Anda di halaman 1dari 347

~

PEMERINTAHAN
Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis
ABSOLUTE M£I}IA
HUKUM PEMERINTAHAN DESA
(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)
HUKUM PEMERINTAHAN DESA
(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.


Dila Eka Juli Prasetya, S.H.
HUKUM PEMERINTAHAN DESA
(PERSPEKTIF, KONSEPTUALISASI DAN KONTEKS YURIDIS)

Cetakan I Agustus 2016


x + 336 hlm,: 14,5x20,5 cm
ISBN: 978-602-1083-39-0

Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

Desain Sampul:
Imam Syahirul Alim

Layout:
Eko Taufik

Penerbit:
CV. ABSOLUTE MEDIA
Krapyak Kulon RT 03 No. 100, Panggungharjo Sewon, Bantul
Yogyakarta. Telp: 087839515741 / 082227208293
Email: absolutemedia09@yahoo.com
Website: www.penerbitabasolutemedia.com

Copyright@2016 Dr. Isharyanto


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta Dilarang memperbanyak/menyebarkan dalam bentuk apapun tanpa
ijin tertulis dari Penulis dan Penerbit
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Taufik, Rahmat, Hidayat, serta Inayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku yang diberi judul,
Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif, Konseptualisasi, dan
Konteks Yuridis).
Buku ini disusun sebagai literatur dan pematik gagasan
bagi para mahasiswa, akademisi, dan praktisi di bidang hukum
pemerintahan desa untuk melakukan pengembangan kajian hukum
dan sebagai pemandu penyelenggaraan pemerintahan desa yang
ideal.
Dalam perjalannya, desa sebagai satuan pemerintahan
terbawah sekaligus terdepan di Negara Republik Indonesia
mengalami pasang-surut pengaturan dan perlakuan dari pemerintah.
Mulai dari era penjajahan yang cenderung memperlakukan desa
sesuai dengan kepentingan penjajah, era orde lama yang cenderung
fluktuatif antara sentralistis dan pemberian otonomi, era orde baru
yang cenderung sentralistis, orde reformasi pada masa berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang cenderung belum mengarusutamakan
desa sebagai pusat pembangunan kemasyarakatan, pelaksanaan
kemandirian pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi.
Puncaknya adalah setelah disahkan Undang-Undang tentang Desa
pada tanggal 18 Desember 2013 yang kemudian diundangkan pada

v
tanggal 15 Januari 2014 yang kemudian disebut sebagai Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dibangun
dengan konstruksi hybrid fungsi self governing community dengan
local self goverment, diharapkan melalui formulasi ini desa menjadi
lebih berkembang maju tanpa meninggalkan kepribadian sesuai
dengan Nawa Cita yang dicanangkan pemerintah yaitu melakukan
pembangunan dari pinggiran.
Tiada gading yang tak retak, tiada hal yang sempurna di
dunia ini kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Untuk penyempurnaan
dan pengembangan buku ini penulis menanti saran dan masukan
kepada semua pihak yang memiliki peminatan tentang hukum
pemerintahan desa. Atas terbitnya buku ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang membantu terwujudnya
karya ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Penulis,

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.


Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

vi HUKUM PEMERINTAHAN DESA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................ vii

BAB I DESENTRALISASI DAN PEMERINTAHAN


DAERAH........................................................... 1
A.. DESENTRALISASI: Originalitas Konsep........... 1
B.. Bentuk-Bentuk Hubungan Pusat dan Daerah..... 10
C.. Pemerintahan Daerah.......................................... 13

BAB II DESA DALAM BINGKAI TRADISI DAN


KONSTITUSI.................................................... 41
A.. Tradisi Kedaulatan Rakyat................................... 41
B.. Konfigurasi Pemahaman...................................... 48

BAB III DESA DAN STRUKTUR KENEGARAAN........ 53


A.. Optik Historik Konstitusional............................. 53
B.. Tipologi Desa...................................................... 58
C.. Otonomi dan Kewenangan Desa......................... 67

BAB IV PENGATURAN DESA PADA MASA KOLONIAL 73


A.. Masa Kolonial Hindia Belanda............................ 73
B.. Pada Masa Pemerintahan Balatentara Jepang....... 90

vii
BAB V PENGATURAN DESA DALAM KURUN
WAKTU .PERTAMA BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG DASAR 1945 (18 AGUSTUS 1945 –
27 DESEMBER 1949)........................................ 93
A.. Pembentukan Negara dan Undang-undang Dasar
1945.................................................................... 93
B.. Dinamika Legislasi.............................................. 97

BAB VI PENGATURAN DESA DALAM KURUN


WAKTU KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA SERIKAT 1949............................ 111
A.. Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat 111
B.. Sistem Pemerintahan Daerah dan
. Pengaturan Desa.................................................. 114

BAB VII PENGATURAN DESA PADA MASA


BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR
SEMENTARA 1950............................................ 117
A.. Terbentuknya Kembali Negara Kesatuan
.Indonesia............................................................. 117
B.. Sistem Pemerintahan Daerah............................... 122
C.. Pengaturan Desa.................................................. 125

BAB VIII PENGATURAN DESA PADA KURUN


WAKTU KEDUA BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG DASAR 1945.................................... 131
A.. Dekrit Presiden 5 Juli 1959................................. 131
B.. Sistem Pemerintahan Daerah............................... 136

viii HUKUM PEMERINTAHAN DESA


C.. Pengaturan Desa.................................................. 141
D.. Konfigurasi Kenegaraan Orde Baru..................... 145

BAB IX PENGATURAN DESA PADA MASA


REFORMASI (TAHUN 1999-2004).................. 161
A.. Sistem Pemerintahan Daerah............................... 161
B.. Pengaturan Desa.................................................. 162

BAB X PENGATURAN DESA SETELAH PERUBAHAN


UNDANG-UNDANG DASAR 1945
(TAHUN 2004-2013)......................................... 187
A.. Perubahan Undang-undang Dasar....................... 187
B.. Sistem Pemerintahan Daerah............................... 194
C.. Pengaturan Desa.................................................. 197

BAB XI PENGATURAN DESA PADA MASA


BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR
6 TAHUN 2014 TENTANG DESA.................... 233
A.. Pengaturan Desa.................................................. 233
B.. Peran Peraturan Desa dalam Menghadapi
. Masyarakat Ekonomi ASEAN............................. 282
C.. Dualisme Kementerian........................................ 290
D.. Peranan Desa dalam Menunjang Welfare State..... 310

BAB XII PENUTUP......................................................... 317

DAFTAR PUSTAKA............................................................ 327


BIOGRAFI PENULIS......................................................... 335

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis ix


BAB I

DESENTRALISASI DAN
PEMERINTAHAN DAERAH

A. DESENTRALISASI: ORIGINALITAS KONSEP


Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari
mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu konsep,
terutama di lingkungan negara berkembang, desentralisasi telah
diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari segi pertumbuhan
pemahamannya, telah berkembang melalui 3 (tiga) gelombang.
Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi itu digambarkan
oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.1
Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana
desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah
diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk memperkuat
dan memberdayakan pemerintahan daerah. Sementara itu,
gelombang kedua desentralisasi, terutama di negara berkembang,
terjadi pada dasawarsa 1970-an, penerimaan konsep desentralisasi
lebih bervariatif, dan pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat
untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sedangkan
gelombang desentralisasi yang ketiga, ditandai dengan perluasan
1
Syarief Hidayat, “Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Literatur”, dalam Syarief
Hidayat et.al., 2005, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Jakarta, LIPI, hlm. 26-28.

1
kajian, di mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus
ilmu politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik
perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya,
ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.
Untuk keperluan studi ini, maka saya tidak akan menguraikan
satu persatu bagaimana di siplin ilmu pengetahuan itu memahami
desentralisasi, akan tetapi lebih difokuskan satu hal saja yaitu
desentralisasi dari perspektif pemerintahan dan administratif.
Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of
power from central to local government.2 Dalam perspektif yang lebih
luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan desentralisasi sebagai
the transfer of planing, decision making, or administrative authority
from central goverment to its field organisations, local administrative
units, semi autonomous and parastatal organisations, local government,
or non-government organisations.3 Dalam uraian selanjutnya,
Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya 4 (empat) bentuk
desentralisasi.4
Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang
administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi
autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian otoritas
manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu
yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara
langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, devolution,
yaitu penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of function and
authorities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

2
Mawhood P. (Editor), 1987, Local Government in the Third World:The Experience of
Tropical Africa, Chicheser, John Wiley & Son.
3
Rondineeli dan Cheema, 1983, Decentralisation and Development: Policy
Implementation of Developing Countries, hlm. 18.
4
Ibid., hlm. 18-25.

2 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Sedangkan bentuk keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan
beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab
administrasi tertentu kepada organisasi swasta.
Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta bentuk-
bentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema
di atas cukup komprehensif dan luas. Sifat komprehensif dan luas
nampak dari konseptualisasi desentralisasi yang disorot dalam
aspek teknik, spasial, dan administratif, sebagai elemen utama.
Selanjutnya, makna desentralisasi juga mencakup pendelegasian
wewenang tidak hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga
mencakup organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sektor
swasta.
Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi
seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak
menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika
mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi
kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power from
central to peripheral state.5 Lugasnya, definisi itu mengabaikan the
territorial dimension of state power, seperti dipaparkan oleh Conyers.
Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick,
antara desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan. 6
Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan secara
hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal
yang menjadi kewenangan peemrintah daerah”, sedangkan
dekonsentrasi merupakan the delegation of authority adequate for

5
Slater, 1990, “Debating of Decentralisation: A Reply to Rondinelli, Development and
Change, Vol. 21., hlm. 504.
6
Henry Maddick, 1996, Democracy: Decentralization and Development, London, Asia
House Publishing, hlm. 23.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 3


the discharge of specified functions to staff of a central department who
are situated outside the headquaters.
Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini,
dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan Bhenyamin
Hoessen7 menyatakan bahwa dari aspek politik desentralisasi
merupakan sharing of the govermental power by a central rulling
group with other groups each having authority within a specefic area
of the state. Sementara dekonsentrasi merupakan the sharing of
power between members of the same rulling group having authority
respectively in different areas of the state.
Seperti paparan di awal paragraf bahwa desentralisasi
merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan prinsip pemisahan
kekuasaan dalam suatu organisasi negara. Dalam literatur klasik,
kecenderungan desentralisasi dapat dikaitkan dengan bentuk
negara, yang secara normatif merupakan ajaran baku dalam
ilmu negara. Menurut Miriam Budiardjo8 (2008), pemisahan
itu dilaksanakan secara horisontal dan vertikal. Pemisahan
kekuasaan secara horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan
kekuasaan secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan
berdasarkan tingkat atau hubungan antartingkatan pemerintahan.
Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara vertikal itulah maka
perbincangan mengenai bentuk negara menemukan relevansinya.
Literatur hukum tata negara pada umumnya menunjuk
bahwa bentuk negara meliputi 3 (tiga) macam bentuk, yaitu
negara kesatuan, negara federal, dan negara konfederasi. Uraian

7
Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hossen, 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit P2P-LIPI, hlm. 23-25.
8
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.

4 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


selanjutnya berfokus kepada bentuk negara kesatuan supaya relevan
dengan isu hukum yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah
di atas. Di samping itu, telah menjadi kenyataan konstitusional
bahwa Indonesia ialah negara kesatuan berbentuk republik (Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).
Menurut Ni’matul Huda, di dalam negara kesatuan
pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara
meskipun untuk mencegah kesewenang-wenangan, aktivitas
pemerintah diawasi dan dibatasi oleh undang-undang.9 Konsekuensi
logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka
unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah
pemerintah pusat harus tunduk kepada pemerintah pusat. Tanpa
disertai dengan ketundukan dan kepatuhan secara organisasional
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan terjadi
tumpang tindih dan tabrakan dalam pelaksanaan kewenangan
(prinsip unity of command).
Menurut Wajong, sebagaimana dikutip oleh Ni’matul
Huda, dalam negara kesatuan, bagian-bagian negara ini disebut
dengan daerah, sedangkan istilah daerah ini merupakan teknis
bagi penyebutan suatu bagian teritorial yang berpemerintahan
sendiri dalam rangka negara kesatuan dimaksud.10 Negara kesatuan
sering dibedakan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu negara kesatuan
dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi. Ciri khas sistem sentralisasi adalah pemerintah
pusat senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan
dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk
ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta

9
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII Press,
hlm. 27.
10
Ibid., hlm. 29.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 5


memperjuangkan kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam
sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang
disebut dengan daerah otonom.11
Menurut Irawan Soejito, desentralisasi ada 3 (tiga) macam
jenis, yaitu desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional
termasuk desentralisasi menruut dinas/kepentingan, dan
desentralisasi administratif atau lazim dikenal sebagai dekonsentrasi.12
Desentralisasi teritorial adalah adalah desentralisasi kewenangan
yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum
(openbaar lichaam) seperti persekutuan yang berpemerintahan
sendiri. Desentralisasi fungsional adalah pemberian kewenangan
dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk diselenggarakan
atau dialankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus
dibentuk untuk itu. Sementara, dekonsentrasi adalah pelimpahan
sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada alat perlengkapan
atau organnya sendiri di daerah.
Kualifikasi yang lebih tegas diberikan oleh RDH.
Koesoemahatmadja, yang membagi desentralisasi ke dalam 2
(dua) kelompok pengertian yaitu dekonsentrasi (deconcentratie)
atau ambtelijke decentralisatie dan desentralisasi ketatanegaraan
(staatkundige dencentralitatie).13 Dekonsentrasi adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas
kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam
melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan

11
Abdurrahman (Editor), 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, hlm. 56.
12
Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta,
Penerbit Rineka Cipta, hlm. 29.
13
RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia, Bandung, Penerbit Bina Cipta, hlm. 14-15.

6 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dan wewenang menteri kepada gubernur. Sedangkan desentralisasi
ketatanegaraan atau desentralisasi politik adalah pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en besturende
bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya.
Diuraiakan lebih lanjut bahwa desentralisasi ketatanegaraan
atau desentralisasi politik tadi dapat dipilah menjadi 2 (dua)
macam, yaitu desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) dan
desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie). Desentralisasi
teritorial merupakan pelimpahan kekuasaan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonomi),
sementara desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan
tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar
kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh
golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.
Dari berbagai teorisasi desentralisasi di atas, satu pertanyaan
tidak selalu terjawab di dalamnya yaitu dari manakah pelimpahan
kekuasaan itu berasal? Atau siapakah pemegang original power
dalam rangka desentralisasi tersebut?
Dalam konteks negara federal, tentu hal itu dapat ditinjau
dalam pemahaman yang lebih mudah, sebab asal-usul negara
federal semenjak awal melekatkan pemegang kekuasaan asli itu
adalah pada negara bagian, sebagai satuan teritorial berbanding
dengan pemerintah federal sebagai pemerintah pusat. Dalam
konteks ini, segala urusan pemerintahan sebenarnya merupakan
wewenang pemerintah negara bagian, kecuali yang dalam konstitusi
federal (sebagai sebuah “kontrak sosial) diserahkan untuk diurus
pemerintah federal. Walaupun dalam tataran praktis, definisi ini
terlalu romantis, sebab dalam negara federal tak terhindarkan adanya
semacam sentralisasi ke arah kekuasaan federal antara lain melalui

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 7


penafsiran konstitusi. Menurut Bagir Manan, kecenderungan
sentralisasi itu terjadi bukan karena penyelenggaraan keamanan dan
ketertiban, melainkan akibat perkembangan fungsi pemerintahan
di bidang kesejahteraan umum, perlindungan hak-hak warganegara,
khususnya hak asasi, serta kewenangan mengadili, dan sebagainya.14
Sebagai contoh adalah kecenderungan federasi di Amerika Serikat,
yang nampaknya akan menjadi ciri suatu periode pemerintahan
dari masa ke masa.
Sementara dalam konteks negara kesatuan, hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (sebagai bagian atau
satuan teritorial negara yang “lebih kecil”) di bidang otonomi
bersifat administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power)
melekat kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah
pusat. Oleh sebab itu, pemahaman desentralisasi dalam konteks
negara kesatuan harus dipahami sebagai penyerahan kekuasaan
oleh negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk menjadi urusan
rumah tangga daerah suatu urusan pemerintahan kepada daerah.
Dalam negara kesatuan, pemerintah pusatlah yang membentuk
cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi, yang
akan menentukan juga sifat (luas atau terbatas) atas suatu otonomi.
Memang, dalam konteks negara kesatuan, persoalan hubungan
dengan satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup
praktik penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut
perosalan hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan cara
menyusun serta menyelenggarakan organisasi pemerintahan di
daerah.
Karena desentralisasi dipahami dalam konteks politik
pemerintahan terkait dengan the territorial dimension of state
14
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Jogjakarta, Penerbit UII
Press, hlm. 34.

8 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


power, maka arah pembicaraan berkaitan dengan mekansime
hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah.
Dalam hal ini, pemahaman satuan-satuan teritorial dalam suatu
negara menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut. Pada dimensi
ini, penyelenggaraan negara diwujudkan ke dalam satuan-satuan
teritorial yang lebih kecil diwujudkan dalam bentuk dekonsentrasi
teritorial, satuan otonomi teritorial, atau federal.
Secara umum, B.C. Smith menunjuk adanya 2 (dua)
tujuan desentralisasi, yaitu tujuan politik dan tujuan ekonomi.15
Secara politik tujuan desentralisasi adalah untuk memperkuat
pemerintahan daerah, meningkatkan keterampilan dan kemampuan
politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk
mempertahankan integrasi nasional. Sedangkan secara ekonomi,
desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam menyediakan public and good services,
serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan di
daerah. Lebih jauh, J. Ruland menegaskan bahwa decentralisation as
a corrolary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase
people participation, which would eventually lead to socio-economic
development.16
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas
oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber
pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber
penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat
beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki
mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak

15
B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London,
Asia Publishing House.
16
J. Rulland, 1993, Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local
Government, Bouldier, Westview Press, hlm. 3.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 9


tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi
kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

B. Bentuk-Bentuk Hubungan Pusat dan Daerah


Menurut Bagir Manan, dari bentuk-bentuk pemencaran
kekuasaan dijumpai 3 (tiga) bentuk hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.17 Pertama, hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua,
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut
dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah menurut dasar federal.
Dalam pandangan Bagir Manan, terutama untuk bentuk
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut
dasar otonomi teritorial dengan hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah menurut dasar federal dijumpai persamaan
maupun perbedaan.18 Persamaannya adalah baik dekonsentrasi
maupun otonomi, sama-sama hanya menyelenggarakan
pemerintahan di bidang administrasi negara. Keduanya sama-sama
bersifat administratiefrechtelijk, bukan staatsrechtelijk.
Sementara itu perbedaannya, dasar hubungan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah menurut dasar dekonsentrasi teritoral,
bukan merupakan hubungan antara dua subyek hukum (publiek
rechtspresoon) yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan
dekonsentrasi merupakan kesatuan wewenang dengan departemen
atau kementerian yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan

Ibid, hlm. 32.


17

Ibid., hlm. 33.


18

10 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat,
dan tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.
Dikaitkan dengan bentuk negara, Bagir Manan menyebutkan
bahwa otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara
kesatuan.19 Diuraikan lebih lanjut bahwa:

Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam


lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan
hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus
fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan
rumah tangganya. Jadi [memiliki] kesamaan dengan hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut dasar federal,
yaitu hubungan antara dua subyek hukum yang masing-masing
berdiri sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial, pada
dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahana da dalam
lingkungan pemerintahan pusat yang kemudian dipencarkan
kepada satuan-satuan otonomi.20

Selanjutnya, Bagir Manan menguraikan bahwa ada 4 (empat)


cara untuk melakukan pemencaraan kepada satuan-satuan otonomi
tersebut.21 Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas
berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan
rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam
sistem sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian. Kedua,
pemerintah pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai
urusan baru kepada satuan otonomi. Ketiga, pemerintah pusat
mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “diciptakan”
atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomi, baik karena

19
Ibid., hlm. 34.
20
Ibid., hlm. 33-34.
21
Ibid., hlm. 34.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 11


tidak diatur dan tidak diurus oleh pemerintah pusat maupun atas
dasar semacam concurrent power. Keempat, membiarkan suatu
urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai
fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi.
Seperti diuraikan dalam paparan di atas, pemerintah pusat
yang membentuk cara-cara penentuan suatu otonomi. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas
atau otonomi luas. Menurut Bagir Manan, sekurang-kurangnya
ada 3 (tiga) hal untuk untuk menggolongkan penentuan suatu
otonomi digolongkan sebagai “otonomi terbatas.”22 Pertama,
urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris
dan pengembannya diatur dengan cara tertentu pula. Kedua,
apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian
rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk
menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang menimbulkan hal-hal seperti
keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah, yang akan
membawa membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Sementara, “otonomi luas” biasa bertolak dari prinsip “semua
urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga
daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.”
Bagir Manan menyebut mekanisme demikian sebagai “titik temu
persamaan antara sistem negara kesatuan berotonomi dengan
sistem negara federal.”23 Seperti hasil studi yang dilakukan oleh
Eddy Toet Hendratno, bahwa dalam negara kesatuan sekalipun
amat memungkinkan untuk dilaksanakan kebijakan desentralisasi

Ibid., hlm. 37.


22

Ibid., hlm. 38.


23

12 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang mengarah kepada sistem federal.24 Demikianlah, derajat
desentralisasi dalam negara kesatuan akan menentukan corak atau
sifat otonomi yang diselenggarakan oleh daerah. Pada titik inilah
terdapat hubungan antara desentralisasi dengan otonomi.
Dengan tertib berpikir demikian, desentralisasi pada akhirnya
bukan saja pemencaran wewenang (spreiding van bevoegheid), tetapi
mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten)
untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan
negara, antara pemerintah pusat dengan satuan-satuan pemerintahan
tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa
berkaitan dengan status mandiri atau otonom, sehingga setiap
pembicaraan desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan
sendirinya membicarakan otonomi. Di Indonesia, salah satu
prinsip terpenting dalam pemencaran kekuasaan setelah reformasi
konstitusi adalah bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan, seperti diatur di dalam Pasal 18
ayat (6) UUD 1945. Hak pemerintahan daerah untuk menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain tersebut mempunyai
korelasi erat dengan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan fungsi legislasi yang diembannya.

C. PEMERINTAHAN DAERAH
1. Makna Pemerintahan Daerah
Sepadan dengan percakapan pemerintahan daerah, dalam
literatur sering dijumpai juga istilah local government. Sebagai
sebuah konsep Barat, maka ada baiknya terlebih dahulu dituntun

Eddy Toet Hendratno, 2009,


24

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 13


agar pemahaman juga dalam kerangka pemikiran Barat. Menurut
Bhenyamin Hossein, local government mengandung 3 (tiga)
pengertian.25 Pertama, local government dalam arti “lembaga atau
organ.” Kedua, local government dalam arti “organ maupun fungsi.”
Ketiga, sebagai “daerah otonom.”
Dalam pengertian pertama, yaitu local government sebagai
“lembaga” atau “organ”, maksudnya adalah organ pemerintah
di tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan di daerah. Pengertian ini sering dipertukarkan
dengan makna local authority. Baik local government maupun local
authority keduanya menunjuk kepada council dan major, dewan dan
kepala daerah, yang rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan.
Pada pengertian yang kedua, yaitu local government dalam arti
“organ” maupun “fungsi”, tidak sama dengan konteks di tingkat
pusat, yang mencakup lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial.
Pada local government hampir tidak ada percakapan mengenai
lembaga yudisial. Hal ini karena materi pelimpahan wewenang
kepada pemerintah daerah hanyalah mencakup kewenangan
pemerintahan. Jika di daerah terdapat organ-organ yudisial, seperti
pengadilan negeri/kejaksaan negeri, misalnya, tidaklah merupakan
bagian dari organ daerah, karena tetap merupakan badan yang
independen dan otonom.
Istilah “eksekutif ” dan “legislatif ” juga tidak lazim diberikan
untuk konteks local government karena secara umum istilah yang
kerap dipakai adalah fungsi pembentukan kebijakan (policy
making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing
function). Fungsi pembentukan kebijakan dilaksanakan oleh
pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan fungsi

Bhenyamin Hossein, 2001, “Transparansi Pemerintahan”, Jurnal Inovasi, November,


25

hlm. 3.

14 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat atau
birokrat lokal.
Local government dalam pengertian yang ketiga, yaitu sebagai
“daerah otonom”, dimaksudkan sebagai subdivisi politik nasional
yang diatur oleh hukum dan secara substansial mempunyai kontrol
terhadap urusan-urusan lokal, termasuk dalam pemungutan pajak
atau memecat pegawai dengan tujuan tertentu. Dalam pengertian
ini local government memiliki otonomi dalam arti self government,
yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making, regelling),
dan mengurus (rules aplication, bestuur) kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Bagaimanakah batas
kepentingan masyarakat setempat yang dapat diatur dan diurus
menurut prakarsa sendiri? Hal itu akan tergantung kepada substansi
otonomi daerah yang dianut, yang pembahasan mengenai hal itu
akan menyusul pada uraian-uraian berikutnya dalambagian ini.
Jika dicermati, ketentuan dalam UUD 1945, semenjak awal
para pendiri negara sudah meletakkan instrumen manajemen
pengelolaan negara, khususnya menyangkut hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Instrument itu
menyangkut positivisasi desentralisasi baik yang menyangkut
basis territorial maupun fungsional. Kita melihat hal desentralisasi
teritorial antara lain dalam Penjelasan UUD 1945 (pra-amandemen),
sebuah academic guidelines karya Prof. Soepomo, yang antara lain
mengatakan:

Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan


daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih
kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 15


rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrative belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-
undang.26

Adanya ketentuan mengenai daerah otonom dan daerah


administratif, menunjukkan original intent dari UUD 1945
untuk mengakui adanya semangat otonomi, semangat untuk
kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus diri
sendiri. Konstitusi semenjak awal, kata I Gde Pantja Astawa, juga
memahami perlu pengakuan pemerintahan sendiri (self government,
zelfstandingheid), yang menunjukkan keterikatan hubungan dengan
satuan pemerintahan lain yang lebih besar atau yang mempunyai
wewenang menentukan isi dan batas-batas wewenang satuan
pemerintahan sendiri yang tingkatannya lebih rendah atau yang
menjalankan fungsi khusus tertentu.27 Namun demikian, otonomi
itu tetap merupakan subsistem dari negara kesatuan (decentralized
unitary state), seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.28
Menurut Bagir Manan, pilihan untuk menggunakan otonomi
bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan sekedar
pertimbangan praktis, tetapi ditentukan pula oleh pertimbangan
politik, pertimbangan pengalaman, pertimbangan kesejarahan,
dan lain sebagainya.29

26
Setelah 4 kali Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, susunan konstitusi dewasa ini
meliputi Pembukaan dan Pasal-Pasal, sedangkan Penjelasan, yang kontroversial karena dianggap
tidak lazim dihapus dan materi di dalamnya menjadi ketentuan Pasal-Pasal.
27
I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia,
Bandung: Alumni, hlm. 52.
28
Ibid., hlm. 53. Lihat juga: Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni, hlm. 16.
29
Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999”,
makalah, Bandung, 1999, hlm. 2.

16 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan bahwa corak
penyuelenggaraan pemerintahan daerah yang bercirikan berbagai
sosok bias pusat dalam distribusi sumber daya politik dan
ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini (1966-1997)
adalah produk dari sebuah rejim, yaitu sebuah sistem politik
yang otoritarian yang membangun legitimasi politiknya melalui
sentralisasi sentralisasi sumber daya politik dan ekonomi secara
nasional. Suasana integratif itu sendiri lebih merupakan gejala
permukaan yang berhasil diciptakan melalui gabungan pendekatan
atas elit daerah melalui ganjaran kekuasaan di satu pihak dan politik
sentralisasi, represi, dan penyeragaman, aspirasi lokal melalui
berbagai instrumen kebijakan yang memungkinkan untuk itu, di
lain pihak. Dengan strategi tersebut di atas, sampai dengan 1997
pengaturan politik lokal di era Orde Baru bisa dianggap sebagai
prestasi luar biasa dalam membenahi permasalahan nasional yang
diwariskan oleh Orde Lama. Orde Baru telah mampu meredam
berbagai gejolak politik separatis di tingkat lokal yang pernah
terjadi di era Orde Lama. Orde Baru telah berhasil membangun
simbol-simbol ke-nasionalan, dan negarapun secara meluas hadir
di semua lokalitas.
Pilihan kebijakan itu dilatarbelakangi oleh 3 (tiga)
pertimbangan. Pertama, adanya kekhawatiran terhadap persatuan
dan munculnya kekuatan-kekuatan yang memecah persatuan.
Kedua, sentralisasi diperlukan dalam kerangka memelihara
keseimbangan politik dan keamanan dalam pembagian sumber
daya, khususnya antara Jawa yang dihuni oleh sebagai besar rakyat
Indonesia, dan luar Jawa yang memiliki sebagian besar sumber
daya ekonomi. Ketiga, pemahaman politik sebelum tahun 1965,

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 17


sehingga pemerintah tetap ingin memegang kendali yang kuat atas
kebijakan pembangunan ekonomi.30
Namun, sinyal-sinyal kegagalan (kesemuan keberhasilan)
pengaturan politik lokal ini semakin mencolok ke permukaan
tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh,
menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan
dalam hubungan pusat-daerah. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan
itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri,
bukan sekedar menuntut perubahan ke bentuk negara federal.
Menurut Pratikno, permasalahannya bukan semata-mata
terletak pada bentuk negara.31 Dalam negara federal sekalipun,
sentralisasi politik yang dijalankan oleh Orde Baru bisa saja
tetap berlangsung. Dalam konteks komparatif, hal ini bisa
dilihat dari negara-negara seperti Uni Soviet, yang walaupun
menganut federalisme, namun menerapkan sistem pemerintahan
yang sentralistis sejalan dengan sistem politik otoritarian yang
dijalankannya. Oleh karena itu, issu yang lebih mendasar adalah
bagaimana membangun sistem politik yang lebih akomodatif
terhadap tuntutan daerah dan mampu mengkondisikan bahwa
menjadi bagian wilayah Republik Indonesia adalah sebuah
keberuntungan dan bukan kebuntungan.
Atas dasar pemikiran tersebut Pratikno mengajukan
argumentasi bahwa hubungan pusat-daerah pada era Indonesia

30
Diskusi lebih lanjut, lihat dalam Kanneth Dacey, “Hubungan Keuangan Pusat
dan Daerah di Indonesia”, dalam Niekh Dvas, et.al., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di
Indonesia, Jakarta, Penerbit UI Press.
31
Pratikno, “Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok Otonomi Dearah di
Indonesia Pasca Soeharto”, dalam www.pratikno.staff.ugm.ac.id, diakses di Sukoharjo pada
tanggal 14 April 2010, pukul 2.06 WIB., hlm. 14.

18 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Baru pasca-kepresidenan-Soeharto perlu didukung oleh sistem
politik yang mempunyai karakter dasar sebagai berikut:32
Pertama, sistem politik nasional harus dibangun berdasarkan
mekanisme demokrasi di atas pilar-pilar politik lokal yang kuat.
Artinya, representasi politik tingkat nasional (terutama anggota
DPR dan MPR) perlu mencerminkan perwakilan wilayah yang
dipilih secara demokratis oleh rakyat daerah. Topangan politik lokal
dalam politik nasional ini antara lain bisa dibangun melalui pemilu
dengan sistem distrik. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
agar proses pembuatan keputusan di tingkat nasional melibatkan
perwakilan dan kepentingan daerah, termasuk dalam kebijakan
mengenai alokasi sumber daya ekonomi.
Kedua, demokrasi di tingkat lokal menjadi suatu keharusan
agar desentralisasi tidak membawa implikasi pada otoritarianisme
di tingkat lokal. Pengembangan demokrasi lokal ini sekaligus untuk
memindahkan orientasi politisi lokal dari ketaatan terhadap elit
politik nasional kepada ketaatan kepada masyarakat daerah.
Ketiga, diperlukan pemisahan antara supra-struktur politik di
tingkat nasional dengan yang di tingkat daerah. Yang perlu segera
dilakukan adalah pemisahan antara kepemimpinan desentralisasi
dan dekonsentrasi, dan ketegasan perbedaan antara konstituensi
politik nasional dengan konstituensi politik lokal. Jabatan kepala
daerah otonom dan kepala wilayah administratif perlu dipegang
oleh orang yang berbeda, atau yang dikenal dengan Unintegrated
Prefectoral System (Wallis 1989: 122-141). Oleh karena itu
rekrutmen dan pertanggung-jawaban kepala daerah otonom harus
selesai di tingkat daerah.

Ibid., hlm. 15-16.


32

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 19


Keempat, diperlukan suatu mekanisme politik di luar
parlemen nasional yang menjamin akses politik para daerah otonom
untuk melakukan bargaining (paling tidak ‘tekanan politik’) kepada
pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi
kepentingan daerah otonom. Mekanisme ini bisa dijalankan
oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan dan Lembaga
Swadaya Masyarakat yang berbasis di tingkat daerah, atau juga
dilakukan oleh Asosiasi Daerah-daerah Otonom yang berusaha
untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pusat yang
mempengaruhi kepentingan daerah.
Setelah reformasi konstitusi dalam 4 (empat) tahap
pengambilan keputusan (1999-2002), anutan desentralisasi itu
makin memperoleh kekuatan yuridis konstitusional. Didahului
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia
adalah negara hokum. Positivisasi “negara hokum” mensyaratkan
adanya pemencaran kekusaan, antara lain melalui mekanisme
desentralisasi, yang kemudian diatur di dalam Pasal 18, Pasal 18A,
dan Pasal 18B. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi
daerah dan daerah otonom. Secara yuridis,dalam konsep daerah
otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang
mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus
merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat
yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak
pembentukan daerah otonom.
Mohammad Hatta, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan,
mengatakan sebagai berikut:33

Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan


bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan kecil atau besar,

Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang...., op.cit., hlm. 6.


33

20 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib
sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintah pemerintahan
sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja
peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar
pemerintahan umum.

Selanjutnya diuraikan oleh Mohammad Hatta bahwa:34

Memang rakyat di Daerah juga mempunyai kekuatan, artinya


berhak memutuskan segala hal yang mengenai lingkungan
Daerahnya sendiri, berhak mengatur rumah tangganya menruut
putusan mufakat mereka sendiri. Tetapi kedaulatan yang
dilakukan oleh rakyat Daerah bukanlah kedaulatan yang keluar
dari pokoknya sendiri, melainkan kedaulatan yang datang dari
kedaulatan yang lebih atas.

Kami berpendapat bahwa ungkapan Mohammad Hatta di


atas menunjukkan sikap konsekuen untuk mengakui keperluan
bahwa sebaiknya dalam manajemen pemerintahan di negara
semacam Indonesia mutlak dilakukan otonomi daerah, yang pada
hakekatnya merupakan wewenang mandiri untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan. Hanya saja ada pembatasan, yaitu
otonomi itu merupakan “hasil” pemberian dari pemerintah pusat,
sebagai “kedaulatan yang datang dari kedaulatan yang lebih atas.”
Selama Orde Baru misalnya, otonomi daerah dipandang
lebih menekankan kewajiban daripada hak. Artinya aspek hak
dan aspek kewajiban itu memang sama-sama ada, akan tetapi
aspek kewajibanlah yang lebih menonjol. Menurut Sujamto, hal
ini disebabkan karena:35

Ibid.
34

Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah...., op.cit., hlm. 18-21.


35

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 21


1. Daerah otonom dan Pemerintah Daerah yang dibentuk
menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 itu semuanya
merupakan subsistem Negara Kesatuan dan Pemerintah
Republik Indonesia. Dengan kata lain, daerah otonom itu
diadakan atau dibentuk dengan mengemban misi tertentu,
yaitu dalam rangka memperlancar penyelenggaraan
pemerintahan. Jadi, daerah mengemban kewajiban tertentu,
yang untuk pelaksanaannya ia diberi hak-hak dan wewenang
tertentu. Dengan demikian, kewajiban lahir lebih dahulu
daripada hak.
2. Oleh karena aspek hak itu timbul kemudian, maka jika terjadi
tuntuan dari masyarakat di suatu Daerah agar Daerahnya
diberi otonomi, maka tuntutan yang demikian itu tidak
mempunyai dasar konstitusional. Yang menentukan apakah
suatu daerah itu diberi otonomi atau tidak adalah Presiden
(dengan persetujuan DPR), karena pembentukan, demikian
pula penghapusan suatu Daerah otonom harus ditetapkan
dengan undang-undang.
3. Berdasarkan prinsip kedaulatan, maka “kedaulatan rakyat”
di daerah tidak bersifat hakiki maupun mutlak, akan tetapi
hanya sebagai “perolehan” dari pemberian sistem kedaulatan
yang lebih atas, dengan demikianlah wajar kalau dapat
diambil kembali.

Menurut Ateng Sjaffrudin, pandangan yang menganggap


otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak,
rasanya tidak sepenuhnya cocok karena:36

36
Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II dan
Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm. 5-6.

22 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


1. Dalam implementasinya banyak sekali kewajiban yang
diberikan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah
pusat yang tidak seimbang dengan kemampuan aparatur
pemerintah daerah untuk memikul dan menjalankannya;
2. Dengan adanya penekanan aspek kewajiban yang biasanya
dicerminkan dengan adanya aturan pelaksanaan yang kaku
dan jelimet, maka mengakibatkan ruang gerak aparatur
pemerintah daerah menjadi sempit, khususnya dalam rangka
mengembangkan prakarsa maupun dalam menyesuaikan
instruksi dan arahan atasan dengan situasi dan kondisi daerah;
3. Kata “kewajiban” ini mengandung makna sanksionistik, yaitu
apabila Daerah tidak mau persis menerima dan melaksanakan
apa yang diinstruksikan, diarahkan, dan ditetapkan, maka
ada kemungkinan Daerah akan mendapatkan sanksi-sanksi
tertentu, misalnya dana akan ditarik dan dialihkan ke daerah
lain.

Diuraikan lebih lanjut, bahwa persepsi otonomi itu lebih


merupakan kewajiban daripada hak, membuktikan sekali lagi
bahwa otonomi yang tidak konsisten dengan yang diperintahkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang didasari oleh filsafat
Pancasila.37 Seperti paparan B. Hestu Cipta Handoyo, bahwa
otonomi daerah yang dianggap lebih menekankan pada aspek
kewajiban daripada hak, merupakan bentuk pengingkaran dari
pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan asli yang telah
diakui oleh Pasal 18 Undang-Undang dasar.38

37
Ibid.
38
B. Hestu Cipta Handoyo, 1998, Otonomi Daerah: Titik Berat Otonomi dan Urusan
Rumah Tangga Daerah Pokok-Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan
Daerah, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya, hlm. 41.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 23


Problematika lain, yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah
materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh
karena itu, disamping pembentukan daerah otonom tercakup
dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang
atau disebut oleh amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 sebagai urusan pemerintahan.
Secara akademik, mencermatik praktik otonomi daerah
terutama sekali semenjak Orde Baru (1974-1999) hingga dewasa
ini (2009), urusan pemerintahan sebagai kerangka hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi bidang-
bidang sebagai berikut:
1. Urusan dalam bidang politik. Hal ini berhubungan dengan
ruang lingkup wewenang pemerintah daerah baik dalam
pengambilan keputusan maupun implementasi kebijakan
. Berbagai sorotan terkait dengan hal ini diarahkan kepada
Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perangkat
Daerah, dan sebagainya. Secara konseptual, berbagai
anggapan terhadap praktik, khususnya selama Orde Baru,
mengindikasikan bahwa urusan dalam bidang politik yang
dimiliki oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Bahkan
hal tersebut sering dituding sebagai biang keladi tidak
tercapainya pencapaian tujuan politik dari desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia. Menurut Arbi Sanit, hingga
tahun 2000, pemerintah daerah lebih diperlakukan sebagai
aparatur administrasi pemerintahan pusat. Hal ini disebabkan
karena secara riil kewenangan pemerintah daerah sangat

24 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


terbatas karena tidak diberikan kekuasaan untuk mengambil
keputusan sendiri.39 Meskipun demikian perlu ditelaah dan
dikonfirmasi lebih lanjut argumen tersebut, yaitu apakah
benar secara kenyataan sama sekali tidak ada ruang gerak, atau
semacam diskresi, bagi pemerintah daerah dalam konfigurasi
politik pada periode tersebut.
2. Urusan pemerintahan terkait dengan pengelolaan sumber
daya ekonomi. Sorotan terhadap hal ini antara lain terkait
dengan mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan sumber
daya ekonomi, khsuusnya sektor energi, minyak, dan gas
bumi, serta bahan mineral lainnya, karena berimplikasi
kepada perimbangan keuangan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
3. Urusan pemerintahan terkait dengan hubungan keuangan.
Urusan dalam bidang keuangan ini sangat penting untuk
dicermati, karena berkaitan dengan kapasitas pemerintahan
daerah untuk melaksanakan anggaran daerah sebagai salah
satu acuan untuk menilai kualitas ekonomi yang dimiliki.

Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah


kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan
yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan
daerah otonom. Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua
indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan
pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribusikan
hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari Lembaga Negara
Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Oleh karena itu,

Arbi Sanit, “Problematik Otonomi Daerah dan Distribusi Kekuasaan Pusat-Daerah”


39

dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia:
Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, hlm. 97.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 25


dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Dalam hal
ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi, legislasi, dan
yudisial dalam tataran otonomi daerah.
Untuk mengetahui urusan pemerintahan yang menjadi
urusan rumah tangga daerah, maka perlu diketahui sistem otonomi
yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Daerah. Menurut Bagir Manan, argumen ini berangkat dari
pemahaman bahwa cara menentukan isi rumah tangga, tergantung
pada sistem otonomi yang digunakan. Sebaliknya sistem otonomi
dapat dikenali dengan cara mengetahui cara penentuan isi atau
urusan rumah tangga daerah.40

2. Sistem Otonomi
Sistem otonomi41 adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.
Menurut Bagir Manan, salah satu penjelmaan dari pembagian
tersebut, maka daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.42 Secara konseptual
dikenal adanya 3 (tiga) macam sistem otonomi, yaitu sistem
otonomi materiil, sistem otonomi formal, dan sistem otonomi
nyata/riil.

40
Lihat dalam Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April 1991, hlm. 14.
41
Bagir Manan menggunakan istilah “sistem rumah tangga daerah”, Mahfud M.D.
menggunakan istilah “asas otonomi.”
42
Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, hlm. 24-25.

26 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Dalam sistem otonomi materiil, isi dari urusan rumah tangga
daerah telah ditentukan secara tegas dan terperinci, artinya ada
pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang rinci antara
pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang termasuk ke dalam
urusan rumah tangga daerah ditetapkan dengan pasti. Lebih lanjut,
Bagir Manan menguraikan sistem otonomi riil ini sebagai berikut.

Sistem...berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada


perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan
daerah. Daerah dianggap memang mempunyai ruang lingkup
urusan pemerintahan sendiri yang secara materiil berbeda dengan
urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh Pusat. Lebih
lanjut, sistem ini berpangkal dari pemikiran bahwa urusan-
urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai
lingkungan satuan pemerintahan.

Diuraikan oleh Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,


bahwa di dalam sistem otonomi materiil, untuk mengetahui
sebuah urusan merupakan urusan pemerintah pusat atau urusan
pemerintah daerah, harus melihat kepada materi yang akan diatur
dan diurus oleh masing-masing satuan pemerintahan. Oleh
karena itu, dengan melihat kepada materinya, orang sudah dapat
membedakan bahwa suatu urusan itu termasuk urusan pemerintah
pusat atau urusan pemerintah daerah.43
Pada tataran praksis, sistem otonomi materiil relatif sukar
untuk dipakai sebagai landasan dalam melaksanakan kebijaksanaan
penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah kepada

43
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm. 254.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 27


pemerintah daerah. Menurut Bagir Manan, sistem otonomi
materiil mengandung sejumlah kelemahan yaitu:44
1. Sistem otonomi materiil bertolak dari asumsi yang
keliru, seolah-olah urusan pemerintahan dapat diketahui
jumloahnya dan dapat dipilah-pilah secara pasti pula antara
urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah;
2. Mudah menimbulkan spanning hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, karena kemungkinan
pemerintah daerah banyak menuntut agar urusan
pemerintahan tertentu diserahkan kepadanya;
3. Tidak fleksibel, sehingga perkembangan desentralisasi tidak
dapat berjalan sesuai dengan perkembangan daerah, dan
daerah menjadi serbaa tergantung kepada kehendak dan
kecenderungan-kecenderungan yang ada di Pusat;
4. Ada kecenderungan serba uniformitas tanpa memperhitungkan
kenyataan dan perbedaan-perbedaan antara daerah-daerah
yang berlainan;
5. Tidak mendorong inisiatif dan kreatifitas Daerah untuk
mengembangkan pelayanan terhadap masyarakat karena
dibatasi pada urusan-urusan yang diserahkan saja.

Selanjutnya mengenai sistem otonomi formil. Sistem


otonomi ini berpangkal tolak dari prinsip bahwa tidak ada
perbedaan antara sifat urusan yang diselenggarakan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan
oleh pemerintah pusat pada hakekatnya dapat juga diselenggarakan
oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, dalam sistem otonomi
formil pada prinsipnya pemerintah daerah boleh mengatur dan

Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 15.


44

28 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mengurus segala sesuatu urusan rumah tangga menurut inisiatif
dan kebebasan sendiri, meskipun urusan tersebut belum diserahkan
oleh pemerintah pusat. Menurut Bagir Manan, dalam sistem ini isi
rumah tangga daerah tidak diberikan (toekennen) tetapi sesuatu yang
dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkennen).45
Jika pemerintah pusat menganggap layak bahwa suatu urusan
dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, maka penyerahan
urusan tersebut secara formal akan dilaksanakan melalui peraturan
perundang-undangan. Tetapi Sujamto mengatakan bahwa urusan-
urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga Daerah tidak
a priori harus ditetapkan dalam atau dengan Undang-Undang.
Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap
penting bagi daerahnya asal tidak memasuki hal-hal atau urusan-
urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan
atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.46 Selanjutnya, dasar
pertimbangan apakah yang dapat dipakai guna menentukan bahwa
suatu urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat dianggap layak
diserahkan kepada daerah? Menurut Muh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, hal tersebut sepenuhnya menurut pertimbangan aspek
kemanfaatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, artinya
penyerahan suatu urusan pemerintahan dapat saja dilakukan
asalkan berdasarkan pertimbangan daya guna pemerintahan.47
Seperti ditulis oleh Bagir Manan, bahwa justru dengan
adanya kriteria yang tidak jelas, kecuali menurut dasar kemanfaatan
penyelenggaraan pemerintahan, sistem otonomi formil mendukung
sentralisasi. Ketidakpastian urusan rumah tangga Daerah, akan

45
Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang...., loc.cit.
46
Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Jakarta, Penerbit
Ghalia Indonesia, hlm. 98.
47
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 254-255.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 29


menjelmakan Daerah serba menunggu dan tergantung kepada
pemerintah pusat.48
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dalam
rangka penerapan sistem otonomi formil dan sistem otonomi
materiil tersebut, maka sistem otonomi riil dianggap sebagai jalan
tengah, karena mengandung anasir-anasir kedua sistem tersebut.49
Adapun substansi sistem otonomi riil menurut Bagir Manan adalah:
1. Adanya suatu urusan pangkal yang ditetapkan pada saat
pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian
mengenai urusan rumah tangga daerah, sesuatu yang absen
dari sistem otonomi formil.
2. Daerah dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan
pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting,
sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau Daerah
tingkat lebih atas.
3. Otonomi didasarkan kepada faktor-faktor nyata di daerah,
sehingga memungkinkan munculnya perbedaan isi dan jenis
urusan rumah tangga Daerah sesuai dengan keadaan masing-
masing.

Jabaran dari setiap sistem otonomi di atas akan membantu


memberikan penafsiran terhadap hakekat otonomi daerah.
Berdasarkan sistem otonomi materiil, hakekat otnomi daerah
bukanlah merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara
alamiah, yang kemudian oleh pemerintah pusat diakui melalui
peraturan perundang-undangan, melainkan hanyalah merupakan
hasil dari adanya penyerahan yang didasarkan pada sifat dan

Hubungan Pusat dan Daerah...., hlm. 25.


48

Sujamto, op.cit., hlm. 106-107.


49

30 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


kodrat urusan pemerintahan yang bersangkutan. Jadi, ada atau
tidaknya otonomi daerah amat tergantung kepada kewenangan
dari pemerintah pusat atau daerah tingkat lebih atas. Lagipula,
ada atau tidaknya otonomi tergantung juga kepada mekanisme
penyerahan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat lebih atas,
yang pertimbangannya sangat lentur karena menitikberatkan
kepada aspek kemanfaatan.
Sebaliknya, dalam sistem otonomi formil menunjukkan
bahwa hakekat otonomi merupakan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang serta diberi pengakuan oleh pemerintah pusat
atau daerah tingkat yang lebih atas. Namun, penentuan kriteria
bahwa suatu urusan layak diserahkan kepada pemerintah daerah
secara formal dengan peraturan perundang-undangan, juga
berlandaskan kepada kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan.
Tetapi mengingat otonomi daerah dalam sistem ini merupakan
sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan
oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas, maka
kedudukan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidaklah
bersifat hierarkis, melainkan sebagai mitra (patnership) dalam
penyelenggaraan pemerintah pada umumnya.
Hal yang senada tetapi berbeda dalam penekanan adalah
hakekat otonomi daerah menurut sistem otonomi riil. Mirip
dengan sistem otonomi formil, di sini hakekat otonomi merupakan
sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan oleh
pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas, akan tetapi

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 31


disertai persyaratan yaitu berdasarkan keadaan atau faktor riil yang
tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat suatu Daerah.
Menurut Syarief Hidayat, kemampuan dari kebijakan
otonomi daerah untuk empowerment local goverment antara lain
sangat ditentukan seberapa jauh kepentingan daerah itu sendiri
tercermin dalam substansi kewenangan yang diserahkan kepada
daerah.50 Lebih lanjut diuraikan bahwa idealnya desentralisasi
akan mencapai tujuannya jika keberadaannya merupakan realisasi
perpaduan antara pemerintah (baik pusat maupun daerah) dengan
masyarakatnya. Sebaliknya, bila kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah banyak diinisiasi oleh pemerintah pusat, maka
dipastikan keberadaannya relatif lebih sulit untuk mencapai
atau sekurang-kurangnya mendekati tujuan yang diinginkan.
Kehadiran desentralisasi dalam format seperti ini pada hakekatnya
lebih banyak didominasi oleh keinginan pemerintah pusat untuk
memperlicin kepentingannya di daerah.51
Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah
urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara
sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak
pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang
diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan
pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan
hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara
sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang

50
Syarief Hidayat, dalam Syamsuddin Haris et.al., 2000, Paradigma Baru Hubungan
Pusat-Daerah di Indonesia: Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan
Indonesia, hlm. 1.
51
Ibid., hlm. 4.

