Anda di halaman 1dari 22

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DALAM ILLEGAL FISHING DI INDONESIA


Kajian Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB

CORPORATE CRIMINAL LIABILITY OF


ILLEGAL FISHING IN INDONESIA
An Analysis of Court Decision Number 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB

Oksimana Darmawan
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Jl. H.R. Rasuan Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta 12940
E-mail: oksimana7@gmail.com

Naskah diterima: 28 November 2017; revisi: 21 Agustus 2018; disetujui 21 Agustus 2018

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.292

ABSTRAK jawab. Hal ini tampak tidak sebanding dengan efek


dari kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu
Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang
diadakan revisi terhadap undang-undang tersebut,
bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara
sehingga korporasi sebagai pelaku kejahatan yang
atau ketentuan internasional. Mengingat kerugian
sesungguhnya dapat dimintai pertanggungjawaban dan
yang ditimbulkannya sangat besar dan sebagian besar
dijatuhi sanksi pidana.
pelakunya adalah korporasi, maka perlu dikaji bagaimana
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak Kata kunci: hukum laut dan perikanan,
pidana ini. Tulisan ini mengkaji bagaimana Putusan pertanggungjawaban pidana korporasi, illegal fishing.
Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB terhadap kapal
asing yang melakukan praktik illegal fishing di perairan
Indonesia. Metode analisis yang diterapkan untuk ABSTRACT
menjawab permasalahan adalah dengan menggunakan Illegal fishing refers to  activities which contravene a
metode yuridis kualitatif. Pelaku tindak pidana illegal state’s  fisheries law and regulations, or international
fishing di wilayah perairan Indonesia secara umum conventions. Considering that the losses incurred are so
adalah setiap orang yang diartikan perseorangan atau massive and most of the perpetrators are corporations,
korporasi. Dalam hal pertanggunggjawaban pidana the corporate criminal liability for this crime should be
korporasi disebutkan dalam Pasal 101 Undang-Undang appraised. This paper examines how the Ambon District
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Undang- Court Decision Number 01/PID.SUS/PRK/2015/
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan PN.AMB responds to foreign vessels conducting illegal
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang fishing in Indonesian waters. The problem was analyzed
Perikanan, diketahui bahwa Indonesia masih menganut using qualitative juridical methods. The perpetrators
sistem pertanggungjawaban yang kedua, yaitu korporasi of illegal fishing in Indonesian territorial waters in
sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung general are anyone as an individual or corporation.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 171
In corporate criminal liability, as stated in Article 101 of the crimes committed. Therefore, it is necessary to
of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Law revise the law, so that corporation as the perpetrator
Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law can actually be held accountable and become a legal
Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Indonesia subject to criminal sanctions.
still adheres to the second system of liability, in which
Keywords: marine and fisheries law, corporate criminal
the corporation as the responsible decision maker and
liability, illegal fishing.
board. This seems to be out of proportion to the effects

I. PENDAHULUAN turut sebagai ruang penghidupan rakyat Indonesia,


A. Latar Belakang namun, tidak memberikan sesuatu yang cukup
berarti bagi mereka yang menggantungkan
Indonesia sering disebut negara bahari
hidupnya pada pengelolaan sumber daya pesisir
dikarenakan sebagian besar wilayahnya terdiri
dan laut Indonesia, seperti nelayan dan petambak
dari laut. Menurut catatan WALHI, Indonesia
tradisional, menjadi komunitas masyarakat yang
adalah negara kepulauan terbesar di dunia,
rapuh secara ekonomis, pendidikan, kesehatan,
yang memiliki 18.110 pulau dengan garis pantai
dan hal-hal mendasar lainnya (Hans, 2009).
sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi
Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia Secara ekonomi, hasil sumber daya
memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas pesisir telah memberikan kontribusi terhadap
3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada
seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 tahun 1989. Potensi perikanan yang saat ini
juta km2. baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang
termanfaatkan. Secara biofisik, wilayah pesisir
Indonesia juga mempunyai hak eksklusif
di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
untuk memanfaatkan sumber daya kelautan seluas
tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau
2,7 km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif
dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
(ZEE). Wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari
Namun, kekayaan pesisir dan kelautan yang kita
140 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia
miliki, terdapat lebih dari 5.254.400 orang di
yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari
wilayah pesisir hidup dalam kondisi yang sangat
garis pantai. Secara administratif kurang lebih 42
miskin (WALHI, 2009).
kota dan 181 kabupaten berada di pesisir, serta
terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Hal ini menunjukkan kurang maksimalnya
Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial pemanfaatan sumber daya laut yang diperparah
ekonomi (WALHI, 2009). dengan lemahnya sistem keamanan laut.
Maraknya kasus pencurian ikan oleh kapal-
Sejak awal dikumandangkan Deklarasi
kapal besar dengan peralatan yang lebih
Djoeanda tahun 1957 telah memberikan keteguhan
canggih menunjukkan bahwa pengawasan
atas konsepsi Indonesia sebagai negara kelautan
dan perlindungan terhadap wilayah perairan
yang besar, berdaulat, dan sejahtera. Laut tidak
Indonesia kurang diperhatikan. Kasus-kasus ini
hanya dilihat sebagai media juang negara, tetapi
sering terjadi tanpa adanya upaya yang serius dari

172 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


pemerintah untuk mengungkapnya. Lemahnya 2015), bahkan pada Pemerintahan Presiden
pengawasan dan penegakan hukum terhadap para Joko Widodo, menurut Menteri Kelautan dan
pelaku illegal fishing ini telah menyebabkan para Perikanan Susi Pudjiastuti, nilai kerugian akibat
pelakunya tidak pernah jera. Proses hukum yang illegal fishing bisa mencapai US$20 miliar, atau
ada selama ini hanya menyentuh kalangan awak Rp.240 triliun per tahun (Detik Finance, 2014).
kapal semata tanpa berusaha mengungkap otak
Sudah banyak produk perundang-undangan
pelaku yang sesungguhnya yaitu corporate yang
yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
‘membackingi’ kegiatan tersebut. Hal ini yang
mengatur masalah perikanan, mulai dari undang-
menyebabkan kerugian besar terhadap negara,
undang sampai dengan instruksi menteri. Dengan
kalangan nelayan tradisonal, dan masyarakat
ini diharapkan dapat meminimalkan kejahatan di
pesisir.
bidang perikanan serta dapat memaksimalkan
Kerugian negara akibat penangkapan ikan pemanfaatan dan perlindungan sumber daya
secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal laut. Namun, produk perundang-undangan yang
penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan dihasilkan belum dapat meminimalkan illegal
kian meningkat sejalan dengan semakin fishing, karena belum menyentuh korporasi
banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran sebagai pelaku yang sesungguhnya. Bahkan,
bidang perikanan. Menurut data Pengawasan pemerintahan Joko Widodo membuat kebijakan
dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan menenggelamkan kapal pelaku illegal fishing,
Perikanan pada tahun 2005 jumlah pelanggaran hal ini masih menimbulkan ‘kontroversi’, apakah
yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik kebijakan ini akan efektif memberantas illegal
menjadi 216 kasus, hingga September 2007 fishing di Indonesia. Hal yang perlu dicatat,
sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses apakah kebijakan ini sudah menyentuh korporasi
secara hukum (www.merdeka.com). sebagai pelaku kejahatan yang sesungguhnya.

