Anda di halaman 1dari 34

 

SEP
11

POTENSI PEREKONOMIAN MARITIM INDONESIA

INDONESIA sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan


potensi ekonomi maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber
kekayaan laut menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia
bagaikan negara raksasa yang masih tidur. 

Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negara-negara
ekonomi maju. Posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai
jalur ekonomi. Pasalnya beberapa selat strategis yang merupakan jalur perekonomian dunia
berada di wilayah NKRI, yakni, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar
dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan
Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa. 

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta
km persegi yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km persegi. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di
Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km persegi. Dengan cakupan yang demikian
besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang
potensial, baik hayati dan nonhayati.

Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian


negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan
sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) memiliki peranan strategis.
Terutama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional.

Pada tahun 2008 saja tercatat PDB pada subsektor perikanan mencapai angka Rp 136,43
triliun. Nilai ini memberikan kontribusi terhadap PDB kelompok pertanian menjadi sekitar
19,13 persen atau kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 2,75 persen. Hingga triwulan ke
III 2009 PDB perikanan mencapai Rp128,8 triliun atau memberikan kontribusi 3,36 persen
terhadap PDB tanpa migas dan 3,12 persen terhadap PDB nasional. 

Di antaranya, tanaman bahan makanan sebesar Rp347,841 triliun, perikanan Rp136,435


triliun, tanaman perkebunan Rp106,186 triliun, peternakan Rp82,835 triliun, dan kehutanan
Rp32,942 triliun. Kemudian hingga triwulan III 2009, PDB kelompok pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan sebesar Rp654,664 triliun. Dengan rincian, tanaman bahan
makanan Rp331,955 triliun, perikanan Rp128,808 triliun, tanaman perkebunan Rp84,936
triliun, peternakan Rp 76,022 triliun, dan kehutanan Rp 128,808 triliun. Dari jenis sektor
dalam kelompok pertanian, perikanan yang memiliki kenaikan rata-rata tertinggi sejak tahun
2004–2008 sebesar 27,06 persen. Kemudian sektor tanaman bahan makanan 20,66 persen, ta-
naman perkebunan 21,22 persen, peternakan 19,87 persen,dan kehutanan 18,81 persen. 

Catatan ini, semakin menguatkan anggapan bahwa sektor maritim sangat potensial
dikembangkan sebagai penunjang ekonomi nasional. Tentu saja, sektor kelautan tidak hanya
menghasilkan produk perikanan. Ironis, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan
sumber daya alam berlimpah, perekonomian Indonesia malah semakin terpuruk. Hutang
negarapun terus menggunung. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp164,4
triliun atau mengambil 13,68 persen dari anggaran belanja negara 2011.

Melambungnya hutang tahun ini disebabkan adanya peningkatan hutang jatuh tempo. Total
hutang pemerintah yang membengkak pada Januari 2011 mencapai Rp1.695 triliun atau naik
Rp17,13 triliun dibanding akhir 2010. Bila dikonversi ke kurs dolar Amerika Serikat, hutang
Indonesia sekitar 187,19 miliar dolar AS.

Sementara jika mengacu pada pendapatan kotor negara sebesar Rp6,422 triliun, rasio hutang
Indonesia sebesar 26 persen. Jelas ini angka yang tidak kecil. Pertanyaan besar muncul,
seberapa besar pemanfaatan sumber kekayaan Indonesia sebagai negara kepulauan bisa
menutupi hutang yang menumpuk tersebut?

Guna menuju langkah ini diperlukan komitmen yang mengarahkan pemerintah harus fokus
pada perekonomian nasional di bidang maritim. Ini karena Indonesia memiliki potensi
pembangunan ekonomi maritim yang besar dan beragam serta belum sepenuhnya dikelola.
Berbagai sektor dapat dikembangkan dalam upaya memajukan dan memakmurkan
perekonomian negara, mulai dari perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan
hasil perikanan, industri bioteknologi maritim, pertambangan dan energi, pariwisata bahari,
angkutan laut, jasa perdagangan, industri maritim, pembangunan maritim (konstruksi dan
rekayasa), benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage), jasa lingkungan, konser-
vasi sampai dengan biodiversitasnya.

Konsenterasi pembangunan perekonomian di bidang maritim diharapkan dapat mengatasi


keterbatasan pengembangan ekonomi berbasis daratan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Terlebih, laut Indonesia memiliki potensi besar yang mampu menghasilkan produk-produk
unggulan. Banyak pihak memprediksi, permintaan produk maritim akan terus meningkat
seiring dengan bertambahnya penduduk dunia. Sehingga, ekonomi maritim diyakini dapat
menjadi unggulan kompetitif dalam memecahkan persoalan bangsa.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL)
IPB dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Puslitbang Oseanologi LIPI pada
tahun 1997-1998, Incremental  Capital Output Ratio (ICOR) untuk sektor perikanan berkisar
antara 2,75-3,95. Ini mengindikasikan subsektor tersebut mempunyai prospek cukup baik
bagi investasi. Sementara sektor pariwisata bahari, merupakan sektor yang paling efisien dan
mempunyai resiko paling kecil dalam penanaman modal dibandingkan dengan sub sektor
lain.

Kajian tersebut merekomendasikan tiga hal yang harus dilakukan pemerintah dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional berbasis maritim, yaitu memperbesar dan
memperluas diversifikasi sektor-sektor maritim, memperbanyak investasi dengan
memberikan stimulus pada sektor-sektor yang mempunyai Incremental  Capital Output Ratio 
(ICOR) yang relatif rendah (perikanan dan pariwisata) serta meningkatkan efisiensi yang
mencakup alokasi usaha optimum berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar
sektor maritim.

Adapun selama ini kontribusi bidang maritim masih didominasi sektor pertambangan, diikuti
perikanan dan sektor-sektor lain.  Hal itu mengindikasikan jika sektor tersebut dipisah, maka
sub bidang yang ada akan memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PDB
nasional.

Ekonomi Maritim Indonesia Dikuasai Asing

Salah satu potensi perekonomian maritim terbesar yang dimiliki Indonesia adalah sumber
minyak bumi dan gas. Sayangnya, Indonesia belum bisa memanfaatkannya secara maksimal.
Ironisnya, sebagian besar sumber-sumber energi tidak terbaharukan ini dikuasai pihak asing.
Padahal sangat jelas, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebut “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-be-
sar kemakmuran rakyat”. Alih-alih memakmurkan rakyat, membayar hutang negara pun tidak
mampu. 

Salah satu contoh sikap pemerintah yang pro terhadap kepentingan asing adalah polemik blok
Migas West Madura. Sekadar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki Pertamina
(50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya
masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan
dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar 12,5 persen. Meski bukan pemegang
saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, perusahaan minyak asal
Korea Selatan.

Sikap pemerintah yang berpihak pada kepentingan perusahaan asing terlihat dari beberapa
kebijakannya. Pertama, Pertamina sejak Mei 2008 telah lima kali meminta kepada
pemerintah agar blok West Madura sepenuhnya dikelola BUMN. Sayang, hingga kini
pemerintah belum mengabulkan permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham
dari Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment
Ltd (PLI) hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang transparan.

Kedua, porsi saham Pertamina di West Madura adalah yang paling besar. Namun pada
kenyataannya yang menjadi pengelola adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya
berada pada level 13-14 ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan sanggup menyedot
minyak di ladang itu hingga 30 ribu barel per hari. 
Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu
(FSPPB) cukup besar, yakni 22,22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika
diasumsikan harga minyak mentah 100 dolar AS per barrel dan gas 4 dolar AS per MMbtu,
maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp28 triliun. 

Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari, cadangan tersebut baru habis
selama enam tahun. Setelah dipotong cost recovery 10 dolar AS perbarel, kekayaan yang
dapat diraup sekitar Rp4 triliun pertahun. Menyerahkan pengelolaan kepada Kodeco,
Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator.

Inilah ironi negara yang kaya migas namun pengelolaannya justru didominasi pihak asing.
Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang
tak kalah hebatnya dibanding perusahaan asing. Kondisi ini terjadi karena terpasung regulasi
yang kapitalistis, khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan
perusahaan-perusahan swasta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung dianak-
tirikan. Walhasil kekayaan negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal
untuk kepentingan rakyat.

Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara kaya. Tanah subur kaya mineral,
lautan kaya ikan, berbagai barang tambang strategis, minyak dan gas tertimbun di perut bumi
Indonesia. Namun jika dicermati satu-persatu, intervensi dan penguasaan oleh asing masih
begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya alat tersebut. 

Berdasarkan data Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM,
total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MMSTB (million standard tanker barrel).
Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia.
Sementara cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-
11 dunia. 

Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara
mencapai 126 miliar ton. Indonesia juga kaya dengan energi panas bumi (geotermal) yang
tersebar di berbagai penjuru nusantara, potensinya mencapai 28,1 GW. Barang tambang
seperti nikel, emas, perak, timah, tembaga dan biji besi juga jumlahnya sangat melimpah.
Bahkan Indonesia diketahui memiliki kualitas nikel terbaik di dunia.

Namun, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati negara lain ketimbang
penduduk Indonesia. Berdasarkan Neraca Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah
yang diproduksi di dalam negeri, 38 persen diekspor ke luar negeri. Ironisnya pada saat yang
sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35 persen dari total
produksi dalam negeri. Ini terjadi karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai
swasta termasuk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak
dinaikkan agar sesuai dengan standar internasional.

Demikian pula dengan gas alam Indonesia. Produksinya dimonopoli swasta asing. Sebagian
besar hasilnya dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total
produksi 459 juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60 persen diekspor ke
luar negeri yang terdiri dari gas alam (12 persen) dan dalam bentuk LNG 48 persen. Sisanya
dibagi-bagi untuk industri (19 persen), PLN (10 persen) dan lain-lain. 

Padahal, dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah
industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama juga dialami PLN. Akibat
kekurangan gas, PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya jauh lebih
mahal. Negeri ini amat kaya, namun perut penduduknya kelaparan. Ibarat anak ayam mati di
lumbung padi.

Industri dan Jasa Maritim

Sebagai negara maritim terbesar di dunia sudah seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang
makmur dan disegani. Namun, kenyataannya dengan potensi sumber daya alam yang
berlimpah, negara ini seakan tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, roda
perekonomian Indonesia lumpuh terpenjara oleh kepentingan asing. Luas laut Indonesia yang
mencapai 5,8 juta km persegi, terdiri dari 0,3 juta km persegi perairan teritorial, 2,8 juta km
persegi perairan pedalaman dan kepulauan 2,7 juta km persegi Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE), serta dikelilingi lebih dari 17.504 pulau, menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika
dikelola dengan baik, potensi kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan
lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen.

Melihat besarnya potensi laut nusantara, sudah seharusnya Indonesia mempunyai


infrastruktur maritim kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap dan modern; sumber daya
manusia (SDM) di bidang maritim yang berkualitas; serta kapal berkelas, mulai untuk jasa
pengangkutan manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI
Angkatan Laut (AL). 

Namun, kondisi ideal tersebut sulit tercapai. Hal ini terjadi karena industri maritim Indonesia
tidak dikelola dengan benar. Sehingga tak satu pun negara yang segan dan menghormati
Indonesia sebagai bangsa maritim. Negara asing menempatkan bangsa Indonesia sebagai
pasar produk mereka. Ironisnya, pemerintah hanya berdiam diri tanpa melakukan langkah
perbaikan.

Padahal, kedepan industri kelautan Indonesia akan semakin strategis, seiring dengan
pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70
persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen
produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai
sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.

Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan


(transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km persegi,
dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di
dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura.

