Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH VALUASI EKONOMI PERIKANAN

“Pembangunan Berkelanjutan Kemaritiman”

Disusun oleh:

Iis Minawati 26010116130090

DEPARTEMEN SUMBERDAYA AKUATIK

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2018
I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemaritiman adalah peradaban dunia karena kepentingan negara-negara di

dunia akan sangat ditentukan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan laut untuk

kemakmuran maupun keberlanjutan bangsa-bangsa di dunia. Demikian pula

Indonesia yang 70 % wilayahnya berupa laut dan lautan perlu meletakkan arah

pembangunan sebagai Negara Maritim. Nenek moyang bangsa Indonesia pernah

mencapai abad keemasan sebagai negara maritim pada saat Kerajaan Mataram dan

Sriwijaya serta kerajaan lainnya di Nusantara yang “menguasai laut” dari berbagai

belahan bumi sehingga mendapatkan kemakmuran bagi rakyatnya dari laut melalui

aktivitas ekonomi maupun perdagangan global dengan memanfaatkan laut. Zaman

kejayaan maritim tersebut pudar pada masa penjajahan dan berimbas sampai sekarang

orientasi pembangunan kurang mengintegrasikan pembangunan darat dan laut

sebagai sebuah kekuatan pembangunan yang mensejahterakan bangsa Indonesia.

Menurut Kadar (2015), secara geografis, Indonesia terletak di antara dua benua dan

dua samudera, dan memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar. Sebagai negara

kepulauan, harusnya Indonesia juga disebut sebagai negara maritim. Namun

sayangnya, julukan Indonesia sebagai negara maritim dipandang belum tepat. Alasan

mendasar mengenai hal ini dikarenakan paradigma pembangunan di Indonesia selama

beberapa dekade ini bias daratan. Akibatnya ketimpangan pembangunan antara

daratan dan lautan begitu terlihat


Upaya dalam pembangunan kemaritiman tidak dapat dilepaskan dari

perkembangan lingkungan strategis yang mencakup lingkungan perekonomian

penunjangnya baik dalam skala regional, nasional, bahkan di tingkat global. Fokus

pemerintahan saat ini yang ingin membangun sektor kemaritiman membutuhkan

analisa dinamika lingkungan strategis yang memadai. Hal ini penting karena jika

pembangunan kemaritiman tidak dipetakan secara baik berdasarkan posisinya di

lingkungan yang dihadapi maka pembangunan tersebut akan semu dan salah arah.

Oleh karena itu, perlu diwujudkan melalui pembangunan kemaritiman yang berbasis

pada peningkatan investasi. Menurut Kadarisman (2017), upaya pembangunan

kemaritiman di Indonesia bukan hal yang mudah, permasalahan ini dikarenakan latar

belakang karakter maritim yang kian memudar. Dijelaskan bahwa persepsi tentang

kemaritiman masih berupa puzzle yang belum optimal tersusun secara benar
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan Kemaritiman

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan

masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari

generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan juga harus memerhatikan

pemanfaatan lingkungan, seperti lingkungan hidup maupun kelestarian

lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Pembangunan berkelanjutan

mengandung arti sudah tercapainya keadilan sosial dari generasi kegenerasi. Menurut

Runa (2012), pembangunan berkelanjutan mengandung arti bahwa dalam setiap gerak

pembangunan harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Pembangunan adalah

suatu proses jangka panjang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dari satu generasi kegenerasi, dalam kurun waktu yang tidak terbatas.

Wilayah maritim yaitu daerah pesisir dan pulau kecil harus memperoleh perhatian

yang besar dalam pelaksanaan SDGs (Sustainable Development Goals). Wilayah pesisir dan

pulau kecil selama ini dikenal dengan tingkat kesejahteraan yang sangat minim, rendahnya

layanan kesehatan dan pendidikan, serta kurangnya komitmen pemerintah dalam

pembangunan ekonomi. Menurut Purnomo (2017), Minimnya kajian yang intensif terhadap

komunitas masyarakat maritim menjadikan semakin termarginalnya dari program

pembangunan. Orientasi penelitian pada aspek kemasyarakatan maritim yang mampu

mengungkap data dan informasi objektif, menjadi kebutuhan penting sebagai landasan

pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Dalam melakukan pembangunan berkelanjutan wilayah maritim, perlu dilakukan

juga pengembangan wilayah sebagai dasar potensi agar pembangunan berkelanjutan maritim
terus berlanjut. Pengembangan wilayah merupakan upaya pembangunan suatu daerah dengan

memanfaatkan semua potensi sumberdaya yang ada secara optimal dengan menggerakkan

ekonomi dan fasilitas pelayanan serta perlindungan lingkungan guna tercapainya

kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya sinergis antara wilayah

pembangunan berkelanjutan dengan sektor yang dimana akan menimbulkan dampak positif

secara bersama yang menuju pada capaian kesejahteraan bagi semua wilayah dari berbagai

sektor. Menurut Purnomo (2017) Strategi pengembangan wilayah berdasarkan karakteristik

dan permasalahan wilayah pesisir dan pulau kecil dapat dikelompokkan kedalam tiga jenjang.

Penjenjangan ini memiliki arti penting sebagai upaya untuk memeratakan hasil pembangunan

di seluruh wilayah dalam kesatuan pengembangannya. Strategi tersebut meliputi

pengembangan wilayah secara mikro (desa / kecamatan), messo (antardesa / kecamatan), dan

makro (antar daerah / kawasan).

2.2. Potensi Indonesia di Bidang Kemaritiman

a. Sektor Perikanan

Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan (trend)

positif di mana pada tahun 2013 bernilai Rp 291.799.10 milyar dan

menyumbang sekitar 2,75% dari total PDB (BPS, 2014). Namun demikian,

jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen

perikanan lainnya seperti China (17 juta ton/tahun) dan Peru (10,7 juta

ton/tahun). Produksi perikanan ini hampir sama dengan negara-negara yang

luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia seperti Jepang (5 juta ton/tahun)

dan Chile (4,3 juta ton/tahun). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya

produksi adalah terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut serta

maraknya illegal fishing di Perairan laut Indonesia.


b. Sektor Wisata Bahari

Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang besar, selain potensi

yang didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan

fauna maupun kamajemukan budaya yang menarik wisatawan. Pembangunan

wisata bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik

wisata secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat

dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna

(biodiversity), seperti taman laut wisata alam (ecotourism), wisata budaya,

maupun wisata olah raga.

c. Sektor Transportasi Laut

Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi,

meskipun secara umum mengalami trend positif. Di beberapa pelabuhan

strategis telah mengalami peningkatan jumlah kunjungan kapal lebih dari

45%. Tidak hanya itu, penambahan jumlah gross ton kapal juga mengalami

peningkatan lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang

berlayar di perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan

melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat.

d. Sektor Industri Maritim

Industri maritim adalah salah satu sektor dalam bidang kelautan yang

dapat menjadi sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang

penerimaan devisa negara. Kegiatan ekonomi industri maritim ini diantaranya

adalah yang mencakup industri pengilangan minyak bumi serta industri yang
menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan laut, yaitu industri galangan

kapal, mesin kapal dan jasa perbaikannya (docking).

e. Sektor Pertambangan (Energi dan Sumberdaya Mineral)

Tedapat 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia,

sekitar 70% atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekunguan itu

10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian,

sedangkan 25 cekungan belum terjamah. Selain potensi tersebut berbagai

potensi mineral seperti timah, mangan, bauksit, bijih besi, fosfor dan energi

terbarukan yang tersedia di wilayah pesisir dan laut Indonesia namun belum

dimanfaatkan secara optimal.

f. Sektor Bangunan Kelautan

Sektor bangunan kelautan merupakan potensi ekonomi kelautan yang

diantaranya berasal dari kegiatan penyiapan lahan sampai konstruksi

bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal di wilayah pesisir dan

laut. Salah satu bangunan kelautan yang menjadi fokus utama adalah

bangunan pelabuhan. Pelabuhan adalah pusat aktivitas perekonomian barang

dan jasa (antar pulau, ekspor maupun ekspor), sehingga keberadaannya sangat

diperlukan dalam pembangunan kelautan.