Selama tahun 2010-2014, kapal pengawas Majelis hakim dalam Putusan Nomor 01/
perikanan telah berhasil memeriksa 14.951 kapal PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB memberikan
perikanan, dan menangkap 492 kapal perikanan putusan pada pelaku illegal fishing yang
yang diduga pelaku illegal fishing (DJPSDKP, dilakukan oleh kapal asing di Wanam yang
2015). Kasus tersebut terus meningkat dari tahun merupakan wilayah yuridiksi Indonesia. Dalam
ke tahun karena penanganan belum menyentuh amar putusannya disebutkan, sebagai berikut:
pada akar masalahnya. 1. Menyatakan terdakwa ZNL terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Barang bukti kasus-kasus illegal fishing tindak pidana melanggar “membawa keluar
yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi wilayah Republik Indonesia jenis ikan yang
kerugian negara mencapai antara 1-4 miliar rupiah dilarang untuk diperdagangkan”;
per kapal. Jika sampai September 2007 ada 160 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu
kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugian terhadap terdakwa ZNL dengan pidana
denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan
negara akibat penangkapan ikan liar tahun ketentuan apabila denda tidak dibayar
2007 saja berkisar antara Rp.160 miliar sampai maka diganti dengan pidana kurungan
selama enam bulan;
Rp.640 miliar. Dari riset DKP pada (DJPSDKP,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 173
3. Menetapkan barang bukti berupa: Kapal D. Tinjauan Pustaka
M.V. Hai Fa, 3,830 GT berbendera Panama, 1. Sejarah Perkembangan Peraturan
ikan campuran ±800.658 kg (selain ikan hiu
martil 15 ton), udang 100.044 kg; dokumen tentang Kelautan dan Perikanan
kapal M.V. Hai Fa, dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah yaitu HY melalui Departemen Kelautan dan Perikanan resmi
terdakwa; sedangkan 15 ton ikan hiu martil berdiri sendiri pada masa pemerintahan Presiden
dirampas untuk negara;
Abdurrahman Wahid, sebelumnya masalah
4. Membebankan kepada terdakwa biaya perikanan berada di bawah Departemen Pertanian
perkara sebesar Rp.5.000,-
dan Peternakan. Dengan pemisahan ini sektor
Keputusan ini sempat menimbulkan kelautan diharapkan dapat menjadi penggerak
polemik karena dianggap sangat tidak sebanding di bidang ekonomi, sekaligus bukti perhatian
dengan kejahatan yang dilakukan serta kerugian pemerintah terhadap sektor kelautan.
yang ditanggung oleh negara, oleh karena itu
Lembaga baru yang khusus mengurusi
permasalahan ini sangat menarik untuk dikaji.
sektor kelautan dan perikanan ini dipimpin
oleh seorang menteri yang secara langsung
B. Rumusan Masalah bertanggung jawab kepada presiden. Sejak
berdiri hingga sekarang banyak sekali produk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
regulasi yang telah dikeluarkan untuk mengatur
dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana
hal- hal yang terkait dengan bidang tersebut, hal
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/
ini untuk menyempurnakan peraturan- peraturan
PN.AMB berdampak terhadap kapal asing yang
lama yang sudah ada. Berikut perkembangan
melakukan praktik illegal fishing di perairan
peraturan-peraturan yang mengatur tentang
Indonesia?
kelautan dan perikanan.

C. Tujuan dan Kegunaan Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusive (ZEE),
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
yang mengatur tentang kedaulatan wilayah
menganalisis putusan pengadilan terhadap pelaku
perairan Republik Indonesia. Dalam Konvensi
illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing di
Hukum Laut ketiga 1982 (UNCLOS) membagi
wilayah perairan Indonesia.
pengelolaan perikanan pada ZEE dan laut
Terkait kegunaan penelitian ini bersifat lepas. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah
teoritis dan praktis (terapan). Bersifat teoritis, yaitu
penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam diakuinya rezim zona ekonomi eksklusif selebar
rangka pengembangan ilmu hukum khususnya 200 mil sebagai bagian dari wilayah Republik
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi Indonesia (Solihin, 2006).
dalam hukum perikanan; sedangkan kegunaan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
praktis, yaitu penelitian ini dapat dipakai sebagai
1983 menyebutkan bahwa: “Zona Ekonomi
masukan dalam pemberantasan kejahatan illegal
Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan
fishing serta revisi Undang-Undang Perikanan.
berbatasan dengan laut wilayah Indonesia
sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-

174 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


undang yang berlaku tentang perairan Indonesia membahayakan kelestarian sumber daya
yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, ikan dan lingkungannya.
dan air di atasnya dengan batas terluar 200
2. Setiap orang atau badan hukum dilarang
mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah
melakukan perbuatan yang mengakibatkan
Indonesia.”
pencemaran dan kerusakan sumber daya
Terkait pengenaan pidana, apabila ikan dan atau lingkungannya.
bertentangan dengan ketentuan kegiatan-kegiatan
3. Barangsiapa melakukan di dalam wilayah
yang diperbolehkan di ZEE, antara lain (Pasal 5):
perikanan Republik Indonesia melakukan
1. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber usaha perikanan di bidang penangkapan
daya alam hayati harus mentaati ketentuan ikan tanpa izin.
tentang pengelolaan dan konservasi yang
Sementara itu yang termasuk dalam
ditetapkan oleh Pemerintah Republik
pelanggaran adalah (Pasal 26 dan Pasal 27):
Indonesia.
1. Barangsiapa melakukan di dalam wilayah
2. Eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber
perikanan Republik Indonesia melakukan
daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE
usaha perikanan di bidang pembudidayaan
Indonesia oleh orang atau badan hukum atau
ikan tanpa izin.
pemerintah negara asing dapat diizinkan
jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan 2. Barangsiapa melanggar ketentuan yang
oleh Pemerintah Republik Indonesia ditetapkan dalam Pasal 4, yaitu tentang:
untuk jenis tersebut melebihi kemampuan
a. alat-alat penangkapan ikan;
Indonesia untuk memanfaatkannya.
b. syarat-syarat teknis perikanan yang
3. Melakukan kegiatan penelitian ilmiah
harus dipenuhi oleh kapal perikanan;
di ZEE Indonesia harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari dan c. ketentuan peraturan perundang-
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat undangan yang berlaku mengenai
yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik keselamatan pelayaran;
Indonesia.
d. jumlah yang boleh ditangkap dan
Kedua, Undang-Undang Nomor 9 Tahun jenis serta ukuran ikan yang tidak
1985 tentang Perikanan. Ketentuan pidana dalam boleh ditangkap;
undang-undang ini dibedakan menjadi dua, yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Pengertian kejahatan e. daerah, jalur, dan waktu atau musim
adalah: penangkapan;

1. Setiap orang atau badan hukum dilarang f. pencegahan pencemaran dan


melakukan kegiatan penangkapan dan kerusakan, rehabilitasi dan
pembudidayaan ikan dengan menggunakan peningkatan sumber daya ikan; serta
bahan dan/atau alat yang dapat g. lingkungannya;

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 175
h. penebaran ikan jenis baru; Undang-undang ini juga menegaskan
bahwa Indonesia mengakui hak lintas bagi kapal-
i. pembudidayaan ikan dan
kapal asing yang meliputi hak lintas damai, hak
perlindungannya;
lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, dan
j. pencegahan dan pemberantasan hama hak akses dan komunikasi. Penegakan kedaulatan
serta penyakit ikan; dan hukum terhadap kapal asing yang sedang
melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
k. hal-hal lain yang dipandang perlu
Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
untuk mencapai tujuan pengelolaan
konvensi hukum internasional (Pasal 11- 24).
sumber daya ikan.
Kelima, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Dari ketentuan ini, diketahui bahwa subjek
2004 tentang Perikanan, yang dibentuk sebagai
tindak pidana dalam undang-undang ini terdiri
respon atas perkembangan teknologi yang mana
dari dua kategori, yaitu orang dan badan hukum.
belum tertampung dalam Undang- Undang
Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Nomor 9 Tahun 1985. Dalam undang-undang ini
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations konsep tentang “perikanan” memiliki arti yang
Convention (UNCLOS). Konvensi Perserikatan lebih luas daripada undang-undang terdahulu.
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Selain itu, ada hal baru terkait konsep korporasi
ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations sebagai subjek hukum. Korporasi diartikan
Convention on the Law of the Sea (konvensi PBB sebagai “kumpulan orang dan/atau kekayaan
tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia maupun bukan badan hukum.” Konsep ini sama
dan dua satuan bukan negara di Montego Bay, dengan konsep korporasi yang terdapat dalam
Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. semua undang-undang tentang tindak pidana
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958 khusus yang mencantumkan korporasi sebagai
tentang Hukum Laut, Konvensi PBB tentang pelaku tindak pidana.
Hukum Laut tersebut mengatur rezim hukum laut
Terkait tindak pidana dalam undang-
secara lengkap dan menyeluruh, yang rezim satu
undang ini juga terdiri dari dua, yaitu kejahatan
sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
dan pelanggaran. Perumusan tentang kejahatan
Keempat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun maupun pelanggaran juga semakin kompleks dan
1996 tentang Perairan Indonesia, yang mengatur bervariasi dibandingkan dengan undang-undang
tentang Kedaulatan Negara Republik Indonesia di yang lama. Hal ini dikarenakan modus tentang
perairan Indonesia. Pasal 3 menyebutkan wilayah kejahatan maupun pelanggaran juga telah banyak
perairan Indonesia yaitu: (1) Wilayah Perairan berkembang seiring dengan perkembangan
Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, teknologi.
perairan kepulauan, dan perairan pedalaman; (2)
Keenam, Undang-Undang Nomor 21
Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar
Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan
12 mil laut yang dikukur dari garis pangkal
Ketentuan-Ketentuan Konvensi PBB tentang
kepulauan Indonesia.
Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang

176 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Perubahan tersebut antara lain terhadap beberapa
Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan substansi, baik menyangkut aspek manajemen,
Ikan yang Beruaya Jauh. birokrasi, maupun aspek hukum.