Selama ini sudah menjadi rahasia umum bila industri dan jasa maritim Indonesia berada di
bawah kendali Singapura. Lihat saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar
pulau sebagian besar menggunakan bendera negeri The Red Dot, khususnya kapal yang
memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.

Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepulauan Riau,
khususnya di pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana
terdapat investasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat
takut terhadap KKO/Marinir Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk menjawabnya, yaitu
bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan di bidang investasi. Bisa pula karena
para pembuat kebijakan di negeri ini tidak paham strategisnya dunia maritim bagi Indonesia.
Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat strategis yang siap
memotong bila ada kebijakan maritim yang menguntungkan Indonesia atau sebaliknya
merugikan negeri tersebut. Keadaan semakin rumit karena sebagian industri perkapalan di
dalam negeri masih harus berurusan dengan Singapura. 

Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem pendorong, radar dan lain
sebagainya, pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia
berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus me-
lewati perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir itu. Pertanyaan besar
muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak memutus rantai
pengendalian negeri kecil tersebut?

Penghambat Industri Maritim

Di sisi lain, banyak faktor yang menghambat pembangunan industri maritim nasional.
Pertama, sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia,
yang sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung. Ini karena
bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen ko-
lateral (senilai pinjaman). 

Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga dua
persen+LIBOR dua persen (total sekitar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen
sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Sebagai contoh bagi pengusaha
kapal, kapal yang dibelinya bisa menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha nasional
kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem
perbankan Indonesia.

Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak


Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat
pembebasan pajak. Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika
melanggar pasal 16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada impor atau pada
saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau
dipindahtangankan.

Artinya, kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus
membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh
impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak
penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak
menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus
membayar pajak terhutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri
maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.
Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea
masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di
atas 20 juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow
yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura
juga membebaskan pajaknya.

Pemerintahan di negara maju telah berpikir meski penerimaan pajak menurun, tetapi
penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing
tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut.
Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan semakin banyak, sehingga pendapatan negara
akan meningkat. Ini adalah pola pikir dan langkah pemerintahan yang dikelola oleh
negarawan cerdas.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung
industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia sepertiga gaji dari tenaga
kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang
harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai
dengan UU No 17/2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100
persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali
lipat.

Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, PT Biro
Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua
kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi PT BKI, diduga tidak diakui asuransi perkapalan
kelas dunia. Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.

Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi, PT BKI kurang
profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga PT BKI masih menganut
pemahaman  dengan uang pelicin semuanya beres. Sebab itu, sebagian pemilik kapal memilih
tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura.
Akibatnya pelaksanaan UU No 17/2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap
klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI sebuah ‘pepesan kosong’ yang diragukan industri
maritim global. 

Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing dengan industri
sejenisnya, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan
Nasional, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan
mau dipengaruhi para pelobi yang mewakili pihak-pihak pencari keuntungan, tanpa
memikirkan nasib bangsa. Langkah pertama, melakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor
fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau menjadi pecundang terus. 

Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga


dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian,
susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas agar Indonesia
mempunyai sumber daya manusia maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika
tidak industri maritim Indonesia hanya tinggal nama.

Industri Perkapalan
Indonesia dengan perairan yang luas, membutuhkan sarana transportasi kapal yang mampu
menjangkau pulau-pulau yang jumlahnya mencapai lebih dari 17.504 pulau. Tidak heran jika
kebutuhan industri perkapalan setiap tahun terus meningkat. Sebagai negara kepulauan, sudah
seharusnya Indonesia mengembangkan industri perkapalan nasional. Kebijakan ini didukung
dengan adanya Inpres No 5/2005 yang intinya bahwa seluruh angkutan laut dalam negeri
harus diangkut kapal berbendera Indonesia. Tetapi, permintaan tersebut tidak diimbangi
dengan kemampuan memproduksi kapal.

Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang memiliki daya
saing tinggi. Karena itu, dukungan pemerintah sebagai pemegang kewenangan sangat
penting. Faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan
tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar
pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan. Perbankan
enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka beranggapan, industri
perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit.

Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan terutama galangan kapal besar
berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL) dikuasai PT Pelindo.
Sehingga Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada 
keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih berkembang. Dalam
pengembangan jasa maritim hendaknya diarahkan untuk meraih  empat tujuan secara
seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan dengan industri dan
jasa maritim sebagai salah satu penggerak utama (prime mover); (2) peningkatan
kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para pemangku kepentingan yang terkait
industri dan jasa maritim; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya maritim;
dan (4) menjadikan industri dan jasa maritim sebagai salah satu modal bagi pembangunan
maritim nasional. Sehingga, ada benang merah yang dapat terlihat antara ocean policy dan
pengelolaan sumber daya maritim dengan industri dan jasa maritim sebagai penggerak bagi
pertumbuhan sektor maritim.

Pertumbuhan industri perkapalan dan pelayaran nasional masih terkendala berbagai faktor,
baik dari sisi politik maupun pendanaan. Dukungan politik bersumber dari political will 
pemerintah dan lembaga DPR melalui regulasi seperti  kewajiban menggunakan produk
dalam negeri serta kemudahan perbankan nasional melalui bantuan pembiayaan industri
pekapalan. Selama ini perbankan tidak mau ambil resiko  terhadap bisnis ini, padahal bisnis
industri perkapalan sangat jelas akan mendorong pertumbuhan ekonomi sektor maritim.  

Produksi industri galangan kapal tahun 2011 ini diprediksi bakal meningkat mencapai
850.000 dead weight ton (DWT). Menurut data Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan
dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian RI, hingga tahun 2009, kapasitas produksi
terpasang industri galangan kapal Indonesia adalah sebesar 650.000 DWT. Peningkatan order
ini salah satunya dipicu oleh adanya order pembuatan kapal dari Pertamina.

Untuk tahun 2010 saja, Pertamina telah memesan enam unit kapal dari industri galangan
kapal dalam negeri. Bahkan, hingga 2015 nanti, Pertamina berencana menambah 35 unit
kapal tankernya. Pertamina mengubah paradigma dengan mengurangi kapal sewaan karena
pengalaman tahun 2006 lalu saat terjadi bencana tsunami di Aceh. Saat itu kapal sewaan
tidak ada yang mau mengantar barang ke lokasi bencana, padahal Pertamina sebagai agent of
development pemerintah harus melakukan pengantaran ke daerah manapun di NKRI
termasuk di wilayah yang terkena bencana.

Pemerintah berupaya mendorong agar industri galangan kapal nasional dapat menikmati
pasar di dalam negeri yang terus berkembang. Terlebih lagi, adanya kebijakan asas cabotage
sebenarnya memberi peluang bagi pelaku industri untuk meningkatkan produksi. Seperti
yang diketahui, pada Agustus 2010 empat galangan kapal nasional mendapat kepercayaan
untuk membangun lima unit kapal baru milik Pertamina senilai 87,38 juta dolar AS. Kelima
kapal baru yang dikerjakan di galangan PT PAL Indonesia, PT DPS, PT DRU dan PT Dumas
Tanjung Perak tersebut, masing-masing berukuran 3.500 Long Ton Dead Weight (LTDW),
6.500 LTDW, dan 17.500 LTDW.

Pertambahan kapasitas akan dilakukan oleh beberapa perusahaan seperti PT Dok dan
Perkapalan Surabaya (DPS) dan Galangan Brondong Lamongan akan menambah kapasitas
sebesar 300 ribu DWT. Saat ini, pembangunan fasilitas galangan kapal baru oleh DPS di
Lamongan sudah mencapai 80 persen sehingga akan ada tambahan kapasitas terpasang
sebesar 300.000 DWT. Bahkan Galangan Lamongan sudah mampu menampung pesanan
kapal Pertamina berukuran 17.500 hingga 30.000 DWT. Di samping itu, PT Samudra Marine
Indonesia juga akan menambah kapasitas galangan kapal Banten menjadi sekitar 150 ribu
DWT-200 ribu DWT. Saat ini kapasitasnya baru sekitar 100.000 DWT. Galangan kapal
lainnya berada di Kepulauan Riau. Sementara itu, PT Dok Perkapalan Koja Bahari (DPKB),
ekspansinya akan diarahkan untuk masuk dalam proyek elpiji Blok Masella, dan
kemungkinan kapasitasnya akan tambah sekitar 300 ribu DWT. Pengerjaannya akan bekerja
sama dengan perusahaan Korea Selatan.

Industri Perikanan dan Bioteknologi

Industri perikanan dan bioteknologi diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar 82 miliar
dolar AS per tahun.  Namun karena pemerintah belum serius menggarap sub sektor ini
(berdasarkan kajian PKSPL IPB; 2006), Indonesia diperkirakan  kehilangan potensi pen-
dapatan dari produk-produk bioteknologi maritim sekitar 1 miliar dolar AS  per tahun. Hal ini
disebabkan karena lemahnya aplikasi bioteknologi maritim serta jarangnya pengusaha yang
terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan
PKSPL IPB, terdapat 35.000 biota laut, sehingga Indonesia mempunyai potensi pendapatan
miliaran dolar per tahun dari produk-produk bioteknologi.

Negara-negara maju yang memiliki sumberdaya maritim terbatas, seperti produk bioteknologi
maritim Amerika Serikat, mereka mendapat pendapatan hingga 4,6 miliar dolar AS,
sedangkan Inggris meraup keuntungan dari sektor ini sekitar 2,3 miliar dolar AS.
Pemanfaatan industri perikanan dan bioteknologi ini meliputi industri makanan dan
minuman, farmasi, kosmetika dan bio-energi. Semua bisa disediakan Indonesia dengan
sumber daya alam yang ada.  Adapun produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa
biota laut antara lain makanan, tablet, salep, suspensi, pasta gigi, cat, tekstil, perekat, karet,
film, pelembab, shampo, lotion dan produk wet look.

Sebagai contoh, pemanfaatan kurang maksimal yang dilakukan Indonesia adalah rumput
laut.  Padahal rumput laut selain sebagai bahan makanan, juga dapat diolah menjadi lebih dari
500 produk komersil. Sayangnya, Nilai ekspor rumput laut Filipina bisa mencapai 700 juta
dolar AS, sementara Indonesia hanya 45 juta dolar AS saja. Padahal 65 persen bahan mentah
mereka diimpor dari Indonesia termasuk dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Selatan. 

Artinya,  Indonesia kurang kuat dalam industri end product  maritim karena dukungan
teknologi serta formulasi yang tertinggal. Indonesia hanya mampu memanfaatkan potensi
maritim sebatas bahan baku. Hal ini antara lain disebabkan tidak padunya strategi pe-
ngelolaan produk. Misalnya, sebagian besar kawasan potensi rumput laut ada di Indonesia
Timur, namun pabrik-pabriknya justru masih berpusat di Bekasi, Jakarta, Tangerang dan
Surabaya.

Melihat keterbatasan sumber daya alam daratan, melalui bioteknologi usia pemanfaatan
sumber-sumber kehidupan dapat dipertahankan lebih lama. Potensi itu masih berlimpah dan
terpendam di dalam laut. Di bidang perikanan juga banyak aspek yang bisa digali lebih lanjut.
Konsumsi ikan rata-rata orang Indonesia juga masih berkisar di 2 kilogram per orang per
tahun (2002). Bandingkan dengan Jepang dengan rata-rata konsumsi di atas 100 kilogram per
orang per tahun. 