32 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat
(lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang tertib merupakan syarat
utama bagi terwujudnya tujuan negara. Menurut James Manor,
suatu pemerintahan daerah yang baik harus didukung oleh 4
(empat) hal sebagai berikut:52 Pertama, kekuasaan yang memadai
agar dapat memberikan pengaruh yang juga memadai dalam
sistem politik dan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Kedua,
sumber-sumber keuangan untuk menjalankan tugas memadai.
Ketiga, kapasitas administratif yang memadai. Keempat, mekanisme
akuntabilitas/pertanggungjawaban yang bisa dipercaya.

3. Daerah Otonom, Wilayah Administratif, dan Instansi


Vertikal
Sebagai akibat diterapkannya desentralisasi sebagai asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka menimbulkan
daerah otonom, yaitu daerah yang menerima penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat, serta berhak mengatur dan
mengurus kepentingan berdasarkan prakarsa sendiri. Kedudukan
daerah otonom merupakan subyek hukum dan dianggap sebagai
reschtspersoon. Contoh daerah otonom menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah
kabupaten dan kota. Dengan digunakannya asas desentralisasi
pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi
daerah otonom penuh. Hal ini berbeda pada masa keberlakuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah, yang menunjuk kabupaten/kotamadya,

52
James Manor, 1999, The Political Economy of Democratic Decentralization, Washington
D.C., World Bank, hlm. 55.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 33


di samping sebagai daerah otonom juga sebagai daerah/wilayah
administratif (local state goverment). Jadi, merupakan campuran
antara daerah otonom dengan wilayah administratif. Itulah
sebabnya, pada masa keberlakukan undang-undang tersebut,
istilah yang digunakan adalah Pemerintah Kabupetan Tingkat II
dan Pemerintah Kotamadya Tingkat II. Frasa “kabupaten” dan
“kotamadya” menunjuk sebagai wilayah administratif, sementara
frasa “daerah tingkat II” pada masing-masing wilayah menunjukkan
keduanya sebagai daerah otonom.
Tetapi keadaan berubah semenjak ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Istilah “daerah tingkat II”, termasuk “daerah tingkat I” untuk
provinsi, dihapuskan. Provinsi, kabupaten, dan kota, merupakan
daerah otonom, yang tidak mengenal sistem bertingkat. Keadaan
itu dilanjutkan dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun2 004.
Munculnya daerah atau wilayah administratif di atas
merupakan konsekuensi diterapkannya asas dekonsentrasi. Telah
dijelaskan di muka, bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan
sebagian wewenang pejabat di tingkat pusat kepada pejabat di
wilayah negara. Oleh karena itu, di daerah terdapat suatu wilayah
yang merupakan wilayah kerja pejabat yang menerima wewenang
sebagian dari pejabat pusat tersebut. Wilayah kerja itu disebut
sebagai wilayah administratif.
Pada masa Hindia Belanda hingga tahun 1960-an, ada pejabat
yang namanya residen, wedana, dan camat. Ketiganya merupakan
pejabat pusat pusat yang ditempatkan di daerah kerja administrasi
karisidenan, kawedanan, dan kecamatan, yang merupakan

34 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


wilayah administratif. Pada masa Orde Baru satu-satunya wilayah
adminstratif yang dipertahankan adalah kecamatan. Sementara
daerah lainnya seperti provinsi dan kabupaten/kotamadya berstatus
campuran sebagai daerah administatif dan daerah otonom. 53
Pada masa keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, terdapat wilayah administratif kecamatan dan kota
administratif. Camat dan walikota administratif adalah pejabat
pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah kerja administratif
kecamatan dan kota administratif. Oleh karena itu baik camat
maupun walikota administratif merupakan kepala wilayah, dan
bukan merupakan kepala daerah. Dalam kota administratif,
sekalipun menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, akan
tetapi tidak mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
untuk menunjukkan statusnya sebagai daerah otonom. Dewasa
ini, semenjak keberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, keberadaan kota administratif dihapuskan dan wilayah
yang ada ditetapkan sebagai daerah otonom, kecuali untuk kota
sebagai satuan pemerintahan di lingkungan Provinsi Daerah
Ibukota Jakarta, tetap dipertahankan. Sementara kecamatan tetap
dipertahankan akan tetapi fungsinya bukan lagi merupakan pejabat
pusat di wilayah administratif kecamatan, akan tetapi sebagai
perangkat daerah.54
Dalam praktik pemerintahan juga dikenal adanya instansi
vertikal. Keberadaan instansi vertikal berhubungan dengan
wilayah administratif dan asas dekonsentrasi. Pada masa
keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, di Provinsi
Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat

53
Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 24.
54
Ibid., hlm. 25.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 35


II terdapat kantor departemen tertentu. Misalnya di Provinsi
Jawa Tengah terdapat Kantor Wilayah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, maka di Kabupaten Boyolali terdapat Kantor
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua kantor tersebut
merupakan instansi yang sama-sama dimiliki oleh departemen di
tingkat pusat, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pejabat dan semua pegawainya diangkat oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Bahkan, di masa itu, tidak hanya departemen
saja, akan tetapi satuan organisasi di lingkungan sebuah departemen
mengingat kepentingan politik dan lingkup urusannya dapat
juga mempunyai wilayah administrasi hingga di tingkat daerah.
Misalnya: (i) Direktorat Jenderal Sosial dan Politik Departemen
Dalam Negeri, mempunyai Kantor Direktorat Sosial dan Politik
di Provinsi dan kabupaten/kotamadya; (ii) Direktorat Jenderal
Imigrasi Departemen Kehakiman, mempunyai Kantor Imigrasi di
Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya; (iii) Direktorat Jenderal Bina
Marga Departemen Pekerjaan Umum, mempunyai Kantor Binar
Marga di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, dan sebagainya.
Nyaris semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri dan
Departemen Pertahanan, mempunyai wilayah kerja hingga ke
tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya. Instansi semacam
itulah yang disebut sebagai instansi vertikal. Hubungan instansi
vertikal dengan departemen di tingkat pusat adalah hierarkis dan
subordinat.
Jadi, instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang
merupakan cabang dari kementerian di tingkat pusat yang berada di
wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen
pusat. Oleh karena itu, instansi vertikal dibiayai oleh departemen
pusat. Pejabat diangkat, diberhentikan, dan dibina oleh pejabat
pusat.

36 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Semenjak tahun 1999, seluruh instansi vertikal itu dihapus,
kecuali untuk instansi yang menurut ketentuan undang-undang
menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi
absolut pemerintah pusat. Misalnya Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Wilayah Departemen
Agama, dan wilayah kerja administrasi dari satuan organisasi
kementerian lainnya seperti imigrasi, bea cukai, dan pajak.
Demikian juga, seperti Badan Pertanahan Nasional, juga masih
merupakan instansi vertikal yang mempunyai wilayah kerja Kantor
Wilayah di tingkat provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/
Kota.
Berkaitan dengan susunan daerah tersebut, bagaimanakah
yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945? Dalam
naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 Bab VI Pasal 18, yang
berbunyi:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan


bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah yang bersifat istimewa.

Dari anak kalimat, “mengingati dasar permusyawaratan


dalam sistem pemerintahan negara”, memberikan makna sistem
demokrasi yang intinya pada permusyawaratan dalam dewan
perwakilan rakyat daerah. Pemerintah daerah yang menganut
sistem demokrasi adalah pemerintah daerah otonom, bukan
pemerintah wilayah administrasi. Dengan tafsir ini, maka
sesungguhnya substansi ketentuan Pasal 18 tadi harus diartikan
bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah
kecil” hanya terdiri atas pemeritnah daerah yang bersifat otonom.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 37


Bhenjamin Hossein55 menyebut ada 2 (dua) dugaan mengapa
Prof. Soepomo membuat rumusan penjelasan semacam itu.56
Dugaan pertama, Prof. Soepomo, sang guru besar hukum adat
itu, masih terpengaruh konfigurasi ketatanegaraan masa Hindia
Belanda. Dalam sistem peemritnahan daerah masa itu dikenal
adanya daerah administratif dan daerah otonom.Pemerintah
meliputi beberapaa daerah gewest (setingkat Provinsi). Daerah
gewest terbagi atas gemeente (kotapraja) dan plaatselijke (kabupaten
yang bersifat pedesaan), yang kesemuanya itu merupakan daerah
administratif sekaligus daerah otonom. Di bawah gemeente dan
plaatselijke terdapat daerah administratif belaka, yaitu afdeling,
district (kawedanan), dan onderdistrict (kecamatan).
Dugaan kedua, Prof. Soepomo tidak mengacu kepada
dinamika yang berkembang dalam rapat-rapat BPUPKI untuk
membahas pemerintahan daerah. Dalam risalah Sidang BPUPKI
disebutkan:

Pemerintah daerah yang terdiri atas daerah besar dan kecil harus
dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan”
artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah,
pemerintahan itu harus berdasarkan atas permusyawaratan, jadi
misalnya, dengan mengadakan dewan perwakilan daerah.]

55
Bhenjamin Hossein, 2000, hlm. 4-6.
56
Perlu dicatat bahwa Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang diklaim merupakan
satu kesatuan naskah dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, semenjak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga pedoman penataran P-4 masa Orde Baru, bukanlah karya PPKI
yang menetapkan konstitusi pada 18 Agustus 1945. Keseluruhan naskah penjelasan adalah
karya pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia
Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946. Adapun bahan untuk penjelasan itu terutama
sekali disarikan dari pembahasan Undang-Undang Dasar dalam forum BPUPKI.

38 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Dari dokumen itu dapat ditafsirkan bahwa pembentuk
Undang-Undang Dasar 1945 menginginkan bentuk pemerintahan
adalah pemeritnah daerah yang berbentuk otonom karena harus
bersendikan permusyawaratan dan ditandai dengan lembaga
permusyawaratan itu, dan bukan daerah administratif.
Keberadaan daerah otonom tersebut dapat dijelaskan dari
sisi kepentingan nasional maupun sisi kepentingan pemerintah
daerah itu sendiri. Ditinjau dari sisi kepentingan nasional, maka
tujuan keberadaan daerah otonom itu antara lain to provide training
in political leadership dan to create political stability.57 Sementara
itu dari sisi pemerintah daerah, kebijakan daerah otonom adalah
untuk mewujudkan political equality, local responsibility, dan local
responsiveness.
Menurut Smith, dalam kerangka political equality diharapkan
akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal
sehingga dengan elegan dapat mempraktikkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti menjadi anggota partai politik dan
kelompok kepentingan, di samping mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah.58
Sementara itu, dalam kerangka local accountability,
akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan
kemampuannya dalam memperhatikan hak-hak dari komunitas
yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan dan implementasi dalam kebijakan di daerah, serta
hak untuk mengontrol pemerintah daerah itu sendiri.59 Akhirnya,
local responsiveness dijadikan tujuan pembentukan daerah otonom
57
B.C. Smith, op.cit., hlm. 23.
58
Ibid., hlm. 24.
59
Ibid., hlm. 25.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 39


karena pemerintah daerah dinggap lebih mengetahui berbagai
masalah yang dihadapi oleh komunitasnya, sehingga diharapkan
akan menjadi jalan yang terbaik untuk mengatasi sekaligus
meningkatkan akselerasi dari pembangunan sosial dan ekonomi
di daerah.60

Ibid., hlm. 26.


60

40 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB II

DESA DALAM BINGKAI TRADISI


DAN KONSTITUSI

A. TRADISI KEDAULATAN RAKYAT


Pada paparan di muka sudah disampaikan bahwa desentralisasi
bukan sekedar pemencaran wewenang (sepreiding van bevoegdheid)
tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van
machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintahan negara antara pemerintah pusat dengan satuan-
satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah atau satuan
pemerintahan daerah yang otonom. Ditinjau dari praksis
pemerintahan, adanya satuan pemerintahan daerah yang otonom
bagi negara Indonesia telah tercermin jauh sebelum Proklamasi
Kemerdekaan 1945. Menurut Bagir Manan, pada tahun 1926,
Samaun telah menulis bahwa pemerintahan negara modern akan
tersusun dari: (i) pemerintah dan parlemen; (ii) pemerintah provinsi
dan dewan provinsi; dan (iii) pemerintah kota dan dewan kota.
Demikian pula, Mohammad Hatta dalam tulisan (brosur) Ke Arah
Indonesia Merdeka (1932) telah menyebutkan bahwa pembentukan
pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi) merupakan
salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan rakyat.61
Bagir Manan, Menyongsong Fajar..., op.cit., hlm. 175.
61

41
Kedaulatan rakyat yang antara lain tercermin dalam bentuk
demokrasi, bagi bangsa Indonesia jauh sebelum republik terbentuk
merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Tradisi kedaulatan
rakyat itu umumnya mengacu kepada tradisi kemasyarakatan
yang berkembang di masyarakat pedesaan. Tradisi pedesaan ini
dibedakan dengan tradisi yang berkembang di lingkungan kraton
yang menjadi pusat pemerintahan di masa yang lalu. Menurut
Jimly Asshiddiqie, dengana adanya 2 (dua) konfigurasi tradisi
kedaulatan rakyat tersebut maka telah mengakar dua macam
kedaulatan yaitu kedaulatan raja (berlaku di keraton-keraton) dan
kedaulatan rakyat (berlaku di pedesaan).62 Timbul pertanyaan,
bagaimanakah bentuk kedaulatan rakyat sebagai tradisi asli di
pedesaan itu?
Menurut Aidul Fitriciada Azhari, bentuk-bentuk kedaulatan
rakyat di pedesaan dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusan yang dilakukan secara bersama-sama melalui musyawarah
nagari (Sumatera Barat), rembug desa (Jawa), sakehe desa (Bali),
begundem (Sasak), dan sebagainya. Selain itu, di pedesaan Jawa
dikenal pula adanya lembaga pepe yang merupakan cara bagi rakyat
untuk menyatakan protesnya kepada penguasa.63 Ditambahkan
oleh Aidul Fitriciada Azhari bahwa:64

Meskipun terdapat sifat-sifat umum dari kedaulatan rakyat di


pedesaan tersebut, namun sistem yang berlaku di suatu desa pada
dengan lainnya berbeda-beda. Kedaulatan rakyat di suatu desa
pada dasarnya merupakan suatu refleksi dari struktur sosial dan

62
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaan di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co, hlm. 39.
63
Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan Demokratis Menurut
Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press, hlm. 38.
64
Ibid., hlm. 38-39.

42 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


respons atau tanggapan terhadap keadaan sekelilingnya yang
merupakan hasil dari interaksi sosial. Oleh karena itu, terdapat
beraneka ragam prinsip atau asas yang dapat dijadikan acuan bagi
bentuk kedaulatan rakyat sesuai dengan struktur sosial dan pola
tanggapan masing-masing desa. Dalam konteks ketatanegaraan
Indonesia, hal ini mengakibatkan pula lahirnya perbedaan acuan,
identifikasi, dan intepretasi atas asas-asas ketatanegaraan yang
berasal dari khazanah tradisional bangsa Indonesia.

Pendapat di atas dikonfirmasi oleh Alfian yang mengatakan


bahwa terdapat perbedaan asas dalam tradisi kemasyarakatan
pedesaan di Minangkabau dan Jawa. Kedua macam tradisi tersebut
patut diambil sebagai representasi tradisi karena mempunyai
pengaruh yang sangat besar pada pembentukan dasar-dasar
ketatanegaraan Indonesia.65
Tetapi secara umum, masyarakat Indonesia, dengan segala
bentuk aneka rupa kedaulatan rakyat dengan pijakan operasional
yang tidak sama satu sama lain, secara umum mempunyai
tradisi yang dikategorikan ke dalam kedaulatan rakyat. Hanya
saja pemahaman mengenai hal tersebut tidak sama. Misalnya,
Mohammad Hatta menunjuk adanya istilah “daulat Tuanku”
dan “daulat Rakyat” untuk mengkonfirmasi kedaulatan rakyat
yang berlaku di lingkungan keraton dan lingkungan pedesaan.66
Namun Soepomo, profesor hukum adat yang berpengaruh,
mencoba bersikap moderat, di mana dipahami bahwa kedaulatan
rakyat di pedesaan tetap berlaku dalam kerangka kekuasaan
kerajaan. Soepomo menggunakan tradisi desa sebagai identifikasi

65
Alfian, 1986, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 127.
66
Mohammad Hatta, “Menuju ke Arah Kedaulatan Rakyat”, dalam Miriam Budiardjo
(Editor), 1986, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 41-42.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 43


mengenai kedaulatan bagi Indonesia merdeka, tetapi pada saat yang
bersamaan ia pun menerapkan tradisi keraton dalam bentuk ajaran
manunggaling kawula lan gusti.67
Menang, menarik untuk dicermati, bahwa dalam kerangka
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
sebuah badan transisional untuk mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia bentukan Pemerintahan Balatentara Jepang, ide untuk
menarik tradisi kedaulatan rakyat ke dalam sistem pemerintahan
negara cukup mengemuka. Bahkan, seperti diselidiki oleh A.
Hamid S. Attamimi, tradisi kedaulatan rakyat tadi menjelma ke
dalam Cita Negara Indonesia, yang melahirkan hakekat negara
Republik Indonesia sebagai “Republik Desa.”68 Dalam konteks ini,
pandangan Soepomo sangat berpengaruh, yang kemudian dikenal
sebagai pandangan menurut dasar “teori integralistik.”
Soepomo, saat berbicara mengenai Cita Negara Indonesia,
menunjuk kepada cita negara yang terdapat pada paguyuban
masyarakat desa, di mana para pemimpinnya bersatu jiwa
dengan rakyatnya dan senantiasa memegang teguh persatuan dan
keseimbangan dalam masyarakat.69 Menurut Yusril Ihza Mahendra,
konsep persatuan antara pemimpin dan rakyat itu digambarkan
oleh Soepomo sebagai persatuan antara kawula dan gusti, yaitu
persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos
dan makrokosmos. Dalam pandangan yang demikian, Soepomo
berpendapat bahwa tidaklah menjadi soal, apakah negara Indonesia
67
Bandingkan: Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta,
Penerbit Pustaka Utama Grafiti, hlm. 243.
68
. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan
Negara, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,
hlm. 101.
69
Ibid., hlm. 102.

44 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


merdeka itu akan menjadi republik atau monarki. Yang penting,
kepala negara menyatu dengan rakyatnya sesuai paham mistik
tradisional tersebut.70
Lebih lanjut, atas dasar kontruksi pemikiran semacam itu
maka:71

Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan Hindia


Belanda, [merupakan] negara yang strukturnya disesuaikan dengan
sociale structuur masyarakat Indonesia yang asli pada masa
sekarang, yaitu desa, disesuaikan pula dengan panggilan zaman.
Soepomo menunjuk kepada perlunya tiap negara mempunyai
keistimewaan sendiri yang berhubungan dengan riwayat dan
corak masyarakatnya, sebagaimana terlihat dalam kehidupan desa.
Soepomo juga berbicara mengenai tujuan negara yang berdasar
persatuan, seperti halnya Desa, dengan tujuan negara yang “bersatu
dan adil”, “untuk kepentingan rakyat seluruhnya”, atau dengan
kata lain bersatu, adil, dan makmur.

Menurut Logemann, pengalihan sistem pemerintahan


“Republik Desa” ke dalam sistem pemeritahan negara Indonesia
yang modern itu dengan memindahtanamkan (overplanting) dari
desa yang memenuhi kebutuhannya sendiri (autarke dorp) kepada
Negara Modern (moderne staat), meskipun dalam menyatakan
itu ia menyangsikan keberhasilannya.72 Namun, A. Hamid S.
Attamimi justru mendukung tesis Soepomo di atas sebab kajiannya

70
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani
Press, hlm. 9.
71
A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 102-103.
72
J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-
Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang,
hlm. 18.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 45


menunjukkan sistem pemerintahah negara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 mengadopsi dasar ketatanegaraan
dalam sistem pemerintahan desa. Hal itu terbukti seperti “kepala
negara dipersamakan dengan kepala desa yang bukan hanya
memimpin masyarakat melainkan juga sesepuhnya. Kepala desa
mewujudkan rasa keadilan rakyat dan cita-citanya. Seperti halnya
kepala desa yang senantiasa bermusyawarah dengan warga desa
atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, kepala negara dan
kepala lembaga-lembaganya juga merupakan pemimpin yang sejati,
pemimpin yang diidamkan oleh rakyat.”73
Namun dengan dianutnya ketetapan bahwa Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Dasar 1945), maka dengan sendirinya idealisasi “Republik
Desa” tinggal menjadi gagasan belaka. Seperti yang dipaparkan oleh
Yusril Ihza Mahendra, idealisasi “Republik Desa” yang berpijak
kepada cita negara integralistik versi Soepomo merupakan hasil
reduksi yang abstrak karena:74
1. Cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang
mungkin dimiliki oleh seorang kepala desa;
2. Mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang
cenderung eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa;
3. Mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan oposisi
terhadap kepaal desa yang juga mempunyai kepentingan-
kepentingan pribadi tertentu; dan
4. Dalam tataran praksis, pemilihan langsung kepala desa
misalnya, apakah benar-benar mengesampingkan segala
macam kepentingan?

Ibid., hlm. 104.


73

Yusril Ihza Mahendra, op.cit., hlm. 11.


74

46 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Lebih lanjut diuraikan oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:75

Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, adalah


konstitusi negara modern yang disusun dengan mempertemukan
aliran-aliran pemikiran para penyusunnya. Konsep tentang presiden
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak semata-mata
menggambarkan konsep “manunggaling kawula lan gusti, tetapi
merupakan konsep yang rasional dengan batas-batas kekuasaan
serta tugas dan wewenang yang jelas, juga pengawasan dari
lembaga-lembaga kenegaraan modern, serta bertanggung jawab
kepada suatu lembaga pula. Mekanisme demikian sama sekali
tidak dikenal dalam konsep kepemimpinan tradisional masyarakat
pedesaan Indonesia.

Kritik tersebut mengkonfirmasi apa yang “dikhawatirkan”


Logemann di atas, yaitu “apakah mungkin memindahkan struktur
agraris dan untuk sebagian besar autarkis (memenuhi kebutuhan
sendiri) dari desa ke negara modern?”76 Seperti juga Mohammad
Hatta, walaupun secara konsisten memandang kedaulatan rakyat
yang aslia dalah yang dipraktikkan di desa-desa, tetapi tetap
terbuka problem analisis “bagaimana menyesuaikan dasar mufakat
di kampung atau di nagari kepada pemerintahan Indonesia yang
begitu luas daerahnya dan begitu besar urusannya?”77
Lepas dari perdebatan intelektual yang begitu berharga
berkaitan dengan dasar ketatanegaraan Indonesia, yang
menempatkan desa sebagai locus argumentasi, dan tidaklah menjadi
fokus uraian dalam buku untuk membuktikan, apakah benar
hal tersebut teradopsi dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau

75
Ibid.
76
J.H.A. Logemann, loc.cit.
77
Dalam Miriam Budiardjo (Editor), Masalah Kenegaraan, op.cit., hlm. 51.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 47


tidak, tetapi merupakan satu hal yang pasti: para pendiri negara
umumnya sepakat bahwa kedaulatan rakyat merupakan tabiat
asli masyarakat Indonesia. Justru dengan tidak jelasnya, problem
analisisi karakter dan kelembagaan desa, seperti terekam dalam
uraian-uraian sebelumnya, maka pada masa-masa selanjutnya desa
tetap akan menjadi salah satu persoalan, khususnya terkait dengan
kerangka hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

B. KONFIGURASI PEMAHAMAN
Pada awalnya kesatuan masyarakat adat (desa, nagari, binua,
kampung, gampong, negeri, huta, sosor, marga, lembang, kuwu,
pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain) yang tersebar
di penjuru Nusantara mempunyai karakter yang hampir sama.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya. Ia
lahir, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.
Menurut Ade Saptomo, masyarakat adat, yang dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 karya Soepomo diklaim berjumlah
lebih kurang 250 zelfbestuurende landschappen tidak sama dengan
pengertian sebagai persekutuan masyarakat adat. Dalam hal ini,
persekutuan masyarakat adat merupakan volksgemeen-scappen,
yang mempunyai sistem sosial sendiri dan mempunyai hubungan
yang kuat dengan tanah, pengelolaan sumber daya alamnya, dan
mempunyai keleluasaan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai
lokal atau kearifan-kearifan lokal yang ada.78
Persekutuan masyarakat adat semacam itu, lanjut Ade
Saptomo, mempunyai nilai yang berbeda dengan yang dianut oleh

78
Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 15.

48 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


kesatuan masyarakat yang biasa disebut “Desa” di Jawa, sebuah
kesatuan yang dibentuk oleh kekuatan struktural yang kemudian
dikirim ke luar Jawa. Kehidupan-kehidupan komunitas masyarakat
adat dimaksud tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses
pengintegrasian ke dalam kesatuan kehidupan organisasi negara
bangsa yang berskala besar dan berformat nasional.79
Desa, atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat yang
tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami
wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas
wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk
mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata
memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan
organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan
atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasar
pada adat-istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma,
nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumberdaya alam,
warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian,
sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat adat
mempunyai tatacara adat untuk mengelola (merawat dan membagi)
tanah (kekayaan) secara komunal (bersama) dengan prinsip
kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan berkelanjutan.
Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun melalui jalan
musyawarah tanpa pergolakan kekuasaan (politik) di dalam lingkup
keluarga atau masyarakat. Pemimpin adat bukanlah jabatan yang
sarat dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi posisi kehormatan
yang sarat dengan tanggungjawab untuk mengurus dan melindungi
tanah, penduduk, keamanan, hubungan-hubungan sosial, dan
sebagainya.

Ibid.
79

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 49


Di Sumatera Barat, nagari mempunyai aturan hukum
adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama aturan
tentang pembatasan penjualan) tanah pusako. Masyarakat adat
Atoin Meto di Timur Tengah Selatan (NTT) mempunyai aturan
yang kuat dalam mengelola kayu cendana. Kayu cendana boleh
ditebang kalau umurnya sudah tua dan harus melalui upacara
adat. Suku Amungme di Timika (Papua) juga mempunyai
hukum adat untuk merawat secara seimbang dan keberlanjutan
terhadap sungai, sampan dan sagu. Sungai tidak boleh dikotori,
sagu tidak boleh ditebang sembarangan. Demikian juga dengan
suku Dayak Kanayan yang mendiami binua. Mereka memiliki
sejumlah norma, kearifan lokal dan kesantunan yang menjunjung
tinggi prinsip keteladanan, keadilan, kebersamaan, keseimbangan
dan keberlanjutan dalam mengelola warga, sumberdaya alam dan
hubungan sosial. Tentu saja masih banyak aturan hukum adat
yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya,
hubungan sosial, dan seterusnya.
Sekali lagi, berbagai kesatuan masyarakat adat di atas
mempunyai kesamaan karekter, meski bentuknya berbeda-beda.
Perbedaan utama antara desa di Jawa dengan kesatuan masyarakat
adat di daera-daerah lain (Luar Jawa) adalah bahwa desa-desa di
Jawa mengalami penaklukan lebih dulu oleh penguasa kerajaaan
mulai dari Mataram Kuno (Hindu) sampai Mataram Islam, yang
kemudian diteruskan oleh penaklukan pemerintah kolonial sejak
abad ke-15. Berbagai kerajaan di Jawa yang silih berganti pada
umumnya berbentuk kerajaan agraris yang hidupnya sangat
tergantung pada tanah dan penduduk desa. Penguasa kerajaan (yang
mempunyai armada perang) mengklaim bahwa setiap jengkal tanah
di wilayah yang ditundukkannya merupakan miliknya. Rakyat desa
tidak lagi mempunyai kedaulatan atas tanah yang semua menjadi

50 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


basis kehidupan mereka. Penguasa kerajaan melakukan pemaksaan
kepada rakyat desa untuk menanami tanah dan mereka berkewajiban
memberikan (setor) upeti (pajak) kepada raja. Para pemimpin desa
(bekel) bukan lagi sebagai pemimpin rakyat desa, tetapi sebagai
aparat kerajaan yang bertugas mengontrol penduduk desa dan
mengumpulkan upeti dari rakyat. Pemimpin desa menjadi kaya raya
dan ditakuti, sebaliknya rakyat desa selalu tertindas dan jatuh miskin.
Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal
yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah
penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya
sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community.
Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal
pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai
pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan
hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di
Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil”
yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis
pada masyarakat (self-governing community).
Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik
kecil”, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip
kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-
bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam
pemerintahan Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala
Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa
(rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan
tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang
bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran
sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif.80

Soetarjo Kartohadikoeomo, 1984, Desa, Jakarta, Penerbit Sumur Bandung.


80

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 51


Ditinjau dari segi etimologis, “Desa” , yang cikal bakalnya
diperkenalkan oleh seorang warga Belanda Mr. Herman Warner
Muntighe yang bertugus sebagai Pembantu Gubernur Jenderal
Inggris pada tahun 1817, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
“deca”, yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah
leluhur yang merujuk kepada satu kesatuan hidup dengan kesatuan
norma serta memilki batas yang jelas.81 Menurut S. Wojowasito,
Desa berarti: (i) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan
kesatuan kampong, dusun; (ii) udik atau dusun, dalam arti daerah
pedalaman sebagai lawan kota; dan (iii) tempat, tanah, daerah.82
Istilah Desa memang umum dipakai di Pulau Jawa, Madura,
dan Bali. Sebutan lain untuk desa ialah kelurahan, karena kepala
desa mendapatkan sebutan “lurah.” Dalam praktik, seperti akan
diuraikan dalam bab berikutnya, istilah untuk menunjuk “Desa”
sangat beragam di berbagai tempat di Indonesia.

81
Departemen Dalam Negeri, 2007, Laporan Akhir Studi Revitalisasi Otonomi Desa,
Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 47-48.
82
S. Wojowasit, 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta, Penerbit Ictiar Baru
van Hoeve, hlm. 66.

52 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB III

DESA DAN STRUKTUR KENEGARAAN

A. OPTIK HISTORIK KONSTITUSIONAL


Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli (sebelum
Perubahan) berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa
sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-hak
asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan:
“Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah
propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil’. Dari fakta
konstitusional itu menampakkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam negara Indonesia dibentuk pemerintahan daerah;
2. Pemerintah daerah terdiri atas daerah besar dan daerah kecil;
3. Pemerintah daerah harus bersendikan demokrasi yaitu adanya
permusyawaratan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
dan
4. Daerah-daerah swapraja dan kesatuan masyarakat hukum
pribumi yang memiliki susunan asli harus diperhatikan untuk

53
dijadikan pemerintah daerah yang bersifat istimewa setelah
dilakukan pembaruan, yaitu dengan mengadopsi sistem
demokrasi dalam sistem pemerintahannya.

Susunan pemerintahan daerah sebagaimana naskah asli Pasal


18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut meliputi daerah besar dan
daerah kecil. Di dalam bagian Penjelasan, yang merupakan karya
pribadi Prof. Soepomo (1946), “daerah besar” nomenklaturnya
ditentukan secara jelas yaitu provinsi. Sedangkan “daerah kecil”
sama sekali tidak disebutkan.
Untuk memperoleh kejelasan mengenai susunan pemerintahan
daerah itu sebaiknya melihat kembali kepada setting pembentukan
Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang BPUPKI. Apa yang
terbaca sebagai keadaan faktual dan kemudian mempengaruhi
pemahaman (begrip) pemerintahan daerah adalah konfigurasi
pemerintahan daerah yang diatur oleh pemerintah Balatentara
Jepang.
Melalui Undang-Undang Nomor 27 tentang Pemerintah
Daerah dan Nomor 28 tentang Pemerintahan Syu dan Tokubetsu
Syi, susunan pemerintahan daerah meliputi:
a. Pemerintahan Syu (setingkat karisidenan);
b. Pemerintahan Ken (setingkat kabupaten) dan pemerintahan
syi (setingkat kotapraja);
c. Pemerintahan Gun (setingkat kawedanan);
d. Pemerintahan Son (setingkat kecamatan);
e. Pemerintahan Ku (setingkat kelurahan atau desa).

Di samping itu, untuk daerah-daerah swapraja (kerajaan


atau kesultanan), juga masih dipertahankan dengan nama Kooti,
yang mana setiap kooti dibagi ke dalam Ken, Gun, dan Ku. Namun

54 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Jepang menghapus asas desentralisasi, yang terbukti dengan
dibubarkannya dewan-dewan daerah pada setiap daerah otonom
tersebut. Namun demikian, kabupaten dan kotapraja berjalan terus
tanpa dewan, semua kekuasaannya dijalankan oleh Bupati (Kentyoo)
dan Walikota (Setyoo).83 Baru pada masa akhir kekuasaannya, Jepang
menghidupkan kembali daerah otonom, khususnya di daerah Syu
dan Syi.84
Dengan demikian, pada saat Pasal 18 dirumuskan, maka
yang dimaksud dengan “daerah besar” adalah daerah Syu (setingkat
Karisidenan) dan “daerah kecil” maksudnya adalah daerah Ken
(daerah setingkat regentschap atau kabupaten) serta daerah Syi
(daerah setingkat Staatsgemeenten atau kotapraja).
Bagaimana dengan munculnya istilah provinsi? Provinsi
sebagai “daerah besar” adalah hasil pelaksanaan ketentuan
Bestuurshervormingswet 1922, yang menunjukkan daerah otonom
meliputi: (i) Provinsi dengan luas sama dengan daerah administrasi
gewest; (ii) Regentschap yang luasnya sama dengan daerah
administrasi kabupaten; dan (iii) Staatsgemeenten atau kotapraja
yang luasnya sama dengan daerah kota yang bersangkutan.
Di samping itu, dalam Sidang PPKI tanggal 19 Agustus
1945 telah menghasilkan beberapa hal, antara lain soal penetapan
Daerah Republik Indonesia, yang salah satunya mengatur bahwa
untuk sementara daerah negara Indonesia akan dibagi ke dalam
8 provinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur.
Kedelapan provinsi itu adalah:

83
Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty,
hlm. 15.
84
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta,
Penerbit Grasindo, hlm. 53.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 55


a. Jawa Barat;
b. Jawa Tengah;
c. Jawa Timur;
d. Sumatera;
e. Borneo;
f. Sulawesi;
g. Maluku; dan
h. Sunda Kecil.

Jadi, mengapa Prof. Soepomo menafsirkan provinsi sebagai


“daerah besar” dalam tulisan pribadinya yang kemudian menjadi
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 dan diterbitkan
pada tahun 1946, karena ia telah menghadapi kenyataan bahwa
sesuai dengan hasil sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, negara
republik telah dibagi ke dalam provinsi-provinsi. Sedangkan
untuk “daerah kecil” tidak disebut secara jelas karena memang
masih banyak “daerah kecil” dengan sistem pemerintahan dan
nama yang bermacam-macam seperti karisidenan, kooti (daerah
swapraja), kota (gemeente), kabupaten (regentschap), desa, nagari,
atau marga.85 Dengan demikian, secara historis, semenjak awal
eksistensi desa sebagai salah satu bentuk volksgemenschappen atau
indlandshe gemeente “dibiarkan” seperti keadaan pada zaman Hindia
Belanda, sehingga walaupun eksis, akan tetapi tidak memperoleh
“tempat” yang jelas dalam konteks susunan pemerintahan daerah
yang dikehendaki oleh undang-undang dasar pasca proklamasi.
Secara historis juga, pada awalnya Desa merupakan organisasi
komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni
oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk

Ibid., hlm. 55.


85

56 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing
community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya
mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom
tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi.
Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik
kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan
berbasis pada masyarakat (self-governing community). Pengakuan
dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi
sebenarnya nampak jelas dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan
bahwa: Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti
Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan
asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa republik harus mengakui
keberadaan Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam.
Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa
otonom (local self government) yaitu Desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep
volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum
adat atau menurut orang Bali disebut dengan “Desa adat” atau self
governing community. Zelfbesturende landchappen akan mengikuti
azas desentralisasi (pemberian) dan volksgetneenschappen akan
mengikuti azas rekognisi/pengakuan (meski azas ini tidak dikenal
dalam semesta teori desentralisasi).
Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen
(Desa otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama
kelamaan menghilang, apalagi pada masa Orde Baru dilakukan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 57


penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan
Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi,
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 malah menghilangkan
istilah Desa. Pasal 18 ayat (1) menegasakan: “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Meskipun istilah Desa hilang dalam Perubahan UUD 1945,
tetapi klausul “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…” berarti
mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya mencakup
Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu,
pakraman, lembang dan seterusnya.
Dalam skala yang lebih luas, konsep zelfbestuurende
lanschappen sesungguhnya menunjuk kepada daerah swapraja,
sedangkan volksgemenschappen atau indlandshe gemeente menujuk
kepada kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, nagari,
mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman,
lembang dan seterusnya.

B. TIPOLOGI DESA
Menurut Sutoro Eko, berdasarkan sketsa teori dan pengalaman
sejarah, setidaknya ada 3 (tiga) posisi politik desa bila ditempatkan

58 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dalam formasi negara yaitu (i) desa sebagai organisasi komunitas
lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan
self-governing community; (ii) desa sebagai bentuk pemerintah
lokal yang otonom atau disebut local self government; dan (iii) desa
sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau disebut
dengan local state government. 86
Pertama, desa sebagai organisasi komunitas lokal yang
mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-
governing community. Dalam tradisi Minangkabau, self-governing
community ini identik dengan “republik kecil”, sebuah posisi yang
dimiliki nagari-nagari pada masa lampau. Self-governing community
berarti komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan
pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya
dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak
terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara.
Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang punya
predikat self-governing community, tetapi juga desa-desa di Jawa
maupun komunitas adat di daerah-daerah lain di Indonesia.
Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom
atau disebut local self government. Posisi local self government ini
merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai
konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni negara
mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk
daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan
kewenangan kepada pemerintah lokal.
Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan
bentuk otonomi tradisional dalam kerangka self governing
community, dan posisi local self government merupakan bentuk
86
Sutoro Eko, “Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa”, dalam www.
forumdesa.com, diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 20.51 WIB.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 59


“otonomi modern” dalam payung negara bangsa. Jika desa akan
dikembangkan menjadi local self government, maka yang harus
dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-usul,
melainkan negara melakukan desentralisasi politik (devolusi)
kepada desa, seperti yang dilakukan negara kepada daerah. Dalam
regulasi, misalnya, perlu ditegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten/kota dan
desa.
Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat
lokal atau disebut dengan local state government. Ini merupakan
bentuk lain dari pemerintahan yang sentralistik, yang tidak
melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan dekonsentrasi.
Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah kecamatan dan
kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang otonom
atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai
kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun
desa di masa Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan
negara (local state government). Model local state government ini jelas
menimbulkan banyak kerugian: ketimpangan ekonomi-politik
pusat dan lokal, ketergantungan dan ketidakmampuan lokal, dan
hilangnya kedaulatan rakyat.
Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan
dipilah secara tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa
tidak boleh menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus
tegas memilih salah satu model agar penggunaan kewenangan,
pengambilan keputusan, penyelenggaraan pemerintahan dan
hubungan antarpemerintah lebih jelas dan efektif. Penggabungan
lebih dari satu model tentu akan menimbulkan ketidakjelasan
penyelenggaraan pemerintahan.

60 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Memang tidak solusi yang tunggal dan seragam untuk
memposisikan desa. Setidaknya ada dua variabel penting yang harus
diperhatikan. Pertama, pengaruh adat terhadap pemerintahan desa
yang modern. Kedua, pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi
dengan nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa
Dengan menggunakan kedua variabel tadi, untuk mencerna
otonomi desa, Sutoro Eko mengidentifikasikan adanya 5 (lima)
tipologi desa.87 Kelima tipologi tersebut mencakup: (i) ada adat
tetapi tidak ada desa; (ii) ada desa akan tetapi tanpa adat; (iii)
integrasi antara adat dengan desa; (iv) dualisme adat dan desa; dan
(v) tidak ada adat dan tidak ada desa.
Pada tipologi yang pertama, yaitu “ada adat tetapi tidak
ada desa”, menggambarkan bahwa desa hanya sebagai komunitas
lokal berbasis adat yang tidak mempunyai pemerintah desa seperti
yang terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa
dan Amerika. Kalau di Indonesia misalnya ada Rukun Tetangga
(RT) maupun Rukun Warga (RT). Sayangnya, RT di Indonesia
juga mempunyai beban dan urusan administrasi pemerintahan.
Organisasi lain yang steril dari urusan pemerintahan adalah
komunitas atau organisasi masyarakat adat. Intinya, komunitas
lokal itu memiliki organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi
lokal ketimbang institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal
itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta
tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan yang
diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan fungsi
mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan
sukarela. Organisasi semacam ini sama sekali tidak meributkan
masalah desentralisasi dan otonomi lokal yang berhubungan

Ibid.
87

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 61


dengan pemerintah, kecuali hanya sebagai bentuk modal sosial
yang digunakan oleh warga untuk menolong dirinya sendiri,
bekerjasama, membangun kepercayaaan, dan bisa juga sebagai
basis civil society untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Meski
tidak berurusan dengan desentralisasi, bukan berarti pemerintah
mendiamkan masyarakat lokal itu. Wilayah maupun penduduk di
komunitas lokal itu tetap menjadi kewenangan dan tanggungjawab
pemerintah, terutama tanggungjawab pemerintah memberikan
pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum,
listrik, transportasi dan sebagainya) yang tidak mungkin mampu
ditangani sendiri oleh organisasi lokal.
Pada tipologi yang kedua, di mana “ada desa akan tetapi
tanpa adat”, merupakan model yang persis dengan desa-desa di
Jawa yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi
pemerintahan lokal modern yang meninggalkan adat. Modernisasi
pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa relatif “sukses” diterapkan di Jawa. Ini
terlihat dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan yang melekat di desa. Secara inkremental
desa-desa di Jawa mulai memupuk kemampuan mengelola
pemerintahan dan pembangunan secara baik, sementara arena
demokrasi dan civil society juga mulai tumbuh. Meski belum
sebagian besar, banyak desa di Jawa dipimpin oleh kepala desa
progresif, yang menempa kemampuan dengan baik, mempunyai
rencana strategis sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, serta menyiapkan keuangan
desa yang baik (akuntabel, transparan, dan partisipatif ). Desa-
desa seperti itu sudah relatif siap ditransformasikan menjadi local
self government yang mempunyai predikat otonomi secara. Dalam
konteks ini perlu ada undang-undang pemerintahan desa khusus

62 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


di Jawa yang menegaskan tentang otonomi desa (kedudukan dan
kewenangan) seperti halnya otonomi daerah di kabupaten/kota.
Ketentuan undang-undang itu menegaskan kedudukan desa-desa
di Jawa bukan sebagai bagian dari kabupaten semata, melainkan
juga sebagai bagian dari negara. Inilah yang disebut dengan devolusi
untuk desa. Penegasan tentang kedudukan desa itu juga disertai
dengan pembagian (distribusi) kewenangan secara proporsional
antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Dengan cara ini,
desa-desa di Jawa jelas akan mempunyai kewenangan devolutif
dan distributif yang lebih konkret, bukan lagi kewenangan kering
atau kewenangan sisa yang tidak jelas. Kewenangan juga diikuti
dengan perimbangan keuangan atau alokasi dana kepada desa
untuk membiayai kewenangan itu. Konsekuensinya pemerintah
desa mempunyai hak yang lebih jelas, sekaligus berkewajiban dan
bertanggungjawab dalam “mengatur” dan “mengurus” tanah dan
penduduk desa untuk kesejahteraan masyarakat.
Tipologi yang ketiga, yaitu integrasi antara adat dengan
desa, atau terjadi peleburan antara desa dan adat. Model ini
persis sama dengan nagari di Sumatera Barat kondisi sekarang.
Sumatera Barat telah melancarkan “kembali ke nagari” sejak
2000 yang menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat
nagari menjadi satu wadah tunggal nagari. Jika sebelumnya ada
dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan
adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi
ke dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state.
Nagari itu menggabungkan antara skema local self government dan
self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin
(negara, agama dan adat). Nagari mengenal pembagian kekuasaan
berdasarkan Trias Politica yaitu eksekutif (pemerintah nagari),
legislatif (badan perwakilan nagari) dan yudikatif (kerapatan adat

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 63


nagari maupun majelis adat dan syarak) yang bertugas menjadi
instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik lokal, bukan pidana)
dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar
kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama. Sesuai
dengan adat setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari
bertumpu pada tigo sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan
alim ulama), yang sekarang ditambah unsur bundo kanduang dan
pemuda. Sekarang nagari belum menemukan konsep baru untuk
mewadahi lima unsur nagari itu, tetapi kelimanya masuk dalam
badan eksekutif dan legislatif. Sedangkan unsur Kerapatan Adat
Nagari hanya mewadahi unsur ninik mamak, sedangkan Mejelis
Ulama khusus mewadahi unsur alim ulama. Meski nagari mengenal
legislatif (badan perwakilan nagari) sebagai arena demokrasi
perwakilan, tetapi model demokrasi nagari tidak bertumpu pada
hubungan eksekutif-legislatif itu. Sesuai dengan adat setempat,
praktik demokrasi nagari yang sudah mengakar adalah demokrasi
deliberatif, yakni permusyawaratan secara elitis antar pemimpin
nagari. Ini adalah titik kelemahan empirik yang didistorsi oleh
adat. Partisipasi perempuan dan pemuda hanya bersifat simbolik
dan formalistik. Akses mereka dalam proses deliberasi tetap terbatas
karena arena didominasi oleh elite nagari. The local state nagari juga
bersifat korporatis, dimana seluruh unsur diwadahi secara tunggal
di dalam wadah “negara” nagari. Akibatnya ruang dan aktor civil
society tidak bisa tumbuh dengan baik di aras nagari.
Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang
lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan
nagari antara lain mencakup kewenangan administratif,
mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya.
Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan

64 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama
terletak pada nagari.
Tipologi keempat, yaitu model “dualisme adat dan desa”.
Contoh yang paling menonjol model ini adalah desa-desa di Bali.
Sampai sekarang di Bali tetap mempunyai dua bentuk desa yaitu
“desa dinas”, sebagai bagian dari otoritas negara (negara) dan
desa pakraman (adat). Desa dinas adalah birokrasi kepanjangan
tangan negara yang mengatur dan mengurus masalah-masalah
administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan
desa pakraman menjalankan fungsi merawat adat-istiadat,
kontrol terhadap pemerintah desa dinas, termasuk mengontrol
penggunaan tanah adat dari intervensi negara dan modal. Sejauh
ini, desa pakraman tidak bersedia digabung dengan desa dinas
sebagaimana pengalaman di Sumatera Barat, sebab mereka tidak
mau kehilangan otonomi dan adat, serta tidak bersedia berposisi
secara hirarkhis di bawah negara. Skema dualistik itu menarik
sebab, berbeda dengan doktrin Trias Politica, kekuasaan desa-desa
di Bali dipisah menurut garis pemerintahan dan pembangunan
yang menjadi domain desa dinas dengan adat dan kemasyarakatan
yang merupakan domain desa pakraman. Desa pakraman menjadi
organisasi komunitas lokal yang menjadi identitas, basis otonomi
dan kontrol terhadap pemerintah desa dinas. Dengan demikian
desa pakraman menjadi arena civil society dan partisipasi warga.
Berbeda dengan Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat yang
terintegrasi dan ikut “menguasai” pemerintahan nagari, desa
pakraman di Bali mempunyai domain sendiri yang otonom dan
ikut “mempengaruhi” atau “mengontrol” negara.
Dengan skema itu Trias Politica (eksekutif, legitlatif dan
yudikatif) dalam konteks desa dinas tidak berlaku. Sampai sekarang
desa-desa dinas di Bali tidak mempunyai Badan Perwakilan Desa

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 65


sebagaimana terjadi di desa-desa di Jawa. Desa dinas tidak berjalan
secara efektif sebagai institusi modern yang menjalankan fungsi
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Di sana ada
dualisme antara kepala desa (dinas) dengan pendesa (pemimpin desa
pakraman). Warga lebih percaya pada pendesa ketimbang kepala
desa. Ini persoalan yang serius. Pemerintah desa dinas menghadapi
delegitimasi dan distrust dari warga, sementara desa pakraman
menjadi “tirani” yang tidak bisa dikontrol publik. Sebagai contoh
desa pakraman tumbuh menjadi “negara” yang mempunyai polisi
adat (pecalang) yang relatif represif kepada warga.
Tipologi yang kelima adalah model “tidak ada adat dan
tidak ada desa” alias model kelurahan. Kelurahan adalah bentuk
satuan administrasi birokrasi negara yang bekerja di aras lokal,
atau sering disebut sebagai the local state government. Berbeda
dengan desa, kelurahan tidak mempunyai otonomi, melainkan
hanya menjalankan tugas-tugas administrasi pemerintahan yang
didelegasikan dari atas. Pimpinan kelurahan adalah lurah, yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil dan posisinya sebagai pejabat
administrasi (karir) yang diangkat. Dia tidak bertanggungjawab
kepada rakyat, melainkan kepada pejabat yang mengangkatnya.
Pengaturan tentang kelurahan sudah dimulai secara tegas dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa.
Ketentuan undang-undang ini memberi ruang peralihan dari
desa yang otonom menjadi keluarahan yang berstatus sebagai unit
administratif. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa desa-desa
yang berada di wilayah perkotaan, urbanized, industrialized atau
menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, telah berubah
menjadi kelurahan. Dengan sendirinya kelurahan tidak lagi

66 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mempunyai hak dan kontrol atas tanah ulayat atau tanah bengkok,
karena semua ini diambil alih oleh negara.
Perubahan dari desa menuju kelurahan tentu memperbaiki
sistem birokrasi lokal, juga mengakhiri tarik-menarik antara desa
dan supradesa, atau antara adat dengan negara. Tetapi kelurahan
menghilangkan otonomi dan demokrasi desa. Umumnya
perubahan dari desa ke kelurahan merupakan kehendak supradesa
untuk meningkatkan pendapatan pajak dan melancarkan
kapitalisasi terhadap tanah yang menjadi milik desa.

