d. pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;
e. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika
dan zat adiktif di Desa;
f. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;
g. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni
budaya, dan perpustakaan Desa; dan
h. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok
belajar di Desa.
Pasal 12
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pengembangan
ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c anatara lain meliputi:
a. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios
Desa;
b. pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan
mulik Desa;
Pasal 14
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf D antara
lain:
a. pengembangan seni budaya lokal;
b. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi
lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat;
c. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui:
1) kelompok tani;
2) kelompok nelayan;
3) kelompok seni budaya; dan
4) kelompok masyarakat lain di Desa.
d. pemberian santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;
e. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan,
kelompok-kelompok masyarakat miskin, perempuan,
masyarakat adat, dan difabel;
Ibid.
188
4. Keuangan Desa
Dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa bahwa keuangan desa adalah semua hak dan
kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, desa mempunyai sumber pendapatan berupa pendapatan
asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/
kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari Anggaran
Pendapatn dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan
Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, 2014, Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa
190
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
M Suparmoko, 2013, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktik, BPFE, Yogyakarta,
hlm. 99.
196
Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan
1974-2004, Kencana Prenada Grup, Jakarta, 2008, hlm. 14.
197
Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan Kemiskinan di Provinsi
Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12, No. 1, hlm. 34.
198
Aida Vitayala Hubeis dkk, 2011, Menuju Desa 2030, Bogor, Crestpent Press, hlm. 9.
199
Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan
Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
200
Muhammad Djafar Saidi, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta,
PT RajaGrafindo, hlm. 22.
202
Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,Jakarta,
Penerbit Erlangga, hlm. 82.
203
Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa...”, Op.Cit., hlm. 233.
5. Peraturan Desa
a. Kedudukan Peraturan Desa dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan
Pada prinsipnya implikasi utama Negara Indonesia adalah
Negara Hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.204 Salah satunya
adalah berkaitan dengan pengaturan tentang desa melalui Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 69
ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menyatakan bahwa Jenis peraturan di desa terdiri atas peraturan desa,
peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa. Dari ketiga
jenis peraturan tersebut yang memiliki karakterstik unik adalah
peraturan desa yang harus melalui proses politik antara Badan
Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa layaknya undang-undang
antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
204
Slamet Suhartono, 2008, “Norma Samar (Vage Norm) Sebagai Dasar Hukum
Pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara”, Jurnal Yustisia, Edisi 79, hlm. 94.
Ibid.
206
208
Ibid.
209
Ibid., hlm. 263.
210
Ibid.
Ibid.
216
217
Hanif Nurcholis, Op.Cit., hlm. 113.
218
Ibid.
219
Lihat Pasal 83 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
220
Lihat Pasal 83 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
221
Lihat Pasal 83 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
222
AAGN Ari Dwipayana dkk, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Ire Press,
Yogyakarta, hlm. ix.
223
Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
227
Lihat Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
228
Lihat Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
229
Lihat Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
230
Lihat Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
231
Lihat Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
232
Lihat Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
233
Lihat Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
Lihat Pasal 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
234
239
Lihat Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
240
Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman
Teknis Peraturan di Desa.
241
Satriyo Wibowo, “Siapkah Kita Mengahadapi Tantangan MEA 2016?”, http://inet.
detik.com/ read/ 2016/01/14/ 074608/ 3118080/398/ siapkah- kita- menghadapi-tantangan-
mea-2016, diakses tanggal 15 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.
242
“Pemerintah Siapkan Masyarakat Hadapi MEA”, Tribun Jogja, Edisi Minggu 17
Januari 2016.
Ibid.
246
247
Moch Solekhan, Op.Cit., 72.
248
Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 20.
249
Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi: Kajian Politik
Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Setara Press,
Malang, hlm. 183.
250
Lincolin Arsyad dkk, Op.Cit., hlm. 92.
251
Ibid., hlm. 94.
252
M Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public Policy),
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 132.