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, dalam “Jamil” (2004) pernah
memprediksi potensi perikanan Indonesia adalah 32 miliar dolar AS per tahun. Sementara
hingga 2000, realisasi ekspor hanya 1,76 miliar dolar AS. Daniel Mohammad Rosyid, dari
Institut Teknologi Surabaya (ITS), menggambarkan potensi tuna Indonesia mencapai 25
persen dari total produksi dunia yang mencapai 500.000 ton setahun atau setara 160.000 ton
per tahun. Namun realisasi yang ada justru baru ribuan ton saja. Belum lagi praktik illegal
fishing ribuan kapal telah merugikan Indonesia  triliunan rupiah setiap tahun dan
pemanfaatan tambak yang jauh dari efektif. 

Hal ini menggambarkan masih besarnya peluang pengembangan usaha sekaligus


memaparkan betapa Indonesia telah kehilangan miliaran dolar AS setiap tahun akibat
pengelolaan yang belum optimal, yang harusnya bisa berkontribusi aktif membayar hutang
negara dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak
berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen. Menjadi masalah
karena banyak hasil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri, terutama ke
Thailand dan Jepang. 

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan


Perikanan No 5/2008 yang melarang ekspor langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan
ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal
dalam membangun industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan
implementasi Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sumber permasalah lainnya adalah penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), oleh pihak asing
yang nilainya ditaksir mencapai Rp30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia
memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah kapal
ukuran tersebut hanya tiga persen dari kebutuhan.  Pemerintah harus segera membangun dan
memperbaiki infrastruktur perikanan dan kelautan yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu,
sektor perikanan Indonesia akan tertinggal jauh negara lain. Sebagai contoh, pembangunan
infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian
serius pemerintah. 

Industri Pertahanan
Berbicara mengenai konsep negara maritim tidak lepas dari industri pertahanan. Sebagai
negara yang disatukan lautan, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi
juga melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya. 

Connie Rahakundini Bakrie, Analis Pertahanan Maritim melihat banyak sumber daya alam
yang dimiliki Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri maritim. Salah satunya
adalah baja. Menurutnya baja adalah dasar dari industri pertahanan suatu negara. Seperti yang
dilakukan negara Taiwan. Mereka membangun industri baja, di sebelahnya dibangun pabrik
kapal. Ini strategis karena kapal-kapal besar yang mereka bangun sewaktu-waktu bisa
menjadi kapal perang. Dalam tiga menit, mereka mampu membuat satu lempengan baja.
Taiwan tercatat sebagai pembuat baja tercepat di dunia. Mereka bisa dengan mudah
mendistribusikan baja ke pabrik pembuatan kapal yang ada di sebelahnya. Mereka
mengekspor kapal-kapal besar ke luar negeri dengan proses pembuatan hanya butuh waktu 10
minggu.

Sehingga Connie menilai industri baja sebagai national security, dasar dari pembangunan
industri militer. Baja menjadi bahan dasar kapal-kapal perang, termasuk kapal induk milik
Amerika. Salah jika bangsa Indonesia menjualnya begitu saja. Sebaiknya potensi logam ini
diolah dengan baik, untuk mendukung industri maritim nasional. Sebelumnya perlu
dimengerti paham pentingnya pertahanan, kita tidak akan pernah sampai semua itu. Kita
perlu tentara, guna memprotek kedaulatan, tentara perlu alutista, khususnya udara dan laut.
Alutista harus kita produksi dengan membangun industri baja sebagai dasar dari
pembangunan pertahanan kita.

Namun, pihak asing tidak menginginkan Indonesia besar dengan menguasai bahan logam
berharga ini. Sebagai bukti banyak industri pertambangan dalam negeri dikuasi pihak asing.
Mereka memiliki kepentingan dengan sumber-sumber daya alam dan energi di tanah air.
Mereka berusaha dengan berbagai cara menguasai bangsa ini.

Barang Muatan Kapal Tenggelam

Geografis Indonesia yang strategis yakni di antara dua benua,  Asia dan Australia, dan di
antara dua samudra Hindia dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sejak dahulu
kala sebagai jalur lalu lintas pelayaran internasional yang ramai yang menghubungkan
negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur tengah, Asia Selatan dan Asia Timur.

Tidak mengherankan wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai salah satu wilayah perairan
yang dipenuhi ratusan hingga ribuan kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar
pusat-pusat perdagangan. Di antara kapal-kapal karam tersebut diperkirakan membawa
benda-benda artefak berupa keramik, logam mulia (emas, perak, dan perunggu), batuan
berharga dan benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai tinggi, sehingga banyak terjadi 
pencurian dan penjualan benda-benda asal kapal tenggelam secara ilegal. 

Kapal-kapal karam berikut muatannya yang dikenal sebagai Benda Berharga Asal Muatan
Kapal yang Tenggelam (BMKT) tersebut merupakan aset negara yang sangat berharga, baik
ditinjau dari nilai ekonomi maupun nilai sejarah dan budaya, Pemerintah melalui Panitia
Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam (PANNAS BMKT) menyelenggarakan pengelolaan BMKT agar kekayaan laut
tersebut dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk negara. 

Kegiatan pengelolaan BMKT telah berhasil mengangkat BMKT sebanyak 12 (dua belas) dari
beberapa lokasi kapal karam yang selanjutnya menjadi prioritas utama PANNAS BMKT
untuk pemanfaatannya, dengan mempertimbangkan kepentingan pelestarian nilai-nilai
sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan ekonomi.

Bedasarkan data dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri menyebutkan bahwa
ada sekitar 700 sampai 800 titik harta karun yang potensial untuk diangkat, namun yang
teridenfikasi baru 463 titik. Sampai sekarang lebih kurang 46 titik yang sudah diangkat atau
sekitar 10 persen. Tapi yang terjual melalui proses pelelangan dengan baik belum ada.

Direktur Institute for National Strategic Interest & Development (INSIDe), Muhammad
Danial Nafis, mengatakan persoalan BMKT, merupakan persoalan yang sangat kompleks,
dan membutuhkan penanganan secara khusus. Aktivitas terhadap kegiatan ini skalanya besar,
yaitu meliputi proses penelitian, survei, pengangkatan, sampai pada lelang. Untuk itu, kata
Nafis, Pemerintah RI perlu membentuk lembaga yang legitimate dan mandiri yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden dan operasionalnya dibebankan melalui APBN.
Lembaga yang terbentuk, tetap melakukan koordinasi dengan pejabat-pejabat terkait. 

Selain pengelola BMKT yang masih berbentuk panitia nasional, BMKT juga dikelola oleh
perwakilan berbagai instansi. Hal itu akan menyulitkan dalam berkoordinasi. Melanjutkan
keterangannya, Nafis mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak
memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola BMKT. Sehingga bagaimana mau
menyelamatkan harta karun yang dibawah laut apabila di internal mereka saja masih banyak
yang harus dibenahi.

Selain persoalan tersebut, BMKT juga tidak didasari dengan peraturan yang jelas.
Menurutnya, Keppres yang sudah ada (Keppres No 107/2000) tidak memberikan aturan
secara detil. Padahal, kata dia, jika BMKT itu mampu dikelola dengan baik, maka manfaat
yang didapatkan negara sangat besar. Tidak hanya sekadar keuntungan yang bersifat materi
yang didapat, tapi juga keuntungan yang sifatnya nonmateri, seperti kebudaayan, pendidikan
dan lainnya.

Menurutnya, keuntungan yang didapat dari satu kapal saja, mampu menembus angka Rp1
triliun. Maka, tak jarang pencurian barang berharga di dalam laut menjadi incaran para
oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang sudah banyak di keruk di kawasan Bangka
Belitung, dan laut utara Jawa. Karena itu, dia berharap agar pemerintah mampu memberikan
ruang gerak dan kepedulian  terhadap BMKT. Wajib ada badan tersendiri yang menangani
BMKT dan langsung di bawah presiden serta ada alokasi pendanaan secara jelas.

Nafis menambahkan, diperlukan segera revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang


ada termasuk UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya maupun peraturan-peraturan diba-
wahnya yang berhubungan dengan kelangsungan pengelolaan BMKT.

Selain itu, perlu adanya sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak berkomitmen terhadap
pemeliharaan warisan budaya dengan mengedepankan kepentingan ekonomi. Mengomentari
itu, Sekjen PANNAS BMKT, Sudirman Saad mengatakan sesuai Keputusan Presiden Nomor
19/2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam (PANNAS BMKT), disebutkan bahwa salah satu tugas
PANNAS BMKT adalah menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan,
dan  pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT. 

Khusus untuk  menjaga keamanan laut Republik Indonesia, pemerintah telah membentuk
Badan Koordinasi Keamanan Laut yang anggotanya lintas sektor di bidang keamanan laut
seperti, TNI AL, Polisi Perairan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Pengamanan di laut sendiri, Sudirman Saad mengakui masih sangat terkendala
dengan sarana dan prasarana pendukung yang tidak seimbang antara luas laut dan jumlah
armada untuk pengawasan di laut, khususnya BMKT. Sehingga, lanjut Sudirman,  perlu
dioptimalkan pengawasan yang melibatkan masyarakat, khususnya nelayan. Saat ini Ke-
menterian Kelautan dan Perikanan telah merintis kelompok pengawas masyarakat
(POKWASMAS) di daerah pesisir di bawah pembinaan Direktorat Jenderal PSDKP.

Disinggung mengenai kurang optimalnya PANNAS BMKT dalam melakukan penanganan,


Sudirman biasa disapa dengan tegas membantahnya. Menurutnya, penanganan BMKT sudah
dilakukan serius dengan cara proses perizinan survei dan perizinan pengangkatan harus
melalui penilaian tim teknis dan harus disetujui instansi yang terkait. Kemudian telah dimiliki
warehouse BMKT untuk penanganan BMKT hasil pengangkatan. 

Tidak hanya itu, Sudirman juga mengakui telah dilakukan pendistribusian sebagian hasil
pengangkatan ke 10 lembaga, khususnya lembaga pendidikan dan penelitian untuk tujuan
pengkayaan koleksi dan menunjang ilmu pengetahuan. Sudirman mengatakan saat ini kami
terus mengoptimalkan, pengawasan dan pengendalian yang didukung dengan sumberdaya
yang memadai dari segi sarana, prasarana dan SDM. Kemudian pelibatan masyarakat dalam
mengawasi BMKT. Sementara mengenai revisi Keppres No 107/2000, Sudirman mengatakan
Keppres No 107/2000 sudah mengalami dua kali revisi sejak tahun 2007, yaitu Keppres No.
19 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi Keppres No 12/2009.

Sudirman menambahkan, mengenai penggunaan kata harta karun, menurutnya perlu


diklarifikasi, dimana penggunaan istilah harta karun kurang tepat. Mengingat, penggunaan
istilah harta karun cenderung dikaitkan dengan aspek ekonomi yang nantinya akan menjadi
incaran banyak para pemburu harta karun. Harta karun yang dikelola PANNAS BMKT
sendiri merupakan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam yang mengandung
aspek sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Sampai sejauh ini, Sudirman
mengakui jika kegiatan pencurian BMKT di pantai Utara Jawa, dikarenakan di perairan
tersebut banyak mengandung potensi kapal tenggelam yang mengandung BMKT. Dijelaskan
olehnya, bahwa diwilayah perairan utara Jawa tersebut sejak dahulu kala sudah ramai dilalui
kapal-kapal baik dari Cina, Eropa, Spanyol, Portugis, VOC, yang membawa barang-barang
berharga untuk kegiatan perdagangan dan pengangkutan dimana merupakan jalur pelayaran
yang relatif aman dari keganasan perairan.

