Oksimana Darmawan
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Jl. H.R. Rasuan Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta 12940
E-mail: oksimana7@gmail.com
Naskah diterima: 28 November 2017; revisi: 21 Agustus 2018; disetujui 21 Agustus 2018
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.292
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 171
In corporate criminal liability, as stated in Article 101 of the crimes committed. Therefore, it is necessary to
of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Law revise the law, so that corporation as the perpetrator
Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law can actually be held accountable and become a legal
Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Indonesia subject to criminal sanctions.
still adheres to the second system of liability, in which
Keywords: marine and fisheries law, corporate criminal
the corporation as the responsible decision maker and
liability, illegal fishing.
board. This seems to be out of proportion to the effects
Selama tahun 2010-2014, kapal pengawas Majelis hakim dalam Putusan Nomor 01/
perikanan telah berhasil memeriksa 14.951 kapal PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB memberikan
perikanan, dan menangkap 492 kapal perikanan putusan pada pelaku illegal fishing yang
yang diduga pelaku illegal fishing (DJPSDKP, dilakukan oleh kapal asing di Wanam yang
2015). Kasus tersebut terus meningkat dari tahun merupakan wilayah yuridiksi Indonesia. Dalam
ke tahun karena penanganan belum menyentuh amar putusannya disebutkan, sebagai berikut:
pada akar masalahnya. 1. Menyatakan terdakwa ZNL terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Barang bukti kasus-kasus illegal fishing tindak pidana melanggar “membawa keluar
yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi wilayah Republik Indonesia jenis ikan yang
kerugian negara mencapai antara 1-4 miliar rupiah dilarang untuk diperdagangkan”;
per kapal. Jika sampai September 2007 ada 160 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu
kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugian terhadap terdakwa ZNL dengan pidana
denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan
negara akibat penangkapan ikan liar tahun ketentuan apabila denda tidak dibayar
2007 saja berkisar antara Rp.160 miliar sampai maka diganti dengan pidana kurungan
selama enam bulan;
Rp.640 miliar. Dari riset DKP pada (DJPSDKP,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 173
3. Menetapkan barang bukti berupa: Kapal D. Tinjauan Pustaka
M.V. Hai Fa, 3,830 GT berbendera Panama, 1. Sejarah Perkembangan Peraturan
ikan campuran ±800.658 kg (selain ikan hiu
martil 15 ton), udang 100.044 kg; dokumen tentang Kelautan dan Perikanan
kapal M.V. Hai Fa, dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah yaitu HY melalui Departemen Kelautan dan Perikanan resmi
terdakwa; sedangkan 15 ton ikan hiu martil berdiri sendiri pada masa pemerintahan Presiden
dirampas untuk negara;
Abdurrahman Wahid, sebelumnya masalah
4. Membebankan kepada terdakwa biaya perikanan berada di bawah Departemen Pertanian
perkara sebesar Rp.5.000,-
dan Peternakan. Dengan pemisahan ini sektor
Keputusan ini sempat menimbulkan kelautan diharapkan dapat menjadi penggerak
polemik karena dianggap sangat tidak sebanding di bidang ekonomi, sekaligus bukti perhatian
dengan kejahatan yang dilakukan serta kerugian pemerintah terhadap sektor kelautan.
yang ditanggung oleh negara, oleh karena itu
Lembaga baru yang khusus mengurusi
permasalahan ini sangat menarik untuk dikaji.
sektor kelautan dan perikanan ini dipimpin
oleh seorang menteri yang secara langsung
B. Rumusan Masalah bertanggung jawab kepada presiden. Sejak
berdiri hingga sekarang banyak sekali produk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
regulasi yang telah dikeluarkan untuk mengatur
dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana
hal- hal yang terkait dengan bidang tersebut, hal
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/
ini untuk menyempurnakan peraturan- peraturan
PN.AMB berdampak terhadap kapal asing yang
lama yang sudah ada. Berikut perkembangan
melakukan praktik illegal fishing di perairan
peraturan-peraturan yang mengatur tentang
Indonesia?
kelautan dan perikanan.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 175
h. penebaran ikan jenis baru; Undang-undang ini juga menegaskan
bahwa Indonesia mengakui hak lintas bagi kapal-
i. pembudidayaan ikan dan
kapal asing yang meliputi hak lintas damai, hak
perlindungannya;
lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, dan
j. pencegahan dan pemberantasan hama hak akses dan komunikasi. Penegakan kedaulatan
serta penyakit ikan; dan hukum terhadap kapal asing yang sedang
melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
k. hal-hal lain yang dipandang perlu
Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
untuk mencapai tujuan pengelolaan
konvensi hukum internasional (Pasal 11- 24).
sumber daya ikan.
