Anda di halaman 1dari 52

RANGKUMAN

HUKUM
LINGKUNGAN
UNTUK UAS
Disusun oleh: Dominique Virgil & Tim (FHUI 2015)

Tim: Isabella Leoni Simatupang – Kenny Regina – Miftahul Fitri –


Friliantari Putri – Athalia Permatasari – Priska Putri Andini – Vera
Indira
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

“Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu


dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrument pengawasan dan
perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu
dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan
konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.”

Penegakan hukum lingkungan terdiri dari 3 instrumen:


- Penegakan Hukum Administrasi
- Penegakan Hukum Perdata
- Penegakan Hukum Pidana

Perbedaan Fungsi Penegakan Hukum Perdata, Pidana, dan Administratif


Melakukan pengawasan penaatan terhadap persyaratan dalam izin
Administratif
& kewajiban per-uuan (prevention/before the fact)
Memulihkan hak-hak seseorang yang dilanggar sehingga
mengakibatkan kerugian melalui pemberian ganti kerugian
Perdata
(kompensasi), mengembalikan keadaan seperti semula seperti
sebelum terjadinya kerugian, atau meminta agar peraturan dipatuhi
dan dilaksanakan
Memberikan pesan efek penjeraan (general atau specific deterrent)
Pidana
melalui hukuman badan atau denda (orang dan korporasi)

Hk Administrasi (Pasal 76 – 83) à Pencegahan dan penanggulanan (preventif)


Hk Perdata (Ps 83 – 93) à ganti rugi dan pemulihan (represif dan restorative)
Hk Pidana (Ps 93 – 120) à efek jera (represif)

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI


Termasuk ke dalam pendekatan command and control. Mengapa ada penegakan hukum
administrasi negara? Ada tindakan berupa pencegahan (preventif) dan penegakan
hukum (represif); hal ini dilakukan karena Negara adalah wakil dari kepentingan si

2
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

lingkungan (karena lingkungan tidak bisa melindungi dirinya sendiri), otomatis Negara
yang menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Bicara penegakan hukum lingkungan, maka bicara upaya preventif untuk menilai
ketaatan penanggung jawab usaha/kegiatan; apakah sesuai dengan izin
lingkungannya/tidak à ada sanksi administratif (yang mengeluarkan adalah Pejabat
yang mengeluarkan izin yang bersangkutan) dan court review (PTUN).

Keterkaitan antara Hukum Lingkungan dengan Hukum Administrasi


Hukum Administrasi: Mengatur tentang pemerintahan (administration) secara
procedural dan substansial. Sementara, Hukum Lingkungan: Sebagian besar mengatur
tentang bagaimana pemerintah (dan pemangku kepentingan) melindungi dan
mengelola lingkungan hidup.
"Administrative law is the law governs agencies.
Environmental law is law administered by agencies to protect the environment, so the law
that governs agencies in administering environmental laws is essential not only to those in
the agencies but also to those outside the agencies who wish to influence or challenge
agency action....” (Johnston, Funk, and Flatt, “Legal Protection of the Environment Third
Ed,” 2010).

Dasar Hukum:
• Undang – undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (ps 71-75)
o PermenLH 2/2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di
Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• UU 41/1999 tentang Kehutanan (ps. 59-64)
• UU 18/2004 tentang Perkebunan (ps. 44)
• UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba (ps. 140)
• UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (ps. 55-59)
• UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air (ps. 75)

5 Prinsip Pokok Penegakan Hukum Administrasi


1. Penegakan Hukum Administrasi sebagai Pencegahan

3
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

2. Pelaksanaan Penegakan Hukum Administrasi merupakan kewajiban


pemerintah pusat dan pemerintah daerah
3. Pendelegasian kewenangan dan penetapan pejabat pengawas lingkungan
hidup
4. Kewenangan “Step In” Pemerintah Pusat terhadap ranah kewenangan daerah
5. Jenis-jenis Sanksi Administrasi

Penegakan Hukum Administrasi


Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup meliputi 2 hal, yaitu:
1. Upaya hukum yang ditujukan utk mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup melalui pendayagunaan kewenangan
administrasi sesuai dengan mandat yang diberikan oleh UU à yang
melaksanakan pemberian sanksi adalah pemerintah yang mengeluarkan izin.
*dari Pak Harsanto:
Kebijakan Rencana Program Evaluasi/Kejadian
Administrasi V V V V (contoh: dicabut
izinnya, distop)
Pidana X X X V
Perdata X X X V

2. Gugatan administratif (court review) terhadap putusan Tata Usaha Negara (TUN)
di PTUN à subjeknya Badan dan/atau Pejabat TUN yang mengeluarkan izin ybs.
- Pelaksanaan terhadap putusan PTUN adalah; misal jika PTUN
mengeluarkan putusan untuk membatalkan suatu perizinan PT X yang
dibuat oleh Gubernur, harus Gubernur lah yang mengeluarkan putusan
yang isinya membatalkan/mencabut izin ybs à pencabutan SK dengan
SK juga. Berarti sudah sampai tahap Program.

Instrumen Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan UU 32/2009:


1. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
Bukan administrasi murni. KLHS adalah kajian yang menilai produk administrasi.

4
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Yang dikaji: Tata Ruang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah / Panjang;


daya tampung dan daya dukung.
2. Tata Ruang
UU Tata Ruang hanya membagi wilayah nasional menjadi dua: kawasan lindung
dan kawasan budidaya.
Kawasan lindung à konservasi.
Kawasan budidaya à pemanfaatan untuk banyak hal.
Sebenarnya sederhana, namun permasalahannya adalah pembagiannya tidak
rata.
Contoh: Lapindo. Jadi ketika mengebor, dipasang pagar, namun bocor. Cara
mengatasinya adalah dengan mengebor dari samping. Namun permasalahannya
adalah, orang-orang Lapindo menambangnya di tengah-tengah penduduk, di
sebelah jalan kereta. Sehingga mau mengebor dari samping sudah tidak
memungkinkan, ditambah lagi biayanya yang mahal. Ditambah lagi, kondisi di
daerah Sidoarjo dari zaman dahulu adalah banyak mud volcano.
Lapindo = bencana alam atau kelalaian manusia?
Memang pemukiman penduduk dan pertambangan sama-sama merupakan
lokasi budidaya, tapi apakah bisa di satu daerah?
3. Baku mutu lingkungan Hidup
Standar maksimal emisi yang boleh dikeluarkan.
Sudah merupakan titik ujung pidana.
1000 Motor dengan emisi sedikit à bisa terjadi pencemaran.
1 motor dengan emisi yang besar à belum tentu terjadi pencemaran.
Namun di UU, begitu emisi yang keluar lebih dari standar yang ditentukan, bisa
dipidana.
Masalahnya adalah standar yang digunakan adalah standar yang lama.
4. Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
5. AMDAL
6. UKL-UPL
7. Perizinan
8. Instrumen ekonomi lingkungan hidup
9. Peraturan perUUan berbasis Lingkungan Hidup (Green Legislation)

5
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

10. Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup (Green budget)


11. Analisis Risiko Lingkungan Hidup
12. Audit Lingkungan Hidup
13. Penegakan Hukum
14. Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yang menjalankan semua administrasi itu adalah lembaga-lembaga lingkungan
hidup.
Nomor 2-7 dan nomor 13: upaya administrasi.

Manfaat strategis penegakan hukum administratif lingkungan hidup:


- Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup dapat dioptimalkan
sebagai perangkat pencegahan (preventive)
- Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih efisien
dari sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata.
o Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi meliputi biaya
pengawasan lapangan yang dilakukan secara rutin dan pengujian
laboratorium
o Pembiayaan ini lebih murah dibandingkan dengan upaya pengumpulan
bukti, investigasi lapangan, mendatangkan saksi ahli untuk membuktikan
aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata
- Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang
partisipasi masyarakat
o Partisipasi masyarakat: dilakukan mulai dari proses perizinan,
pemantauan penaatan / pengawasan, dan partisipasi dalam mengajukan
keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk memberlakukan
sanksi administrasi.
*dari Pak Harsanto:
Perdata dan pidana baru muncul saat sudah terjadi pencemaran. Dan kerugiannya harus diukur,
padahal bisa saja kerugiannya belum ada saat ini, namun ada kemungkinan besar ada kerugian
yang terjadi di masa depan.
Kalau di administrasi, bisa saja yang memiliki izin di-stop, karena diragukan kondisinya sehingga
bisa diberhentikan.
Rezim anggaran dan rezim pemerintah tidak berjalan bersamaan.

6
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Contoh: Unit penegakan hukum. Kira-kira apa yang akan dianggarkan olehnya? Anggaran
pembinaan, anggaran pengawasan, anggaran pencabutan izin.
Jika anggaran gugatan dan anggaran tuntutan pidana kira-kira apakah akan bermasalah?
UU Administrasi Pemerintahan memperbolehkan pemerintah untuk menganggarkan kerugian.
à Mengapa Negara bisa salah sehingga harus melakukan ganti rugi? Bukankah harusnya
Pemerintah mengawasi dengan benar?
Pernah terjadi di Pemda DKI di Unit Khusus. Dia tidak bisa menganggarkan penegakan hukum.
Dalam proses, ada penyelewengan. Kemudian beracara di Pengadilan, kemudian menang.
Pertanyaannya adalah: Anggarannya dari mana?

Perangkat-perangkat Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Hidup:


1. Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian;
2. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada tata ruang, AMDAL, standar baku
mutu lingkungan, dan peraturan perUUan lainnya;
3. Mekanisme pelaksanaan pengawasan penaatan;
4. Keberadaan pejabat pengawas (inspektur) untuk melakukan pemantauan
penaatan;
5. Sanksi administrasi.
Kelima perangkat ini merupakan prasyarat awal dari efektivitas penegakan hukum
administrasi di bidang lingkungan hidup.

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI SEBAGAI PENCEGAHAN


Upaya Preventif terdiri dari 2 upaya, yaitu Pengawasan dan Perizinan.
Pengawasan merupakan tulang punggung dari penegakan hukum administrasi, yang
memastikan penaatan.
Sementara itu, perizinan merupakan perangkat administrasi sebagai tolak ukur (standar)
pengawasan penaatan. Izin memuat persyaratan pencegahan dampak lingkungan hidup
yang wajib dipantau dan diperiksa secara berkala.