2.3. Kerjasama Indonesia dengan FAO

Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan salah satu badan

pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdiri pada bulan Oktober 1945 di

Quebec, Kanada dan berkantor pusat di Roma. Tujuan utama didirikannya organisasi

dunia ini adalah untuk menjamin setiap orang dapat memperoleh kebutuhan pangan
sehingga menjamin bahwa FAO mampu mengurangi angka kekurangan gizi,

meningkatkan hasil pertanian, memperbaiki kehidupan masyarakat di pedesaan dll.

Indonesia secara resmi bergabung menjadi anggota FAO, yakni pada tanggal 28

November 1949 dan Kantor Perwakilan FAO di Jakarta dibuka sejak tahun 1979.

Indonesia secara resmi bergabung menjadi anggota FAO, yakni pada tanggal 28

November 1949 dan Kantor Perwakilan FAO di Jakarta dibuka sejak

tahun 1979. KKP Indonesia dan FAO telah melakukan MoU tentang Kolaborasi

Kelautan dan Perikanan yang meliputi beberapa poin utama diantaranya yaitu :

1. Pengelolaan perikanan yang bekelanjutan

Untuk mewujudkan sistem pengelolaan perikanan yang berkelanjutan

(Sustainable Fisheries Development), FAO dan Indonesia meresmikan program

Reduction of Environmental Impact from Tropical Shrimp Trawling through the

Introduction of By-catch Reduction Technologies and Change of Management

(REBYC-I) pada tahun 2002-2008. Dimana FAO memberikan pelatihan pemasangan

By-catch12 Reduction Devices (BRDs) pada trawl, termasuk Turtle Excluder Device

(TED) dan Juvenile and Trash fish Excluder Device (JTED) di Sorong, Merauke,

Ambon, Tual, Sibolga dan Tarakan. Kegiatan REBYC-I berkontribusi nyata terhadap

terlepasnya Indonesia dari embargo ekspor udang ke Amerika Serikat pada tahun

2005.

Kerjasama REBYC-I oleh Indonesia-FAO kemudian berlanjut menjadi

Strategies for trawl fisheries by-catch management (REBYC-II CTI) yang bertujuan

untuk: (1) mewujudkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan dan terjaganya

kesehatan ekosistem laut, (2) pengurangan by-catch, discards, dan dampak


operasional trawl di Arafura terhadap keanekaragaman hayati. Laut Arafura menjadi

target utama program ini karena laut Arafura merupakan perairan yang dikenal

memiliki potensi udang dan ikan demersal yang tinggi. Didukung oleh karakteristik

ekosistem seperti substrat dasar lumpur berpasir, mangrove yang luas dan kontur

perairan yang relatif landai. Sementara penggunaan trawl bisa menyebabkan

perubahan kondisi lingkungan atau habitat serta menurunnya potensi sumberdaya

ikan (overfishing).

Pemerintah Indonesia juga telah melakukan berbagai macam kebijakan yang

berhubungan dengan implementasi fisheries sustainable development di bidang

perikanan tangkap antara lain SK. Dirjen Perikanan Nomer 340 tahun 1997 berisi

tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan jenis trawl, pengaturan tentang jalur

penangkapan ikan, melalui SK. Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK. 120/4/99,

Keputusan Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002 menetapkan pedoman pelaksanaan

pengawasan penangkapan ikan, yaitu pelarangan penangkapan beberapa jenis sumber

daya ikan yang mengalami kondisi terancam punah seperti Trochus, beberapa jenis

penyu, kima, beberapa jenis arwana, ikan duyung dan spesies ikan dan biota air yang

dilindungi dan SK. Mentan No .375/Kpts/IK.250/5/1995 menyebutkan pelarangan

penangkapan ikan Napoleon Wrasse, kemudian melarang purse seine yang

menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inci pada bagian sayap dan kurang

dari 1 inci pada bagian kantong, Penetapa potensi sumber daya ikan dan jumlah

tangkapan yang diperbolehkan, dan pengaturan pemasangan rumpon.

2. Peningkatan kapasitas termasuk pengembangan pendidikan, pelatihan bagi

masyarakat nelayan
Untuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di daerah pesisir

pantai, Indonesia-FAO bekerjasama dalam program Regional Fisheries Livelihoods

Programmefor South and Southeast Asia. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Nusa

Tenggara, khususnya Kupang, Alor dan Rotendao. Kegiatannya meliputi

pengembangan alternatif mata pencaharian nelayan pada saat musim paceklik ikan,

manajemen pengelolaan sumber daya, keselamatan melaut, pengolahan hasil laut

pasca panen dan pemasaran serta manajemen.