Kelima, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Dari ketentuan ini, diketahui bahwa subjek
2004 tentang Perikanan, yang dibentuk sebagai
tindak pidana dalam undang-undang ini terdiri
respon atas perkembangan teknologi yang mana
dari dua kategori, yaitu orang dan badan hukum.
belum tertampung dalam Undang- Undang
Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Nomor 9 Tahun 1985. Dalam undang-undang ini
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations konsep tentang “perikanan” memiliki arti yang
Convention (UNCLOS). Konvensi Perserikatan lebih luas daripada undang-undang terdahulu.
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Selain itu, ada hal baru terkait konsep korporasi
ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations sebagai subjek hukum. Korporasi diartikan
Convention on the Law of the Sea (konvensi PBB sebagai “kumpulan orang dan/atau kekayaan
tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia maupun bukan badan hukum.” Konsep ini sama
dan dua satuan bukan negara di Montego Bay, dengan konsep korporasi yang terdapat dalam
Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. semua undang-undang tentang tindak pidana
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958 khusus yang mencantumkan korporasi sebagai
tentang Hukum Laut, Konvensi PBB tentang pelaku tindak pidana.
Hukum Laut tersebut mengatur rezim hukum laut
Terkait tindak pidana dalam undang-
secara lengkap dan menyeluruh, yang rezim satu
undang ini juga terdiri dari dua, yaitu kejahatan
sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
dan pelanggaran. Perumusan tentang kejahatan
Keempat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun maupun pelanggaran juga semakin kompleks dan
1996 tentang Perairan Indonesia, yang mengatur bervariasi dibandingkan dengan undang-undang
tentang Kedaulatan Negara Republik Indonesia di yang lama. Hal ini dikarenakan modus tentang
perairan Indonesia. Pasal 3 menyebutkan wilayah kejahatan maupun pelanggaran juga telah banyak
perairan Indonesia yaitu: (1) Wilayah Perairan berkembang seiring dengan perkembangan
Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, teknologi.
perairan kepulauan, dan perairan pedalaman; (2)
Keenam, Undang-Undang Nomor 21
Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar
Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan
12 mil laut yang dikukur dari garis pangkal
Ketentuan-Ketentuan Konvensi PBB tentang
kepulauan Indonesia.
Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 177
dan/atau menggunakan alat penangkapan Tindak pidana yang dikategorikan sebagai
ikan dan/atau alat bantu penangkapan “pelanggaran” adalah sebagai berikut:
ikan yang berada di kapal penangkap ikan
a. Setiap orang yang membangun, mengimpor
yang tidak sesuai dengan ukuran yang
atau memodifikasi kapal perikanan yang
ditetapkan, alat penangkap ikan yang tidak
tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
sesuai dengan persyaratan, atau standar
(Pasal 95).
yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/
atau alat penangkapan ikan yang dilarang b. Setiap orang yang mengoperasikan
(Pasal 85). kapal perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak
c. Setiap orang yang dengan sengaja
mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,
kapal perikanan Indonesia (Pasal 96).
mengedarkan, dan/atau memelihara
ikan yang merugikan masyarakat, c. Nakhoda yang mengoperasikan kapal
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, penangkap ikan berbendera asing yang
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke tidak memiliki izin penangkapan ikan,
dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan yang selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia (Pasal 88). perikanan Republik Indonesia tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di
d. Setiap orang yang memiliki dan/atau
dalam palka (Pasal 97 ayat (1)); yang
mengoperasikan kapal penangkap
telah memiliki izin penangkapan ikan
ikan berbendera Indonesia melakukan
dengan satu jenis alat penangkapan ikan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang
perikanan Republik Indonesia dan/atau di
membawa alat penangkapan ikan lainnya
laut lepas yang tidak memiliki Surat Izin
(Pasal 97 ayat (2)); yang telah memiliki izin
Penangkapan Ikan (SIPI) (Pasal 93 ayat
penangkapan ikan, yang tidak menyimpan
(1)), memiliki dan/atau mengoperasikan
alat penangkapan ikan di dalam palka
kapal penangkap ikan berbendera asing
selama berada di luar daerah penangkapan
melakukan penangkapan ikan di wilayah
ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan
pengelolaan perikanan Republik Indonesia
perikanan Republik Indonesia (Pasal 97
yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93 ayat
ayat (3)).