C. OTONOMI DAN KEWENANGAN DESA


Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos
yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti peraturan. Oleh
karena itu, secara harafiah otonomi berarti peraturan sendiri atau
undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi
pemerintahan sendiri.88 Selanjutnya diuraikan bahwa otonomi
daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari
pemerintah yang lebih atas kepada pemeritnah di bawahnya, dan
sebaliknya, pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian
urusan tersebut telah mampu melaksanakannya.89
Menurut Bagir Manan, otonomi merupakan sebuah tatanan
ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan bukan bukan sekedar tatanan
admistrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan
ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara
dan susunan organisasi negara.90 Selanjutnya, Ateng Syarifudin

88
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,
dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 81.
89
Ibid., hlm. 82.
90
Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 24.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 67


menunjuk makna otonomi sebagai kebebasan atau kemandirian
(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheic).
Dalam pemberian tanggung jawab terkandung 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus
diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya;
2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana
menyelesaikan tugas itu.91

Pada bagian lain Bagir Manan menyatakan bahwa otonomi


adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid)
dari satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan
mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan
yang boleh diatur dan idurus secara bebas dan mandiri itu menjadi
atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang
lebih rendah itu. Artinya kebebasan dan kemandirian merupakan
hakekat isi otonomi.92
Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu
pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan
kebijakan sebagai komponen yang mengacu kepada konsep
“pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua,
komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada
kata-kata “oleh, dari, dan untuk rakyat.” Kemandirian tersebut
diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai mendorong
tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri.93 Jadi, dari bermacam-

91
Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas
Parahiyangan, Bandung, 1983.
92
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.
93
Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi

68 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


macam pengertian itu otonomi dalam konteks pemerintahan
mengandung 2 (dua) segi utama yaitu komponen wewenang
menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan komponen
kemandirian.
Menurut Sutoro Eko94, pembicaraan tentang kewenangan
desa sebenarnya sangat relevan dilakukan dalam konteks desa
sebagai local self government, atau setidaknya pembicaraan itu akan
mengarah pada pengembangan desa menuju local self government.
Selanjutnya diuraikan bahwa dari sisi historis dan legal-formal, desa
mempunyai 4 (empat) jenis kewenangan.95 Pertama, kewenangan
generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau
kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain)
sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kedua, kewenangan devolutif,
yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena
posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski
desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/kota.
Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola
urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi)
oleh pemerintah kepada desa. Keempat, kewenangan dalam
pelaksanaan tugas pembantuan.
Untuk kewenangan yang pertama, yaitu kewenangan
generik, sering pula disebut sebagai property right komunitas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atau
yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa
jenis kewenangan generik yang sering dibicarakan, yaitu (i)
Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan
sendiri; (ii) Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah

Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9.


94
Ibid.
95
Ibid.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 69


kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); (iii)
Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat;
(iv) Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya
lokal (termasuk adat-istiadat); dan (v) Kewenangan yudikatif atau
peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal
penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat, misalnya, terdapat
lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan
dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa
pusako. Di Jawa, dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para
tetua desa yang memberikan pertimbangan kepada lurah desa,
sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian sengketa lokal.
Untuk kewenangan yang kedua, yaitu kewenangan devolutif,
yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena
posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski
desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti kabupaten/
kota. Sebagai contoh, ada sejumlah kewenangan desa yang bisa
dikategorikan sebagai kewenangan devolutif, yaitu:
1. Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa;
2. Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa;
3. Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan
perangkat desa;
4. Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat;
5. Penetapan dan pembentukan Baadan Permusyawaratan Desa;
6. Pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota Badan
Permusyawaratan Desa;
7. Penyusunan dan penetapan anggaran desa;
8. Penetapan peraturan desa;
9. Penetapan kerja sama antar desa; dan
10. Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa.

70 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola
urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi)
oleh pemerintah kepada desa. Menurut hukum positif dewasa
ini, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan distributif ini disebut sebagai
“kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang
dalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena
tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya menerima
kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/
kota) yang tidak jelas dari supradesa. Bagaimana bentuk-bentuk
kewenangan distributif? Kabupaten Solok, misalnya, sudah
melakukan distribusi sejumlah 111 urusan kepada nagari, yang
hal itu bisa disebut sebagai kewenangan distributif. Demikian
juga dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2001 sudah pernah
menyiapkan Manual Pemerintahan Desa, yang salah satu isinya
adalah positive list tentang kewenangan desa berdasarkan bidang-
bidang pemerintahan dan pembangunan. Daftar kewenangan itu
dapat disebut kewenangan distributif, yang perlu dicermati kembali
dan dilembagakan menjadi kebijakan dan regulasi resmi.
Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan.
Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena
tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu
yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya
dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik
kewenangannya justru bersifat “negatif ”, yaitu kewenangan desa
menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 71


Dalam pandangan Syamsuddin Haris,96 kita tidak mungkin
otonomi desa merupakan turunan dari otonomi daerah, esensi
kedua otonomi ini tidak sama. Pada tingkat kabupaten/kota
basisnya desentralisasi oleh pusat, sementara basis otonomi
desa adalah kepercayaan masyarakat. Masalahnya adalah
apakah desa di masa depan akan didesain sebagaimana yang
dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga desa
seolah-olah menjadi eksperimen, menjadi ujicoba yang tidak
ada habis-habisnya, padahal desa telah mempunyai otonomi asli.
Dalam hal ini, self governing community tetap bisa menjadi basis
mengembangkan otonomi desa dan demokrasi desa. Tidak semua
desa harus dipaksakan memiliki badan permusywaratan karena
ada desa yang telah memiliki hal-hal seperti itu, ada yang sifatnya
sebagai adat atau agama, sehingga dapat kembali ke semangat
keanekaragaman. 97

96
Syamsuddin Haris, “Otonomi Desa, Perlukah Diatur?”, dalam www.forumdesa.
com., diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 21.33 WIB.
97
Ibid.

72 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB IV

PENGATURAN DESA PADA MASA KOLONIAL

A. Masa Kolonial Hindia Belanda


1. Sistem Pemerintahan Daerah
Pada tahun 1854, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
Regeeringsreglement yang merupakan cikal-bakal pengaturan
tentang daerah dan Desa. Ketentuan Regeeringsreglment tersebut
dimaksudkan sebagai Konstitusi Hindia Belanda yang dalam
sekian banyak pasalnya (khususnya yang termuat dalam Bab V)
mengisyaratkan dengan jelas untuk mewujudkan Hindia Belanda
sebagai rechsstaat. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854,
Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama
Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie
dibagi dalam dua kategori besar yaitu het indirect atau het inlandsch
bestuurd gebeied dan direct bestuurd gebeied atau gouvernnement
gebeied. Daerah het indirect atau het inlandsch bestuurd gebeied
adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa
Batavia. Menurut Amrah Muslimin, daerah ini biasanya berbentuk
kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik
jangka panjang (Kasultanan Jogja, Kasunanan Solo, dan Kasultanan
Deli) maupun jangka pendek (Kasultanan Goa, Bone, dan
sebagainya). Perjanjian ini dilakukan oleh raja/sultan dari kerajaan/

73
kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur
Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut
kerajaan/kesultanan memiliki status “negara semi merdeka” dalam
lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah
sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan
lokal sendiri.98 Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan
para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau
Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada
kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian
muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan
nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja atau
berpemerintahan sendiri atau otonom). Di samping itu terdapat
suatu kesatuan hukum adat yang mengurus rumah tangganya
sendiri berdasarkan hukum adat seperti Desa, Marga, Huta, Kuria,
Nagari, dan sebagainya. Menurut Soehino, kesatuan masyarakat
hukum ini cara pengaturannya dibedakan antara yang ada di Jawa
dan Madura dengan yang ada di luar Jawa dan Madura. Di Jawa
dan Madura diatur dalam Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java
end Madura (IGO, S. 1906-83). Sedangkan untuk di luar Jawa
dan Madura diatur dalam Inlandsce Gemeente Ordonannantie
Buitengewesten (IGOB, S.1938-490 jo S. 1983-68).99
Sementara, direct bestuurd gebeied atau gouvernnement
gebeied adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara
hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut
“pemerintahan pangreh praja”. Pemerintahan ini pun dibedakan

98
Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 14-15.
99
Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty,
hlm. 6.

74 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan Luar
Jawa dan Madura.
Di daerah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan
pemerintahan adalah :100
1. Provinsi atau Gewest yang dipimpin oleh Gouvernour atau
Gubernur;
2. Karesidenan atau Residensi, yang dipimpin oleh Resident
atau Residen;
3. Kabupaten atau Regenschap, yang dipimpin oleh seorang
Bupati atau Regent;
4. Kawedanan atau Distrct yang dipimpin oleh Wedono;
5. Kecamatan atau Onder district yang dipimpin oleh Camat
sebagai Asisten Wedana); dan
6. Desa (Lurah/Kepala Desa).

Di daerah Luar Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan


pemerintahan adalah :
1. Provinsi atau Gewest, yang dipimpin oleh Gubernur atau
Gouvernur;
2. Karesidenan atau Residensi yang dipimpin oleh Residen;
3. Afdeling , yang dipimpin oleh Asisten Residen atau Assistent
Resident;
4. Onder Afdeling, yang dipimpin oleh Controleur;
5. District/Kawedanan yang dipimpin oleh Demang;
6. Onderdistrict/Kecamatan, yang dipimpin oleh Asisten
Demang; dan

Ibid., hlm. 5-6.


100

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 75


7. Desa/Marga/Kuria/Nagari/nama lain yang dipimpin oleh
Kepala Desa/nama lain).

Gubernur sampai Asisten Residen untuk Jawa dan Controleur


untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut
Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan Bupati sampai Lurah/
Kepala Desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa/nama
lain untuk luar Jawa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse
Bestuurambtenaren.
Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (S.1903-329
tanggal 23 Juli 1903) prinsip otonomi mulai diperkenalkan.
Di beberapa daerah, di luar daerah otonom, mulai dibentuk
Locale Raad (semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Selanjutnya, ketentuan dalam Regeeringsreglement 1854 diubah
dengan penambahan bab baru yaitu Bab X yang mengatur tentang
pembentukan Volksraad (dimaksudkan sebagai Dewan Perwakilan
Rakyat, meskipun secara politik tak lebih sebagai Penasehat
Gubernur Jenderal), dan baru terbentuk pada tahun 1918 oleh
Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum. Soehino dengan
jelas menggambarkan adanya perubahan tersebut sebagai berikut:101

[Sejak) 20 Mei 1908 timbullah pergerakan-pergerakan nasional


yang antara lain menuntut supaya Hindia Belanada diberi status
dominion dalam ikatan dengan Kerajaan Belanda, dan supaya
dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Pusat yang mempunyai
kekuasaan untuk ikut serta menetapkan undang-undang dan
mengawasi kebijaksanaan pemerintah pusat. Bahkan, lebih dari
itu, telah terdengar pula tuntutan berdirinya Negara Indonesia
Merdeka, terlepas dari ikatan kerajaan Belanda.

Ibid., hlm. 6.
101

76 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Menggarisbawahi pendapat Soehino mengenai perlunya
lembaga yang mengawasi kebijaksanaan pemerintah pusat tersebut,
Soetandyo Wignjosoebroto mennguraikan bahwa hal tersebut
sudah dimulai dari persidangan Tweede Kamer, akhir tahun 1880,
ketika L.W.C. Keuchenius membuka perdebatan soal itu. Menurut
Kechenius, sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata
untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan, untuk
kemudian, melakukan reformasi ketatanegaraan yang sudah harus
dipandang sebagai sesuatu langkah yang amat diperlukan agar
kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi hanya terpusat di
tangan gubernur jenderal beserta Raad van Indie saja.102 Soetandyo
juga menginformasikan bahwa pendapat tersebut didukung oleh
W.K. Baron van Dedem, walaupun sebatas pada masalah anggaran
biaya pemerintah tanah jajahan. Diuraikan bahwa:103

Negeri Belanda sudah tidak akan lagi mungkin memperlakukan


tanah jajahannya sebagai suatu wingewest yang lewat praktik
cultuurstelsel dapat menjamin pembiayaan layanan administrasi
pemerintahan di Hindia Belanda. Konsekuensinya, ialah bahwa
anggaran pemerintahan Hindia Belanda haruslah dapat dibiayai
oleh pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari Hindia Belanda
itu sendiri. Tidak dapat dihindari lagi bahwa urusan keuangan
serta anggaran pendapatan dan belanja negara antara negara induk
dengan negara koloninya, harus dipisahkan. Dengan demikian,
bukan hanya amandemen terhadap Regeringsregleement 1854,
tetapi juga terhadap De Indische Comptabilities Wet atau ICW
tahun 1864...[K]epada Hindia Belanda haruslah diberikan

102
Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial
Belanda: Kebijakan dan Upya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-
1940), Malang, Penerbit Bayumedia Publishing, hlm. 4.
103
Ibid., hlm. 5.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 77


kewenangan legislatif tersendiri dengan membentuk badan legislatif
tersendiri.

Setelah memakan perdebatan hampir 50 tahun di parlemen


Belanda, baru pada tanggal 23 Juli 1903 undang-undang mengenai
desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda, yang dinamakan De
Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie,
berhasil diterima sidang dan diundangkan dalam Staatsblaad van
Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1903 Nomor 219, yang
kemudian dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903.
Menurut Irawan Soedjito, Decentralisatie Wet 1903
sesungguhnya merupakan penambahan 3 (tiga) pasal baru terhadap
ketentuan Regeringsregleement 1854, yakni Pasal 68a, Pasal 68b,
dan Pasal 68c.104 Diuraikan lebih lanjut bahwa alasan-alasan untuk
merubah ketentuan itu adalah:

[D]ilatarbelakangi oleh adanya suatu pandangan bahwa dengan


semakin banyak urusan-urusan yang harus dilayani lambat laun
pemerintah yang sentralistis itu makin melebihi beban yang dapat
dipikul pemerintah pusat, karena banyak hal yang bersifat lokal
sederhana harus diurus oleh pemerintah pusat. Sehingga pada
akhir abad XIX orang mulai memandang lebih untuk mulai
menyerahkan pembinaan urusan dan kepentingan-kepentingan
lokal kepada badan-badan pemerintah lokal yang diberi sekadar
kebebasan (zelfstanding) dan dapat memiliki keuangan sendiri.105

Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 tersebut, pemerintah


Hindia Belanda membuka kemungkinan dibentuknya daerah-
daerah otonom di luar daerah-daerah otonom berdasarkan hukum

Irawan Soedjito, Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia, hlm. 79-80.


104

Ibid.
105

78 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


adat. Menurut Amrah Muslimin, ketentuan-ketentuan baru dalam
Regeringsregleement 1854, yang kelak menjadi Pasal 123, Pasal 124,
dan Pasal 125 Indische Staatsregeling, membuka kemungkinan
dibentuknya daerah-daerah otonom yang disebut Gewestelijke
atau Local Raden (semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),
yang mempunyai keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan-
kebutuhan khusus dari daerah-daerah otonom tersebut.106 Peraturan
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Decentralisatie Besluit
1904 dan Local Ordonantie 1905.
Hingga tahun 1908 tidak kurang dari 15 gemeenten dan 6
gewesten. Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), dan Buitenzorg
(Bogor) dibentuk pada tahun 1905. Pada tahun 1906 dibentuk
Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya,
Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, dan Makasar.
Lalu Medan (1909) dan Malang (1914). Sejumlah gewesten yang
dibentuk sebelum 1908 adalah Banten, Rembang, Madura, Besuki,
Banyumas, dan Madiun.107
Harus dicatat, pembentukan daerah-daerah otonom menurut
Decentralisatie Wet 1903 itu merupakan pemberian dengan
berlandaskan pada asas-asas desentralisasi pemerintahan. Sementara
itu, pemerintah Hindia Belanda membiarkan penyelenggaraan
pemerintahan menurut daerah swapraja dan desa, yang tetap
berjalan menurut hukum adat dan dilaksanakan oleh orang-orang
bumiputera. Jadi, saat itu ada 2 (dua) daerah otonom yaitu daerah
otonom menurut Decentralisatie Wet 1903 dan daerah otonom
seperti daerah swapraja dan desa.
Khusus untuk daerah swapraja dapat dikatakan relatif
otonom, meskipun agar tetap sejalan dengan kebijakan pemerintah
Amrah Muslimin, op.cit., hlm. 16.
106

Soetandtyo Wignjosoebroto, op.cit., hlm. 22.


107

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 79


pusat, maka Pemerintah Hindia Belanda meminta raja atau sultan
atau kepala daerah swapraja lainnya untuk melakukan tindakan-
tindakan atau melaksanakan urusan-urusan tertentu atas biaya
pemerintah pusat atau pemerintah atasnya. Raja atau sultan atau
kepala daerah swapraja lainnya tersebut, yang melakukan tindakan
atau melaksanakan urusan dari pemerintah pusat atau pemerintah
atasnya dengan biaya yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat
disebut melaksanakan medebewind (tugas pembantuan).108
Medebewind dilaksanakan oleh raja atau sultan atau kepala
daerah swapraja lainnya, kemudian dipertanggungjawabkan
pelaksanaannya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pengertian
medebewind semacam itulah yang kemudian dianut secara
konsisten oleh pemerintah Orde Baru, sebagai asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah bersama-sama dengan asas desentralisasi dan
asas dekonsentrasi.
Memang secara teoritis, medebewind sendiri mempunyai
makna yang berbeda-beda. Menurut Bagir Manan, medebewind
diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atas
kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan undang-
undang. Oleh karena itu medebewind diartikan juga sebagai serta
tantra atau tugas pembantuan.109 Secara konkrit, Bagir Manan
menyebut medebewind sebagai tugas melaksanakan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere
regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-
undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen)
dalam rangka tugas pembantuan.110

108
Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah...., op.cit., hlm. 13.
109
Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 85.
110
Ibid., hlm. 179.

80 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


RDH. Koesoemahatmadja memberikan pengertian
medebewind sebagai pemberian kemungkinan dari pemerintah
pusat atau daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada
pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tingkatannya
lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah
tangga daerah yang tingkatannya lebih atas.111 Mengenai tata cara
pelaksanaan medebewind itu dilukiskan oleh Koesoemahatmadja
sebagai berikut:112

Daerah-daerah...diberi tugas pembantuan oleh pemerintah


pusat yang disebut medebewind atau zelfbestuur (menjalankan
peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi).
Dalam menjalankan medebewind tersebut urusan-urusan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan
urusan pusat atau daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi
urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja
daerah otonom menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom ini
tidak berada di bawah pemerintah, juga tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat atau daerah yang
lebih tinggi yang memberi tugas. Karena hakekatnya urusan
yang diperbantukan pada daerah otonom tersebut adalah urusan
pusat, maka dalam sistem medebewind anggarannya berasal dari
anggaran pusat yang ditransfer langsung ke kas daerah. Anggaran
ini masuk ke rekening khusus yang pertanggungjawabannya
terpisah dari anggaran daerah.

Koesoemahatmadja,Pengantar ke Arah...., op.cit., hlm. 21-22.


111

Ibid.
112

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 81


Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam sistem medebewind
pemerintah pusat atau daerah otonom yang lebih tinggi
menyerahkan urusan yang menurut peraturan perundang-
undangan merupakan kewenangannya, kepada daerah otonom di
bawahnya. Daerah otonom yang diserahi lalu melaksanakannya
melalui perangkat atau dinas-dinas. Dalam melaksakan tugas
tersebut, aparat pelaksana tidak bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi yang memberi
tugas tetapi kepada kepala daerah (zelfuitvoering).113

2. Pengaturan Desa
Walaupun sudah diundangkan ketentuan Decentralisatie Wet
1903 jo. Decentralisatie Besluit jo. Local Ordonantie 1905, apa yang
disebut sebagai inlandsche gemeenten (baik yang berada dalam kota
yang dikenal sebagai kampung maupun di luar kota yang dikenal
sebagai desa) belum dimaksukkan dalam pembicaraan. Barulah
kemudian dipandang perlu untuk menganggapi kepentingan
perkembangan kehidupan golongan penduduk pribumi di desa-
desa disiapkanlah dan diundangkan sebuah ordonansi khusus, yaitu
De Inlanfsche Gemeente Ordonantie (Ind. S. 1906-83, 3 Februari
1906), yang dalam kepustakaan disingkat IGO. Ordonansi
itu dimaksudkan utnuk mengatur urusan pengelolaan berikut
kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas pedesaan
pribumi di Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh
pemerintah Hindia Belanda (yang oleh sebab itu desa-desa di
daerah Vorstenlanden dan beberapa daerah particuliere landerijen di

Ibid.
113

82 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


lembah Cimanuk, sejauh belum ditebus dan dibebeaskan sebagai
tanah negara, tidaklah termasuk yang diatur dalam ordonansi ini.114
Ordonansi itu meliputi 20 pasal, yang terbagi ke dalam
4 (empat) bagian untuk mengatur urusan organisasi dan
pendapatan desa, penyelenggaraan administrasi desa berikut
pertanggungjawabannya, pengelolaan harta milik dan kekayaan
desa, serta penyelenggaraan kerja-kerja untuk kepentingan negara,
atau untuk apapun yang oleh warga desa dianggap penting bagi
desa. Dalam penjelasan atas Ordonnantie itu yang dimuat dalam
Bijblad 6567 disebutkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam
Ordonnantie secara konkret mengatur bentuk, kewajiban dan hak
kekuasaan pemerintah Desa baik berdasarkan hukum ketataprajaan
maupun berdasarkan hukum perdata.
Di dalam ordonansi itu tersimpul paling tidak adanya 9
(sembilan) asas pemerintahan desa, yaitu:115
1. Kedudukan para kepala desa diakui resmi oleh pemerintah;
2. Jabatan kepala desa harus diperoleh melalui suatu pemilihan;
3. Pendapatan kepala desa dan pembatu-pembantunya akan
diperoleh berdasarkan adat yang diakui berlaku;
4. Pengelolaan pemerintah desa diserahkan kepada kepala
desa berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin
pelaksanaannya yang baik;
5. Ada sejumlah orang yang ditentukan untuk boleh ikut
berembug mengenai persoalan-persoalan desa;
6. Kepala desa akan mewakili desanya di luar maupun di dalam
pada setiap perkara hukum;

Ibid., hlm. 33.


114

Soetandyo Wignjosubroto, op.cit., hlm. 37.


115

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 83


7. Harta kekayaan komunal harus selalu dijaga dan dipertahankan
adanya;
8. Kerja-kerja wajib (tanpa dibayar) untuk kepentingan desa
memperoleh dasar pembenaran dan bahwa kemungkinan
akan danya pembebanan-pembebanan lain oleh desa masih
dibuka; dan
9. Pejabat yang berkedudukan lebih atas dapat turun tangan
untuk mengatur hal ikhwal yang berhubungan dengan
kewenangan yang ada pada kepala desa.

Ordonansi itu mengalami beberapa kali perubahan, masing-


masing dengan ordonansi yang dimaklumat di dalam S.1910-591,
S. 1913-235, dan S. 1919-217) dan pada tahun-tahun 1925, 1928,
dan 1929, berdasarkan Pasal 6 Instellingsordonanties Provinsi-
Provinsi Jawa Barat (S.1925-378), Jawa Timur (1928-295), dan
Jawa Tengah (S. 1929-227), IGO ini mengalami perubahan lagi
pada beberapa pasalnya sehubungan dengan dinyatakannya dalam
instellings ordonanties tersebut bahwa IGO dikecualikan berlakunya
untuk ressorten yang berada dalam lingkungan de staadsgemeenten.116
Meskipun berbagai peraturan yang muncul masih jauh dari
sempurna, tetapi dalam rangka perundang-undangan Hindia
Belanda semuanya telah berhasil menghilangkan keragu-raguan
tentang kedudukan Desa sebagai badan hukum, lebih dari posisi
Desa sekedar kesatuan komunal masyarakat. Peraturan telah
berhasil pula mengembangkan kemajuan kedudukan hukum
Desa sebagai pemilik harta benda.117 Bahkan, dengan pengaturan
tersebut eksistensi desa dengan segala adat, kebutuhan, dan
kepentingannya telah menyebabkan eksistensi dan otoritas kepala

Ibid., hlm. 33.


116

Soetardjo Kartohadikoesoemo, op.cit., hlm. 39.


117

84 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


desa pun, kini, menjadi semakin tegas dan kukuh.118 Lebih lanjut,
pada bagian lain Soetandjo Wignjosubroto menggambarkan efek
hukum dari keberadaan IGO bagi eksistensi desa sebagai berikut:
Namun bagi desa, dengan diundangkannya IGO, akan
berkonsekuensi lebih lanjut. Ketentuan IGO yang memberikan
pengakuan dengan jalan memberikan landasan sanksi legal-formal
kepada desa-desa (di Pulau Jawa dan Madura) pada akhirnya telah
menjadikan desa-desa tersebut semakin terintegrasi ke dalam
struktur pemerintahan kolonial. Dengan begitu, desa-desa akan
mudah dikontrol dalam suatu sistem patronase, untuk digerakkan
ke tujuan yang telah diprogram dari atas oleh pemerintah kolonial.119
Pengaturan tentang Desa seperti disebut di atas menimbulkan
perdebatan di kalangan akademisi maupun internal pemerintahan
kolonial.120 Misalnya, Van Deventer menyambutnya dengan
gembira. Menurut Van Deventer, dengan keluarnya peraturan
tentang Desa, hak Desa untuk mendapat dan menguasai milik
sendiri telah diberi dasar hukum. Berdasarkan hak itu Desa akan
dapat menyusun “pendapatan Desa” sendiri. Hal ini penting
berhubungan dengan hendak didirikannya sekolah Desa dan
lumbung Desa pada waktu itu. Sebaliknya Mr. Van Bockel dalam
Koloniale Studien tahun 1921 mengatakan, bahwa peraturan
itu merupakan sebuah tatapraja untuk Desa, yang dimasukkan
dengan paksa ke dalam suatu susunan yang asing baginya, dengan
tiada mengingat tingkat kecerdasan rakyat dan susunan tatapraja
dalam daerah. Van Vollenhoven berpendapat senada. Setelah
mengucapkan penghargaannya terhadap tujuan ordonansi di atas,

118
Soetandyo Wignjosubroto, op.cit., hlm. 36.
119
Ibid.
120
E.B. Sitorus, dkk, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa,
Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa, hlm. 43.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 85


yang bermaksud hendak menguatkan kedudukan Desa, maka ia
mencela bahwa dalam peraturan itu membuat ordonansi kurang
cukup mengindahkan sifat-sifat asli dari Desa di daerah Jawa,
Madura dan Pasundan. 121
Dalam konteks perdebatan di atas, akhirnya Islandsche
Gemeent Ordonantie tahun 1906 tidak berlaku untuk empat
daerah Swapraja di Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah-daerah
tadi, yang pada hakekatnya adalah daerah Negorogung di jaman
dahulu, dimana otonomi Desa karena percampuran kekuasaan
Raja antara lain disebabkan oleh apanage stelsel sejak 1755, telah
menjadi rusak, maka kedudukan Desa sebagai daerah hukum
otonom sudah rusak pula.122
Meski demikian, hukum asli yang menjadi pokok-pokok
dasar kebudayaan bangsa, meskipun telah terpendam dibawah
reruntuhan Desa asli selama ratusan tahun, setelah kesatuan Desa
sebagai daerah hukum itu di daerah Swapraja di Jawa dihidupkan
kembali, maka ia hidup kembali juga.
Begitu kuatnya, hingga waktu permulaan kemerdekaan di
daerah Yogyakarta muncul peraturan untuk menggabungkan Desa-
desa yang kecil-kecil menjadi kesatuan daerah yang lebih besar.
Peraturan itu mengalami kesulitan. Selain itu, sebagai penjelmaan
dari kesatuan daerah hukum itu barangkali belum diketahui umum,
bahwa daerah Yogyakarta penjualan tanah milik di Desa (malah
juga penggadaian) kepada seorang yang bukan penduduk Desa,
harus mendapat ijin dari rapat Desa.
Pada tahun 1912 pemerintah Pakualaman melancarkan
penataan Desa, tertanggal 18 Oktober 1912 untuk distrik Sogan,

Ibid.
121

Ibid.
122

86 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Kabupaten Adikarta, untuk penataan dimana ordonansi tahun
1906 dipakai sebagai model. Penataan itu diumumkan dalam
“Vaststelling van de gemeenteregeling en gemeentebestuursregeling in
het district Sogan kabupaten Adikarta”.
Pada tahun 1918 itu juga Kasultanan Yogyakarta oleh
Rijksbestuurder ditetapkan sebuah peraturan semacam itu.
Peraturan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 22.
Penataan Pakualaman tahun 1912 pun lalu diganti dan namanya
dalam bahasa Belanda disebut “Regelen betreffende het beheer en de
huishoudelijke belangen der inlandche gemeenten in het distriect Sogan
kabupaten Adikarta”, sama dengan peraturan buat Kasultanan.
Perubahan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No. 24.
Baik di Kasultanan dan Pakualaman, dalam tahun itu diluncurkan
peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian sementara,
pemecatan dari jabatan, tentang penghasilan dan kewajiban
pemerintah Desa. Peraturan ini unutk Kasultanan dimuat dalam
Rijksblad tahun 1918 No. 23, diubah dalam Rijksblad tahun 1925
No. 17 dan buat Pakualaman dimuat dalam Rijksblad tahun 1918
No. 25 diubah dalam Rijklsblad No. 17/1925.
Sedangkan daerah-daerah Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran tidak mempunyai peraturan serupa. Di daerah-
daerah itu berlaku peraturan-peraturan lain; bagi Kasunanan
termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 33; bagi Mangkunegaran
termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 14, yakni peraturan-
peraturan yang membagi daerah Kasunanan dan daerah
Mangkunegaran dalam sejumlah wilayah Desa. Menurut riwayat
pasal 71 Regeringsreglement 1854 memang yang hendak diatur
hanya kedudukan Desa di Jawa dan Madura. Beberapa tahun
kemudian pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa di luar
Jawa dan Madura ada juga daerah-daerah hukum seperti Desa-Desa

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 87


di Jawa. Karena itu, pemerintah kolonial juga menyusun peraturan
untuk mengatur kedudukan daerah-daerah itu semacam IGO yang
berlaku di Jawa dan Madura. Inlandsche Gemeente Ordonnantie
untuk Karesidenan Amboina termuat dalam S.1914 No-629 jo.
S.1917-223. Peraturan itu adalah Bepalingen met betrekking tot de
regeling van de huishoudelijke belangen der inlandsche gemeenten
in de residentie Amboina, diganti dengan peraturan yang memuat
dalam S.1923-471. Peraturan untuk Sumatera Barat termuat dalam
S.1918-667; mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1918 diganti
dengan peraturan termuat dalam S-1918-667 dan 774 dan dalam
S.1921-803. Untuk karesidenan Bangka termuat dalam S.1919-
453. Peraturan untuk karesidenan Palembang termuat dalam
S.1919-814; untuk Lampung termuat dalam S.1922-564; untuk
Tapanuli termuat dalam S.1923-469; untuk daerah Bengkulu
termuat dalam S.1923-470; untuk daerah Belitung termuat
dalam S.1924-75 dan untuk daerah Kalimantan Selatan dan
Timur termuat dalam S.1924-275; kemudian ditetapkan Hogere
Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten S.1938-490 jo.
S.1938-681.123
Berbagai peraturan itu tampak ambigu. Di satu sisi
pemerintah kolonial membuat peraturan secara beragam (plural)
yang disesuaikan dengan konteks lokal yang berbeda. Di sisi lain
berbagai peraturan itu tidak lepas dari kelemahan. Van Vollenhoven
selalu mengkritik bahwa peraturan-peraturan itu berbau Barat.124
Dengan berpegang pada ordonansi-ordonansi itu pemerintah
Hindia Belanda telah membentuk, kadang secara paksa, seperti
halnya di Belitung, daerah-daerah baru yang diberi hak otonomi,
dari masyarakat-masyarakat yang belum mempunyai kedudukan

Ibid., hlm. 46.


123

Ibid., hlm. 47.


124

88 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


sebagai masyarakat hukum; ataupun kesatuan-kesatuan masyarakat
yang dulu memang sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah
hukum, akan tetapi kemudian dirusak oleh kekuasaan Raja-raja
atau kekuasaan asing, sehingga hak otonominya telah hilang.
Desa-Desa seperti itu terdapat di daera daerah Swapraja di Jawa,
Belitung dan sebagian dari tanah-tanah partikelir. Desa-Desa
baru yang dibentuk atas dasar Inlandsche gemeente-ordonnantie
terdapat di daerah-daerah Sumatera Timur, Kalimantan, Bangka,
Belitung, Sulawesi Selatan, Swapraja di Jawa dan bekas tanah
partikelir. Daerah-daerah dimana masyarakat itu dahulu kala sudah
mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum yang otonom,
maka setelah kedudukan itu dihidupkan, maka pemerintah disitu
menurut syarat-syarat yang baru berjalan dengan lancar. Hal ini
dapat dimengerti sebab meskipun penduduk Desa itu sudah lama
tidak menjalankan kewajiban sebagai warga Desa yang otonom,
tetapi otonomi itu sudah berjalan secara turun-temurun dan
menjadi bagian erat dalam kebudayaan rakyat setempat. 125
Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 Januari 1941
menyampaikan rancangan Rancangan Desa-ordonannantie baru
kepada Volksraad. Ordonnantie itu kemudian ditetapkan pada
tanggal 2 Agustus 1941 (S. 1941-356). Substansi Desa Ordonanntie
baru berlainan dengan berbagai ordonansi sebelumnya. Prinsipnya
ialah supaya Desa diberi keleluasaan untuk berkembang menurut
potensi dan kondisinya sendiri. Untuk mencapainya, Desa tidak
lagi dikekang dengan berbagai peraturan-peraturan (regulasi) yang
mengikat dan instruktif. Berdasarkan atas prinsip itu dalam Desa
Ordonanntie baru dinyatakan perbedaan antara Desa yang sudah
maju dan Desa yang belum maju. Untuk Desa yang sudah maju,
pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad),
Soetardjo Kartohadikoesoemo, op.cit., hlm. 56.
125

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 89


sedang Desa untuk yang belum maju pemerintahan disusun tetap
sediakala yaitu pemerintahan dilakukan oleh Rapat Desa yang
dipimpin oleh kepala Desa yang dibantu oleh parentah Desa.
Selanjutnya dalam Desa Ordonnantie baru itu, pemerintah
hendaknya minimal mencampuri dalam rumah tangga Desa
dengan peraturan-peraturan yang mengikat, bahkan dalam
pemerintahan Desa itu diharuskan lebih banyak menggunakan
hukum adat.
Namun sampai pada waktu jatuhnya pemerintahan
Hindia Belanda Desa Ordonnantie itu belum bisa dijalankan.
Sejak lahirnya “otonomi baru” bagi Desa yang disajikan dalam
Inlandsche Gemeente-ordonnantie tahun 1906, maka berturut-turut
dengan segala kegiatan diadakan aturan-aturan baru tentang “kas
Desa”, tentang “lumbung Desa”, “bank Desa”, “sekolah Desa”,
“pamecahan Desa”, “bengkok guru Desa” “bale Desa”, tebasan
pancen dan pajak bumi, “seribu satu aturan berkenaan dengan
(mengatur, mengurus, memelihara dan menjaga keamanan hutan),
yang semuanya itu menimbulkan satu akibat yaitu menambah
beban rakyat berupa uang dan tenaga. Padahal berbagai aturan
itu umumnya bukan hanya tidak dimengerti oleh rakyat Desa,
akan tetapi juga disangsikan akan manfaatnya bagi rakyat Desa,
malah sebagian besar nyata-nyata sangat bertentangan dengan
kepentingan Desa dan melanggar hak-hak asasi.

B. PADA MASA PEMERINTAHAN BALATENTARA JEPANG


1. Sistem Pemerintahan Daerah
Pada masa pendudukan militer Jepang, To Indo dikuasai oleh
tiga divisi besar tentara pendudukan yang berbeda. Wilayah Jawa
dikuasai oleh Divisi XVI Angkatan Darat (Gunseikanbu Jawa)

90 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang berpusat di Jakarta. Wilayah Sumatera dikuasai oleh Divisi
XXV Angkatan Darat (Gunseikanbu Sumatera) yang berpusat
di Bukittinggi. Sedangkan wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku, dan Papua dikuasai oleh Angkatan Laut
(Minseibu/Kaigun) yang berpusat di Makassar.
Khususnya Jawa, pemerintahan tertinggi berada di tangan
Saikoo Sikikan (Gunsereikan). Nomenkaltur daerah diganti
menurut bahasa Jepang. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan.
Begitu pula dengan Locale Raad-nya dibekukan/dibubarkan. Pada
masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:
a. Syuu (karesidenan) dipimpin oleh Syuutyookan;
b. Si (kota)/Ken (kabupaten) dipimpin oleh Sityoo/Kentyoo, Gun
(distrik) dipimpin oleh Guntyoo;
c. Son (kecamatan) dipimpin oleh Sontyoo; dan
d. Ku (desa) dipimpin oleh Kutyoo.

Daerah dengan kedudukan Zelfbesturende Lanschappen atau


daerah swapraja diganti nomenklaturnya menjadi Kooti. Daerah
ini masih diperkenankan memiliki pemerintahan sendiri, namun
dengan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintahan militer
dengan menempatkan pejabat Kooti-Zimukyoku-tyookan.
Jepang menjadikan semua tingkat pemerintahan tersebut
sebagai daerah administratif. Jadi, daerah-daerah otonom yang telah
dibuat pada masa Hindia Belanda dijadikan daerah administrasi.
Baru pada masa akhjir kekuasaannya, Jepang menghidupkan
kembali daerah otonom, khususnya di daerah Syuu dan Syi.
Bersamaan dengan itu Jepang kembali menghidupkan Locale Raad
dengan nomenklatur Syuu Sangi-kai bagi Syuu dan Tokubetsu Si
Sangi-kai bagi Si.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 91


2. Pengaturan Desa
Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai
Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal
1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan
Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala
Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang
berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat
lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk
masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh
Syuucookan.126 Selanjutnya menurut E.B. Sitorus, pada jaman
penjajahan Jepang, Desa ditempatkan di atas aza (kampung,
dusun) yang merupakan institusi terbawah.127 Pada pendudukan
Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah
pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat desa
dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi,
seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa
difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman
yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah
Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan)
pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan
Amir (mengerjakan urusan agama).

Bayu Surianingrat, 1985, hlm. 189-190.


126

Op.cit., hlm. 46.


127

92 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB V

PENGATURAN DESA DALAM KURUN


WAKTU PERTAMA BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
(18 AGUSTUS 1945 – 27 DESEMBER 1949)

A. PEMBENTUKAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG


DASAR 1945
Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi perhatian awal
menyusul lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945.
Pada bab IV Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur
masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,


dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Mengenai substansi Pasal 18 tersebut, kami sepenuhnya


setuju dengan penafsiran yang diberikan oleh Hanif Nurcholish,
sebagai berikut:

93
Inti Pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia terdapat
pemerintahan daerah. Pemerintahan tersebut meliputi daerah besar
dan daerah kecil. Pemerintah daerah yang dibentuk tersebut baik
dalam daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan
dua hal: (i) dasar permusyawaratan; dan (ii) hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa. Yang dimaksud dengan harus
memperhatikan dasar musyawarah adalah pemerintahan daerah
harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya ada musyawarah
dalam dewan perwakilan rakyat. Sedangkan yang dimaksud
dengan harus memperhatikan hak asal-usul dalam daerah yang
bersifat istimewa adalah, pemerintah daerah yang dibentuk tidak
boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang
pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut
zelfbesturende landschappen dan kesatuan masyarakat hukum
pribumi seperti desa, nagari, marga, dan lain-lain, yang disebut
volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen atau
dorfgemeinschapten.128

Lebih lanjut mengenai tidak akan dihapusnya daerah-daerah


yang mempunyai asal usul istimewa yang meliputi meliputi
zelfbesturende landschappen (daerah swapraja semacam Kesultanan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Goa) dan
volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen atau inlandshe
gemeente atau dorfgemeinschapten berupa kesatuan masyarakat
hukum pribumi (adat/asli) seperti desa di Jawa, nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera Selatan, gampong di Aceh, kuria
di Tapanuli, dan kampung di Kalimantan Timur, Hanif Nurcholish
menyatakan sebagai berikut:

128
Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 48-49.

94 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Daerah-daerah ini telah memiliki tata cara sendiri dalam mengatur
perikehidupan sosialnya seperti mengatur sistem pemerintahannya,
sistem ekonominya, sistem keamanannya, dan sistem sosial
budayanya. Semua dikembangkan sendiri secara mantap dan
langgeng. Daerah tersebut diakui dan diberi hak untuk tetap
mengatur urusan rumah tangganya sendiri. 129

Dalam bagian penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar


1945 dinyatakan bahwa:

”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250


Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen,
seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dinyatakan
juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut”.

Untuk Volksgemeenschappen Penjelasan Pasal 18 UUD 1945


tidak menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan
contoh yaitu Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Zelfbesturende Landschappen
dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara
keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau
swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara
hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di atas

Ibid., hlm. 56.


129

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 95


Volksgemeenschappen. Meski desa-desa di Jawa hanya merupakan
salah satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam
penjelasan pasal 18 UUD 1945, namun istilah “Desa” digunakan
sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Desa
telah menjadi istilah yang digunakan tidak hanya di pemerintahan
dalam negeri, tetapi juga digunakan di lingkungan akademik
khususnya dalam ilmu-ilmu sosial.
Konsep pemikiran mengenai pemerintahan daerah di dalam
Sidang BPUPKI berkembang secara dinamis. Beberapa ide yang
muncul antara lain dari Muh. Yamin, Supomo, dan Hatta. Dari
sidang-sidang dihasilkan beberapa hasil antara lain: (i) Negara
Indonesia akan berbentuk Republik, (ii) Wilayah Negara akan
meliputi Hindia-Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua
(Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya, (iii) Negara
Indonesia akan berbentuk Kesatuan, (iv) Negara Indonesia akan
dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil, yang mana di
daerah besar dan kecil itu akan diadakan dewan permusyawaratan
daerah, (v) Zelfbestuur/Kooti (daerah swapraja) akan berkedudukan
sebagai daerah otonom khusus bukan lagi sebagai negara, dan
(vi) Susunan asli pemerintahan zelfbestuurende landschappen dan
volksgemeinschaften akan dihormati dan diperhatikan.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) Soepomo kembali menjelaskan susunan dan kedudukan
daerah. Pemerintahan daerah akan disusun dalam Undang-Undang.
Dalam pemerintahan daerah akan bersifat permusyawaratan
dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah. Zelfbestuurende
Landschappen (Kooti, Sultanaat) akan berkedudukan sebagai daerah
istimewa (daerah yang mempunyai sifat istimewa, mempunyai
susunan asli) bukan sebagai negara karena hanya ada satu negara.
Daerah istimewa itu akan menjadi bagian dari Staat Indonesia

96 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dan akan dihormati susunan asli pemerintahannya. Zelfstandige
gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti desa,
nagari, marga dan sebagainya akan dihormati susunan aslinya.
Suasana sidang pembahasan Pemerintahan Daerah di Indonesia
berlangsung dengan hangat dan berkembang secara dinamis.

B. DINAMIKA LEGISLASI
1. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
a. Sistem Pemerintahan Daerah
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang
yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan
yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain
itu digunakan pula aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan
sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. Sidang PPKI pada 19
Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan
pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan
yang sudah ada.
Dalam konteks ini, PPKI hanya menetapkan adanya Komite
Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah
seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh
PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-
provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-
karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur.
Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan
Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite
Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan
daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 97


demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah
administratif dan belum mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya
provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/
Daerah Swapraja) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan
dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih
lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup
wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Daerah
Swapraja). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan
pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang
disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada pada
masa itu adalah:
(a) Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh
Jepang);
(b) Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang);
(c) Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang,
pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente/
Stadsgemeente);
(d) Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang);
(e) Kecamatan (disebut Son oleh Jepang); dan
(f ) Desa (disebut Ku oleh Jepang).

Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut


Otonomi bagi daerah baru dirintis. Ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada 3 (tiga) jenis
daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom,
dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali
daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan
dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan

98 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan
daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan
dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari
dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah
dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua
daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah.
Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya Papua), Nusa
Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan
dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati (1947).
Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka,
Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah
bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus
dilepaskan dengan Perjanjian Renville (1948).

b. Pengaturan Desa
Pada bab IV Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,


dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa:

”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250


Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen,
seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 99


mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Selanjutnya dinyatakan
juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut”.

Untuk Volksgemeenschappen Penjelasan Pasal 18 UUD 1945


tidak menyebutkan jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan
contoh yaitu Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Zelfbesturende Landschappen
dan Volksgemeenschappen diberlakukan sama namun antara
keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen atau
swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara
hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di atas
Volksgemeenschappen. Meski desa-desa di Jawa hanya merupakan
salah satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam
penjelasan pasal 18 UUD 1945, namun istilah “Desa” digunakan
sebagai istilah yang menggantikan istilah Volksgemeenschappen.
Mencermati substansi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
dan Penjelasan seperti dikutip dan dikemukakan di muka, maka
dijumpai bahwa, ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
tidak secara tegas memuat atau menyebut istilah “Desa”, akan
tetapi ada anak kalimat “pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan daerah kecil.” Hal ini berbeda degan rumusan angka
Romawi II dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang
tegas menyebutkan adanya “Desa”, satu nafas dengan identifikasi
Soepomo (tetapi tidak menyebutkan sumber dengan jelas, dan
pembaca sama sekali tidak mengetahui maknanya, apakah sebagai
sebuah ilustratif, ataukah penegasan berdasarkan kondisi empiris)

100 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


adanya tidak kurang dari 250 Zelfbesturendelandschappen dan
Volksgemenschappen.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 belum
mengatur secara meyakinkan mengenai bagaimanakah kedudukan
desa dalam kontur kenegaraan. Nampaknya pembentuk undang-
undang, yang memperoleh pengaruh kuat dari Prof. Soepomo
(Menteri Kehakiman), memandang perlu untuk mengabaikan
fokus perhatian kepada desa, dan bahkan tidak mau menyinggung
soal bagaimanakah kedudukan desa dan substansi kewenangannya
berkaitan dengan susunan pemerintahan daerah. Klausula bahwa
sasaran desentralisasi juga mencakup “daerah-daerah lain yang
dipandang perlu oleh menteri dalam negeri” sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, menjadi
titik awal permasalahan tersebut. Dinyatakan di sana, bahwa salah
satu prinsip pelaksanaan desentralisasi adalah mempunyai “harta
benda dan penghasilan sendiri” (eigen middlen). Untuk daerah
di bawah kabupaten, termasuk desa, maka sulit sekali diberikan
otonomi dengan prinsip eigen middlen tersebut. Jika kepada desa
dijadikan juga sasaran desentralisasi, maka desa dapat memungut
pajak kendaraan dan rooiver gunningen, maka kabupaten tidak akan
memungut lagi pajak-pajak itu dari obyek yang sama. Alasan lain
yang dikemukakan adalah menilik pandangan Menteri Kehakiman
Prof. Soepomo, yang berkeberatan jika otonomi akan menjangkau
desa, karena akan merusak “bangunan-bangunan” (adatinstituten),
maksudnya adalah sifat susunan kemasyarakatan yang berdasarkan
hukum adat, sehingga membuka potensi untuk munculnya
kekalutan dalam masyarakat. Pembentuk undang-undang juga
berkeyakinan bahwa otonomi desa menurut undang-undang
tersebut tidak sama dengan adatrechtelijke autonomie, otonomi
pada masyarakat hukum adat.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 101


Dari uraian tersebut kiranya dapat dipahami bahwa desa
dalam pelaksanaannya dianggap sebagai salah satu bentuk Daerah
Otonom di samping Karisidenan, Kabupaten, dan Kota Otonom.
Desa sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah
tangga pemerintahannya sendiri selama tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut
Moh. Mahfud M.D., lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 disebabkan oleh 3 (tiga) faktor politik yaitu:130
(a) Secara umum untuk menertibkan Komite Nasional Indonesia
Daerah;
(b) Membuka jalan bagi pemerintah pusat untuk melakukan
pengawasan terhadap Komite Nasional Indonesia Daerah;
dan
(c) Untuk menjamin keserasian dalam pelaksanaan kegiatan
antara pusat dan daerah.

Karena isinya terlalu sederhana, Undang-undang Nomor


1 Tahun 1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa
perlu membuat undang-undang baru yang lebh sesuai dengan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itu pemerintah
menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui
berbagai perundingan, rancangan undang-undang ini akirnya
disetujui Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang
pada tanggal 10 Juli 1948 lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 Tentang Pemerintahan Daerah.

130
Moh. Mahfud M.D., 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES,
hlm. 104.

102 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


2. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
a. Sistem Pemerintahan Daerah
Ketentuan Bab 2 pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur
rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu
daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah-daerah
ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar,
serta Desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerah-
daerah dalam 3 (tiga) tingkatan itu menjadi lampiran undang-
undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak
asal-usul yang di zaman sebelum Republik Indonesia I mempunyai
pemerintahan yang bersifat istimewa.
Menurut Soehino, meskipun Undang-Undang tersebut
dianggap sebagai pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945, akan tetapi ia mengkritik substansi undang-undang tersebut
karena mengandung minimal 3 (tiga) hal sebagai berikut.131
(1) Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
beserta penjelasannya, tegas menghendaki dilaksankannya
asas desentralisasi yaitu dibentuknya daerah-daerah otonom
(daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri) dan dilaksanakan asas dekonsentrasi, yaitu
dibentuknya daerah-daerah administratif. Tetapi dari bunyi
konsideran Undang-Undang tersebut 132 berikut pasal-
pasalnya, hanya mengatur daerah otonom saja. Hanya

Soehino, op.cit., hlm. 26-28.


131

Konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, bagian menimbang berbunyi,


132

“Bahwa perlu ditetapkan Undang-Undang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar, yang


menetapkan pokok-pokok pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (kursif dari saya, Isharyanto).

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 103


saja, keberadaan daerah administratif ditentukan statusnya
menurut Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 yang menyatakan daerah-daerah administratif yang ada
pada waktu berlaunya undang-undang ini, terus berdiri sampai
dihapuskan.
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga bercita-cita
menghapuskan pemerintahan pamong projo, yang di masa
Hindia Belanda disebut “pangreh praja”, supaya di daerah
tidak terdapat adanya dualisme pemerintahan. Sebab pada
waktu itu di samping Pemerintah Daerah yang berdasarkan
perwailan rakyat (Dewan Perwakilan Daerah dan Badan
Eksekutifnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan
oleh Kepala Daerah sendiri.133
(3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dibentuk
berdasarkan dan untuk melaksanakan Pasal 18 Undang-
Undang dasar 1945, dengan demikian sistem pemerintahan di
daerah menurut undang-undang tersebut harus menyesuaikan
diri dengan sistem pemerintahan pusat menurut Undang-
Undang Dasar 1945. Tetapi oleh karena Undang-Undang
itu disusun setelah berlakunya Maklumat Pemerintah tanggal
14 November 1948, maka lebih menyesuaikan diri dengan
sistem pemerintahan menurut maklumat tersebut.

Saya sendiri tidak sependapat dengan uraian Soehino


di atas. Menurut saya, menilik setting sosial pada waktu
penyusunan Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan
membandingkan dengan risalah yang berkembang saat pembahasan
Pasal 18 dalam sidang BPUPKI, maka substansi undang-undang
tersebut merupakan yang benar-benar sesuai dengan kerangka

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 angka II butir 10.