3. Riset dan Pertukaran Para Ahli, Ilmuwan di Bidang Kelautan dan Perikanan

Kerjasama Indonesia-FAO di bidang riset dan pertukaran para ahli

diimplementasikan dalam The Second International Indian Ocean Expedition (IIOE-

2) yang diselenggarakan oleh FAO menggunakan kapal Dr. Fridjof Nansen milik

Norwegia. FAO mengirimkan 2 kapal riset dan mengutus tiga orang peneliti asal

Indonesia dari 16 peneliti yang berasal dari 12 negara yaitu Norwegia, Indonesia,

Malaga, Spanyol, Belanda, Kenya, Afrika Selatan, Perancis, India, Australia,

Tanzania dan Seychelles untuk memulai ekspedisi Samudera Hindia yang dimulai

dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tujuan utama dari ekspedisi ini adalah untuk

mengetahui seputar ketahanan pangan global, khususnya dibidang perikanan yang

diharapkan mampu membuka potensi managemen perikanan yang berkelanjutan.

Dengan manajemen perikananan yang baik, maka dapat membuka potensi sektor

ketahanan pangan yang baru. Kegiatan ini juga digunakan untuk mencari informasi

mengenai Samudera Hindia. Kegiatan ini sangat membantu para nelayan, karena akan

mampu memprediksi El-Nino dan Al-Nina, karena El-Nino dan Al-Nina ini sangat

mempengaruhi jumlah penangkapan ikan.


4. Pencegahan, Penanggulangan dan Pemberantasan Perikanan yang Tidak Sah,

Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (IUU Fishing)

Praktek Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing tidak hanya

mengancam sumber daya perikanan, tapi juga kelestarian lingkungan laut. kondisi ini

mendorong negara negara yang tergabung didalam FAO untuk merumuskan acuan

tentang pengelolaan dan pembangunan perikanan yang ramah lingkungan,

bertanggung jawab dan berkelanjutan. Diantaranya adalah melalui The Code of

Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang telah disepakati pada tahun 1995.

Negara-negara anggota FAO merumuskan dan menyepakati aksi internasional untuk

memerangi IUU Fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action to

Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing). IPOA-IUU Fishing

merupakan rencana aksi global dalam rangka mencegah kerusakan sumber daya

perikanan dan membangun kembali sumber daya perikanan yang telah atau hampir

punah, sehingga kebutuhan pangan yang bersumber dari perikanan bagi generasi saat

ini dan yang akan datang tetap dapat terjamin ketersediaannya.

Pemerintah Indonesia menindaklanjuti IPOA-IUU Fishing dengan mengeluarkan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/50/MEN/2012 pada tanggal

27 Desember 2012 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan

IUU Fishing tahun 2012-2016. Beberapa hal yang tertuang dalam Kepmen tersebut

antara lain dirumuskan tentang upaya pencegahan IUU Fishing di Indonesia

dilakukan dengan pengendalian pengelolaan penangkapan ikan melalui mekanisme

perizinan, pengawasan perikanan dan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum.

Kegiatan tersebut dilakukan melalui kerja sama dan koordinasi antar instansi
pemerintah yang mempunyai kewenangan di laut, yaitu Kementerian Kelautan dan

Perikanan, Kementerian Perhubungan, TNI-AL, dan Polisi Perairan.


III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Kadar, A. 2015.PengelolaanKemaritimanMenuju Indonesia sebagai Poros Maritim


Dunia.Jurnal Keamanan Nasional. 1(3) : 428-442.

Kadarisman, M. 2017. KEBIJAKAN Keselamatan dan Keamanan Maritim dalam


Menunjang Sistem Transportasi Laut. 4(2) : 117-192

Purnomo N. H. 2017. Pembangunan Wilayah Maritim untuk Sustainable


Development Goals (SDGs). 1(1): 204-211

Runa, I. W. 2012. Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana


Untuk Kegiatan Ekowisata. Jurnal Kajian Bali. 2(1):149-162

Anda mungkin juga menyukai