Mengenai proses penjualan BMKT itu sendiri, Sudirman mengatakan sesuai dengan
Keputusan Presiden No 19/2007 Pasal 1 angka 5. Untuk tahap pertama, dilakukan penjualan
BMKT Cirebon yang diangkat dari Perairan Laut Jawa, 70 mil utara Cirebon pada koordinat
05o 14’ 55”LS dan 108o 58’ 39” BT, hasil pengangkatan sejak April 2004 sampai Oktober
2005, kurang lebih 271.834 artefak yang sebagian besar berupa keramik, gelas, logam mulia
dan batuan berharga dari Abad ke-10 dari Lima Dinasti Cina (The Five Dynasties or Sung
Dynasty), Sasanian Empire dan Fatimid Dynasty dari Timur Tengah dan Afrika 

Pelelangan BMKT Cirebon bersifat terbuka, dapat diikuti perseorangan atau lembaga baik
dari dalam maupun luar negeri yang dilakukan dalam satu lot dengan harga limit 80 juta dolar
AS. Peserta lelang harus menyetor uang jaminan penawaran lelang sebesar 20 persen dari
harga limit atau 16 juta dolar AS.

Perikanan

Berdasakan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi sumberdaya perikanan


tangkap 6,4 juta ton per tahun, produksi perikanan tangkap di laut sekitar 4,7 ton per tahun
dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan maksimum 5,2 juta ton per tahun, sehingga hanya
tersisa 0,5 juta ton per tahun. Produksi Tuna naik 20,17 persen pada 2007, akan tetapi
produksi Tuna hanya 4,04 persen dari seluruh produksi perikanan tangkap. Jumlah nelayan
(laut dan perairan umum) sebesar 2.755.794 orang, akan tetapi lebih dari 50 persen atau
1.466.666 nelayan berstatus sambilan utama dan sambilan tambahan. Jumlah nelayan naik
terus, yaitu 2,06 persen pada tahun 2006-2007, sedangkan ikan makin langka.

Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan Tangkap 958.499 buah, naik 2,60 persen, tetapi sebanyak
811.453 RTP atau 85 persen RTP berskala kecil tanpa perahu, perahu tanpa motor, dan motor
tempel. Armada perikanan tangkap di laut sebanyak 590.314 kapal, akan tetapi 94 persen
berukuran kurang dari 5 GT dengan SDM berkualitas rendah dan kemampuan produksi
rendah. Potensi tambak seluas 1.224.076 ha, akan tetapi realisasi baru seluas 612.530 ha.
Potensi budidaya laut seluas 8.363.501 ha, akan tetapi realisasi hanya seluas 74.543 ha.
Jumlah industri perikanan lebih dari 17.000 buah, akan tetapi sebagian besar tradisional,
berskala mikro dan kecil.

Tenaga kerja budidaya ikan sebanyak 2.916.000 orang, akan tetapi kepemilikan lahan
perkapita rendah dan hidupnya memprihatinkan. Industri pengalengan ikan yang terdaftar
lebih dari 50 perusahaan, akan tetapi yang berproduksi kurang dari 50 persen dengan
kapasitas produksi maksimum sekitar 60 persen. Ekspor produk perikanan 857.783 ton
dengan nilai 2.300.000 dolar AS, akan tetapi produksi turun 7,41 persen pada tahun 2006-
2007, bahkan volume ekspor udang turun 5,04 persen dan nilainya pun turun 6,06 persen.

Sehingga, sudah seharusnya sektor kelautan dijadikan sebagai penunjang perekonomian


negara ini. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sumbangan
sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki peranan strategis. Ter-
utama dibandingkan sektor lain dalam sektor perikanan maupun PDB nasional. Tentu saja,
sektor kelautan tidak hanya menghasilkan produk perikanan. Menurut pengamat maritim
Universitas Diponegoro (Undip), Sahala Hutabarat, untuk mengembangkan potensi sumber
kekayaan laut pemerintah harus memiliki visi maritim. Karena jika potensi sumber kekayaan
laut dioptimalkan mampu mensejahterakan masyarakat pesisir. 

Indonesia itu negara kepulauan, artinya laut Indonesia itu lebih luas dari daratannya. Jika laut
dimanfaatkan dengan optimal, mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat
pesisir. Untuk mengembangkan potensi maritim, pemerintah harus memiliki visi negara
maritim yang jelas.

Sahala juga mengkritik peran pemerintah yang tidak memiliki konsep visi negara maritim.
Seharusnya, kata Sahala, kementerian/lembaga yang terkait kemaritiman harusnya sudah
mulai membangun konsep negara maritim. Apabila melihat nasib nelayan kita. Mereka hidup
di bawah garis kemiskanan. Jika cuaca buruk, nelayan tidak bisa melaut dan otomatis mereka
tidak ada penghasilan. 

Sahala mengungkapkan bahwa terdapat 12 kementerian yang terkait dengan kemaritiman dan
harus memiliki konsep membangun negara maritime agar dapat mengoptimalkan sumber
kekayaan laut, diantaranya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementrian Lingkungan, Kementerian PU, Kementerian
Perhubungan, Menteri Kordinator Kesejahteraan rakyat, dan  Kementerian Koperasi.

Orientasi ekspor pada kebijakan perikanan nasional telah menggerus bahan baku ikan pada
akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk
perikanan impor. Hal ini dibuktikan dengan tingginya permintaan izin impor ikan dalam dua
bulan terakhir yang mencapai tiga juta ton atau 60 persen dari produksi perikanan tangkap
nasional. Volume yang sangat besar, sehingga dapat dipastikan menghancurkan
perekonomian nasional, khususnya nelayan tradisional. Pemerintah dalam hal ini, menurut
dia Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak perlu
mengambil langkah kontraproduktif. 

Inisiatif pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan dan mengamankan kuota
kebutuhan ikan nasional, termasuk dengan mempertimbangkan peningkatan konsumsi ikan
untuk lima tahun ke depan sehingga kebutuhan domestik akan tetap terjaga. Data Ke-
menterian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, nilai ekspor hasil perikanan pada
periode Januari-Juli 2010 mencapai 1,62 miliar dolar AS atau naik 16,68 persen dibanding
periode yang sama pada 2009. Volume ekspor hasil perikanan sebesar 657.793 ton naik 31,95
persen dibanding tahun 2009. Sejumlah komoditas yang nilai ekspornya meningkat antara
lain ikan tuna, kepiting dalam kaleng, rumput laut kering, kepiting beku, mutiara dan udang
beku.

Bahan baku ikan masih merupakan persoalan yang diminta untuk segera dipenuhi. Saat ini
ada 114 Unit Pengolahan Ikan (UPI), dengan utilisasi hanya 50 persen akibat kekurangan
pasokan ikan, kata siaran pers tersebut. Dalam satu UPI terdiri dari 500-1.000 tenaga kerja
dan bila dioptimalkan dapat memenuhi kebutuhan nasional atas ikan olahan, sekaligus
menyerap tenaga kerja nasional. Persoalan ini terjadi pula di Industri pengalengan.

Ironi Impor Ikan

Di tengah upaya membangun industrialisasi perikanan dalam negeri, Kementerian Kelautan


dan Perikanan (KKP) justru tidak bisa membendung masuknya ikan impor. Bahkan, ikan
dalam kemasan pun bebas masuk ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dijual di pasar-pasar
tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal industrialisasi sangat ideal. Sah-sah saja
jika ada anggapan bahwa di perairan Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih berlim-
pah, sekalipun tidak ada data pendukung yang menguatkan asumsi tersebut. Kajian stok ikan
nasional sudah lama tidak pernah dilakukan, sehingga validitas klaim tersebut diragukan.

Jika menyimak kajian yang dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO), status perikanan dan
populasi ikan pelagik-demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta yang terjadi,
dengan kapal besar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas penangkapan,
dan menambah jumlah hari melaut, namun hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang
dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan
konsumsi ikan yang semakin meningkat setiap tahun, maupun pasar internasional, juga
membuat eksploitasi sektor perikanan berlangsung secara besar-besaran.

Hasil penelitian yang dilakukan FAO pada 2010 menyebutkan kondisi sumber daya ikan
nasional dan dunia saat ini menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan
sudah dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sisanya, sudah
over-exploited atau stoknya menurun.

Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan pada 2006 menunjukkan hal yang sama.
Tidak mengherankan jika sering terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan ABK
kapal asing akibat berebut wilayah penangkapan di tengah laut. Tidak hanya itu, konflik antar
nelayan tradisional pun kerap terjadi. Berkaitan dengan industrialisasi, membangun gudang
ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), di sentra-sentra
perikanan tangkap, khususnya di Indonesia Timur,ada dua perspektif industrialisasi
perikanan.

Pertama, industrialisasi perikanan dalam arti sempit, yakni membangun pabrik-pabrik


pengolahan ikan, yang tujuannya meningkatkan produksi ikan olahan, baik untuk pasar
domestik maupun ekspor.  Hal terpenting adalah pertumbuhan produksi terjadi, siapa pun
pelakunya dan dari mana pun sumber bahan bakunya. Perspektif ini mirip gaya foot-loose
industry yang menjadi ciri industrialisasi di Indonesia selama ini. Kedua, industrialisasi
perikanan dalam arti luas, yakni transformasi ke arah perikanan yang bernilai tambah.
Tujuannya, meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang dinikmati para pelaku
usaha kecil dan menengah. Terpenting adalah transformasi pelaku di hulu ataupun hilir
sehingga nelayan dan pembudidaya ikan juga menjadi bagian penting dalam proses ini.

Karena itu, industrialisasi tak sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada terciptanya
sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan pembudidaya ikan
yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Sehingga, industri tak semata
teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru. Perspektif ini mirip resources-based industry. Di
mana industri terkait dengan sumber daya lokal secara mendalam yang menjamin
keberlanjutan produksi. Namun langkah ini terhambat oleh masalah teknis, seperti stok ikan
dan pasokan listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan
biaya Rp1,5 miliar, memerlukan listrik 40 ribu watt, dan biaya operasional Rp20 juta per
bulan. Pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau
kecil.

Bahkan, PLN sendiri  masih kesulitan menerangi permukiman penduduk tingkat kecamatan
di wilayah timur. Idealnya, gudang penyimpanan dilengkapi freezer selain cold storage.
Mesin freezer bisa membekukan ikan hingga minus 40 derajat celcius untuk mempertahankan
kualitas ikan dan mencegah berkembangbiaknya bakteri. Proses pembekuan ini mutlak
dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat celcius
sambil menunggu dikapalkan.

Biaya lain yang harus dihitung adalah beban transportasi. Untuk mencukupi kebutuhan bahan
olahan industri perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200
gross tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas kapal 80-100 ton. Biaya solar
(BBM) kapal tersebut sekitar Rp100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari melaut trayek
pulang-pergi.
Biaya gudang dan transportasi sebesar itu menyebabkan harga ikan lebih mahal, belum
termasuk biaya Investasi kapal dan biaya rutin yang harus dikeluarkan, seperti menggaji
ABK dan biaya perawatan kapal. Sementara masalah pada budidaya ikan, industri tambak
harus mengeluarkan biaya ekstra agar bisa bertahan. Untuk menyiasati penyakit dan virus
yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus
dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang,
bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan perawatan khusus pula agar ikan tetap sehat.

Tidak hanya itu, mereka juga dihadapkan persoalan melambungnya harga pakan. Sebaliknya,
industri pengolahan pakan juga mempunyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik,
mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.

Jika pemerintah mampu menurunkan harga pakan hingga 40 persen atau menciptakan pakan
alternatif (organik), budidaya udang dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budi daya
laut akan tertolong untuk mengembangkan usahanya. Atas kondisi ini seharusnya pemerintah
Indonesia malu. Sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi perikanan
berlimpah, justru mengimpor ikan. Malaysia, walau menganut negara daratan, mereka mam-
pu mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah. Padahal, bibitnya
diimpor dari Indonesia. Bahkan, mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga
Rp9.000 perkilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp10 ribu perkilogram.