133

104 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang digariskan konstitusi. Kerangka tersebut adalah bahwa untuk
pelaksanaan pemerintahan daerah menurut batas dan asas yang
ditetapkan oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya,
untuk keberatan yang ketiga, harus diberikan catatan bahwa amat
tergesa-gesa untuk menetapkan bahwa sistem pemerintahan di
daerah haruslah mengikuti sistem pemerintahan di tingkat pusat.
Istilah “pemerintahan di daerah” sebagai local government mencakup
makna yang luas yang meliputi: (i) organ pemerintahan; (ii)
pelaksanaan fungsi pemerintahan; dan (iii) daerah otonom. Dalam
konteks ini, “pemerintahan daerah” menurut garis politik Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan “daerah otonom”,
bukan sebagai entitas subsistem pemerintahan di tingkat pusat.
Adapun pemerintahan daerah itu lahir dan dibentuk untuk
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat untuk menjadi urusan rumah tangga menurut
kebutuhan dan prakarsa daerah yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, pembentukan pemerintahan daerah umumnya diatur dalam
undang-undang, sebagai jabaran the directive of principles di dalam
konstitusi. Ketika mengatakan bahwa Undang-Undang itu disusun
setelah berlakunya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1948, maka lebih menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan
menurut maklumat tersebut, Soehino tidak menyebutkan secara jelas
bagian-bagian mana dari ketentuan undang-undang itu yang tidak
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, juga sebaliknya, tidak
memberikan keterangan apapun bagian mana dari undang-undang
yang sesuai dengan Maklumat 14 November 1945 tersebut.
Pada sisi lain, memang benar Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 ingin menghapuskan dualisme pemerintahan daerah.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah dualisme itu muncul karena
penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang terlihat

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 105


dalam 3 (tiga) dimensi yaitu jenis pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, dan peraturan perundang-undangan.134
(i) Jenis Pemerintahan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
ada 2 (dua) jenis pemerintahan di daerah yaitu pemerintahan
yang memiliki Komite Nasional Indonesia Daerah dan
pemerintahan lainnya yang tidak memiliki Komite Nasional
Indonesia Daerah. Untuk kategori pertama merupakan
pemerintahan daerah otonom yang berhak mengatur urusan
rumah tangga sendiri, yaitu karisidenan, kota, kabupaten,
atau daerah lain yang mendapatkan persetujuan menteri
dalam negeri (Pasal 1). Sedangkan provinsi (kecuali di
Sumatera), kawedanan, dan kecamatan tidak mempunyai
Komite Nasional Indonesia Daerah dan diperlakukan sebagai
daerah administratif.
(ii) Penyelenggaraan Pemerintahan
Peyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1945 terbelah karena ada 2 (dua)
jenis penyelenggaraan. Pertama, pemerintahan yang dilakukan
bersama-sama oleh Komite Nasional Indonesia Daerah,
badan eksekutif, dan kepala daerah. Kedua, penyelenggaraan
urusan pemerintahan lainnya dilakukan oleh kepala daerah
dan lepas dari Komite Nasional Indonesia Daerah.
(iii) Peraturan Perundang-undangan.
Di samping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
juga berlaku peraturan perundang-undangan peninggalan
zaman Belanda, yang disebutkan dengan tegas dalam

Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah..., op.cit., hlm. 187-193.


134

106 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Penjelasan Undang-Undang. Peraturan peninggalan Belanda
itu selalu dualistik, karena membedakan sasaran pengaturan
untuk Jawa dan Madura, serta luar Jawa dan Madura.

b. Pengaturan Desa
Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
menentukan satu macam pemerintahan di daerah yaitu satuan
pemerintahan daerah otonom. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang ini menetapkan bahwa daerah tersusun dalam tingkatan
yaitu provinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil).
Sedangkan dalam angka 2 disebutkan daerah otonom lain yaitu
“daerah istimewa”, ialah daerah mempunyai hak-hak asal usul sejak
zaman sebelum proklamasi kemerdekaan.
Ketentuan mengenai bentuk dan susunan pemerintahan
daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
menampakkan hal-hal sebagai berikut.
(i) Tidak menganut dualisme pemerintahan secara luas karena
hanya ada satu macam satuan pemerintahan daerah yaitu
pemerintahan daerah otonom.
(ii) Desa merupakan salah satu tingkatan daerah otonom sebagai
satuan pemerintahan daerah.
(iii) Desa, yang di masa Hindia Belanda dikenal inlandshe gemeente
atau volksgemenschappen ditegaskan berbeda dengan daerah
istimewa lainnya yaitu daerah mempunyai hak-hak asal usul
sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan, yang similiar
dengan daerah swapraja (zelfbestuurende landschappen).

Jadi, undang-undang menetapkan desa sebagai daerah


otonom dari bentuk dan susunan pemerintahan daerah. Hal ini

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 107


menunjukkan bobot perhatian yang besar dari pembentuk undang-
undang mengenai desa. Selanjutnya, karakteristik pengaturan desa
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 adalah sebagai
berikut.135
(i) Dengan desa dimaksudkan daerah terdiri dari suatu atau lebih
dari satu desa (di Sumatra : negeri, marga, dan sebagainya)
yang digabungkan, hingga merupakan suatu daerah yang
mempunyai syarat-syarat cukup untuk dapat berdiri menjadi
daerah otonom, yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
(ii) Desa-desa yang sekarang (maksudnya saat undang-undang
itu ditetapkan) merupakan satu kecamatan di Jawa, atau
beberapa desa besar dapat digabungkan dan dibentuk sebagai
desa otonom.
(iii) Sementara di Sumatra mengingat luasnya daerah negeri,
marga, desa dansebagainya akan diselidiki lebih lanjut tentang
kemungkinannya dibentuk sebagai daerah desa otonom.
(iv) Pembentukan desa otonom akan dijalankan berangsurangsur,
jadi tidak serentak, oleh karena memperlukan penyelidikan
keadaan di daerah yang seksama.
(v) Kota kecil dapat pula dibentuk sebagai daerah otonom
terbawah. Dalam pembentukan jika perlu dapat pula
daerahnya diperluas dengan beberapa daerah desa biasa.
(vi) Dalam lingkungan desa atau kota kecil yang berotonomi
dengan sendirinya sudah tidak terdapat lagi desa biasa yang
mempunyai pemerintahan sendiri, sebab desa atau kota kecil
itu adalah pemerintahan daerah yang terbawah.

Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.


135

108 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(vii) Desa-desa dalam lingkungan daerah kabupaten yang
belum digabungkan menjadi desa otonom dan yang hak
“otonominya” ditetapkan dalam Desa Ordonantie S.1906
No.83 di Jawa, Madura dan di Sumatra dalam beberapa
ordonnantie akan diatur kedudukannya dalam Undang-
undang.

Apabila diperhatikan, maka penetapan desa atau dengan nama


lain sebagai bagian dari bentuk dan susunan pemerintahan daerah
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 masih ambigu.
Hal ini disebabkan oleh 4 (empat) alasan. Pertama, “desa” atau nama
lain, yang merupakan inlandshe gemeente atau volksgemenschappen
mempunyai sebutan lain yaitu kota kecil, jadi bukanlah “desa”
dalam pengertian Hindia Belanda dulu. Kedua, “desa” dalam
undang-undang merupakan “kota kecil” karena harus merupakan
gabungan dari desa atau nama lain hingga merupakan suatu daerah
yang mempunyai syarat-syarat cukup untuk dapat berdiri menjadi
daerah otonom, yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Ketiga, “desa” yang ada tidak otomatis menjadi
desa otonom, karena di samping harus merupakan gabungan suatu
daerah sehingga membentuk kota kecil, juga pembentukannya
akan dilaksanakan bertahap, melalui penyelidikan yang mendalam,
dan dilakukan secara berangsur-angsur. Keempat, “desa otonom”
sebagai peninggalan tata pemerintahan Hindia Belanda menurut
IGO, tidak diakui sebagai desa otonom sebagai bagian dari bentuk
dan susunan pemerintahan daerah karena masih akan ditetapkan
lebih lanjut dengan undang-undang.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 109


BAB VI

PENGATURAN DESA DALAM KURUN


WAKTU KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA SERIKAT 1949

A. PEMBENTUKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


SERIKAT
Setelah proklamasi kemerdekaan, republik memperoleh
ujian berat yaitu dengan upaya Belanda untuk menjajah kembali
Indonesia. Hanya saja Belanda menyadari bahwa untuk keperluan
itu, format Hindia Belanda tidaklah lagi dapat dipertahankan.
Untuk itu dilakukan pemecahbelahan melalui pembentukan negara
federasi.
Upaya-upaya untuk menyusun federasi sebenarnya sudah
dilakukan sejak penyerahan wewenang dari Sekutu kepada Belanda
wilayah-wilayah Kalimantan, Indonesia Timur, dan daerah-
daerah lain di luar Jawa dan Madura, melalui Konferensi Malino
(Sulawesi Selatan) yang diprakarsai oleh van Mook (Juli 1946).
Dalam konferensi itu, Belanda mengusulkan suatu struktur yang
bertingkat-tingkat. Kerajaan Belanda, akan terdiri Nederland,
Federasi Indonesia, Suriname, dan Curacao. Federasi Indonesia
akan terdiri atas: (i) Negara Republik Indonesia (Jawa); (ii) Negara
Sumatera; (iii) Negara Kalimantan (Kalimantan Timur, Kalimantan

111
Selatan, dan Kalimantan Tengah); dan (iv) Negara Indonesia Timur
(Sulawesi/Maluku Utara, Nieuw Guinea/Maluku Selatan, dan
Kepulauan Sunda Kecil).
Konferensi itu dilanjutkan dengan Konferensi Pangkal
Pinang (Bangka) untuk golongan minoritas Eropa, Indo, Cina, dan
Arab, yang menyetujui resolusi Malino dan kemudian diadakan
konferensi lagi Denpasar, Bali, yang sekaligus mendeklarasikan
Negara Indonesia Timur (1946). Selanjutnya, dengan tekanan
Belanda, berturut-turut dibentuk Negara Sumatera Timur (1947)
dan Negara Madura (1948), Negara Pasundan, Negara Sumatera
Selatan dan Negara Jawa Timur (1948). Pada Maret 1948, semua
negara ini akan membentuk Bijeenkomst voor Federale Overleg
(BFO).
Sebelum pembentukan daerah-daerah itu berlangsung, pada
tanggal 15 November 1946 Belanda bersedia membuat persetujuan
dengan pemerintah Republik Indonesia di Linggajati, yakni bahwa
mereka secara de facto mengakui keberadaan republik di Jawa dan
Sumatera. Kecuali itu, di dalam persetujuan itu disebutkan juga
bahwa daerah-daerah yang diduduki Belanda secara berangsur-
angsur paling lambat 1 Januari 1949 akan dimasukkan ke wilayah
republik, hanya saja disebutkan bahwa Belanda dan Republik
Indonesia akan membentuk negara federal bernama Indonesia
Serikat yang akan merupakan bagian dari Uni Indonesia-Belanda
di bawah mahkota Kerajaan Belanda.
Parlemen Belanda (Staten Generaal) baru meratifikasi
perjanjian itu pada 20 Desember 1946, dengan serangkaian tafsir
dan syarat tambahan, sedangkan Komite Nasional Indonesia Pusat
baru meratifikasi pada awal Maret 1947. Tetapi Perjanjian Linggajati
itu tidak efektif, karena Belanda kemudian melakukan agresi militer
pada Juli 1947, yang memancing Dewan Keamanan Perserikatan

112 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Bangsa-Bangsa bereaksi keras, sehingga mempertemukan Belanda
dan Republik Indonesia pada 17 dan 19 Januari 1948 di atas kapal
Renville milik Amerika Serikat di Jakarta. Kedua pihak mencapai
kesepakatan, populer disebut Perjanjian Renville, yang antara lain
mengisyaratkan bahwa seluruh Jawa Barat, kecuali Banten, di
bawah kekuasaan Belanda, dengan catatan dalam jangka waktu
enam hingga duabelas bulan akan diadakan plebisit (pemungutan
suara) untuk menentukan apakah daerah itu bergabung dengan
republik atau menjadi bagian Indonesia Serikat. Perjanjian
Renville itu sendiri mengurangi kekuasaan Republik Indonesia
atas teritorial negara, karena pada 27 Mei 1947 Perdan Menteri
Sjahrir dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin pada 3 Juli 1948
telah memberi konsesi kepada Belanda dengan menghapus secara
formal provinsi-provinsi republik di Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara. Akibat perjanjian itu, maka Jawa Barat juga
harus diserahkan kepada Belanda, yang memperkokoh kekuasaan
Belanda untuk mendorong pembentukan Negara Pasundan.
Tetapi, setelah peristiwa pemberontakan Partai Komunis
Indonesia di Madiun dapat ditumpas oleh tentara dibawah
supervisi Kabinet Hatta, Belanda melakukan agresi militer
pada 19 Desember 1948 dan berhasil menduduki ibukota
negara di Jogjakarta, serta menawan Presiden, Wakil Presiden,
dan sejumlah menteri. Karena simpati negara seperti India dan
Australia, ditambah tekanan Amerika Serikat kepada Belanda,
maka disusunlah berbagai kesepakatan yang berpuncak kepada
pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dari
23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Kemudian, pada 27
Desember 1949, Kerajaan Belanda resmi mengakui kedaulatan
republik dalam bentuk Republik Indonesia Serikat. Pengakuan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 113


kedaulatan itu juga menjadi penanda berlakunya Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENGATURAN


DESA
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 tentang
pembagian penyelenggaraan pemerintahan antara Republik
Indonesia Serikat dengan Daerah-Daerah Bagian diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) yang menentukan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan tentang pokok-pokok yang terdaftar dalam lampiran
Konstitusi ini dibebankan semata-mata kepada Republik Indonesia
Serikat. Jadi, menurut pengaturan tersebut, urusan-urusan yang
menjadi wewenang negara Republik Indonesia Serikat dimuat
dalam suatu lampiran mengenai ketentuan pembagian urusan
itu, yaitu pada Pasal 51. Dalam lampiran itu ternyata tidak ada
penyebutan mengenai pemerintahan di daerah. Juga pengaturan
mengenai daerah-daerah swapraja menjadi wewenang negara
bagian, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949. Sesuai dengan ketentuan Pasal
64, Daerah-daerah swapraja yang sudah ada diakui. Untuk lebih
jelasnya, di bawah ini dikutipkan ketentuan Pasal 65 sebagai
berikut.

Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas


dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan
pengertian bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang
diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah swapraja
bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa
swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari
daerah-daerah swapraja yang sudah ada, dapat dihapus atau

114 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk
kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang
menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan
atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah
daerah-daerah yang bersangkutan.

Menurut Soehino, hingga berakhirnya Negara Republik


Indonesia Serikat, ketentuan Pasal 64 dan Pasal 65 itu tidak
pernah dilaksanakan dalam praktik.136 Walaupun secara tersurat
tidak ada pengaturan mengenai pemerintahan daerah, tetapi Pasal
47 Konstitusi Republik Indonesia Serikat mencakup juga hal
pemerintahan di daerah meskipun hanya dalam garis besarnya.
Pasal 47 menetapkan bahwa:

Peraturan-peraturan ketetanegaraan negara-negara haruslah


menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai
persekutuan rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan
harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal
itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan
persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonom.

Lebih lanjut, Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga


tidak menyinggung sama sekali masalah Desa. Menurut Aan
Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, hal itu disebabkan karena:
(i) secara politik Indonesia mendapatkan tekanan internasional
dengan piagam persetujuaannya; dan (ii) secara geografis perbedaan
antara lokasi desa satu dengan lokasi desa lain cukup signifikan
dan ditunjang oleh belum berkembangnya alat komunikasi dan
trasnportasi seperti sekarang.137 Hal ini diperkuat dalam ketentuan

Soehino, op.cit., hlm.


136

Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, 2006, Rekonstruksi Politik Hukum
137

Pemerintahan Desa dari Desa Terkooptasi dan Marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratis,

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 115


Pasal 2 yang menyatakan bahwa daerah Republik Indonesia Serikat
mencakup: (i) Negara Republik Indonesia dengan daerah-daerah
menurut status quo seperti tersebut dalam Persetujuan Renville
tanggal 17 Januari 1948; (ii) satuan-satuan kenegaraan yang tegak
sendiri; dan (iii) Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan
daerah-daerah bagian.

Malang, Penerbit Sekretariat Penguatan Otonomi Desa Fakultas Ekonomi Universitas


Brawijaya, hlm. 51.

116 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB VII

PENGATURAN DESA PADA MASA BERLAKUNYA


UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950

A. TERBENTUKNYA KEMBALI NEGARA KESATUAN


Dalam negara Republik Indonesia Serikat, Republik
Indonesia yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32
negara bagian yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom.
Kondisi itu terlihat karena secara administrasi Republik Indonesia
(di Jogjakarta) tidak bergantung kepada Republik Indonesia
Serikat. Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa
sebelumnya. Pembentukan negara-negara bagian di berbagai
wilayah Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya
tidakpernah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia
(di Jogjakarta). Tindakan yang kemudian diambil oleh
Pemerintah Republik Indonesia (di Jogjakarta) adalah mendirikan
pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari
desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Untuk menunjukkan eksistensi republik di daerah yang
kemudian dikenal sebagai Bijenkomst voor Federaal Overleg
(BFO), dikirim uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Dengan
tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, republik masih

117
eksis di wilayah BFO.138 Faktor lainnya adalah prestise Republik
Indonesia yang tinggi karena dianggapsebagai pemenang perang
dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat
dengan terjaminnya law and order di wilayah Republik Indonesia
(di Jogjakarta), kelancaran administrasi pemerintahan, dan
korupsi yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara
bagian lainnya.
Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat
dan terus dipelihara dalam tubuh Pemerintahan dan Negara
Republik Indonesia (di Jogjakarta) untuk mengembalikan bentuk
negara kesatuan di Indonesia. Hal itudapat diketahui dengan
ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai
negara kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia
dalam program kabinet Dr. A. Halim, Perdana Menteri
Republik Indonesia (di Jogjakarta).
Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul
karena dua kejadian.139 Pertama, ditariknya kekuatan militer
Belanda di negara bagian yang tergabung dalam BFO. Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, kondisi tersebut menyebabkan
dibebaskannyaribuan tahanan politik yang sangat pro-republiken
dari berbagai penjara. Semua kondisi itu menyebabkan
kekuatan gerakan persatuan menjadi lebih besar. Gerakan
yang menentangnyahanya muncul di tempat-tempat di mana
sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk Nederlandsch
Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.

138
Meutia Farida Swasono, 1980, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Jakarta,
Penerbit Sinar Harapan, hlm. 184-187.
139
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press, , hlm. 572.

118 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Kuatnya gerakan persatuan itu kemudian semakin
bertambah kuat karena mayoritas masyarakat negara bagian juga
tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-
negara bagian sangat tidakmemiliki dukungan yang kuat,
kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai
melepaskan kontrolnya atas negara-negara bagian maka rakyat
negara bagian itu bergerak menuntut untuk kembali kepada
Republik Indonesia (di Jogjakarta). Dengan kondisi itu, maka
kejatuhan negara-negara bagian tinggal menunggu waktu saja.
Oleh karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul
gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerahnya
atau negara bagiannya. Gerakan semacam itu kemudian menuntut
agar daerahnya digabungkan kepada Republik Indonesia Serikat.
Negara bagian pertama yang secara resmi bergabung kembali
dengan Republik Indonesia adalah Negara Bagian Sumatera
Selatan. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 44 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949, ditetapkan Undang-Undang
Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan dari Wilayah Republik Indonesia Serikat pada
9 Maret 1950. Selanjutnya, diadakan pemungutan suara bagi
persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura
ke dalam Republik Indonesia. Setelah itu, berbagai daerah dan
negara bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan
diri ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta). Sehingga
pada akhir Maret 1950 tinggal 4 (empat) negara bagian yang
masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur,
Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia (di Jogjakarta)
yang wilayahnya menjadi lebih luas. Setelah Kalimantan Barat
digabungkan ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta)

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 119


melalui sidang Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April
1950, maka hingga 19 Mei 1950 tinggal 3 (tiga) negara bagian
dalam Republik Indonesia Serikat, yaitu Republik Indonesia (di
Jogjakarta), Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur.
Terhadap daerah-daerah yang telah menggabungkan diri tadi,
yang kemudian dikenal sebagai “Daerah Pulihan”, diberlakukan
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemberlakuan
itu didasarkan kepada Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah
Pulihan, berlaku mulai 13 Maret 1950.
Setelah penggabungan tadi, maka Pemerintah Republik
Indonesia (di Jogjakarta) membentuk provinsi-provinsi otonom
sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948, yaitu: (i) Jawa Timur, dengan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1950; (ii) Daerah Istimewa Jogjakarta, yang setingkat
dengan provinsi, dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950;
(iii) Jawa Tengah, dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1950; (iv) Jawa Barat, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1950; (v) Sumatera Selatan, dengan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950; (vi) Sumatera
Tengah, dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1950; dan (vii) Sumatera Timur, dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1950. Di samping sejumlah daerah otonom itu,
maka ditetapkan pembentukan daerah otonom Kota Jakarta Raya
dengan Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1950.
Semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa
para elit yang ada di Negara Indonesia Timur dan Negara
Sumatera Timur untuk berunding dengan Pemerintah Republik
Indonesia Serikat. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei

120 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


1950 diadakan perundingan antara Perdana Menteri Republik
Indonesia Serikat M. Hatta, Presiden Negara Indonesia Timur
Sukawati, dan Perdana Menteri Negara Sumatera Timur Dr.
Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara
kesatuan. Akan tetapi, pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan
Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian,
Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran
Republik Indonesia Serikat dengan syarat Negara Sumatera Timur
dileburkan ke dalam Republik Indonesia Serikat, bukan ke dalam
Republik Indonesia (di Jogjakarta).
Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar penduduk
Sumatera Timur, tetapi Perdana Menteri Hatta mendukung
Dewan Negara Sumatera Timur. Keputusan Hatta itu didasari
situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung
dengan Republik Indonesia. Hatta berpikir bahwa apabila
diambil jalan penggabungan Negara Sumatera Timur langsung
ke dalam Republik Indonesia (di Jogjakarta), mungkin dapat
mendorong para bekas KNIL yang saat itu masih menjadi anggota
batalyon keamanan Negara Sumatera Timur untuk memberontak
sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon.
Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan
Sukawati, maka sebagai tindak lanjut diadakan perundingan
antara Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Hatta yang
mewakili Negara Indonesia Timur beserta dengan Negara
Sumatera Timur di satu pihak dan Perdana Menteri Republik
Indonesia A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah
tercapainya Piagam Persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara
kedua belah pihak untuk membentuk negara kesatuan.
Menurut Soehino, isi pokok piagam persetujuan tersebut
adalah disetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 121


melaksanakan negara kesatuan, sebagai jelmaan daripada Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan
persetujuan tersebut, dimaksudkan hendak mengadakan perubahan
“dalam negeri” saja, yaitu merubah sifat susunan negara federal ke
kesatuan dengan cara mengubah Konstitusi Republik Indonesia
Serikat 1949 menjadi bentuk kesatuan.140
Perubahan tersebut dilaksanakan menurut Pasal 190, Pasal
127 huruf a, dan Pasal 191 ayat (2) yang dilakukan dengan Undang-
Undang Federal Nomor 7 Tahun 1950 yaitu Undang-Undang
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 56). Naskah
perubahan itu seluruhnya dimuat dalam Pasal I Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950, sedangkan Pasal II ayat (1) menyatakan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia ini mulai
berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH


Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, mengenai
pemerintahan daerah dan daerah swapraja ketentuannya dimuat
dalam Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 133. Untuk lebih jelasnya di
bawah ini dikutipkan ketentuan pasal-pasal tersebut.

Pasal 131
ayat (1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(autonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya

Soehino, op.cit., hlm. 43.


140

122 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan
dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan
negara.
ayat (2) Kepada daerah-daerah diberikan autonomi seluas-
luasnya untuk mengurus rumah tangga sendiri.
ayat (3) Dengan undang-undang dapat diserahkan
penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah
yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 132
ayat (1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan
undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam
bentuk susunan pemerintahannya harus diingat
pula ketentuan dalam Pasal 131, dasar-dasar
permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem
pemerintahan negara.
ayat (2) Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat
dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan
kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan
sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa
kepentingan umum menuntut penghapusan atau
pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada
Pemerintah.
ayat (3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-
peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang
menjalakannya diadili oleh badan pengadilan yang
dimaksud dalam Pasal 108.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 123


Pasal 133
Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagaima
dimaksud dalam Pasal 132 maka peraturan-
peraturan yang ada tetap berlaku, dengan
pengertian bahwa penjabat-penjabat daerah
bagian dahulu yang tersebut dalam peraturan-
peraturan itu diganti dengan penjabat-penjabat
yang demikian pada Republik Indonesia.

Pada bulan Juni 1956 sebuah rancangan undang-undang


tentang pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal
131 dan Pasal 132 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di atas,
diajukan Menteri Dalam Negeri ketika itu, Prof. Sunaryo, kepada
Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1955. Setelah melalui
perdebatan dan perundingan Pemerintah dan Fraksi-fraksi dalam
Dewan Perwakilan Rakyat waktu itu, rancangan undang-undang
tersebut diterima dan disetujuai secara aklamasi. Pada tanggal 19
Januari 1957 rancangan itu diundangkan menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah.
Terkait dengan sistem pemerintahan daerah, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 ini berisikan mengenai pengaturan tentang,
antara lain, jumlah tingkatan daerah sebanyak-banyaknya tiga
tingkatan, kedudukan kepala daerah dan tentang pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Khusus terkait dengan susunan
pemerintahan daerah, maka undang-undang mengatur bahwa
wilayah Indonesia dibagi dalam daerah besar dan daerah kecil
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan sebanyak-
banyaknya ada 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah
adalah:

124 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(i) Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya;
(ii) Daerah Tingkat II, termasuk kotapraja;
(iii) Daerah Tingkat III.

Dalam Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1950


terdapat kalimat berbunyi “daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri (autonoom)”, yang mana kata-
kata tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
digunakan istilah teknis “Daerah Swatantra” yang mempunyai arti
sama dengan istilah “Daerah Otonom.” Pemerintahannya disebut
dengan “Pemerintah Daerah Swatantra.” Di samping itu, dikenal
juga “Daerah Istimewa” untuk menyebut Daerah Swapraja yang
ditetapkan sebagai Daerah Istimewa, dan ada Kotapraja untuk
menyebut daerah kota yang mengurus rumah tangga sendiri.
Daerah swapraja dapat ditetapkan menjadi Daerah Istimewa
Tingkat I, Tingkat II, atau Tingkat III atau Daerah Swatantra
Tingkat I, Tingkat II, atau Tingkat III yang berhak mengurus
rumah tangganya sendiri (Pasal 2).

C. PENGATURAN DESA
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tidak ada penyebutan secara eksplisit bahwa yang dimaksudkan
sebagai Daerah Tingkat III adalah desa, sesuatu yang berlainan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Namun dengan
mencermati ketentuan yang ada dalam bagian Penjelasan, maka
dapat disimpulan 2 (dua) hal pokok yang berkaitan dengan
eksistensi desa:

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 125


1. Tidak semua desa ada kemungkinan dijadikan Daerah
Tingkat III; dan
2. Dibuka kemungkinan bahwa misalnya daerah kecamatan
menjadi Daerah Tingkat III.

Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikutipkan bunyi


Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang
berhubungan dengan eksistensi desa dan tata cara pembentukan
Daerah Tingkat III tersebut. Mengenai eksistensi desa atau nama
lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan bersendikan
hukum adat, Undang-Undang menegaskan:

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-


macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan
Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum
yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatua ,n masyarakat
hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bagian
dari lain kesatuan masyarakat hukum menurut adat, sehingga
Desa itu berdiri tinggal, mempunyai daerah sendiri, rakyat
sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda
sendiri, sedangkan hukum adat yang berlaku didalamnya
adalah sesungguhnya “homogeen”.

Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, dimana kesatuan


masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat,
unpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat
yang tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai
didalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-
masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa
sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai
bahagian dalam daerah Kuria itu, sehingga adapula huta-huta

126 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah
Kurianya sendiri. Meskipun demikian juga dalam setiap
kesatuan Kuria itu berlaku hukum adat yang “homogeen”.

Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati


kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang
masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan dalam
daerah itu dijumpai sejumlah suku asal, yang masing-masing
suku merupakan pula satu kesatuan masyarakt hukum adat yang
terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukum yang bernama
Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam
lingkungan Nagari.

Sebagai akibat bermacam-macamnya sistem pengaturan


menurut hukum adat di dalam desa atau nama lain tersebut, maka
tidak memungkinkan terhadap kesatuan masyarakat hukum itu
diberikan status sebagai daerah otonom, karena:

Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat


mutlak dalam sistem otonomi, yang memberikan kekuasaan
kepada sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan
yang nyata. Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat
yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan
otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga
tindakan baru kemungkinannya atau hanya memberikan
otonomi itu secara tindakan baru kepada Kabupaten dibawah
Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah
administratif dalam Kabupaten itu untuk kemudian dijadikan
kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak
bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan
saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum yang ada.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 127


Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan, bahwa
suatu daerah otonom akan dibentuk secara nyata jika sungguh-
sungguh di dalamnya terdapat perekat yang mempersatuan daerah
itu sebagai sebuah teritorial. Selengkapnya sebagai berikut:

Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita
berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan
suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikat
kasatuannya. Sebab itulah maka handaknya di mana menurut
keadaan masyarakat belum dapat diadakan (3) tingkat, untuk
sementara waktu dibentuk dua tingkat dahulu.

Berhubung dengan adanya hal-hal adanya atau tidak adanya


kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja
untuk menyusun tingkat otonomi tidak “congruent” dengan
urusan hukum adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan
masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah
otonomi atau dimasukkan ke dalam daerah otonomi, maka hal
itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat
dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus
hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak ketatanegaraan,
manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu
dijadikan daerah otonomi, yang sekedar corak yang dimaksud
bersepadanan dengan kekuasaan ketatanegaraan yang tersimpul
dalam pengertian otonomi itu. Kesanggupan melihat perbedaan
itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan adat
adalah suatu syarat penting untuk menjamin hidupnya otonomi
itu secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak
mau masih terkungkung dalam sistem hukum adat itu.

128 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Dari uraian di atas, nampak bahwa pembentuk undang-
undang mensyaratkan bahwa untuk menjadi daerah otonom
dibutuhkan 2 (dua) prinsip, yaitu satu kesatuan hukum dan
masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikat
kesatuannya. Dalam pandangan Sutoro Eko, sebagaimana
dikutip oleh Sadu Wasistiono, pada sisi lain Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 penuh keraguan dalam memandang dan
menempatkan posisi desa.141 Mengenai kemungkinan Desa menjadi
Daerah Swatantra Tingkat III juga sudah tertutup, karena seperti
yang dikatakan oleh Soehino, sebenarnya selama berlakunya
undang-undang tersebut belum pernah terbentuk Daerah
Swatantra Tingkat III.142 Lagipula, secara konstitusional ketentuan
Undang-Undang Dasar 1950 lebih banyak mengatur tentang
daerah-daerah yang diberikan otonomi untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, dan sama sekali tidak mengatur mengenai Desa.

141
Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Bandung, Penerbit Fokus
Media, hlm. 20.
142
Soehino, op.cit., hlm. 51.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 129


BAB VIII

PENGATURAN DESA PADA KURUN


WAKTU KEDUA BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959


Kenyataan menunjukkan bahwa dalam sejarah konstitusi
Indonesia, Sukarno adalah figur pelopor yang menekankan
pentingnya sebuah konstitusi oleh badan-badan yang sah yang
terdiri atas wakil-wakil rakyat. Di hadapan sidang BPUPKI pada
tahun 1945 ia mengatakan:143

[U]ndang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah undang-


undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan:
ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan
lebih sempurna.

143
Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, Cetakan Ketiga, Jakarta, Penerbit
Pustaka Utama Grafiti bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation, hlm. 28-29.

131
Dalam manifesto politik yang dikeluarkan pada tanggal 1
November 1945 sebagai tindaklanjut Maklumat Nomor X, maka
pemilihan umum bagi pemerintahan konstitusional secara eksplisit
dijelaskan sebagai berikut:144

Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai


bukti bahwa bagi kita, cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-
benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara
kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan
berganti dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan
menurut kehendak rakyat kita yang terbanyak.

Pemilihan Umum ditetapkan dengan pengumuman


pemerintah tanggal 3 November 1946 dan pada mulanya
direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946 oleh
Kabinet Sjahrir Pertama, tetapi terpaksa ditunda berulang kali
karena kekacauan akibat revolusi fisik. Dalam periode sesudah
Desember 1949, pemilihan umum menjadi bagian penting dari
program kerja setiap kabinet. Setelah berhasil ditetapkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum pada
tanggal 1 April 1953, maka diselenggarakanlah pemilihan umum
untuk pertama kali dalam sejarah republik guna memilih Dewan
Perwakilan Rakyat dan Konstituante, masing-masing pada tanggal
29 September 1955 dan 15 Desember 1955. Dengan telah
dibentuknya Konstituante, maka dimulailah proses penyusunan
undang-undang dasar yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 134 Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 yang menyatakan bahwa
Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-
Ibid., hlm. 29.
144

132 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara ini. Konstituante sendiri melangsung
persidangan dalam kurun waktu 10 November 1956 hingga 2
Juni 1959.
Namun dalam kurun waktu persidangan itu Konstituante
belum juga dapat menghasilkan Undang-Undang Dasar
sebagaimana diharapkan karena adanya perbedaan pendapat yang
sangat jauh di dalam tubuh Konstituante sendiri. Pada sisi lain
terdapat persoalan krisis ekonomi yang mengguncang stabilitas
negara. Krisis itu sendiri disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu pertama,
konflik dengan negara Belanda mengenai Irian Baat yang berakibat
antara lain dirampasnya perusahaan-perusahaan Belanda, disusul
dengan pengusiran warga Belanda. Kedua, perang saudara yang
disebabkan oleh pemberontakan di Sumatera dan Indonesia Timur.145
Di samping krisis ekonomi, terjadi ancaman perpecahan nasional
yang mempertajam krisis legitimasi politik karena: (i) pertentangan
antara daerah Jawa dan luar Jawa; (ii) pertentangan politik dan
ideologis diantara partai-partai nasionalis, komunis dan Islam; (iii)
mundurnya Hatta dari jabatan Wakil Presiden; (iv) pertentangan
dalam tubuh Angkatan Darat; dan (v) intervensi asing.146
Di tengah-tengah krisis tersebut, pada 21 Februari 1957,
Presiden Soekarno mengumumkan Konsepsi Presiden. Konsepsi
tersebut dikenal sebagai “Demokrasi Terpimpin” yang pada
garis besarnya berisi 2 (dua) hal, yaitu, pertama, pembentukan
sistem pemerintahan baru, yaitu Kabinet Gotong Royong yang
akan memasukkan semua partai yang diwakili dalam Dewan
Perwakilan Rakyat. Kedua, pembentukan Dewan Nasional, yang

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan...., op.cit., hlm. 263.


145

Ibid., hlm. 266.


146

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 133


terdiri dari “wakil-wakil golongan fungsional” dan dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Dampak konsep presiden ini sangat merugikan
karena diumumkan tanpa memberitahukan kabinet sebelumnya,
dan pada saat yang sama, kabinet sedang dilanda krisis karena
tindakan Masyumi yang menarik menterinya dari kabinet. Pada
14 Maret 1957, Perdana Menteri Ali Sastroadmidjojo mengajukan
permohonan untuk meletakkan jabatan kepada Presiden, dan pada
hari yang sama, Presiden mengumukan berlakunya hukum darurat
perang.147 Selanjutnya, Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai
formatur kabinet dan membentuk Kabinet Karya di mana Djuanda
menjadi Perdana Menteri.
Dengan hukum darurat perang itu, maka tentara, khususnya
Angkatan Darat segera melakukan intervensi yang meluas dalam
kehidupan politik dan ekonomi negara, bahkan mengendalikan
birokrasi pemerintahan. Dampak hukum darurat perang juga
menimpa partai politik, di mana kegiatan partai dibatasi, rapat-
rapat politik diawasi, dan demonstrasi dihalang-halangi. Pada
posisi tersebut, tentara juga memberikan pendapat kepada Presiden
Soekarno untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar
1945. Menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Adnan
Buyung Nasution, ada 5 (lima) alasan untuk menjadi latar belakang
pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 waktu itu.148
Pertama, Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 dapat ditafsirkan
sebagai pasal yang menentukan perwakilan golongan fungsional.
Kedua, Pasal 2 juga memberikan jaminan perwakilan daerah dan
karena itu dapat memuaskan daerah. Ketiga, Undang-Undang
Dasar tersebut akan menjamin negara kesatuan guna melawan
aspirasi yang berkembang di Konstituante untuk membentuk

Feith, dalam Ibid., hlm. 290.


147

Ibid., hlm. 299.


148

134 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


federasi. Keempat, pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar
1945 akan menjamin kembalinya pelaku pemberontakan daerah
ke pangkuan negara. Kelima, akan mengakhiri sidang-sidang
Konstituante dan menyelesaikan pertentangan Islam-Pancasila.
Pada tanggal 19 Februari 1959, Kabinet memutuskan “akan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945.” Selanjutnya, pada 2 Maret 1959,
Perdana Menteri Djuanda melaporkan keputusan pemerintah
kepada Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Soekarno kemudian menyampaikan amanat di hadapan
Konstituante pada tanggal 22 April 1959, yang lebih merupakan
seruan emosional yang mendesak supaya Konstituante menerima
Undang-Undang Dasar 1945 tanpa amandemen sebagai konstitusi
negara. Bagaimanapun, Konstituante kemudian tidak pernah bisa
menghasilkan suara mayoritas untuk menanggapi anjuran Presiden
Soekarno guna kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan sidang di
Istana Bogor dengan dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung. Di
sanalah tercapai kesepakatan supaya Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan kembali melalui dekrit, dengan “keadaan darurat
nasional” sebagai pijakan legal. Pada siang hari itu, Presiden
Soekarno, atas nama rakyat Indonesia, menetapkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang berisi: (i) Pembubaran Kosntituante;
(ii) Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945; (iii)
Penarikan kembali Undang-Undang Dasar Sementara 1950;
dan (iv) usaha-usaha sesingkat-singkatnya untuk membentuk
kelembagaan negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 135


B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
Untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip demokrasi
terpimpin dan kegotong-royongan, maka pada tanggal 9 September
1959 Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden149 Nomor 6 Tahun
1959 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan
melalui Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Bagir Manan
menguraikan latar belakang pembentukan produk hukum itu
sebagai berikut:150

Penggantian undang-undang akibat Dekrit Presiden 5 Juli


1959 bukan saja dipergunakan untuk menyesuaikan susunan
pemerintahan di daerah dengan susunan menurut Undang-Undang
Dasar 1945, tetapi sekaligus juga melakukan “penyempurnaan”
terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Penyempurnaan
itu setidak-tidaknya menyangkut 2 (dua) hal yaitu:

1. Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara


aparatur dan fungsi otonomi dan fungsi kepamongprajaan;
dan
2. Memperbesar pengendalian pusat terhadap Daerah.

Kedua Penetapan Presiden tersebut secara formal merupakan


penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
dalam rangka penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi secara substansial justru merupakan awal dari sistem
pemerintahan yang cenderung sentralistik. Berbagai gagasan besar
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tetap dipertahankan,
149
Penetapan Presiden merupakan salah satu bentuk produk legislatif yang disejajarkan
dengan undang-undang, tetapi ditetapkan secara eksklusif oleh Presiden tanpa persetujuan
bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal itu merupakan pandangan Presiden Soekarno
sebagaimana Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959.
150
Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan Daerah...., op.cit., hlm. 219-220.

136 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


seperti pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan
sistem rumah tangga nyata, maupun susunan Daerah Otonom
tetap diteruskan. Perubahan yang mendasar antara lain:151
a. Kecenderungan memperkokoh unsur desentralisasi yang
digariskan sejak tahun 1948 berganti arah yang lebih
menekankan pada unsur sentralistik. Misalnya pengangkatan
kepala daerah lebih ditentukan oleh kehendak pemerintah
pusat daripada oleh pemerintah daerah. Presiden diberi
wewenang mengangkat kepala daerah di luar calon-calon
yang diajukan oleh Daerah.
b. Kepala Daerah tidak lagi semata-mata sebagai alat Daerah
tetapi juga sebagai alat Pusat yang mengawasi pemerintahan
daerah. Bahkan secara berangsur-angsur Kepala Daerah lebih
tampak sebagai wakil Pusat di Daerah daripada pemimpin
Daerah.
c. Dihapuskannya dualisme pemerintahan di daerah yang
memang terasa mengganggu kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.

Pada perkembangan selanjutnya, Majelis Permusyawaratan


Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penetapan Presiden Nomor
12 Tahun 1959, yang antara lain menetapkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPRS/1960 tentang Garis-
Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan
Pertama 1961-1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat
ketentuan-ketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masing-masing
adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian Daerah dan jumlah
tingkatan; (b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi; (c) Paragraf
151
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan
Undang-Undang Pelaksanaannya), Karawang, Penerbit Unsika, hlm. 32.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 137


395 mengenai pemerintahan daerah; (d) Paragraf 396 mengenai
pemerintahan Desa.
Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar
dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957; dan menyusun Rancangan
Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang
dinyatakan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masa kolonial
dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang mengatur
tentang kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk
dan susunan pemerintahan Desa; tugas dan kewajiban, hak dan
kewenangan pemerintah Desa; keuangan pemerintah Desa: serta
kemungkinan-kemungkinan badan-badan kesatuan pemerintahan
Desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom.
Karena tuntutan itu, pemerintah membentuk Panitia Negara
Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P.
Soeroso, atas dasar Keputusan Presiden Nomor 514 Tahun 1960.
Tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah:
a. Menyusun Rencana Undang-undang Organik tentang
Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan cita-cita
Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang mencakup segala pokok-pokok
(unsur-unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU
No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres
No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961.
b. Menyusun Rencana Undang-undang tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Desa, yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan
perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan

138 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan
mengatur hal-hal pokok tentang:
(1) Kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan ;
(2) Bentuk dan susunan pemerintahan Desa;
(3) Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan
Desa;
(4) Keuangan pemerintahan Desa;
(5) Pengawasan pemerintahan Desa;
(6) Kemungkinan pembangunan badan-badan kesatuan
pemerintah Desa yang ada sekarang ini menjadi satu
pemerintahan Desa yang otonom;
(7) Dan lain-lain.
c. Mengajukan usul usul penjelasan mengenai:
(1) Penyerahan urusan-urusan pemerintahan pusat yang
menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan
kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah,
yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957
diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi
dan Desentralisasi.
(2) Tuntutan-tuntutan tentang pembagian daerah
(pemecahan, pemisahan, penghapusan dan
pembentukan baru), perluasan batas-batas wilayah
kotapraja, pemindahan ibu kota daerah.
(3) Penertiban organisasi-organisasi masyarakat rukun
kampung dan rukun tetangga.

Setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil


menyelesaikan 2 rancangan undang-undang: Rancangan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 139


Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
dan Rancangan Undang-undang tentang Desa Praja. Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah saat itu, Ipik Gandamana,
pada tahun 1963, menyampaikan kedua rancangan undang-
undang itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Sebelumnya pada bulan Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat
dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur.
Pembahasan kedua rancangan undang-undang itu di Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong cukup lama dan alot. Setelah
mengalami berbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak
pihak, pada tanggal 1 September 1965, Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong menetapkannya sebagai undang-undang. Masing-
masing menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965
Tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat
Terbentuknya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Indonesia
atau dapat disingkat Desapraja.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 hanya
mengatur pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri (otonomi daerah) atau hanya
menganut asas desentralisasi. Hal ini nampak dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang
menyebutkan:

Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis ke dalam


Daerah-Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut:

a. Provinsi dan/atau kotaraya sebagai Daerah TingkatI;

140 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


b. Kabupaten dan/atau kotamadya sebagai Daerah Tingkat
II; dan
c. Kecamatan dan/atau kotapraja sebagai Daerah Tingkat
III.

Dengan demikian, meskipun mendasarkan kepada Pasal 18


Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi pengaturan lebih lanjut
hanya terbatas peruntukkannya bagi daerah otonom. Hal ini
dipertegas menurut Pasal 1 ayat (1) bahwa “Istilah-istilah provinsi,
kabupaten, dan kecamatan, sebagaimana halnya istilah-istilah
Kotaraya, Kotamadya, adalah istilah-istilah umum untuk nama
jenis Daerah dan bukan merupakan penunjukkan suatu wilayah
adminstratif.”

C. PENGATURAN DESA
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965,
yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat
hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai
harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa
kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa
di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah
Desapraja menurut undang-undang ini. Dengan demikian,
persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam
(bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja.
Dengan memggunakan nama Desapraja, Undang-Undang 19
Tahun 1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam
untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 141


termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan
masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama
asli yang beragam. Ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1965 juga memberikan dasar dan isi Desapraja secara hukum
yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih
penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri.
Dalam penjelasan umum tentang Desapraja itu terdapat
keterangan yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1965 tidak membentuk baru Desapraja, melainkan
mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di
seluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi Desapraja.
Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum lain yang tidak bersifat
teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di
berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan Desapraja,
melainkan dapat langsung dijadikan sebagai unit administratif
dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakan bahwa
Desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan
hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya
daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua
Desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan
atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya
Desapraja yang bersangkutan.
Alat-alat perlengkapan Desapraja menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1965 adalah: (a) Kepala Desapraja, (b) badan
musyawarah Desapraja, (c) Pamong Desapraja, (d) Panitera
Desapraja, (e) Petugas Desapraja, (f ) Badan Pertimbangan
Desapraja.

142 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Tugas masing-masing alat perlengkapan Desapraja adalah:
(a) Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah
tangga Desapraja dan sebagai alat pemerintah pusat. Kepala
Desapraja mengambil tindakan-tindakan dan keputusan-
keputusan penting setelah memperoleh persetujuan Badan
Musyawarah Desapraja (Pasal 8). Kepala Desapraja dipilih
langsung oleh penduduk Desapraja, menurut peraturan yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 9);
(b) Badan Musyawarah Desapraja adalah sebagai perwakilan dari
masyarakat Desapraja. Cara pemilihan dan pengangkatan
anggotanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
(Pasal 17);
(c) Pamong Desapraja adalah pembantu Kepala Desapraja yang
mengepalai seusatu dukuh dalam lingkungan Desapraja.
Cara pemilihan dan pengangkatan para Pamong Desapraja
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Pasal 25);
(d) Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin
penyelenggaraan tata usaha Desapraja dan tata usaha Kepala
Desapraja di bawah pimpinan langsung Kepala Desapraja.
Panitera Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala
Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja.
Apabila diperlukan Kepala Desapraja dapat mengangkat
pembantu Panitera Desapraja (Pasal 28);
(e) Petugas Desapraja adalah pembantu-pembantu Kepala
Desapraja dan Pamong Desapraja dalam penyelenggaraan
urusan rumah tangga Desapraja, para petugas Desapraja
melakukan sesuatu tugas tertentu dalam hal-hal yang
bersangkutan dengan urusan agama, keamanan, pengairan,
atau lain-lain hak yang menurut adat kebiasaan setempat.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 143


Petugas Desapraja seperti Penghulu, Khotib, Modin,
Jogoboyo, Kebayan, Ulu-ulu, dan pejabat-pejabat/petugas-
petugas lainnya menurut adat kebiasaan setempat diadakan
menurut keperluannya. Para petugas Desapraja diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan
Badan Musyawarah Desapraja (Pasal 30).
(f ) Di setiap Desapraja dapat diadakan Badan Pertimbangan
Desapraja. Tugasnya adalah memberikan nasehat baik
diminta maupun tidak oleh Kepala Desapraja (Pasal 32 dan
Pasal 33).

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965


dicabut semua peraturan perundang-undangan mengenai kedesaan
yang berlaku sebelumnya yaitu (Diktum Kesatu):
(a) Inlandsche Gemeente Ordonnantie van Java en Madoera (S.1906
Nomor 83) dengan segala perubahan dan tambahannya;
(b) Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten (S.1938
Nomor 490 jo. S. 1938 Nomor 681);
(c) Reglement op de verkiezing, de schorcing en het ontslag van de
hoofden def Inlandsche Gemeente on Java en Madoera (S.1907
Nomo 212) dengan segala perubahan dan tambahannya;
(d) Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van Desaa’s
op Java en Madoera met uitzindering van de Vorstlanden
(Bijblad Nomo 9308);
(e) Hoogere Indlansche Verbanden Ordonnatie Buitengewesten
(S. 1931 Nomor 507) dengan segala perubahan dan
tambahannya;

144 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(f ) Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944) dan lain-lain
peraturan perundang-undangan tentang kedesaan selaa
pemerintahan pendudukan Jepang;
(g) Semua peraturan perundangan dan lain-lain peraturan
tentang kedesaan yang termuat dalam berbagai Rijksbladen
dari bekas-bekas Swapraja-swapraja dan Daerah Istimewa,
dari bekas-bekas Negara-negara bagian dan Daerah-daerah
bagian semasa Republik Indonesia Serikat;
(h) Semua peraturan perundangan dan peraturan –peraturan
lainnya tentang kedesaan, baik dari pemerintah pusat
maupun dari sesuatu pemerintah daerah yang bertentangan
dengan undang-undang ini.

D. KONFIGURASI KENEGARAAN ORDE BARU


1. CATATAN AWAL
Karena peristiwa G. 30 S/PKI, yang menimbulkan ekses
di berbagai bidang, maka kedua undang-undang itu mengalami
kesulitan, bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dengan Ketetapan Nomor XXI/MPRS/1966 tentang
Pemberian Otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah,
menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya memberikan otonomi seluas-luasnya kepada
Daerah-daerah, sesuai dengan jiwa dan isi Undang-Undang Dasar
1945, tanpa mengurangi tanggung jawab Pemerintah Pusat di
bidang perencanaan, koordinasi, dan pengawasan terhadap Daerah-
daerah (Pasal 1). Dalam rangka pelaksanaan pemberian otonomi
yang seluas-luasnya kepada Daerah-daerah tersebut maka semua

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 145


urusan diserahkan kepada Daerah, berikut semua aparatur dan
keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional yang akan
diatur dan ditentukan dengan Undang-Undang (Pasal 2).
Selanjutnya, kepada Pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong juga diberi tugas untuk
segera meninjau kembali Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960
pararaf 392 Nomor 1 angka 4, dan menyesuaiakannya dengan
perkembangan baru dalam rangka kembali kepada Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Hasil dari pelaksanaan tugas-tugas tersebut antara lain
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969
tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-
Undang ini mulai berlaku saat diundangkan yaitu tanggal 5 Juli
1969.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1969 jo. Lampiran III, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dinyatakan
tidak berlaku dengan ketentuan pernyataan tidak berlakunya
itu ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya
mulai berlaku. Hal ini dikarenakan baik materi maupun masalah-
masalahnya perlu ditampung dalam Undang-Undang yang
baru, sedangkan pembentukan Undang-Undang yang baru itu
membutuhkan waktu.

146 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Menurut Soehino, persoalan akibat dicabutnya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1965 tidaklah sesederhana itu karena:152

[D]alam praktik menimbulkan akibat hukum yang berbeda.