C. DUALISME KEMENTERIAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 7 Tahun 2014 pada
tanggal 15 Januari 2014. Konsekuensi yuridis diundangkannya
suatu peraturan perundang-undangan adalah berlaku hari itu
juga ketika diundangkan. Demikian pula yang terjadi pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagimana
termaktub dalam Pasal 122 yang berbunyi “Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Secara kelembagaan,
ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mulai berlaku
maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagimana dimaksud dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan
oleh presiden melalui pembantunya, yaitu menteri negara yang
membawahi kementerian negara, dalam hal ini khususnya pada
urusan desa. Secara lebih teknis Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68 dan
Pasal 80 Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
menjelaskan desa sebagai domain kewenangan dari Kementerian
Dalam Negeri.
Pasal 66
K e m e n t e r i a n D a l a m Ne g e r i m e m p u n y a i t u g a s
menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam
Pasal 67
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 66, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pemerintahan dalam negeri;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri; dan
d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah.
Pasal 68
Susunan organisasi eselon I Kementerian Dalam Negeri
terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik;
c. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum;
d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;
e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;
f. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa;
g. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil;
h. Direktorat JenderalKeuangan Daerah;
i. Inspektorat Jenderal;
Pasal 80
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan
masyarakat dan desa;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan
masyarakat dan desa;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang pemberdayaan masyarakat dan desa;
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
Penyelenggaraan semua kewenangan di bidang desa
berdasarkan beberapa ketentuan pasal di atas dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam
Negeri. Namun demikian, seiring suksesi kepemimpinan negara
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko
Pasal 6
Dalam hal organinisasi dan tata kerja Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) angka 26 belum terbentuk maka
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
memimpin dan mengkoordinasikan:
a. Penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang
meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa,
pemberdayaan masyarakat adat dan sosial budaya
masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan
sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan
yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri;
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh
Kemnterian Pembangunan Daerah Tertinggal; dan
c. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
transmigrasi yang dilaksanakan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara sebagimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014.
253
Deytri Robekka Aritonang, “Jokowi-JK Andalkan Nawa Cita, Sembilan Agenda
Prioritas Indonesia”, Kompas, 20 Mei 2014.
254
“Dirjen PMD Ogah Gabung Kementerian Desa, Marwan: Kita Bikin Baru”, http://
www. jpnn. com /read/ 2014/ 11/25/271979/Dirjen-PMD- Ogah-Gabung- Kementerian-Desa,-
Marwan:-Kita- Bikin-Baru, diakses 14 Februari 2015 pukul 09.30 WIB
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, pentapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi
daerah, pembinaan administrasi keweilayahan,
pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan
pemerintahn dan pembangunan daerah, pembinaan
keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan
sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
d. pengawasan dan pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Dalam Negeri;
f. pengoordinasian, pembinaan, dan pengawasan
umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan
Pasal 4
Kementerian Dalam Negeri terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;
c. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan;
d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;
e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;
f. Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa;
g. Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah;
h. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil;
i. Inspektorat Jenderal;
j. Badan Penelitian dan Pengembangan;
k. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia;
l. Staf Ahli Hukum dan Kesatuan Bangsa;
m. Staf Ahli Bidang Pemerintahan;
Pasal 21
Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang pembinaan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Direktorat dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang fasilitasi penataan
desa, penyelenggaraan adminstrasi pemerintahan desa,
pengelolaa keuangan dan aset desa, produk hukum desa,
pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan
penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa,
kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan
desa;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang fasilitasi penataan
desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan
desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk
hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat
desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan,
kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta
evaluasi perkembangan desa;
Pasal 2
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah
tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah
tertentu, pembangunan daerah tertinggal, penyiapan
pembangunan permukiman, dan pengembangan
kawasan transmigrasi;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
Pasal 4
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa;
c. Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan;
d. Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu;
e. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal;
f. Direktorat Jenderal Penyiapan Kawasan dan
Pembangunan Permukiman Transmigrasi;
Pasal 9
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan
pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa,
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna,
pembangunan sarana dan prasarana desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masayarakat Desa melenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan
pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi
desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa,
serta pemberdayaan masyarakat desa;
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 12, Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan
menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan
sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan
ekonomi kawasan perdesaan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan
sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan
ekonomi kawasan perdesaan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di
bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan,
pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan
pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;
d. pemberian bimbinganteknis dan supervisi di bidang
perencanaan pembangunan kawasan perdesaan,
pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan,
dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;
Struktur
Urusan
Organisasi
Terkait Tugas Keterangan
Pemerintahan
Desa
Pusat
a. Penataan desa;
b. Adminstrasi
Pemerintahan Desa;
Kementerian c. Keuangan dan aset desa; Peraturan Presiden
Bina Pemerintahan Desa
256
Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada.