*catatan dari Pak Harsanto:


Pencegahan dilakukan di awal, yang dilihat adalah Kebijakan, Rencana, dan Program.
Kebijakan: masih umum, bisa saja masuk ke konteks peraturan à misal: UU
Pengelolaan Air à termasuk kebijakan, namun bentuknya UU. Kebijakan bisa tertulis

7
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

maupun tidak tertulis. Kebijakan yang tertulis = hukum. Setelah kebijakan muncul,
misalnya ada UU Pengelolaan Air, ada UU Pertambangan, ada UU Migas, pasti tahap
berikutnya adalah perencanaan: pengaturan wilayah operasi, dan sebagainya.
Sementara itu, Rencana mengatur hal-hal yang lebih detail: tata ruang nasional, tata
ruang provinsi, tata ruang kabupaten; atau wilayah pertambangan, zonasi di laut, dsb.
Program: pemerintah melihatnya sebagai kegiatan, namun dari sisi pihak lain (Dari
masyarakat maupun Badan Hukum Perdata), program dianggap sebagai perizinan.
Kebijakan, Rencana, Program dianalisis / dikaji oleh KLHS. Perizinan termasuk yang
dikaji.
Hukum Administrasi:
Perencanaan (RPPLH, KLHS, Amdal; dimana Amdal berkaitan dengan izin è
Pengambilan Keputusan (Izin lingkungan dan izin PPLH) è Pengawasan è Sanksi

PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI MERUPAKAN KEWAJIBAN


PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota >>
memasukkan lingkungan hidup sebagai urusan wajib yang kewenangannya diberikan
ke daerah >> karena lingkungan hidup merupakan layanan dasar yang harus dimiliki
pemerintah daerah (Pasal 7).
Pasal 3 PP No. 38 Tahun 2007: pemda berhak untuk mendapatkan sumber pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian.
Pasal 8 PP No. 38 Tahun 2007: pemda wajib menyelenggarakan pelayanan tersebut
dengan mengikuti standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat dan dilakukan
secara bertahap. >> Standar Nasional ditetapkan dengan NPSK (Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria) yang disusun oleh masing-masing kementerian. Di bidang
lingkungan hidup, NPSK sudah diatur oleh Kementerian Lingkungan hidup melalui
Peraturan Menteri LH No. 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Bidang Lingkungan Hidup daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang mengatur antara
lain SPM tentang pelayanan informasi dan pengaduan masyarakat.
Pemerintah Pusat melimpahkan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha

8
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan perundang-undangan


di bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.

PENDELEGASIAN KEWENANGAN DAN PENETAPAN PEJABAT PENGAWAS


LINGKUNGAN HIDUP
Kewenangan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta penegakan hukum
administrasi pada dasarnya dilekatkan pada Menteri, Gubernur, dan Walikota serta
Bupati. Untuk menjalankan kewenangan tersebut, maka dapat didelegasikan kepada
instansi teknis di bidang lingkungan hidup. Di daerah, kewenangan tersebut
didelegasikan oleh Gubernur dan/atau Walikota kepada Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Daerah. BLH bertanggungjawab untuk melaksanakan fungsi keseharian tersebut
dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pejabat Pengawas LH yang merupakan pejabat
fungsional.
Pendelegasian ini penting karena pejabat/instansi teknis itulah yang melaksanakan
tugas-tugas pengawasan di lapangan secara rutin sehingga dapat mempercepat dan
mencegah birokratisasi yang bersifat menghambat dalam pelaksanaan penegakan
hukum administrasi.
Kewenangan PPLH:
- Pemantauan
- Meminta keterangan
- Membuat catatan
- Membuat salinan dokumen
- Memasuki tempat tertentu
- Memotret
- Membuat rekaman audio visual
- Mengambil sampel
- Memeriksa peralatan
- Memeriksa instalasi / alat transportasi
- Menghentikan pelanggaran tertentu à yang terbesar dari PPLH.
*catatan dari Pak Harsanto:
Pengawasan (Pasal 71-75 UU PPLH)

9
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam


pengawasan pada pejabat / instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang PPLH.
- Pusat (Menteri) à yang mengawasi adalah Dirjen
- Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) à yang mengawasi adalah Dinas Lingkungan Hidup
Bukan lagi bernama Badan Lingkungan Hidup, sejak 2017 diganti menjadi Dinas.
Badan sekarang sifatnya yang supporting. Bukan operasional. Contoh: badan
kepegawaian, dsb.
Ingat! Ada Second Line Inspection dan Second Line Enforcement.
Wewenang à Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota à dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan …
- Melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan/atau usaha:
o Peraturan PUU di bidang LH
o Izin Lingkungan
- Menetapkan PPLH yang merupakan pejabat fungsional

Moratorium Reklamasi à belum jelas apa bentuk hukumnya. Dasar hukumnya jelas, yaitu
kewenangan Menteri untuk memberhentikan kegiatan-kegiatan yang berbahaya. Namun untuk
memberhentikan, harus ada bentuknya.
Kalau lahan gambut, sudah jelas ada Perpresnya untuk moratorium.
Penguatan pengawasan:
- Pengawasan Lapis Kedua (Second Line Inspection) Pasal 73 UU PPLH
- Kewenangan PPLH untuk menghentikan pelanggaran tertentu di lapangan

KEWENANGAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP UNTUK “STEP IN”


• Pengawasan lapis kedua (oversight) – Pasal 73
Dilakukan oleh pemerintah pusat apabila terdapat pelanggaran serius yang
dilakukan oleh kegiatan / usaha yang perizinannya merupakan kewenangan
daerah.
• Penegakan Hukum Lapis Kedua (Second Line Enforcement) – Pasal 77
Dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila Pemda secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang bersifat serius
*tambahan dari Pak Harsanto:
Fenomena di Kementerian LHK:

10
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Dalam Dirjen Penegakan Hukum à ada 2 PPNS yang hidup dari 2 UU yang berbeda, yaitu UU
PPLH dan UU Kehutanan.
Dalam UU PPLH, bisa ada second line enforcement dan second line inspection; namun tidak
bisa sampai ke bawah.
Namun dalam UU Kehutanan, bisa sampai ke bawah tapi tidak ada enforcement-nya.

JENIS-JENIS SANKSI ADMINISTRATIF


Tujuan Saksi Administratif (Permen 2/2013):
1. Melindungi Lingkungan Hidup dari Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Hidup
2. Menanggulangi Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
3. Memulihkan Kualitas Lingkungan Hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
LH
4. Memberi efek jera (deterrent) bagi penanggungjawab usaha

Prasyarat Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi PPLH = 3A + 1


- Ability to detect, kemampuan untuk mendeteksi
- Ability to respond, kemampuan untuk merespon, ditekankan setelah terdeteksi
harus ada respon
- Ability to punish, kemampuan untuk menghukum, jangan sampai orang lebih
suka diberi sanksi daripada taat, sanksi harus jauh lebih besar ongkosnya
dibandingkan ketaatan
- Ability to build perception, kemampuan untuk membangun persepsi

Ada 3 teori mengenai sanksi administratif


- Herstelsanctiens / reparatoir: “memperbaiki” à ditujukan untuk pemulihan dari
pelanggaran terhadap tertib hukum.
Contoh: paksaan pemerintah (bestuurdwang)
Konsep administratif adalah pemulihan, bukan pembuat nestapa. Konsep
pembuat nestapa adalah konsep pidana.
- Bestraffende sancties (punitief) : penjera, tapi konsepnya masih administrasi.
Ditujukan sebagai pembalasan atau pemberian penderitaan ekstra sebagai
reaksi atas pelanggaran norma dan upaya penjera.

11
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Contoh: denda administratif, dwangsom/pembayaran


- Regressief: pengembalian kepada keadaan hukum awal. à dapat memiliki sifat
reparatoir ataupun punitief
Contoh: pencabutan izin

Ada 4 jenis sanksi administratif, yaitu:


1. Teguran Tertulis
Sanksi yang diterapkan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang telah melakukan pelanggaran per-uuan dan persyaratan & kewajiban yang
tercantum dalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan LH.
Namun pelanggaran tersebut baik secara tata kelola LH yang baik maupun
secara teknis masih dapat dilakukan perbaikan dan juga belum menimbulkan
dampak negatif terhadap Lingkungan Hidup. à harus dibuktikan dan dipastikan
belum menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan terhadap LH.
Diterapkan terhadap pelanggaran:
a. Bersifat administratif
Tidak menyampaikan laporan, tidak memiliki log book dan neraca limbah
B3, dan tidak memiliki label dan simbol limbah B3
b. Bersifat teknis, tetapi perbaikannya bersifat ringan (perbaikan yang dapat
dilakukan secara langsung tidak memerlukan waktu yang lama,
penggunaan teknologi tinggi, penanganan oleh ahli, ataupun memerlukan
biaya tinggi):
i. Belum menunjukkan pelanggaran terhadap kriteria baku
kerusakan LH
ii. Terjadinya kerusakan/gangguan pada instalasi pengolahan air
limbah dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaporkan kepada pejabat yang berwenang
*tambahan:
Di Belanda, teguran tidak masuk sebagai sanksi karena merupakan tahapan
prosedural saja. à teguran sebenarnya kurang tepat jika dijadikan sanksi, karena
hanya merupakan tahapan prosedural.

12
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

2. Paksaan Pemerintah (Coercive Action)


Definisi: Sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk menghentikan
dan/atau memulihkan keadaan sebagaimana kondisi semula
Penerapan sanksi paksaan pemerintah dapat dilakukan terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dengan terlebih dahulu diberikan teguran
tertulis, atau tanpa didahului teguran tertulis khusus bagi pelanggaran yang
menimbulkan:
a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dan
lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Jenis paksaan pemerintah (Pasal 80 ayat (1)):
o Penghentian sementara ukegiatan produksi
o Pemindahan sarana produksi
o Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
o Pembongkaran
o Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran
o Penghentian sementara seluruh kegiatan
o Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup
Diterapkan terhadap pelanggaran:
Pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin
lingkungan dan per-uuan LH, misalnya:
o Tidak membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
o Tidak memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3
o Tidak memiliki alat pengukur laju alir air limbah (flow meter)
*Tambahan dari Pak Harsanto:
UU Lingkungan Hidup pada tahun 80an tidak ada paksaan pemerintah. Sungai-
sungai di Lampung pada saat itu rusak parah karena produksi tapioka.

13
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Sarwono (Menteri LH setelah Emil Salim): memerintahkan Bappedal yang pada


saat itu masih dibawahnya untuk menutup saluran pembuangan limbah. à
merupakan paksaan pemerintah. Jika saluran pembuangan limbah ditutup, maka
pabrik tersebut akan berhenti produksi.
Dalam UU 23/1997 tidak ada pasal ini.

3. Pembekuan izin lingkungan


Definisi: Sanksi yang berupa tindakan hukum untuk tidak memberlakukan
sementara izin lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan
penglolaan LH yang berakibat pada berhentinya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Pembekuan izin ini dapat dilakukan dengan atau tanpa batas waktu.
Pasal 79: Pembekuan apabila tidak menjalankan paksaan pemerintah.
Diterapkan terhadap Pelanggaran:
o Tidak melaksanakan paksaan pemerintah
o Melakukan kegiatan selain kegiatan yang tercantum dalam izin
lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
o Pemegang izin lingkungan dan/atau izin yang terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup belum menyelesaikan secara teknis apa
yang seharusnya menjadi kewajibannya
*Tambahan:
pembekuan izin lingkungan sebenarnya bukanlah sanksi yang berdiri sendiri; ada
yang mengatakan bahwa pembekuan merupakan tahapan dari pencabutan izin
lingkungan (sanksi administrasi juga).