Sebab kalau Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 sebelum
dinyatakan tidak berlaku sudah pernah dilaksanakan, bahkan
memberikan dasar hukum kepada daerah-daerah otonom yang
dibentuk sejak tahun 1950, sedangkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1965 sudah dinyatakan tidak berlaku sebelum undang-
undang itu sendiri dilaksanakan. Sebagai akibat lebih lanjut
timbullah kesulitan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan
daerah, oleh karena kedua undang-undang tersebut tidak segera
dibuatkan undang-undang yang akan menggantikannya. Maka
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah lalu praktis
masih berdasarkan atau berpedoman pada peraturan perundangan
lam ayang ada sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965, meskipun secara yuridis formal peraturan
perundangan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena telah
dicabut oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 itu sendiri.

Sementara itu, untuk pengaturan desa, dengan ditetapkannya


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tersebut, dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan desa masih tetap berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965.
Peraturan perundang-undangan lama tersebut seperti Inlansche
Gemeente Ordonnantie Java en Madoera (S.1906-83) dengan segala
perubahan dan penambahan yang berlaku untuk Jawa dan Madura,
serta Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (S.1938-

Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah..., op.cit., hlm. 105-106.


152

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 147


480 jo S.1938-681). Padahal secara yuridis berbagai peraturan
itu sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965.
Jika menyimak Pasal 2 jo Lampiran III Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1969, maka sebelum diundangkannya undang-
undang yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1965, secara yuridis Undang-Undang ini masih berlaku,
tetapi secara materiil sudah tidak lagi dapat dilaksanakan karena
telah dinyatakan tidak berlaku.153 Bahkan, sekalipun secara yuridis
masih dianggap berlaku, telah ditetapkan Instruksi Menteri Dalam
Negeri tanggal 15 Oktober 1966 Nomor 29 Tahun 1966 tentang
Penundaan Realisasi Pembentukan Desapraja. Timbul pertanyaan,
apakah sebuah instruksi menteri dapat menunda keberlakuan
undang-undang?
Sebagai tindaklanjut Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut
dan sambil menunggu diundangkannya undang-undang yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965, maka
dikeluarkanlah Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Februari
1968 Nomor 1 Tahun 1968 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian
Kepala Desa di Jawa dan Madura. Dengan perkembangan keadaan
yang menyulitkan praktik pelaksanaan pemerintahan di tingkat
desa, maka dipandang perlu untuk mengatur juga materi yang
sama bagi seluruh desa di Indonesia, ayng kemudian dituangkan
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian
Sementara, dan Pemberhentian Kepala Desa, yang mulai berlaku
tanggal 25 Maret 1978.

Soehino, op.cit., hlm. 169.


153

148 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Sesudah pemerintahan Orde Baru berhasil mengkonsolidasikan
kekuasaan politik melalui Pemilu 3 Juli 1971, maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat kemudian menyelenggarakan Sidang
Umum pada tahun 1973, yang salah satunya adalah menetapkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973
tentang Garis-garis Besar Halauan Negara mengenai kebijaksanaan
yang akan ditempuh tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam
ketetapan tersebut antara lain digariskan bahwa:

Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang


tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam membina kestabilan
politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara
Kesatuan, diarahkan kepada pelaksanaan Otonomi Daerah yang
nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan
dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama
dengan dekonsentrasi.

Untuk melaksanakan garis kebijaksanaan penyelenggaraan


pemerintah di daerah sebagaimana amanat Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tersebut, maka baru pada tahun 1974
Pemeritnah dapat mengajukan 2 buah rancangan undang-
undang, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan Rancangan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Desa. Pada akhirnya baru Rancangan Undang-
Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang dapat
ditetapkan yaitu menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
mengamanatkan agar pengaturan tentang pemerintahan desa
ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian, dapat diundangkan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 149


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa dan berlaku sejak 1 Desember 1979. Dengan ditetapkannya
Undang-Undang ini, maka dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
lagi: (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja
dan (ii) Segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

2. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH


Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mulai
berlaku pada tanggal 23 Juli 1974. Dalam Penjelasan Umum angka
1 butir ke-4, dikatakan bahwa undang-undang tersebut mengatur
tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan daerah
otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas Pemerintah Pusat di Daerah. Menurut undang-
undang ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam
Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan
Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang
hanya mengatur mengenai daerah otonom, ketentuan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur juga wilayah-wilayah
administratif. Begitu juga mengenai susunan atau tingkatan Daerah
Otonom yang hanya mengatur dua tingkat yaitu Daerah Tingkat
I dan daerah Tingkat II.
Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama
dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah
Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas
Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah
Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah

150 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif
dan Daerah Otonom disatukan.
Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom
Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah
Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Untuk Wilayah Administratif
Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta
disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk Wilayah
Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut
Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah
Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai
contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Untuk
Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat
II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah
Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta.
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerah diletakkan
pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.
adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya
dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh
DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan
selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 151


Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala
Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang
memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat
oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri
yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri
Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu
Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah
kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala
Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah
Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi
atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah
Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten
atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya
adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan
disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.
Jika ditinjau dari sistem otonomi, maka sistem yang
diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
mengandung unsur-unsur sistem formil dan materiil. Sistem
otonomi materiil nampak pada saat pembentukan suatu Daerah
dibarengi dengan penyerahan urusan-urusan pangkal. Sedangkan
sistem otonomi formil dapat dilihat dari adanya kebebasan Daerah
untuk berprakarsa dan berinisiatif mengatur dan mengurus suatu
urusan rumah tangga Daerah yang dianggap penting, walaupun
belum diserahkan, sepanjang masih memperhatikan pembatasan-
pembatasan yang berlaku. Dalam rentang waktu tertentu suatu
urusan pemerintahan dapat diketagorikan ke dalam urusan

152 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pemerintahan pusat, sementara dalam rentang waktu yang lain
mungkin menjadi urusan rumah tangga daerah.

3. PENGATURAN DESA
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa yang betul-betul paralel dengan
semangat sentralisasi dan regimentasi dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974, serta paralel dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1969 tentang Kepartaian, yang melancarkan
kebijakan massa mengambang di Desa. Ketentuan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 membuat format pemerintahan
Desa secara seragam di seluruh Indonesia.
Menurut C.S.T. Kansil, sebenarnya sebelum perumusan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, pemerintah telah
menyadari bahwa untuk menyebut “desa”, sebagai nama kesatuan
masyarakat, di Indonesia dalam berbagai wilayah dan tempat
menggunakan istilah yang bermacam-macam. Berikut ini adalah
tabel yang berisi penyebutan nama “desa” untuk sejumlah wilayah
dan tempat di Indonesia.

Tabel 1 Penyebutan “Desa” sebagai Organisasi


Pemerintahan yang Berada Langsung di Bawah
Kecamatan
Nama Kesatuan Nama Jabatan Kepala
No Provinsi/Daerah Masyarakat menurut Kesatuan Masyarakat
bahasa setempat menurut Bahasa Setempat
1. Aceh Kampung Kepala Kampung, keucik
2. Sumatera Utara (Daerah Kampung Kepala Kampung
Sumatera Timur)

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 153


3. Sumatera Utara Huta, Negeri Kepala Huta, Kepala
(Tapanuli) Negeri
4. Riau Kampung Kepala Kampung
5. Sumatera Selatan Marga/dusun Pasirah/Kepala Marga
6. Sumatera Barat Nagari Wali Nagari
7. Jambi Sda Sda
8. Bengkulu Sda Sda
9. Lampung Sda Sda
10. DKI Jakarta Kelurahan Lurah
11. Jawa Barat Desa Kepala Desa
12. Jawa Tengah Sda Lurah
13. D.I. Jogjakarta Sda Sda
14. Jawa Timur Sda Sda
15. Kalimantan Barat Kampung Kepala Kampung
16. Kalimantan Tengah Kampung Kepala Kampung
17. Kalimantan Selatan Kampung/Kampong Kepala Kampung
18. Kalimantan Timur Kampung Kepala Kampung
19. Sulawesi Utara Desa/Kampung Kepala Desa
20. Sulawesi Tengah Kampung Kepala Kampung
21. Sulawesi Tenggara Desa Kepala Desa
22. Sulawesi Selatan Gabungan Kampung Kepala Desa Gaya Baru
Desa Gaya Baru
23. Bali Desa/Perbekel Kepala Desa/Perbekel
24. Nusa Tenggara Barat Desa Kepala Desa
25. Nusa Tenggara Timur Desa Gaya Baru Kepala Desa Gaya Baru
26. Maluku Negeri Pemerintah Negeri
27. Irian Barat Kampung Kepala Kampung

Sumber: Bayu Surianingrat, 1980, Desa dan Kelurahan Menurut UU No.5/1979,


Jakarta, hlm. 47.

154 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Keberagaman juga pada istilah pimpinan yang berwenang
dalam pemerintahan desa. Kepala Desa atau dengan istilah adat
dengan sebutan Lurah, Kuwu, Bekel, Petinggi (Jawa Tengah);
Mandor, Lembur, Kekolot (Jawa Barat, Banten), Kejuron,
Pengulu Suku, Keucik, Pentua (Gayo, Alas, Aceh); Pengulu
Andiko (Sumatera Barat); Penyimpang, Kepala Marga (Sumatera
Selatan); Orang Kaya Kepala Desa (Hitu, Ambon); Raja Penusunan
(sekitar Danau Toba); Kesair Pengulu (Karo Batak); Parek, Klian
(Bali); Marsaoleh (Gorontalo); Komelaho (Bolang Mangondow,
Kalimantan Selatan).154
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
menegaskan bahwa “Desa” adalah wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri” (Pasal 1 angka 1).
Ketika Undang-Undang ini masih berstatus rancangan
undang-undang, pemerintah berpendapat “bahwa Desa
dimaksudkan sebagaimana dimaksudkan dalam rancangan undang-
undang ini, bukanlah merupakan salah bentuk daripada Pembagian
Daerah Indonesia Atas Daerah besar dan kecil sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Masalah pembagian
daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil itu kiranya sudah
cukup diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Pengertian daerah besar adalah wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I dan seterusnya, karena itu sulit untuk dimaknai, bahwa daerah

154
Lihat juga Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan
Daerah, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, hlm. 28-29.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 155


yang lebih kecil itu juga mencakup Desa sebagaimana dimaksud
dalam rancangan undang-undang ini.” 155
Dari ketentuan awal, termasuk pengertian Desa yang seragam
itu, banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan
bentuk Jawanisasi atau menerapkan model Desa Jawa untuk
kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini
tidak mengakui lagi keberadaan nagari, huta, sosor, marga, negeri,
binua, lembang, parangiu dan lain-lain yang umumnya berada di
Luar Jawa. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 memaksa Desa dan kesatuan masyarakat hukum yang menjadi
bagian darinya menjadi seragam. Persekutuan sosial Desa lain yang
belum sesuai bentuknya dengan Desa dipaksa menyesuaikan diri,
melalui upaya misalnya regrouping Desa, sehingga tidak dapat
disebut Desa lagi.
Bagi masyarakat terutama masyarakat adat di luar Jawa dan
Madura implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tersebut menimbulkan dampak negatif. Pemerintah daerah di Luar
Jawa dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus
menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap)
yang dianggap tidak menggunakan kata Desa seperti Nagari di
Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh,
Huta, Sosor dan lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Binua di
Kalimantan Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung
di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, yo di
Sentani Irian Jaya, dan lain-lain.
Kesatuan masyarakat hukum yang telah dijadikan Desa
itu harus memiliki pemerintahan yang akan melaksanakan
kewenangan, hak dan kewajiban Desa serta menyelenggaraan

E.B. Sitorus, op.cit., et.al., hlm. 52.


155

156 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pemerintahan Desa, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979. Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya
secara formal dan nomenklatur berganti nama menjadi Desa,
tetapi harus secara operasional segera memenuhi segala syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan pergantian dari
nagari, dusun, marga, gampong, huta, sosor, lumban, binua, lembang,
kampung, paraingu, temukung dan yo menjadi Desa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka Desa-Desa hanya
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan tidak
dinyatakan dapat “mengurus dan mengatur rumahtangganya
sendiri”. Dengan kata lain, Desa tidak lagi otonom.
Karena ia tidak lagi otonom, Desa kemudian tidak lebih
dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang
pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru. Secara
substantif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menempatkan
Kepala Desa bukanlah pemimpin masyarakat Desa, melainkan
sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra Desa, yang
digunakan untuk mengendalikan penduduk dan tanah Desa.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
menegaskan bahwa kepala Desa dipilih oleh rakyat melalui
demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan kepala Desa secara
langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi (elektoral) di aras
Desa. Di saat presiden, gubernur dan bupati ditentukan secara
oligarkis oleh parlemen, kepala Desa justru dipilih secara langsung
oleh rakyat. Karena itu keistimewaan di aras Desa ini sering
disebut sebagai benteng demokrasi di level akar-rumput. Tetapi
secara empirik praktik pemilihan kepala Desa tidak sepenuhnya
mencerminkan kehendak rakyat. Pemilihan kepala desa selalu
sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supraDesa melalui
persyaratan yang dirumuskan secara politis dan administratif.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 157


Dalam studinya di Desa-Desa di Pati, Franz Husken
(2001)156 menunjukkan bahwa pemilihan kepala desa selalu
diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap
hasil, dan dikendalikan secara ketat oleh negara. Bagi Husken,
pilkades yang paling menonjol adalah sebuah proses politik untuk
penyelesaian hubungan kekuasaan lokal, ketimbang sebagai arena
kedaulatan rakyat. Kekurangsempurnaan demokrasi Desa tidak
hanya terlihat dari sisi pilkades, tetapi juga pada posisi kepala Desa.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menobatkan
kepala Desa sebagai “penguasa tunggal” di Desa. Kepala Desa
sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara, akibatnya dia harus
mengetahui apa saja yang terjadi di Desa, termasuk ”selembar daun
yang jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya”. Akibat selanjutnya,
Kepala Desa dalam menjalankan ”perintah” untuk mengendalikan
wilayah dan penduduk Desa terkadang mengendalikan seluruh
hajat hidup orang banyak.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di Desa,
yakni ada Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pasal
3 menegaskan, Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan
Lembaga Musyawarah Desa. Lembaga Musyawarah Desa adalah
lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang keanggotaannya
terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga
Kemasyarakatan, dan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang
bersangkutan (Pasal 17). Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi
Lembaga Musyawarah Desa tidak mempunyai kekuasaan legislatif
yang berarti. Lembaga Musyawarah Desa bukanlah wadah
representasi dan arena check and balances terhadap kepala Desa.

Dikutip oleh E.B. Sitrous, et.al., op.cit., hlm. 54.


156

158 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala Desa karena jabatannya (ex
officio) menjadi ketua Lembaga Musyawarah Desa (Pasal 17 ayat 2).
Jika di Desa kepala Desa menjadi penguasa tunggal,
tetapi kalau dihadapan supraDesa, kepala Desa hanya sekadar
kepanjangan tangan yang harus tunduk dan bertanggungjawab
kepada supraDesa. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979, Kepala Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati /
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9), untuk masa jabatan
selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan
berikutnya (pasal 7).
Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban
pimpinan pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung
jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah
Desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan
ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan
jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan
pemerintahan Desa.
Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban
pimpinan pemerintah Desa, Kepala Desa bertanggung jawab
kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; dan
memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada
Lembaga Musyawarah Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 159


Dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai
Kelurahan. Kelurahan adalah adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah
Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan
yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan,
dan Kepala-kepala Urusan.

160 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB IX

PENGATURAN DESA PADA MASA


REFORMASI (TAHUN 1999-2004)

A. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH


Pada periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang
ini menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Menurut Undang-
Undang ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom
dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh,
Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif. Tiga
jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten,
dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara
dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi
berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Undang-Undang menentukan bahwa pemerintahan lokal
menggunakan nomenklatur “Pemerintahan Daerah”. Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan

161
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan
Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang,
hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-Undang
tersendiri. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai
masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk
sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh
Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas
nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena
jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam
menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah,
Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati.
Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota
bertanggungiawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.

B. PENGATURAN DESA
1. Pengertian dan Substansi Otonomi Desa
Desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
pengaturannya terdapat dalam Bab XI DESA, yang meliputi Pasal

162 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


93 sampai dengan Pasal 111. Ketentuan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 mendefinisikan Desa sebagai berikut:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah
Kabupaten. (Pasal 1 huruf o).

Selanjutnya, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor


22 Tahun 1999 angka 9 Pemerintahan Desa, undang-undang
menguraikan hal-hal normatif yang terkait dengan pengaturan
desa sebagai berikut:
(a) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang
disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-
usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan
Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonom asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
(b) Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem
dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab
pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
(c) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum
publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 163


benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut
di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa dengan persetujuan
Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian
yang saling menguntungkan.
(d) Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan
Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan
budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang
berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam
hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
(e) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai
dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan
mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan
masyarakat Desa.
(f ) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa,
bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan
lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman
Desa.
(g) Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala
Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/
sengketa dari para warganya.
(h) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan
kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk
Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada
di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.

Jika dicermati, ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun


1999 memang tidak mengenal desentralisasi Desa, hanya saja
nampak bahwa semangat dasar undang-undang tersebut adalah

164 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan Desa
(atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang
tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa”
dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
sesuai kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa
yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan
perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah,
karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara
signifikan perwujudan otonomi daerah.
Di samping pengakuan otonomi tersebut, undang-undang
memungkinkan untuk memberikan tugas pembantuan kepada
desa (Pasal 63 dan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999). Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam
penyelenggaraan pemerintahannya menggunakan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan asas
tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur
penugasan Pemerintah kepada Desa serta penugasan dari Provinsi
atau Kabupaten kepada Desa untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan Pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya
kepada yang memberi tugas. Tugas ini diselenggarakan karena tidak
semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan
menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.
Pemberian Tugas Pembantuan dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum.
Tujuan pemberian Tugas Pembantuan adalah memperlancar

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 165


pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu
pengembangan pembangunan bagi Desa.
Secara umum, cakupan dan ruang lingkup Tugas Pembantuan
meliputi sebagian tugas bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama dan kewenangan
bidang lain yakni kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Tugas Pembantuan
yang diberikan oleh Provinsi sebagai Daerah Otonom kepada Desa
meliputi sebagian tugas dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas Kabupaten dan Kota, serta sebagian tugas pemerintahan
dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas
pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
oleh Daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan sebagai wilayah
administrasi mencakup sebagian tugas dalam bidang pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten kepada Desa
mencakup sebagian tugas bidang pemerintahan yang menjadi
wewenang Kabupaten termasuk sebagian tugas yang wajib
dilaksanakan oleh Kabupaten meliputi pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
Koperasi, dan tenaga kerja.
Sebagai pedoman untuk pelaksanaan tugas pembantuan itu
telah dapat ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Bagi Desa yang
menyatakan keberatan terhadap pemberian Tugas Pembantuan

166 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dari Pemerintah dan atau Provinsi, menyampaikan secara tertulis
melalui Bupati masing-masing. Sedangkan bagi Desa yang
menyatakan keberatan terhadap pemberian Tugas Pembantuan dari
Kabupaten menyampaikan secara tertulis kepada Bupati. Penilaian
layak tidaknya diukur dari maksud dan tujuan pemberian tugas,
dukungan sarana, prasarana, dan biaya serta jangka waktunya.
Penghentian Tugas Pembantuan dapat dilakukan apabila:
(a) dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan
baru dari Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten;
(b) berdasarkan hasil penilaian, evaluasi, dan pembinaan
dari Pemberi Tugas Pembantuan bahwa Penerima Tugas
Pembantuan tidak mampu menyelenggarakan Tugas
Pembantuan;
(c) penyelenggaraannya tidak sesuai dengan rencana/program
yang ditetapkan oleh Pemberi Tugas Pembantuan; dan
(d) pelaksanaan Tugas Pembantuan telah selesai.

Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut ditindaklanjuti


dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun
2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Pada
bagian Penjelasan Umum, berisi ketentuan menegaskan bahwa
landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah:
(a) Keanekaragaman, memiliki makna bahwa istilah Desa
dapat disesuaikan dengan asal -usul dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung,
Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori, atau Marga.
Hal ini berarti pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa
akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 167


istiadat dan budaya masyarakat setempat, namun harus
tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999);
(b) Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan
Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif
masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut
bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan
bersama sebagai sesama warga Desa;
(c) Otonomi Asli, memiliki makna bahwa kewenangan
Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal
usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat
setempat, namun harus diselenggarakan dalam perspektif
administrasi pemerintahan modern;
(d) Demokratisasi , memiliki makna bahwa penyelenggaraan
Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi
masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan
Perwakilan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra
Pemerintah Desa; dan
(e) Pemberdayaan Masyarakat, memiliki makna bahwa
penyelenggaraan Pemerintahan Desa diabdikan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur


hal -hal mendasar mengenai pembentukan, penghapusan dan
atau penggabungan desa, susunan organisasi pemerintahan

168 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


desa, Badan Perwakilan Desa, lembaga lain, keuangan desa,
dankerjasama antar desa.
Dalam rangka perwujudan demokrasi di tingkat Desa
diadakan Badan Perwakilan Desa yang berfungsi menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan
dalam hal penetapan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa dan kebijakan yang ditetapkan oleh
Kepala Desa (Pasal 104 ayat (1)). Keanggotaan Badan Perwakilan
Desa direkrut melalui pemilihan oleh penduduk Desa setempat
dari calon-calon yang memenuhi persyaratan (Pasal 104 ayat
(2)). Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari anggota
dalam musyawarah Badan Perwakilan Desa (Pasal 104 ayat (3)).
Kepala Desa dalam kedudukan sebagai kepala pemerintahan
bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa
dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati
(Pasal 102).
Dengan dipertegasnya Desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan sosial budaya masyarakat setempat,
berarti terbuka peluang untuk tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga kemasyarakatan sesuai kebutuhan dan
kondisi sosial budaya setempat (Pasal 106). Lembaga-lembaga
kemasyarakatan dimaksud merupakan mitra dari Pemerintahan
Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Sumber Pendapatan asli Desa merupakan sumber keuangan
Desa yang digali dari dalam wilayah Desa yang bersangkutan yang
terdiri dari hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya
dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain Pendapatan Asli
Desa yang sah (Pasal 107 ayat (1)). Pendapatan Asli Desa dipungut
berdasarkan Peraturan Desa sesuai dengan peraturan perundang-

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 169


undangan yang berlaku (Pasal 107 ayat (5)). Ketentuan ini,
menurutu Penjelasan Pasal 107 ayat (1) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 mempunyai batasan-batasan sebagai berikut:
(a) Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh
Desa tidak dibernarkan diambilalih oleh pemerintah pusat
atau pemerintah daerah;
(b) Sumber pendapatan yang berada di Desa, baik pajak maupun
retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak
dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh pemerintah
desa;
(c) Pendapatan Daerah dari sumber yang berada di Desa harus
diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian
secara proporsional dan adil, guna menghilangkan beban
biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan dapat


menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan
memanfaa tkan sumber daya dan potensi yang tersedia, selain Desa
mampu mengembangkan dan memberdayakan potensi Desa dalam
meningkatkan pendapatan Desa pada gilirannya menghasilkan
masyarakat Desa yang berkemampuan untuk mandiri. Berkenaan
dengan itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah
membuka peluang kepada Pemerintahan Desa untuk menggali
sumber -sumber pendapatan yang cukup potensial dengan
berdasarkan ketentuan yang ada, antara lain dengan pendirian
Badan Usaha Milik Desa (Pasal 108), melakukan kerjasama dengan
pihak ketiga (Pasal 110) dan kewenangan melakukan pinjaman
(Pasal 107 ayat 1 huruf e).

170 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Cukup menarik mengenai kewenangan Desa untuk
membentuk badan usaha. Dalam ketentuan Pasal 108 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak disebut apakah yang
menjadi bentuk hukum dari badan usaha, kecuali bahwa “desa
dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.” Ini merupakan contoh perumusan norma deklaratif
yang tidak ada implikasi hukumnya. Sebenarnya jika dicermati
ketentuan-ketentuan sebelumnya yang dipahami memberikan
kewenangan desa untuk “mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri” dan dikaitkan dengan kewenangan desa untuk menetapkan
sumber pendapatan desa, hal itu sudah sendiri termasuk melakukan
kegiatan, antara lain mendirikan badan usaha. Dalam percakapan
sehari-hari, badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
itu disimiliarisasi dengan Badan Usaha Milik Desa. Kemudian
“peraturan perundang-undangan” apakah yang dipedomani dalam
membentuk badan usaha tersebut? Dalam tata hukum, dikenal
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara. Walaupun demikian, tentunya undang-undang ini
tidak dapat sebagai rujukan, karena materi muatannya memang
tidak berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa,
dan tentu saja bukanlah pemahaman (begrip) yang tepat, untuk
menyamakan Badan Usaha Milik Negara dengan badan usaha yang
dapat dibentuk oleh desa.
Jika seandainya diterima penafsiran hukum yang memberi
nama badan usaha yang dapat dibentuk menurut kewenangan desa
itu adalah Badan Usaha Milik Desa, dan penafsirannya tidak sama
dengan pemahaman (begrip) Badan Usaha Milik Negara, ketentuan
dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut
belum memberikan kepastian hukum mengenai:

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 171


(a) Siapakah yang dapat mendirikan sekaligus memiliki badan
usaha tersebut, yaitu: (i) apakah hanya satu Desa; (ii) beberapa
desa dalam satu kecamatan; ataukah (iii) beberapa desa yang
tidak berada dalam satu kecamatan?;
(b) Jika menyangkut pembentukan badan usaha yang berarti
ada penyertaan modal dari kekayaan desa, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 104, harus diputuskan bersama
dengan Badan Perwakilan Desa, sehingga harus berbentuk
Peraturan Desa. Apabila dibentuk hanya oleh sebuah desa
tentu tidak masalah, bagaimanakah jika memang badan usaha
itu memungkinkan dibentuk oleh gabungan beberapa desa
dalam satu kecamatan atau gabungan beberapa desa yang
berlainan kecamatan, bentuk hukum apakah yang tepat?
Apakah dengan menggunakan penafsiran sistematis, keadaan
itu merupakan salah satu bentuk kerja sama antardesa
sebagaimana diatur dalam Pasal 109, sehingga legalisasinya
dituangkan dengan Keputusan Bersama dan diberitahukan
kepada Camat? Bagaimanakah dengan persetujuan Badan
Perwakilan Desa masing-masing atas pengelolaan kekayaan
desa menyangkut masalah ini?
(c) Jenis usaha apakah yang dapat ditampung di dalam badan
usaha yang dapat dibentuk oleh Desa menurut kewenangan
nya tersebut?
(d) Darimanakah sumber-sumber pendanaan untuk pembentukan
badan usaha tersebut? Apakah hanya dari kekayaan desa,
ataukah dimungkinkan memperoleh dukungan pendanaan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten? Jika untuk yang terakhir
ini dimungkinkan, bagaimanakah status pengelolaan sumber

172 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dana tersebut, apakah merupakan penyertaan modal ataukah
bantuan ataukah pinjaman?
(e) Bagaimanakah dengan mekanisme pengelolaan dan
pertanggungjawaban, pengelolaan aset, dan bagi hasil usaha
atas badan usaha yang dibentuk desa tersebut?

Hal-hal di atas tidak memperoleh jawaban dalam ketentuan


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena itu,
mestinya harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah sebagai pengaturan lebih lanjut mengenai Desa
sesuai ketentuan Pasa 111.
Menurut Soehino, konstruksi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 yang mengatur desa hanya dari segi pemerintahannya
saja harus dapat dipahami, karena undang-undang tersebut tetap
mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya
kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelansungan
pembangunan ketahanan nasional.157 Lagipula, menurut Soehino,
pengaturan desa “satu paket” dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
karena menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pemerintahan
daerah dengan pemerintahan desa, selain menunjukkan penting
dan luasnya pemerintahan desa itu sehingga perlu diatur dalam
undang-undang tersendiri.158 Hal yang berbeda ditemui dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur desa
“satu paket” dengan undang-undang yang mengatur mengenai
pemerintahan daerah.

157
Soehino, 2002, Hukum Tata Negara: Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jogjakarta, BPFE Yogyakarta, hlm. 70.
158
Ibid.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 173


Menurut kami, legal policy atau politik hukum Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 didasarkan kepada pemikiran bahwa bentuk dan
susunan daerah otonom hanya pada 2 (dua) tingkat saja, yaitu
Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, artinya tidak ada maksud
pembentuk undang-undang untuk menjadikan desa sebagai daerah
otonom atau daerah yang didorong menjadi daerah otonom,
walaupun secara normatif, laiknya undang-undang yang berlaku
sebelum itu, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965.
Dalam konteks Orde Baru, desa dimaknai bukan dalam
konteks “pembagian negara ke dalam daerah besar dan daerah
kecil” menurut versi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, karena
yang demikian adalah sudah final dan sudah selesai dilakukan oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Desa, dalam konteks ini
juga tidak dipahami sebagai entitas teritorial yang harus diakui
keberadaannya karena mempunyai “hak asal usul yang bersifat
istimewa” atau karena “berhak mengatur rumah tangganya sendiri,
melainkan sebagai daerah, dalam arti “kumpulan orang yang secara
kesatuan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
dirinya sendiri” atau dalam literatur dikenal sebagai komunitas
(community).
Karena tekanannya adalah pada frasa “yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat”
maka frasa sebelumnya yaitu “kesatuan masyarakat” menjadi
kabur maknanya karena mengingkari suatu fenomena kemestian
bahwa suatu kesatuan masyarakat tertentu memiliki kompleksitas
yang unik pula sehingga berbeda dengan kesatuan masyarakat
yang lain. Faktanya: kebijakan Undang-Undang Nomor 5

174 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Tahun 1979 menyeragamkan susunan organisasi pemerintahan
desa untuk seluruh wilayah republik. Jadi, di sinilah ambiguitas
legal policy Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979: pada satu
sisi mengakui desa, termasuk kesatuan masyarakat hukum
(yang mestinya bermacam-macam dan majemuk), tetapi di sisi
lain divonis untuk serupa satu sama lain, yaitu dengan status
“organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat.”
Jadi, berlainan dengan pendapat Soehino, kehendak mengatur
desa dalam “satu paket” Undang-Undang Pemerintahan Daerah
atau tidak, amat tergentung pemaknaan eksistensi desa itu
apakah sekedar sebagai “wilayah berpenduduk” dan “mempunyai
organisasi pemerintahan” atau bagian dari wilayah negara yang
memberikan sumbangan bagi desentralisasi teritorial, suatu isu
yang amat penting dalam pemencaran kekuasaan versi negara
kesatuan laiknya Republik Indonesia.
Secara normatif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
menempatkan Desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah
di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan hak asal-usul Desa. Implikasinya adalah,
Desa berhak membuat regulasi Desa sendiri untuk mengelola
barang-barang publik dan kehidupan Desa, sejauh belum diatur
oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan
Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan
Desa”. Ini artinya, bahwa Desa mempunyai kewenangan devolutif
(membuat peraturan Desa) sekaligus mempunyai kekuasaan
legislatif untuk membuat peraturan Desa itu. Di samping itu juga
dapat dibentuk Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala
Desa. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah,
Desa atau sebutan lain diberi kewenangan untuk mengatur dan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 175


mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui. Dalam rangka pengaturan
kepentingan masyarakat, Badan Perwakilan Desa bersama
Pemerintah Desa menyusun Peraturan Desa dan Kepala Desa
menyusun peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Kepala Desa
dan Keputusan Kepala Desa. Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa dan Keputusan Kepala Desa harus disusun secara benar sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum dan teknik penyusunannya. Untuk
itu perlu adanya pedoman penyusunan dan standarisasi bentuk
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala
Desa. Pada waktu itu telah berhasil ditetapkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 2002 tentang Teknik Pcnyusunan
Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
memperoleh apresiasi yang luar biasa, sekaligus membangkitkan
wacana, inisiatif dan eksperimentasi otonomi Desa. Sumatera
Barat telah kembali nagari sejak 2000/2001, Kabupaten Tana
Toraja telah mengukuhkan kembali ke Lembang, dan di beberapa
kabupaten di Kalimantan Barat tengah berjuang untuk kembali
ke pemerintahan binua. Sumatera Barat merupakan daerah yang
sangat unik dan eksotik dalam hal desentralisasi dan demokrasi
lokal karena mereka mempunyai sejarah “otonomi asli” yang
berbasis pada nagari. Sampai 2002 pembentukan kembali
(recreating) nagari di wilayah kabupaten telah usai dilakukan.
Prinsipnya adalah membentuk “nagari baru” yang menggabungkan
antara self-governing community (otonomi asli yang berbasis adat)
dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). Pola
penggabungan ini adalah format baru nagari yang memungkinkan
terjadinya “rekonsiliasi” antara “Desa adat” dengan “Desa dinas”.

176 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


2. Badan Perwakilan Desa
Di luar skema otonomi Desa di atas, lompatan lain yang
tampak dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
pelembagaan demokrasi Desa dengan lahirnya Badan Perwakilan
Desa sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa. Pasal 94
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan: “Di
Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang
merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan:
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi
mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Ketentuan lebih
lanjut mengenai Badan Perwakilan Desa diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Pasal 30-38.
Badan Perwakilan Desa menjadi arena baru bagi kekuasaan,
representasi dan demokrasi Desa. Badan Perwakilan Desa
dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap Lembaga Masyarakat
Desa. Pembentukan Badan Perwakilan Desa melibatkan secara
terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi
perwakilan yang lebih baik ketimbang Lembaga Masyarakat
Desa. Berbeda dengan Lembaga Masyarakat Desa masa lalu
yang ditunjuk oleh lurah, Badan Perwakilan Desa dipilih dengan
melibatkan masyarakat. Jika dulu Lembaga Masyarakat Desa
merupakan lembaga korporatis yang diketuai secara ex officio dan
didominasi oleh kepala Desa, sekarang kepala Desa ditempatkan
sebagai eksekutif sementara Badan Perwakilan Desa sebagai badan
legislatif yang terpisah dari Kepala Desa.
Dengan kalimat lain, lahirnya Badan Pengawasan Desa telah
membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala Desa
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan Badan Perwakilan Desa

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 177


sebagai pemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga domain
kekuasaan kepala Desa yang telah dibagi ke Badan Perwakilan
Desa: (1) pembuatan Peraturan Desa yang dikerjakan bersama-
sama Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa; (2) pengelolaan
keuangan yang melibatkan Badan Perwakilan Desa seperti anggaran
desa dan pelelangan tanah kas Desa; (3) rekrutmen perangkat Desa
yang dulu dikendalikan oleh Kepala Desa dan kecamatan maupun
kabupaten sekarang dikendalikan oleh Badan Perwakilan Desa.
Bahkan kontrol Badan Perwakilan Desa terhadap kepala Desa
sudah dijalankan meski kontrol itu masih terbatas pada laporan
pertanggungjawaban lurah dan ia belum terinstitusionalisasi kepada
masyarakat.
Di samping itu, dapat dibentuk kelembagaan desa yang lain
seperti lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan desa, yang
secara rinci telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76
Tahun 2001 Pasal 41 sampai dengan Pasal 43. Pemerintah Daerah
harus mengakui dan menghormati adat istiadat dan lembaga
adat di wilayahnya sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam upaya
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
lembaga adat di wilayahnya. Pengaturan lebih lanjut mengenai
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
lembaga adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten.
Peraturan Daerah Kabupaten tersebut, memuat materi antara lain :
(a) mekanisme pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan;
(b) kedudukan, tugas dan fungsi lembaga adat;
(c) hak, wewenang dan kewajiban lembaga adat termasuk
kewenangan dalam penyelesaian perselisihan sengketa adat;

178 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(d) susunan organisasi; dan
(e) hubungan dengan organisasi pemerintahan, baik Pemerintah
Desa maupun Pemerintah Kabupaten.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat di Desa dapat


dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai kebutuhan. Lembaga
kemasyarakatan tersebut , ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Lembaga kemasyarakatan berperan sebagai mitra Pemerintah
Desa dalam penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu
pada masyarakat. Pengaturan lebih lanjut mengenai Pedoman
Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan di Desa ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten. Peraturan Daerah Kabupaten
tersebut memuat materi antara lain mengenai :
(a) nama lembaga kemasyarakatan;
(b) susunan organisasi;
(c) tata kerja;
(d) kedudukan dan tugas;
(e) kewenangan, hak dan kewajiban;
(f ) hubungan antar lembaga kemasyarakatan di Desa yang ber-
sangkutan, antar Desa dan antara lembaga kemasyarakatan
dengan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.

3. Cakupan dan Problem Desentralisasi Desa


Meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tetap memiliki sejumlah
keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi Desain desentralisasi.
Undang-Undang ini menyerahkan sepenuhnya persoalan Desa
kepada kabupaten/kota, sehingga membuat rumusan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan “cek kosong”

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 179


pengaturan Desa kepada kabupaten/kota (Pasal 111). Ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memberikan
diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi
kewenangan kepada Desa.
Di satu sisi ini adalah gagasan subsidiarity yang baik, tetapi
nampaknya pembentuk undang-undang tidak mempunyai
konsepsi yang memadai untuk merumuskan disain desentralisasi
dan otonomi Desa. Sebagaimana ditunjukkan oleh Selo Sumardjan
(1992)159, pemerintah sebenarnya mengalami kesulitan dalam
mengatur otonomi Desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak
1965. Jika dilihat dari sisi hukumketetanegaraan, pemberian cek
kosong kepada kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukan
desentralisasi adalah negara, bukan kabupaten/kota. Ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuat kabur (tidak
jelas) posisi Desa karena mencampuradukkan antara prinsip
self-governing community (otonomi asli) dan local-self government
(desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas.
Pengakuan Desa sebagai self-governing community (otonomi
asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia, ketimbang substantif.
Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dijalankan
dijalankan, tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi
asli Desa, terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat Desa adat.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
kewenangan Desa menurut Pasal 99 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) mencakup: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-
perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah

Lihat dalam E.B. Sitrous, op.cit.


159

180 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa
sebagaimana Pasal 99 ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa Desa
memiliki kewenangan asli yang tidak boleh diintervensi oleh
pemerintah supraDesa. Namun hal ini dalam kenyataannya tidak
jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga Desa tetap saja tidak
mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti (signifikan)
yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom). Kewenangan
yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di Desa hanyalah
kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan
terhadap kehidupan masyarakat Desa itu sendiri. Kewenangan
asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertanda bagi Desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum atau Desa sebagai subyek hukum
yang otonom.
Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenangan
mengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri” menjadi
kewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakat
setempat” sebagaimana terumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Kalau hanya sekadar kewenangan
mengelola “kepentingan masyarakat setempat”, kenapa harus
diformalkan dalam undang-undang, sebab selama ini masyarakat
sudah mengelola kepentingan hidup sehari-hari mereka secara
mandiri. Tanpa pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan
mengelola kepentingan mereka sendiri.
Jenis kewenangan yang oleh peraturan perundang-
perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah
dan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2)
menunjukkan betapa Desa hanya akan memperoleh kewenangan
sisa dari kewenangan pemerintah supraDesa (otonomi residu).

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 181


Sementara pada Pasal 99 ayat (3) sebenarnya bukanlah termasuk
kategori kewenangan Desa karena tugas pembantuan hanyalah
sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan,
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Hal tersebut dipertegas pada ketentuan
Pasal 100. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pemerintah
Desa berhak menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang tidak
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia. Dengan demikian makna Tugas Pembantuan bukanlah
merupakan kewenangan Desa tetapi sekedar sebagai pelaksana
dari sebuah kegiatan yang berasal dari pemerintah supraDesa.
Walaupun sesungguhnya secara normatif, meletakkan Desa sebagai
pihak atau institusi yang menerima Tugas Pembantuan dari satuan
pemerintahan daerah pada tingkat lebih atas merupakan hal yang
baru. Hal ini karena sasaran Tugas Pembantuan menurut Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 meliputi Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) serta Desa. Sementara, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974, pihak yang dapat menerima Tugas Pembantuan
hanya Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah
Tingkat II. Demikian juga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
mengatur lebih terbatas terkait dengan fasilitas yang menyertai
Tugas Pembantuan itu hanya mencakup pembiayaan saja dan
tidak ada hak untuk menolak Tugas Pembantuan itu. Sementara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menuntut supaya Tugas
Pembantuan itu disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia, dan memberikan peluang bagi Daerah dan
Desa untuk menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan jika tidak
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia.

182 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Argumen bahwa Tugas Pembantuan bukanlah merupakan
kewenangan Desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah
kegiatan yang berasal dari pemerintah secara teoritis memang dapat
diterima. Hal ini berkesuaian dengan pendapat Sadu Wasistiono,
yang mengatakan bahwa Tugas Pembantuan mempunyai unsur-
unsur sebagai berikut:160
(a) Tugas Pembantuan adalah tugas membantu menjalankan
urusan pemerintahan dalam tahap implementasi kebijakan
yang bersifat operasional;
(b) Urusan pemerintah yang dapat ditugaspembantukan adalah
yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya;
(c) Kewenangan yang dapat ditugaspembantuankan adalah
kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan
yang bersifat delegatif tidak dapat ditugaspembantuankan;
(d) Urusan pemerintah yang ditugaspembantuankan tetap
menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya;
(e) Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana, dan prasarana
serta sumber daya manusia, disediakan oleh institusi yang
menugaskannya;
(f ) Kegiatan operasional diserakan sepenuhnya kepada institusi
yang diberi penugasan, sesuai dengan situasi, kondisi, serta
kemampuannya; dan
(g) Institusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan
dan mempertanggungjawabkan mengenai urusan
pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang
menugaskan.

160
Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Bandung, Penerbit Fokus Media, hlm. 70.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 183


Ketentuan mengenai tugas pembantuan itu ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah ini
menegaskan bahwa maksud pemberian Tugas Pembantuan adalah
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan, pengelolaan pembangunan, serta pelayanan umum.
Sedangkan tujuan Tugas Pembantuan adalah untuk memperlancar
pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu
pengembangan pembangunan bagi Daerah dan Desa.
Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu unsur pengertian
Tugas Pembantuan adalah urusan yang ditugaspembantuankan
hanyalah yang berdasarkan kewenangan atributif, yaitu kewenangan
yang melekat pada satuan pemerintahan atas dasar peraturan
perundang-undangan yang membentuknya.161 Oleh karena itu,
dalam sistem Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, obyek Tugas
Pembantuan yang diserahkan kepada Desa, haruslah terlebih dahulu
dipilah-pilah sebagai berikut: (i) Jika Tugas Pembantuan itu berasal
dari Pemerintah Pusat, maka harus dilacak kewenangan atributif
apa yang melekat pada pemerintah pusat menurut peraturan
perundang-undangan; (ii) Jika Tugas Pembantuan itu berasal dari
Provinsi, maka harus dilacak kewenangan atributif apa yang melekat
pada Provinsi menurut peraturan perundang-undangan; dan (iii)
Jika Tugas Pembantuan itu berasal dari Kabupaten/Kota, maka
dilacak kewenangan atributif apa yang melekat pada Kabupaten/
Kota menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pembagian urusan kewenangan antara Pemerintah,

Ibid., hlm. 74.


161

184 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh
sebab itu, sebelum melaksanakan Tugas Pembantuan kepada Desa,
terutama kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota, harus melakukan
inventarisasi kewenangan sebagai Daerah Otonom.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 185


BAB X

PENGATURAN DESA SETELAH


PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 (TAHUN 2004-2013)

A. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR


Seiring dengan reformasi ketatanegaraan yang ditandai
dengan berhentinya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan
sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 dan telah dilaksanakan
pemilihan umum tahun 1999, maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 37
Undang-Undang Dasar 1945, melalukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan itu dilakukan dalam
Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan
Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002). Perubahan itu
meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari
3 kali lipat muatan asli Undang-Undang Dasar 1945. Jika naskah
asli Undang-Undang Dasar 1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah
4 kali perubahan, kini jumlah materi muatan Undang-Undang
Dasar 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Menurut
Denny Indrayana, perubahan terhadap Undang-Undang Dasar

187
1945 itu mempunyai makna yang penting karena 2 (dua) hal.162
Pertama, sepanjang sejarahnya, Indonesia belum pernah berhasil
melakukan reformasi konstitusi. Keempat usaha yang dilakukan
pada tahun 1945, 1949, 1950, dan 1956-1959, gagal menciptakan
sebuah konstitusi yang demokratis, terutama yang tidak bersifat
sementara. Kedua, usaha reformasi konstitusi yang kelima pada
kurun waktu 1999-2002 sangat krusial untuk mengantarkan
transisi Indonesia dari kekuasaan otoriter Soeharto ke sebuah
tatanana kelembagaan yang demokratis.
Dalam kerangka perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 tersebut, salah satu hal yang dihasilkan adalah amandemen
terhadap ketentuan Pasal 18 (mengenai pemerintahan daerah) yang
ditetapkan dalam Perubahan Kedua (2000). Secara struktur, Pasal
18 sama sekali diganti baru. Yang semula hanya satu pasal menjadi
3 (tiga) pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Penggantian
secara menyeluruh, berakibat juga bagi Penjelasan.163 Penjelasan
yang selama ini menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan
daerah tidak berlaku lagi.
Berikut ini dikutipkan bunyi selengkapnya ketentuan Pasal
18, Pasal 18A, dan Pasal 18B tersebut.

162
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran,
Bandung, Penerbit Mizan, hlm. 47.
163
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sama sekali bukan karya BPUPKI dan
PPKI, tetapi karya pribadi Prof. Soepomo yang kemudian dimuat dalam Berita Republik
Indonesia Nomor II Tahun 1946. Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, naskah
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan meliputi Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.
Demikian seterusnya, terutama era Orde Baru, yang mensosialisasikannya melalui Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dari 1978-1998.

188 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pasal 18 Ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-
undang.
Ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
Ayat (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
Ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis.
Ayat (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Ayat (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 189


Ayat (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahand aerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18A Ayat (1) Hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi
dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
Ayat (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dlaksanakan secara adil dan selaras
berdaasarkan undang-undang.
Pasal 18B Ayat (1) Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.
Ayat (2) Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang.
Menurut Bagir Manan, pasal-pasal pemerintahan daerah
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memuat berbagai
paradigma baru dan arah politik pemerintahan daerah yang baru

190 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pula.164 Hal-hal tersebut nampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan
berikut:
Pertama, prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 18 ayat (2)). Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah
daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.165
Kedua, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal
18 ayat (5)). Maknanya adalah Daerah berhak mengatur dan
mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh
undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat.166
Ketiga, prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A
ayat (1)). Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi
otonomi daerah tidak harus seragam (uniformitas). Bentuk dan
sisi otonomi daerah dientukan oleh berbagai keadaan khusus dan
keragama setiap daerah. Inilah aspek penting sistem otonomi riil,
yaitu otonomi yang beragam.167
Keempat, prisip mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B
ayat (2)). Kesatuan-kesatuan masyarakat ini tidak hanya diakui
tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat
dan sama pentingnya dengan kesatuan peemrintahan lain seperti
kabupaten dan kota.168

164
Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 7.
165
Ibid., hlm. 8.
166
Ibid., hlm. 12.
167
Ibid., hlm. 12-13.
168
Ibid., hlm. 13-14.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 191


Kelima, prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1)).
Perkataan “khusus” akan mencakup pengertian yang lebih luas
karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan
otonomi khusus.169
Keenam, prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam
suatu pemilihan umum (Pasal 18 ayat (3)). Ketujuh, prinsip
hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil.
Salah satu hal yang perlu mendapatkan sorotan adalah
berkaitan dengan pengaturan desa. Ketentuan Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, walaupun sering
ditafsirkan membahas “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia”, termasuk Desa, tetapi sesungguhnya tidaklah
menetapkan kedudukan dan kewenangan Desa.
Menurut Bagir Manan, makna “masyarakat hukum adat”
adalah masyarakat hukum (rechtgemeenschap) yang berdasarkan
hukum adat atau adat istiadat, seperti Desa, Marga, Nagari,
Gampong, dan lain-lain. Selanjutnya diuraikan bahwa:170

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui


tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat

Ibid., hlm. 16.


169

Loc.cit., hlm. 13.


170

192 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti
kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna bahwa
kesatuan masyarakat yang berdasarkan hukum adat berhak atas
segala perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai
subsistem negara kesatuan Republik Indonesia, yang maju, modern,
dan sejahtera...Pengakuan dan perhormatan [tersebut] justru
mengandung tuntutan pembararuan kesatuan masyarakat hukum
adat sesuai dengan perannya sebagai subsistem negara kesatuan
Republik Indonesia yang maju dan modern.

Selanjutnya, mengenai “hak-hak tradisional”, Bagir Manan


menyatakan bahwa:171

Hak-hak tradisional ini meliputi hak ulayat, hak-hak memperoleh


manfaat atau kenikmatan dari tanah dan air, atau hasil hutan,
dan lain-lain di sekitarnya. Pengakuan dan penghormatan tersebut
tidak berarti menjadi hak yang tidak dapat disentuh atau diatur.
Negara atau pemerintah berwenang mengatur berbagai hak
tradisional tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama,
tanpa merugikan kepentingan masyarakat yang mempunyai
hubungan dengan hak tradisional tersebut.

Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Bagir Manan tersebut


masih terbawa oleh “suasana” penjelasan Undang-Undang Dasar
1945. Hal itu nampak dari pengindentikan “masyarakat hukum
adat” dengan Desa atau nama lain, yang oleh Prof. Soepomo dulu
ditemukenali sebagai “mempunyai hak asal usul yang bersifat
istimewa.” Lagipula Bagir Manan juga tidak menunjukkan secara
meyakinkan bahwa “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini
tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup

Ibid., hlm. 14.


171

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 193


yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan
lain seperti kabupaten dan kota”, apakah kesatuan masyarakat
hukum adat merupakan subsistem pemerintahan daerah ataukah
merupakan entitas kehidupan yang bersifat komunal, lalu
bagaimanakah hal itu dikaitkan dengan kedudukannya dalam
konteks ketatanegaraan Indonesia pada umumnya dan sistem
pemerintahan daerah pada khususnya? Juga, dengan kedudukan
masyarakat hukum adat “yang sederajat dan sama pentingnya dengan
kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota”, apakah
artinya otonomi yang dimilikinya sama dengan kabupaten dan
kota ataukah menjadi bagian dari susunan pemerintahan daerah?
Dengan adanya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya menyangkut substansi pemerintahan daerah, maka
menjadi salah satu faktor pendorong untuk melakukan peninjauan
kembali terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang
ditetapkan sebelum reformasi konstitusi.

B. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH


Pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Menurut undang-undang ini
Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan
perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui
kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah
yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa

194 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan. menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur “Pemerintah Daerah”.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. yang terdiri atas Pemerintah
Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh (Pemda Aceh)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh
terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi
mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis
Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.
Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi
Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Khusus
Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis
Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi
mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam
lingkungan Provinsi Aceh.
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran,

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 195


dan pengawasan. Ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan
Undang-Undang yang mengatur Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.172 Khusus untuk DPR
Aceh, DPR Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah
yang ditentukan dalam undang-undang yang mengatur mengenai
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk
kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil
kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk
kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil
Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan
dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis
daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis
daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan
Perubahan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 18, 18A, dan
18B. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua
kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Dewasa ini adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.


172

196 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Nomor 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah Aceh dan Jakarta kembali
diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua. Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi
Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi
induknya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008).