Konvensi PBB tentang hukum laut Kelemahan pada aspek manajemen


(UNCLOS) tahun 1982 mengatur secara garis pengelolaan perikanan antara lain belum
besar mengenai beberapa spesies ikan yang terdapatnya mekanisme koordinasi antar instansi
mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
yang beruaya terbatas (straddling fish), serta Sedangkan pada aspek birokrasi, antara
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory lain terjadinya benturan kepentingan dalam
fish). Pada tahun 1995 PBB telah menyusun suatu pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek
persetujuan baru untuk mengimplementasikan hukum antara lain masalah penegakan hukum,
ketentuan tersebut yaitu United Nation rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi
Implementing Agreement (UNIA 1995). relatif pengadilan negeri terhadap tindak
pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar
UNIA 1995 merupakan persetujuan
kewenangan pengadilan negeri tersebut.
multilateral yang mengikat para pihak dalam
masalah konservasi dan pengelolaan jenis
ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang 2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Illegal
beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 Fishing di Wilayah Perairan Republik
dan Pasal 64 UNCLOS 1982 (Undang-Undang Indonesia
Nomor 17 Tahun 1985). Mengingat UNIA Sesuai Pasal 103 Undang-Undang Nomor
1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 31 Tahun 2004, tindak pidana yang dikategorikan
dan tujuan pembentukan persetujuan ini untuk sebagai “kejahatan” adalah sebagai berikut:
menciptakan standar konservasi dan pengelolaan
jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, a. Pemilik kapal perikanan, pemilik
maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal perusahaan perikanan, penanggung jawab
yang mendesak bagi Indonesia. Pasal 3 ayat (1) perusahaan perikanan, dan/atau operator
menegaskan konservasi dan pengelolaan untuk kapal perikanan yang dengan sengaja di
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan wilayah pengelolaan perikanan Republik
ikan yang beruaya jauh di luar wilayah yurisdiksi Indonesia melakukan usaha penangkapan
nasional. ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/
Ketujuh, Undang-Undang Nomor 45 Tahun atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang merugikan dan/atau membahayakan
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. kelestarian sumber daya ikan dan/atau
Undang-undang ini hadir tidak untuk menghapus lingkungannya (Pasal 84 ayat (3)).
undang-undang yang telah ada, akan tetapi ada
beberapa perubahan dalam pasal-pasalnya untuk b. Setiap orang yang dengan sengaja di
menyesuaikan dengan perkembangan teknologi wilayah pengelolaan perikanan Republik
sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum. Indonesia memiliki, menguasai, membawa,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 177
dan/atau menggunakan alat penangkapan Tindak pidana yang dikategorikan sebagai
ikan dan/atau alat bantu penangkapan “pelanggaran” adalah sebagai berikut:
ikan yang berada di kapal penangkap ikan
a. Setiap orang yang membangun, mengimpor
yang tidak sesuai dengan ukuran yang
atau memodifikasi kapal perikanan yang
ditetapkan, alat penangkap ikan yang tidak
tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
sesuai dengan persyaratan, atau standar
(Pasal 95).
yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/
atau alat penangkapan ikan yang dilarang b. Setiap orang yang mengoperasikan
(Pasal 85). kapal perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak
c. Setiap orang yang dengan sengaja
mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,
kapal perikanan Indonesia (Pasal 96).
mengedarkan, dan/atau memelihara
ikan yang merugikan masyarakat, c. Nakhoda yang mengoperasikan kapal
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, penangkap ikan berbendera asing yang
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke tidak memiliki izin penangkapan ikan,
dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan yang selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia (Pasal 88). perikanan Republik Indonesia tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di
d. Setiap orang yang memiliki dan/atau
dalam palka (Pasal 97 ayat (1)); yang
mengoperasikan kapal penangkap
telah memiliki izin penangkapan ikan
ikan berbendera Indonesia melakukan
dengan satu jenis alat penangkapan ikan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang
perikanan Republik Indonesia dan/atau di
membawa alat penangkapan ikan lainnya
laut lepas yang tidak memiliki Surat Izin
(Pasal 97 ayat (2)); yang telah memiliki izin
Penangkapan Ikan (SIPI) (Pasal 93 ayat
penangkapan ikan, yang tidak menyimpan
(1)), memiliki dan/atau mengoperasikan
alat penangkapan ikan di dalam palka
kapal penangkap ikan berbendera asing
selama berada di luar daerah penangkapan
melakukan penangkapan ikan di wilayah
ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan
pengelolaan perikanan Republik Indonesia
perikanan Republik Indonesia (Pasal 97
yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93 ayat
ayat (3)).
(2)).
d. Nakhoda yang berlayar tidak memiliki
e. Setiap orang yang memiliki dan/atau
surat izin berlayar kapal perikanan yang
mengoperasikan kapal pengangkut ikan di
dikeluarkan oleh syahbandar (Pasal 98).
wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia yang melakukan pengangkutan e. Setiap orang asing yang melakukan
ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak penelitian perikanan di wilayah pengelolaan
memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan perikanan Republik Indonesia yang tidak
(SIKPI) (Pasal 94). memiliki izin dari pemerintah, (pasal 99).

178 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


Terkait illegal fishing adalah istilah yang 3. Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana
poluler untuk menyebut tindak pidana di bidang Illegal Fishing di Wilayah Perairan
perikanan, sehingga perlu dikaji, karena istilah ini Indonesia
tidak tersurat dalam undang-undang perikanan.
Perancis, sebagai negara yang banyak
Menurut Pengawasan Sumber Daya membawa pengaruh secara tidak langsung
Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan terhadap sistem hukum di Indonesia melalui
dan Perikanan Republik Indonesia, secara negara jajahannya Belanda, baru memasukkan
harfiah illegal fishing diartikan sebagai kegiatan korporasi sebagai subjek hukum dalam kodifikasi
perikanan yang tidak sah; kegiatan perikanan Code de Commerce tahun 1807 (Aliansi Nasional
yang tidak diatur oleh peraturan yang ada Reformasi KUHP, 2015: 6). Dari Code de
(DJPSDKP, 2008). Commerce dan Code de La Marine ini kemudian
konsep mengenai korporasi secara nyata masuk
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
ke dalam sistem hukum Belanda yang terdapat di
memberikan pengertian yang luas terhadap
dalam Wetboek van Koopenhandel (Said, 1987:
konsep perikanan. Dalam Pasal 1 ayat (1)
3). Melalui pemberlakuan asas konkordansi,
disebutkan bahwa: “Perikanan adalah semua
perkembangan mengenai korporasi sebagaimana
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
terdapat di dalam Wetboek van Koopenhandel di
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
Belanda membawa pengaruh terhadap ketentuan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
mengenai korporasi di Ned. Indie, di mana salah
pengolahan sampai dengan pemasaran,
satu wilayahnya adalah Indonesia. Dari sinilah
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perkembangan mengenai korporasi masuk ke
perikanan.”
wilayah Indonesia (Aliansi Nasional Reformasi
Konsep perikanan yang diberikan oleh KUHP, 2015: 6).
undang-undang sangat luas, tidak hanya sekedar
Menurut Prasetya, kata korporasi adalah
kegiatan penangkapan ikan tapi juga termasuk
sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
biasa dalam bidang hukum lain, khususnya
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
bidang hukum perdata, sebagai badan hukum
pengolahan sampai dengan pemasaran.
atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai
Setelah konsep illegal fishing yang dibuat rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris
oleh lembaga yang berwenang disinkronkan disebut legal entities atau corporation (Muladi &
dengan konsep perikanan menurut Undang- Priyatno, 1991: 13).
Undang Nomor 31 Tahun 2004 (Pasal 1 ayat
Terkait korporasi adalah badan hukum,
(1)), maka dapat diketahui bahwa semua bentuk-
maka terhadap korporasi memiliki definisi
bentuk tindak pidana baik yang merupakan
tersendiri. Subekti mendefinisikan badan
“kejahatan” maupun “pelanggaran”dalam
hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
undang- undang tersebut dapat disebut sebagai
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
tindak pidana illegal fishing.
melakukan perbuatan seperti manusia, serta