4. Pencabutan izin lingkungan


Definisi: Sanksi yang berupa tindakan hukum untuk mencabut izin lingkungan
dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan penglolaan LH yang
berakibat pada berhentinya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Diterapkan terhadap Pelanggaran:
o Tidak melaksanakan sanksi administratif paksaan pemerintah

14
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

o Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan


tertulis dari pemberi izin usaha
o Tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh sanksi administratif
yang telah diterapkan dalam waktu tertentu
o Terjadinya pelanggaran yang serius yaitu tindakan melanggar hukum
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat
o Menyalahgunakan izin pembuangan air limbah untuk kegiatan
pembuangan limbah B3
o Menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah dan menimbun
limbah B3 tidak sesuai sebagaimana yang tertuang dalam izin

5. Denda Administratif
Definisi:
o Pembebanan kewajiban terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu karena
terlambat melaksanakan paksaan pemerintahan.
o Pengenaan denda terhadap keterlambatan melaksanakan paksaan
pemerintah ini terhitung mulai sejak jangka waktu pelaksanaan paksaan
pemerintah tidak dilaksanakan
o “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.” (Ps. 81 UU
32/2009)
o Denda ini adalah denda administratif (bestuurlijke boete) dan bukan
merupakan uang paksa (dwangsom)
*Tambahan dari Mbak Savit:
Denda administratif sebenarnya bentuknya dwangsom karena dengan adanya
kewajiban membayar uang paksa ini, tidak hilang/hapus kewajiban si pihak yang
lalai ini untuk melaksanakan paksaan pemerintah yang ia lalaikan.

15
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Pasal 93: Gugatan Administrasi.


Harusnya, yang boleh menggugat di PTUN adalah hanya yang memiliki kepentingan,
bukan semua orang.
Apakah mungkin maksud dari setiap orang dalam pasal tsb adalah citizen lawsuit?
Citizen lawsuit terbatas, hanya dalam hal-hal tertentu dia bisa menggugat, tidak semua
hal.
UU No. 9 Tahun 2004: Pasal 53 (1): gugatan tertulis diajukan oleh orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan.

Sanksi pidana terhadap setiap orang (dalam kaitan dengan izin) dan pejabat TUN.
Berdasarkan UU 32/2009:
- Pasal 109 dan 110 (ancaman Hukuman bagi setiap orang)
- Pasal 111 dan 112 (ancaman hukuman bagi pejabat TUN)

16
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

PENEGAKAN HUKUM PERDATA


*Tambahan dari Pak AGW
Mengapa pertanggungjawaban penting?
Karena dengan penegakan ini akan muncul efek deterrent.
Mengapa perdata? Karena konsekuensi dari perdata à jauh lebih berat dibandingkan pidana,
dalam konteks kerugian yang harus dibayar (ganti rugi).
Kalau konteks pidana, ganti rugi ada maksimumnya.
Kalau dalam konteks perdata, ganti rugi konteksnya tidak terbatas.
Ada kasus dimana Tergugat (pencemaran) harus membayar ganti rugi kebakaran hutan
sebesar: 1.3 trilliun. Untuk illegal logging: 16 trilliun.

Pengantar tentang Pertanggungjawaban Perdata


a. Dasar Gugatan
Ada wanprestasi (kontraktual) dan Perbuatan Melawan Hukum / PMH (Non-
Kontraktual). PMH adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.
Unsur-unsur dari PMH:
a. Perbuatan
b. Melawan Hukum. Kapan seseorang dianggap melawan hukum?
i. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri
ii. Melanggar hak orang lain
iii. Melanggar kesusilaan
iv. Melanggar keharusan dalam pergaulan masyarakat
Jadi, tidak hanya melanggar Undang-Undang (hukum secara formil),
namun juga melanggar hukum tidak tertulis (hukum secara materiil).
c. Kausalitas
d. Kerugian
e. Kesalahan à bagaimana membuktikan bahwa Tergugat salah? Yang
diartikan oleh pembuat Undang-Undang:
i. Pertanggungjawaban atas perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan karena perbuatan
ii. Kealpaan, sebagai lawan dari kesengajaan
iii. Sifat melawan hukum à Kesalahan diartikan sebagai sifat
melawan hukum.

17
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

PMH menurut Moegni Djojodirdjo:


o PMH: bertentangan dengan hak orang lain, kewajiban hukumnya sendiri,
kesusilaan yang baik, keharusan dalam pergaulan masyarakat
o Salah (schuld) yang oleh pembuat UU diartikan sebagai:
§ Pertanggungjawaban atas perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan karena perbuatan
§ Kealpaan
§ Sifat melawan hukum
Kesalahan secara subyektif: kesengajaan dan kealpaan/kelalaian.
Ada kesalahan secara obyektif, yaitu sifat melawan hukum. Seseorang
dianggap bersalah apabila melakukan perbuatan melawan hukum.
Apakah harus dua-duanya (subyektif dan obyektif)? Menurut Moegni,
harus dua-duanya.
Menurut Vollmar: “Kesalahan selalu obyektif; kesalahan dan melawan
hukum itu satu unsur. Dengan membuktikan unsur melawan hukum,
maka kita sudah membuktikan kesalahan.”
Di dalam buku Prof. Rosa: dalam konteks perdata, kesalahan itu secara
obyektif, artinya kesalahan itu tindakan melawan hukum. Sehingga
dengan membuktikan unsur ‘melawan hukum’ maka unsur ‘kesalahan’
juga sudah terbukti.
Sudikno Mertokusumo: kalau dalam konteks perdata, kesalahan itu
melawan hukum. Mengapa? Karena konsekuensi hukumnya akan sama
saja, apakah perbuatan itu dilakukan secara sengaja atau lalai. Sehingga
‘kesalahan’ itu tidak usah dibuktikan. Kesalahan secara subyektif tidak
perlu dibuktikan.
Kesalahan dalam konteks subyektif berbeda konsekuensinya jika berada
di dalam ranah pidana. Tetapi, dalam ranah perdata, konsekuensinya
sama.
Contoh: X menabrak Y. Dalam ranah perdata, kesalahan X juga berarti
melawan hukum, harus ganti rugi, tidak perlu dibuktikan apakah X salah
atau lalai. Membuktikan kesalahan itu sengaja / lalai adalah konteks
pidana. Unsur mens rea tidak begitu penting dalam konteks perdata.

18
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Dimana letak STRICT LIABILITY (Pertanggungjawaban tanpa Kesalahan)?


Salah yang mana yang harus dihapuskan, apakah secara subyektif atau obyektif?
o Munir Fuady: suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan pada pelaku
perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan
dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau
tidak. >> Penggugat masih harus membuktikan bahwa tergugat
melakukan PMH, kerugian dan kausalitas. Yang dihilangkan hanya unsur
kesalahannya saja. (yang dihilangkan: unsur mens rea)
o Perbandingan dengan AS:
Ada non-contractual liability, yang disebut TORTS: kumpulan rules
tentang liability/pertanggungjawaban:
§ Negligence à based on fault:
• Duty
• Breach of Duty
• Damage / Kerusakan
• Causation
Jadi Tergugat punya kewajiban hukum, namun kewajiban itu
dilanggar. Fault dalam negligence selalu artinya obyektif, sehingga
tidak harus dibuktikan apakah tergugat sengaja atau tidak.
Ada yang dinamakan intentional torts: bisa meminta penggantian
kerugian di atas kerugian yang memang kita alami. Contoh: A
menabrak B dengan sengaja. B menderita kerugian sebesar 100
juta. B bisa meminta ganti kerugian lebih dari 100 juta sebagai
punitive damage atau ganti kerugian yang sifatnya menghukum.
§ Nuisance
§ Trespass à direct and physical interference with one’s property
§ Strict Liability
Dalam Restatement of Torts Section 519 (1):
One who carries on an abnormally dangerous activity is subject to
liability for harm to the person, land or chattels of another resulting
from the activity, although he has exercised the utmost care to
prevent the harm. à Jadi, apabila seseorang sudah sangat berhati-

19
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

hati agar tidak ada pelanggaran, namun ia tetap harus


bertanggungjawab karena perbuatannya itu sangat berbahaya. >>
walaupun tidak melawan hukum, tetap bertanggungjawab atas
kerugian, jika kegiatannya bersifat abnormally dangerous activity.
Apakah ada breach of duty?
Ukuran dari abnormally dangerous activity? Dalam Restatement of
Torts section 520:
• Ada resiko kerusakan yang tinggi
• Ada kemungkinan bahwa kerusakan yang ditimbulkan akan
sangat besar
• Ketidakmampuan menghilangkan resiko dengan
melakukan reasonable care
• Extent to which the activity is not a matter of common
usage. Contoh: penggunaan bahan peledak untuk tambang
di Texas tidak membuat penduduk menggugat secara strict
liability, karena dianggap sudah menjadi common usage.
Sementara, di New York, penggunaan bahan peledak
banyak membuat penduduk menggugat secara Strict
Liability.
• Inappropriateness of the activity to the place where it is
carried on.
• Extent to which its value to the community is outweighed
by its dangerous attributes.
Contoh kasus: reservoir. (awal Strict Liability)
Di Inggris, ada seseorang yang membuka reservoir air. Ternyata,
reservoir air yang dibuat tergugat terhubung dengan pipa-pipa di
lahan penggugat. Kemudian, diisi air oleh kontraktor, dan hasilnya
ternyata membanjiri lahan penggugat, dan merugikan penggugat
dengan unsur inappropriateness of the activity to the place where it is
carried.
Penggugat masih harus membuktikan:
o Kerugian

20
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

o Kausalitas antara kegiatan seseorang dengan


kerugian yang dideritanya
Jika dibandingkan dengan PMH, yang dihilangkan dalam Strict
Liability di USA adalah unsur melawan hukum dan kesalahan.
Namun di USA ada unsur baru, yaitu kegiatannya abnormally
dangerous. Sehingga, di USA, melawan hukum dan kesalahan
tidak perlu dibuktikan dalam Strict Liability.
Kesimpulan:
Munir Fuady keliru menafsirkan strict liability. Dan, di petitum,
kebanyakan dari kita menyebutkan “Tergugat
bersalah/bertanggungjawab” padahal kan strict liability tidak
melihat unsur “kesalahan” dan “melawan hukum”.
Ada putusan di tahun 2003 (kasus Mandalawangi): Penggugat
bertanggungjawab secara mutlak. à tidak ada lagi indikasi
adanya unsur kesalahan dalam putusan tersebut.

b. PMH dalam UUPPLH


Pasal 87 UUPPLH.
Berdasarkan pasal 87 UUPPLH, yang harus dibuktikan oleh Penggugat:
o Kerugian
o Unsur perbuatan melawan hukum
o Hubungan sebab akibat antara kerugian korban dengan perbuatan
melawan hukum penggugat
Bagaimana jika pencemaran/kerugian terjadi, tapi tidak ada (sulit untuk
membuktikan) kesalahan (melawan hukum) Tergugat? (Misalnya jika
pencemaran terjadi oleh perbuatan yang memperoleh izin) à Menerapkan asas
kehati-hatian seperti kasus Mandalawangi.

c. Strict Liability menurut UU PPLH


Ada dalam Pasal 88 UUPPLH: ““…bertanggungjawab mutlak atas kerugian tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan.”