257
Utang Rosidin, 2015, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, CV Pustaka Setia,
Bandung, hlm. 455.
258
Ibid.
259
Indah Dwi Qurbani, 2014, “Menakar Peluang dan Tatangan terhadap Implementasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Jurnal Transisi, Edisi 9, hlm. 66.
260
Yansen TP, 2014, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya
kepada Rakyat, Jakarta, Elex Media Komputindo, hlm. 46-47.
267
Fredian Tonny Nasdian, 2014, Pengembangan Masyarakat, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, hlm. v.
PENUTUP
317
konsep yaitu apakah merupakan praktik ketatanegaraan semenjak
sebelum republik atau sekadar penafsiran historis, yang kemudian
secara oportunistik diberikan penjelasan guna “menyelipkan”
kepentingan, terutama ide-ide kecukupan, keseimbangan, dan
harmoni, untuk dasar sistem pemerintahan yang dikehendaki.
Tetapi yang pasti, pada akhirnya, Undang-Undang Dasar 1945
sama sekali tidak pernah memberikan pengaturan mengenai
Desa. Hanya saja, pemahaman normatif tersebut, dalam praktik
pengaturan, terutama semenjak pasca proklamasi, dimaknai secara
berbeda-beda, khususnya bagaimanakah menempatkan Desa, baik
sebagai entitas, sebagai kesatuan masyarakat, sebagai organisasi
pemerintahan, maupun sebagai perwujudan desentralisasi, dari satu
pengaturan di suatu masa ke pengaturan pada masa berikutnya.
Ditinjau dari pengertian, konsep desa sebagai entitas sosial
sangat beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang
yang hendak digunakan dalam melihat desa. Sebutan Desa dapat
berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti
suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi di hadapan pihak
atau kekuatan lain.
Pengaturan mengenai posisi Desa, dari uraian-uraian di muka
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari segi istilah, arah, kedudukan, kewenangan, kelembagaan,
dan penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan perubahan
yang disebabkan perbedaan sudut pandang secara politik dan
hukum dalam memandang konsep otonomi desa;
2. Terjadi inkonsistensi dalam penempatan desa sebagai satuan
pemerintahan, yaitu dari sudut pandang menurut prinsip
non hierarkis pemerintahan hingga menurut prinsip hierarkis
pemerintahan. Dalam prinsip non hierarkis pemerintahan,
327
Arbi Sanit, “Problematik Otonomi Daerah dan Distribusi
Kekuasaan Pusat-Daerah” dalam Syamsuddin Haris et.al.,
2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia:
Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama
dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia.
Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat
II dan Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju.
Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies
Natalis Universitas Parahiyangan, Bandung, 1983.
Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan
Kemiskinan di Provinsi Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vol. 12, No. 1.
Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April
1991.
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945,
Karawang, UNSIKA.
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Jogjakarta, Penerbit UII Press.
Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No.
22 Tahun 1999”, makalah, Bandung, 1999.
Bayu Surianingrat, 1980, Desa dan Kelurahan Menurut UU
No.5/1979, Jakarta.
B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of
the State, London, Asia Publishing House.
335
Dila Eka Juli Prasetya, S.H. Lahir di Kabupaten
Klaten, 18 Juli 1993. Merupakan Mahasiswa
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan
Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik.
Menyelesaikan pendidikan sarjana pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tahun 2015. Aktif menjadi
asisten dosen dan asisten peneliti di kampusnya. Minat utamanya
adalah mengkaji isu-isu hukum kebijakan publik pemerintahan
daerah dan desa.