Krisis Ikan Mengancam

Sebagai negara maritim Indonesia semestinya menjadi penghasil komoditas ikan yang
diperhitungkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, negara ini terancam krisis ikan.
World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia melihat potensi paceklik sumber daya ikan di
laut Indonesia semakin tinggi. Indikasinya terlihat dari ketidaktersedian ikan yang diekspor,
sementara permintaan ikan dari importir luar negeri semakin meningkat. Jika hal ini
dibiarkan, beberapa tahun ke depan masyarakat hanya bisa makan sup plankton.

WWF merujuk pada penurunan tangkapan ikan di perairan Kabupaten Wakatobi, Sulawesi
Tenggara dan sekitarnya. Lokasi tersebut merupakan salah satu tempat penangkapan ikan
Tuna di Indonesia, khususnya jenis tuna sirip kuning (yellowfin–Thunnus albacares).

Berdasarkan data dari 15 koordinator penerimaan potongan (loin) ikan tuna pada 2008-2011
terjadi penurunan hasil tangkapan. Pada 2008 jumlah tuna yang ditangkap rata-rata 4,73 ekor
per armada. Pada 2009, 4,61 ekor per armada. Pada 2010 hanya 4,29 ekor per armada, dan
pada 2011 jumlah tangkapan semakin berkurang menjadi 3,30 ekor per armada.

Dari evaluasi WWF, kondisi tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat


mengenai pentingnya menjaga ekosistem laut dalam menangkap ikan. Nelayan sering
menangkap ikan berukuran kecil sehingga ikan tidak bisa berkembang biak dan lama
kelamaan jumlahnya terus berkurang. WWF pun meluncurkan buku panduan mengenai cara
menangkap ikan yang benar, cara menangani hewan hasil tangkapan sampingan, dan
bagaimana cara mengolah ikan agar bisa dipasarkan baik ke pasar lokal maupun
internasional.

Perusahaan importir asal Belanda, Anova Asia melihat kekurangan bahan baku di Indonesia
sebagai negara kepulauan menjadi hal yang sangat disayangkan. Padahal, pasar internasional
sedang bagus. Permintaan ikan tuna terbesar datang dari Amerika, Jepang, dan Eropa. Saat
ini Indonesia sedang dilirik pasar dunia karena dianggap sangat potensial menjadi negara
pengekspor ikan. 

Sebagai importir, Anova Asia berharap nelayan dan pengusaha lebih memahami pentingnya
menjaga kelestarian komoditas perikanan. Karena ada ratusan ribu pelaku usaha nelayan yang
akan menganggur jika Indonesia tidak bisa menghasilkan ikan.

Krisis ikan diperkirakan akan mulai dirasakan Indonesia pada 2014. Tahun itu
kekurangtersediaan ikan mencapai 11,15 juta ton. Ini akibat meningkatnya konsumsi ikan,
tetapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi dan perlindungan pasar dalam negeri.
Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim melihat data itu dari rencana
strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010-2014. Mereka
memproyeksikan produksi ikan nasional tangkap ataupun budidaya, sebesar 22,54 juta ton.
Sementara kebutuhan ikan nasional 33,68 juta ton, dengan asumsi konsumsi ikan 38,67
kilogram per kapita sehingga terjadi defisit ikan 11,15 juta ton.

Diperkirakan pada 2014 ada 18 provinsi yang defisit pasokan ikan. Jawa Barat misalnya,
produksi ikan 1,63 juta ton, sedangkan kebutuhannya 4,06 juta ton, sehingga defisit 2,43 juta
ton ikan. Di lain pihak, sebanyak 15 provinsi kelebihan produksi ikan. Provinsi tersebut
adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawasi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Maluku,
Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Papua Barat.

Di sisi lain, beberapa pihak melihat kekurangan pasokan ikan untuk konsumsi dalam negeri
semakin parah karena orientasi produksi perikanan untuk ekspor. Padahal, impor perikanan
terus naik. Pada triwulan pertama tahun 2010, impor produk perikanan 77 juta dolar AS, atau
naik 32 persen dibandingkan 2009, yakni 58 juta dolar AS. 

Peran pemerintah juga diperlukan untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan ikan di dalam
negeri. Diperlukan pemetaan produksi dan pemasaran produk nasional, selain menata
distribusi produk perikanan antar pulau dan menyediakan infrastruktur perdagangan produk
ikan antar pulau.

Pemerintah juga perlu memperkuat nelayan dan pengusaha perikanan agar mereka
melebarkan wilayah tangkapannya ke wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut
lepas. Selain itu, ada jaminan pemasaran produk perikanan ke luar negeri hanya apabila
produksi dan pasokan di dalam negeri mencukupi kebutuhan nasional.

Ocean Watch Indonesia (OWI) bahkan meminta pemerintah memperketat regulasi ekspor-
impor dan memprioritaskan keamanan konsumsi nasional. Saat ini daya saing nelayan
Indonesia relatif rendah. Sekitar 90 persen nelayan menggunakan kapal kecil berbobot mati
di bawah 30 gross ton (GT). Selain itu, perikanan budidaya terkendala permodalan dan
mahalnya harga pakan.

Direktorat Pemasaran Luar Negeri KKP tidak bisa menutup mata dengan kondisi yang ada.
Mereka melihat hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah. Di mana negara maju
menyubsidi sektor perikanannya sehingga produk perikanan mereka menjadi murah. Data
World Trade Report (2010) menyebutkan, China menyubsidi sektor perikanannya hingga
4,13 miliar dolar AS. Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru menghapus subsidi bahan
bakar minyak untuk kapal nelayan berbobot lebih dari 60 GT. Ironis sekali.

Zona Ekonomi Eksklusif

Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas
3,1 juta meter persegi terdiri atas perairan, kepulauan seluas 2,8 juta km persegi dan laut
sekitar 0,3 juta km persegi Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber
kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km persegi
dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut lepas diluar 200 mil ZEE, serta
pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar landas
kontinen. Tertuang dalam pasal  192-237 UNCLOS membebankan kewajiban bagi setiap
negara pantai untuk mengelola dan melestarikan sumber daya laut mereka. 

Pada 2005 muncul gagasan dari Dewan Maritime Indonesia untuk membentuk Badan
Penataan Batas Wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia yang bertujuan untuk
mempertegas kedulatan Negara dan meningkatan keamanan laut. Diketahui Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia adalah daerah di luar Laut Teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan Undang-undang No 4/1960 tentang Perairan Indonesia, cakupan yang meluas
sampai 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur. 

Di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia memberlakukan hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi
dan eksploitasi, pengelolaan dan pelestarian hidup dan sumber daya alam yang tidak hidup
dari tanah dan sub-dasar laut dan perairan dan hak-hak kedaulatan berkenaan dengan kegiatan
lain untuk eksplorasi ekonomi dan eksploitasi zona, seperti produksi energi dari arus air, dan
angin, dan dari segi yuridis yaitu pembentukan dan penggunaan buatan, instalasi pulau dan
struktur, penelitian ilmiah kelautan, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak lain berdasarkan
hukum internasional.

Hak berdaulat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 deklarasi ini, Pemerintah,
sehubungan dengan dasar laut dan lapisan tanah, terus melaksanakan sesuai dengan ketentuan
hukum dan peraturan di Indonesia tentang Perairan Indonesia dan Landas Kontinen
Indonesia, perjanjian internasional dan hukum internasional.

Dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, kebebasan navigasi dan penerbangan dan
peletakan sub-kabel laut dan pipa akan terus diakui sesuai dengan prinsip-prinsip baru hukum
internasional laut. Lalu berikutnya yaitu dimana garis batas ZEE Indonesia menimbulkan
masalah batas dengan negara berdekatan atau sebaliknya, Pemerintah Indonesia siap, pada
waktu yang tepat untuk masuk ke dalam perundingan dengan negara yang bersangkutan
dengan maksud untuk mencapai kesepakatan.

Pakar Hukum Laut, Prof Hasjim Djalal mengaku sedih dengan konsep ZEE Indonesia yang
tidak berjalan maksimal. Bagaimana tidak, dengan posisi strategisnya, Indonesia dianugerahi
17.504 pulau, panjang garis pantai 81.000 km persegi, dua pertiga luas wilayah terdiri dari
laut, ditambah dengan wilayah yang berbatasan dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia,
Papua New Guinea, dan Timor Leste, Indonesia belum mampu memaksimalkan konsep ZEE.
Padahal dengan melihat lokasi Indonesia yang cukup strategis maka ZEE menjadi sangat
penting dan  sangat disayangkan jika ZEE kita terbengkalai.
Konsep ZEE mampu memberikan berbagai keuntungan. Misalnya, jika ZEE mampu
diterapkan dengan baik, maka keuntungan ekonomi akan mengikutinya karena sumber daya
perikanan dan lainnya di daerah tersebut sangat melimpah. Selain itu, keuntungan politis juga
bakal diperoleh pemerintah Indonesia, misalnya, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di
Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat
Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE
Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas operasional kapal-kapal TNI AL
dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat Malaka.

Diketahui, Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial. Zona batas luas tidak boleh
melebihi 200 mil dari bibir pantai. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan
memberikan 36 persen dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di
dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar 90 persen dari seluruh simpanan
ikan komersial, 87 persen dari simpanan minyak dunia, dan 10 persen simpanan mangan.

Melanjutkan keterangannya, Prof Hasjim mengatakan ZEE wajib dimasukan dan


diberdayakan  dalam bagian perencanaan pengelolaan sumber daya manusia, teknologi dan
infrastuktur dimana semua itu perlu disokong anggaran yang memadai. Tentunya
kemampuan anggaran yang harus ditingkatkan, baik untuk Kementerian Keluatan dan
Perikanan (KKP), maupun untuk pertahanan laut kita.

Sementara itu, anggota Komisi IV, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muradi Darmansyah
menilai pengelolaan laut menjadi perioritas utamanya. karenanya ZEE perlu mendapat
dukungan, agar ekonomi maritim kedepan bisa terkelola optimal. Mengenai hal itu, kelautan
akan menjadi prioritas utama ditahun 2011 mendatang, namun memang hal tersebut perlu
dilakukan kajian akademis dari perguruan tinggi secara komperhensif. Dalam kacamatanya,
pemanfaatan ZEE masih jauh dari harapan, hal itu disebabkan karena kurangnya SDM yang
memadai, ditambah minimnya infrastruktur dan teknologi yang tidak sebanding dengan luas
laut Indonesia. 

Ditambah lagi dengan kondisi tapal batas laut Indonesia yang suatu saat bisa berubah, karena
patroli yang dilakukan tidak maksimal, serta infrastuktur lainya yang kurang memadai,
seperti pembangunan mercusuar yang tidak merata.

Tidak hanya itu, Muradi juga meminta kepada pihak terkait untuk selalu memperbaharui
peta-peta Indonesia. Dengan kondisi saat ini mengenai perubahan iklim, bisa saja adanya
perubahan iklim tersebut membuat batas-batas laut kita semakin berkurang. Saat ini kita akan
mengacu kepada peta lama jamannya kolonial Belanda, seharusnya ada perubahan peta,
dicocokan dengan kondisi saat ini. Jika ini tidak dilakukan maka, negara-negara tetangga bisa
saja menjadi mengklaim.