21
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Kesalahannya dalam konteks apa? Kalau diartikan secara subyektif, maka unsur
“melawan hukum” masih harus dibuktikan. Sementara, jika diartikan secara
obyektif, maka unsur “melawan hukum” maupun “kesalahan” tidak perlu
dibuktikan.
Apa saja yang harus dibuktikan oleh Penggugat?
o Kerugian pada diri penggugat (korban)
o Hubungan sebab-akibat antara kerugian dengan perbuatan pelaku
(peristiwa pencemaran/kerusakan lingkungan)
Pembuktian kesalahan dalam SL di UUPPLH sulit, seringkali korban gagal
memperoleh ganti rugi.
Unsur-unsur:
o Unknown causes à penyebabnya tidak diketahui
o Oleh hukum, kerugian ini muncul dianggap karena adanya negligence
(Dalam konteks PMH/breach of duty)
o Oleh hukum diasumsikan, si Tergugat yang melakukan breach of duty.
Ketika ada kerugian, diasumsikan Tergugat yang bersalah karena hanya
ia yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan duty tersebut. Dan
kerugian itu disebabkan oleh negligence atas tergugat yang melakukan
breach of that duty.
Permasalahan: Perkebunan Sawit: tidak menggunakan B3 dan tidak
menghasilkan limbah B3 à mengklasifikasi kegiatan tersebut ke dalam kegiatan
yang menimbulkan ancaman serius.
Kapan sebuah kegiatan dianggap sebagai kegiatan yang menimbulkan ancaman
serius? Pasal 1 angka 34 à ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan
hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Prof Koesnadi mengenai Strict Liability
o Menggunakan B3 (PP 74/2001 tentang pengelolaan B3)
o Menghasilkan limbah B3 (PP 101 atau 111/2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3)
o Menimbulkan ancaman serius

22
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

§ Pasal 1 UUPPLH, ancaman serius adalah ancaman yang


berdampak luas dan menimbulkan keresahan masyarakat
(indikatornya tidak jelas, apa ukuran dari ‘keresahan’ tersebut?)
§ SK Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan
Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
• Terjadinya pencemaran dan / atau kerusakan (standarnya
dari baku mutu/ambien)
• Dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali
(irreversible)
• Dan/atau komponen-komponen LH yang terkena dampak
sangat luas
d. Kausalitas dan Beban Pembuktian
e. Menghitung Kerugian Lingkungan
f. Mekanisme Kompensasi

*Tambahan dari Pak AGW:


“Menerapkan asas kehati-hatian yang diterapkan dalam kasus Mandalawangi”
Penjelasan:
kasus Mandalawangi: kasus longsor à Perhutani menguasai suatu gunung, namun ia gagal
melakukan pengawasan, malah disewakan ke penduduk. Pohonnya sudah tidak ada,
digunakan untuk ladang. Padahal kemiringannya di atas 40 derajat. Gunung kemudian
gundul. Pada saat terjadi hujan lebat, timbul longsor, dan ada beberapa desa yang
tertimbun.
Masyarakat desa melakukan gugatan class action yang menang. Tergugat mulai dari
Presiden, Menteri kehutanan, Gubernur Jawa Barat, Bupati Garut, Perhutani à Pertama
kalinya ada gugatan class action yang menang.
Tergugatnya bilang bahwa longsor tersebut adalah bencana alam, adanya hujan lebat.
Pengacara korban berargumen: merujuk pada precautionary principle yang belum diadopsi
di Indonesia (Deklarasi Rio) à Hakim menolak argumen tergugat, dan Hakim mengadopsi
langsung prinsip tersebut yang belum diakui di dalam hukum positif kita.
Precautionary principle menjadi katalis / pengubah dalam rezim pertanggungjawaban, dari
PMH menjadi strict liability. PMH + precautionary principle = strict liability.
Di Pertimbangan Hakim, diterapkan asas tersebut di amar putusannya. Dinyatakan bahwa
“Tergugat bertanggungjawab secara mutlak”.

23
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Padahal, dalam petitum penggugat, tetap dinyatakan bahwa: “Tergugat bersalah /


bertanggungjawab atas……” walaupun di Positanya diindikasikan strict liability.
Setelahnya, banyak kasus yang merujuk pada kasus Mandalawangi ini. Termasuk kasus BMH
dan Karista Alam (Karista Alam: kasus 2013: gugatan kebakaran hutan pertama yang
dimenangkan oleh Pemerintah.)

SK Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara


Lingkungan Hidup.

“Resiko yang tinggi” atas kebakaran hutan – kalau perkebunan dijalankan di atas lahan
gambut. Untuk bisa ditanami, maka lahan gambut harus dikeringkan. Solusinya adalah
dijadikan kanal-kanal. Maka, air di lahan gambut akan turun, dan resiko akan terjadinya
kebakaran hutan akan semakin tinggi. Kalau lahan gambut terbakar, maka akan
menimbulkan berbagai macam pencemaran, karena lahan gambut bukan tanah, melainkan
tumpukan biomassa yang menyimpan air selama ribuan tahun.

Mengapa kasus Mandalawangi hakim memutuskan strict liability, padahal tindakan tersebut
tidak termasuk ke menggunakan / menghasilkan limbah B3?
Pasal 15 (1) UU No. 23/1997
Jika kegiatan tersebut termasuk kegiatan yang wajib AMDAL, dia terkena strict liability.
Mengapa kasus Mandalawangi terkena strict liability? Karena kegiatan itu wajib AMDAL.

Alasan-alasan yang melepaskan tanggung jawab: Pasal 35 ayat 2 UU 23/1997 à pengecualian


terhadap Strict Liability.
Absolute liability di Jerman: bagi kegiatan nuklir. Jadi apabila terjadi bencana alam /
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia / tindakan pihak ketiga à tetap
bertanggungjawab mutlak. Defensenya dihapuskan.
Apakah Pasal 88 menganut absolute liability atau strict liability? à strict liability. Memang
kita salah menterjemahkan strict liability.
Pasal 88 dengan tegas menyatakan bahwa pasal ini adalah strict liability. Masih boleh
defense.
Mengapa Pasal 35 UU 23/1997 hilang, tidak ada lagi di Pasal 88? Triggernya adalah kasus
Lapindo. Lapindo dilepaskan dari tanggung jawab karena ia berargumen bahwa ini
dikarenakan adanya bencana alam (karena kondisinya h-1 sebelum lumpur Lapindo, ada
gempa Yogyakarta tahun 2006).

24
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Perbandingan di Amerika:
Bagaimana seseorang akan mendalilkan bencana alam? Apa yang harus diuji?
Bencana itu sifatnya extraordinary. Jika hujan, hujan yang dikatakan ‘extraordinary’ maka
curah hujannya 2x lebih tinggi dari hujan tertinggi selama 100 tahun.
Di Indonesia, belum ada rule yang mengatur ukuran atas dalil bencana alam tersebut.

Gempa yogya kekuatannya hanya seperti langkah kaki orang dewasa di Sidoarjo, sementara
tekanan bor Lapindo seperti tekanan 20 gajah.
Faktor munculnya erupsi: apakah karena gempa atau ngebor? Sebenarnya, tekanan “bor”
Gempa Yogya tidak extraordinary.

Pembuktian bencana alam di AS:


- Extraordinary (belum pernah terjadi)
- Unprecedented (tidak bisa diperkirakan)
- Unforeseeable (tidak bisa diantisipasi)
Sehingga, nantinya tidak bisa dicegah.
- Free from human intervention (including negligence or human activity)
Bencana alam itu haruslah the sole cause (sebab satu-satunya). >> tidak terjadi dalam kasus
Lapindo. Namun yang keempat ini diterapkan di dalam kasus Mandalawangi.
90% geologis dunia menyatakan bahwa penyebab lumpur lapindo adalah karena drilling,
bukan karena earthquake.
Beban pembuktian di Tergugat karena dia yang mendalilkan.

Kasus MA:
A punya rumah di Perumnas, yang dibuat di lembah / cekungan. Gorong-gorongnya kecil,
sehingga saat hujan lebat, banjir. Penghuni menggugat Perumnas.
Oleh Pengadilan ditolak à karena ada kontribusi manusia.

Kekeliruan menafsirkan Strict Liability


• Bagian dari gugatan PMH, sehingga dalam SL, masih diperlukan adanya unsur
“melawan hukum” yang sebenarnya tidak perlu untuk dibuktikan
• Menganggap SL sebagai pembuktian terbalik unsur kesalahan >> res ipsa
loquitur. Contoh dari ketentuan pertanggungjawaban yang tidak jelas:
Pasal 28 UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen à pembuktian
terbalik. Masih ada unsur kesalahan, sehingga belum menjadi liability without

25
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

fault. Bedanya dengan PMH biasa? Unsur kesalahan sudah dianggap terbukti,
dan tergugat harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Syarat Res Ipsa Loquitor:
1. Penyebabnya tidak diketahui (harus ada unknown causes)
2. Dari banyak kejadian secara umum, kerugian hanya muncul jika ada negligence
3. Harus dikemukakan bahwa fakta yang menimbulkan kerugian berada di bawah
pengawasan eksklusif dari Tergugat.

Perbedaan res ipsa loquitur dengan PMH biasa:


- PMH Biasa: Penggugat harus membuktikan kesalahan Tergugat.
- Res Ipsa Loquitur: Kesalahan sudah dianggap terbukti.

Pembelaan terhadap SL (Pasal 35 UU PLH (UU LH yang lama)):


- Act of God
- Act of War
- Free from Human Intervention
Tetapi di Pasal 88 UUPPLH sudah tidak ada lagi hal-hal yang melepaskan tanggung
jawab mutlak tersebut.

26
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA


Ketentuan Pidana dalam UU No. 32/2009
• Pelaku Pidana
Dalam UUPPLH, pelaku pidana bisa orang dan bisa juga korporasi. Dalam
korporasi, dilihat siapa pemberi perintah, badan hukum, dan pemimpin
korporasi.
Orang: “Barangsiapa” menurut UUPPLH ditambah dengan “Pelaku Pidana”
dalam KUHP. Merujuk kepada orang + Pasal 55 KUHP:
1. Yang melakukan
2. Yang menyuruh melakukan (doen pleger)
3. Yang turut melakukan (medepleger)
4. Yang membujuk (uitloker)
Dan Pasal 56 KUHP:
5. Yang membantu melakukan.