(2)).
d. Nakhoda yang berlayar tidak memiliki
e. Setiap orang yang memiliki dan/atau
surat izin berlayar kapal perikanan yang
mengoperasikan kapal pengangkut ikan di
dikeluarkan oleh syahbandar (Pasal 98).
wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia yang melakukan pengangkutan e. Setiap orang asing yang melakukan
ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak penelitian perikanan di wilayah pengelolaan
memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan perikanan Republik Indonesia yang tidak
(SIKPI) (Pasal 94). memiliki izin dari pemerintah, (pasal 99).
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 179
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau Berbeda dengan pendapat para ahli di
menggugat di depan hakim (Ali, 1999: 11). atas, Sjahdeini menyatakan bahwa dalam
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
Menurut Garner, mengemukakan bahwa
korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit,
pengertian korporasi diambil dari istilah dalam
maupun melihat artinya yang luas. Beliau
bahasa Inggris “corporation” yang berarti
menyatakan, bahwa menurut artinya yang sempit,
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh
yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan
undang-undang diperbolehkan untuk melakukan
figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya
perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai
untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan
subjek hukum, berbeda dengan para pemegang
hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya,
sahamnya (Garner, 2003: 147).
hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari
Ferber menyatakan bahwa korporasi korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat
adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai
apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia. suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan
Korporasi dapat membeli dan menjual properti, “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati
baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui
sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat oleh hukum (Sjahdeini, 2006: 44).
menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya
Arti secara luas sebagai pengertian korporasi
sendiri (Ferber, 2002: 18).
dalam hukum pidana, beliau mendefinisikan
Hakikat dari korporasi dapat dilihat korporasi, bahwa dalam hukum pidana, korporasi
pendapat klasik Haldane LC, bahwa korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan
adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum
pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau
sendiri; kehendak yang dijalankan dan bersifat perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan
mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada hukum yang digolongkan sebagai korporasi
seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin menurut hukum pidana, tetapi juga firma,
disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan
mengarahkan pikiran dan kehendak dari atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang
korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi (Gillies, menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum
1990: 126). (Sjahdeini, 2006: 45).
Menurut Rahardjo yang dimaksud dengan Dalam ketentuan umum KUHAP yang
korporasi adalah badan yang diciptakannya digunakan sampai saat ini, Indonesia masih
itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan
dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur oleh manusia, sedangkan badan hukum (rechts
animus yang membuat badan itu mempunyai persoon) yang dipengaruhi oleh pemikiran Von
kepribadian. Oleh karena badan hukum ini Savigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction
merupakan ciptaan hukum, maka kecuali theory) yang menganggap kepribadian hukum
penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh merupakan kesatuan-kesatuan dari manusia
hukum (Rahardjo, 2000: 13). merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 181
dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang
kewajiban yang melekat padanya, yaitu adanya dilarang tersebut (Priyatno, 2004: 26). Dalam
hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak
tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tak pidana, tapi yang dapat dipertanggungjawabkan
jarang korporasi mendapat keuntungan yang secara pidana hanyalah pengurus yang secara
banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh nyata memimpin korporasi tersebut. Dalam tahap
pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara
dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh langsung masih belum muncul.
tindakan pengurus korporasi. Oleh karenanya,
Tahap ketiga merupakan permulaan adanya
dianggap tidak adil kalau korporsi tidak dikenakan
tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam
hak dan kewajiban seperti halnya manusia.
tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut
Kenyataan ini yang kemudian memunculkan
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya
tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai
menurut hukum pidana. Di samping itu, dalam
subjek hukum dalam hukum pidana.
delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang
Tahap pertama, ditandai dengan usaha-usaha diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga
pada perorangan (natuurlijk person). Apabila tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap Alasan lainnya, bahwa dengan hanya memidana
dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut para pengurus tidak atau belum ada jaminan
(Muladi & Priyatno, 1991: 169-196). Pandangan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik
pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh tersebut. Dengan memidana korporasi dengan
asas societas delinquere non potest yaitu badan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. korporasi itu, diharapkan bisa memaksa korporasi
Dalam tahap ini membebankan “tugas pengurus” untuk menaati peraturan yang bersangkutan
(zorgplicht) kepada pengurus. (Priyatno, 2004: 27-28).