C. PENGATURAN DESA
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal
200 – Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005.
Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 masih menyisakan beberapa
persoalan dari sisi substansi dan regulasi. Ada beberapa isu krusial
yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 197


1. Kedudukan, Format dan Kewenangan Desa
Sesuai dengan konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 melakukan pembagian teritori (desentralisasi teritorial)
negara menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan: “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, karena itu, tidak termasuk
dalam skema desentralisasi teritorial. Ketentuan Undang-Undang
Nomor32 Tahun 2004 tidak mengenal otonomi Desa, melainkan
hanya mengenal otonomi daerah.
Pasal 200 ayat (1), menyatakan “Dalam pemerintahan
daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan Desa yang terdiri
dari pemerintah Desa dan badan permusyawaratan Desa.”
Penggunaan istilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa
pemerintah Desa merupakan sub sistem atau bagian dari
pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam undang-undang
ini Desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah
kabupaten/kota.
Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.......”.
Pemakaian istilah “dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain
menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan
pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal.
Dengan demikian ada perbedaan model hubungan pusat dan
daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan

198 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Kabupaten/kota dengan Desa berdasar Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004.
Pengakuan negara pada keberadaan Desa dituangkan dalam
bentuk pengertian Desa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Klausul ini
berupaya melokalisir Desa sebagai subyek hukum yang mengelola
kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan
pemerintahan, seperti halnya daerah. Desa sudah lama mengurus
sendiri kepentingan masyarakat, untuk apa fungsi ini harus
diakui oleh undang-undang. Tanpa diakui oleh undang-undang
sekalipun, Desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Klausul itu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui”
keberadaan Desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan
kepada Desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat
hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing
community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local
self government. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 memberikan definisi secara standar mengenai wewenang
untuk mengelola “urusan” pemerintahan Desa. Kewenangan
direduksi menjadi urusan.
Menurut Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
ada empat urusan pemerintahan Desa: (a) urusan yang sudah
ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (b) urusan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi,

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 199


dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang
oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada Desa.
Kewenangan asal-usul memang sebagai bentuk pengakuan
(rekognisi) terhadap Desa, tetapi hal ini hanya berhenti di atas kertas.
Kewenangan asal-usul tidak dijabarkan dan tidak dilembagakan,
apalagi kalau sudah sampai di level kabupaten. Meski Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung keragaman sebagai
sebuah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan Desa, tetapi
kita tidak menemukan makna dan disain kembagaan keragaman.
Ini hanya terlihat dari sisi nomenklatur, misalnya Desa atau nama
lain, kepala Desa dengan nama lain atau Badan Permusyawaratan
Desa dengan nama lain. Secara substantif Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menganut pendekatan Desa baku (default village)
yang diterapkan secara nasional ke seluruh Indonesia. Karena itu
Undang-Undang ini tidak mengenal konsep optional village untuk
mengakomodasi dan melembagakan keragaman Desa, misalnya
opsi tentang Desa adat yang ada di banyak daerah.
Sisi lain yang menjadi pertanyaan adalah “urusan yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa”. Ini artinya undang-undang memberi amanat kepada
kabupaten untuk melakukan “desentralisasi” kewenangan kepada
Desa. Menurut teori desentralisasi dan hukum tatanegara, skema
ini sama sekali tidak dibenarkan, karena menimbulkan kekacauan
logika dan hukum. Dapat diajukan pertanyaan azas apa yang
digunakan pemerintah untuk merumuskan klausul “urusan yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa”. Dari klausul ini pun kita sudah bisa mengatakan
bahwa posisi Desa tidak jelas. Ketentuan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 juga menegaskan “tugas pembantuan dari

200 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota” sebagai
salah satu bentuk kewenangan Desa.
Teori apa yang digunakan untuk mengatakan bahwa
tugas pembantuan sebagai salah satu kewenangan/urusan Desa?
Kewenangan, secara teoretis, adalah hak yang melekat dan
diserahkan sepenuhnya kepada Desa, dan pengambilan keputusan
serta akuntabilitas terletak pada Desa. Sementara tugas pembantuan
adalah bentuk delegasi dari pemerintah kepada Desa. Keputusan
dan akuntabilitas tugas pembantuan berada pada yang memberi
pembantuan, bukan pada yang menerimanya. Sebenarnya
tugas pembantuan bukan kewenangan Desa untuk “mengatur”
melainkan beban untuk mengurus, dan lebih celaka lagi kalau tugas
pembantuan itu tidak disertai dengan finansial dan sumberdaya.
Bahkan jika tugas pembantuan terlalu banyak masuk Desa sama
saja dengan menjadikan Desa sebagai pesuruh atau obyek bagi
pemerintah. Secara teoretis, tugas pembantuan bukanlah sebuah
kewenangan melainkan sebuah asas dalam penyelenggaraan tata
pemerintahan dan otonomi Desa.
Selanjutnya pertanyaan juga pantas diajukan kepada
bentuk kewenangan keempat: “urusan lainnya yang oleh peraturan
perundang-perundangan diserahkan kepada Desa”. Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ternyata tidak
menjabarkan lebih lanjut klausul kewenangan keempat ini, dan
tampaknya kewenangan butir 2 dan butir 4 ini dijabarkan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/2006 tentang Tatacara
Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menyajikan 31 bidang/
sektor urusan yang dibagi lagi secara ditail menjadi long list urusan
yang dapat diserahkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada
Desa. Karena konsepsi dasar yang dianut adalah “urusan”, maka

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 201


daftar panjang itu lebih mengandung tugas pembantuan urusan,
bukan desentralisasi kewenangan. Jika semua daftar itu benar-
benar diserahkan kabupaten kepada Desa, maka akan semakin
banyak beban-tugas yang harus diurus oleh Desa. Desa akan
semakin banyak “mengurus”, tetapi tidak berwenang “mengatur”.
Contoh yang cukup banyak adalah “rekomendasi izin” dan juga
“pembinaan”. Desa tentu hanya “mengurus” dalam bentuk
mengeluarkan rekomendasi izin, tetapi keputusan strategisnya
bukan terletak pada Desa, melainkan pada level pemerintah yang
lebih tinggi. Desa juga memperoleh beban baru yang lebih banyak,
yakni melakukan pembinaan, mulai dari pembinaan Perkumpulan
Petani Pemakai Air hingga pembinaan pemancar radio Desa.

2. Demokrasi dan Tata Pemerintahan Desa


Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk Badan
Perwakilan Desa dengan sistem permusyawaratan dalam bentuk
Badan Permusyawatan Desa. Pasal 210 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menegaskan: “Anggota Badan Permusyawaratan
Desa adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan
dengan cara musyawarah dan mufakat”. Pada Penjelasan Pasal
210 tersebut ditetapkan bahwa “Yang dimaksud dengan “ wakil ”
dalam ketentuan ini adalah penduduk Desa yang memangku jabatan
seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat
lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati
secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Badan Permusyawaratan
Desa mewadahi para pemuka masyarakat Desa tanpa harus
dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan Lembaga
Masyarakat Desa yang lalu.

202 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Di Desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk
menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam
Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap
pemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala Desa. Akibatnya
adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untuk
berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga
dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol
dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam
pemerintahan Desa.
Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala Desa.
Pertanggungjawaban kepala Desa ditemukan di dalam Penjelasan
Umum:

Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat


Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya
disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat.
Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib
memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan
kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung
jawabannya..-...

Klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala Desa


bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/
walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”. Pemindahan
akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang berpotensi
menampakkan wajah resentralisasi, serta mereduksi prinsip
subsidiatity dan proses demokrasi lokal.
Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan,
penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian
masalah sebaiknya dilakukan di level lokal. Sedangkan demokrasi

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 203


lokal mengajarkan bahwa akuntabilitas pejabat politik seharusnya
disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas.
Dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan
klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuat
kepala Desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat,
melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya.
Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari
Desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa
cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas
ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan
eksistensi Desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di
level Desa. Di sisi lain lembaga-lembaga kemasyarakatan juga
menjadi bagian penting dari demokrasi Desa. Ketentuan lebih
lanjut mengenai lembaga kemasyaratan itu diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penataan Lembaga Kemasyaratan Desa. Peraturan Menteri ini
dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 98 ayat (1) dan Pasal
99 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa, yang mewajibkan kepada pembinaan dan pengawasan
lembaga kemasyarakatan kepada: (i) Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi; dan (ii) Kabupaten/Kota dan Camat. Merujuk kepada
ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
5 Tahun 2007, lembaga kemasyarakatan atau yang disebut dengan
nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan
lurah dalam memberdayakan masyarakat. Merujuk kepada Pasal
7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, jenis
lembaga kemasyarakatan meliputi:

204 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(a) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Kelurahan
(LPMD/LPMK)/Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau
Kelurahan (LKMD/LKMK) atau sebutan nama lain;
(b) Lembaga Adat;
(c) Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan;
(d) RT/RW;Karang Taruna; dan
(e) Lembaga Kemasyarakatan lainnya

Di atas kertas, peraturan perundang-undangan memberikan


kekuasaan yang besar terhadap apa yang disebut sebagai lumbaga
kemasyarakatan, dan ini sepertinya akan memberikan ruang bagi
masyarakat sipil di Desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
pemerintahan dan pembangunan. Namun demikian, ada beberapa
resiko yang mungkin muncul dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Daerah yang menindaklanjuti. Lembaga
ini bisa diartikan sebagai lembaga baru dan satu-satunya lumbaga
yang menjadi mitra pemerintah Desa di dalam merumuskan,
melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan. Jika penafsiran
seperti itu, maka akan muncul lumbaga korporatis yang dibentuk
oleh pemerintahan Desa dan menjadi kepanjangan tangan Desa.

3. Perangkat Desa
Perangkat Desa yang diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sangat berbeda dengan pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perangkat Desa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri
dari sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya. Ketentuan Pasal
202 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan
Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan. Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditegaskan:

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 205


“Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil
secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan
perundang-undangan”. Dengan demikian, ada dua kemungkinan:
“Men-Sekdes-kan PNS, atau Mem-PNS-kan Sekdes”. Hal itu
ditindaklanjuti dengan penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun
2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan baru tersebut memang dilematis. Keberadaan
Sekretaris Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil memungkinkan
pelayanan (baca: penjagaan) di kantor Desa lebih terjamin. Tetapi
ketentuan ini adalah bentuk birokratisasi yang mempunyai risiko
buruk bagi pemerintahan Desa. Sesuai dengan konteks lokal,
Sekretaris Desa beserta perangkatnya adalah pamong Desa, yang
tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif secara ketat,
tetapi juga menjalankan fungsi sosial yang harus siap selama 24
jam sehari. Selama ini Sekretaris Desa direkrut secara lokal, serta
bertanggungjawab secara tunggal kepada kepala Desa. Kalau
Sekretaris Desa berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka dia
mempunyai tanggungjawab dan loyalitas ganda, yakni kepada
kepala Desa dan kepada birokrasi pembina PNS di atas Desa, dalam
hal ini Bupati melalui Sekretaris Daerah.
Birokratisasi ini bisa membawa pamong Desa kearah
birokrasi yang lebih kompleks dan menjauhkan pamong Desa dari
rakyatnya serta mengubah orientasi pengabdian Sekretaris Desa. Di
sisi lain, Sekretaris Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil ini juga
akan membuat kecemburuan sosial di kalangan perangkat Desa

206 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang lain, bahkan bagi kepala Desa sendiri. Kalau kecemburuan
sosial ini terjadi, maka efektivitas pelayanan administratif (sebuah
argumen yang dikedepankan oleh perumusnya) akan terdistorsi
secara serius.
Di sisil lain, sebagai konsekuensi dalam menjalankan
tugas dan fungsi sehari-hari Kepala Desa beserta perangkatnya
mendapatkan penghasilan sebagai penghargaan (remunerasi). Hal
tersebut diatur dalam Pasal 27 dari Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005, yang berbunyi: (1) Kepala Desa dan Perangkat
Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan
lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa; (2) Penghasilan
tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima kepala Desa dan
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
setiap tahun dalam APBDesa: (3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum
Regional Kabupaten/Kota.
Ketentuan Pasal 27 tersebut memberikan peluang pada
masing-masing Desa untuk memberikan penghargaan dalam
bentuk penghasilan sesuai dengan kondisi dan kemampuan
keuangan Desa. Namun yang akan menjadi kendala dalam
implementasinya adalah pada ayat (3). Kendala ini akan muncul
bagi Desa-Desa yang memiliki APBDesa yang minim. Mungkinkah
mereka akan dapat memberikan penghasilan kepada kepala Desa
beserta perangkatnya senilai penghasilan upah minimum regional
kalau untuk membiayai pembangunan dan kemasyarakatannya
saja masih kurang.
Status kepala Desa beserta perangkatnya ini bukan Pegawai
Negeri Sipil walaupun fungsi dan tugas yang dijalankan dalam
pemerintahan sehari-hari mereka seperti pejabat negara bahkan
simbol yang dipakainya menunjukan bahwa mereka adalah pejabat

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 207


negara namun meraka tidak diatur dengan sistem penghargaan
seperti layaknya Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan kalau mereka
akan diatur oleh undang-undang yang mengatur perlindungan
karyawan khusus untuk pegawai swasta tentu tidak tepat karena
mereka tidak menjalankan fungsi dan tugas suatu perusahaan.

4. Perencanaan dan Keuangan Desa


Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Desa tidak
mempunyai “kewenangan” menyusun perencanaan pembangunan,
melainkan diberikan “tugas” (tanggungjawab) menyusun
perencanaan. Persoalan antara kewenangan dan tugas ini jelas
betul, mengingat Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005 menegaskan: “Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan Desa disusun perencanaan pembangungan Desa
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan
daerah kabupaten/Kota”. Klausul ini menegaskan bahwa posisi
Desa berada dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota,
bukan berdiri sendiri sebagai subsistem yang otonom dan menjadi
bagian dari negara. Karena posisi itu juga, Desa tidak diberikan
otoritas untuk menyusun perencanaan sendiri (village self planning)
atau decentralized planning di atas Desa sesuai dengan batas-batas
kewenangan Desa.
Skema itu sebenarnya tidak membawa perubahan yang
signifikan, melainkan hanya meneguhkan model perencanaan
dari bawah mulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa yang selama ini sudah berjalan. Tetapi skema musyawarah
ini mengandung kelemahan dan distorsi, bukan saja terletak pada
miskinnya partisipasi masyarakat di aras Desa, tetapi yang lebih

208 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


penting, bahwa Desa tidak berdaya dan tidak mempunyai otoritas
yang memadai dalam sistem perencanaan. Desa hanya mengusulkan,
akan tetapi pemerintah kabupaten yang menentukan.
Akar masalah dari semua ini adalah ketidakjelasan pembagian
kewenangan kabupaten dan Desa, sekaligus Desa belum
ditempatkan sebagai entitas yang mengelola sendiri perencanaan
pembangunan. Dengan kalimat lain, sejauh ini kita baru mengenal
perencanaan daerah, tetapi belum mengenal perencanaan Desa
yang berhenti di level Desa.
Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tampak sekali belum menyentuh aspek-aspek desentralisasi
perencanaan, melainkan hanya menegaskan aspek partisipasi
masyarakat dalam perencanaan yang bersifat lokalistik di aras Desa.
Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005, diatur bahwa “Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan desa disusun perencanaan pembangungan desa sebagai
satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah
kabupaten/Kota.” Selanjutnya diatur dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa
“Perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan Desa sesuai dengan
kewenangannya”. Lalu, Pasal 63 ayat (3) mengatur bahwa “ Dalam
menyusun perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan Desa”.
Kemudian jenis perencanaan Desa menurut Pasal 64
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 meliputi: (a) Rencana
pembangunan jangka menengah Desa yang selanjutnya disebut
RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; (b) Rencana kerja
pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan
penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 209


Skema itu pada dasarnya memberikan beban dan
tanggungjawab kepada Desa, bukan memberikan kekuasaan dan
pemberdayaan. Menyusun RPJMD tentu sangat ideal, tetapi itu
juga menjadi beban berat, jika Desa tidak memperoleh hak-hak
dan kekuasaan yang memadai. Apalagi, dalam Pasal 65 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juga ditegaskan bahwa
perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada
Pasal 64 ayat (1) didasarkan pada data dan informasi yang akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berarti Desa dipaksa
harus berbenah diri dalam hal pendataan dan administrasi Desa.
Pada sisi lain ada beberapa kelemahan yang terkandung dalam
Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
tidak menegaskan keharusan pemerintah Desa melibatkan Badan
Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan perencanaan
pembangunan Desa. Akibatnya peraturan itu memperkuat kontrol
Kepala Desa dalam mengatur tentang Desa. Idealnya Badan
Permusyawaratan Desa diberi hak inisiatif untuk mengajukan
RPJMD, sehingga RPJMD lebih menyuarakan kepentingan
masyarakat. Selain itu dipertegas bahwa proses penyusunan
perencanaan pembangunan Desa melibatkan tiga kelompok
yaitu pemerintah Desa yang sekaligus sebagai fasilitator kegiatan
penyusunan, BPD dan warga.

5. Keuangan dan Pendapatan Desa


Setelah perencanaan maka diikuti dengan keuangan.
Formula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 memperkenalkan Alokasi
Dana Desa (ADD), yang prinsip dasarnya Desa mempunyai hak
untuk memperoleh alokasi keuangan negara. Kebijakan mengenai

210 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Alokasi Dana Desa (ADD) sebenarnya telah diterapkan pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, khususnya
pasal 107 ayat (1) huruf b. Akan tetapi pada pasal ini, penekanan
pelaksanaan ADD masih bersifat “himbauan” karena disebutkan
sebagai bantuan dari pemerintah kabupaten.
Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ditindak-
lanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005,
tekanan pelaksanaan kebijakan mengenai ADD mendapatkan
perhatian lebih serius. Kata “bantuan” yang tertulis di dalam pasal
107 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dihapus. Artinya,
Desa mempunyai sumber pendapatan yang berasal (antara lain)
dari bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diterima oleh pemerintah daerah, dan bagi hasil pajak dan
retribusi daerah.
Kebijakan ADD yang tertuang di dalam PP No.72/2005 pada
dasarnya mengadopsi kebijakan Depdagri sebagaimana tertuang
dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.140/640/SJ
tanggal 22 Maret 2005. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini
lahir karena pada beberapa kabupaten, kebijakan mengenai ADD
telah diterapkan dan mampu memberikan manfaat yang baik bagi
perkembangan perekonomian dan pembangunan masyarakat Desa.
Oleh karena itu, pada Penjelasan Umum atas PP No.72/2005 lebih
tegas dinyatakan bahwa:
Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Desa dan untuk peningkatan pelayanan serta
pemberdayaan masyarakat, Desa mempunyai sumber pendapatan
yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota,
bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta hibah dan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 211


sumbangan dari pihak ketiga. Sumber pendapatan yang berasal
dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah diberikan kepada
Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diluar upah pungut,
dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diterima oleh kabupaten/kota diberikan kepada Desa paling
sedikit 10% (sepuluh per seratus), sedangkan bantuan Pemerintah
Provinsi kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan keuangan provinsi bersangkutan. Bantuan tersebut
lebih diarahkan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan
Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa
berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa,
pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengeloaan galian C dengan
tidak menggunakan alat berat dan sumber lainnya.
Lebih jauh mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), Pasal 68
ayat (1) huruf b berikut Penjelasannya menyatakan bahwa “bagi
hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus) untuk Desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian
diperuntukkan bagi Desa yang dijelaskan bahwa dari bagi hasil
pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)
diberikan langsung kepada Desa. Sedangkan dari retribusi Kabupaten/
Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa yang dialokasikan secara
proporsional. Sedangkan Pasal 68 ayat (1.c) ditetapkan bahwa bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional
yang merupakan alokasi dana Desa. Kemudian Penjelasan ketentuan
ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak
dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang
belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung

212 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan
30% (tiga puluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional
pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan 70%
(tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat.
Pasal 70 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun
peraturan daerah mengenai bagian Desa dari perolehan pajak
dan retribusi daerah. Tetapi menurut Pasal 72 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai penerimaan
keuangan Desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima pemerintah daerah tidak diamanatkan
untuk ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, melainkan
disatukan dengan peraturan daerah mengenai Sumber-sumber
Pendapatan Desa. Pengaturan ini “aneh” karena pada kenyataannya
nominal jumlah dana yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah
dari usaha memungut pajak dan retribusi daerah jauh lebih kecil
dari pada jumlah dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diterima pemerintah daerah.
Pada dasarnya, ADD hanyalah salah satu sumber pendapatan
Desa. Sumber-sumber pendapatan Desa yang lain adalah
pendapatan asli Desa seperti hasil usaha Desa, hasil kekayaan
Desa, hasil swadaya dan partisipasi, dan lain-lain, juga bantuan
keuangan dai Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, serta dari hibah dari pihak ketiga yang tidak
mengikat (Pasal 68).
Mencermati kembali Undang-Undang 32/2004, tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya pada bagian kelima atau
tepatnya pada Pasal 212, yang menjelaskan tentang Keuangan
Desa. Demikian pula dengan pasal 213 yang menjelaskan tentang

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 213


kelembagaan ekonomi desa yang disebut dengan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa). Dua pasal ini tampak berpasangan, pasal
212 menegaskan tentang input “modal” pembangunan sosial dan
ekonomi desa, sedangkan pasal berikutnya menegaskan tentang
institusi ekonomi desa yang dapat digunakan untuk “sarana”
peningkatan ekonomi desa.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 212, bahwa Keuangan
desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang
yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban (ayat 1). Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan
pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa (ayat 2). Ini
menjelaskan kepada kita, bahwa institusi ini mengarahkan kepada
“penerima manfaat” bagaimana “memandirikan” desa, minimal
secara ekonomi.
Sementara itu, Pasal 212 ayat (3) menyatakan bahwa sumber
pendapatan desa tersebut, terdiri atas: (a) pendapatan asli desa; (b)
bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/ kota; (c)
bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh kabupaten/kota; (d) bantuan dari Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota;dan (e) hibah
dan sumbangan dari pihak ketiga.
Dinyatakan pula bahwa belanja desa digunakan untuk
mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa (Pasal 212 ayat (4)), sedangkan pengelolaan
keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan
dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja
desa (Pasal 212 ayat (5)). Pedoman pengelolaan keuangan desa
tersebut ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman
pada peraturan perudang-undangan (Pasal 212 ayat (6)).

214 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pasal 213 menegaskan tentang Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes). Pada Pasal 213 ayat (1) dijelaskan bahwa Desa dapat
mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan
potensi desa. Badan usaha tersebut berpedoman pada peraturan
perundang-undangan (ayat 2), dapat melakukan pinjaman
sesuai peraturan perundang undangan (ayat 3). Kelembagaan
ini sebenarnya telah diamanatkan pendirinnya sejak Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberlakukan 1 Januari 2001,
cukup potensial dijadikan sebagai media untuk meningkatkan
ekonomi desa.
Masih terkait dengan keuangan desa, Pasal 201 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pendanaan
sebagai akibat perubahan status desa menjadi kelurahan dibebankan
pada APBD kahupaten/kota (ayat 1). Dalam hal desa berubah
statusnya menjadi kelurahan, maka kekayaannya menjadi kekayaan
daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan (ayat 2).
Demikian pula dalam Pasal 207 disebutkan bahwa tugas
pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah, kabupaten/kota kepada desa (sebagai bagian dari
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, Pasal
206 huruf c) disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumberdaya manusia. Untuk hal ini perlu ditransparankan
regulasinya hingga tingkat desa, mengingat bahwa tugas
pembantuan tersebut sesungguhnya dapat ditolak oleh pemerintah
desa sepanjang tidak disertai pembiayaan, sarana dan prasarana,
ataupun sumberdaya manusia.
Penegasan tentang Keuangan Desa dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tampak penyusunannya
cukup terstruktur dan memiliki cakupan cukup luas. Bab VII

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 215


Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 memuat 15 pasal
yang dikelompokkan ke dalam lima bagian.
Bagian pertama menjelaskan tentang hal-hal bersifat umum
(Pasal 67), bagian kedua memuat tentang Sumber Pendapatan (Pasal
68-72), bagian ketiga tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (Pasal 73-74), bagian keempat tentang Pengelolaan (Pasal
75-77), dan bagian kelima tentang Badan Usaha Milik Desa (Pasal
78-81). Tampak bahwa secara berurutan bab VII ini memberikan
pemahaman yang bersifat sistemik, yaitu diawali dengan paparan
tentang sumber pendapatan yang dikemas dalam anggaran
pendapatan dan belanja desa hingga pengelolaannya, dan bermuara
pada kelembagaan ekonomi desa (Badan Usaha Milik Desa).
Seperti dijelaskan dalam Pasal 67 Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005, bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa, didanai dari
anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan
bantuan pemerintah daerah. Dalam hal ini, penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa
didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, sedangkan
urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa
didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Dalam hal sumber pendapatan desa, Pasal 68 menyatakan
bahwa sumber pendapatan desa, meliputi: (a) pendapatan asli desa,
terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya
dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan
asli desa yang sah; (b) bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota
paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari
retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa.
Sumber pendapatan dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota
ini diberikan langsung kepada Desa, sedangkan dari retribusi

216 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Kabupaten/Kota dialokasikan secara proporsional; dan (c) bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional
yang merupakan alokasi dana desa. Nilai bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah tersebut, terdiri dari dana
bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum
setelah dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota ini
diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah
Desa, dengan ketentuan 30% untuk biaya operasional pemerintah
desa dan BPD, dan 70% lainya untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat.
Selain itu, sumber pendapatan yang dimaksud berasal
dari bantuan keuangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan dan hibah dari sumbangan pihak ketiga yang tidak
mengikat. Bantuan Pemerintah diutamakan untuk tunjangan
penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Bantuan dari
Propinsi dan kabupaten/kota digunakan untuk percepatan atau
akselerasi pembangunan Desa. Sedangkan yang dimaksud dengan
“sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi,
wakaf, dan atau lain-lain. Pemberian sumbangan tersebut tidak
mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Demikian pula yang
dimaksud dengan “wakaf ” dalam ketentuan ini adalah perbuatan
hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya, guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam hal bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota disalurkan melalui kas

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 217


desa. Sedangkan sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan
dikelola oleh desa, tidak dibenarkan diambil alih pemerintah atau
pemerintah daerah.
Dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 Pasal 69 bahwa kekayaan Desa terdiri atas: tanah kas
desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa,
pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan
milik desa. Sumber pendapatan daerah yang berada di desa (Pasal
70), baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh
Provinsi atau Kabupaten/Kota, tidak dibenarkan adanya pungutan
tambahan oleh Pemerintah Desa.
Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut
oleh Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Bagian
desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan pengalokasiannya
ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pemberian hibah
dan sumbangan di atas tidak mengurangi kewajiban-kewajiban
pihak penyumbang kepada desa (pasal 71). Sumbangan yang
berbentuk barang, baik barang bergerak maupun barang tidak
bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APBDesa.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendapatan desa diatur
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 menyatakan bahwa ketentuan mengenai sumber pendapatan
desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Ketentuan
tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang: sumber pendapatan,
jenis pendapatan, rincian bagi hasil pajak dan retribusi daerah,

218 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


bagian dana perimbangan, persentase dana alokasi desa, hibah,
sumbangan, dan kekayaan.
Bagian Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
adalah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73-
74). Dinyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(selanjutnya ditulis anggaran desa) terdiri atas bagian pendapatan
Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan anggaran desa
dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa,
dan selanjutnya, Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan
Desa menetapkan anggaran desa setiap tahun dengan Peraturan
Desa. Dalam hal Pedoman penyusunan anggaran desa, perubahan
anggaran desa, perhitungan anggaran desa, dan pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran desa, Pasal 74 menyatakan ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
Bagian Keempat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
adalah tentang Pengelolaan (Pasal 75-77). Dinyatakan dalam bagian
ini bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan desa. Maksudnya bahwa semua hak dan kewajiban desa
yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan
barang yang dapat dijadikan milik desa yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam melaksanakan
kekuasaannya, Kepala Desa dapat melimpahkan sebagian atau
seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan,
penata-usahaan, pelaporan kepada perangkat desa, di mana
ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan desa
diatur dengan peraturan desa. Sedangkan pedoman penyusunan
anggaran desa, perubahan annggaran desa, perhitungan anggaran
desa, pengelolaan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
anggaran desa, ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 219


Sebagai rangkaian akhir dari hal di atas menyatakan bahwa
dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah
Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Ini tertuang
dalam empat pasal (78-81) bagian akhir (kelima) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dinyatakan bahwa Badan
Usaha Milik Desa adalah usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah
Desa, sedangkan kepengurusan badan usaha ini terdiri dari
Pemerintah Desa dan masyarakat. Badan Usaha Milik Desa harus
berbadan hukum. Yang tergolong “badan hukum” dapat berupa
lembaga bisnis, yaitu unit usaha yang kepemilikan sahamnya
berasal dari Pemerintah Desa dan masyarakat, seperti usaha mikro
kecil dan menengah, lembaga keuangan mikro perdesaan (usaha
ekonomi desa simpan pinjam, badan kredit desa, lembaga simpan
pinjam berbasis masyarakat, lembaga perkreditan desa, lumbung
pitih nagari dan sebagainya).
Permodalan badan usaha ini dapat berasal dari: Pemerintah
Desa, tabungan masyarakat, bantuan Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, pinjaman, dan/atau
penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar
saling menguntungkan. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa
ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan
perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa diatur
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah
tersebut, sekurang-kurangnya memuat tentang: bentuk badan
hukum, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil
usaha, kerjasama dengan pihak ketiga, dan mekanisme pengelolaan
dan pertanggungjawaban.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 212 pada Ayat
(6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah ditetapkan

220 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Di dalam Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Menteri Dalam Negeri ditetapkan bahwa Kepala Desa
sebagai Kepala Pemerintah Desa adalah Pemegang Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam
kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Kemudian, pada
ayat (2) ditegaskan bahwa sehubungan dengan kedudukan kepala
desa tersebut, maka kepala desa mempunyai kewenangan untuk:
(i) menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan anggaran desa; (ii)
menetapkan kebijakan pengelolaan barang desa; (iii) menetapkan
bendahara desa; (iv) menetapkan petugas yang melakukan
pemungutan terhadap penerimaan desa; dan (v) menetapkan
petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.
Memperhatikan hal di atas, maka jelas bahwa untuk suatu
pemerintahan desa yang baik diperlukan sistem pengelolaan
keuangan desa yang baik, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Pengelolaan keuangan desa yang baik tersebut antara lain
dimaksudkan untuk mewujudkan ekonomi desa yang kuat dan
mandiri, serta sinergi dengan pembangunan desa dalam arti luas.

6. Peraturan Desa
Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang
melekat pada Desa, maka Desa mempunyai kewenangan
(mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun
Peraturan Desa (Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005). Jabaran dari ketentuan tersebut, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Perlu
diketahui bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri itu menetapkan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 221


bahwa peraturan perundang-undangan di tingkat desa meliputi
Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa (Pasal 3).
Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Tahun 2006 diatur bahwa Materi muatan Peraturan Desa
adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan
masyarakat, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Desa disusun oleh Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa sebagai kerangka kebijakan dan hukum
bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa.
Penyusunan peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai
kewenangan yang dimiliki Desa, tentu berdasarkan kepada
kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 5 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 mengatakan bahwa
Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebagai sebuah produk hukum, peraturan Desa tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh
merugikan kepentingan umum. Sebagai sebuah produk politik,
peraturan Desa disusun secara demokratis dan partisipatif,
yakni proses penyusunannya melibatkan partisipasi masyarakat.
Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberi
masukan kepada Badan Permusyawaratan Desa maupun Kepala
Desa dalam proses penyusunan peraturan Desa.
Fasilitasi pemerintah kabupaten terhadap penyusunan
peraturan Desa sangat diperlukan untuk mempermudah dan
membangun kapasitas pemerintah Desa untuk menyusun perdes
baik. Pengawasan (supervisi) kabupaten terhadap peraturan Desa

222 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


sangat diperlukan agar Peraturan Desa tetap berjalan sesuai dengan
norma-norma hukum, yakni tidak menyimpang dari peraturan di
atasnya dan tidak merugikan kepentingan umum. Pengawasan bisa
berbentuk preventif (proses konsultasi sebelum raperdes disahkan
menjadi Peraturan Desa) dan berbentuk represif (membatalkan
perdes yang bertentangan). Menurut Pasal 19 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 ketentuan lebih lanjut
mengenai pembentukan dan mekanisme penyusunan Peraturan
Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Setelah peraturan Desa ditetapkan secara formal oleh kepala
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, maka tahap berikutnya
adalah pelaksanaan Peraturan Desa yang menjadi tanggungjawab
Kepala Desa. Dalam hal ini, Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai hak melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan peraturan Desa. Masyarakat juga mempunyai hak
untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif
terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Pasal 7 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006).

7. Kerjasama Desa
Ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
maupun Pasal 82-87 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 menyebutkan bahwa Desa dapat mengadakan kerjasama
untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama
dan dilaporakan kepada Bupati/ Walikota melalui Camat.
Selanjutnya, dalam pasal 214 ayat (4) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, pelaksanaan kerjasama antar Desa ataupun Desa
dengan pihak ketiga dapat dilakukan dengan membentuk badan
kerjasama. Jabaran lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 223


dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2007
tentang Kerjasama Desa.
Dalam Desain kedua regulasi nasional itu, Desa juga
dimungkinkan melakukan kerjasama Desa dengan pihak ketiga.
Ruang kerja sama antara Desa dengan pihak ketiga itu dapat
meliputi bidang: peningkatan perekonomian masyarakat Desa;
peningkatan pelayanan pendidikan; kesehatan; sosial budaya;
ketentraman dan ketertiban; dan/ataupemanfaatan sumber daya
alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa Pasal 4 ayat
(3) diatur bahwa ruang lingkup kerjasama desa mencakup: (i)
peningkatan perekonomian masyarakat; (ii) peningkatan pelayanan
pendidikan; (iii) kesehatan; (iv) sosial budaya; (v) ketenteraman
dan ketertiban; (vi) pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; (vii)
tenaga kerja; (viii) pekerjaan umum; (ix) batas desa; dan (x) lain-
lain kerjasama yang menjadi kewenangan Desa.
Selain memberi peluang bagi adanya kerjasama antar Desa
maupun antara Desa dengan pihak ketiga, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juga mengatur soal penyelesaian
perselihan antar Desa. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 disebutkan siapa yang seharusnya mengambil
peran dalam proses penyelesaiaan konflik antar Desa. Misalnya,
perselisihan kerja sama antar Desa dalam satu kecamatan, difasilitasi
dan diselesaikan oleh Camat. Perselisihan kerja sama antar Desa
pada kecamatan yang berbeda dalam satu Kabupaten/Kota
difasilitasi dan diselesaikan oleh Bupati/Walikota secara arbritase.
Penyelesaian perselisihan sebagaimana dilakukan secara
adil dan tidak memihak. Penyelesaian perselisihan bersifat final.

224 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Perselisihan kerja sama Desa dengan pihak ketiga dalam satu
kecamatan, difasilitasi dan diselesaikan oleh Camat Perselisihan
kerja sama Desa dengan pihak ketiga pada kecamatan yang berbeda
dalam satu Kabupaten/Kota difasilitasi dan diselesaikan oleh
Bupati/Walikota. Apabila pihak ketiga tidak menerima penyelesaian
perselisihan dapat mengajukan penyelesaian ke pengadilan.
Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 sudah mengatur
kerjasama antar Desa maupun kerjasama Desa dengan pihak ketiga,
namun ada beberapa poin-poin kritis yang perlu didiskusikan
bersama.
Pertama, apa yang bisa menjadi basis kerjasama antar
Desa. Hal ini penting untuk dibicarakan karena baik Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 tidak menyebutkan secara jelas urusan
pemerintahan apa saja yang bisa diselenggarakan melalui kerjasama
antar Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004hanya menyebutkan basis kerjasama adalah kepentingan Desa
masing-masing. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005 dikatakan kerjasama dilakukan sesuai dengan
kewenangannya. Dengan demikian, pengaturan mengenai basis
kerjasama masih kabur karena tidak mengatur apa saja urusan
pemerintahan yang bisa dijalankan melalui kerjasama antar Desa.
Kedua, format kerjasama yang diatur dalam Undang-undang
maupun Peraturan Pemerintah masih bersifat horisontal, dalam
arti hanya mengatur kerjasama antar Desa. Bagaimana dengan
kemungkinan kerjasama antar Desa dengan pemerintah kabupaten?
Desain kearah kerjasama dengan pemerintah kabupaten menjadi
penting untuk diperbincangkan karena dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 juga dikenal dengan urusan pemerintahan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 225


yang bersifat concurrent. Urusan yang bersifat concurrent artinya
urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah
dengan pemerintah daerah. Pertanyaannya mengapa urusan
concurrent tidak diberlakukan dalam konteks hubungan Desa
dengan kabupaten.
Ketiga, apa yang menjadi prinsip dasar dalam membangun
kerjasama antar Desa? Undang-undang maupun PP seharusnya
mengatur prinsip yang bisa dipakai oleh Desa dalam membangun
kerjasama, misalnya: prinsip eksternalitas (bahwa kerjasama
seharusnya memperhatikkan dampak/akibat yang ditimbulkan
dalam kerjasama tersebut); prinsip akuntabilitas (dimana kerjasama
itu menjamin berjalankan akuntabilitas); prinsip efisiensi (dimana
kerjasama dilakukan dengan memperhatijkan sumberdaya untuk
mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil dan
terakhir); prinsip keserasian (kerjasama diselenggarakan dengan
prinsip saling berhubungan dan saling mendukung).
Keempat, menyangkut format kelembagaan kerjasama antar
Desa. Pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah format
kerjasama antar Desa dilakukan melalui pembentukkan Badan
kerjasama antar Desa. Secara politik pilihan untukmengedepankan
Badan kerjasama antar Desa hanya memayungi kepentingan Desa
yang bersifat horisontal. Namun, Desain ini tidak memiliki ruang
dan kapasitas politik untuk membangun akses vertikal. Hal ini
berbeda dengan model Asosiasi yang pernah dikenalkan oleh
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Kelima, besarnya ruang intervensi kabupaten dalam
pengaturan tentang kerjasama antar Desa. Hal ini sangat terkait
dengan keharusan setiap kerjasama dilaporkan pada Bupati/
Walikota melalui Camat. Lebih-lebih, pengaturan lanjutan

226 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


kerjasama antar Desa atau kerjasama Desa dengan pihak ketiga
dimanatkan oleh UU harus melalui Peraturan Daerah. Dalam
realitasnya, pemberian ruang yang besar bagi kabupaten disatu sisi
justru membuat ruang inisiatif dan kreativitas dari Desa menjadi
terbatas.
Keenam, menyangkut model penyelesaian (resolusi) konflik
antar Desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menempatkan
peran Camat dan Bupati dalam memfasilitasi penyelesaian
konflik antar Desa. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan
model penyelsaian konflik yang berbasiskan budaya atau adat
yang sudah berkembang antar Desa. Apakah hal terakhir ini
merupakan hal yang sifatnya sekunder ataukah sudah tidak diakui
lagi eksistensinya?

8. Hubungan dengan Kecamatan


Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
pemerintah kecamatan mengalami perubahan status, dari
“perangkat wilayah’ dalam asas dekonsentrasi menjadi “perangkat
daerah” dalam asas desentralisasi.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 120 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri
atas sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan
Kelurahan. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 4
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang menyatakan
bahwa kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat
daerah kabupaten dan daerah kota. Sebagai konsekuensi dari

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 227


perubahan status tersebut adalah Camat bukan lagi sebagai
kepala wilayah. Camat bukan lagi menjadi kepala wilayah yang
memiliki kekuasaan terhadap wilayah administrasi pemerintahan
yang dipimpinnya. Di wilayah Kecamatan, Camat hanyalah
sebagai perangkat daerah yang memiliki kedudukan yang sama
dengan perangkat daerah lainnya yang ada di kecamatan seperti
Kepala Cabang Dinas, Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah, dan
sebagainya. Dengan demikian, camat tidak dengan serta merta
memegang kewenangan penuh untuk menjalankan urusan-urusan
pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta
kewenangan residu lainnya.
Status wilayah kecamatan pun berubah dari wilayah
administrasi menjadi wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah
kabupaten/kota. Kini wilayah kecamatan hanya menjadi wilayah
kerja dari kantor kecamatan yang merupakan salah satu perangkat
daerah unsur lini. Daerah kecamatan bukan lagi menjadi wilayah
kekuasaan Camat sebagai kepala atau penguasa wilayah. Daerah
kecamatan hanyalah batas spasial bagi operasionalisasi Camat
sebagai perangkat daerah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan yang dimiliki oleh
kecamatan merupakan hasil pelimpahan sebagian wewenang bupati
atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
Selain itu, sebagaimana diatur dalam dalam ayat (3), kecamatan
juga bertugas menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang
meliputi:
(a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
(b) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum;

228 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


(c) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
(d) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum;
(e) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
di tingkat kecamatan;
(f ) membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau
kelurahan;
(g) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan
pemerintahan Desa atau kelurahan.

Sementara dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 disebutkan bahwa kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan
Pemerintah. Disampaikan pula dalam Pasal 127 ayat (4) bahwa
Lurah diangkat oleh Bupati/ Walikota atas usul Camat dan
dalam ayat (5) ditegaskan dalam melaksanakan tugasnya, Lurah
bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelurahan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005. Dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya, Lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan
instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya (Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005). Dalam Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 disebutkan Pembinaan teknis
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan
lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/
Kota dan Camat.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 229


Pembinaan teknis dan pengawasan Camat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) meliputi :
(a) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan kelurahan;
(b) memfasilitasi pengelolaan keuangan kelurahan dan
pendayagunaan aset daerah yang dikelola oleh kelurahan;
(c) memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan;
(d) memfasilitasi pelaksanaan tugas lurah dan perangkat
kelurahan;
(e) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum;
(f ) memfasilitasi pengembangan lembaga kemasyarakatan;
(g) memfasilitasi pembangunan partisipatif;
(h) memfasilitasi kerjasama kelurahan dengan pihak ketiga; dan
(i) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
kelurahan.

Berbeda dengan posisi Camat yang relatif kuat dalam relasi


dengan kelurahan, maka posisi kecamatan dalam kaitannya dengan
Desa ditekankan pada dua: pertama, intermediary agency (kalau
tidak mau dikatakan sebagai “tukang pos”. Hal ini terlihat jelas
dalam Pasal 15 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 disebutkan bahwa laporan penyelenggaraan pemerintahan
Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu)
kali dalam satu tahun dan Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa
disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada
Badan Permusyawaratan Desa.

230 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Posisi kedua adalah posisi fasilitator. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 98 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
yang menyebutkan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Camat wajib
membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan
lembaga kemasyarakatan. Pembinaan dan pengawasan Camat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, meliputi:
(a) memfasilitasi penyusunan peraturan Desa dan peraturan
kepala Desa;
(b) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan Desa;
(c) memfasilitasi pengelolaan keuangan Desa dan pendayagunaan
aset Desa;
(d) memfasilitasi pelaksanaan urusan otonomi daerah Kabupaten/
Kota yang diserahkan kepada Desa;
(e) memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan;
(f ) memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan perangkat
Desa;
(g) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum;
(h) memfasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban
lembaga kemasyarakatan;
(i) memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif;
(j) memfasilitasi kerjasama antar Desa dan kerjasama Desa
dengan pihak ketiga;
(k) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat Desa.;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 231


(l) memfasilitasi kerjasama antar lembaga kemasyarakatan dan
kerjasama lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga;
(m) memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada
lembaga kemasyarakatan; dan
(n) memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam
pengembangan lembaga kemasyarakatan.

232 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB XI

PENGATURAN DESA PADA MASA


BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR
6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

A. PENGATURAN DESA
1. Kedudukan Desa
Prinsip utama dalam negara kesatuan adalah negara yang
mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah
atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah
pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan
karena di dalam negara kesatuan tidak terdapat negara-negara yang
berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-
wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak
mempunyai kekuatan asli seperti halnya dengan negara-negara
bagian dalam bentuk negara federasi.173 Hal ini dalam konteks
Negara Republik Indonesia terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) dan
18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

173
Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan
Daerah Otonomi Khusus, PT Refika Aditama, Bandung, 2013. hlm. 11.

233
Kedudukan desa sendiri dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-
undangan, termasuk di dalamnya adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, bila
telusuri lebih lanjut yaitu Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintah daerah yang
diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud di
sini adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah dan yang
saat ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah tampak jelas kedudukan desa bahwa
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota (2)
Daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi
atas kelurahan dan/atau desa. Hal ini ditegaskan oleh ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bahwa Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan

234 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tampak jelas
kedudukan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu
menjadi satuan pemerintahan di bawah kabupaten/kota sebagai
daerah otonom dan kecamatan yang notabene merupakan wilayah
kerja administratif camat.
Walaupun, telah jelas dalam konteks adminsitrasi
pemerintahan, desa masuk dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lalu lebih
jelas lagi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun demikian untuk Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang selama ini juga dianggap beberapa pihak sebagai landasan
konstitusional desa, hal ini ternyata masih menjadi perdebatan di
kalangan ahli. Perdebatan itu puncaknya adalah dengan adanya
tafsir Pasal 18B oleh putusan Mahkamah Konstitusi
Untuk melihat penerapan Pasal 18B ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah
Konstitusi, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi telah ditentukan bahwa salah satu bentuk
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum
adalah ditentukannya masyarakat hukum sebagai pihak yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b ditegaskan, pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 235


perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.174
Menarik untuk diketahui bagaimana implementasi ketentuan
Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan mahkamah
antara lain:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 010/
PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten
Kuantan Singingi dan Kota Batam.175
“…Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidaklah
dimaksudkan untuk dijadikan dasar pembagian wilayah
negara melainkan merupakan penegasan bahwa negara
berkewajiban untuk mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.176
b. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku,177 telah
menentukan tolok ukur adanya kesatuan masyarakat hukum
174
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa: Dalam Konstitusi Indonesia Sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 28.
175
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
176
Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa…”, Op.Cit., hlm. 29.
177
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

236 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa:
“Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih
ada dan/atau hidup (actual-existence), apabila setidak-tidaknya
mengandung unsur-unsur (i) ada masyarakat yang warganya
memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (ii) ada
pranata pemerintahan adat; (iii) ada harta kekayaan dan/atau
benda-benda adat; (iv)ada perangkat norma hukum adat, dan
khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.
Selain itu, suatu kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya dimaksud sesuai
dengan perkembangan masyarakat apabila keberadaannya
diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai
pencerminan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat
dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan,
dan lain-lain, maupun dalam peraturan daerah dan substansi
hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun
masyarakat luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia.
Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya dianggap sesuai dengan prinsip NKRI apabila
tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai satu kesatuan
politik dan kesatuan hukum, yaitu: (i) keberadaannya
tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI; dan
(ii) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 237


c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VI/2008
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten
Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan.178 Dalam
pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa:
“UUD 1945 memang mengakui dan menghormati
kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya,
namun harus memenuhi empat syarat, yaitu: (i) sepanjang
masih hidup, (ii) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (iii)
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
(iv) diatur dalam undang-undang”.179

Bilamana melihat substasi dari ketiga putusan Mahkamah


Konstitusi tersebut sangat sulit untuk menggenaralisasi berlakunya
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar hukum eksistensi desa, oleh
karena tidak semua desa yang ada di Negara Republik Indonesia
memenuhi kualifikasi kesatuan masyarakat hukum adat yang telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun beberapa kesatuan
masyarakat hukum adat yang masuk dalam kualifikasi Pasal 18B
ayat (2) sehingga secara yuridis formal dapat dikatakan sebagai desa/
desa adat, yaitu huta/nagori di Sumatra Utara, gampong di Aceh,
nagari di Minangkabau, marga di Sumatra bagian selatan, tiuh atau
pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di
Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.180

178
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
179
Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa..”, Op.Cit., hlm. 30.
180
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

238 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Sehingga berdasarkan paparan ini dapat ditemukan bahwa
kedudukan desa dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum/hukum adat
yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan
lokal berskala desa, dan pelaksanaan tugas pembantuan untuk
menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Atau secara
umum kedudukan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai satuan pemerintah lokal di bawah daerah kabupaten/kota
yang menyelenggarakan pelayanan langsung kepada masyarakat
desa melalui pemerintah desa.

2. Pemerintahan Desa
a. Pengertian Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa Pemerintahan Desa
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud dengan Pemerintah Desa dalam
Pasal 1 angka 3 adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa. Lalu yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) atau yang disebut dengan nama lain dalam Pasal 1 angka
4 adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Ramlan
Surbakti terkait dengan perbedaan konsep antara pemerintah
dan pemerintahan menyatakan bahwa antara pemerintah dan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 239


pemerintahan itu berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas
dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang
menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.181

b. Kelembagaan Desa
Sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di dalam undang-
undang ini diatur mengenai kelembagaan desa/desa adat, yaitu
lembaga pemerintahan desa/desa adat yang terdiri atas Pemerintah
Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat,
Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan Lembaga Adat.
Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama
lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai
kepanjang tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai
pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip
pengaturan tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a. sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan
lokal;
b. Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan desa/desa adat dan sebagai pemimpin
masyarakat;
c. Kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung
oleh masyarakat setempat, kecuali bagi desa adat dapat
menggunakan mekanisme lokal; dan

181
Didik Sukriono, 2008, “Pemerintah Desa dalam Politik Hukum”, Jurnal Law
Enforcement, Vol. 2, No. 1, hlm. 4.

240 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


d. pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak
menggunakan basis partai politik sehingga Kepala Desa
dilarang sebagai pengurus partai politik.

Mengingat kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang


semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan
lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan
keseimbangan antara pemerintah desa dan lembaga desa. Lembaga
desa khususnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang
kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapakan
kebijakan pemerintahan desa bersama Kepala Desa, harus
mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat menjatuhkan
Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan badan
permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan
menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja
kelembagaan di tingkat desa, memperkuat kebersamaan, serta
meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
pemerintah desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa.
Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
pemerintah desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk memusyawarahkan
dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 241


dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam
menetapkan kebijakan pemerintahan desa.
Selain pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) juga terdapat Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga
Kemasyarakatan Desa meliputi rukun tetangga, rukun warga,
pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga
pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain.
Lembaga Kemasyarakatan Desa bertugas membantu pemerintah
desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat
desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah
partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, pemerintahan,
kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya
demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta
menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam
kegiatan pembangunan.182
Terakhir, yaitu Lembaga Adat Desa. Kesatuan masyarakat
hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri.
Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya
lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam
kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat
hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta
kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak
dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan
berbagai permasalahan kehidupan masyarakat desa berkaitan
dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga Adat

182
Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

242 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Desa merupakan mitra pemerintah desa dan lembaga desa lainnya
dalam memberdayakan masyarakat desa.