Pasal 116 ayat (1) UUPPLH: apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan hukum, maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan Usaha
b. Pemberi Perintah untuk melakukan tindak pidana atau pemimpin
kegiatan tindak pidana
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH: Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, dengan berdasarkan pada hubungan
kerja atau hubungan lain, maka sanksi dijatuhkan kepada pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana.
Pasal 117 UUPPLH: •jika tindak pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin (pasal 116 ayat 1 b), maka ancaman diperberat sepertiga.
Pasal 118 UUPPLH: •untuk tindak pidana pasal 116 atat 1 a, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus selaku pelaku
fungsional
–Penjelasan pasal 118 UUPPLH: sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki
wewenang dan menerima

27
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Konstruksi Tindak Pidana Korporasi menurut UUPPLH:

1.
2.

1.
2.
3.

Kriteria Tanggung Jawab Korporasi:


1. Power
2. Acceptance

Kriteria Slavenburg:
“Pemimpin Faktual/Pemberi Perintah dapat dianggap memenuhi syarat untuk
dipidanakan apabila ia (yang mempunyai kewenangan dan harus melakukan
perbuatan sesuai dengan kewenangannya tersebut) telah lalai untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah terjadinya perbuatan pidana
tersebut dan secara sadar menerima bahwa ada perbuatan pidana yang
kemungkinan akan terjadi. Dalam keadaan ini maka Pengurus/Fungsionaris
tersebut dianggap telah sengaja mendorong terjadinya perbuatan pidana
tersebut.”

28
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Konstruksi Tindak Pidana Korporasi II menurut UUPPLH II:




v


Pasal 119: Selain pidana (seharusnya selain pidana denda) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana
tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun

Karakteristik Tindak Pidana:


1. Abstract Endangerment
o Administratively-dependent crimes
o Yang dipidana bukanlah pencemaran, tapi pelanggaran ketentuan
administrative
o Syaratnya adalah adanya pelanggaran terhadap syarat-syarat
administrative (delik formil), tidak membutuhkan adanya akibat

29
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

2. Concrete Endangerment
o Administratively-dependent crimes à illegal emissions
o Ada ancaman pencemaran / kerusakan lingkungan
o Art 2(1b) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the
Environment through Criminal Law:
“The unlawful discharge, emission, or introduction of a quantity of substances
or ionising radiation into air, soil or water, which causes or is likely to cause
their lasting deterioration or death or serious injury to any person or
substantial damage to protected monuments, other protected objects,
property, animals or plants…”
o Selagi pelanggaran administrasi jika telah menunjukan adanya suatu
suatu ancaman yang nyata pada lingkungan maka merupakan salah satu
prasyarat tanggung jawab pidana
o hanya suatu ancaman saja sudah cukup.
o Jadi tidak harus melanggar syarat-syarat administrasi, tanggung jawab
pidana tetap dapat dikenakan karena emisi yang dilepaskana ke udara
tersebut dianggap illegal.

3. Serious Environmental Pollution


o Administrative Independent Crimes: Yang dipidana adalah pencemaran
(akibat perbuatan), tanpa memperhatikan ada/tidaknya pelanggaran
syarat administratisi oleh terdakwa
o Perbuatan mengakibatkan atau menimbulkan resiko (= ancaman)
munculnya pencemaran/kerusakan lingkungan yang sangat serius
o Pidana dapat dijatuhkan meskipun tidak ada ketentuan administratif yang
dilanggarà tidak ada syarat melanggar hukum
o Art. 2(1a) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of
the Environment through Criminal Law:
“the discharge, emission or introduction of a quantity of substances or
ionising radiation into air, soil, or water, which:
§ Causes death or serious injury to any person, or

30
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

§ Creates a significant risk of causing death or serious injury to any


person”
4. Vague Norms
– Pelanggaran terhadap duty of care (zorgvuldigheid): “if one knows or could
reasonably be expected to know that by one’s actions the environment could be
harmed, one should take all the measures that can reasonably be demanded in
order to prevent danger or to limit or to eliminate its consequences” (M. Faure &
M. Visser, 1995: 347) à karena “duty of care” bersifat umum (kewajibannya
tidak ditentukan secara detail di dalam UU), maka tindak pidana ini terjadi
karena adanya perbuatan melawan hukum secara materil
– Di Indonesia sendiri, mengenai duty of care, diatur dalam pasal 67 UU PPLH,
namun dalam prakteknya pasal ini disebut dengan pasal karet karena tidak
ada diatur mengenai sanksi jika ada pelanggaran terhadap duty of care
tersebut.

Macam Tindak Pidana menurut UU Lingkungan Indonesia


Jenis Sanksi UUPLH UUPPLH
Pidana MINIMUM Tidak Ada 1 tahun
MAKSIMUM 15 tahun 15 tahun
Denda MINIMUM Tidak Ada 500 juta rupiah
MAKSIMUM 750.000.000 15 miliar rupiah

Pembagian Delik dan Kaitannya dengan Baku Mutu:


Ciri-ciri Kejahatan Umum:
- Delik material: yang diperhatikan adalah akibat
- Aktual/Konkret: mengakibatkan pencemeran
Ciri-ciri Kejahatan Khusus:
- Delik Formal: yang diperhatikan adalah tatacara perbuatan pidana dilakukan
- Faktual / Potensial: tidak harus ada akibatnya (yaitu pencemaran) telah terjadi

Tindak Pidana Lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009

31
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997 dikelompokkan ke dalam delik materil, yaitu
tindak pidana yang dianggap selesai bila timbul akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini,
akibat dari tindak pidana berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Dengan demikian, bukti adanya akibat berupa pencemaran/kerusakan lingkungan ini
merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan pertanggungjawaban pidana
seseorang. Sedangkan pasal 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997 digolongkan sebagai
delik formil, yaitu tindak pidana yang dianggap selesai begitu selesainya perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang. Dalam hal ini, bukti akibat berupa
pencemaran/kerusakan lingkungan tidak menentukan pertanggungjawaban seseorang.
Begitu seseorang telah melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 43 dan 44,
maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana, dan karenanya
harus bertanggungjawab, tanpa perlu melihat apakah perbuatan pidana tersebut telah
menyebabkan terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
pengelolaan limbah B3 tanpa izin atau tidak melakukan pengelolaan limbah sesuai
dengan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sudah merupakan
delik formil yang dapat dipidana berdasarkan Pasa 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997.
Sedangkan apabila pengelolaan limbah B3 menimbulkan pencemaran/kerusakan
lingkungan, maka pengelola dapat dianggap telah melakukan delik materil berdasarkan
Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997. Secara teoritis, konstruksi Pasal 41 dan 42
cocok dengan gambaran concrete endangerment, sebab dalam hal ini yang dipidana
adalah perbuatan yang menyebabkan pencemaran/kerusakan lingkungan. Sedangkan
Pasal 43 dan 44 cocok dengan gambaran abstract endangerment, sebab dalam hal ini
yang dipidana adalah pelanggaran terhadap syarat-syarat administratif, meskipun
pelanggaran ini belum tentu menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009, delik materil diatur dalam pasal 98 (Sengaja) dan
99 (lalai). Pasal-pasal ini merupakan tindak pidana berupa perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, dan
baku mutu kerusakan.
Jenis Pidana Denda (rupiah)
Akibat
Pelanggaran Minimum Maksimum Minimum Maksimum
Sengaja > BM 3 tahun 10 tahun 3 millir 10 miliar

32
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Orang Luka 4 tahun 12 tahun 4 miliar 12 miliar

Orang Mati 5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar


> BM 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
Lalai Orang Luka 2 tahun 6 tahun 2 miliar 6 miliar
Orang Mati 3 tahun 9 tahun 3 miliar 9 miliar

Terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.


Tidak mencantumkan unsur melawan hukum.
• Baku mutu air laut
o PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut
o Keputusan Menteri Negara LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu
Air Laut
• Baku mutu udara ambien
o PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
• Baku mutu air
o PP No. 82 Tahun 2001 tentang –pengendalian kualitas air dan
pencegahan pencemaran air Pasal 8 (1) tentang Kelas Air
o Lampiran PP No. 82/2001: kriteria mutu air tiap kelas air
o Baku mutu air ditetapkan lebih lanjut dalam Kep MenLH atau Perda

Delik formil diatur dalam pasal 100 s.d. pasal 115.


• Pasal 100

Melanggar baku mutu effluent (BM emisi, BM air limbah, dan


BM gangguan)
à pidana maks 3 tahun dan denda maks 3 miliar rupiah

Tindak pidana dijatuhkan bila:


* Sanksi administrasi tidak dilaksanakan, atau
* Perbuatan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali

Asas ultimum remedium.

33
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Administratively dependent crimes.


o Baku mutu emisi
§ Sumber bergerak: KEP MENLH NO. 141/2003 ttg ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi
§ Sumber tidak bergerak: KepMenLH No. 13/MENLLH/3/1995 ttg
baku mutu emisi sumber tidak bergerak
o Baku mutu gangguan
o Baku mutu air limbah: Misalnya PERMEN LH No. 04 thn2007 tentang
Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan MIGAS & Panas Bumi

• Delik Formil lainnya (Pasal 101 – 115)

Perubahan dalam UU 32/2009:


- Kata “pencemaran/kerusakan” diganti dengan pelampauan baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, baku kerusakan
- Ada sanksi minimum
- Ultimum Remedium terbatas hanya untuk pasal 100 (pelanggaran baku mutu
effluent)
- Ps. 101 s.d 109 = concrete endangerment?
- Ada tambahan beberapa tindak pidana baru (seperti pembakaran lahan,
pengedaran produk hasil rekayasa genetika)
- Pemidanaan untuk Pejabat TUN yang:
o Menerbitkan izin lingkunan tanpa dilengkapi Amdal atau UKL/UPL (pasal
111 ayat 1)
o Menerbitkan izin usaha tanpa adanya izin lingkungan (pasal 111 ayat 2)
o Tidak melakukan pengawasan sehingga menyebabkan pencemaran (pasal
112)

Teori-Teori Pertanggungjawaban Korporasi:


1. RESPONDEAT SUPERIOR

34
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

“Allows imposition of corporate liability for criminal acts performed by officers and
agents in the course of their employment, without regard to their status in the
corporation’s hierarchy or if there was an absence of management complicity”.
o Limitation: Agent who commits the crime must perform acts on behalf of the
corporation, and that act must be directly related to the type of duties the
employee has general authority to perform. >> “within the area of
operations that has been assigned.”
On behalf of the corporation = acting with the intent to benefit the
corporation.
Korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang
secara langsung terkait dengan korporasi seperti direktur, pengurus, maupun
pegawai; anak perusahaan (subsidiaries); dan kontraktor dari korporasi. Dengan
kata lain, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang pekerjanya tanpa melihat status atau kedudukan pekerjanya di dalam
korporasi. Agar korporasi dapat dikenai pertanggungjawaban atas tindakan
pekerja tersebut, maka harus dibuktikan bahwa pegawai tersebut memang
melakukan pekerjaan yang termasuk ke dalam lingkup fungsi pekerjaannya, dan
perbuatan tersebut ditujukan untuk menguntungkan korporasi. Apabila
perbuatan pelaku sepenuhnya bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri,
atau apabila korporasi adalah korban dari perbuatan pelaku (misalnya terjadi
penggelapan uang korporasi), maka pelaku bertanggungjawab secara pribadi.