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 179
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau Berbeda dengan pendapat para ahli di
menggugat di depan hakim (Ali, 1999: 11). atas, Sjahdeini menyatakan bahwa dalam
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
Menurut Garner, mengemukakan bahwa
korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit,
pengertian korporasi diambil dari istilah dalam
maupun melihat artinya yang luas. Beliau
bahasa Inggris “corporation” yang berarti
menyatakan, bahwa menurut artinya yang sempit,
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh
yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan
undang-undang diperbolehkan untuk melakukan
figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya
perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai
untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan
subjek hukum, berbeda dengan para pemegang
hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya,
sahamnya (Garner, 2003: 147).
hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari
Ferber menyatakan bahwa korporasi korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat
adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai
apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia. suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan
Korporasi dapat membeli dan menjual properti, “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati
baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui
sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat oleh hukum (Sjahdeini, 2006: 44).
menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya
Arti secara luas sebagai pengertian korporasi
sendiri (Ferber, 2002: 18).
dalam hukum pidana, beliau mendefinisikan
Hakikat dari korporasi dapat dilihat korporasi, bahwa dalam hukum pidana, korporasi
pendapat klasik Haldane LC, bahwa korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan
adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum
pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau
sendiri; kehendak yang dijalankan dan bersifat perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan
mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada hukum yang digolongkan sebagai korporasi
seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin menurut hukum pidana, tetapi juga firma,
disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan
mengarahkan pikiran dan kehendak dari atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang
korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi (Gillies, menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum
1990: 126). (Sjahdeini, 2006: 45).

Menurut Rahardjo yang dimaksud dengan Dalam ketentuan umum KUHAP yang
korporasi adalah badan yang diciptakannya digunakan sampai saat ini, Indonesia masih
itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan
dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur oleh manusia, sedangkan badan hukum (rechts
animus yang membuat badan itu mempunyai persoon) yang dipengaruhi oleh pemikiran Von
kepribadian. Oleh karena badan hukum ini Savigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction
merupakan ciptaan hukum, maka kecuali theory) yang menganggap kepribadian hukum
penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh merupakan kesatuan-kesatuan dari manusia
hukum (Rahardjo, 2000: 13). merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian

180 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara- Akibat semakin besarnya peran korporasi
negara, korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga dalam dunia ekonomi dan dirasakan besar dampak
tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi,
tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu maka negara-negara maju khususnya yang
manusia (Hatrik, 1996: 30). perekonomiannya sudah baik mulai mencari cara
untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak
Korporasi sebagai subjek tindak pidana
tersebut, salah satunya dengan menggunakan
terjadi di luar KUHP, dalam perundang-undangan
instrumen hukum pidana (bagian dari hukum
khusus, sedangkan KUHP sendiri masih tetap
publik). Di Indonesia sendiri korporasi sudah
menganut subjek tindak pidana berupa “orang”
dicantumkan sebagai salah satu subjek pelaku
(lihat Pasal 59 KUHP). Subjek tindak pidana
pidana di berbagai perundang-undangan tindak
korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-Undang
pidana khusus, salah satunya dalam tindak pidana
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1
illegal fishing.
angka 13; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika Pasal 1 angka 19; Undang- Berbagai bentuk kejahatan illegal fishing
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah yang diidentifikasi dalam Undang-Undang
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengenal beberapa
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan pelaku terhadap tindak kejahatan tersebut. Para
Tindak Pidana Korporasi Pasal 1 angka 1; Undang- pelakunya, antara lain (Pasal 84-100), yaitu: setiap
Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- orang; nakhoda atau pemimpin kapal perikanan;
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 ahli penangkapan ikan; anak buah kapal; pemilik
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang pada kapal perikanan; pemilik perusahaan perikanan;
intinya mengatakan: “Korporasi adalah kumpulan penanggung jawab perusahaan perikanan;
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik operator kapal perikanan; pemilik perusahaan
merupakan badan hukum maupun bukan badan pembudidayaan ikan; kuasa pemilik perusahaan
hukum” (Priyatno, 2004: 18-19). pembudidayaan ikan; penanggung jawab
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
Dewasa ini, korporasi merupakan bentuk
perikanan Republik Indonesia.
organisasi bisnis yang paling penting. Korporasi
berkembangmenjadiinstitusi,tidaksajadalam dunia Kata “setiap orang” dalam undang-
bisnis yang mencari keuntungan, melainkan juga undang ini diartikan sebagai perseorangan atau
sebagai bentuk organisasi publik dan swasta yang korporasi. “Korporasi” sendiri diartikan sebagai
tujuannya tidak mencari keuntungan. Korporasi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
telah tumbuh menjadi konsep yang canggih dalam terorganisasi baik merupakan badan hukum
bekerja sama dan pengumpulan modal. Berbeda maupun bukan badan hukum (Pasal 1 ayat (14)
dengan aktivitas ekonomi masyarakat primitif dan (15)). Artinya, undang-undang ini mengakui
yang hanya dilakukan secara individual atau bahwa korporasi sebagai salah satu subjek tindak
paling jauh antar kelompok keluarga, korporasi pidana illegal fishing.
dihimpun dengan mengikutsertakan pihak-pihak
Dalam perkembangannya, ada usaha untuk
luar, bahkan melampaui batas-batas negara.
menjadikan korporasi sebagai subjek hukum

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 181
dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang
kewajiban yang melekat padanya, yaitu adanya dilarang tersebut (Priyatno, 2004: 26). Dalam
hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak
tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tak pidana, tapi yang dapat dipertanggungjawabkan
jarang korporasi mendapat keuntungan yang secara pidana hanyalah pengurus yang secara
banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh nyata memimpin korporasi tersebut. Dalam tahap
pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara
dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh langsung masih belum muncul.
tindakan pengurus korporasi. Oleh karenanya,
Tahap ketiga merupakan permulaan adanya
dianggap tidak adil kalau korporsi tidak dikenakan
tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam
hak dan kewajiban seperti halnya manusia.
tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut
Kenyataan ini yang kemudian memunculkan
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya
tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai
menurut hukum pidana. Di samping itu, dalam
subjek hukum dalam hukum pidana.
delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang
Tahap pertama, ditandai dengan usaha-usaha diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga
pada perorangan (natuurlijk person). Apabila tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap Alasan lainnya, bahwa dengan hanya memidana
dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut para pengurus tidak atau belum ada jaminan
(Muladi & Priyatno, 1991: 169-196). Pandangan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik
pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh tersebut. Dengan memidana korporasi dengan
asas societas delinquere non potest yaitu badan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. korporasi itu, diharapkan bisa memaksa korporasi
Dalam tahap ini membebankan “tugas pengurus” untuk menaati peraturan yang bersangkutan
(zorgplicht) kepada pengurus. (Priyatno, 2004: 27-28).