Ditanya mengenai apa saja yang perlu ditingkatkan untuk penguatan ZEE, Muradi
mengatakan, Pendidikan menjadi modal utama, dan pemahaman pejabat akan hak-hak yang
ada menurut hukum laut yang berlaku. Tidak hanya itu, penguatan kemanan juga perlu
ditingkatkan, Muradi memberikan contoh adanya kasus kapal-kapal patroli banyak yang tidak
beroperasi disebabkan Global Positioning System (GPS) yang rusak karena batrainya habis.
Ini sesuatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Jangan sampai pengawasan tidak berjalan
karena disebabkan hal-hal kecil yang sangat tidak perlu.
ZEE dalam Keterbatasan SDM dan Infrastruktur

Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang
mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di
dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.

Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya
berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas
yurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS
III. Namun dalam pengembangannya tidak begitu maksimal, karena keterbatasan Sumber
Daya Manusia (SDM), Infrastruktur dan Iptek yang dianggap sebagai faktor utama, sehingga
dengan mudahnya negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia masuk
kewilayah kedaulatan Indonesia secara bebas.

Pengamat dari Sekolah Tinggi Ilmu Maritim (STIM), Diah S. Koesdinar mengatakan suatu
pengelolaan wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pertama-tama harus
mengedepankan kedaulatan negara untuk dimanfaatkan sebagai cara memakmurkan dan
mensejahterakan rakyat dan negara. Tanpa adanya kedaulatan, satu negara tidak ada artinya.
Secara prinsip ZEE sudah mencakup berbagai unsur yang meliputi pertahanan negara,
pengelolaan sumber daya laut dan pengakuan secara internasional walaupun masih terbatas.

Namun mengingat luasnya wilayah laut ZEE Indonesia dan adanya overlap dengan ZEE
negara lain, maka perlu adanya tindakan tegas pemerintah Indonesia dalam menetapkan garis
batas ZEE dengan negara-negara yang berbatasan dengan NKRI. “Penetapan batas ZEE ini
harus diupayakan dengan aktif dan berkesinambungan untuk menghindari potensi masalah di
kemudian hari dengan berbagai negara. Untuk dapat melakukan hal itu, Indonesia dapat
melibatkan pakar dalam bidang masing-masing agar dapat membuahkan strategi pengelolaan
yang tepat dan bermanfaat bagi Indonesia.

Bicara mengenai SDM, harus diakui tidak mudah mengelola wilayah laut NKRI yang luas
dengan dana terbatas dan koordinasi terpadu dari berbagai instansi pemerintah terkait yang
belum efektif. Namun pemerintah harus melihat bahwa pembangunan kelautan adalah satu
kesatuan dengan pembangunan negara. SDM, infrastruktur dan Iptek yang ada harus
dikembangkan dan dibuat lebih efektif dengan master plan jangka panjang yang jelas.
Indonesia harus bisa berkonsolidasi dari dalam agar kuat menghadapi ‘serangan’ dari luar dan
bisa terus mempertahankan kedaulatan NKRI. Penggunaan teknologi yang maju dan canggih
dan data satelit yang bisa diakses akan dapat memudahkan penentuan batas-batas yang
akurat. Pemanfaatan teknologi komunikasi lainnya juga dapat memonitor pengelolaan ZEE
secara real time.

Indonesia harus berkomitmen dalam pengembangan kelautan yang merupakan bagian penting
dalam pembangunan negara secara keseluruhan. Komitmen berinvestasi tidak hanya diartikan
dalam pengalokasian dana, tetapi juga dalam peningkatan SDM dan infrastruktur didukung
Iptek yang maju serta dari segi peraturan perundang-undangan dan penetapan garis batas
yang jelas. Faktor terakhir tersebut amat penting agar keabsahan penetapan garis batas ZEE
tidak hanya diterima sepihak, tetapi juga diakui secara internasional. Iptek yang ada sekarang
akan dapat membantu melakukan hal itu dengan akurat dan dapat memudahkan komunikasi
antar negara menjadi lebih mudah dan cepat.
Dalam pengelolaan ZEE tersebut, semuanya kembali ke pemerintah apakah upaya yang
dilakukan sudah optimal, apakah Indonesia sudah dengan tegas menerapkan peraturan yang
berlaku dan apakah berbagai instansi yang terkait memiliki komitmen yang sama dan sepakat
berusaha untuk melakukan yang terbaik. Memang satu pekerjaan rumah yang sangat
kompleks dan besar yang tentunya membutuhkan waktu panjang untuk dapat membuahkan
hasil. Namun apabila tidak dimulai dengan seksama dan berkesinambungan dari sekarang,
Indonesia dan generasi berikutnyalah yang akan merugi. 

ZEE Tanggung Jawab Bersama

Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) Indonesia diatur dalam Undang-Undang RI No


5/1983. Melalui pertimbangan presiden pada 21 Maret 1980 telah dikeluarkan pengumuman
pemerintah RI, tentang ZEE Indonesia, untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan
memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Diatur pula semua kegiatan penelitian ilmiah mengenai kelautan di perairan yang berada di
bawah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kepentingan
negara. Sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di ZEE Indonesia adalah
modal dan milik bersama Bangsa Indonesia sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam
Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah diakuinya rezim zona ekonomi eksklusif selebar 200
(dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut internasional yang baru.

Dengan hal tersebut di atas tentunya pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif harus mendapat
penanganan serius dari semua pihak yang terkait, Kementerian dan lembaga yang memang
dipercaya harus berperan aktif untuk mengembangkan ZEE dan menjadikan kekayaan laut
indonesia bisa bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Soe’nan H
Purnomo mengatakan konsep ZEE itu tak hanya tugas Kementerian Keluatan dan Perikanan,
tapi tugas bersama misalkan, KKP mengenai perikanannya beserta riset kelautan, lalu
Kementerian Pertahanan soal pertahanan lautnya. TNI AL, mengenai kemanan lautnya,
sementara Kementerian ESDM, bicara mengenai pertambangan, migas dan energi,
Kementerian Luar Negeri bicara mengenai batas wilayah, lalu Kementerian PU bicara
mengenai kawasan perbatasan. Bicara ZEE, bukan berarti bicara Kementerian Keluatan dan
Perikanan, melainkan semua lembaga baik kementerian maupun lembaga lain yang terkait
dan semua mempunyai pernan penting.

Sehingga dalam memperkuat ZEE, menurutnya, perlu ada restrukturisasi disemua lini,
termasuk restrukturisasi armada laut, baik untuk segi pertahanan maupun segi pengelolaan
ikan, karena sampai saat ini menurut Soe’nan banyak nelayan-nelayan Indonesia yang
memang tidak bisa memanfatkan luas laut karena terkendala kapal yang tidak memadai.
Hanya beberapa kapal besar yang bisa menjangkau luas laut. 

Perlu diakui bahwa saat ini hanya kapal-kapal kecil kita yang hanya berkumpul dilaut yang
dekat pantai, untuk wilayah yang jauh hanya beberapa kapal besar, untuk konsep ZEE sendiri
memang perlu diperkuat armada-armada yang cukup memadai baik untuk pertahanannya
maupun pengelolaan hasil lautnya.

Soe’nan pun membantah jika dalam pengelolaan ZEE pihaknya tidak memiliki SDM yang
mumpuni. Sebab, 62 persen abknya dibutuhkan oleh perusahaan swasta di negara Jepang. Ini
tentunya akan bermanfaat besar bagi pendapatan Indonesia, dan keterampilan bekerja. Selain
itu, ini artinya SDM kita benar-benar mumpuni, karena anak-anak muda Jepang memang
tidak suka bekerja dilaut, sehingga etos kerja anak-anak muda kita akan terbiasa dengan etos
kerja negara Jepang yang penuh disiplin, sehingga SDM kita tentunya tidak akan kalah
dengan negara-negara lain.

Program ke depan untuk KKP sendiri, Soe’nan akan mengedepankan intruksi Presiden yang
meminta perkuat ZEE Indonesia, yaitu dengan cara penguatan armada besar, dan penguatan
antara lembaga, dan penguatan ZEE kita baik laut maupun udaranya. 

Sementara itu, Pengamat Kelautan Indonesia, Profesor Sahala Hutabarat mengaku jika
konsep ZEE Indonesia belum begitu maksimal, baik yang dijalankan oleh KKP dan
kementerian lainnya. Sahala menyebutkan, jika lembaga tersebut belum ada koordinasi yang
kuat maka, ZEE ini akan sia-sia. 

Potensi devisa di ZEE banyak ‘tercuri’ oleh negara lain baik secara legal maupun illegal,
sementara perhatian politik pemerintah atas ZEE memang belum optimal. Menurutnya terlalu
banyak ‘pemain’ namun lemah dalam koordinasi, serta kemanan laut masih sangat rawan.
Batas wilayah dan Kawasan perbatasan menjadi tidak begitu terkontrol.

Sahala menjelaskan, jika potensi dalam konsep ZEE sendiri sebetulnya sangat besar, dan
beraneka ragam. Disebutkan ada banyak potensi, pertama Sumber daya non hayati yang
didalamnya mencakup Migas, Energi Keluatan dan Sumber Mineral Keluatan. Selain itu
terdapat sumber daya hayati dan jasa yang juga didalamnya ada industri Bioteknologi
kelautan dan pengembangan pulau buatan, lalu yang terakhir potensi sumber daya perikanan.
Sehingga sangat tepat jika, penanganan ZEE tidak hanya KKP, melainkan kementerian lain
juga turut ikut serta dalam pengelolaan potensi ZEE. 

Dewan Maritim Indonesia sendiri, melalui Sekretaris Bidang Sosialisasi, Ir Abdul Alim
Salam dalam keterangan tertulisnya mengenai strategi pengelolaan ZEE Indonesia
menyebutkan ada beberapa konsep ZEE Indonesia, yang terbagi menjadi dua alternatif,
diantaranya alternatif pertama pengelolaan secara terpusat oleh negara. Alternatif kedua yaitu
kerjasama pengelolaan dengan negara lain dan juga dengan pemerintah daerah atau antar
sektor. 

Alternatif pertama untuk urusan pengawasan pemanfaatan SDA hayati dan non hayati,
pengamanan laut dan pulau-pulau perbatasan, dan pengurusan wilayah maritim, sementara
alternatif kedua mempunyai pengertian bahwa di wilayah perbatasan koordinasi bersama
untuk penanganan masalah-masalah khusus, seperti keamanan laut, lalu di wilayah teritorial
kerjasama penanaman modal dengan swasta asing dan domestik, dan di wilayah ZEEI me-
ngenai Special Arrangements dengan negara lain untuk pengelolaan SDA 

Konsep lembaga yang diusulkan oleh Dewan Maritim Indonesia untuk mengelola ZEE ada
dua yaitu, lembaga yang ada dengan pertimbangan dan kekuatannya yaitu pertama Unit yang
pelaksana sudah mempunyai dukungan administrasistaf dan keuangan dan kedua Optimasi
pemanfaatan sumberdaya yang ada. Tentunya terdapat kelemahan yaitu perlu sistem
koordinasi yang kuat, lalu sering tidak terhindarkan adanya conflict of interest dan yang
ketiga berbagai kelemahan birokrasi yang ada akan tetap melekat.
Dewan Maritim Indonesia juga menilai perlu ada badan khusus yang menangani ZEE, karena
kekuatan dari badan khusus sangat optimal, dirancang untuk menangani urusan tertentu
kedua mempunyai visi dan misi yang satu, sehingga etos kerja lebih utuh dan padu dalam
satu komando. Kelemahannya yaitu dapat menambah birokrasi yang ada apabila tidak
dilakukan eliminasi unit kerja di lembaga yang ada.