2. DIRECT LIABILITY (DOCTRINE OF IDENTIFICATION)


Lord Reid dalam Tesco Supermarkets Ltd. V. Nattrass:
“A living person has a mind which can have knowledge or intention or be negligent
and he has hands to carry out his intentions. A corporation has none of these…Then
the person who acts is not speaking or acting for the company. He is speaking as the
company and his mind….is the mind of the company….” à “directing mind and will”
dari sebuah korporasi.
Korporasi bertanggungjawab atas tindakan pidana yang dilakukan oleh
pengurus / pemimpin korporasi. Sebagai salah satu varian dari
pertanggungjawaban pengganti, sehingga unsur tindak pidana yang termasuk ke

35
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

dalam lingkup kerja dan menguntungkan korporasi harus tetap terpenuhi.


Korporasi dapat ditentukan sebagai tersangka jika penyidik telah menentukan
bahwa direktur atau manager yang menjadi directing mind and will dari korporasi
memang melakukan tindak pidana. Pihak lain selain direktur atau manager,
namun memang memegang fungsi sebagai directing mind and will, maka segala
pengetahuan dan perbuatannya dianggap sebagai pengetahuan dan perbuatan
korporasi. Sutan Remy Sjahdeini menyebutkan bahwa orang-orang yang
memegang fungsi directing mind and will merupakan orang-orang yang
bertanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan kebijakan korporasi,
sehingga mereka dapat bertindak untuk dan atas nama korporasi. Para
pengemban fungsi ini dapat dilihat melalui anggaran dasar korporasi maupun
surat keputusan pengurus. Sehingga, korporasi bisa diminta
pertanggungjawabannya apabila seorang yang cukup senior dalam struktur
korporasi melakukan kejahatan dalam bidang jabatannya. Namun kelemahan
teori ini adalah hanya berkutat pada level struktur yang lebih tinggi sementara
kejahatan dengan menggunakan modus-modus menyuruh bawahan atau anak
perusahaan atau bahkan perusahaan lain belum bisa dijerat oleh teori ini.
• Di Australia dan New Zealand, “directing mind of company” ini disebut
sebagai “controlling officers”, yaitu seseorang yang berpartisipasi di dalam
pengawasan korporasi dalam kapasitasnya sebagai direktur, manager,
sekretaris, atau pegawai lain yang setingkat
• Little dan Savoline, sebagaimana dikutip oleh Sjahdeni, menjelaskan bahwa
salah satu syarat di dalam identification doctrine ini adalah:
– Perbuatan pegawai yang menjadi “directing mind” korporasi haruslah
termasuk dalam kegiatan (operation) yang ditugaskan kepadanya
– Tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan kecurangan terhadap
korporasi
– Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan manfaat
bagi korporasi
– Korporasi bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (direct
liability)

36
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

– Kritik: terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh para pejabat
korporasi

3. DELEGATION PRINCIPLE
Allen v. Whitehead:
o Seorang pemilik café mendelegasikan kekuasaannya kepada seorang
manager untuk mengelola café tersebut. Kepada manager tersebut,
pemilik café menginstruksikan agar tidak mengizinkan café tersebut
digunakan sebagai tempak berkumpulnya prostisusi sesuai dengan
Metropolitan Police Act 1839 (melarang prostisusi)
o Manager melanggar instruksi tersebut, tetapi pemilik tetap dianggap
bertanggung jawab melanggar Metropolitan Police Act, karena dianggap
telah memberikan delegasi kepada manager
Menurut Pinto dan Evans, dalam prinsip pendelegasian, “an offence can only be
committed by the office holder, but he cannot avoid his statutory obligations by
delegating to another”. Perhatikan bahwa ada kewajiban hukum yang dipikul oleh
the office holder. Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip
pendelegasian “can arise when a statute imposes a duty on a particular person (i.e.
license holder) and makes breach of the duty an offence.” Baik tindakan maupun
mens rea pelaku, dapat dikenakan kepada pemegang izin, sebagai konsekuensi
dari delegasi yang dilakukannya.
Delegasi berarti mempercayakan kepada orang lain, sehingga akibat dari
perbuatan orang lain ini menjadi tanggungjawab si pemberi delegasi (mirip
mandat pada konsep HAN).
o Lord Parker: prinsip delegasi digunakan hanya jika diperlukan pembuktian
mengenai mens rea
o Mirip dengan Vicarious Liability (sama-sama diperlukan mens rea pada
orang pelaku). Bedanya adalah bahwa dalam vicarious liability tidak
terjadi pelanggaran atas perintah atasan.
o Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip
pendelagasian bersifat personal (bukan vicarious), karena yang dianggap
melanggar kewajiban adalah pemilik izin (yang mendelegasikan)

37
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

4. AGGREGATION MODEL
Pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada penjumlahan (aggregation) dari
“State of mind” atau “culpability” dari tiap individu yang mewakili korporasi
(representatives). Agregasi ini tidak berarti benar-benar menjumlahkan semua
pikiran, tetapi adalah membandingkan pikiran satu orang dengan orang lainnya.
• Misalnya dalam US v. Bank of New England:
– Ada aturan bahwa terdapat kewajiban dari bank untuk memberikan
laporan apabila bank melakukan transaksi mata uang melebihi batas
tertentu
– Seorang pegawai mengetahui aturan ini, tetapi tidak
mempedulikannya (karena tidak tahu ada transaksi yang melebihi
batas).
– Pegawai lain mengetahui ada transaksi ini, tetapi tidak tahu adanya
aturan tentang pelaporan
– Bank (perusahaan) dianggap tahu semuanya, karenanya dianggap
bertanggunjawab atas kegagalan melakukan pelaporan
• Ajaran agregasi mengindikasikan adanya pengetahuan kolektif dari
korporasi
Ajaran ini mulai mengarah pada lahirnya pertanggungjawaban korporasi yang
bersifat organisasional (dalam ajaran sebelumnya, pertanggungjawaban lahir
dari pertanggungjawaban atas tindakan individual)

5. CORPORATE CULTURE / ORGANIZATIONAL MODEL


• Diterima di Australia
• Sjahdeni:
– pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang
mempengaruhi cara korporasi menjalankan usahanya
– Korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana pegawai, apabila
pegawai ini meyakini bahwa orang yang memiliki kekuasaan di dalam
korporasi telah memberinya wewenang atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana tersebut

38
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

• Colvin:
– If recklessness is a required fault element of an offense, that fault
element may be established by proof that the culture of a corporation
caused or encouraged noncompliance with the relevant provision
– If purpose is a required fault element of an offence, that fault element
may be established by proof that it was the policy of a corporation
not to comply with the relevant provision
• A policy may be attributed to a corporation where it provides
the most reasonable explanation of the conduct of that
corporation
– If knowledge is a required fault element of an offence, that fault may
be established by proof that the relevant knowledge was possessed
by a corporation
• Knowledge may be attributed to a corporation where it was
possessed within the corporation and the culture of the
corporation caused or encouraged knowing noncompliance
with the relevant provision
Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban karena adanya kulpabilitas
dari korporasi. De Maglie mengemukakan empat kemungkinan untuk meminta
pertanggungjawaban korporasi berdasarkan teori ini, yaitu adanya kebijakan
korporasi, adanya budaya korporasi, kesalahan korporasi dalam pencegahan,
dan adanya kesalahan korporasi dalam merespon tindak pidana. Yang dimaksud
dengan kebijakan korporasi adalah apabila kebijakan korporasi termasuk
kebijakan ilegal dan korporasi menutup mata atau mentolerir tindak pidana yang
terjadi. Korporasi juga dapat dikenai pertanggungjawaban dalam teori ini apabila
korporasi memiliki budaya yang mendorong atau memberikan toleransi pada
tindak pidana, atau dianggap gagal untuk membangun budaya yang mendorong
adanya penaatan, misalnya adalah apabila ada kebijakan yang secara tersurat
maupun tersirat memaksa, mendorong, mengizinkan, atau memberikan toleransi
atas tindak pidana yang dilakukan; adanya budaya yang mengarahkan,
mendorong, atau memberikan toleransi pada dilakukannya tindak pidana;
adanya kegagalan untuk menerapkan program penaatan atau untuk

39
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

melaksanakan upaya pencegahan terhadap tindak pidana; dan adanya kegagalan


untuk mengambil tindakan pencegahan guna merespon tindak pidana yang
dilakukan. Kemungkinan ketiga dari teori ini adalah preventive fault, dimana
korporasi dianggap gagal untuk memasukkan atau menerapkan sistem internal
yang layak untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Kemungkinan keempat
adalah teori kesalahan reaktif korporasi, dimana korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban apabila korporasi dianggap gagal untuk mengambil
tindakan pencegahan atau tindakan korektif sebagai reaksi atas tindak pidana
(actus reus) yang dilakukan oleh personil korporasi.

PERMA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI NO. 13 TAHUN 2016 à


memberikan kepastian hukum bagi Korporasi maupun Aparat Penegak Hukum.
1) Penjelasan ketentuan umum yang menjelaskan berbagai hal termasuk bentuk
korporasi, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus yang
juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners).
2) Mengatur mengenai perbuatan dan beberapa bentuk kesalahan dari korporasi.
Melalui hal tersebut maka diharapkan memberikan pedoman bagi hakim dalam
menilai kesalahan oleh korporasi walaupun masih membuka peluang hakim dalam
menemukan bentuk kesalahan korprorasi lainnya. Salah satu bentuk kesalahan
adalah tidak melakukan pencegahan sesuai Pasal 4 ayat (2) Perma tersebut
sehingga harusnya pasca perma ini, swasta melakukan langkah-langkah
pencegahan korupsi secara serius.
3) Mengatur mengenai tata cara penanganan perkara dengan pelaku tindak pidana
adalah korporasi, mulai dari bagaimana tata cara pemeriksaan sampai dengan
penanganan korporasi induk, subsidiari dan yang berhubungan serta korporasi
yang melakukan peleburan, penggabungan, pengambilalihan serta pemisahan.
4) Mengatur mengenai tata cara penanganan aset korporasi termasuk kebolehan
bentuk penyimpanan berupa uang hasil penjualan aset korporasi yang disita
dengan potensi nilai ekonomi yang menurun sampai adanya putusan.
5) Perma ini mengatur mengenai eksekusi denda, uang pengganti, restitusi serta
sanksi lainnya.

40
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Pasal 3 PERMA No. 13 Tahun 2016 ini mendefinisikan tindak pidana oleh korporasi
sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau
berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak
untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi. Dari
pasal tersebut dapat ditarik pengertian bahwa korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi. Pasal 4 PERMA ini mengatur lebih jauh
mengenai penilaian Hakim atas kesalahan korporasi sebagai dasar penjatuhan pidana,
yaitu:
1. Korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut
atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; 

2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 

3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna 
menghindari terjadinya tindak
pidana. 


PEMBAHASAN KASUS-KASUS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

KASUS SUNGAI CIKIJING


Hak Gugat

- Hak Gugat Organisasi; Pasal 92 à Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan


gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab PPLH
o berbentuk badan hukum,
o menegaskan dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup,
o dan telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasarnya paling singkat
dua tahun
- WALHI memenuhi
- Pawapeling tidak memenuhi, karena tidak terbukti ia adalah badan hukum walaupun
kepentingannya dirugikan atas penerbitan objek sengketa

41
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- Pawapeling belum mendaftarkan “perkumpulan” menjadi badan hukum melalui suatu


register khusus pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Berita
Negara

Kewenangan Mengeluarkan Objek Sengketa

- Obyek Sengketa
o SK Bupati Sumedang
§ Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) ke sungai Cikijing di 3 Desa
kepada 3 Perusahaan
§ Meskipun IPLC sudah dilengkapi dengan dokumen Amdal, namun
ketiadaan kajian mengenai dampak pembuangan air limbah tetap dapat
menjadi alasan digugatnya IPLC yang pada dasarnya merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
- tindakan penetapan dan penandatanganan izin oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Sumedang adalah tidak tepat.
- Alasan
o Atribusi merupakan pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga pada atribusi,
wewenang baru dilahirkan atau diciptakan oleh peraturan undang-undang.
o Bupati mendapat kewenangan atribusi mengenai pengeluaran izin limbah cair.
Kewenangan atribusi tersebut diturunkan dari amanat undang-undang yang
kemudian dispesifikasi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup.
o Penandatanganan atas nama merupakan jenis pelimpahan wewenang secara
mandat dalam hubungan internal antara atasan kepada pejabat setingkat
dibawahnya yang dipergunakan jika yang berwenang menandatangani
surat/dokumen melimpahkan kepada pejabat di bawahnya
o pemberian mandat berupa tanda tangan atas nama hanyalah untuk pejabat
setingkat di bawah Bupati Sumedang.
o Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang tidaklah berada persis
setingkat di bawah Bupati Sumedang.
o Adapun yang berwenang untuk menerima mandat penandatanganan atas
nama adalah Sekretaris Daerah.

Hubungan Amdal, izin pembuangan limbah (IPLC), pencemaran air, baku mutu air, baku mutu
air limbah, dan daya tampung beban pencemaran (DTBP)

42
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

Penggugat

1. IPLC harus dilengkapi dengan dokumen amdal atau UKL-UPL yang didalamnya
memuat kajian mengenai dampak pembuangan limbah;
2. Kajian mengenai dampak pembuangan limbah tersebut harus dievaluasi oleh
pemerintah dengan memerhatikan terlampaui atau tidaknya baku mutu air
sesuai kelasnya masing-masing (dalam hal ini adalah baku mutu air kelas 2);
3. Baku mutu air ini menjadi patokan batas baku mutu air limbah yang diizinkan;
4. Baku mutu air limbah ditetapkan melalui Daya Tampung Beban Pencemaran
(DTBP);
5. Dalam hal DTBP belum dapat ditentukan, maka batas baku mutu air limbah
yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional, bukan
baku mutu air limbah daerah.
Amdal

- Analisis penting yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang


penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan
- Pihak dan MH memakai dasar PP Nomor 82 Tahun 2001 persyaratan dan prosedur
penerbitan izin jo. Peraturan Menteri LH No.1 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air
- Amdal seharsunya didasarkan pada PermenLH No. 16 Tahun 2012
- Lalu Seharusnya suatu dokumen amdal memuat :

o Pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan


o Evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
o Saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan
o Prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan
o Evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup
o Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
o Dengan tidak adanya evaluasi serta kajian dampak pembuangan air
- Tapi tidak ada evaluasi dan pengkajian tentang dampak pembuangan limbah terhadap
pembudidayaan ikan
IPLC

- Sekarang dikenal sbg izin lingkungan

43
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- dokumen Amdal kan harus memuat kajian mengenai pengaruh terhadap


pembudidayaan ikan, hewan, tanaman, kualitas tanah dan air tanah, serta kesehatan
masyarakat
- lalu berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU 32/2009 jo. Pasal 41 ayat (4) PP 82/2011 yang
menyatakan bahwa Bupati Sumedang harus melakukan evaluasi
- namun terhadap hasil kajian/evaluasi tersebut, tidak menjelaskan apa bentuk hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Bupati/Walikota.
- Pasal tersebut hanya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil evaluasi tersebut,
Bupati/Walikota menerbitkan IPLC.
- Seharusnya, jika konsisten dengan Pasal 31 UU 32/2009, hasil penilaian/evaluasi
tersebut ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk keputusan kelayakan lingkungan
(SKKLH), barulah Bupati/Walikota bisa menerbitkan izin lingkungan (dalam hal ini
berarti IPLC).
- Jadi, tidak bisa langsung menetapkan izin lingkungan tanpa didahului dengan adanya
SKKLH.
Pencemaran Air
- Sungai Cikijing sudah tergolong telah tercemar, semakin tercemar dengan terbitnya
objek sengketa. Sebagaimana pencemaran air dilihat dari baku mutu air yang dalam hal
ini telah terlampaui.
Baku Mutu Air

- batasan suatu lokasi yang mengandung air tercemar atau tidak


- Kelas satu adalah air yang dapat digunakan untuk air minum dan atau peruntukan lain
yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan air minum.
- Kelas dua adalah air yang dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, untuk mengairi pertanaman dan atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut
- Kelas tiga, yaitu air yang dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.
- Kelas empat, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
- Sungai Cikijing tahun 2009 – 2015 terdapat parameter telah melebihi baku mutu air
kelas II

44
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- status mutu air Sungai Cikijing adalah kondisi cemar karena mutu air tidak memenuhi
baku mutu air berdasarkan Pasal 14 PP Nomor 82 Tahun 2001

Baku Mutu Air Limbah

- Pencemaran air Sungai Cikijing ini disebabkan karena terlampauinya baku mutu air
limbah industri tekstil yang dilakukan tergugat
- Kritik à Tergugat menggunaan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 6 Tahun
1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cari bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat,
- bukan baku mutu air limbah nasional atau Permen Baku Muru Air Limbah
- tapi DTBP belum ditentukan
- Seharusnya à Dalam hal DTBP belum dapat ditentukan, maka batas baku mutu air
limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional, bukan
baku mutu air limbah daerah.

Daya Tampung Beban Pencemaran

- kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran
tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar.
- bjek sengketa TUN ke – 1 tidak berdasarkan daya tampung beban pencemaran sungai
cikijing
- dasarnya daya tampung beban pencemaran air pada sumber air ditetapkan dalam
rangka upaya pengendalian pencemaran air yang seharusnya dilakukan secara berkala
sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun sekali. Untuk

o Pemberian Izin Lokasi


o Pengelolaan air dan sumber air
o Penetapan rencana tata ruang
o Pemberian izin pembuangan air limbah
o Penetapan Mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air
- Sehingga dapat terlihat bahwa sebenarnya dengan tidak ditetapkannya DTPB dalam
kasus tersebut, sepatutnya izin pembuangan air limbah tidak dapat dikeluarkan.

Ketentuan Pembuangan Limbah Cair (AS)

- Berdasarkan water quality standard (WQS à yang merupakan ketentuan mengenai


kondisi fisik air, terdapat penjabaran kondisi air yang diingninkan, tingkatan
perlindungan terdahap suatu air atau sumber air, pengamanatan kepada daerah dalam
menentukan kondisi fisik air setempat

45
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- Clean Act Water à bahwa negara bagian yang tidak memenuhi water standard quality
wajib mengadopsi Total Maximum Daily Load (TMDL).
- TMDL à merupakan batas maksimum suatu air dapat menerima bahan pencemar
(seperti DTBP)
o jika melewati TMDL maka dapat dikatakan suatu air sudah tercemar
- Izin Usaha harus tidak boleh melanggar Effluent Limitation (EL) ataupun Effluent
Standard (ES)
o ES à berkaitan dengan baku mutu air dimana syarat dari permohonan izin usaha
ata kegiatan yang akan membuang limbah ke air.
- Sehingga pada kesimpulanya hubungan antara WQS, TMDL dengan ES adalah
merupakan syarat dalam mengajukan izin pembuangan limbah cair (IPLC) di amerika
serikat sesuai dengan Clean Water Act pasal 401 ayat (1)

KASUS PT KALLISTA ALAM


Strict Liability

- tanggung jawab mutlak adalah dimana saat unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh
pihak Penggugat sebagai dasar pembayar ganti kerugian.
- Di gugatan pake PMH padahal bertujuan secara SL
- Sehinga Tindakan Penggugat yang mencoba membuktikan unsur kesengajaan Tergugat
dalam putusan tidak perlu, apabila Penggugat pada dasarnya bertujuan menuntut sesuai
dengan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability).
- Karena pasal 88 à unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan. Jadi kesengajaan ga perlu
dibuktikan
- Yang harus dibuktikan cukup kerugian dan kausalitasnya ada (harus abnormally
dangerous activity)
- jika memang penggugat ingin menggunakan gugatan PMH dan strict liability seharusnya
posita dan petitum dari gugatan mereka dipisah. Dimana seharusnya ada posita PMH
dan posita strict liability.
- Dari sisi MH à hakim disini kurang lah maksimal dikarenakan Hakim tidak menjelaskan
mengenai apa saja yang harus dibuktikkan terhadap gugatan PMh ataupun gugatan
strict liability. Hakim juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai hubungan kausalitas
yang seharusnya dibuktikkan oleh penggugat dalam mengajukan gugatan PMH atau
strict liability nya.

