HIMATEKPAL 2013/2014
Pendahuluan
Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan
berbangsa dan bernegara yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita
bersyukur bahwa di tengah krisis ekonomi global sejak 2008, Indonesia termasuk
sedikit negara di dunia yang perekonomiannya tetap tumbuh positif. Tahun lalu
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4 persen, inflasi rendah dan
terkendali, cadangan devisa mencapai 119 miliar dolar AS (terbesar sepanjang
sejarah negeri ini), dan untuk pertama kalinya Indonesia dinilai oleh lembaga
pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011) sebagai negara yang layak investasi
(investment grade). Disamping itu lembaga kajian Mc Kinsey Global Institute
pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menempati
posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris pada 2030.
Namun di balik gemilangnya prestasi makroekonomi itu, kehidupan keseharian
mayoritas rakyat Indonesia masih didera oleh beragam penderitaan fisik maupun
kejiwaan. Dengan garis kemiskinan Rp 234.000/orang/bulan, BPS mencatat
banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada September
2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 % dari total penduduk (BPS, 2012).
Dan, jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, yakni 2 dolar
AS/orang/hari (sekitar Rp 540.000/orang/bulan), maka jumlah penduduk miskin
Indonesia mencapai 117 juta orang. Artinya hampir separuh rakyat Indonesia
masih hidup bergelimang kemiskinan. Dalam pada itu, jumlah pengangguran
terbuka dan pengangguran terselubung pun masih begitu besar, yakni sekitar
7,24 juta (Agustus 2012) dan 34 juta orang. Selain itu, Indonesia juga merupakan
salah satu negara penghutang terbesar di dunia (213,5 miliar dolar AS, The
World Bank 2012 dalam suara merdeka, 27/12/2012)
Muara (resultante) dari segenap permasalahan sosial-ekonomi riil diatas adalah
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia
yang hanya menempati urutan-124 dari 187 negara yang disurvei (UNDP, 2011).
Namun, hingga tahun 2011 kita baru memanfaatkan potensi budidaya laut ini
sebesar 4,6 juta ton (10,95%). Lahan pesisir yang sesuai untuk usaha budidaya
tambak udang, bandeng, kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota
perairan lainnya diperkirakan lebih dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi
sekitar 10 juta ton/tahun (KKP, 2012). Secara potensial, nilai ekonomi total dari
produk perikanan dan produk bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan
sekitar 82 milyar US$ per tahun.
Sementara itu, hampir 70% produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari
kawasan pesisir dan laut. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki
60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan
tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 berada di pesisir dan hanya 6
saja yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan
mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel
cadangan potensial dan 5,8 miliar barel berupa cadangan terbukti. Selain itu
diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari
cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki
kubik. Tentu untuk depat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi migas di
pesisir dan lepas pantai ini kita membutuhkan teknologi di bidang kemaritiman,
seperti bangunan lepas pantai, drillship, pipe laying vessel, FSO, FPSO, FLNG,
dan teknologi lainnya. Indonesia harus mandiri untuk dapat memanfaatkan
potensi migas negaranya sendiri, tidak seperti kondisi yang sekarang terjadi,
yaikni begitu besarnya penguasaan perusahaan asing pada sumber daya alam
Indonesia.
Potensi ekonomi bisnis jasa perhubungan laut diperkirakan sekitar 14 milyar US$
per tahun. Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita
mengeluarkan devisa sekitar 14 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran
asing yang selama ini mengangkut 97% dari total barang yang diekspor dan
diimpor ke Indonesia dan yang mengangkut barang yang dikapalkan antar pulau
di wilayah Indonesia. Potensi ekonomi ini akan menjadi lebih bermakna dan
bernilai strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi
dunia sejak akhir abad-20 yang telah bergeser dari Poros Atlantik ke Poros AsiaPasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negaranegara di Asia-Pasifik. Lebih dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkan
ditransportasikan melalui laut dengan nilai sekitar 1.300 trilyun US$ setiap
tahunnya.
Segenap potensi ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia, tidak hanya mampu
mengeluarkan bangsa ini dari persoalan kemiskinan dan pengangguran, tetapi
juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil-makmur,
dan bermartabat. Kinerja sektor-sektor ekonomi kelautan seperti yang diuraikan
di atas hanya mungkin terwujud, apabila kebijakan politik-ekonomi (seperti
fiskal-moneter, hukum, keamanan, otonomi daerah, infrastruktur, dan
ketenagakerjaan) bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.
lebih modern dengan kecepatan yang diinginkan. Langkah ini tidak akan
menelan dana hingga 200 triliun rupiah seperti JSS dan sudah dapat diselesaikan
beberapa tahun yang lalu. Namun, kembali lagi pemerintah seakan menjadikan
pembangunan JSS sebagai satu-satunya opsi yang ada. Hal ini menjadi
pertanyaan besar karena tentu masyarakat tidak lupa dengan berita-berita
korupsi yang banyak disiarkan di TV dan media lainnya.
Meninjau manfaat pengembangan KSN untuk menciptakan kesempatan kerja
dari sisi perkapalan, sangat banyak tenaga kerja yang dapat diserap dengan
memajukan industri perkapalan nasional. Untuk membangun kapal, dibutuhkan
banyak industri pendukung seperti industri baja, industri mesin, industri pompa,
industri generator, dan industri komponen lainnya. Galangan sebagai tempat
pembuatan kapal sendiri sangat banyak menyerap tenaga kerja mulai dari
arsitek kapal, buruh, shipbuilding engineer, inspector, owner surveyor, class
surveyor, dll.. Dalam pengoperasiannya, kapal membutuhkan ABK, karyawan
perusahaan pelayaran sebagai operator, dan pihak perhubungan laut sebagai
regulator. Kesimpulannya, dalam pembuatan dan pengoperasian kapal sangat
banyak tenaga kerja yang terserap.
Mengingat Inisiatif Strategis MP3EI yang pertama, yaitu mendorong realisasi
investasi skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama, seharusnya pemerintah
mensinergikan pengembangan KSN Selat Sunda dengan industri perkapalan
nasional karena keduanya termasuk dalam kegiatan ekonomi utama. Perikanan
yang juga termasuk dalam kegiatan ekonomi utama juga dapat maju seiring
dengan pengembangan industri perkapalan nasional.
Sesuai dengan visi Indonesia 2025 dalam kerangka desain MP3EI yaitu,
Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur,
Indonesia harus mandiri untuk mengeksploitasi migas lepas pantainya sendiri.
Hal ini amat mendesak sebelum semua migas lepas pantai yang seharusnya
menjadi sumber pemasukan negara yang besar habis dibagi dengan pihak asing.
Salah satu caranya adalah dengan pengembangan industri perkapalan nasional
agar dapat mebuat kapal seperti drillship, pipe laying vessel, FSO, FPSO, FLNG,
dan kapal lainnya secara mandiri. Kemajuan teknologi tersebut diharapkan dapat
menunjang tercapainya Indonesia yang makmur. Pemerintah harus adil dalam
memisahkan ranah kerja Teknik Sipil dan Teknik Perkapalan. Cukuplah jalan tol
Trans-Sumatera sepanjang 2700 km dan rencana jalan tol di pulau lainnya
sebagai ranah kerja insinyur sipil dan membiarkan insinyur perkapalan
melakukan tugasnya dalam menghubungkan pulau-pulau tersebut.
Kapal sebagai Jembatan Pengganti Jembatan Selat Sunda
JSS sebagai teknologi yang melawan kondisi alamiah Selat Sunda akan harus
dibayar dengan mahal yang kemungkinan besar tidak akan pernah terpikul oleh
kapasitas fiskal nasional kita dalam waktu 10 tahun lebih ke depan. Perkiraan
biaya pembangunan JSS yang diumumkan saat ini adalah 200 triliun rupiah.
Berdasarkan pengalaman Jembatan Suramadu dengan panjang hanya 5 km dan
bentang terpanjang sekitar 500 m, biayanya membengkak menjadi 5 triliun dan
waktu pembangunannya molor 1 tahun lebih dengan soft loan dari Cina untuk
bentang tengahnya. Dari pengalaman Jembatan Suramadu ini, biaya JSS dengan
panjang 30 km dapat mencapai 200 triliun rupiah atau lebih karena harus lebih
lebar (6 lajur), lebih tebal (untuk mengakomodasi track kereta api dan bentang
yang jauh lebih panjang), dan pylon (menara) penyangganya yang lebih tinggi,
dan lebih dalam di lingkungan yang secara tektonik dan vulkanik amat aktif.
Hubungan antara panjang, bentang jembatan, dan harga pembangunannya jelas
bukan linier sederhana, namun paling tidak kuadratik, atau bahkan kubik.
Segmen JSS yang terpanjang akan menuntut bentang suspension bridge yang
terlalu panjang (sekitar 3500 m) bagi teknologi jembatan yang kita kenal secara
global saat ini. Salah satu jembatan terpanjang saat ini adalah Jembatan AkashiKaikyo di Jepang yang menghubungkan Kobe di Pulau Honshu dan Pulau Awaji.
Panjang bentangnya 1991 m, panjang total 3911 m, clearance 66 m, dan
dibangun selama 12 tahun (1986-1998). Sekarang jembatan ini menampung
traffic 23000 mobil/hari dengan tariff toll mencapai Y 2300 (sekitar Rp. 250.000).
Jembatan ini tidak mengakomodasi kereta api.
Sementara itu, desain JSS harus mengakomodasi syarat-syarat Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI 1) sebagai sebuah kesepakatan internasional (United
Nation Convention on the Law of the Sea) yang telah kita ratifikasi. Karena
kontur sea-bed yang rumit dengan kedalaman yang bervariasi dari -40m hingga
-80m lebih, peluang terjadinya ground acceleration hingga 0,3 g akibat gempa
tektonik, serta ancaman erupsi vulkanik Krakatau, maka rancangbangun dan
pembangunan JSS akan amat mahal bagi kemampuan fiskal nasional RI hingga
10-20 tahun ke depan. Sistem keuangan global yang belum stabil, serta harga
baja dan beton yang dapat dipastikan akan terus naik, akan meningkatkan
kerentanan pembiayaan JSS dari ancaman financial shocks selama masa
konstruksinya yang diperkirakan selama 10 tahun.
Dari analisis kualitatif dan konseptual di atas, dapat disajikan sebuah tabel
perbandingan atas berbagai solusi untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera sebagai berikut:
Kesimpulan
Penutup
dan
gantung yang mampu menahan dari tiupan angin kencang hingga kecepatan
maksimum 286 kilometer per jam.
Daftar Pustaka
http://smak1d.blogspot.com/2011/02/teknologi-delta-qualstonetdq.html
http://log.viva.co.id/news/read/82756jembatan_selat_sunda_gunakan_teknologi_tinggi
http://jurnalmaritim.com/read/articles/129/urgensi-ruu-kelautan-bagipertumbuhan-ekonomi-serta-kejayaan-dan-kemakmuranbangsa/#.Uj5eXT_cAod
Jembatan Selat Sunda dan Kepentingan Nasional Ir. Purba Robert Sianipar, MSCE,
MSEM, Ph.D.
UU no. 17 tahun 2008
http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-konsep-danteknomik.html