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 183
seseorang harus bertanggung jawab atas suatu rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi
perbuatan, sedang ia sendiri tidak melakukannya dalam undang-undang tersebut justru mengalami
(Saleh, 1983: 20-23). Perbuatan pidana diartikan kemunduran.
dengan diteruskannya celaan objektif yang ada
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31
pada perbuatan pidana dan secara subjektif
Tahun 2004 dan Perubahannya menyebutkan,
yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana
bahwa: ”Dalam hal tindak pidana perikanan
karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
dilakukan oleh korporasi, tuntutan, dan sanksi
pidana adalah asas legalitas (principle of legality),
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya,
sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat
dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari
adalah asas kesalahan (principle of culpability).
pidana yang dijatuhkan.” Dengan demikian,
Hal ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana
meskipun korporasi diakui sebagai pelaku tindak
hanya akan dipidana, jika ia mempunyai kesalahan
pidana, akan tetapi tidak dapat dimintakan
dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
pertanggungjawaban pidana. Pengaturan
Kaitannya dengan tindak pidana dalam demikian akan menimbulkan banyak kelemahan,
bidang perikanan, Undang-Undang Nomor 9 yaitu menjadi tidak sebandingnya antara
Tahun 1985 mengakui adanya ‘badan hukum’ (di hukuman dengan dampak atau kerugian yang
samping orang-perorangan) sebagai subjek hukum ditimbulkannya. Di samping itu, penjatuhan
dalam tindak pidana perikanan [Pasal 6 ayat (1) pidana kepada pengurus korporasi juga tidak
dan Pasal 7 ayat (1)], namun undang-undang ini cukup memberikan jaminan bahwa korporasi
tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan tersebut tidak melakukan tindakan serupa di
hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas korporasi juga tidak sedikit yang berlindung
tindak pidana tersebut. Akibatnya, penanganan di balik korporasi-korporasi boneka (dummy
kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit company) yang sengaja mereka bangun untuk
dituntaskan, khususnya yang melibatkan pihak melindungi korporasi induknya.
korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang
Melihat rumusan pertanggungjawaban
diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan
pidana korporasi pada undang-undang positif,
seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin, dan
dapat dikatakan bahwa Indonesia masih
anak buah kapal, sedangkan pihak-pihak yang
menganut sistem pertanggungjawaban pidana
berada di belakang mereka (korporasi) nyaris
yaitu korporasi sebagai pembuat dan pengurus
tidak pernah tersentuh.
yang bertanggung jawab. Padahal menurut
Titik terang dari persoalan tersebut data Pengawasan Sumber Daya Kelautan
sebenarnya mulai tampak, ketika diatur prinsip dan Perikanan, kerugian yang ditimbulkan
pertanggungjawaban korporasi dalam Undang- akibat tindak pidana dalam bidang perikanan
Undang Nomor 31 Tahun 2004, di mana yang sangat besar. Dari sini dapat dikatakan bahwa
dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan Indonesia masih belum serius menangani tindak
tidak saja mereka yang merupakan pelaku pidana tersebut, dikarenakan salah satu pilar
langsung di lapangan, tetapi juga pihak korporasi bagi penegakan hukum, yaitu aspek yuridis
yang berada di belakang mereka. Namun, normatifnya masih rapuh.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 185
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. 4. Membebankan kepada terdakwa biaya
perkara sebesar Rp.5.000,-
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
ZNL dengan pidana denda sebesar Majelis hakim menyatakan meski tidak
Rp.200.000.000,- subsider enam bulan memiliki Surat Laik Operasi, kapal M.V. Hai
kurungan. Fa sudah memiliki Surat Persetujuan Berlayar.
Kemudian bukti kedua berupa vessel monitoring
3. Menyatakan barang bukti berupa: kapal
system (VMS), penyidik menemukan VMS
M.V. Hai Fa berbendera Panama, ikan
kapal M.V. Hai Fa hanya mengalami gangguan
campuran ±800,658 kg (selain ikan hiu 15
khususnya pada daya listrik, sehingga dipastikan
ton), udang 100,044 kg, dokumen kapal
kapal M.V. Hai Fa akan dikembalikan kepada
untuk dikembalikan kepada yang berhak
pemiliknya, tidak bisa dirampas dan disita bagi
melalui terdakwa; sedangkan ikan hiu
negara atau ditenggelamkan. Sementara barang
lonjor/lanjaman dan martil sebanyak 15 ton
bukti lain, seperti ikan campuran dan udang
dirampas untuk negara.
sebanyak 900.702 kg, terdiri dari ikan beku
4. Membebankan kepada terdakwa biaya 800.658 kg dan udang beku 100.044 kg, dianggap
perkara sebesar Rp.10.000,- tidak memiliki masalah (Detik News, 2015).
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 187
sebanding dengan kerugian yang diakibatkan Mutu hukum, ditentukan oleh
kegiatan illegal fishing tersebut, yaitu: pertama, kemampuannya untuk mengabdi pada
kerugian yang dialami nelayan Indonesia, karena kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum
nilai ekonomis hasil tangkapan ikan diambil oleh progresif menganut ideologi: “hukum yang pro-
warga negara asing yang mempunyai kapal dan keadilan dan hukum yang pro-rakyat.” Dengan
alat penangkapan ikan lebih canggih/modern; ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum
kedua, negara Indonesia mengalami kerugian mendapat tempat yang utama untuk melakukan
yang sangat besar, karena eksplorasi sumber daya pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
alam perikanan yang seharusnya dikelola dengan mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam
baik untuk kepentingan kemakmuran rakyat, penegakan hukum. Mereka harus memiliki
malah diambil atau dicuri oleh warga negara asing empati dan kepedulian pada penderitaan yang
dan Indonesia tidak mendapat keuntungan apapun dialami rakyat dan bangsa ini.
termasuk pajak; ketiga, pengambil manfaat
Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan
adalah korporasi negara asing, yang mana tidak
kebahagiaannya), harus menjadi orientasi dan
ada efek jera, karena walaupun tertangkap tetapi
tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Bagi
keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada
hukum progresif, proses perubahan tidak lagi
hukuman yang diberikan oleh pengadilan,
berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas
sehingga kegiatan mengeksplorasi kekayaan laut
pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam
Indonesia terus berkelanjutan.
ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum
Hal ini diperlukan hukum progresif oleh progresif dapat melakukan perubahan dengan
aparatur penegak hukum termasuk hakim, yaitu melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap
cara berhukum yang memiliki karakteristik peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
sebagai berikut: perubahan peraturan (changing the law).
“Pertama, paradigma hukum progresif Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi
adalah, bahwa hukum adalah untuk manusia. penghalang bagi para pelaku hukum progresif
Pegangan, optik atau keyakinan dasar untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat
ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu
yang sentral dalam berhukum, melainkan dan pencari keadilan, karena mereka dapat
manusialah yang berada di titik pusat melakukan interpretasi secara baru setiap kali
perputaran hukum. Kedua, hukum progresif terhadap suatu peraturan (Rahardjo, 2007: 247).
menolak untuk mempertahankan status quo
dalam berhukum. Mempertahankan status
quo memberi efek yang sama seperti pada Dalam kasus ini, hakim dapat bertindak
waktu orang berpendapat, bahwa hukum progresif dalam rangka menegakkan keadilan,
adalah tolok ukur untuk semuanya, dan walaupun dalam tuntutan jaksa telah
manusia adalah untuk hukum. Ketiga,
hukum progresif memberikan perhatian mengembalikan dokumen kapal M.V. Hai Fa
besar terhadap peranan perilaku manusia kepada yang berhak melalui terdakwa, tetapi
dalam hukum. Peranan manusia di hakim dapat meminta kembali dokumen tersebut
sini merupakan konsekuensi terhadap
pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan.
berpegangan secara mutlak kepada teks Permintaan dokumen kapal ini adalah untuk
formal suatu peraturan” (Rahardjo, 2007: memeriksa bagaimana keterkaitan terdakwa
139-144).
ZNL termasuk 23 orang anak buah kapal
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 189
IV. KESIMPULAN Pemeriksaan hakim ini dalam rangka
memastikan keterkaitan kontrak kerja/
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/
terorganisasi ZNL dengan PT. AML. Artinya
PN.AMB memang sudah sesuai dengan ancaman
untuk membuktikan keterkaitan illegal fishing
maksimum dalam pasal dakwaan yang diajukan
dengan korporasi, sebagaimana definisi korporasi
jaksa. Namun, dalam hal ini patut dicatat, bahwa
dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor
hukuman pidana denda yang diberikan tidak
31 Tahun 2004 yaitu: “Setiap orang adalah
sebanding dengan kerugian yang diakibatkan
orang perseorangan atau korporasi,” sedangkan
kegiatan illegal fishing tersebut, yaitu: pertama,
Pasal 101 disebutkan: ”Dalam hal tindak pidana
kerugian yang dialami nelayan Indonesia, karena
perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan
nilai ekonomis hasil tangkapan ikan diambil oleh
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
warga negara asing yang mempunyai kapal dan
pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah
alat penangkapan ikan lebih canggih/modern;
sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.” Hakim
kedua, negara Indonesia mengalami kerugian
bisa memakai pasal alternatif, artinya apabila
yang sangat besar, karena eksplorasi sumber
hakim bisa membuktikan bahwa pasal mana
daya alam perikanan yang seharusnya dikelola
yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada
dengan baik untuk kepentingan kemakmuran
penilaian pengadilan terkait korporasi, maka
rakyat, malah diambil atau dicuri oleh warga
putusan hakim lebih tinggi dengan dakwaan
negara asing dan Indonesia tidak mendapat
jaksa sebagaimana ketentuan Pasal 101 Undang-
keuntungan apapun termasuk pajak; ketiga,
Undang Nomor 13 Tahun 2004.
pengambil manfaat adalah korporasi negara
asing, yang mana tidak ada efek jera, karena Terkait putusan hakim lebih tinggi dari
walaupun tertangkap tetapi keuntungan yang dakwaan jaksa, secara normatif tidak ada satu
diperoleh lebih besar daripada hukuman yang pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan
diberikan oleh pengadilan, sehingga kegiatan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan
mengeksplorasi kekayaan laut Indonesia terus tuntutan jaksa/penuntut umum. Hakim memiliki
berkelanjutan. kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai
dengan pertimbangan hukum dan nuraninya.
Dalam kasus ini, hakim dapat bertindak
progresif dalam rangka menegakkan keadilan, Hal inilah yang dimaksud Rahardjo
walaupun dalam tuntutan jaksa telah mengenai teori hukum progresif yang pada
mengembalikan dokumen kapal M.V. Hai Fa, intinya perilaku para penegak hukum dalam
tetapi hakim dapat meminta kembali dokumen mempertimbangkan kontekstual untuk
tersebut untuk kepentingan pemeriksaan di mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
pengadilan. Permintaan dokumen kapal ini Walaupun di Indonesia tindak pidana korporasi
adalah untuk memeriksa bagaimana keterkaitan khususnya pada konteks illegal fishing dalam
terdakwa ZNL termasuk 23 orang anak buah Undang-Undang Perikanan tidak dapat dikenakan
kapal berkewarganegaraan asing dengan jajaran pertanggungjawaban sebagai badan hukum,
pengurus PT. AML sebagai pemilik kapal M.V. tetapi setidaknya pengurus dalam korporasi bisa
Hai Fa. dituntut pertanggungjawabannya. Hal ini karena
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 191
Manan, B., & Magnar, K. (1993). Beberapa masalah lingkungan. Diakses dari http://beta.tnial.mil.id/
hukum tata negara Indonesia. Bandung: cakrad_cetak.php?id=419.
Alumni.
Sudharmawatiningsih. (2015). Pengkajian tentang
Marzuki, P.M. (2009). Penelitian hukum. Jakarta: putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan
Kencana. jaksa penuntut umum. Laporan Penelitian.
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan
Merdeka.com. (2007). Kerugian negara akibat illegal
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
fishing terus naik. Diakses dari https://www.
Agung.
merdeka.com/uang/kerugian-negara-akibat-ilegal-
fishing-terus-naik-gadlkcy.html. WALHI. (2009). Potret advokasi ekologis vis a vis
kejahatan korporasi. Diakses dari http://www.
Muladi & Priyatno, D. (1991). Pertanggungjawaban
walhi.or.id.
korporasi dalam hukum pidana. Bandung:
STHB.