Anda di halaman 1dari 14

Aspek-Apek Hukum Perbankan Syariah

(Pengawasan Bank dan Perlindungan Konsumen)



Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek-aspek Hukum Perbankan
Syariah




Disusun Oleh :
Gilang Anggit Pambudi (1111046100060)
Siti Haura (1111046100116)





FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI MUAMALAT KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
I. Pembinaan dan Pengawasan Bank Islam di Indonesia

A. PENGAWASAN UMUM
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan di Indonesia Bank Indonesia
memiliki andil yang cukup besar, dimana tugas-tugasnya sebagai berikut:
1. Menciptakan sistem perbankan yang sehat dan kompetitif sehingga dapat berfungsi sebagai
sarana pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi dan moneter yang efektif
2. Mengarahkan dan membina perbankan dan lembaga keuangan bukan bank agar menjadi sehat
dan tumbuh secara wajar sehingga dapat:
a. Memberikan kredit dengan dana yang berasal dari masyarakat
b. Meningkatkan efisiensi dan jenis pelayanan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat
c. Memperluas jaringan kantor-kantor ke daerah potensial guna mendukung pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan
d. Ikut serta dalam kegiatan perbankan dan lembaga keuangan internasional untuk kepentingan
pertumbuhan ekonomi dan perbankan nasional.
Dimana semua ketentuan bank konvensional pada dasarnya juga diberlakukan terhadap bank yang
beroperasi berdasarkan syariat Islam.
Meskipun pada dasarnya pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Islam sama dengan pembinaan dan
pengawasan terhadap bank konvensional, tetapi ada beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut
terdapat dalam hal:
1. Organisasi
Dalam organisasi Bank Islam terdapat salah-satu perangkat yang disebut Dewan Syariah. Dewan
syariah tersebut terpisah dari Dewan Komisaris dan Direksi. Bank Indonesia tidak ikut campur
tangan terhadap fatwa Dewan Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perbankan
yang berlaku dan asas-asas pengembangan perbankan yang sehat. Dapat ditambahkan bahwa
pengawasan terhadap kemurnian operasi Bank Bagi Hasil sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Dewan Syariah beserta pemilik dan pengurus bank masing-masing. Dalam hal ini Bank Indonesia
sebagaipembina dan pengawas bank hanya menilai apakan kegiatannya telah sesuai dengan
prinsip-prinsip usaha bank yang sehat, termasuk perlindungan terhadap nasabah.
2. Perizinan
Adanya persyaratak tambahan bagi pendirian Bank Islam yaitu Anggaran Dasar dan Rencana
Kerja Bank Islam harus dinyatakan dengan jelas mengenai rencana kegiatan usaha yang semata-
mata berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, dan adanya Dewan Syariah
3. Kualitas aktiva produktif dan pembentukan cadangan penilaian terhadap kualitas aktiva produktif
bank, erat kaitannya dengan penggolongan kolektibilitas aktiva produktif yang bersangkutan ke
dalam criteria lancer, kurang lancar, diragukan, dan macet. Penetapan criteria tersebut bagi
konvensional antara lain didasarkan atas pembayaran bunga oleh nasabah, tetapi bagi Bank Islam
yang beroperasi atas dasar prinsip bagi hasil dan jual beli, maka ketentuan penggolongan
kolektibilitas yang berlaku bagi bank konvensional perlu dilakukan penyesuaian khususnya
mengenai penilaian kolektibilitas pemberian fasilitas pembiayaan.
4. Pelaporan sesuai dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 antara lain ditetapkan bahwa setiap
bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca perhitungan laba/rugi tahunan dan
penjelasannya, serta laporan-laporan berkala lainnya dalam waktu dna bentuk yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Agar bank Islam dapat menyampaikan laporan-laporan tersebut
sebagaimana bank konvensional, maka item-item dalam laporan Bank Islam perlu disesuaikan,
namun sandi-sandinya tidak diubah.