3. Kewenangan Pemerintahan Desa


Secara umum dapat dikatakan bahwa, hadirnya satuan
pemerintahan teritorial lebih kecil dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yaitu Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut
:183
1. Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern yang
lebih menekankan pada upaya memajukan kesejahteraan
umum (welfarestate). Peran tersebut membawa konsekuensi
pada semakin luasnya campur tangan negara dalam mengatur
dan mengurus aktvitas warga negara demi pencapaian
tujuan negara. Fakta kemajemukan (heterogenis) masyarakat
Indonesia, baik dari segi teritorial, suku, golongan, agama,
membawa konsekuensi kepada kompleksnya persoalan-
persoalan kemasyarakatan yang harus dipecahkan oleh
negara. Kenyataan ini mendorong negara untuk membuka
jalur partisipasi masyarakat untuk ikut memikirkan
dan menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, salah
satunya yaitu dengan memberikan kesempatan kepada
satuan pemerintah teritorial terdekat dengan rakyat,
yaitu pemerintah daerah (local government) untuk terlihat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

183
Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah: Perspektif
Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan
Kesatuan, Malang, Setara Press, hlm. 33.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 243


Pemerintah daerah diberikan kewenangan-kewenangan
tertentu untuk mengatur dan mengurus aktivitas
pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya.
2. Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari
perspektif politik. Negara sebagai organisasi kekuasaan, yang
didalamnya terdapat lingkungan-lingkungan kekuasaan, baik
pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung
menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal ini,
diperlukan pemencaran kekuasaan (dispersed of power).
Pemencaran kekuasaan negara dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah dilakukan dengan membentuk satuan-satuan
teritorial yang lebih kecil dan dekat dengan rakyat. Satuan
teritorial tersebut dikenal dengan sebutan daerah-daerah besar
dan kecil (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-
Undang Dasar 1945).

Dari perspektif manajemen pemerintah negara modern,


adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah yaitu berupa
keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya
tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat
demi mewujudkan kesejahteraan umum.
Penerapan keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahannya melalui desentralisasi
bilamana ditarik dalam tata hubungan desa dengan pemerintah
supradesa (pemerintah di atasnya), maka akan tercermin dalam
beberapa hal. Pertama, adanya pelimpahan kewenangan wewenang
mengenai pengaturan pemerintahan desa dari pemerintah pusat
kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian pengaturan
desa ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota dengan

244 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


memperhatikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal-
usul dan adat istiadat desa. Pengaturan ini merubah konstelasi
dalam keseluruhan arena-arena politik, karena akan terjadi
pergeseran arena pergulatan politik dari tingkat nasional ke daerah
kabupaten/kota.184 Pergeseran arena pergulatan politik tersebut
hendaknya diimbangi dengan kesiapan pemerintah daerah dalam
menata sistem pemerintahannya agar tercipta penyelenggaraan
pemerintahan yang ideal.185
Pelimpahan kewenangan wewenang mengenai pengaturan
pemerintahan desa dari pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten/kota tercermin dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu “Pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 11 atau kelurahan menjadi desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ditetapkan dalam peraturan daerah”. Ketentuan
ini telah memberikan gambaran adanya kewenangan besar dari
kabupaten/kota terhadap pengaturan desa sebagai pengejawantahan
desentralisasi. Hal ini diperkuat oleh Pasal 12 ayat (2) huruf g
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa “Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) meliputi: g. pemberdayaan masyarakat dan desa”. Urusan
pemerintahan wajib merupakan bagian dari urusan pemerintahan
konkruen. Sedangkan, urusan pemerintahan konkruen sendiri
berdasarkan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

184
Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi
Masyarakat, Malang, Setara Press, hlm. 37.
185
Earlita Korompis, 2013, “Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam Menjalankan
Fungsi Pengawasan Pemerintahan”, Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1, hlm. 5.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 245


2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan dasar pelaksanaan
otonomi daerah. Sehingga sangat relevan dan berdasarkan hukum
yang kuat kewenangan mengatur desa berada pada kabupaten/kota.
Kedua, memungkinkan munculnya variasi-variasi di tiap-
tiap daerah mengenai model-model pemerintahan di tingkat
desa akibat perubahan kebijakan dari yang bersifat sentralistik
mengedepankan uniformitas menuju kebijakan yang desentralistik
dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal.186
Kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan
heterogenitas budaya dan politik lokal tersebut tercermin dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ketentuan ini merupakan pengejawantahan penyempurnaan
kewenangan yang dimiliki desa sebagaimana diatur dalam Pasal
7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya
mengatur mengenai kewenangan desa di bidang pemerintahan.
Sedangkan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa mengatur bahwa “Kewenangan Desa
meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa”.

Moch Solekhan, Op.Cit., hlm. 37.


186

246 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Peraturan Pemerintah Nomor 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
Tahun 2005 tentang Desa 2014 tentang Desa
Pasal 7 Pasal 19
urusan pemerintahan yang menjadi Kewenangan Desa meliputi:
kewenangan desa mencakup: a. kewenangan berdasarkan hak asal-
a. Urusan pemerintahan yang sudah usul;
ada berdasarkan hak asal usul b. kewenangan lokal berskala Desa;
desa; c. kewenangan yang ditugaskan
b. U r u s a n p e m e r i n t a h a n oleh Pemerintah, Pemerintah
yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi, atau Pemerintah
kabupaten/kota yang diserahkan Kabupaten/Kota; dan
pengaturannya kepada desa; d. kewenangan lain yang ditugaskan
c. Tu g a s p e m b a n t u a n d a r i oleh Pemerintah, Pemerintah
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Daerah, Provinsi, atau Pemerintah
dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Kabupaten/Kota sesuai dengan
dan ketentuan peraturan perundang-
d. Urusan pemerintahan lainnya undangan.
yang oleh peraturan perundang-
undangan diserahkan kepada
desa.

Perbandingan Kewenangan Desa antara Peraturan Pemerintah


Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dari keempat kewenangan yang terdapat dalam Pasal 19
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut
yang mencerminkan kebijakan desentralistik adalah kewenangan
berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.
Sedangkan dua kewenangan lainnya yaitu kewenangan yang
ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau
pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, provinsi, atau pemerintah

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 247


kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan merupakan bentuk dari tugas pembantuan. Secara
terperinci kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan
lokal berskala desa diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pasal 34
(1) Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. sistem organisasi masyarakat adat;
b. pembinaan kelembagaan masyarakat;
c. pembinaan lembaga dan hukum adat;
d. pengelolaan tanah kas Desa; dan
e. pengembangan peran masyarakat Desa.

(2) Kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 33 huruf b paling sedikit terdiri atas kewenangan:
a. pengelolaan tambatan perahu;
b. pengelolaan pasar Desa;
c. pengelolaan tempat pemandian umum;
d. pengelolaan jaringan irigasi;
e. pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa;
f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos
pelayanan terpadu;
g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;
h. pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan;
i. pengeloaan embung Desa;

248 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


j. pengelolaan air minum berskala Desa; dan
k. pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah
pertanian.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa
sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal.

Ketentuan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun


2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa ini secara teknis diperjelas dengan
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa. Dalam Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa kewenangan
berdasarkan hak asal-usul adalah hak yang merupakan warisan
yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa
sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Selanjutnya,
Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa kewenangan lokal berskala desa
adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembangan
desa dan prakarsa masyarakat desa.
Adapun kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala desa secara teknis dan terperinci juga
diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Menteri
Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak
Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 249


Pasal 2
Ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal-usul Desa
meliputi:
a. sistem organisasi perangkat desa;
b. sistem organisasi masyarakat adat;
c. pembinaan kelembagaan masyarakat;
d. pembinaan lembaga dan hukum asat;
e. pengelolaan tanah kas Desa;
f. pengelolaan tanah desa atau tanah hak milik Desa yang
menggunakan sebutan setempat;
g. pengelolaan tanag bengkok;
h. pengelolaan tanah pecatu;
i. pengelolaan tanah titisara; dan
j. pengembangan peran masyarakat Desa.

Pasal 5
Kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat;
b. kewenangan yang mempunyai ruang lingkup pengaturan
dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat
Desa yang mempunyai dampak internal Desa;
c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan
kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;
d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar
prakarsa Desa;

250 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


e. program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah
diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan
f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tentang pembagian
kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 7
Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. bidang pemerintahan Desa;
b. pembangunan Desa;
c. kemasyarakatan Desa; dan
d. pemberdayaan masyarakat Desa.

Pasal 8
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain
meliputi:
a. penetapan dan penegasan batas Desa;
b. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa;
c. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;
d. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;
e. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan non sektor pertanian;
f. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk
usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat
partisipasi angakatan kerja;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 251


g. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang
bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan
dan status pekerjaan;
h. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;
i. penetapan organisasi pemerintah Desa;
j. pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;
k. penetapan perangkat Desa;
l. penetapan BUM Desa;
m. penetapan APB Desa;
n. penetapan peraturan Desa;
o. penetapan kerja sama antar-Desa;
p. pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau
balai Desa;
q. pendataan potensi Desa;
r. pemberian izin hak pengelolaan atas tanah Desa;
s. penetapan Desa dalam keadaan darurat seperti kejadian
bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit,
gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya
dalam skala Desa;
t. pengelolaan arsip Desa; dan
u. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat
Desa.

Pasal 9
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:

252 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


a. pelayanan dasar Desa;
b. sarana dan prasarana Desa;
c. pengembangan ekonomi lokal Desa; dan
d. pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Desa.

Pasal 10
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar
sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:
a. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
b. pengembangan tenaga kesehatan Desa;
c. pengelolaan dan pembinaan Posyandu melalui:
1) layanan gizi untuk balita;
2) pemeriksaan ibu hamil;
3) pemberian makanan tambahan;
4) penyuluhan kesehatan;
5) gerakan hidup bersih dan sehat;
6) penimbangan bayi; dan
7) gerakan sehat untuk lanjut usia.
d. pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;
e. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika
dan zat adiktif di Desa;
f. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;
g. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni
budaya, dan perpustakaan Desa; dan
h. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok
belajar di Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 253


Pasal 11
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang sarana dan
prasarana Desa sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b antara
lain meliputi:
a. pembangunan dan pemeliharaan kantor dan balai Desa;
b. pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa;
c. pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani;
d. pembangunan dan pemeliharaan embung Desa;
e. pembangunan energi baru dan terbarukan;
f. pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah;
g. pengelolaan pemakaman Desa dan petilasan;
h. pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
i. pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala Desa;
j. pemabangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;
k. pembangunan dan pemeliharaan lapangan Desa;
l. pembangunan dan pemeliharaan taman Desa;
m. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan
saluran untuk budidaya perikanan; dan
n. pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa.

Pasal 12
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pengembangan
ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
c anatara lain meliputi:
a. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios
Desa;
b. pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan
mulik Desa;

254 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


c. pengembangan usaha mikro berbasis Desa;
d. pendayagunaan keuangan mikro berbasis Desa;
e. pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung
dan bagan ikan;
f. pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan dan
pentapan cadangan pangan Desa;
g. penetapan komoditas unggulan pertanian dan perikanan
Desa;
h. pengaturanpengaturan pelaksanaan penanggulangan
haman dan penyakit pertanian dan perikanan secara
terpadu;
i. penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk
pertanian dan perikanan;
j. pengembangan benih lokal;
k. pengembangan ternak secara kolektif;
l. pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;
m. pendirian dan pengelolaan BUM desa;
n. pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu;
o. pengelolaan padang gembala;
p. pengembangan wisata Desa di luar rencana induk
pengembangan pariwisata kabupaten/kota;
q. pengelolaan balai benih ikan;
r. pengelolaan teknologi tepat guna, pengelolaan hasil
pertanian dan perikanan; dan
s. pengembangan sisitem usaha produksi pertanian yang
bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya
lokal.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 255


Pasal 13
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang kemasyarakatan
Desa sebagiamana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi:
a. membina keamanan, ketertiban dan ketentraman
wilayah dan masyarakat Desa;
b. membina kerukunan warga masyarakat Desa;
c. memelihara perdamaian, menangani konflik dan
melakukan mediasi di Desa; dan
d. melestarikan dan mengembangkan gotong royong
masyarakat Desa.

Pasal 14
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf D antara
lain:
a. pengembangan seni budaya lokal;
b. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi
lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat;
c. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui:
1) kelompok tani;
2) kelompok nelayan;
3) kelompok seni budaya; dan
4) kelompok masyarakat lain di Desa.
d. pemberian santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;
e. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan,
kelompok-kelompok masyarakat miskin, perempuan,
masyarakat adat, dan difabel;

256 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


f. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi
paralegal untuk memberikan bantuan hukum kepada
warga masyarakat Desa;
g. analisis kemiskinan secara partisipatif di Desa;
h. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup
bersih dan sehat;
i. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi
kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;
j. peningkatan kapasitas melalui pelatihan usaha ekonomi
Desa;
k. pendayagunaan teknologi tepat guna; dan
l. peningkatan kapasitas masyarakat melalui:
1) kader pemberdayaan masyarakat Desa;
2) kelompok usaha ekonomi produktif;
3) kelompok perempuan;
4) kelompok tani;
5) kelompok masyarakat miskin;
6) kelompok nelayan;
7) kelompok pengrajin;
8) kelompok pemerhati dan perlindungan anak;
9) kelompok pemuda; dan
10) kelompok lain sesuai kondisi Desa.

Kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan


lokal berskala desa merupakan bentuk pengakuan terhadap desa
atau disebut dengan nama lain, sebagai entitas politik, kultur, dan
hukum. Pengakuan terhadap desa sebagai sebuah entitas politik,
budaya, dan hukum merupakan sebuah kemajuan dan pergeseran
politik yang sangat signifikan terhadap model penyelenggaraan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 257


pemerintahan daerah pada orde baru yang cenderung sentralistik
serta melakukan politik penyeragaman melalui Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, tanpa
mengindahkan keberagaman kultur masyarakat adat dan bentuk
pemerintahan asli lokal.
Ketiga, intervensi pemerintahan supradesa dalam pemilihan
kepala desa dihilangkan dengan dihapuskannya kewenangan
panitia litsus yang dibentuk pemerintah kabupaten/kota untuk
menentukan persyaratan kelulusan kelulusan dalam rekruitmen
kepala desa. Dengan demikian, pemilihan kepala desa menjadi
domain masyarakat desa. Dalam praktiknya kepala desa
dilantik oleh bupati, merupakan pejabat publik yang harus
mempertanggungjawabkan jabatannya kepada rakyat melalui
Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hanya saja yang menjadi
domain kabupaten/kota adalah pada penyusunan peraturan daerah
yang berhubungan dengan tata cara pemilihan kepala desa, teknis
dan pelaksanannya diserahkan kembali kepada masyarakat desa
melalui suatu panitia.187
Dengan tidak adanya intervensi dari pemerintahan supradesa
ini telah menggabarkan praktik kebijakan yang desentralistik dan
memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal yang ada
di desa.
Keempat, bantuan pemerintahan supradesa untuk desa masih
dimungkinkan, tetapi harus disertani dengan pembiayaan, sebagai
bentuk dari pelaksanaan tugas pembantuan.188 Hal ini sejalan
dengan Pasal 19 huruf c dan d yaitu adanya kewenangan yang
ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah drovinsi, atau
pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan
Ibid., hlm. 38.
187

Ibid.
188

258 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


oleh pemerintah, pemerintah daerah, provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kelima, adanya peluang diversifikasi penggalian dan
pengelolaan sumber-sumber keuangan desa. Artinya, desa
mempunyai kewenangan yang lebih luas menggali dan mengelola
keuangan desa. Selain memperoleh sumber kekayaan desa maupun
dana perimbangan dari supradesa, desa juga bisa memiliki badan
usaha sendiri.189 Hal ini dilakukan sebagai modal utama dalam
mempersiapkan diri bagi desa dan elemen di dalamnya untuk
menghadapi tantangan di era globalisasi yang harus memiliki daya
saing yang tinggi.190

4. Keuangan Desa
Dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa bahwa keuangan desa adalah semua hak dan
kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, desa mempunyai sumber pendapatan berupa pendapatan
asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/
kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari Anggaran
Pendapatn dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan

Ibid., hlm. 39.


189

Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, 2014, Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa
190

Depan Kekayaan Indonesia, Jakarta, Change Publication, hlm. viii.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 259


dan Belanja Daerah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan
yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Sumber pendapatan desa
tersebut secara keseluruhan digunakan untuk mendanai seluruh
kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa. Dana tersebut
digunakan untuk mendanai penyelenggaraan kewenangan desa
yang mencakup penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.191
Hal yang menarik dan baru dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa berkaitan dengan keuangan desa
adalah adanya dana desa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1
angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang
Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara bahwa dana desa adalah dana yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukan
bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa. Hal
itu berarti dana desa akan digunakan untuk mendanai keseluruhan
kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dana
desa tersebut. Namun, mengingat dana desa bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, untuk mengoptimalkan
penggunaan dana desa, pemerintah diberikan kewenangan untuk
menetapkan prioritas penggunaan dana desa untuk emndukung
program pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
191
Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana
Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

260 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut tetap sejalan dengan
kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa.192
Alokasi anggaran untuk dana desa ditetapkan sebesar 10
persen dari total dana transfer ke daerah dan akan dipenuhi secara
bertahap sesuai dengan kemampuan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Dalam masa transisi, sebelum dana desa mencapai
10 persen, anggaran dana desa dipenuhi melalui realokasi dari
belanja pusat dari program yang berbasis desa. Dalam hal dana desa
telah dipenuhi sebesar 10 persen dari total dana transfer daerah,
penganggaran sepenuhnya mengikuti mekanisme penganggaran
dana bendahara umum negara yang diatur sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.193
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan dana desa yang
tertib, transparan, akuntabel, dan berkualitas, pemerintah dan
kabupaten/kota diberi kewenangan untuk dapat memberikan
sanksi berupa penundaan penyaluran dana desa dalam hal laporan
penggunaan dan desa tidak/terlambat disampaikan. Di samping
itu, pemerintah dan kabupaten/kota juga dapat memberikan sanksi
berupa pengurangan dana desa apabila penggunaan dana tersebut
tidak sesuai dengan prioritas penggunaan dana desa, pedoman
umum, pedoman teknis kegiatan, atau terjadi penyimpangan uang
dalam bentuk deposito lebih dari 2 bulan.194
Pada dasarnya semua kegiatan pemerintah selalu
membutuhkan pembiayaan dan ini didukung oleh penerimaan
pemerintah baik yang berasal dari penerimaan rutin maupun
penerimaan pembangunan. Demikian pula kegiatan pemerintah

192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 261


dibedakan menjadi kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan.195
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa pengeluaran
negara merupakan salah satu ruang lingkup dari keuangan
negara. Salah satu bentuk pengeluaran negara adalah adanya dana
desa. Pengeluaran sebagaimana dimaksud adalah pengeluaran
negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa,
pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa.
Desentralisasi merupakan permasalahan penting di Negara
Republik Indonesia, oleh karena luasnya wilayah yang tidak
memungkinkan dilakukan secara sentralistis. Oleh karena
kompleksitas permasalahan antar daerah tidaklah sama, sehingga
cara-cara yang digunakan untuk menanganinya juga berbeda,
memerlukan sentuhan-sentuhan khusus sesuai dengan daerahnya.196
Salah satu bentu desentralisasi dalah desentralisasi fiskal. Dana
desa merupakan salah satu bentuk desentralisasi fiskal di Negara
Republik Indonesia yang diharapkan membawa implikasi positif
pada peningkatan kesejahteraan segenap masyarakat Indonesia
yang hidup di pelosok desa.197 Oleh karena berdasarkan penelitian
Institut Pertanian Bogor melalui lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2011 bahwa 63,41 persen masyarakat Indonesia tinggal di
desa.198 Dari jumlah tersebut tersebar di 74.754 desa di seluruh

195
M Suparmoko, 2013, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktik, BPFE, Yogyakarta,
hlm. 99.
196
Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan
1974-2004, Kencana Prenada Grup, Jakarta, 2008, hlm. 14.
197
Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan Kemiskinan di Provinsi
Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12, No. 1, hlm. 34.
198
Aida Vitayala Hubeis dkk, 2011, Menuju Desa 2030, Bogor, Crestpent Press, hlm. 9.

262 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pelosok Negara Republik Indonesia.199 Luasnya wilayah dan
banyaknya jumlah penduduk juga berimplikasi pada besarnya dana
desa sebagaimana dipaparkan di awal tadi untuk tahun 2015 sebesar
20,7 triyun dan untuk tahun 2016 sebesar 47 triliyun hal ini akan
terus meningkat seiring kemampuan keuangan pemerintah pusat
untuk menggulirkan dana desa.
Pengelolaan dana desa pada dasarnya sama seperti dengan
pengelolaan keuangan negara, yang memiliki ruang lingkup
pegelolaan yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan pertanggungjawaban keuangan, Sehingga dalam praktiknya
pihak terkait juga harus taat asas-asas hukum yang mendasarinya.
Adapun asas-asas pengelolaan keuangan negara yang dimaksud
adalah:200
a. asas kesatuan, menghendaki agar semua pendapatan dan
belanja negara disajikan dalam satu dokumen anggaran;
b. asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi
keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumentasi
anggaran;
c. asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk
suatu tahun tertentu; dan
d. asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang
disediakan terinci secara jelas peruntukannya.

199
Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan
Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
200
Muhammad Djafar Saidi, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta,
PT RajaGrafindo, hlm. 22.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 263


Selain asas-asas tersebut juga terdapat asas-asas bersifat baru
pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Adapun asas-asas tersebut adalah:201
a. asas akuntabilitas berorientasi pada hasil adalah asas
yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan pengelolaan keuangan negara harus dapat
dipertanggungjawabakan kepada rakyat;
b. asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban pengelola keuangan
negara;
c. asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keahlian berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara
adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara; dan
e. asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri adalah asas yang memberikan kebebasan bagai
Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan pemeriksaan
keuangan negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun.

Dengan posisi bahwa dana desa merupakan bagian dari


rezim keuangan negara sehingga pemerintah desa wajib mengelola
keuangan desa secara transparan, akuntabel, partisipatif serta

Ibid., hlm. 23.


201

264 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dilakukan dengan terti dan disiplin. Transparan artinya dikelola
secara terbuka, akuntabel artinya dipertanggungjawabakan secara
legal, dan partisipatif artinya melibatkan masyarakat dalam
penyusunannya. Di samping itu, keuangan desa harus dibukukan
dalam sistem pembukuan yang benar sesuai dengan kaidah sistem
akuntansi keuangan pemerintahan. Sistem pengelolaan keuangan
desa mengikuti sistem anggaran nasional dan daerah, yaitu mulai
1 Januari sampai dengan 31 Desember.202
Secara yuridis ketentuan mengenai penyerapan dana desa
yang notabene merupakan salah satu komponen pendukung
sumber pendapatan desa sebagaimana termaktub dalam Pasal
72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diatur
dalam Pasal 74 bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah
desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah daerah kabupaten/
kota, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah.203 Lalu secara
teknis operasional ketentuan ini ditindaklanjuti oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bahwa
berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara menyatakan bahwa menteri yang menangani desa
menetapkan prioritas penggunaan dana desa paling lambat 2 bulan
sebelum dimulainya tahun anggaran. Untuk merespon amanat
peraturan pemerintah ini Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pembangunan Desa pada tanggal 31 Desember 2014,

202
Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,Jakarta,
Penerbit Erlangga, hlm. 82.
203
Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa...”, Op.Cit., hlm. 233.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 265


lalu pada tanggal 13 Februari 2015 Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengeluarkan Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2015. Munculnya dua peraturan menteri ini
ternyata berimplikasi pada kebingungan pada pihak pemerintah
desa berkaitan aturan mana yang harus dianut. Selain itu juga
adanya prasyarat dilampirkannya Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau
Rencana Kerja Pemerintah Desa untuk mencairkan dana desa
semakin membuat pemerintah desa kebingungan yang berujung
ketika dana desa sudah cair, dana desa tersebut tidak diambil.
Sehingga hal tersebut berandil besar pada lambatnya pembangunan
di desa oleh karena terdapat salah satu sumber pendapatan desa
yang tidak diambil yang jumlahnya cukup besar.
Untuk menyikapi kondisi yang tidak pasti tersebut, akhirnya
pemerintah merevisi sebagaian substansi Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
disahkan pada tanggal 29 April 2015 yang dalam salah satu
ketentuan pasalnya yaitu Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
menetapkan prioritas penggunaan dana desa paling lambat 3 bulan
sebelum dimulainya tahun anggaran. Dengan demikian, tampak
adanya kepastian hukum berkaitan dengan peraturan menteri
yang dipakai sebagai pedoman prioritas penggunaan dana desa.
Kepastian hukum yang dimaksud adalah tidak terjadi keberlakuan

266 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


secara bersamaan dua peraturan menteri terhadap satu hal yang
sama, sehingga menyebabkan kebingungan bagi subyek hukum
yang bersinggungan dengan peraturan terkait.
Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan penyerapan dana
desa pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,
dan Meteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
pada tanggal 15 September 2015 menetapkan Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Meteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor:
900/5356/SJ, Nomor: 959/KMK.07/2015, Nomor: 49 Tahun
2015 tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan
Dana Desa 2015 yang pada intinya berisi untuk mencairkan dana
desa tidak perlu melampirkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau
Rencana Kerja Pemerintah, namun demikian penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Pembangunan
Tahunan Desa atau Rencana Kerja Pemerintah tetap diupayakan
melalui supervisi pendampingan oleh camat sebagai bagian
perangkat administrasi kewilayahan kabupaten/kota, pencairan
dana desa dapat dilakukan dengan melengkapi formulir yang telah
ditentukan hanya sejumlah 3 lembar saja. Lalu berkaitan dengan
prioritas pembangunan ditegaskan yang berlaku adalah Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa, yang meliputi:
a. pembangunan sarana prasarana desa, seperti jalan desa,
jembatan sederhana, saluran air, embung desa, talut, irigasi
tersier dan pengelolaan air bersih skala desa;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 267


b. pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pengembangan
posyandu, pengembangan pos kesehatan desa dan polindes,
dan pengembangan kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD); dan
c. pengembangan ekonomi lokal, seperti pasar desa, kios
desa, pelelangan ikan milik desa dan penyaluran pinjaman
bergulir untuk usaha pada kelompok masyarakat melalui
pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDesa).

5. Peraturan Desa
a. Kedudukan Peraturan Desa dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan
Pada prinsipnya implikasi utama Negara Indonesia adalah
Negara Hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.204 Salah satunya
adalah berkaitan dengan pengaturan tentang desa melalui Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 69
ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
menyatakan bahwa Jenis peraturan di desa terdiri atas peraturan desa,
peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa. Dari ketiga
jenis peraturan tersebut yang memiliki karakterstik unik adalah
peraturan desa yang harus melalui proses politik antara Badan
Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa layaknya undang-undang
antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
204
Slamet Suhartono, 2008, “Norma Samar (Vage Norm) Sebagai Dasar Hukum
Pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara”, Jurnal Yustisia, Edisi 79, hlm. 94.

268 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Sebelumnya, melalui Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mengatur jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan
Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Di dalam
ayat (2) ditegaskan, peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; b.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau
nama lainnya. Dan ayat (3) menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan”.205
Dalam perjalanannya ternyata ketentuan ini tidak sinkron
dengan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa peraturan
daerah yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang lahir setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
seharusnya menguatkan peraturan desa, namun demikian malah

Ni’matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa..”, Op.Cit., hlm. 261.


205

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 269


menghilangkan peraturan desa sebagai bagian dari peraturan
daerah.206
Terkait dengan permasalahan ini Jimly Asshiddiqie
berpendapat mengenai pengertian peraturan desa yang timbul
permasalahan serius di lapangan:207

“Sebagai bentuk peraturan di tingkat desa, seharusnya


perdes dikeluarkan dari pengertian perda yang tercantum
resmi sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang
berada dalam posisi hierarki kelima dalam susunan peraturan
perundang-undangan yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) UU
No. 10 Tahun 2004 tersebut. Unit pemerintahan desa, sudah
seharusnya dibedakan dari unit pemerintahan daerah pada
umumnya. Kehidupan masyarakat desa merupakan bentuk
komunitas yang dapat mengurus dirinya sendiri. Oleh karena
itu, masyarakat desa juga bisa sebagai self governing communities
(zelfbestuur gemeinschap) yang merupakan unit-unit kegiatan
masyarakat di luar pengertian formal daya jangkau organisasi
negara. Oleh karena itu, perdes tidak perlu dimasukkan ke dalam
kategori peraturan perundang-undangan negara”.

Seiring berjalannya waktu, lahir Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia sebagai suatu peraturan perundang-undangan, yang

Ibid.
206

Ibid., hlm. 262.


207

270 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, d. Peraturan Pemerintah, e. Peraturan Presiden, f.
Peraturan Daerah Provinsi, dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota. Selanjutnya, pada ayat (2) menegaskan kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sesuai hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).208
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
tidak mengatur lagi perihal peraturan desa dan kedudukannya
dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perubahan ini
menimbulkan dilema bagi pemerintahan desa, di satu sisi untuk
menyelenggarakan roda pemerintahan pemerintah desa harus
memiliki dasar hukum yakni peraturan desa, tetapi di sisi yang
lain peraturan desa tidak lagi tercantum dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.209 Dalam permasalahan ini Moh Mahfud
MD berpendapat bahwa:210

“Untuk pemerintahan desa yang pertama-tama muncul adalah


terbukanya peluang bagi berlakunya hukum adat yang telah
hidup dan diterima sebagai norma di desa yang bersangkutan,
sebab di dalam Pasal 104 disebutkan bahwa Parlemen Desa
berfungsi mengayomi adat istiadat. Istilah mengayomi adat
istiadat ini dalam impelementasinya bisa saja berupa penuangan
adat istiadat ke dalam peraturan desa sehingga adat istiadat bisa
muncul dalam hukum tingkat desa.

208
Ibid.
209
Ibid., hlm. 263.
210
Ibid.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 271


Jika peraturan peraturan hukum itu nanti berujung ke
pengadilan karena timbulnya satu sengketa atau perkara akan
timbul persoalan karena di dalam memutuskan perkara hukum
materiil yang pada uumnya harus dipedomani oleh hakim adalah
hukum yang tertuang dalam UU. Ini merupakan konsekuensi
dari sistem hukum kita yang lebih cenderung menganut paham
legisme yang mengatakan bahwa hukum itu adalah UU yang
dibuat oleh lembaga legislatif. Pengadilan tidak akan kesulitan
jika mengahadapi perkara yang pihak-pihaknya datang dari desa
yang perdes-perdesnya berbeda itu”.

Lebih lanjut Moh Mahfud MD menyampaikan beberapa


hal yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan ini yaitu: Pertama,
peraturan desa tidak boleh memuat materi hukum pidana dalam
arti masalah hukum pidana haruslah tetap diletakkan pada politik
hukum unifikasi. Peraturan desa hanya boleh memuat hukum
administrasi desa yang mengikat penyelenggara desa dan rakyat di
desa yang bersangkutan. Kedua, adanya politik hukum nasional
yang mengatur batas-batas apa yang harus diunifikasi dan materi
apa yang dapat dibiarkan dualistis atau bahkan pluralistis sesuai
dengan kesadaran hukum masing-masing masyarakat adat dan
masing-masing desa.211
Walaupun Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak
mencantumkan peraturan desa sebagaimana pernah dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Namun demikian, dalam Pasal
8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan

Ibid., hlm. 264.


211

272 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


bahwa peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2)
ditegaskan yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan”
adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.212
Bilamana persoalan status hukum peraturan desa ingin
dikaji dari perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka
dapat digunakan asas lex specialis derogat legi generalis.213 Dalam
arti, keberadaan peraturan desa diatur secara tegas dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang saat digantikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dan khusus desa diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(lex specialis), sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(lex generalis). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status
hukum peraturan desa mengikat secara yiridis karena mendapatkan
atribusi kewenangan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan meskipun tidak lagi
mencantumkan peraturan desa ke dalam jenjang hierarki peraturan
perundang-undangan, tetapi tetap mengakui keberadaan peraturan
desa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-

Ibid., hlm. 266.


212

Ibid., hlm. 267.


213

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 273


Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa bentuk
peraturan desa itu sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-
undang, sehingga memenuhi kualifikasi sebagai bentuk peraturan
yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Jika peraturan desa
dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka berarti peraturan desa dapat dijadikan obyek pengujian
oleh Mahkamah Agung. Hal demikian tentulah dapat dianggap
tidak realistis dan justru tidak sesuai dengan maksud perumusan
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu sendiri, karena akan membebani
Mahkamah Agung dengan tugas-tugas yang sangat tidak realistis.
Meskipun desa merupakan kaki-kaki yang kokoh bagi organisasi
negara dalam arti yang umum, tetapi daya jangkau organ-organ
negara memang tidak seharusnya menjangkau sampai ke tingkat
desa. Oleh karena itu, peraturan desa tidak perlu disamakan ke
dalam kategori peraturan perundang-undangan negara.214
Meskipun peraturan desa sudah tidak muncul di dalam
hierarki peraturan perundang-undangan setelah lahirnya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, namun keberadaannya diatur secara tegas
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dengan demikian, status hukum atau dibentuk berdasarkan
kewenangan peraturan desa tetap mengikat secara yuridis karena

Ibid., hlm. 269-270.


214

274 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mendapatkan atribusi kewenangan dari Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
tetap mengakui keberadaan peraturan desa sebagai peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
8 ayat (2), yang menyatakan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.215
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hierarki
peraturan perundang-undangan tidak lagi semata-mata didasarkan
pada hierarki struktural tetapi juga dianut hierarki fungsional,
sehingga secara fungsional peraturan desa bukan produk hukum
yang dilarang atau menjadi barang haram, tetapi tetap diakui
keberadaannya dan memiliki daya ikat hukum. Selain itu,
dihapuskannya peraturan desa dari hierarki peraturan perundang-
undangan tidak menimbulkan implikasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan desa, karena Badan Permusyawaratan Desa bersama
Kepala tetap dapat membentuk peraturan desa atas dasar perintah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.216

b. Mekanisme Pembentukan Peraturan Desa


Sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa bahwa desa mempunyai kewenangan meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,

Ibid., hlm. 270.


215

Ibid.
216

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 275


pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan
desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dalam rangka
melaksanakan kewenangan tersebut, desa dapat membuat peraturan
desa. Peraturan desa merupakan bentuk regulasi yang dikeluarkan
pemerintah desa sebagaimana kabupaten membuat peraturan
daerah.217
Peraturan desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama
Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan desa dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Peraturan desa
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi
sosial budaya masyarakat desa setempat. Isi peraturan desa
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta norma
kesusilaan masyarakat. Peraturan desa dibentuk berdasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan.218
Dalam penyusunan peraturan desa, rancangan peraturan
desa dapat diprakarsai oleh pemerintah desa,219 selain itu Badan
Permusyawaratan Desa juga dapat mengusulkan rancangan
peraturan desa kepada pemerintah desa.220 Rancangan peraturan
desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa untuk
mendapatkan masukan.221 Masukan dari masyarakat ini merupakan

217
Hanif Nurcholis, Op.Cit., hlm. 113.
218
Ibid.
219
Lihat Pasal 83 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
220
Lihat Pasal 83 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
221
Lihat Pasal 83 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

276 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


bentuk semangat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan di desanya.222 Secara teknis pembentukan peraturan
desa ada 6 (enam) tahap, yaitu meliputi: perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Berikut adalah penjelasannya:
Pertama, Perencanaan. Perencanaan penyusunan rancangan
peraturan desa ditetapkan oleh Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa dalam rencana kerja pemerintah desa.
Lembaga kemasyarakatan, lembaga adat dan lembaga desa lainnya
di desa dapat memberikan masukan kepada pemerintah desa dan/
atau Badan Permusyawaratan Desa untuk rencana penyusunan
rancangan peraturan desa.223
Kedua, Penyusunan. Penyusunan peraturan desa dapat
dibagi menjadi 2 (dua) cara yaitu: dilakukan oleh Kepala Desa
dan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa. Penyusunan
rancangan peraturan desa diprakarsai oleh pemerintah desa.
Rancangan peraturan desa yang telah disusun, wajib dikonsultasikan
kepada masyarakat desa dan dapat dikonsultasikan kepada Camat
untuk mendapatkan masukan. Rancangan peraturan desa yang
dikonsultasikan diutamakan kepada masyarakat atau kelompok
masyarakat yang terkait langsung dengan substansi materi
pengaturan. Masukan dari masyarakat desa dan Camat digunakan
pemerintah desa untuk ditindaklanjuti proses penyusunan
rancangan peraturan desa. Rancangan peraturan desa yang

222
AAGN Ari Dwipayana dkk, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Ire Press,
Yogyakarta, hlm. ix.
223
Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 277


telah dikonsultasikan disampaikan Kepala Desa kepada Badan
Permusyawaratan Desa untuk dibahas dan disepakati bersama.224
Selanjutnya, pengusulan rancangan peraturan desa oleh Badan
Permusyawaratan Desa. Rancangan peraturan desa bisa diusulkan
oleh Badan Permusyawaratan Desa, kecuali untuk rancangan
peraturan desa tentang rencana pembangunan jangka menengah
desa, rancangan peraturan desa tentang rencana kerja pemerintah
desa, rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa dan rancangan peraturan desa tetang Laporan
Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa. Rancangan peraturan desa selain yang disebutkan
tersebut dapat diusulakn oleh anggota Badan Permusyawaratan
Desa untuk ditetapkan sebagai rancangan peraturan desa usulan
Badan Permusyawaratan Desa.225
Ketiga, Pembahasan. Badan Permusyawaratan Desa
mengundang Kepala Desa untuk membahas dan menyepakati
rancangan peraturan desa. Dalam hal terdapat rancangan peraturan
desa prakarsa pemerintah desa dan usulan Badan Permusyawaratan
Desa mengenai hal yang sama untuk dibahas dalam waktu
pembahasan yang sama, maka didahulukan rancangan peraturan
desa usulan Badan Permusyawaratan Desa sendangkan rancangan
peraturan desa usulan Kepala Desa digunakan sebagai bahan
untuk dipersandingkan.226 Rancangan peraturan desa yang belum
dibahas dapat ditarik kembali oleh pengusul. Rancangan peraturan
desa yang telah dibahas tidak dapat ditarik kembali kecuali
224
Lihat Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
225
Lihat Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
226
Lihat Pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

278 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


atas kesepakatan bersama antara Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa.227
Rancangan peraturan desa yang telah disepakati bersama
disampaikan oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa
kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal kesepakatan.
Rancangan peraturan desa wajib ditetapkan Kepala Desa dengan
membubuhkan tanda tangan paling lambat 15 (lima belas)
hari terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan desa dari
pimpinan Badan Permusyawaratan Desa.228
Keempat, Penetapan. Rancangan peraturan desa yang telah
dibubuhi tanda tangan disampaikan kepada Sekretaris Desa untuk
diundangkan. Dalam hal Kepala Desa tidak menandatangani
rancangan peraturan desa, rancangan peraturan desa tersebut wajib
diundangkan dalam Lembaran Desa dan sah menjadi peraturan
desa.229
Kelima, Pengundangan. Sekretaris Desa mengundangkan
peraturan desa dalam lembaran desa. Peraturan desa dinyatakan
mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sejak diundangkan.230
Keenam, Penyebarluasan. Penyebarluasan dilakukan oleh
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sejak penetapan
rencana penyusunan rancangan peraturan desa, penyusunan

227
Lihat Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
228
Lihat Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
229
Lihat Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
230
Lihat Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 279


rancangan peraturan desa, pembahasan rancangan peraturan desa,
hingga pengundangan peraturan desa. Penyebarluasan dilakukan
untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat dan para pemangku kepentingan.231
Selain 6 (enam) tahap pembentukan peraturan desa tersebut
terdapat 2 (dua) tahap lagi sebagai bentuk pengkajian dan penilaian
rancangan peraturan desa atau peraturan desa untuk mencegah
permasalahan yang timbul ketika peraturan desa tersebut efektif
dilaksanakan, tahap ini adalah evaluasi dan klarifikasi. Evaluasi
adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan desa
untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum dan/
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,232 sedangkan
klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap peraturan di
desa untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum,
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.233
Pertama, Evaluasi. Rancangan peraturan desa tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan
organisasi Pemerintahan Desa yang telah dibahas dan disepakati
oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, disampaikan
oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat atau
sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk
dievaluasi. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil
evaluasi dalam batas waktu, peraturan desa tersebut berlaku dengan

231
Lihat Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
232
Lihat Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
233
Lihat Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

280 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


sendirinya.234 Hasil evaluasi rancangan peraturan desa diserahkan
oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh
Bupati/Walikota. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan
hasil evaluasi, Kepala Desa wajib memperbaikinya.235
Kepala Desa memperbaiki rancangan peraturan desa paling
lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi. Kepala
Desa dapat mengundang Badan Permusyawaratan Desa untuk
memperbaiki rancangan peraturan desa. Hasil koreksi dan
tindaklanjut disampaikan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota
melalui Camat.236 Dalam hal Kepala Desa tidak menindaklanjuti
hasil evaluasi dan tetap menetapkan peraturan desa, Bupati/
Walikota membatalkan peraturan desa dengan Keputusan Bupati/
Walikota.237 Bupati/Walikota dapat membentuk tim evaluasi
rancangan peraturan desa. Tim evaluasi ditetapkan dengan
keputusan Bupati/Walikota.238
Kedua, Klarifikasi. Peraturan desa yang telah diundangkan
disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak diundangkan untuk diklarifikasi. Bupati/
Walikota melakukan klarifikasi peraturan desa dengan membentum

Lihat Pasal 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
234

Pedoman Teknis Peraturan di Desa.


235
Lihat Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
236
Lihat Pasal 16 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
237
Lihat Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
238
Lihat Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 281


tim klarifikasi paling lamabat 30 (tiga puluh) hari sejak diterima.239
Hasil klarifikasi dapat berupa: hasil klarifikasi yang sudah sesuai
dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dan hasil klarifikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal hasil
klarifikasi, peraturan desa tidak bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi Bupati/Walikota menerbitkan surat hasil klarifikasi
yang berisi hasil klarifikasi yang telah sesuai. Dalam hal hasil
klarifikasi bertentangan dengan dengan kepentingan umum dan/
atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Bupati/Walikota membatalkan peraturan desa tersebut dengan
Keputusan Bupati/Walikota.240

B. Peran Peraturan Desa dalam Menghadapi Masyarakat


Ekonomi ASEAN
Sebagaimana kita ketahui bersama mulai tanggal 1 Januari
tahun 2016, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memasuki
era baru, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebuah kerja sama
kawasan yang mengikis hambatan lalu lintas barang dan jasa di
seluruh negara ASEAN. Komoditas barang dan jasa bisa keluar dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk bersaing di luar negeri,
sebaliknya komoditas barang dan jasa luar negeri dapat membanjiri

239
Lihat Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
240
Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman
Teknis Peraturan di Desa.

282 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Negara Kesatian Republik indonesia.241 Dalam menyikapi era ini
pemerintah baik pusat maupun daerah bahu-membahu dalam
meningkatkan daya saing masyarakat, melalui pendampingan,
pelatihan, permodalan, maupun upaya-upaya praktis peningkatan
kualitas masyarakat sesuai dengan pekerjaan yang dimilikinya.
Peningkatan daya saing ini tidak lain agar masyarakat dengan
pekerjaan yang dimiliki dapat bersaing dengan masyarakat negara
ASEAN lainnya, sehingga bukan hanya sebagai obyek namun
demikian juga sebagai subyek perdagangan barang dan jasa di
kawasan ASEAN tersebut.242
Dalam konteks konstelasi dan kontestasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN ini, desa dapat ikut mengambil bagian dalam
meningkatkan daya saing, kapasitas dan kapabilitas masyarakat
desa melalui optimalisasi potensi yang dimiliki desa. Upaya untuk
meningkatkan kemandiran dan daya saing desa, pemerintah desa
dapat melakukan pembangunan infrastruktur, pembangunan
pertanian, industrialisasi, usaha non pertanian, pendidikan
dan kesehatan, dan aspek sosial budaya. Yang mana keenam
hal pembangunan ini supaya dapat dirasakan masyarakat harus
diformulasikan dalam bentuk peraturan desa yang selanjutnya
secara teknis diejawantahkan melalui kebijakan-kebijakan praktis.
Kebijakan-kebijakan praktis taraf desa inilah yang menjadi
wujud riil peranan peraturan desa dalam menghadapi tantangan
Masyarakat Ekonomi ASEAN.

241
Satriyo Wibowo, “Siapkah Kita Mengahadapi Tantangan MEA 2016?”, http://inet.
detik.com/ read/ 2016/01/14/ 074608/ 3118080/398/ siapkah- kita- menghadapi-tantangan-
mea-2016, diakses tanggal 15 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.
242
“Pemerintah Siapkan Masyarakat Hadapi MEA”, Tribun Jogja, Edisi Minggu 17
Januari 2016.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 283


Pertama, Pembangunan Infrastruktur. Investasi untuk
infrastruktur, kaitannya dengan jasa adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan perdesaan. Pembangunan
perekonomian perdesaan ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal contohnya ketersediaan infrastruktur
sedangkan faktor eksternal contohnya keadaan perekonomian
nasional. Ketersediaan infrastruktur yang memadahi merupakan
salah satu syarat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi.
Infrastruktur yang baik menciptakan akses yang paling murah
kepada masyarakat perdesaan baik berupa akses transportasi,
komunikasi, maupun energi.243
Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah terwujudnya
formulasi Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa yang proyeksi penyerapan anggarannya ditujukan
kepada pembangunan infrastruktur. Hal ini dimaksudkan agar
segala aktivitas masyarakat desa dalam upaya meningkatkan
daya saing, kapasitas, dan kapabilitas berjalan lancar tanpa
adanya hambatan. Sehingga ketertinggalan-ketertinggalan ketika
memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dikejar dan pada
akhirnya nanti masyarakat desa memiliki daya saing yang tinggi.
Salah satu contohnya adalah, ketika akses jalan ke area pertanian
lancar, maka produktivitas dan mobiltas hasil pertanian tinggi
dan biaya transportasi dapat ditekan, sehingga harga komoditas
pertanian bersangkutan dapat bersaing dengan negara-negara lain
di kawasan ASEAN.
Kedua, Pembangunan Pertanian. Dominasi sektor pertanian
merupakan karakteristik utama dari perekonomian di perdesaan.
Pertanian adalah sektor yang paling banyak menghidupi masyarakat
243
Lincolin Arsyad dkk, 2011, Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal, Unit
Penerbit dan Percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, hlm. 88.

284 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


yang sedang berkembang. Petani kecil di perdesaan merupakan
segmen paling besar di negara sedang berkembang. Fungsi desa
sebagai produsen output pertanian mengharuskan desa untuk
menjadi basis produsen pangan nasional. Sebagai konsekuensinya,
produktivitas pertanian sebuah desa menjadi salah satu ukuran
keberhasilan pembangunan yang tidak dapat dihindari.244
Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah lahirnya
peraturan desa yang dapat mengakomodasi permasalahan-
permasalahan pertanian di tingkat desa, mulai dari pembibitan
hingga pengolahan pasca panen. Desa melalui peraturan desa
harus mendorong petani desa meningkatkan produktivitas dan
kualitas hasil pertaniannya serta memberikan kucuran dana melalui
Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
kepada kelompok tani maupun gabungan kelompok tani dalam
rangka meningkatkan daya saing di bidang pertanian. Selain itu,
melalui peraturan desa, desa dapat membuat Peraturan Desa
tentang Tata Ruang Desa dalam rangka menjaga eksistensi lahan
pertanian melalui pencangan lahan lestari pada kawasan pertanian.
Hal ini semua dilakukan untuk mendongkrak produktivitas dan
kualitas pertanian agar dapat terwujud kedaulatan pangan dan
surplusnya dapat diekspor ke negara ASEAN lainnya.
Ketiga, Pembangunan Industrialisasi. Keberadaan industri,
khususnya industri kecil dan menengah, diperlukan oleh
perdesaan sebagai alternatif kegiatan ekonomi produktif yang
dimiliki masyarakat perdesaan selain pertanian. Industri yang
diharapkan muncul adalah jenis-jenis industri yang mendukung
dan memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian sebagai basis
utama perekonomian di desa.245

Ibid., hlm. 90.


244

Ibid., hlm. 91.


245

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 285


Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah terwujudnya
peraturan desa yang menjamin keselarasan antara industri kecil
dan menengah dengan sektor pertanian. Hal ini merupakan
sebuah keniscayaan simbiosis mutualisme guna meningkatkan
pendapatan masyarakat yang berdaya dukung serta meningkatkan
daya saing dalam bidang pertanian. Oleh karena industri kecil
dan menengah memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai jual
dari hasil pertanian bersangkutan. Sebagai gambaran, sebuah desa
yang memiliki potensi ekonomi di bidang pertanian khususnya
perikanan lele seperti yang ada di Desa Tegalrejo Kecamatan Sawit
Boyolali, maka untuk mendukung aktivitas pertanian yang ada,
maka industri yang dikembangkan adalah pengolahan lele sebagai
produk makanan, misalnya kripik lele, dedeng lele, maupun abon
lele. Yang notabene semua aktifitas tersebut merupakan upaya
untuk meningkatkan nilai jual lele itu sendiri daripada dijual
masih mentah. Selain membuka lapangan pekerjaan yang cukup
signifikan, industri berskala desa ini tidak lain untuk mewujudkan
program pemerintah one village one product. Hal ini merupakan
salah satu upaya untuk mencanangkan produk unggulan desa
guna menembus dan bersaing dalam tataran perdagangan antar
kawasan ASEAN.
Keempat, Pembangunan Usaha Non Pertanian. Bisnis
non pertanian di perdesaan memberikan dampak positif bagi
pendapatan petani. Perkembangan bisnis non pertanian juga
merupakan salah satu kunci dalam menstabilkan perpindahan
penduduk. Potensi perdesaan yang masih dapat dikembangkan
seperti wisata kuliner, wisata agro, dan jasa-jasa lainnya dapat
menjadi alternatif sumber pendapatan masyarakat perdesaan.246

Ibid.
246

286 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Peran peraturan desa dalam koteks ini adalah mewujudkan
usaha non pertanian dengan memanfaatkan potensi desa yang
ada. Salah caranya adalah membuat Peraturan Desa tentang
Badan Usaha Milik Desa. Badan Usaha Milik Desa merupakan
suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan desa yang dipisahakan guna mengelola aset, jasa
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat desa.247 Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa
sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.248 Salah satu contoh
dari pendirian Badan Usaha Milik Desa yaitu di Desa Ponggok
Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten melalui pendirian
Badan Usaha Milik Desa Tirta Mandiri, yang notabene mengelola
Umbul Ponggok sebagai destinasi wisata air, toko desa, dan gedung
pertemuan. Melalui Badan Usaha Milik Desa ini Desa Ponggok
termasuk menjadi pionir desa mandiri di Kabupaten Klaten.
Implikasi postifnya adalah melalui pendapatan asli desa yang
berasal dari Badan Usaha Milik Desa tersebut, pemerintah Desa
Ponggok memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang berasal
dari kawasan tersebut, santunan untuk orang jompo, dan jaminan
sosial untuk masyarakat pra sejahtera yang ada di desa tersebut.
Dari contoh ini dapatlah ditarik benang merah bahwa melalui
optimalisasi potensi yang dimiliki desa yang dikemudian diatur
dalam peraturan desa, maka desa akan dapat berdaya saing dan
ikut serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa.
Sehingga dalam mengembangkan desanya tidak perlu membawa
investor dari luar negeri untuk masuk dan mengelola potensi yang

247
Moch Solekhan, Op.Cit., 72.
248
Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 20.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 287


dimiliki.249 Karena desa bersangkutan sudah mandiri dan berdaya
saing tinggi serta siap untuk bersaing dengan desa-desa lain di
kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kelima, Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan. Sektor
pendidikan dan kesehatan secara umum telah disepakati
merupakan sektor kunci untuk mengurangi kemiskinan. Tingkat
pendidikan dan kesehatan tidak hanya berpengaruh pada efektivitas
program-program pembangunan jangka pendek, tetapi juga
sangat berpengaruh dalam jangka panjang. Secara teoritis juga
ditunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan adalah 2 (dua) faktor
utama yang menentukan terciptanya human capital yang berkaitan
langsung dengan faktor produksi tenaga kerja.250
Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah lahirnya
peraturan desa mengatur aspek pendidikan dan kesehatan yang
belum ditangani oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, yaitu dalam aspek
pendidikan melalui optimalisasi lembaga-lembaga pelatihan di
tingkat desa dalam rangka meningkatkan kualitas, kapasitas, dan
kapabilitas angkatan kerja di desa yang berstandarisasi nasional dan
internasional. Selain itu untuk aspek pendidikannya, peraturan
desa bisa menjangkau masyarakat pra sejahtera yang belum tercover
dalam jaminan sosial yang dicanangkan oleh pemerintah pusat,
melalui penganggaran dalam Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa. Sehingga bilamana ini tercapai,
maka visi reformasi desa yang mandiri dan berdaya saing tinggi
dapat terwujud, serta terkait mulai berlakunya era Masyarakat

249
Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi: Kajian Politik
Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Setara Press,
Malang, hlm. 183.
250
Lincolin Arsyad dkk, Op.Cit., hlm. 92.