Sebelumnya, meski ketentuan internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif atau UNCLOS
1982 telah diratifikasi dan mulai berlaku pada 1994, 70 persen ZEE Indonesia belum
disepakati negara tetangga. Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional, Sobar Sutisna,  menjelaskan, ZEE yang belum disepakati berada di
perbatasan dengan negara Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, dan India. Sejauh
ini kesepakatan batas ZEE tercapai dengan pihak Australia dan Papua Niugini. Dalam atau
United Nations Convention on the Law of the Sea, ZEE didefinisikan sebagai hak berdaulat
atas pengelolaan sumber kekayaan alam pada kolom air.

Selain ZEE, menurut Sobar, yang juga sebagai Ketua Technical Working Group Batas
Maritim Indonesia, terdapat dua batas yuridiksi maritim yang belum terselesaikan, yaitu batas
laut teritorial dan batas landas kontinen. Meski batas landas kontinen telah ditetapkan
berdasarkan Konvensi PBB pada 1958, tetapi proses tersebut belum terselesaikan hingga kini.
Untuk landas kontinen sekitar 30 persen yang belum disepakati, yaitu yang berbatasan
dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste.

Selain itu, sampai kini pihak Indonesia belum mencapai kesepakatan tentang batas laut
teritorial dengan tiga negara, yaitu Singapura, Malaysia, dan Timor Leste. Panjangnya
mencapai 40 persen dari seluruh batas yuridiksi maritim Indonesia.

Batas laut teritorial dengan Malaysia yang belum terselesaikan ada di tiga wilayah, yaitu yang
berada di Selat Malaka sepanjang 17 mil laut; 12 mil laut di Tanjung Datuk, Kalimantan
Barat; dan 18 mil di Sebatik, Kalimantan Timur. Sedangkan dengan Timor Leste, Pemerintah
Indonesia belum menyepakati lebih dari 100 mil panjang batas laut teritorial.

Sementara itu, berdasarkan perjanjian pada 1973 tentang batas wilayah antara Singapura-
Indonesia telah ditetapkan enam titik pangkal yang berada di sebelah barat hingga timur
Pulau Batam. Bila dilihat dari sisi Singapura, titik pangkal itu berada di Sultan Shoul hingga
ke timur Singapura atau sebelah barat Changi. Titik-titik ini sudah definit, tidak terpengaruh
dengan perluasan wilayah Singapura karena reklamasi.

Bagian yang kini dipermasalahkan adalah ada di bagian barat sepanjang 14 mil. Sedangkan di
sebelah timur meliputi garis batas sepanjang 28 mil. Pembicaraan penetapan batas wilayah
antara Singapura dan Indonesia telah dimulai lagi tahun lalu. Pihak Singapura hanya
menyepakati penetapan wilayah barat dan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut. Untuk
pembahasan batas wilayah dengan Singapura, terutama di bagian barat, Indonesia berpegang
pada peta yang dibuat tahun 1973. Sedangkan Singapura saat ini meminta dilakukannya
survei kembali. Penyelesaian masalah ini diakui tidak dapat ditetapkan target waktunya.
Karena harus dicapai kesepakatan kedua belah pihak dan kesiapan negara tetangga.

Namun, bila perundingan dengan Singapura tentang batas wilayah tetap buntu, langkah yang
mungkin ditempuh Indonesia adalah mengajukannya ke International Tribunal for the Law of
the Sea di Hamburg, Jerman. Dalam mahkamah internasional ini bisa salah satu pihak saja
yang mengajukan kasusnya.  Di antara perundingan batas wilayah dengan enam negara
tetangga, Sobar melihat penetapan batas wilayah paling cepat dapat terealisasi dengan
Filipina, yang telah menyatakan kesediaannya untuk penyelesaian proses ini. Pembicaraan
kedua belah pihak untuk penetapan batas wilayah di Laut Sulawesi telah dimulai pada 1994.
Sementara itu penetapan batas wilayah dengan Palau belum dapat dilakukan karena Indonesia
belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara kecil di Pasifik ini. Saat ini pihak
perunding dari Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Palau.

Sumber Daya Migas dan Mineral

Laut selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi.
Kini,para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap
tantangan kekurangan energi di masa mendatang.  Hasil penelitian Richardson pada 2008
menunjukkan bahwa sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan
pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan
terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cadangan minyak
buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis
energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatera,
selatan Jawa Barat, dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh potensi
migas.

Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam
Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu
10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum
terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara
minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di
antaranya sudah dieksploitasi. 

Sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak
yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, dan lebih
dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk
sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan 1998 mencapai
136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun
1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan potensi kekayaan tambang
dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non
titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan
baik masih  diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.

Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan potensi laut sebagai sumber energi listrik. Yaitu,
melalui teknologi panas laut, pasang surut, arus laut, angin, gelombang laut serta bioenergi
dari ganggang laut. California Energy Commision, misalnya, memperkirakan jumlah tenaga
ombak pecah di dunia dapat menghasilkan 2-3 juta megawatt energi, dimana pada lokasi
yang tepat, ombak bisa membangkitkan energi sekitar 65 megawatt per mil panjang pesisir. 

Laut juga menyimpan kandungan bahan tambang dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi.
Sama halnya di daratan, potensi mineral dan tambang terbagi atas tiga kelas sesuai standar
indonesia, yaitu A, B, dan C. Yang membedakan adalah masalah teknis eksploitasi dan
penambangannya. 
Prof J.A Katili pernah memperkirakan terdapat berjuta-juta ton emas di dasar samudra. Para
saintis Jepang di The Japan Marine Science and Technology sudah lama merilis temuan
cadangan mineral yang terbesar di dunia yang mengandung emas dan perak, justru terdapat di
dasar laut di kedalaman di atas 1.400 meter.

Djamil (2004) menuliskan bahwa di dasar laut di lepas pantai Afrika barat daya, khususnya
Namibia, perolehan intan mencapai 200.000 karat per tahun, meskipun intan bukan hal umum
di lautan. Para peneliti juga sudah mensinyalir adanya timbunan 356 miliar ton mangan
dalam bentuk nodul di dasar samudra Pasifik. Jumlah tersebut setara dengan penggunaan
mangan di seluruh dunia selama 400.000 tahun. Tentu saja, kemampuan eksplorasi dan
pemahaman tentang beragam potensi ini hanya bisa didalami lebih lanjut apabila ada
perspektif dan keseriusan mengelola sumber daya kelautan. 

Pariwisata Bahari

Negara bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu
menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS dari sektor pariwisata pada tahun 2002. Sementara
negara kepulauan Seychelles yang amat kecil di Madagaskar berhasil mendapatkan 70 persen
pendapatan nasionalnya dari wisata bahari, dan menyokong GDP per kapita (pada 2000)
sebesar 7.700 dolar AS yang jumlahnya berlipat dari Indonesia.

Hal ini menimbulkan keirian, mengapa Indonesia yang memilki garis pantai 81.000 km tidak
bisa mengembangkan pariwisata bahari, walau minimal nilainya mendekati apa yang
diperoleh negara bagian Queensland tersebut. 

Berdasarkan perhitungan PKSPL IPB, peningkatan kontribusi pariwisata bahari terhadap


PDB nasional pada 2005 mencapai 1,46 persen. Angka ini sebenarnya bisa meningkat
signifikan.  Berdasarkan kajian ini juga, diperoleh proyeksi bahwa pada 2007 hingga 2010
seharusnya kontribusi pariwisata sektor maritim dapat meningkat hingga 0,1 persen setiap
tahun. 

Asumsi utama yang digunakan adalah sumber daya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah
nusantara.  Bila upaya pengembangan pulau-pulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya
dapat mendorong pertumbuhan wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.

Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan, nilai ekonomi satu pulau kecil di Indonesia
bila dikembangkan nilainya bisa mencapai 52.809,37 dolar AS perhektar.  Sehingga sangat
beralasan bila pemerintah dituntut serius mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai specific
marine tourism di Indonesia.

Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan


memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia.
Apalagi Indonesia memiliki kekayaan alam dan panorama pantainya yang indah dengan
gelombang pantai yang menantang dibeberapa tempat serta keragaman flora dan fauna seperti
terumbu karang dengan berbagai jenis ikan hias.

Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang diperkirakan
sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam
pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah
yang begitu menakjubkan.

Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila
dijadikan sebagai sumber perekonomian wisata bahari. Namun potensi wisata bahari
Indonesia yang sangat besar, keanekaragaman hayati, kekayaan alam, dan keindahannya
terhampar luas. Sayang, aset berharga bumi khatulistiwa ini belum terjamah seluruhnya.
Banyak potensi alam surgawi yang terbengkalai.

Hamparan pantai beralaskan pasir putih terbentang sepanjang mata memandang. Langit cerah
bertemu birunya samudra hingga ke ujung cakrawala. Pohon nyiur melambai-lambai,
mengikuti irama angin. Suasana surgawi ini bukanlah fantasi di siang bolong, melainkan
gambaran nyata keindahan maritim Nusantara.

Indonesia yang memiliki luas laut 75.000 km persegi, dengan panjang garis pantai 81.000 km
persegi, ditaburi lebih dari 17.500 pulau, di dalamnya terdapat 950 spesies terumbu karang,
8.500 spesies ikan tropis, 555 spesies rumput laut, dan 18 spesies padang lamun. Namun,
semua itu belum termanfaatkan.

Melihat potensi ini, wisata laut Indonesia bisa dikembangkan lebih luas, antara lain wisata
bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism),
wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olahraga (sport tourism).
Jika dimanfaatkan secara maksimal, sumber dana bagi devisa negara akan mengucur.
Diperkirakan 25-30 persen devisa pariwisata sebesar 6,3 miliar dolar AS bersumber dari
wisata bahari (Data BPS dan Gahawisri 2009). Dalam 10 tahun ke depan kontribusinya
diprediksi akan meningkat hingga 50 persen.

Asosiasi Biro Perjalanan Wisata mencatat tren wisata akhir tahun secara nasional masih
didominasi berbagai destinasi di Indonesia Barat, dengan jumlah sekitar 80 juta pengunjung.
Sementara destinasi ke wilayah Indonesia Timur diperkirakan hanya 3-4 persen. Kondisi
tersebut tidak lepas dari kurangnya promosi wisata di Indonesia timur yang kaya potensi
wisata maritim. Selain itu, ada permasalahan minimnya infrastruktur, khususnya transportasi,
yang membuat akses terhadap obyek wisata sulit dan mahal.

Sebagai gambaran, biaya transportasi Jakarta-Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan pesawat


pergi pulang Rp 4 juta-Rp 5 juta per orang dengan transit di Makassar. Baru ada dua
maskapai penerbangan yang melayani rute Makassar-Wakatobi. Begitu juga ke kawasan
wisata Derawan. Dibutuhkan biaya Rp 4 juta per orang untuk transportasi dua kali naik
pesawat ke Balikpapan dan Berau, kemudian disambung dengan kapal cepat. Biaya itu belum
termasuk penyewaan alat selam dan penginapan. Promosi juga menjadi kendala utama di
Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Minimnya promosi membuat
daerah wisata ini kurang bergaung di level nasional. Kepulauan ini terdiri atas pulau utama
Derawan, Kakaban, Sangalaki, dan Maratua. Di sana wisatawan dapat menyaksikan penyu
hijau (chelonia mydas), ikan pari (manta ray) di Sangalaki, dan sensasi ubur-ubur tanpa
sengat di Kakaban.

Sementara keindahan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang sebagian besar


wilayahnya berstatus taman nasional itu merupakan akronim dari empat pulau utama yang
membentuknya, yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Namun, keindahan
pemandangan ”permukaan” tersebut baru sebagian dari harta karun keindahan yang dimiliki
Wakatobi. Keistimewaan sesungguhnya terletak di bawah laut yang menyandang julukan
sebagai jantung segi tiga karang dunia.