Kesengajaan

46
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- Penggugat mendalilkan adanya unsur kesengajaan


- Seharusnya unsur kesengajaa tidak perlu didalilkan untuk mendapat ganti rugi yang
lebih besar
- Tapi hakim malah memusutskan ganti ruginya lebih kecil dari yang diminta penggugat

Putusan Mandalawangi – Putusan Kallista Alam

- Mandalawangi hubungannya dengan Strict Liability (mengakui adanya SL) dan


Precautionary Principle
o fungsi dari asas kehati-hatian adalah mengubah pertanggungjawaban dari PMH
menjadi strict liability.
o Dengan kata lain: PMH + asas kehati-hatian = strict liability
- Kalau Kallista Alam suda jelas melanggar karena membuka lahan dengan membakar.
Padahal strict liablity itu otomatis akan menjadi tanggung jawab pelaku. Sehingga, tak
perlu membuktikan bahwa perusahaan telah melanggar hukum ketika menjalankan
usahanya
- yang dilanggar dalam kasus mandalawangi adalah prinsip kehati-hatian. sedangkan
dalam kasus pt kalista alam ini unsur kesengajaan telah terpenuhi
- Sehingga tidak relevan merujuk ke putusan Mandalawangi

Res Ipsa Loquitur

- doktrin yang menentukan bahwa pihak Penggugat dari suatu PMH dalam bentuk
negligence atau kelalaian dalam kasus – kasus tertentu tidak perlu melakukan
pembuktian unsur kelalaian dari pihak pelaku, tetapi cukup menunjukan fakta yang
terjadi dan menarik sendiri kesimpulan bahwa pihak pelaku kemungkinan besar
memang melakukan PMH tersebut

- Prof. Rosa Agustina, agar berhasil menggunakan doktrin Res Ipsa Loquitur, terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi.
o harus dikemukakan bahwa fakta yang menimbulkan kerugian berada di bawah
pengawasan eksklusif dari Tergugat.
o kecelakaan tidak terjadi jika tidak ada negligence

- res ipsa loquitur dalam gugatan dinyatan dapat dilakukan sebagai interpretasi lebih lanjut
dari prinsip kehati-hatian.

o Penafsiran semacam ini kurang tepat dilakukan, sebab meski berkaitan,


kedaunya memiliki definisi yang berbeda.
o Res ipsa loquitur berhubungan dengan cara pembuktian telah terjadinya
kelalaian, sedangkan

47
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

o prinsip kehati-hatian adalah sebuah asas yang mengharuskan adanya upaya


pencegahan kerugian meskipun belum dapat diketahui secara pasti kerugian
yang mungkin terjadi.
o Namun keduanya berkaitan dalam hal dapat dikatakan jika Tergugat telah gagal
menerapkan prinsip kehati-hatian, maka semakin besar pula kemungkinan
bahwa asas res ipsa loquitur dapat diterapkan.
- Dalam kasus, Penggugat dalam salah satu gugatannya meminta hakim untuk
menerapkan doktrin res ipsa loquitur dalam menetapkan kelalaian Tergugat.

- Doktrin ini menyebabkan Tergugat harus membuktikan tidak adanya kelalaian


(pembuktian terbalik, bukan penggugat yang harus membuktikan dalil)
- Namun Penggugat seharusnya tidak perlu menjabarkan argumen untuk membuktikan
bahwa Tergugat telah lalai dalam mencegah terjadinya kebakaran baik dengan
mengatakan “jejak jejak kebakaran yang disebabkan oleh manusia” atau “tidak adanya
upaya pencegahan”
o karena beban pembuktian nya sudah terbalik dimana tergugat lah yang harus
membuktikan bahwa kebakaran bukan dikarenakan oleh dia.

Precautionary Principle

- kurangnya bukti ataupun kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda
dilakukannya tindakan pencegahan
- Perbedaan dengan pencegahan
§ Dalam asas kehati-hatian, tindakan pencegahan dilakukan terhadap
bahaya besar tetapi belum pasti (uncertain threats), asas pencegahan
tindakan pencegahan ditujukan pada bahaya yang lebih pasti (certain
threats).
§ Disini tergugat jelas tidak melakukan tindakan yang memenuhi prinsip
kehatihatian
§ Irreversible, uncertainity scientific, dan cost effectiveness
o Namun Dalam putusan, lebih tepat dalam memenuhi prinsip pencegahan
§ Karena pembangunan kebun kelapa sawit di lahan Tergugat adalah areal
bergambut yang sepatutnya diketahui sangat sensitif terhadap
kemungkinan terjadinya kebakaran.
§ Kemudian terhadap kelalaian Tergugat dalam melakukan hal-hal yang
dipaparkan diatas lebih tepat masuk ke dalam prinsip pencegahan

48
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

§ Resiko nya udah jelas. bukan berupa ambiguity, ignorance, atau


uncertainty sebagaimana yang dimaksud dalam prinsip kehati-hatian.

Perkiraan Kerugian

- perhitungannya dilakukan sesuai dengan apa yang dicontohkan dalam Lampiran


Permen LH Nomor 13 tahun 2011
o kurang tepat dengan merujuk ke lampiran permen ini
o Karena kasus yang menjadi contoh tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada
kasus PT Kalista Alam ini
o jaksa dalam dakwaannya, tidak serta merta menyalin apa yang ada pada contoh
dalam Permen LH
- penentuan luas lahan yang terbakar seluas 1.000 Ha bertentangan dengan keterangan
para saksi mata
- Namun luas lahan menurut hakim sudah tepat yaitu 1000Ha. Sehingga mempengaruhi
besar ganti kerugian

KASUS PT. ADEI PLANTATION & INDUSTRY


Pertanggungjawaban Korporasi

- Tan Kei Yoong dalam hal ini sebagai Direktur juga bertindak selaku penanggung jawab
seluruh operasional PT. ADEI, termasuk bertanggung jawab atas melakukan upaya-
upaya preventif terjadinya kebakaran lahan di wilayahnya.
- Karena Terdakwa di Dakwaan itu PT Adei (korporasi) pakai toeri Corporate Vicarious
- Tapi anehnya yang dipidana itu Tan Kei Yoong (pemimpin korporasi, tapi ga dijadikan
terdakwa). Kalau penentuan ini pake Vicarious Liability.
- Pak AGW bilang Corporate Vicarious Liability

Penyertaan

- Hakim tidak mempertimbangkan adanya penyertaan dalam kasus ini, sebab Hakim
membebankan kelalaian yang terjadi hanya pada Direktur dari PT. ADEI, bukan pada
pengurus-pengurus PT. ADEI yang ketika kebakaran terjadi berada di lapangan.

Dakwaan

Tidak membuktikan dakwaan Kesatu karena

- Ps 4 Undang-undang No. 18 Tahun 2004, yang dapat mempertanggungjawabkan


tindak pidana hanya lah orang.
- Sehingga pelaku korporasi tidak dapat menjadi Terdakwa.

49
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- Terdakwa adalah PT. Adei

Tidak membuktikan dakwaan Kedua karena

- Pasal 108 membolehkan terdakwanya adalah korporasi


- Pasal ini melihat tujuan dari pada perbuatan pidana.
- Tujuan yg dimaksud tersebut adalah pembukaan lahan.
- PT. Adei ga bertujuan membuka lahanqz
- nsur “melakukan” adalah kata aktif, sehingga dapat dipahami bahwa pasal ini adalah
pasal yang menunjukkan bahwa perbuatan terebut adalah kesengajaan.
- Kesimpulan à apabila ingin menggunakan pasal ini dalam pembuktian harus
membuktikan “sengaja dengan tujuan” dan pembuktian Mens Rea

Pembuktian Dakwaan Ketiga Primair

- Unsur setiap orang


- MH à perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak
- UU PPLH à orang perorangan atau termasuk korporasi

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1398 K/Pid/1994 à subyek hukum yang


melakukan suatu perbuatan pidana atau subyek pelaku daripada suatu
perbuatan pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala
tindakannya.

- Unsur “Sengaja” à pake teori willens en wettens (WvT) dan Unsur “lalai”
- Menurut Utrecth, unsur kesalahan dilihat dari
• Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
dari si pelaku tindak pidana
• Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannnya, yaitu:
a. Kelakuan yang disengaja (dolus atau opzet)
b. Kelakuan yang kurang berhati-hati atau kelalaian (culpa)
- Untuk kesengajaan à (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau
mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.
- Dolus eventualis adalah kesengajaan dengan menyadari kemungkinan, dimana
yang menjadi tolak ukur adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran
pelaku tentang diadakan dan akibat terlarang yang mungkin terjadi.
- Sebenrnya mungkin aja dijerat pake pasal 98 atas dasar dolus eventualis. Karena
terdakwa tdk memenuhi syarat amdal. Sepatutnya terdakwa punya kesadaran

50
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

atas kemungkinan kalau lahannya mudah terbakar karena tanah gambut


ditambah upaya pencegahan ga maksimal.
- Cuma kalo pake dolus eventualis susah pembuktiannya
- Kalau pake lalai lebih mungkin karena termasuk Culpa Lata atau Culpa Bewuste.
à Apabila pelaku sudah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat
yang dilarang, ia sudah berusaha untuk mencegahnya namun akibat itu tetap
terjadi.
- Unsur “dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”
- Yang terbukti hanya baku mutu udara ambien à ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Pasal 1 ayat (7)
PP No. 41 Tahun 1999)
- Dan Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup à berdasarkan Pasal 1 angka 15
UU No. 32 Tahun 2009 adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup
untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
- Gak seluruh dakwaan terbukti di unsur ini

Dakwaan atas Delik Materil

- Pasal 98 dan 99 merupakan pasal yang termasuk dalam kelompok delik materil,
- Yang membuat Pasal tersbut delik materil

o Adanya perbuatan atau serangkaian perbuatan, misalnya membuang limbah ke


badan air, melepaskan emisi pencemar ke udara;

o Ada suatu akibat atau dampak tertentu, yakni result atau hasil dari perbuatan
itu;

o Hasil (result) dari perbuatan itu adalah negatif terhadap lingkungan, yakni
pencemaran atau perusakan.

- Pasal 98 99 merupakan delik materil karena yang dilarang adalah akibatnya bukan
perbuatannya, jadi apa pun boleh dilakukan atau boleh tidak dilakukan oleh PT. Adei
Plantation asalkan tidak menyebabkan terlampaunya baku kerusakan lingkungan hidup
- Pasal 98 99 dikategorikan sebagai Serious Environmental Pollution. Karena pasal tersebut
termasuk ke dalam delik materil yang menitikberatkan pada akibat atau timbulnya
resiko (ancaman) munculnya pencemaran atau kerusakan lingkungan.

51
Disusun oleh Dominique Virgil dan Tim (FHUI 2015)

- Kalo Pasal 108 itu delik formil. Khususnya dikategorikan sebagai Concrete
Endangerment à yang dipidana adalah perbuatan yang menyebabkan
pencemaran/kerusakan lingkungan

Mens Rea

- “Actus Non Facit Reum, noso mens sit rea”, yang memiliki pengertian bahwa
pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana atau
actus reus, akan tetapi harus ada kesalahan atau mens rea yaitu sikap batin yang dapat
dicela
- Di Amerika Serikat, pengadilan pada permulaannya yakin bahwa mens rea tidak butuh
untuk diterapkan dalam suatu kasus, tetapi pada awal abad ke – 20 beberapa
pengadilan Amerika mengubah sikap mereka dan mulai mengembangkan konsep
corporate criminal liability dengan doktrin mens rea
- di Kanada, baik tanggungjawab mutlak maupun tanggungjawab terbatas menyebabkan
baik orang perorangan maupun badan hukum untuk bertanggungjawab tanpa perlu
membuktikan mens rea
- Dalam kasus, mens rea atau sikap batin tersebut harus dibuktikan
- karena pelaku seharusnya dapat menduga berdasarkan kemampuan, pengetahuan, dan
pengalaman yang dia miliki untuk dapat menduga bahwa perbuatannya dapat
mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

52

Anda mungkin juga menyukai