Tahap kedua, ditandai dengan pengakuan


II. METODE
yang timbul sesudah Perang Dunia 1 dalam
perumusan undang-undang, bahwa suatu Penelitian yang dilaksanakan adalah
perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi. penelitian hukum normatif yang menggunakan
Namun tanggung jawab untuk itu menjadi beban tiga pendekatan yaitu: pendekatan perundang-
dari pengurus badan hukum. Perumusan yang undangan (statute approach), pendekatan kasus
khusus ini yaitu apabila suatu perbuatan pidana (case approach), dan pendekatan konseptual
dilakukan oleh suatu pengurus atau karena suatu (conceptual approach). Statute approach
badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harus adalah pendekatan dengan menggunakan
dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara legislasi dan regulasi (Mahmud, 2009: 97),
perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih penulis menggunakan produk perundang-
dari anggota pengurusnya kepada mereka yang undangan perikanan beserta peraturan pelaksana
memerintahkan atau kepada mereka yang secara

182 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


di bawahnya. Pendekatan kasus digunakan kepustakaan. Penulis mengumpulkan bahan
untuk mengkaji masalah dari segi praktik mengenai konsep pertanggungjawaban pidana
peradilan yang berkembang dalam merespon korporasi dan illegal fishing, memilih pasal-pasal
dan mengaktualisasikan hukum secara in yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana
concreto, dalam hal ini penulis mengkaji Putusan korporasi dalam hukum perikanan, kemudian
Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB. digunakan untuk menganalisis Putusan Nomor
Pendekatan konseptual digunakan untuk 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB. Data yang
mengkaji masalah visi pembaruan hukum terkait telah diperoleh dikumpulkan dan diklasifikasikan,
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kemudian disusun dalam suatu susunan yang
illegal fishing dalam pertimbangan hukum yang komprehensif, kemudian dideskripsikan dan
tercantum pada putusan pengadilan, dihubungkan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan
dengan pandangan dan doktrin-doktrin ahli selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan
hukum (Panggabean, 2014: 170). diberikan argumentasi. Metode analisis yang
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan
Bahan hukum diperoleh dari telaah pustaka.
atas permasalahan yang dibahas adalah melalui
Bahan hukum di bidang hukum (dipandang dari
analisis yuridis kualitatif.
sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan
menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder (Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum III. HASIL DAN PEMBAHASAN
primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan Konsep liability atau pertanggungjawaban
pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, dalam hukum pidana merupakan konsep sentral
ataupun pengertian baru tentang fakta yang yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam
diketahui mengenai suatu gagasan (Soekanto bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan
& Mamudji, 1998: 34), yaitu: Pancasila, UUD sebutan ‘mens rea.’ Doktrin ‘mens rea’ ini
NRI 1945, undang-undang yang mengatur dilandaskan pada konsep, bahwa suatu perbuatan
tentang perikanan beserta peraturan pelaksana tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali
di bawahnya, undang-undang yang mengatur jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa
tentang KUHP, peraturan perundangan lain yang Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an
berkaitan dengan pokok permasalahan, dan act does not make a person guilty, unless the
putusan yang akan dikaji. mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas
Bahan hukum sekunder, bersifat ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan
primer, seperti: hasil penelitian berupa buku lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus
mengenai konsep pertanggungjawaban pidana reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea)
korporasi dan konsep illegal fishing, selain itu (Ali, 2008: 39).
hasil seminar maupun lokakarya yang membahas Pembahasan mengenai pertanggungjawaban
tentang illegal fishing. pidana (strafbaarheid) harus didahului dengan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang pembahasan tentang konsep perbuatan pidana
dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi (strafbaarfeit). Sebab tidak adil, jika tiba-tiba

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 183
seseorang harus bertanggung jawab atas suatu rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi
perbuatan, sedang ia sendiri tidak melakukannya dalam undang-undang tersebut justru mengalami
(Saleh, 1983: 20-23). Perbuatan pidana diartikan kemunduran.
dengan diteruskannya celaan objektif yang ada
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31
pada perbuatan pidana dan secara subjektif
Tahun 2004 dan Perubahannya menyebutkan,
yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana
bahwa: ”Dalam hal tindak pidana perikanan
karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
dilakukan oleh korporasi, tuntutan, dan sanksi
pidana adalah asas legalitas (principle of legality),
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya,
sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat
dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari
adalah asas kesalahan (principle of culpability).
pidana yang dijatuhkan.” Dengan demikian,
Hal ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana
meskipun korporasi diakui sebagai pelaku tindak
hanya akan dipidana, jika ia mempunyai kesalahan
pidana, akan tetapi tidak dapat dimintakan
dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
pertanggungjawaban pidana. Pengaturan
Kaitannya dengan tindak pidana dalam demikian akan menimbulkan banyak kelemahan,
bidang perikanan, Undang-Undang Nomor 9 yaitu menjadi tidak sebandingnya antara
Tahun 1985 mengakui adanya ‘badan hukum’ (di hukuman dengan dampak atau kerugian yang
samping orang-perorangan) sebagai subjek hukum ditimbulkannya. Di samping itu, penjatuhan
dalam tindak pidana perikanan [Pasal 6 ayat (1) pidana kepada pengurus korporasi juga tidak
dan Pasal 7 ayat (1)], namun undang-undang ini cukup memberikan jaminan bahwa korporasi
tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan tersebut tidak melakukan tindakan serupa di
hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas korporasi juga tidak sedikit yang berlindung
tindak pidana tersebut. Akibatnya, penanganan di balik korporasi-korporasi boneka (dummy
kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit company) yang sengaja mereka bangun untuk
dituntaskan, khususnya yang melibatkan pihak melindungi korporasi induknya.
korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang
Melihat rumusan pertanggungjawaban
diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan
pidana korporasi pada undang-undang positif,
seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin, dan
dapat dikatakan bahwa Indonesia masih
anak buah kapal, sedangkan pihak-pihak yang
menganut sistem pertanggungjawaban pidana
berada di belakang mereka (korporasi) nyaris
yaitu korporasi sebagai pembuat dan pengurus
tidak pernah tersentuh.
yang bertanggung jawab. Padahal menurut
Titik terang dari persoalan tersebut data Pengawasan Sumber Daya Kelautan
sebenarnya mulai tampak, ketika diatur prinsip dan Perikanan, kerugian yang ditimbulkan
pertanggungjawaban korporasi dalam Undang- akibat tindak pidana dalam bidang perikanan
Undang Nomor 31 Tahun 2004, di mana yang sangat besar. Dari sini dapat dikatakan bahwa
dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan Indonesia masih belum serius menangani tindak
tidak saja mereka yang merupakan pelaku pidana tersebut, dikarenakan salah satu pilar
langsung di lapangan, tetapi juga pihak korporasi bagi penegakan hukum, yaitu aspek yuridis
yang berada di belakang mereka. Namun, normatifnya masih rapuh.

184 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


Menurut penulis, penjatuhan pidana kepada 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
korporasi akan lebih efektif, karena secara tidak Undang Nomor 31 Tahun 2004, yaitu
langsung akan berimbas juga pada pengurusnya. setiap orang yang melanggar ketentuan
Ketika korporasi sebagai wadah dan alat mengenai sistem pemantauan kapal
dibiarkan, bukan tidak mungkin orang lain masih perikanan dipidana dengan pidana denda
bisa menjalankannya, akan tetapi ketika korporasi paling banyak Rp.250.000.000,-;
sebagai wadah dan alat dibekukan, maka orang-
3. Pasal 7 ayat (2) huruf m yakni melakukan
orang yang ada di dalamnya secara otomatis juga
usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
akan bubar.
perikanan wajib mematuhi ketentuan
Diketahui bahwa terdakwa ZNL adalah mengenai jenis ikan yang dilarang
nakhoda kapal M.V. Hai Fa berbendera Panama untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
tertangkap di Wanam oleh Pengawas Perikanan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara
Satker PSDKP Kimaan. Kapal M.V. Hai Fa adalah Republik Indonesia; perbuatan terdakwa
milik PT. AML yang berada di Avona Kabupaten ZNL diatur dan diancam dengan sanksi
Kaimana. Atas perbuatannya, terdakwa didakwa: pidana Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf
m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
1. Melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf d
jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
yakni, melakukan usaha dan/atau kegiatan
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
pengelolaan perikanan wajib mematuhi
Nomor 31 Tahun 2004, yaitu setiap orang
ketentuan mengenai persyaratan atau
yang melanggar ketentuan mengenai jenis
standar prosedur operasional penangkapan
ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
ikan, dan diancam dengan sanksi pidana
dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari
Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf d
wilayah Republik Indonesia di pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dengan pidana denda paling banyak
jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
Rp.250.000.000,-
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004, yaitu setiap orang Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa,
yang melanggar ketentuan persyaratan atau sebagai berikut:
standar prosedur operasional penangkapan
1. Menyatakan terdakwa ZNL selaku nakhoda
ikan, dipidana dengan pidana denda paling
kapal M.V. Hai Fa terbukti secara sah dan
banyak Rp.250.000.000,-;
meyakinkan menurut hukum, bersalah
2. Melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf e yakni melakukan perbuatan pidana; “Melanggar
melakukan usaha dan/atau kegiatan ketentuan jenis ikan yang dilarang
pengelolaan perikanan wajib mematuhi untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
ketentuan mengenai sistem pemantauan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik
kapal perikanan; dan diancam dengan Indonesia;” melanggar Pasal 100 jo. Pasal
sanksi pidana Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor
huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor
2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 185
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. 4. Membebankan kepada terdakwa biaya
perkara sebesar Rp.5.000,-
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
ZNL dengan pidana denda sebesar Majelis hakim menyatakan meski tidak
Rp.200.000.000,- subsider enam bulan memiliki Surat Laik Operasi, kapal M.V. Hai
kurungan. Fa sudah memiliki Surat Persetujuan Berlayar.
Kemudian bukti kedua berupa vessel monitoring
3. Menyatakan barang bukti berupa: kapal
system (VMS), penyidik menemukan VMS
M.V. Hai Fa berbendera Panama, ikan
kapal M.V. Hai Fa hanya mengalami gangguan
campuran ±800,658 kg (selain ikan hiu 15
khususnya pada daya listrik, sehingga dipastikan
ton), udang 100,044 kg, dokumen kapal
kapal M.V. Hai Fa akan dikembalikan kepada
untuk dikembalikan kepada yang berhak
pemiliknya, tidak bisa dirampas dan disita bagi
melalui terdakwa; sedangkan ikan hiu
negara atau ditenggelamkan. Sementara barang
lonjor/lanjaman dan martil sebanyak 15 ton
bukti lain, seperti ikan campuran dan udang
dirampas untuk negara.
sebanyak 900.702 kg, terdiri dari ikan beku
4. Membebankan kepada terdakwa biaya 800.658 kg dan udang beku 100.044 kg, dianggap
perkara sebesar Rp.10.000,- tidak memiliki masalah (Detik News, 2015).

Amar Putusan Nomor 01/PID.SUS/ Hakim mengabulkan seluruh tuntutan jaksa,


PRK/2015/PN.AMB, sebagai berikut: akan tetapi banyak pihak menilai bahwa putusan
ini tidak sebanding dengan kejahatan yang
1. Menyatakan terdakwa ZNL terbukti secara
dilakukan serta dampak yang ditimbulkannya,
sah dan meyakinkan bersalah melakukan
bahkan membuat Menteri Kelautan dan Perikanan
tindak pidana melanggar “membawa keluar
Susi Pudjiastuti menitikkan air mata, merasa
wilayah Republik Indonesia jenis ikan yang
semua usaha, dan jerih payahnya selama ini tidak
dilarang untuk diperdagangkan;”
dihargai (CNN Indonesia, 2015). Bagaimana
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu tidak, kapal yang diduga telah mencuri ikan,
terhadap terdakwa ZNL dengan pidana seperti ikan campuran dan udang sebanyak
denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan 900.702 kg, terdiri dari ikan beku 800.658 kg dan
ketentuan apabila denda tidak dibayar udang beku 100.044 kg, serta menyelundupkan 15
maka diganti dengan pidana kurungan ton ikan hiu martir dan hiu lonjor yang merupakan
selama enam bulan; jenis ikan yang dilarang untuk diekspor ke luar
negeri berdasarkan peraturan Menteri Kelautan
3. Menetapkan barang bukti berupa: kapal dan Perikanan Nomor 59/Permen-KP/2014,
M.V. Hai Fa, 3,830 GT berbendera Panama, hanya mendapat sanksi ringan. Hal ini sangat
ikan campuran ±800.658 kg (selain ikan hiu disayangkan dan menunjukkan pemerintah masih
martil 15 ton), udang 100.044 kg, dokumen belum serius melindungi sumber daya lautnya.
kapal M.V. Hai Fa untuk Dikembalikan
kepada pemiliknya yang sah yaitu HY Pengadilan menyatakan bahwa kapal M.V.
melalui terdakwa; sedangkan 15 ton ikan Hai Fa tidak terbukti melakukan illegal fishing.
hiu martil dirampas untuk negara; Majelis hakim menyatakan terdakwa ZNL hanya

186 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


terbukti memuat ikan hiu secara illegal dan Menurut Menteri Susi, kapal M.V. Hai Fa
melanggar Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf dalam aksinya selalu bergonta-ganti bendera.
m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Ketika kapal M.V. Hai Fa ditangkap, petugas
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Padahal menemukan sekitar 900.702 kg berbagai jenis
kapal M.V. Hai Fa ditangkap pada 26 Desember ikan tangkapan, akan tetapi kenapa penyidikan
2014 saat berlabuh di wilayah Wanam, Kaimana, tidak mampu membuktikan tindak pidana illegal
Papua Barat oleh Pengawas Perikanan Satker fishing yang dilakukan kapal tersebut. Putusan
PSDKP, karena dokumen dan muatan tidak sama, majelis hakim dianggap sangat ringan, karena
yaitu muatan ikan yang tidak sesuai dengan hanya memvonis nakhoda kapal, ZNL, dengan
SIKPI-NA Nomor 20.14.0001.02.42482 berupa denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara,
ikan segar beku. Selain itu, kapal berbendera lebih ringan dari sanksi maksimal dalam undang-
Panama itu juga mengangkut jenis ikan hiu lonjor undang (Rp 250 juta) akan tetapi sesuai dengan
dan ikan hiu martil yang dilarang dikeluarkan tuntutan jaksa.
dari wilayah NKRI.
Aksi Menteri Kelautan dan Perikanan
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/ yang mengajukan banding atas putusan tersebut
PN.AMB ini menimbulkan polemik, sehingga berbuah tuntutan balik terhadapnya. CK, pemilik
akhirnya jaksa penuntut umum memutuskan kapal M.V. Hai Fa. melaporkan Susi ke Mabes
mengajukan banding. Sayangnya, majelis hakim Polri. CK merasa nama baik dirinya dan citra
pengadilan tingkat banding memperkuat vonis perusahaan menjadi buruk, karena dicemarkan
atas nakhoda M.V. Hai Fa berupa membayar oleh Susi sehingga sangat memengaruhi
denda Rp.200 juta, dengan menimbang bahwa kegiatan bisnisnya (www.teropongsenayan.
untuk kepentingan pemeriksaan tingkat banding, com). Pengakuan CK terkait citra perusahaan
penuntut umum tidak mengajukan memori dan dilaporkannya Menteri Susi, dinilai kuat,
banding. Pertimbangan lainnya adalah setelah bahwa yang melakukan illegal fishing adalah
mempelajari berita acara sidang dan putusan korporasi. Menghukum nakhoda kapal adalah
pengadilan tingkat pertama, majelis hakim salah sasaran, karena pelaku yang sesungguhnya
pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa tidak merasakan efek apapun dari hukuman
putusan tingkat pertama dinilai sudah tepat dan tersebut, ironinya jusru melakukan tuntutan balik
benar dasar pertimbangan hukumnya (www. terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan. Hal
kabar24.bisnis.com). ini tidak akan membuat jera dan tidak menutup
kemungkinan kapal tersebut akan mengulangi
Kapal M.V. Hai Fa bukan milik pribadi atau
perbuatannya lagi dengan nakhoda kapal yang
perseorangan, akan tetapi milik sebuah korporasi
berbeda, atau bahkan melakukan perbuatan yang
yaitu Hai Yi Shipping Limited yang dicarter oleh
sama dengan menggunakan kapal yang berbeda.
PT. DRA. Kapal tersebut berdasarkan keterangan
yang tertera di dalam SIKPI khusus mengangkut Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/
ikan milik perusahaan PT. AML, PT. DRA, dan PN.AMB memang sudah sesuai dengan ancaman
PT. WLI. Kapal ini beroperasi menjalankan maksimum dalam pasal dakwaan yang diajukan
serangkaian kegiatan korporasi untuk mencapai jaksa. Namun, dalam hal ini patut dicatat, bahwa
tujuan korporasi. hukuman pidana denda yang diberikan tidak

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 187
sebanding dengan kerugian yang diakibatkan Mutu hukum, ditentukan oleh
kegiatan illegal fishing tersebut, yaitu: pertama, kemampuannya untuk mengabdi pada
kerugian yang dialami nelayan Indonesia, karena kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum
nilai ekonomis hasil tangkapan ikan diambil oleh progresif menganut ideologi: “hukum yang pro-
warga negara asing yang mempunyai kapal dan keadilan dan hukum yang pro-rakyat.” Dengan
alat penangkapan ikan lebih canggih/modern; ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum
kedua, negara Indonesia mengalami kerugian mendapat tempat yang utama untuk melakukan
yang sangat besar, karena eksplorasi sumber daya pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
alam perikanan yang seharusnya dikelola dengan mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam
baik untuk kepentingan kemakmuran rakyat, penegakan hukum. Mereka harus memiliki
malah diambil atau dicuri oleh warga negara asing empati dan kepedulian pada penderitaan yang
dan Indonesia tidak mendapat keuntungan apapun dialami rakyat dan bangsa ini.
termasuk pajak; ketiga, pengambil manfaat
Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan
adalah korporasi negara asing, yang mana tidak
kebahagiaannya), harus menjadi orientasi dan
ada efek jera, karena walaupun tertangkap tetapi
tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Bagi
keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada
hukum progresif, proses perubahan tidak lagi
hukuman yang diberikan oleh pengadilan,
berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas
sehingga kegiatan mengeksplorasi kekayaan laut
pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam
Indonesia terus berkelanjutan.
ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum
Hal ini diperlukan hukum progresif oleh progresif dapat melakukan perubahan dengan
aparatur penegak hukum termasuk hakim, yaitu melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap
cara berhukum yang memiliki karakteristik peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
sebagai berikut: perubahan peraturan (changing the law).
“Pertama, paradigma hukum progresif Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi
adalah, bahwa hukum adalah untuk manusia. penghalang bagi para pelaku hukum progresif
Pegangan, optik atau keyakinan dasar untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat
ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu
yang sentral dalam berhukum, melainkan dan pencari keadilan, karena mereka dapat
manusialah yang berada di titik pusat melakukan interpretasi secara baru setiap kali
perputaran hukum. Kedua, hukum progresif terhadap suatu peraturan (Rahardjo, 2007: 247).
menolak untuk mempertahankan status quo
dalam berhukum. Mempertahankan status
quo memberi efek yang sama seperti pada Dalam kasus ini, hakim dapat bertindak
waktu orang berpendapat, bahwa hukum progresif dalam rangka menegakkan keadilan,
adalah tolok ukur untuk semuanya, dan walaupun dalam tuntutan jaksa telah
manusia adalah untuk hukum. Ketiga,
hukum progresif memberikan perhatian mengembalikan dokumen kapal M.V. Hai Fa
besar terhadap peranan perilaku manusia kepada yang berhak melalui terdakwa, tetapi
dalam hukum. Peranan manusia di hakim dapat meminta kembali dokumen tersebut
sini merupakan konsekuensi terhadap
pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan.
berpegangan secara mutlak kepada teks Permintaan dokumen kapal ini adalah untuk
formal suatu peraturan” (Rahardjo, 2007: memeriksa bagaimana keterkaitan terdakwa
139-144).
ZNL termasuk 23 orang anak buah kapal

188 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


berkewarganegaraan asing dengan jajaran dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan
pengurus PT. AML sebagai pemilik kapal M.V. pertimbangan hukum dan nuraninya. Hal
Hai Fa, mengingat ZNL ada di kapal tersebut ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
dengan membawa ikan ±800,658 kg dan udang peneliti dari Puslitbang Hukum dan Peradilan
100,044 kg milik PT. AML, sedangkan di dalam Badan Litbang Diklat dalam sebuah kesimpulan
kapal juga ada ikan hiu lonjor/lanjaman dan penelitiannya ‘memformulasikan’ konsep:
martil sebanyak 15 ton yang disita oleh negara. “Merupakan kewenangan daripada hakim
memutus sesuai fakta persidangan dan
Pemeriksaan hakim ini adalah untuk keyakinannya memberikan pemidanaan
memastikan keterkaitan kontrak kerja/ melebihi tuntutan jaksa penuntut umum
jika dirasa adil dan rasional. Apalagi
terorganisasi ZNL dengan PT. AML. Artinya
merupakan sebuah realitas bahwa
untuk membuktikan keterkaitan illegal fishing tuntutan dari jaksa penuntut umum
dengan korporasi, sebagaimana definisi korporasi tidaklah selalu sama atau sesuai dengan
batasan maksimal ancaman pidana
dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 Undang-Undang
yang terdapat secara eksplisit dalam
Nomor 31 Tahun 2004 yaitu: “Setiap orang peraturan perundang-undangan. Hakim
adalah orang perseorangan atau korporasi,” dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan
jaksa penuntut umum, namun tidak boleh
sedangkan “Korporasi adalah kumpulan melebihi batas maksimum ancaman
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi pidana yang ditentukan undang-undang”
baik merupakan badan hukum maupun bukan (Sudharmawatiningsih, 2015: 63).
badan hukum.” Namun pidana yang dilakukan Hal inilah yang dimaksud Rahardjo
korporasi yang bisa dituntut adalah pengurusnya mengenai teori hukum progresif yang pada
saja, sedangkan korporasinya sendiri tidak bisa intinya perilaku para penegak hukum dalam
dituntut, sebagaimana ketentuan Pasal 101 mempertimbangkan kontekstual untuk
disebutkan: ”Dalam hal tindak pidana perikanan mewujudkan rasa keadilan masyarakat, dan
dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi diperkuat oleh pendapat Manan, mengenai
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, peraturan perundang-undangan juga memiliki
dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari kelemahan/kekurangan, yaitu:
pidana yang dijatuhkan.” Hakim bisa memakai
(1) Peraturan perundang-undangan tidak
pasal alternatif, artinya apabila hakim bisa fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya
membuktikan bahwa pasal mana yang terbukti dengan masyarakat. Pembentukan
dalam persidangan didasarkan pada penilaian peraturan perundang-undangan
membutuhkan waktu dan tata cara tertentu
pengadilan terkait korporasi, maka putusan hakim sementara masyarakat berubah terus
lebih tinggi dengan dakwaan jaksa sebagaimana bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya
ketentuan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 13 terjadi jurang pemisah antara peraturan
perundang-undangan dengan masyarakat.
Tahun 2004. (2) Peraturan perundang-undangan tidak
pernah lengkap untuk memenuhi semua
Terkait putusan hakim lebih tinggi dari peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan
dakwaan jaksa, secara normatif tidak ada satu ini menimbulkan apa yang lazim disebut
kekosongan hukum (Manan & Magnar,
pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan 1993: 8).
hakim memutus pemidanaan sesuai dengan
tuntutan jaksa. Hakim memiliki kebebasan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 189
IV. KESIMPULAN Pemeriksaan hakim ini dalam rangka
memastikan keterkaitan kontrak kerja/
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/
terorganisasi ZNL dengan PT. AML. Artinya
PN.AMB memang sudah sesuai dengan ancaman
untuk membuktikan keterkaitan illegal fishing
maksimum dalam pasal dakwaan yang diajukan
dengan korporasi, sebagaimana definisi korporasi
jaksa. Namun, dalam hal ini patut dicatat, bahwa
dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor
hukuman pidana denda yang diberikan tidak
31 Tahun 2004 yaitu: “Setiap orang adalah
sebanding dengan kerugian yang diakibatkan
orang perseorangan atau korporasi,” sedangkan
kegiatan illegal fishing tersebut, yaitu: pertama,
Pasal 101 disebutkan: ”Dalam hal tindak pidana
kerugian yang dialami nelayan Indonesia, karena
perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan
nilai ekonomis hasil tangkapan ikan diambil oleh
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
warga negara asing yang mempunyai kapal dan
pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah
alat penangkapan ikan lebih canggih/modern;
sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.” Hakim
kedua, negara Indonesia mengalami kerugian
bisa memakai pasal alternatif, artinya apabila
yang sangat besar, karena eksplorasi sumber
hakim bisa membuktikan bahwa pasal mana
daya alam perikanan yang seharusnya dikelola
yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada
dengan baik untuk kepentingan kemakmuran
penilaian pengadilan terkait korporasi, maka
rakyat, malah diambil atau dicuri oleh warga
putusan hakim lebih tinggi dengan dakwaan
negara asing dan Indonesia tidak mendapat
jaksa sebagaimana ketentuan Pasal 101 Undang-
keuntungan apapun termasuk pajak; ketiga,
Undang Nomor 13 Tahun 2004.
pengambil manfaat adalah korporasi negara
asing, yang mana tidak ada efek jera, karena Terkait putusan hakim lebih tinggi dari
walaupun tertangkap tetapi keuntungan yang dakwaan jaksa, secara normatif tidak ada satu
diperoleh lebih besar daripada hukuman yang pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan
diberikan oleh pengadilan, sehingga kegiatan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan
mengeksplorasi kekayaan laut Indonesia terus tuntutan jaksa/penuntut umum. Hakim memiliki
berkelanjutan. kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai
dengan pertimbangan hukum dan nuraninya.
Dalam kasus ini, hakim dapat bertindak
progresif dalam rangka menegakkan keadilan, Hal inilah yang dimaksud Rahardjo
walaupun dalam tuntutan jaksa telah mengenai teori hukum progresif yang pada
mengembalikan dokumen kapal M.V. Hai Fa, intinya perilaku para penegak hukum dalam
tetapi hakim dapat meminta kembali dokumen mempertimbangkan kontekstual untuk
tersebut untuk kepentingan pemeriksaan di mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
pengadilan. Permintaan dokumen kapal ini Walaupun di Indonesia tindak pidana korporasi
adalah untuk memeriksa bagaimana keterkaitan khususnya pada konteks illegal fishing dalam
terdakwa ZNL termasuk 23 orang anak buah Undang-Undang Perikanan tidak dapat dikenakan
kapal berkewarganegaraan asing dengan jajaran pertanggungjawaban sebagai badan hukum,
pengurus PT. AML sebagai pemilik kapal M.V. tetapi setidaknya pengurus dalam korporasi bisa
Hai Fa. dituntut pertanggungjawabannya. Hal ini karena

190 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192


Indonesia masih menganut korporasi pada tahap maling ikan ‘jumbo’ ini hanya dituntut Rp.200
kedua hanya pengurus saja yang bisa dimintakan juta. Diakses dari https://news.detik.com/
pertanggungjawabannya, sedangkan korporasi berita/2865295/tak-ditenggelamkan-kapal-
sendiri sebagai badan hukum belum tersentuh. maling-ikan-jumbo-ini-hanya-dituntut-rp-200-
Selain itu, apabila hakim tidak bisa membuktikan juta?keepThis=true&TB_iframe=true&height=
650&width=850&caption=news.detik
bahwa ZNL dan para anak buah kapal termasuk
dalam ikatan korporasi, yang mana korporasi bisa Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya
lintas negara, tetapi setidaknya ada dissenting Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan
opinion terkait korporasi illegal fishing, dan Perikanan [DJPSDKP]. (2015). Tambah
mengingat penerima manfaat terbesar adalah tiga pengadilan perikanan untuk Indonesia
korporasi dan kerugian yang ditimbulkan juga Timur. Diakses dari http://djpsdkp.kkp.go.id/index.
sangat besar terhadap masyarakat Indonesia. php/arsip/c/136/TAMBAH-TIGA-PENGADILAN-
PERIKANAN-UNTUK-INDONESIA-
TIMUR/?category_id=21.

___________. (2008). Mengenal IUU Fishing yang


merugikan negara 3 trilyun rupiah/tahun.
DAFTAR ACUAN
Diakses dari http://www.p2sdkpkendari.com.
Ali, C. (1999). Badan hukum. Bandung: Alumni.
Ferber, K.S. (2002). Corporation law. New Jersey:
Ali, M. (2008). Kejahatan korporasi: Kajian relevansi Prentice Hall.
sanksi tindakan bagi penanggulangan kejahatan
Garner, B.A. (Ed.). (2003). Black’s law dictionary,
korporasi. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
second pocket edition. Tanpa kota: Tanpa
Aliansi Nasional Reformasi KUHP. (2015). penerbit.
Pertanggungjawaban korporasi dalam
Gillies, P. (1990). Criminal law. Arief, B.N. (Ed.).
rancangan kitab undang-undang hukum
Tanpa kota: Tanpa penerbit.
pidana. Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform. Hans. (2009). Tahun kinerja pemerintahan Sby-Jk
di sektor kelautan & perikanan, pandangan
CNN Indonesia. (2015). Kecewa dengan pengadilan,
bersama ornop dan ormas nelayan. Diakses
Menteri Susi meneteskan air mata.
dari http://nttonlinenews.com.
Diakses dari http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20150323152239-92-41199/kecewa- Hatrik, H. (1996). Asas pertanggungjawaban
dengan-pengadilan-menteri-susi-meneteskan-air- korporasi dalam hukum pidana (Strick liability
mata/. & vicarious liability). Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Detik Finance. (2014). Menteri Susi: Kerugian akibat
illegal fishing Rp.240 triliun. Diakses dari http:// Kabar24.com. (2015). Banding kasus M.V. Hai
finance.detik.com/read/2014/12/01/152125/276421 Fa ditolak, jaksa pelajari amar putusan.
1/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegal-fishing-rp- Diakses dari http://kabar24.bisnis.com/
240-triliun. read/20150507/16/430720/banding-kasus-mv-hai-
fa-ditolak-jaksa-pelajari-amar-putusan.
Detik News. (2015). Tak ditenggelamkan, kapal

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan) | 191
Manan, B., & Magnar, K. (1993). Beberapa masalah lingkungan. Diakses dari http://beta.tnial.mil.id/
hukum tata negara Indonesia. Bandung: cakrad_cetak.php?id=419.
Alumni.
Sudharmawatiningsih. (2015). Pengkajian tentang
Marzuki, P.M. (2009). Penelitian hukum. Jakarta: putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan
Kencana. jaksa penuntut umum. Laporan Penelitian.
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan
Merdeka.com. (2007). Kerugian negara akibat illegal
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
fishing terus naik. Diakses dari https://www.
Agung.
merdeka.com/uang/kerugian-negara-akibat-ilegal-
fishing-terus-naik-gadlkcy.html. WALHI. (2009). Potret advokasi ekologis vis a vis
kejahatan korporasi. Diakses dari http://www.
Muladi & Priyatno, D. (1991). Pertanggungjawaban
walhi.or.id.
korporasi dalam hukum pidana. Bandung:
STHB.

Panggabean, H.P. (2014). Penerapan teori hukum


dalam sistem peradilan Indonesia. Bandung:
Alumni.

Priyatno, D. (2004). Kebijaksanaan legislasi tentang


sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
di Indonesia. Bandung: Utomo.

Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

___________. (2007). Biarkan hukum mengalir


(Catatan kritis tentang pergulatan manusia &
hukum). Jakarta: Buku Kompas.

Said, M.N. (1987). Hukum perusahaan di Indonesia


(perorangan). Bandung: Alumni.

Saleh, R. (1983). Perbuatan pidana &


pertanggungjawaban pidana; Dua pengertian
dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara
Baru.

Sjahdeini, S.R.. (2006). Pertanggungjawaban pidana


korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (1998). Penelitian


hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Jakarta: Rajawali Pers.

Solihin, A. (2006). Konteks otonomi & globalisasi

192 | Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192

Anda mungkin juga menyukai