Dari data Kementerian Kehutanan, Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang dengan
keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 kilometer. Lebih dari 112 jenis karang
dari 13 famili hidup di areal seluas 90.000 hektar perairan Wakatobi. Itu menjadi surga bagi
pencinta kehidupan bawah laut. Setidaknya terdapat 100 tempat lokasi menyelam (diving)
kelas diamond yang tersebar di hampir seluruh bagian kepulauan. Snorkeling pun bisa
dilakukan dengan mudah di pantai-pantai terdekat.

Perairan Wakatobi juga dipenuhi setidaknya 93 spesies ikan hias. Atraksi lumba-lumba di
alam bebas bisa dinikmati sepanjang tahun. Pada Agustus-September, migrasi paus dari
Australia yang melintasi Wakatobi menjadi pemandangan yang takkan terlupakan. 

12 Kawasan Wisata Bahari Indonesia

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) baru mempetakan 12 kawasan


kepulauan di seluruh wilayah Indonesia sebagai destinasi bahari unggulan, termasuk
kepulauan Wakatobi dan Derawan. Keduabelas pulau ini masuk dalam rencana pengem-
bangan induk (blueprint) wisata bahari pemerintah.

Kepulauan Padaido, Biak, Papua


Kawasan wisata bahari ini sangat ideal untuk kegiatan diving, wisata cruise. Program
pengembangan wisata bahari di kepulauan Padaido, antara lain diversifikasi kegiataan
nelayan dengan pengembangan wisata memancing menggunakan perahu tradisional nelayan,
paket wisata selam di daerah kapal tenggelam, serta pengembangan cruise regional dengan
menggunakan kapal pinisi dan sea plane untuk menjangkau pulau-pulau kecil.

Kepulauan Selayar, Takabone Rate, Sulawesi Selatan 


Kawasan wisata bahari ini sangat cocok untuk diving, snorkeling, berlayar, dan memancing.
Program pengembangan wisata bahari di Kepulauan Selayar adalah sebagai hub wisata cruise
internasional, regional, dan cruise kapal tradisional seperti pinisi Nusantara.

Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Utara 


Kawasan wisata bahari di Pulau Nias sangat ideal untuk selancar dengan pengembangannya
ekowisata berbasis komunitas serta olahraga selancar. Program pengembangan di kawasan ini
lebih fokus pada penganekaragaman daya tarik wisata dengan menampilkan budaya daerah. 

Kepulauan Raja Ampat, Papua barat


Kawasan wisata bahari di kepulauan ini sangat ideal untuk kegiatan menyelam. Pengem-
bangan kawasan wisata bahari di Kepulauan Raja Ampat dengan pola partnership MNC
(Multi National Companies) yang melibatkan pelaku industri wisata bahari, pemerintahan
daerah dan masyarakat setempat.

Kepulauan Ujung Kulon dan Anak krakatau, Banten 


Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan cuise regional dengan tema
pengebangannya ekowisata berbasis konservasi. Program pengembangan di Kepulauan
Ujung Kulon, antara lain perencanaan tata ruang yang jelas antara konservasi dengan areal
pengembangan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Menyediakan fasilitas transportasi
menuju obyek wisata dengan kegiatan kapal pinisi dan sea plane untuk menampung
wisatawan domestik dari jakarta.

Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur 


Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan diving dan wisata cruise. Program pengem-
bangan di Pulau Komodo adalah wisata cruise regional dengan fasilitas marina dan yacht.
Untuk menjangkau pulau-pulau kecil di sekitarnya perlu disediakan kapal pinisi dan sea
plane. 

Teluk Tomini, Kepulauan Tongean, Sulawesi Tengah


Kepulauan ini ideal untuk kegiatan menyelam dan snorkeling. Program pengembangan di
Teluk Tomini, antara lain penyediaan fasilitas marina, yacht, kapal pinisi dan sea plane
dengan kemitraan masyarakat dengan pelaku usaha pariwisata. 

Kepulauan Bali dan Lombok


Wisata bahari di dua kepulauan ini ideal untuk kegiatan menyelam, selancar, cruise regional,
dan internasional. Program pengembangan pariwisata bahari di kawasan ini, antara lain
dibangun kemitraan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan kalangan industri wisata
bahari. Menyediakan fasilitas pelabuhan, akomodasi, dan pertunjukan budaya.

Balerang, Kepulauan Riau 


Kawasan ini sangat ideal untuk kegiatan cruise, yacht dan marina serta selancar. Program
pengembangan wisata bahari di Balerang, yaitu pelabuhan wisata bahari yang menunjang
limpahan wisatawan dari Singapura menuju daerah tujuan wisata kepulauan Riau.
Pengembangan wisata cruise regional sangat ideal karena letaknya pulau ini strategis di selat
malaka dan dekat dengan Singapura.

Kepulauan Seribu, Jakarta 


Wisata bahari yang sangat ideal untuk di kepulauan Seribu adalah selancar, cruise regional,
memancing, dan olahraga bahari. Untuk itu program pengembangan di kawasan ini antara
lain perencanaan tata ruang yang sangat jelas antara area konservasi dan pengembangan yang
disertai taman nasional. Serta pengembangan untuk fasilitas air adalah marina, yacht, kapal
pinisi dan sea plane untuk kegiatan olah raga air. Seluruh kekayaan alam ini, merupakan
sebagian kecil dari berjuta potensi wisata laut di Indonesia. Jika tidak mendapat perhatian dan
dikelola dengan baik, kekayaan alam yang berlimpah ini hanya akan sia-sia.

Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara


Kawasan wisata bahari ini ideal untuk kegiatan menyelam dan cruise regional. Program
pengembangan wisata bahari di Kepulauan Wakatobi , antara lain cruise international dan
regional dengan pengembangan pelabuhan Makassar sebagai hub, serta konservasi kekayaan
laut dengan pemberlakuan sertifikat penyelam dan penegakan hukum.

Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur


Kawasan wisata bahari Derawan ideal untuk kegiatan menyelam dan konservasi penyu.
Program pengembangan wisata bahari di kepulauan ini selain konservasi habitat penyu
sebagai daya tarik wisata, juga untuk konservasi pengembangan budaya di Pulau Kakaban
dan Sangalaki dengan pola partnership MNC (Multi National Companies) memanfaatkan
tenaga lokal.
Diposting 11th September 2012 oleh Dani Dahwilani
 

Tambahkan komentar

Menatap Alam Indonesia

Magazine






 Beranda

NOV
10

Mengenal Kuliner Khas Bali di Jelajah Gizi


MASAKAN Bali dikenal sebagai salah satu kuliner paling beragam di dunia. Variasi dari
bumbu dan rempah-rempah dicampur dengan sayuran, daging, serta ikan, sungguh
menggoda.

Penggunaan variasi bahan dasar pada makanan khas Bali didasarkan pada prinsip
keseimbangan dan tradisi menggunakan makanan sebagai salah satu sarana dalam
melaksanakan upacara adat atau keagamaan (sesajen).

Lawar adalah salah satu contoh masakan khas Bali yang memadukan penggunaan bahan
dasar aneka sayuran, daging cincang, kelapa dan berbagai bumbu alami. Aneka sayuran yang
digunakan adalah buah nangka muda, dan atau buah pepaya muda.

Kemudian ada berbagai jenis daun seperti daun belimbing, daun jarak, serta kacang-
kacangan, seperti kacang panjang, kacang merah dan lainnya.

NOV
4

Posisi Geostrategis, Geopolitik, dan Geoekonomi Indonesia


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi geografis yang unik
dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis Indonesia berada di antara dua
samudera dan dua benua, sekaligus jalur utama perdagangan internasional. 

Indonesia juga berbatasan langsung dengan 10 negara di kawasan Asia Pasifik, baik di laut
maupun darat.

SEP
11

SURGA DI ATAS NERAKA


PANORAMA laut Indonesia yang sangat indah, namun bumi khatulistiwa ini ternyata
menyimpan potensi bencana alam yang sangat besar. Wilayah nusantara dihimpit lempengan,
serta dikelilingi Ring of Fire, ratusan gunung berapi. Melihat kesuburan dan ketentraman ibu
pertiwi, sulit rasanya menerima kenyataan bahwa wilayah yang kaya sumber daya alam ini,
bak “surga dunia di atas tungku neraka”. Ledakan gunung berapi, gempa bumi dan tsunami
mengancam.

SEP
11

STRATEGI MARITIM INDONESIA


SEBAGAI Negara Kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah 5,8 juta km persegi dan
panjang garis pantai 81.000 km persegi, sudah sepatutnya Indonesia memiliki  strategi
maritim yang baik. Hal tersebut mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan
dan pertahanan. Jika dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan
jarak antara Irak hingga Inggris (Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara-Selatan).
2
SEP
11

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


KEKAYAAN laut yang berlimpah dapat memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat
Indonesia. Namun, kenyataannya negara kepulauan terbesar di dunia ini tidak mampu me-
ngelola sumber penghidupan yang terhampar luas di bumi khatulistiwa. Kurangnya
kepedulian pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap pengembangan pengetahuan,
teknologi, dan riset atas potensi kekayaan laut Indonesia, diduga kuat menjadi pangkal
“kebodohan” bangsa ini.
 

SEP
11

EKOSISTEM LAUT
EKOSISTEM LAUT INDONESIA

SEBAGAI Negara Bahari yang memiliki wilayah laut yang luas dan dengan ribuan pulau
besar dan kecil yang tersebar didalamnya, maka derajat keberhasilan bangsa Indonesia juga
ditentukan dalam memanfaatkan dan mengelola wilayah laut yang luas tersebut.

Keunikan dan keindahan serta keanekaragaman kehidupan bawah laut dari kepulauan
Indonesia yang membentang luas di cakrawala khatulistiwa masih banyak menyimpan misteri
dan tantangan terhadap potensinya.
 

SEP
11

KEBIJAKAN & POLITIK MARITIM


SEJAK zaman kerajaan-kerajaan jauh sebelum Indonesia merdeka, semangat maritim sudah
menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan beberapa kerajaan zaman itu mampu
menguasai lautan dengan armada perang dan dagang yang besar. Namun, semangat maritim
tersebut menjadi luntur tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Pola hidup dan orientasi bangsa “dibelokkan” dari orientasi maritime ke orientasi
agraris (darat).
 

SEP
11

SISTEM TRANSPORTASI LAUT

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah geografis terdiri dari 17.504
pulau, Indonesia sangat membutuhkan sistem transportasi laut yang berpihak pada ke-
pentingan ekonomi maritim. Atas tantangan dan potensi laut yang demikian besar, sudah
sepatutnya pembangunan di sektor maritim menjadi prioritas utama dalam pembangunan
nasional.
 

SEP
11

POTENSI PEREKONOMIAN MARITIM INDONESIA


INDONESIA sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan
potensi ekonomi maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber
kekayaan laut menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia
bagaikan negara raksasa yang masih tidur.

Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negara-negara
ekonomi maju. Posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai
jalur ekonomi.
 

SEP
11

SOSIAL BUDAYA MARITIM INDONESIA

SEJARAH mencatat bahwa kebesaran bangsa Indonesia dibangun karena kekuatan maritim.
Sebut saja kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, mereka bisa menguasai kawasan Asia Teng-
gara. Fakta itu, hingga kini tidak terbantahkan. Keliru jika bangsa ini tidak belajar dari
sejarah untuk kembali menjadi bangsa yang besar dan disegani.

Bukti kebesaran bangsa Indonesia sebagai negara maritim yang kuat diungkapkan ahli
sejarah dari Universitas Indonesia, Ali Akbar.
1













Memuat
Dani M. Dahwilani. Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai