Anda di halaman 1dari 14

BIRO KAJIAN STRATEGIS

HIMATEKPAL 2013/2014

JEMBATAN SELAT SUNDA


(JSS)

Jembatan Selat Sunda, Pola Pikir Kedaratan yang


Memendam Potensi Kemaritiman Indonesia

Pendahuluan
Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan
berbangsa dan bernegara yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita
bersyukur bahwa di tengah krisis ekonomi global sejak 2008, Indonesia termasuk
sedikit negara di dunia yang perekonomiannya tetap tumbuh positif. Tahun lalu
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4 persen, inflasi rendah dan
terkendali, cadangan devisa mencapai 119 miliar dolar AS (terbesar sepanjang
sejarah negeri ini), dan untuk pertama kalinya Indonesia dinilai oleh lembaga
pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011) sebagai negara yang layak investasi
(investment grade). Disamping itu lembaga kajian Mc Kinsey Global Institute
pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menempati
posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris pada 2030.
Namun di balik gemilangnya prestasi makroekonomi itu, kehidupan keseharian
mayoritas rakyat Indonesia masih didera oleh beragam penderitaan fisik maupun
kejiwaan. Dengan garis kemiskinan Rp 234.000/orang/bulan, BPS mencatat
banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada September
2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 % dari total penduduk (BPS, 2012).
Dan, jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, yakni 2 dolar
AS/orang/hari (sekitar Rp 540.000/orang/bulan), maka jumlah penduduk miskin
Indonesia mencapai 117 juta orang. Artinya hampir separuh rakyat Indonesia
masih hidup bergelimang kemiskinan. Dalam pada itu, jumlah pengangguran
terbuka dan pengangguran terselubung pun masih begitu besar, yakni sekitar
7,24 juta (Agustus 2012) dan 34 juta orang. Selain itu, Indonesia juga merupakan
salah satu negara penghutang terbesar di dunia (213,5 miliar dolar AS, The
World Bank 2012 dalam suara merdeka, 27/12/2012)
Muara (resultante) dari segenap permasalahan sosial-ekonomi riil diatas adalah
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia
yang hanya menempati urutan-124 dari 187 negara yang disurvei (UNDP, 2011).

Sekedar perbandingan, negara-negara tetangga seperti Singapura bertengger


pada urutan-26, Malaysia-61, Thailand-103, dan Philipina-112. Sedangkan,
urutan-1 diraih Norwegia, AS-4, dan Korea Selatan-15.

Potensi Ekonomi Laut Indonesia


Indonesia
belum
mempunyai
visi
pembangunan yang tepat dan benar serta
dilaksanakan
secara
sistematis
dan
berkesinambungan.
Visi
pembangunan
Indonesia sejak zaman penjajahan hingga
sekarang sangat dominan berorientasi darat.
Padahal, Indonesia merupakan negara
maritim dengan 75% wilayahnya laut.
Akibatnya, ekonomi Indonesia menjadi
kurang efisien dan rendah daya saingnya.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 13.466
pulau besar dan kecil dengan luas laut 5,8 juta km termasuk ZEEI dan dikelilingi
oleh 95.181 km garis pantai memiliki posisi geoekonomi yang sangat strategis,
dimana 45% dari total barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia
dengan nilai 1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya dikapalkan melalui wilayah
laut Indonesia (UNCTAD, 2010). Selain akses kepada pasar global yang mudah
dan terbuka lebar bagi segenap produk dan jasa nasional kita, Indonesia juga
semestinya menjadi penentu dan penerima manfaat terbesar dari sektor
transportasi laut. Celakanya, sejak 1987 sampai sekarang, Indonesia terus
menghamburkan devisa rata-rata 18 miliar dolar AS per tahun untuk membayar
jasa armada kapal niaga pengangkut asing (INSA, 2011).
Industri-industri berbasis sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan
Indonesia dapat dibagi ke dalam sebelas sektor utama yaikni, perikanan
tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri
bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi,
perhubungan laut, industri dan jasa maritim, pulau-pulau kecil, sumberdaya nonkonvensional seperti deep sea water industries, hydrothermal vents, dan harta
karun di dasar laut.
Potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia tersebut
diperkirakan mencapai 1 triliun dolar AS (Rp 9.300 triliun) per tahun atau lebih
dari enam kali lipat APBN 2013. Kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan juga
sangat besar, yaikni sekitar 40 juta orang. Karenanya, bila kita mampu
mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif dan efisien, maka
masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan.
Potensi produksi lestari ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui
usaha perikanan tangkap sebesar 6,5 juta ton/tahun, sekitar 8% dari total
potensi produksi lestari ikan laut dunia (90 juta ton/ tahun). Kurang lebih 24 juta
ha perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut ikan kerapu,
kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya
yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi sekitar 42 juta ton/tahun.

Namun, hingga tahun 2011 kita baru memanfaatkan potensi budidaya laut ini
sebesar 4,6 juta ton (10,95%). Lahan pesisir yang sesuai untuk usaha budidaya
tambak udang, bandeng, kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota
perairan lainnya diperkirakan lebih dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi
sekitar 10 juta ton/tahun (KKP, 2012). Secara potensial, nilai ekonomi total dari
produk perikanan dan produk bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan
sekitar 82 milyar US$ per tahun.
Sementara itu, hampir 70% produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari
kawasan pesisir dan laut. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki
60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan
tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 berada di pesisir dan hanya 6
saja yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan
mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel
cadangan potensial dan 5,8 miliar barel berupa cadangan terbukti. Selain itu
diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari
cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki
kubik. Tentu untuk depat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi migas di
pesisir dan lepas pantai ini kita membutuhkan teknologi di bidang kemaritiman,
seperti bangunan lepas pantai, drillship, pipe laying vessel, FSO, FPSO, FLNG,
dan teknologi lainnya. Indonesia harus mandiri untuk dapat memanfaatkan
potensi migas negaranya sendiri, tidak seperti kondisi yang sekarang terjadi,
yaikni begitu besarnya penguasaan perusahaan asing pada sumber daya alam
Indonesia.
Potensi ekonomi bisnis jasa perhubungan laut diperkirakan sekitar 14 milyar US$
per tahun. Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita
mengeluarkan devisa sekitar 14 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran
asing yang selama ini mengangkut 97% dari total barang yang diekspor dan
diimpor ke Indonesia dan yang mengangkut barang yang dikapalkan antar pulau
di wilayah Indonesia. Potensi ekonomi ini akan menjadi lebih bermakna dan
bernilai strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi
dunia sejak akhir abad-20 yang telah bergeser dari Poros Atlantik ke Poros AsiaPasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negaranegara di Asia-Pasifik. Lebih dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkan
ditransportasikan melalui laut dengan nilai sekitar 1.300 trilyun US$ setiap
tahunnya.
Segenap potensi ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia, tidak hanya mampu
mengeluarkan bangsa ini dari persoalan kemiskinan dan pengangguran, tetapi
juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil-makmur,
dan bermartabat. Kinerja sektor-sektor ekonomi kelautan seperti yang diuraikan
di atas hanya mungkin terwujud, apabila kebijakan politik-ekonomi (seperti
fiskal-moneter, hukum, keamanan, otonomi daerah, infrastruktur, dan
ketenagakerjaan) bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.

Jembatan Selat Sunda dalam MP3EI

Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat


Sunda merupakan 1 dari 22 kegiatan
ekonomi utama yang ingin didorong
realisasi investasinya sesuai dengan
Inisiatif Strategis Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Manfaat yang ingin
dicapai dengan pengembangan KSN ini
adalah:
mengembangkan
kawasan
industri
baru,
mempercepat
perkembangan
pulau
Sumatera,
mengurangi sentralisasi ekonomi di
pulau
Jawa,
dan
menciptakan
kesempatan
kerja.
Dalam
rangka
pengembangan
KSN
tersebut,
pemerintah ingin menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera dengan Jembatan
Selat Sunda (JSS).
Meninjau pengembangan KSN untuk mengembangkan kawasan industri baru,
mempercepat perkembangan pulau Sumatera, dan mengurangi sentralisasi
ekonomi di pulau Jawa dengan pembangunan JSS, kami menganggap bahwa
solusi yang lebih tepat untuk mengintegrasikan pulau Jawa dan pulau Sumatera
adalah dengan menggunakan kapal. Alasan kami adalah karena teknologi kapal
adalah teknologi yang well learned dan well proven karena sudah banyak kapal
yang dibuat oleh galangan nasional. Ditambah insinyur-insinyur perkapalan yang
sudah berpengalaman puluhan tahun dalam mendesign dan membangun kapal
baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri seperti Rusia, Inggris, Kanada,
Amerika, Jepang, Taiwan, dll.. Transfer ilmu pengetahuan dengan negara luar
juga sangat mudah dilakukan mengingat kondisi perairan selevel Selat Sunda
sudah sangat dikuasai karena mereka biasa membangun kapal untuk berlayar di
perairan yang lebih ganas seperti North Atlantic dan lainnya.
Permasalahan yang terjadi adalah pemerintah seakan menjadikan pembangunan
JSS sebagai satu-satunya cara untuk menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera.
Pemerintah kurang melihat potensi galangan dan SDM kemaritiman nasional.
Padahal, sebagai negara maritim kita sejatinya
harus mengembangkan
teknologi kemaritiman untuk memanfaatkan sumber daya kelautan kita yang
melimpah.
Masalah kemacetan yang terjadi hingga di jalan tol menuju ke Pelabuhan Merak
sudah banyak kita lihat di TV sejak beberapa tahun yang lalu. Pemerintah seakan
menunda hingga sampailah pembangunan JSS sebagai satu-satunya opsi yang
ada. Berdasarkan pengamatan langsung saat mudik lebaran kemarin, jumlah
dermaga di pelabuhan Merak hanya 4 yang dapat digunakan. Ini tidak sebanding
dengan jumlah 12 kapal yang dapat berangkat bersamaan. Dengan kondisi
tersebut, kapal harus mengantri untuk berlabuh. Padahal, rencana pembenahan
138 pelabuhan di seluruh Indonesia untuk menyambut impor 2500 kapal oleh
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) yang akan dilakukan pemerintah
hanya menelan dana 5 triliun rupiah. Jumlah tersebut tentu lebih dari cukup
untuk pembenahan Pelabuhan Merak dan Bakauheni saja. Insinyur dan 250
galangan yang ada di Indonesia pun siap bila diminta untuk membuat kapal yang

lebih modern dengan kecepatan yang diinginkan. Langkah ini tidak akan
menelan dana hingga 200 triliun rupiah seperti JSS dan sudah dapat diselesaikan
beberapa tahun yang lalu. Namun, kembali lagi pemerintah seakan menjadikan
pembangunan JSS sebagai satu-satunya opsi yang ada. Hal ini menjadi
pertanyaan besar karena tentu masyarakat tidak lupa dengan berita-berita
korupsi yang banyak disiarkan di TV dan media lainnya.
Meninjau manfaat pengembangan KSN untuk menciptakan kesempatan kerja
dari sisi perkapalan, sangat banyak tenaga kerja yang dapat diserap dengan
memajukan industri perkapalan nasional. Untuk membangun kapal, dibutuhkan
banyak industri pendukung seperti industri baja, industri mesin, industri pompa,
industri generator, dan industri komponen lainnya. Galangan sebagai tempat
pembuatan kapal sendiri sangat banyak menyerap tenaga kerja mulai dari
arsitek kapal, buruh, shipbuilding engineer, inspector, owner surveyor, class
surveyor, dll.. Dalam pengoperasiannya, kapal membutuhkan ABK, karyawan
perusahaan pelayaran sebagai operator, dan pihak perhubungan laut sebagai
regulator. Kesimpulannya, dalam pembuatan dan pengoperasian kapal sangat
banyak tenaga kerja yang terserap.
Mengingat Inisiatif Strategis MP3EI yang pertama, yaitu mendorong realisasi
investasi skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama, seharusnya pemerintah
mensinergikan pengembangan KSN Selat Sunda dengan industri perkapalan
nasional karena keduanya termasuk dalam kegiatan ekonomi utama. Perikanan
yang juga termasuk dalam kegiatan ekonomi utama juga dapat maju seiring
dengan pengembangan industri perkapalan nasional.
Sesuai dengan visi Indonesia 2025 dalam kerangka desain MP3EI yaitu,
Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur,
Indonesia harus mandiri untuk mengeksploitasi migas lepas pantainya sendiri.
Hal ini amat mendesak sebelum semua migas lepas pantai yang seharusnya
menjadi sumber pemasukan negara yang besar habis dibagi dengan pihak asing.
Salah satu caranya adalah dengan pengembangan industri perkapalan nasional
agar dapat mebuat kapal seperti drillship, pipe laying vessel, FSO, FPSO, FLNG,
dan kapal lainnya secara mandiri. Kemajuan teknologi tersebut diharapkan dapat
menunjang tercapainya Indonesia yang makmur. Pemerintah harus adil dalam
memisahkan ranah kerja Teknik Sipil dan Teknik Perkapalan. Cukuplah jalan tol
Trans-Sumatera sepanjang 2700 km dan rencana jalan tol di pulau lainnya
sebagai ranah kerja insinyur sipil dan membiarkan insinyur perkapalan
melakukan tugasnya dalam menghubungkan pulau-pulau tersebut.
Kapal sebagai Jembatan Pengganti Jembatan Selat Sunda

Sesuai UU no. 17 tahun 2008 pasal 22 ayat 1, angkutan penyeberangan/ kapal


merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk
mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. Jadi, berdasarkan
UU ini sebenarnya Indonesia telah memiliki jembatan sebagai penghubung
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pemerintah seharusnya sekarang melakukan
peremajaan
dan pengembangan angkutan laut dalam negeri
dan
infrastrukturnya agar menjadi satu kesatuan sistem transportasi nasional yang
baik sesuai UU no. 17 tahun 2008 pasal 9 ayat 1.

Analisis Teknomik Jembatan


Selat Sunda
Satu
jembatan
yang
menghubungkan
dua
pulau, karena concavity
permanen yang terbentuk
oleh jembatan ini, hanya
akan
menguntungkan
kawasan
kaki-kaki
jembatan
saja.
Para
spekulan tanah dan tuan
tanah yang menguasai
kawasan kaki jembatan
akan paling diuntungkan.
Solusi ferry modern membentuk concavity yang lentur dan dinamik. Artinya,
sistem layanan penyeberangan (ferry ro-ro dan demaga) dan pelayaran yang
canggih dapat menghubungkan Jawa dan Sumatra di banyak lintasan sehingga
Sumatra secara menyeluruh akan memperoleh manfaat yang jauh lebih besar
daripada JSS yang akan menguntungkan Lampung dan Banten saja. Kondisi
jaringan Trans-Sumatra saat ini yang buruk juga akan mengurangi manfaat JSS
bagi integrasi pasar di Pulau Sumatra.
Bagi penumpang, kapal ferry ini adalah jembatan sekaligus mobil/ trucknya. Air
laut yang tersedia tanpa dibeli, mampu mendukung beban muatan yang
diangkut berapapun banyaknya dengan menggunakan kapal-kapal dengan
desain dan besar armada yang tepat. Air laut bersama sistem ferry modern yang
tepat akan menjadi jembatan penghubung yang very-cost effective dengan
investasi 10% JSS dan dapat disediakan dalam waktu 3-4 tahun saja.
JSS adalah highly constrained solution karena JSS merupakan kelanjutan
kebijakan transportasi yang keliru saat ini dengan berat moda-jalan (mobil,
sepeda motor, truck, dan bus) individual/ privat yang tidak efisien, polutif, dan
meningkatkan ketergantungan pada BBM. Situasi uni-modality saat ini sudah
sangat kritis. Indonesia akan semakin terjebak dalam single-mode trap
berkepanjangan yang hanya menguntungkan industri mobil yang masih diimpor.
JSS justru akan memberi insentif bagi ketergantungan Indonesia pada moda
transport yang buruk ini. Lebih berbahaya lagi adalah bahwa JSS merupakan
highly constrained solution dan pengalih perhatian publik oleh pemerintah yang
telah gagal membangun pemerintahan yang efektif di laut.

Perbandingan Empirik beberapa Mega Proyek

JSS sebagai teknologi yang melawan kondisi alamiah Selat Sunda akan harus
dibayar dengan mahal yang kemungkinan besar tidak akan pernah terpikul oleh
kapasitas fiskal nasional kita dalam waktu 10 tahun lebih ke depan. Perkiraan
biaya pembangunan JSS yang diumumkan saat ini adalah 200 triliun rupiah.
Berdasarkan pengalaman Jembatan Suramadu dengan panjang hanya 5 km dan
bentang terpanjang sekitar 500 m, biayanya membengkak menjadi 5 triliun dan
waktu pembangunannya molor 1 tahun lebih dengan soft loan dari Cina untuk
bentang tengahnya. Dari pengalaman Jembatan Suramadu ini, biaya JSS dengan
panjang 30 km dapat mencapai 200 triliun rupiah atau lebih karena harus lebih
lebar (6 lajur), lebih tebal (untuk mengakomodasi track kereta api dan bentang
yang jauh lebih panjang), dan pylon (menara) penyangganya yang lebih tinggi,
dan lebih dalam di lingkungan yang secara tektonik dan vulkanik amat aktif.
Hubungan antara panjang, bentang jembatan, dan harga pembangunannya jelas
bukan linier sederhana, namun paling tidak kuadratik, atau bahkan kubik.
Segmen JSS yang terpanjang akan menuntut bentang suspension bridge yang
terlalu panjang (sekitar 3500 m) bagi teknologi jembatan yang kita kenal secara
global saat ini. Salah satu jembatan terpanjang saat ini adalah Jembatan AkashiKaikyo di Jepang yang menghubungkan Kobe di Pulau Honshu dan Pulau Awaji.
Panjang bentangnya 1991 m, panjang total 3911 m, clearance 66 m, dan
dibangun selama 12 tahun (1986-1998). Sekarang jembatan ini menampung
traffic 23000 mobil/hari dengan tariff toll mencapai Y 2300 (sekitar Rp. 250.000).
Jembatan ini tidak mengakomodasi kereta api.
Sementara itu, desain JSS harus mengakomodasi syarat-syarat Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI 1) sebagai sebuah kesepakatan internasional (United
Nation Convention on the Law of the Sea) yang telah kita ratifikasi. Karena
kontur sea-bed yang rumit dengan kedalaman yang bervariasi dari -40m hingga
-80m lebih, peluang terjadinya ground acceleration hingga 0,3 g akibat gempa
tektonik, serta ancaman erupsi vulkanik Krakatau, maka rancangbangun dan
pembangunan JSS akan amat mahal bagi kemampuan fiskal nasional RI hingga
10-20 tahun ke depan. Sistem keuangan global yang belum stabil, serta harga
baja dan beton yang dapat dipastikan akan terus naik, akan meningkatkan
kerentanan pembiayaan JSS dari ancaman financial shocks selama masa
konstruksinya yang diperkirakan selama 10 tahun.

Sementara itu, Jembatan Messina yang menghubungkan mainland Italia


(Calabria) dengan Messina di pulau Sicilia dibatalkan pembangunannya pada
tahun 2006
setelah terjadi debat dan kontroversi bertahun-tahun antara
pemerintah, parlemen, dan masyarakat mainland Italia maupun kelompokkelompok nasionalis Sicilia. Bentang tengah jembatan ini 3300 m, clearance 65
m, dan tinggi pylon mencapai 383 m. Biaya yang direncanakan adalah sebesar
6,1 milyar euro, atau sekitar 70 triliun rupiah. Pemerintah Italia (sebelum PM
Berlusconni) membatalkan rencana ini karena memandang perbaikan prasarana
jalan di P. Sisilia sendiri jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi regional Italia.
Banyak proyek-proyek besar di negara-negara maju dan kaya (dengan disiplin
waktu dan kapasitas fiskal yang jauh lebih baik dari Indonesia) selalu berakhir
dengan cost-over run dan keterlambatan. Contohnya adalah terowongan Eropa
(Eurotunnel) yang menghubungkan Dover-Calais di bawah English Channel
dengan panjang 50 km yang diselesaikan dalam waktu 8 tahun (1986-1994)
membengkak biayanya hampir 2 kali lipat dengan manfaat ekonomi regionalnya
yang terbatas, terutama bagi Inggris. Bahkan dilaporkan kondisi Inggris akan
jauh lebih baik saat ini jika terowongan tersebut tidak pernah dibangun. InvestorOperator terowongan yang bekerja dengan pola BOOT (Build-Own-OperateTransfer) mengalami kerugian dan hampir bangkrut karena proyeksi traffic tidak
seperti yang diramalkan dan beberapa kali terowongan ditutup akibat kebakaran
di dalam terowongan. Dampak lingkungan terowongan ini juga terbukti negatif.
Perbandingan Benefit dan Cost

Di tingkat teknomik, JSS inferiror dibandingkan dengan sistem ferry modern.


Solusi ferry modern memberikan benefit/cost ratio yang paling baik, terutama
menghindarkan Indonesia dari jebakan uni-modaliity yang tidak efisien, polutif,
serta privat sehingga secara umum tidak sustainable. Dapat dilihat bahwa
paradigma kepulauan membuka sebuah relaxed design solution yang lebih costeffective berupa armada dan dermaga ferry modern dengan beban pembiayaan
yang lebih ringan dan adil bagi mayoritas daerah di Indonesia. Secara topologi,
solusi sistem ferry membentuk ruang Jawa-Sumatra yang lebih compact dan
well-connected. Sebagai perbandingan, sistem ferry Yunani untuk kawasan
Agean Sea sangat luar biasa untuk ekonomi dan pariwisata Yunani. Pariwisata
Selat Sunda akan terbangun baik dengan sistem ferry modern, bukan dengan
JSS.

Dari analisis kualitatif dan konseptual di atas, dapat disajikan sebuah tabel
perbandingan atas berbagai solusi untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera sebagai berikut:

Kesimpulan
Penutup

dan

Solusi JSS dengan


demikian
merupakan solusi
yang tidak layak.
Anggaran
yang
tersedia
dari
kapasitas
fiskal
yang
terbatas
dapat
dipakai
untuk meningkatkan cakupan dan mutu Trans-Sumatra sehingga integrasi pasar
domestik di Sumatra dapat diwujudkan dengan biaya yang jauh lebih murah,
terutama yang berbasis kereta api hingga ke pelabuhan. Pengembangan
infrastruktur serupa bagi Pulau Jawa akan memberikan dampak ekonomi regional
yang amat signifikan.
Kebijakan yang dihasilkan dari cara pandang benua/pulau besar yang tidak
bersahabat dengan taqdir alamiah kita sebagai negara kepulauan akan
berpotensi selalu memaksakan solusi moda-tunggal jembatan untuk Indonesia
yang merupakan negara kepulauan ini. Yang paling diuntungkan dengan solusi
jembatan adalah para spekulan dan tuan tanah yang menguasai lahan di
kawasan kaki-kaki jembatan. Jika cara pandang ini dipertahankan terus,