288 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Ekonomi ASEAN termasuk tidak akan terdampak negatif, karena
daya saingnya sudah tinggi.
Keenam, Pembangunan Sosial Budaya. Pembangunan
perdesaan tidak hanya terkait dengan masalah-masalah
pembangunan fisik seperti infrastruktur umum dan pertanian,
kesehatan, pendidikan, ataupun kelembagaan. Pembangunan
perdesaan juga sangat erat terkait dengan masalah sosial budaya
seperti keragaman etnis, fasilitas budaya, dan kearifan lokal.251
Peran peraturan desa dalam konteks ini adalah sebagai
penjamin eksistensi budaya yang dimiliki desa. Sehingga formulasi
peraturan desa bersangkutan memuat hal-hal yang berhubungan
dengan pelestarian khasanah budaya agar tidak tergerus oleh
perkembangan jaman termasuk adanya Masyarakat Ekonomi
ASEAN, karena budaya adalah jati diri bangsa yang merupakan
proteksi yang melekat dalam samubari bangsa Indonesia. Selain
itu, peraturan desa dalam konteks ini harus mengubah paradigma
budaya bukan hanya dilestarikan. Namun demikian, budaya
memiliki daya “jual” yang tinggi terhadap masyarakat negara
lain bilamana dikelola dengan baik dan menarik.252 Bila ini dapat
dilaksanakan maka Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah pangsa
pasar yang potensial untuk “menjual” potensi budaya yang dimiliki.
Akhirnya, berdasarkan paparan tersebut, peraturan desa
memiliki posisi strategis dalam meningkatkan daya saing desa di
kancah Masyarakat Ekonomi ASEAN. Melalui peraturan desa,
pemerintah desa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya
dan apabila hal ini dikelola secara baik dan konsisten akan
mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang mandiri

251
Ibid., hlm. 94.
252
M Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal Policy and Public Policy),
Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 132.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 289


dan berdaya saing tinggi di tengah era Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang penuh tantangan dan persaingan.

C. DUALISME KEMENTERIAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 7 Tahun 2014 pada
tanggal 15 Januari 2014. Konsekuensi yuridis diundangkannya
suatu peraturan perundang-undangan adalah berlaku hari itu
juga ketika diundangkan. Demikian pula yang terjadi pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagimana
termaktub dalam Pasal 122 yang berbunyi “Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Secara kelembagaan,
ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mulai berlaku
maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagimana dimaksud dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan
oleh presiden melalui pembantunya, yaitu menteri negara yang
membawahi kementerian negara, dalam hal ini khususnya pada
urusan desa. Secara lebih teknis Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68 dan
Pasal 80 Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
menjelaskan desa sebagai domain kewenangan dari Kementerian
Dalam Negeri.

Pasal 66
K e m e n t e r i a n D a l a m Ne g e r i m e m p u n y a i t u g a s
menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam

290 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


negeri dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 67
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 66, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pemerintahan dalam negeri;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri; dan
d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah.

Pasal 68
Susunan organisasi eselon I Kementerian Dalam Negeri
terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik;
c. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum;
d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;
e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;
f. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa;
g. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil;
h. Direktorat JenderalKeuangan Daerah;
i. Inspektorat Jenderal;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 291


j. Badan Penelitian dan Pengembangan;
k. Badan Pendidikan dan Pelatihan
l. Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antar
Lembaga;
m. Staf Ahli Bidang Pemerintahan;
n. Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan;
o. Staf Ahli Bidang Sumber Daya Manusia dan
Kependudukan; dan
p. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan.

Pasal 80
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan
masyarakat dan desa;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan
masyarakat dan desa;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang pemberdayaan masyarakat dan desa;
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang
pemberdayaan masyarakat dan desa; dan
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
Penyelenggaraan semua kewenangan di bidang desa
berdasarkan beberapa ketentuan pasal di atas dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam
Negeri. Namun demikian, seiring suksesi kepemimpinan negara
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko

292 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Widodo, maka terjadilah perubahan kementerian yang menangani
kewenangan di bidang desa. Puncaknya ditandai oleh terbitnya
Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan
Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja khususnya ketentuan yang
termaktub dalam Pasal 6 dan Pasal 8.

Pasal 6
Dalam hal organinisasi dan tata kerja Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) angka 26 belum terbentuk maka
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
memimpin dan mengkoordinasikan:
a. Penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang
meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa,
pemberdayaan masyarakat adat dan sosial budaya
masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan
sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan
yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri;
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh
Kemnterian Pembangunan Daerah Tertinggal; dan
c. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
transmigrasi yang dilaksanakan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara sebagimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 293


Pasal 8
Dalam hal organisasi dan tata kerja Kementerian Dalam
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) angka 6
belum terbentuk maka Menteri Dalam Negeri memimpin dan
menkoordinasikan penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi
Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun
2014, kecuali tugas dan fungsi di bidang desa sebagimana dimaksud
dalam Pasal 6.

Berdasarkan paparan Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Presiden


Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi
Kabinet Kerja tampak sekali secara eksplisit bahwa beberapa
kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri
berpindah menjadi Kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sehingga hubungan daerah
otonom yang mengemban desentralisasi beberapa kewenangan
yang berkaitan dengan desa berpindah dari Kementerian Dalam
Negeri ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi.
Lahirnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi bukanlah tanpa alasan, melainkan hal
ini memang sudah dilakukan kajian dan perencanaan oleh Pasangan
Jokowi-Jusuf Kalla ketika menyusun visi kampanye presiden dan
wakil presiden yang diberi nama nawa cita. Nawa cita merupakan
sembilan agenda prioritas kerja Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla ketika
terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, salah satunya adalah

294 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


berkaitan dengan desa. Desa menjadi butir ketiga dalam nawa cita,
yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Melalui
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi diharapkan desa memiliki peran strategis dalam
pembangunan negara dan bersifat multidimensi.253
Namun demikian, ternyata dalam perjalanannya terdapat
polemik bahwa Direktoral Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa Kementerian Dalam Negeri menolak untuk pindah ke
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Padahal
Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan
Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja telah jelas mengatur perpindahan
kewenangan tersebut.254 Untuk menyelesaikan polemik yang
berkepanjangan ini akhirnya pada tanggal 21 Januari 2015 Presiden
Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun
2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kewenangan Kementerian
Dalam Negeri secara eksplisit termaktub dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 21, dan Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun
2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.

253
Deytri Robekka Aritonang, “Jokowi-JK Andalkan Nawa Cita, Sembilan Agenda
Prioritas Indonesia”, Kompas, 20 Mei 2014.
254
“Dirjen PMD Ogah Gabung Kementerian Desa, Marwan: Kita Bikin Baru”, http://
www. jpnn. com /read/ 2014/ 11/25/271979/Dirjen-PMD- Ogah-Gabung- Kementerian-Desa,-
Marwan:-Kita- Bikin-Baru, diakses 14 Februari 2015 pukul 09.30 WIB

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 295


Pasal 2
K e m e n t e r i a n D a l a m Ne g e r i m e m p u n y a i t u g a s
menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, pentapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang politik dan pemerintahan umum, otonomi
daerah, pembinaan administrasi keweilayahan,
pembinaan pemerintahan desa, pembinaan urusan
pemerintahn dan pembangunan daerah, pembinaan
keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan
sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
d. pengawasan dan pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Dalam Negeri;
f. pengoordinasian, pembinaan, dan pengawasan
umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan

296 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
g. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang
pemerintah dalam negeri;
h. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di
bidang pemerintahan dalam negeri;
i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai daerah;
dan
j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Dalam Negeri.

Pasal 4
Kementerian Dalam Negeri terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;
c. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan;
d. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;
e. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah;
f. Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa;
g. Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah;
h. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil;
i. Inspektorat Jenderal;
j. Badan Penelitian dan Pengembangan;
k. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia;
l. Staf Ahli Hukum dan Kesatuan Bangsa;
m. Staf Ahli Bidang Pemerintahan;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 297


n. Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar
Lembaga;
o. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan; dan
p. Staf Ahli Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik.

Pasal 21
Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang pembinaan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Direktorat dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang fasilitasi penataan
desa, penyelenggaraan adminstrasi pemerintahan desa,
pengelolaa keuangan dan aset desa, produk hukum desa,
pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan
penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa,
kerja sama pemerintahan, serta evaluasi perkembangan
desa;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang fasilitasi penataan
desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan
desa, pengelolaan keuangan dana aset desa, produk
hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat
desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan,
kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta
evaluasi perkembangan desa;

298 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


c. pelaksanaan pembinaan umum dan koordinasi di
bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan
administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan
dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan
kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan
urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama
pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;
d. penyusunan norma, standar prosedur, dan kriteria di
bidan penataan desa, penyelenggaraan administrasi
pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dan aset
desa, kelembagaan desa, dan kerja sama desa;
e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan
di bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan
administrasi pemerintahan desa, pengelolaan keuangan
dana aset desa, produk hukum desa, pemilihan
kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan penugasan
urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerja sama
pemerintahan, serta evaluasi perkembangan desa;
f. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi
pemerintahan desa, pengelolaan keuangan dana aset desa,
produk hukum desa, pemilihan kepala desa, perangkat
desa, pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan,
kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan, serta
evaluasi perkembangan desa;
g. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Desa;
dan
h. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 299


Kewenangan Kementerian Desa termaktub dalam Pasal
2, Pasal 3, dan Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pasal 2
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah
tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah
tertentu, pembangunan daerah tertinggal, penyiapan
pembangunan permukiman, dan pengembangan
kawasan transmigrasi;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

300 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
f. pelaksanaan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan pelatihan, serta pengelolaan informasi di
bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan,
pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan
daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, dan
transmigrasi; dan
g. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh organisasi di lingkungan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pasal 4
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa;
c. Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan;
d. Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu;
e. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal;
f. Direktorat Jenderal Penyiapan Kawasan dan
Pembangunan Permukiman Transmigrasi;

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 301


g. Direktorat Jenderal Pengembangan Kawasan
Transmigrasi;
h. Inspektorat Jenderal;
i. Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan
Pelatihan, dan Informasi;
j. Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan;
k. Staf Ahli Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal;
l. Staf Ahli Bidang Pengembangan Wilayah;
m. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga; dan
n. Staf Ahli Bidang Hukum.

Pasal 9
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan
pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa,
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna,
pembangunan sarana dan prasarana desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan
Masayarakat Desa melenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan
pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi
desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa,
serta pemberdayaan masyarakat desa;

302 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


b. pelaksaan kebijakan di bidang pembinaan pengelolaan
pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi
desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa,
serta pemberdayaan masyarakat desa;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria
di bidang pembinaan pengelolaan pelayanan
sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi desa,
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat
guna, dan pembangunan sarana prasarana desa, serta
pemberdayaan masyarakat desa;
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pembinaan pengelolaan pelayanan sosial dasar,
pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan
sumber daya alam dan teknologi tepat guna, dan
pembangunan sarana prasarana desa, serta pemberdayaan
masyarakat desa;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan
pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan
usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam
dan teknologi tepat guna, dan pembangunan sarana
prasarana desa, serta pemberdayaan masyarakat desa;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa;
dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 303


Pasal 12
Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang perencanaan pembangunan kawasan
perdesaan, pembangunan sara/prasarana kawasan perdesaan,
dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud dalam
Pasal 12, Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan
menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan
sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan
ekonomi kawasan perdesaan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan
sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan pembangunan
ekonomi kawasan perdesaan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di
bidang perencanaan pembangunan kawasan perdesaan,
pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan
pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;
d. pemberian bimbinganteknis dan supervisi di bidang
perencanaan pembangunan kawasan perdesaan,
pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan,
dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;

304 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang
perencanaan pembangunan kawasan perdesaan,
pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan,
dan pembangunan ekonomi kawasan perdesaan;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Pembangunan Kawasan Perdesaan; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Implikasi nyata dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 11


Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi adalah adanya
kepastian hukum kewenangan masing-masing kementerian.
Apabila diilustrasikan dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut:

Struktur
Urusan
Organisasi
Terkait Tugas Keterangan
Pemerintahan
Desa
Pusat
a. Penataan desa;
b. Adminstrasi
Pemerintahan Desa;
Kementerian c. Keuangan dan aset desa; Peraturan Presiden
Bina Pemerintahan Desa

Dalam Negeri d. Produk hukum desa; Nomor 11 Tahun


Direktorat Jenderal

e. Pemilihan kepala desa; 2015 tentang


f. Penugasan urusan Kementerian
pemerintahan; Dalam Negeri
g. Kelembagaan desa;
h. Kerjasama
pemerintahan; dan
i. Evaluasi perkembangan
desa.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 305


Pembangunan dan
Direktorat pemberdayaan masyarakat
Jenderal desa:
Pembangunan a. Pelayanan sosial dasar;
dan b. Pengembangan usaha
Pemberdayaan ekonomi desa;
Masyarakat c. Pendayagunaan suber
Kementerian Peraturan Presiden
Desa daya alam dan teknologi
Desa, Nomor 12 Tahun
tepat guna; 2015 tentang
Daerah
Tertinggal, dan d. Pembangunan sarana Kementerian Desa,
Transmigrasi prasarana desa; dan Pembangunan
e. Pemberdayaan Daerah Tertinggal,
masyarakat desa. dan Transmigrasi
Direktorat
Jenderal Pembangunan kawasan
Pembangunan perdesaan:
Kawasan a. Perencanaan
Perdesaan pembangunan kawasan
perdesaan;
b. Pembangunan sarana
prasarana kawasan
perdesaan; dan
c. Pembangunan ekonomi
kawasan perdesaan.

Pembagian Tugas dan Wewenang Terkait Desa


Meskipun telah terjadi kepastian hukum dalam
penyelenggaraan kewenangan namun demikian dalam taraf
implementasinya ternyata menyisakan permasalahan, yaitu
kurang koordinasinya antara Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi sehingga regulasi teknis berupa peraturan menteri
yang dikeluarkan oleh kedua kementerian tersebut ada yang
tidak sinkron. Ketidaksinkronan peraturan teknis ini berimplikasi

306 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


pada penyelenggaraan desentralisasi kewenangan kabupaten/kota
berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengelola
desa. Sehingga menimbulkan kerugian di pihak kabupaten/kota
maupun desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan


Peraturan Menteri Dalam Negeri
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
a. Peraturan Menteri Dalam a. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Negeri Nomor 111 Tahun Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
2014 tentang Pedoman Teknis Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman
Peraturan di Desa Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul
b. Peraturan Menteri Dalam dan Kewenangan Lokal Berskala Desa;
Negeri Nomor 112 Tahun 2014 b. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
tentang Pemilihan Kepala Desa; Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
c. Peraturan Menteri Dalam Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman
Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan
tentang Pengelolaan Keuangan Keputusan Musyawarah Desa;
Desa; dan c. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
d. Peraturan Menteri Dalam Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Nomor 3 Tahun 2015 tentang
tentang Pedoman Pembangunan Pendampingan Desa;
Desa. d. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian,
Pengurusan dan Pengeloaan, dan
Pembubaran Badan Usaha Milik Desa;
dan
e. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan
Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun
2015.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 307


Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pada prinsipnya peraturan pelaksanaan termasuk di dalamnya
adalah peraturan menteri disebut dengan delegated legislations
sebagai subordinate legislations di bawah undang-undang.
Disebut sebagai delegated legislation, karena kewenangan untuk
menentukannya berasal dari kewenangan yang didelegasikan dari
undang-undang oleh pembentuk undang-undang (legislature).
Lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan-peraturan itu pada
umumnya adalah lembaga yang berada dalam ranah eksekutif
tidaklah berwenang untuk menetapkan peraturan tersebut jika
tidak mendapat delegasi kewenangan dari undang-undang. Karena
itu, peraturan-peraturan itu biasa disebut juga dengan executive acts
atau peraturan yang ditetapkan oleh lembaga pelaksana undang-
undang itu sendiri.255
Dari beberapa peraturan menteri tersebut, baik Peraturan
Menteri Dalam Negeri maupun Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi terdapat
peraturan menteri yang tidak sinkron. Hal ini tentunya akan
berimplikasi pada pelaksanaan kewenangan mengatur desa yang
dilakukan oleh kabupaten/kota. Oleh karena peraturan menteri
tersebut merupakan peraturan teknis pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Adapun peraturan menteri
yang tidak sinkron adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa dengan
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Ketidaksinkronan itu terletak pada substansi hukum dari Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 194.
255

308 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Pembangunan Desa yang notabene berdasarkan Pasal 3 huruf a
dan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi merupakan bagian kewenangan dari Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dengan adanya ketidaksinkronan ini akan menyebabkan
permasalahan yang cukup signifikan baik di kabupaten/kota
maupun desa. Oleh karena pembangunan desa berdasarkan Pasal 18
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan
salah satu bidang kewenangan yang dimiliki oleh desa. Sehingga
hal ini berkaitan pada permasalahan yaitu mengikuti peraturan
menteri yang mana pelaksanaan pembangunan di desa, mengikuti
Peraturan Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Selanjutnya, hubungannya dengan kewenangan kabupaten/
kota berdasarkan Pasal 115 huruf l Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa adalah kewenangan kabupaten/
kota untuk melakukan percepatan pembangunan desa melalui
bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan
teknis serta Pasal 27 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa yang mengatur bahwa kepala desa wajib
menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
setiap akhir tahun anggaran kepada bupati/walikota. Secara lebih
terperinci maksud dari laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
tersebut termaktub dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa paling sedikit memuat:
pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan desa,
pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan, pelaksanaan

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 309


pembinaan kemasyarakatan, dan pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat.
Permasalahan yang muncul di sini adalah hampir sama
dengan permasalahan yang muncul di desa yaitu berkaitan dengan
domain keberlakuan peraturan menteri yang mengatur tentang
pembangungan, mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri atau
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi. Sehingga dapat ditarik suatu benang merah bahwa
keberadaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun
2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa tidak relevan dengan
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan
mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi negatif
timbulnya ekses-ekses pada penyelenggaraan pemerintahan di
daerah khususnya tentang berkaitan dengan pembangunan
desa. Apalagi dengan adanya desentralisasi kekuasaan birokrasi
diperlukan akuntabilitas yang ditunjang dengan kepastian hukum
dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.256

D. Peranan Desa dalam Menunjang Welfare State


Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai
perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur sebagaimana termuat dalam alenia ke-4 (empat) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdasakan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

256
Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada.

310 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga
selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan
kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan
bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.257
Dalam negara kesejahteraan, untuk mencapai tujuan
kesejahteraan masyarakat, negara dituntut hadir dalam segala aspek
kehidupan sosial. Dengan demikian, tidak satupun aspek kehidupan
masyarakat yang lepas dari campur tangan pemerintah.258 Dalam
konteks ini desa harus berkontribusi dan mengambil peran strategis
dalam mewujudkan welfare state (negara kesejahteraan) berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa menjadi titik tolak bagi transformasi atau
pembaharuan desa. Semangat yang dibangun adalah memberikan
pengakuan eksistensi desa sebagai pilar pembangunan bangsa,
memperkuat kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, serta
mendorong tata pemerintahan desa yang demokratis. Dengan
begitu, desa diharapkan akan mandiri, mampu menciptakan
kesejahteraan, serta menjadi jawaban atas problem-problem yang
dialami masyarakat lokal.259
Optimalisasi peran desa dalam menunjang perwujudan
welfare state di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didasari
atas beberapa pertimbangan, yaitu:260

257
Utang Rosidin, 2015, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, CV Pustaka Setia,
Bandung, hlm. 455.
258
Ibid.
259
Indah Dwi Qurbani, 2014, “Menakar Peluang dan Tatangan terhadap Implementasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Jurnal Transisi, Edisi 9, hlm. 66.
260
Yansen TP, 2014, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya
kepada Rakyat, Jakarta, Elex Media Komputindo, hlm. 46-47.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 311


a. Desa merupakan tempat bermukimnya masyarakat yang ingin
dibangun dan disejahterakan;
b. Desa memiliki aspek kearifan lokal yang sangat kaya dan
beragam, yang mendominasi dan mewarnai kehidupan desa.
Hal inilah yang sesungguhnya merupakan kekuatan utama
yang menjadi spirit kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Orientasi harus diarahkan atau tertuju ke desa apabila kita
ingin sungguh-sungguh sukses mewujudkan cita-cita dan
tujuan pembangunan; dan
d. Desa merupakan berpusatnya kegiatan dan aktivitas seluruh
elemen dan komponen masyarakat dalam pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan umum.

Setelah ditemukannya pertimbangan optimalisasi peran


desa dalam menunjang welfare state, selanjutnya adalah evaluasi
terhadap pembangunan yang dilaksanakan selama ini. Pola
pembangunan yang dilaksanakan selama ini kurang maksimal
untuk menyejahterakan rakyat. Hal ini disebabkan karena niat
dan strategi stakeholders terkait khususnya desa kurang kuat,
kurang jelas, dan kurang terarah ke penyelesaian masalah. Motivasi
dan orientasi lebih banyak untuk kepentingan elite (pimpinan).
Akibatnya terlalu banyak kebijakan yang jauh dari kebutuhan
rakyat. Selain itu juga disebabkan oleh rendahnya keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan, tidak teridentifikasinya
kebutuhan dasar masyarakat yang terbaca dalam pemetaan potensi
dan permasalahan desa, serta dominasi intervensi pemerintah dan/
atau pemerintah daerah terhadap desa.261 Implikasi kondisi tersebut
adalah terwujudnya suatu kondisi ketimpangan hasil pembangunan

Ibid., hlm. 48.


261

312 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


dengan apa yang diharapkan. Sehingga hal ini berakibat pada
tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang jauh dari cita
negara kesejahteraan.
Dengan kondisi yang demikian, optimaliasasi peran desa
dalam menunjang perwujudan welfare state dapat dilakukan
melalui mekanisme sebagai berikut: Pertama, upaya mewujudkan
keterbukaan masyarakat desa. Jika desa bisa menjadi titik
tolak pembangunan nasioanl yang bukan saja menyangkut
pembangunan fisik, tetapi juga pembanguanan manusia desa
seutuhnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa melalui potensi dan peluang yang dimiliki. Maka keterbukaan
desa menjadi persyaratan utama, dengan keterbukaan maka gagasan
dan paradigma baru akan masuk ke desa. Hal ini dapat diwujudkan
melalui pendidikan di kalangan masyarakat desa, output dari proses
ini adalah terwujudnya kemandirian desa yang dengan segala
potensi dan bilamana dielaborasikan dengan kewenangan yang
dimiliki, maka akan mendatangkan kesejahteraan dan kemaslahatan
bagi segenap masyarakat desa.262 Kedua, percaya sepenuhnya pada
masyarakat. Percaya kepada masyarakat merupakan modal dasar
dan menjadi faktor pengungkit (leverage) dalam membangun rasa
percaya diri masyarakat untuk berperan dalam pembangunan, oleh
karena yang menikmati pembangunan dan kesejahteraan nantinya
adalah masyarakat sendiri.263
Ketiga, optimalisasi pelimpahan urusan kepada pemerintah
desa. Tindakan ini dimaksudkan untuk memberi ketegasan
peran kepada masyarakat desa untuk melakukan usaha-
usaha pembangunan. Sebagaimana kita dapat percaya kepada
kemampuan masyarakat desa untuk membangun, maka dengan

Aida Vitayala Hubeis, Op.Cit., hlm. 48.


262

Yansen TP, Op.Cit. hlm. 73.


263

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 313


sendirinya kita juga percaya atas kemampuan pemerintah desa
untuk mengemban urusan yang akan didelegasikan kepada
mereka. Pendelegasian urusan tertentu kepada desa ini akan
menjadi kekuatan bagi pemerintah desa dalam mengelola potensi
yang dimilikinya. Adapun hasil dari pengeolaan potensi yang
dimiliki desa adalah terciptanya kemandirian desa, peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa, serta peningkatan Pendapatan Asli
Desa yang nantinya akan diejawantahkan dalam bentuk program
kesejahteraan dari desa baik berupa bantuan sosial, jaminan
kesehatan, dan bantuan pendidikan yang semuanya ini berasal
dari desa. Keempat, membina dan melatih aparatur/masyarakat
desa. Hal ini merupakan langkah konkrit untuk membangun
wawasan, pengertian, pemahaman, dan kemampuan bagi aparatur/
masyarakat desa dalam upaya peningkatan kesejahteraan melalui
penggarapan potensi yang ada di desa.264
Kelima, pendampingan pemerintahan dan masyarakat desa.
Melalui upaya ini masyarakat dan pemerintah desa diharapkan
dapat cepat memahami fungsi dan tugas pokoknya, serta mengerti
dengan baik berbagai aspek pelaksanaannya.265 Pemahaman ini
merupakan modal untuk mengelola desa ke depannya, selain
itu pendampingan juga bertujuan sebagai bentuk fasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam pengertian ketika
terjadi permasalahan dalam penyelenggaran pemerintahan
desa. Maka dengan responsif pendamping dapat membantu
menyelesaikannya melalui program pendampingan.
Akhirnya, setelah desa menemukan cara untuk berkontribusi
positif dalam mewujudkan welfare state di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka desa akan bisa langsung merealisasikannya

Ibid., hlm. 75.


264

Ibid., hlm. 76.


265

314 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan disepakati oleh
seluruh komponen yang ada di desa. Misalnya saja, pengelolaan
sumber air desa yang bisa dioptimalisasikan untuk air minum
melalui Perusahaan Desa Air Minum (PDesAM) melalui Badan
Usaha Milik Desa. Selain itu juga Badan Usaha Milik Desa
bisa mengembangkan usahanya selain air minum yaitu dengan
perikanan, pertanian, hingga pariwisata skala desa. Jika hal ini
terwujud maka akan menyerap tenaga kerja yang nantinya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan
perolehan Pendapatan Asli Desa yan dapat digunakan sebagai
tambahan anggaran operasional penyelenggaraan pemerintahan
desa dan pelayanan kepada masyarakat atau digunakan sebagai
sumber anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan sosial budaya skala desa.
Selain itu, juga untuk mewujudkan kemandirian di bidang
bidang ekonomi pada tingkat desa agar tidak tergantung pada
pihak manapun, juga yang tidak kalah pentingnya adalah
penguasaan terhadap sumber daya yang dimiliki sebagai bentuk
implementasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.266 Penguasaan sumber daya dalam hal ini adalah suber
daya air merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan negara
kesejahteraan dengan pendekatan tingkat desa, daripada dikelola
oleh investor yang tentunya akan lebih menguntungkan investor
daripada masyarakat desa. Pembangunan dan pengembangan
masyarakat (community development) dalam konteks negara
kesejahteraan harus melibatkan stakeholders terkait dan masyarakat
Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, Op.Cit, Jakarta, 2014, hlm. 1.
266

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 315


yang saling teritegrasi kepentingan dan keinginannya dalam rangka
meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan budaya, serta untuk mensinergikan gerakan kemajuan
dan kemakmuran bangsa.267

267
Fredian Tonny Nasdian, 2014, Pengembangan Masyarakat, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, hlm. v.

316 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BAB XII

PENUTUP

Di muka sudah dibahas tentang perkembangan pengaturan Desa.


Pembahasan itu telah juga didahului dengan konseptualisasi
mengenai pengertian, asal-usul istilah, praktik Desa atau nama
lain sebagai satuan pemerintahan menurut hukum adat/hukum
asli Indonesia, dan perkembangan penempatannya dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Memang, semenjak Hindia
Belanda, pengaturan Desa tidak terlepas dari pemerintahan daerah,
baik melalui peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri
maupun “satu paket” dengan peraturan mengenai pemerintahan
daerah itu sendiri.
Secara normatif, perkembangan pengaturan pemerintahan
desa pertama-tama selalu berlandaskan dalam pemahaman (begrip)
bahwa Desa-Desa yang beraneka ragam sejak dulu merupakan
basis penghidupan masyarakat yang mempunyai otonomi. Desa
dipandang sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai kearifan
lokal menurut hukum adat dan berwenang dalam mengelola sumber
daya alam dan penduduk. Bahkan, semenjak kelahiran Undang-
Undang Dasar 1945, Desa dipandang menjadi landasan dan bagian
dari pengaturan pemerintahan sesudahnya. Namun berbagai data
menujukkan pemahaman yang demikian tidak memiliki kejelasan

317
konsep yaitu apakah merupakan praktik ketatanegaraan semenjak
sebelum republik atau sekadar penafsiran historis, yang kemudian
secara oportunistik diberikan penjelasan guna “menyelipkan”
kepentingan, terutama ide-ide kecukupan, keseimbangan, dan
harmoni, untuk dasar sistem pemerintahan yang dikehendaki.
Tetapi yang pasti, pada akhirnya, Undang-Undang Dasar 1945
sama sekali tidak pernah memberikan pengaturan mengenai
Desa. Hanya saja, pemahaman normatif tersebut, dalam praktik
pengaturan, terutama semenjak pasca proklamasi, dimaknai secara
berbeda-beda, khususnya bagaimanakah menempatkan Desa, baik
sebagai entitas, sebagai kesatuan masyarakat, sebagai organisasi
pemerintahan, maupun sebagai perwujudan desentralisasi, dari satu
pengaturan di suatu masa ke pengaturan pada masa berikutnya.
Ditinjau dari pengertian, konsep desa sebagai entitas sosial
sangat beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang
yang hendak digunakan dalam melihat desa. Sebutan Desa dapat
berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti
suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi di hadapan pihak
atau kekuatan lain.
Pengaturan mengenai posisi Desa, dari uraian-uraian di muka
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari segi istilah, arah, kedudukan, kewenangan, kelembagaan,
dan penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan perubahan
yang disebabkan perbedaan sudut pandang secara politik dan
hukum dalam memandang konsep otonomi desa;
2. Terjadi inkonsistensi dalam penempatan desa sebagai satuan
pemerintahan, yaitu dari sudut pandang menurut prinsip
non hierarkis pemerintahan hingga menurut prinsip hierarkis
pemerintahan. Dalam prinsip non hierarkis pemerintahan,

318 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Desa dipandang sebagai kesatuan masyarakat menurut hukum
asli bangsa Indonesia dan berwenang menyelenggarakan
urusan rumah tangganya sendiri, sementara prinsip hierarkis
pemerintahan, Desa dipandang sebagai bagian pemerintahan
di daerah yang pemosisiannya bervariasi: (i) secara otomatis
merupakan satuan pemerintahan daerah yang terendah
dengan kekuasaan mengatur dan menyelenggarakan urusan
sendiri (1945-1957); (ii) secara otomatatis merupakan satuan
pemerintahan daerah yang terendah dan berbentuk wilayah
administratif dengan pembedaan penuh dengan wilayah
yang berkualifikasi sebagai daerah swapraja (1957-1965); (iii)
merupakan satuan pemerintahan daerah berbentuk wilayah
administratif dengan nomenklatur dan derajat otonomi yang
seragam (1965-1974); (iv) merupakan satuan pemerintahan
dalam bentuk wilayah administratif yang memiliki organisasi
pemerintahan terendah di bawah Camat (1974-1999); dan
(iv) merupakan satuan pemerintahan dengan nomenklatur
dan derajat otonomi yang berbeda-beda, tetapi menjadi
bagian dari satuan pemerintahan daerah (1999-sekarang).

Tata pengaturan terakhir terus berlangsung sampai dengan era


reformasi. Semangat UU Nomor 32 Tahun 2004 yang meletakan
posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan
konkruen dengan nafas lain dalam undang-undang tersebut
yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang
berasal dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan asal-usul
ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Kosekuensi dari
pengakuan atas otonomi asli adalah Desa memiliki hak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 319


dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan
merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan atasan
pada Desa. Adanya dua prinsip/asas dalam pengaturan tentang
Desa tentu saja menimbulkan ambivalensi dalam menempatkan
kedudukan dan kewenangan Desa. Pertanyaan yang paling
mendasar adalah apakah Desa memiliki otonomi?
Berdasarkan uraian di muka, setidaknya ada 3 (tiga) posisi
politik desa bila ditempatkan dalam formasi negara. Pertama, desa
sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan
sendiri atau disebut dengan self-governing community. Dalam
tradisi Minangkabau, self-governing community ini identik
dengan “republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki nagari-nagari
pada masa lampau. Self-governing community berarti komunitas
lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri
berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak
dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural
dengan organisasi eksternal seperti negara.
Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang
punya predikat self-governing community, tetapi juga desa-desa di
Jawa maupun komunitas adat di daerah-daerah lain di Indonesia.
Kita juga mengenal pengalaman self-governing community dalam
bentuk commune di Eropa Daratan atau parish di Inggris Raya,
yang setara dengan desa di Indonesia. Meskipun sudah ada negara-
bangsa yang lebih besar, sampai saat ini commune dan parish masih
tetap ada sebagai organisasi komunitas lokal yang tidak berurusan
dengan adminitrasi pemerintahan negara.
Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang
otonom atau disebut local self government. Local self government
ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai
konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni negara

320 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk
daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan
kewenangan kepada pemerintah lokal. Artinya daerah membentuk
sendiri institusi-institusi pemerintah daerah, pemerintah daerah
mempunyai keleluasaan penuh dalam perencanaan pembangunan
dan anggaran, menyelenggarakan pelayanan publik serta
bertanggungjawab kepada rakyat setempat.
Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan
bentuk otonomi tradisional dalam kerangka self governing
community, dan posisi local self government merupakan bentuk
“otonomi modern” dalam payung negara bangsa. Jika desa akan
dikembangkan menjadi local self government, maka yang harus
dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-usul,
melainkan negara melakukan desentralisasi politik 2 (devolusi)
kepada desa, seperti yang dilakukan negara kepada daerah.
Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat
lokal atau disebut dengan local state government. Ini merupakan
bentuk lain dari pemerintahan yang sentralistik, yang tidak
melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan dekonsentrasi.
Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah kecamatan dan
kelurahan. Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang otonom
atau menerima desentralisasi dari negara, melainkan sebagai
kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Daerah maupun
desa di masa Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan tangan
negara (local state government). Model local state government ini jelas
menimbulkan banyak kerugian: ketimpangan ekonomi-politik
pusat dan lokal, ketergantungan dan ketidakmampuan lokal, dan
hilangnya kedaulatan rakyat.
Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan
dipilah secara tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 321


tidak boleh menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus
tegas memilih salah satu model agar penggunaan kewenangan,
pengambilan keputusan, penyelenggaraan pemerintahan dan
hubungan antarpemerintah lebih jelas dan efektif. Penggabungan
lebih dari satu model tentu akan menimbulkan ketidakjelasan
penyelenggaraan pemerintahan. Contoh yang paling konkret adalah
posisi ganda provinsi. Kabupaten/kota maupun masyarakat sering
menuding ketidakjelasan peran provinsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Ini terjadi karena posisi ganda
provinsi: di satu sisi ia sebagi daerah otonom (local self government)
yang menerima desentralisasi, di sisi lain provinsi juga kepanjangan
tangan pusat (local state government) yang menerima dekonsentrasi.
Di era Indonesis modern, selama enam dekade terakhir posisi
desa tidak pernah tegas dan jelas. Campuran antarmodel digunakan
untuk menempatkan posisi desa. Sampai era Orde Baru, sisa-sisa
self governing community di ara desa masih terasa, tetapi melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 pemerintah menempatkan daerah dan desa
sebagai local state government alias sebagai kepanjangan tangan
negara. Masyarakat lokal sangat resisten dengan intervensi negara
ini, sehingga tujuan kontrol negara, modernisasi pemerintahan desa
dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan optimal.
Kecuali di Jawa, masyarakat lokal selain kehilangan kedaulatan juga
menghadapi dualisme antara desa negara dengan organisasi adat.
Ketidakjelasan kedudukan dan kewenangan Desa dalam
Uundang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menunjukkan bahwa
arah pengaturan belum kuat mengarah pada pencapaian cita-cita
Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Sejak lahir Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 otonomi (kemandirian) Desa
selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil

322 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


di kalangan asosiasi Desa (sebagai representasi Desa), tetapi sampai
sekarang belum terumuskan visi bersama apa makna otonomi Desa.
Disain kelembagaan pemerintahan Desa yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga belum sempurna
sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian,
demokrasi dan kesehteraan Desa. Isu keragaman, misalnya, selalu
mengundang pertanyaan tentang format dan disain kelembagannya.
Meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengedepankan keragaman, tetapi
banyak kalangan menilai bahwa disain yang diambil tetap Desa
baku (default village), sehingga kurang memberi ruang bagi optional
village yang sesuai dengan keragaman lokal. Format bakunya
adalah Desa administratif (the local state government), yang tentu
bukan Desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing
community) dan bukan juga Desa otonom (local self government)
seperti daerah otonom. Ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak menempatkan Desa pada posisi yang otonom,
dan tidak membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian tanpa
kehadiran Desa administratif. Baik Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem) pemerintahan
kabupaten/kota.
Dengan watak pengaturan yang demikian, ke depan perlu
dilakukan evaluasi dan telaah dengan membentuk undang-undang
yang mengatur desa secara tersendiri, yang mampu menjawab
persoalan-persoalan di bawah ini:
1. Bagaimanakah kedudukan (posisi) Desa yang tepat
dalam konteks ketatanegaraan dan semesta desentralisasi
di Indonesia? Apakah Desa berada dalam subsistem

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 323


pemerintahan kabupaten/kota atau sebagai subsistem negara
kesatuan?;
2. Bagaimana memperkuat kewenangan Desa agar dapat lebih
berdaya dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri?
Bagaimana mengembalikan dan mengembangkan prinsip
subsidiarity dalam rangka memperkuat kewenangan Desa.
3. Bagaimana skema pembagian (penyerahan) kewenangan,
perencanaan dan keuangan kepada Desa?
4. Bagaimana memperkuat peran lembaga-lembaga yang ada di
Desa (institution building) dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat?
Bagaimana mensinergiskan peran lembaga-lembaga bentukan
dan lembaga-lembaga asli yang ada di Desa?
5. Bagaimana relasi antara pemerintah nasional, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan Desa yang memungkinkan
penguatan otonomi Desa?Bagaimana mengembangkan
prinsip kerjasama Desa dalam memecahkan masalah dan
mengembangkan networking antar Desa?
6. Bagaimana posisi dan peran Desa dalam skema pembangunan
nasional dan pembangunan derah yang memungkinkan Desa
dan masyarakat menjadi subyek yang mandiri dan kuat?
7. Apa sajakah sumber-sumber ekonomi yang seharusnya
diserahkan dan dikembangkan sebagai penopang basis
penghidupan masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan?
8. Apa makna, prinsip dasar dan format demokrasi yang tepat
di aras Desa yang memungkinkan tumbuhnya pemerintahan
Desa yang kuat dan rakyat Desa yang berdaulat?

324 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


9. Bagaimana posisi dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan
Desa?
10. Bagaimana skema birokrasi (perangkat) Desa yang kondusif
bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan
publik dan pelaksanaan pembangunan Desa?

Dalam hubungannya dengan keinginan yang kuat untuk


mewujudkan pembentukan Undang-Undang Desa, hal ini semakin
menunjukkan adanya suatu kesadaran dan komitmen politik
yang sangat tinggi untuk menempatkan dan memfokuskan Desa
sebagai sendi-sendi negara yang sangat penting dalam rangka
mempercepat dan mendukung pemerintahan di atasnya. Secara
Yuridis, dengan pembentukan Undang Undang Desa ini maka akan
semakin memperjelas kedudukan Desa dalam tata pemerintahan di
Indonesia, hal ini dikarenakan akan kembali sesuai dengan amanat
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 325


DAFTAR PUSTAKA

AAGN Ari Dwipayana dkk, 2003, Membangun Good Governance


di Desa, Yogyakarta, Ire Press.
Aan Eko Widiyanto dan Rachmat Syafaat, 2006, Rekonstruksi
Politik Hukum Pemerintahan Desa dari Desa Terkooptasi dan
Marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratis, Malang,
Penerbit Sekretariat Penguatan Otonomi Desa Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya.
Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum
Adat Nusantara, Jakarta, Penerbit Grasindo.
Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959,
Cetakan Ketiga, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti
bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation.
Aida Vitayala Hubeis dkk, 2011, Menuju Desa 2030, Bogor,
Crestpent Press.
Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan
Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS
Press.
Alfian, 1986, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah,
Bandung, Penerbit Alumni.

327
Arbi Sanit, “Problematik Otonomi Daerah dan Distribusi
Kekuasaan Pusat-Daerah” dalam Syamsuddin Haris et.al.,
2000, Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah di Indonesia:
Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta, Penerbit
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi bekerjasama
dengan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia.
Ateng Sjaffrudin, 1991, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat
II dan Perkembangannya, Bandung, Penerbit Mandar Maju.
Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies
Natalis Universitas Parahiyangan, Bandung, 1983.
Azwardi Sukanto, 2014, “Efektifitas Alokasi Dana Desa dan
Kemiskinan di Provinsi Sumatra Selatan”, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vol. 12, No. 1.
Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Bagir Manan, “Suatu Kaji Ulang atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974”, Majalah Pro Justitia No. 2 Tahun XI, April
1991.
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945,
Karawang, UNSIKA.
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Jogjakarta, Penerbit UII Press.
Bagir Manan, “Dasar dan Dimensi Politik Otonomi dan UU No.
22 Tahun 1999”, makalah, Bandung, 1999.
Bayu Surianingrat, 1980, Desa dan Kelurahan Menurut UU
No.5/1979, Jakarta.
B.C. Smith, 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of
the State, London, Asia Publishing House.

328 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi
Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi
dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara,
disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Bhenyamin Hossein, 2001, “Transparansi Pemerintahan”, Jurnal
Inovasi, November.
B. Hestu Cipta Handoyo, 1998, Otonomi Daerah: Titik Berat
Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah Pokok-Pokok
Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan
Daerah, Jogjakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya.
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif
Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit
Djambatan.
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos
dan Pembongkaran, Bandung, Penerbit Mizan.
Departemen Dalam Negeri, 2007, Laporan Akhir Studi Revitalisasi
Otonomi Desa, Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat
Desa.
Deytri Robekka Aritonang, “Jokowi-JK Andalkan Nawa Cita,
Sembilan Agenda Prioritas Indonesia, Kompas, 20 Mei 2014.
Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi:
Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, Otonomi Daerah
dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi, Malang, Setara Press.
“Dirjen PMD Ogah Gabung Kementerian Desa, Marwan: Kita Bikin
Baru”, http://www. jpnn.com/read/ 2014/11/25/271979/
Dirjen-PMD-Ogah- Gabung- Kementerian-Desa,- Marwan:-
Kita-Bikin-Baru, diakses 14 Februari 2015, Pukul 09.30.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 329


Earlita Korompis, 2013, “Kinerja Badan Permusyawaratan Desa
dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan Pemerinatahan”,
Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1.
E.B. Sitorus, dkk, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Desa, Jakarta, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Fredian Tonny Nasdian. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan kerja
sama dengan Sebelas Maret University Press.
Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Jakarta, Penerbit Grasindo.
_________________, 2012, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, Jakarta, Penerbit Erlangga.
Henry Maddick, 1996, Democracy: Decentralization and
Development, London, Asia House Publishing.
I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah
di Indonesia, Bandung: Alumni.
J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang
Terjadinya Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, Malang,
Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaan di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co.
________________, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta,
Rajawali Pers.
________________, 2012, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.

330 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


J. Rulland, 1993, Urban Development in Southeast Asia: Regional
Cities and Local Government, Bouldier, Westview Press.
James Manor, 1999, The Political Economy of Democratic
Decentralization, Washington D.C., World Bank.
Kanneth Dacey, “Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di
Indonesia”, dalam Niekh Dvas, et.al., 1989, Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit UI Press.
Lincolin Arsyad dkk, 2011, Strategi Pembangunan Perdesaan
Berbasis Lokal, Yogyakarta, Unit Penerbit dan Percetakan
STIM YKPN.
Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga
Daerah: Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan,
Malang, Setara Press.
Indah Dwi Qurbani, 2014, “Menakar Peluang dan Tantangan
terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, Jurnal Transisi, Vol. 1, No. 1.
Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.
Mawhood P. (Editor), 1987, Local Government in the Third
World:The Experience of Tropical Africa, Chicheser, John
Wiley & Son.
Meutia Farida Swasono, 1980, Bung Hatta, Pribadinya dalam
Kenangan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.
Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik Indonesia, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada.
Muhammad Djafar Saidi. 2014. Hukum Keuangan Negara. Jakarta:
PT RajaGrafindo.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 331


Mohammad Hatta, “Menuju ke Arah Kedaulatan Rakyat”, dalam
Miriam Budiardjo (Editor), 1986, Masalah Kenegaraan,
Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis
Partisipasi Masyarakat, Malang, Setara Press.
Moh. Mahfud M.D., 2006, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Penerbit LP3ES.
M Solly Lubis, 2014, Politik Hukum dan Kebijakan Publik (Legal
Policy and Public Policy), Bandung, Penerbit CV Mandar
Maju.
M Suparmoko, 2013, Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktik,
Yogyakarta, BPFE.
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta,
Penerbit UII Press.
________________, 2015, Hukum Pemerintahan Desa: Dalam
Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi,
Malang, Setara Press.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi,
Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
“Pemerintah Siapkan Masyarakat Hadapi MEA”, Tribun Jogja,
Edisi Minggu 17 Januari 2016.
Pratikno, “Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok
Otonomi Dearah di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam www.
pratikno.staff.ugm.ac.id, diakses di Sukoharjo pada tanggal
14 April 2010, pukul 2.06 WIB.

332 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung, Penerbit Bina
Cipta.
Rusdianto Sesung, 2013, Hukum Otonomi Daerah: Negara
Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi Khusus,
Bandung: Refika Aditama.
Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Bandung,
Penerbit Fokus Media.
Satriyo Wibowo, “Siapkah Kita Mengahadapi Tantangan MEA
2016?”, http://inet. detik.com/ read/ 2016/01/14/ 074608/
3118080/398/ siapkah- kita- menghadapi-tantangan-
mea-2016, diakses tanggal 15 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.
Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika.
Slamet Suhartono, 2008, “ Norma Samar (Vage Norm) Sebagai
Dasar Hukum Pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara”,
Yustisia. Edisi 79.
Slater, 1990, “Debating of Decentralisation: A Reply to Rondinelli,
Development and Change, Vol. 21.
Soehino, 1983, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta,
Penerbit Liberty.
Soehino, 2002, Hukum Tata Negara: Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jogjakarta, BPFE
Yogyakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata
Pemerintahan Kolonial Belanda: Kebijakan dan Upya
Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia
(1900-1940), Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.

Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis 333


Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-
undangan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alumni.
Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung
Jawab, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Sumber Saparin, 1979, Tata Pemerintahan dan Administrasi
Pemerintahan Daerah, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Sutoro Eko, “Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa”,
dalam www.forumdesa.com, diakses di Sukoharjo pada
tanggal 22 April 2010.
S. Wojowasit, 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta,
Penerbit Ictiar Baru van Hoeve.
Syarief Hidayat, “Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Literatur”,
dalam Syarief Hidayat et.al., 2005, Otonomi Daerah dalam
Perspektif Lokal, Jakarta, LIPI.
Utang Rosidin, 2015, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung,
CV Pustaka Setia.
Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan
Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta, Kencana Prenada
Media Grup.
Wahyuni Refi dan Ziyad Falahi, 2014, Desa Cosmopolitan:
Globalisasi dan Masa Depan Kekayaan Indonesia, Jakarta,
Change Publication.
Yansen TP, 2014, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan
Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, Jakarta, Elex Media
Komputindo.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia:
Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan,
dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press.

334 HUKUM PEMERINTAHAN DESA


BIOGRAFI PENULIS

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Lahir di


Gunung Kidul, 1 Mei 1978. Merupakan dosen
hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret sejak 2004. Menyelesaikan
pendidikan sarjana pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (2001), Magister
Hukum Universitas Gadjah Mada (2003), dan
Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (2014). Pernah
menempuh Sandwich Like Program di School of Economics, Law,
and Governemnt Utrecht University, Netherland (2012) untuk
memperdalam riset hukum dan penulisan jurnal internasional.
Pernah menjabat sebagai Sekretaris Badan Mediasi dan Bantuan
Hukum Universitas Sebelas Maret (2004-2011), Kepala Pusat
Penelitian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia LPPM Universitas
Sebelas Maret (2010-2012), dan Koordinator Tenaga Ahli Rektor
Bidang Hukum (2015-sekarang). Aktif melakukan penelitian
antara lain Hibah Kajian Wanita (2005), Hibah Strategi Nasional
Dirjen Dikti (2012 dan 2013), Hibah Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi (2015), dan Hibah Prioritas Nasional MP3EI
Dirjen Dikti (2016), serta penelitian yang dibiayai oleh PNBP
Universitas Sebelas Maret (2013 dan 2015). Ia juga aktif menulis
di media nasional dan lokal untuk isu-isu hukum dan politik serta
berpengalaman melakukan advokasi kebijakan publik dan menjadi
mentor dalam bimbingan teknis pengembangan fungsi lembaga-
lembaga pemerintahan.

335
Dila Eka Juli Prasetya, S.H. Lahir di Kabupaten
Klaten, 18 Juli 1993. Merupakan Mahasiswa
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan
Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik.
Menyelesaikan pendidikan sarjana pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tahun 2015. Aktif menjadi
asisten dosen dan asisten peneliti di kampusnya. Minat utamanya
adalah mengkaji isu-isu hukum kebijakan publik pemerintahan
daerah dan desa.

336 HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Anda mungkin juga menyukai