dikhawatirkan bahwa agenda untuk mempromosikan infrastruktur multi-moda


dengan membangun pemerintahan di laut yang efektif akan semakin
terbelakangkan. Dengan kondisi uni-modality yang semakin kritis saat ini, dan
sumberdaya kelautan yang terbengkalai, kita tidak saja tidak memiliki masa
depan, keutuhan negara-bangsa ini pun juga dipertaruhkan.
Kita sebagai bangsa harus melakukan perubahan paradigma pembangunan
nasional, dari land-based socio-economic development menjadi ocean-based
socio-economic development. Dalam rangka merealisasikan misi ini, maka
diperlukan kebijakan terobosan, yaikni dengan memposisikan pembangunan
kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa. Ini bukan berarti kita
melupakan pembangunan di darat. Kita justru secara sinergis dan proporsional
mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut.
Kebijakan nasional ini mengandung arti bahwa segenap variabel politik-ekonomi
dan budaya bangsa berupa kebijakan fiskal, moneter, perdagangan
internasional, perpajakan, industri, ketenagakerjaan, infrastruktur, pendidikan
dan kebudayaan, IPTEK, tata ruang, keamanan, penegakan hukum, dan lainnya
harus secara sinergis dan total mendukung bagi tumbuh kembangnya sektorsektor pembangunan kelautan.
Jika kita mampu melaksanakan pembangunan kelautan sebagai platform
pembangunan ekonomi bangsa, ada harapan bagi Indonesia untuk menjadi
negara yang maju, adil-makmur, bermartabat, dan diridhoi Allah SWT. Sebuah
Indonesia yang seluruh rakyatnya bebas dari kelaparan, kebodohan, penyakit
jasmani maupun rohani, dan rasa takut; sehingga kita hidup dalam suasana yang
aman, damai, dan sejahtera.

Teknologi JSS di adopsi dari Jembatan Akashi-Kaikyo


Jembatan Selat Sunda rencananya akan mengadopsi teknologi jembatan
gantung terpanjang yang ada di dunia. Saat ini rekor jembatan gantung
terpanjang di dunia dipegang oleh Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang.
Kesamaan konsep tersebut adalah kedua jembatan tersebut dibangun di daerah
rawan gempa dan lautan yang memiliki palung dalam. Jembatan Akashi-Kaikyo
memiliki panjang bentang utama 1,991 kilometer dan tahan pada gempa 8,5
skala richter.
Sedangkan Jembatan Selat Sunda yang rencananya memiliki bentang utama
sepanjang 2,2 kilometer menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi akan dibangun di atas sesar aktif yang geserannya 7 milimeter per
tahun. Ada potensi gempa hingga 8,6 skala richter.
proyek ini harus melakukan surfei geofisika terlebih dahulu untuk mengetahui
apakah di dasar laut tersebut pernah terjadi retakan atau tidak. Hal ini untuk
menentukan kedalaman pembangunan sub-struktur yang panjangnya antara 500
meter sampai 1.000 meter di bawah permukaan laut.
Selain sub-struktur, penggarap proyek, juga harus bisa mengadopsi teknologi
supra-strukturnya. Yaitu menggunakan konsep suspension bridge atau jembatan

gantung yang mampu menahan dari tiupan angin kencang hingga kecepatan
maksimum 286 kilometer per jam.

Pembangunan jembatan ini nantinya akan melewati beberapa pulau sepanjang


Jawa-Sumatera yaitu Pulau Kandang Lumuk, Pulau Prajurit, Pulau Sangiang dan
Pulau Ular.

Teknologi Delta Qualstone S.K.125


Teknologi Delta Qualstone S.K.125. Karya putra terbaik bangsa ini
telah diuji di Balai Besar Pengujian Barang dan Bahan Teknik (B4T)
Bandung, terdaftar di Business Technology Center - Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BTC-BPPT), serta telah memiliki sertifikat Hak Paten.
Teknologi Delta Qualstone
1. Bahannya beton cor.
2. Elastis dan bisa menahan gempa.
3. Sangat kuat.
4. Penggunaannya tidak membutuhkan perekat, tinggal menumpuk
saja.
5. Setelah terpasang tinggal plester.
6. Bentuknya unik, beban akan terdistribusi dengan sempurna.
7. Tulangan hanya untuk beberapa tipe penyangga (misal u/ balok dan
kolom) dan beberapa tipe pengembangan.

Teknologi Delta Qualstone Toleransi gempa hingga 9 skala richter

Mengapa Teknologi Delta qualstone S.K.125 disebut-sebut sebagai


teknologi yang bisa beradaptasi pada getaran gempa hingga 9 skala
richter? Menurut penemunya, beton cetak produk teknologi ini per piecenya memiliki berat 3,85 kg dan kuat tekan 125 kg/cm. Jadi bila
dibandingkan dengan produk bahan bangunan sejenis semisal batubata
merah dan batako, bahan bangunan ini memiliki kekuatan tekan sangat
tinggi. Keunggulan teknis lainnya, produk teknologi ini apabila telah
tersusun akan menciptakan beban nol atau seimbang menjadi merata.
Dari hasil riset sementara ini, bangunan dari bahan beton ini juga memiliki
kemampuan untuk bertahan dari guncangan gempa karena di antara
ikatan (pertemuan batu) satu sama lain memiliki toleransi 2 mm yang
memang disiapkan sebagai antisipasi terhadap getaran. Bagi daerahdaerah jauh dari pusat (episentrum) gempa, dapat menggunakan beton
standar K.125. Namun untuk daerah-daerah rawan gempa, pemilik lisensi
menganjurkan menggunakan K.225 ke atas.
Kekurangan Teknologi Delta Qualstone
Teknologi ini belum begitu di lirik oleh pemerintah. Jadi untuk
merealisasikannya masih belum bias karena terkendala dana untuk
mewujudkannya.
Pembangunan Jembatan Selat Sunda rencananya akan menggunakan teknologi
yang memperhitungkan semua parameter yang perlu dipenuhi. Setidaknya
pemeriksaan ini akan mencakup pengumpulan data dalam radius 500 kilometer
dari tempat jembatan itu berdiri.
Tinjauan itu antara lain berbagai sesar (patahan aktif) yang terdapat di Jawa dan
Sumatra, terutama di sekitar Bukit Barisan. Termasuk menghitung sumber
gempa dari Selat Sunda dan Gunung Krakatau itu sendiri.
Kesimpulan
Jadi untuk teknologi Qualstone S.K.125 masih belum di tes jika ada gempa
sebesar +-9 skala richter, jadi terlalu beresiko jika cara itu di terapkan langsung
pada Jembatan Selat Sunda.

Daftar Pustaka
http://smak1d.blogspot.com/2011/02/teknologi-delta-qualstonetdq.html
http://log.viva.co.id/news/read/82756jembatan_selat_sunda_gunakan_teknologi_tinggi
http://jurnalmaritim.com/read/articles/129/urgensi-ruu-kelautan-bagipertumbuhan-ekonomi-serta-kejayaan-dan-kemakmuranbangsa/#.Uj5eXT_cAod
Jembatan Selat Sunda dan Kepentingan Nasional Ir. Purba Robert Sianipar, MSCE,
MSEM, Ph.D.
UU no. 17 tahun 2008
http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-konsep-danteknomik.html

Anda mungkin juga menyukai