B. PENGAWASAN KHUSUS
Bank Islam, selain berfungsi menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang
membutuhkan dana, juga secara khusus mempunyai fungsi amanah.Untuk menjaga fungsi amanah
tersebut, perlu adanya pengawasan yang melekat pada setiap orang yang terlibat di dalam aktivitas
perbankan berupa motivasi keagamaan maupun pengawasan melalui kelembagaan.
Di dalam menjalankan fungsi kelembagaan agar operasional Bank Islam tidak menyimpang dari
tuntutan syariah Islam, maka diadakan Dewan Pengawas Syariah yang tidak terdapat di bank-bank
konvensional.
Dewan pengawas syariah adalah suatu dewan yang dibentuk untuk mengawasi jalannya Bank
Islam agar di -dalam operasionalnya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip muamalah menurut Islam.
Dimana dewan ini memiliki tugas untuk mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi bisnis yang
diajukan kepada dewan sehingga dapat ditentukan tentang sesuai atau tidaknya masalah-masalah tersebut
dengan ketentuan-ketentuan syariah Islam.
Agar dewan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dengan tetap berpijak pada fungsi
amanah tersebut, maka keanggotaannya disyaratkan terdiri dari orang-orang yang ahli syariah dan sedikit
banyak menguasai Hukum Dagang positif sertasudah berpengalaman dalam penyelenggaraan kontrak-
kontrak bisnis.
Wewenang Dewan pengawas syariah adalah:
a. Memberikan pedoman secara garis besar tentang aspek syariah dari operasional Bank Islam, baik
penyerahan dana, penyaluran dana, maupun kegiatan-kegiatan bank lainnya.
b. Mengadakan perbaikan terhadap suatu produk Bank Islam yang telah atau sedang berjalan.
Namun, dinilai pelaksanaannya bertentangan dengan ketentuan syariah.
Sedangkan fungsi dewan pengawas syariah adalah:
a. Sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan kantor cabang syariah mengenai
hal-hal yang terkait dengan aspek syariah
b. Sebagai mediator antara bank dan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam mengomunikasikan
usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari
DSN
c. Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan di bank. Kewajiban melapor pada DSN sekurang-
kurangnya satu kali dalam setahun.
Keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang dewan ini sangan tergantung kepada independensinya di
dalam membuat suatu putusan atau penilaian yang dibutuhkan. Independensi dewan ini diharapkan dapat
dijamin karena:
Mereka bukan staf bank, sehingga tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif.
Mereka dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham, demikian juga penentuan tentang
honorariumnya.
Dewan pengawas mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas khusus seperti halnya Badan
Pengawas lainnya.
Untuk menyatukan pendapat antar Dewan pengawas syariah yang mungkin berbeda satu dengan yang
lainnya, untuk tingkat internasional telah dibentuk International Association of Islamic Banks yang
berkedudukan di Cairo. Sedangkan di tingkat Nasional dibentuklah suatu Konsorsium Dewan Pengawas
Syariah Nasional di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Oleh karena Dewan pengawas syariah secara administratif bukanb berada di bawah kekuasaan bank,
maka dibentuk suatu penghubung atau perantara Dewan pengawas syariah dengan Dewan Direksi Bank.
Perantara ini disebut Leason Syariah. Tugas-tugasnya meliputi:
Menyusun dan melaksanakan program jangka panjang dan jangka pendek secretariat Dewan
pengawas syariah
Memberikan informasi tentang mekanisme operasional Bank Islam dan konsep-konsep
syariahnya kepada pihak luar dengan persetujuan Dewan Direksi dan atau Dewan pengawas
syariah
Mengawasi jalannya aktivitas Bank Islam dan mengajukan ke Dewan pengawas syariah apabila
Bank Islam terbukti melakukan suatu pelanggaran
Menyusun dan melaksanakan paket atau modul-modul tertentu untuk meningkatkan
intelektualitas dan komitmen keislaman segenap jajaran dan segmen Bank Islam
Memberi kejelasan syariah kepada segenap jajaran internal bank.
Agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik seorang Leason Syariah haruslah menguasai fiih
muamalah secara mendalam, selain itu juga menguasai bidang operasionalisasi bank konvensional.

Penutup:
Pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Islam seperti tersebut, baik yang bersifat umum
maupun khusus pada dasarnya bukan dimaksudkan untuk mempersulit dan memperketat bank, sehingga
Bank Islam tidak mampu mengembangkan usahanya ke arah yang lebih survive. Tetapi malahan
sebaliknya pengawasan tersebut dimaksudkan agar Bank Islam di satu pihak akan semakin survive
dengan kemampuan manajerial yang semakin meningkat, sehingga mampu menyelamatkan kepentingan
masyarakat banyak. Di pihak lain operasi Bank Islam tetap berpijak pada landasan dan prinsip-prinsip
Islam, sehingga masyarakat muslim dapat bermuamalah dengan penuh amanah dan ketentraman melalui
jasa-jasa perbankan Islam.



II. PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Pengertian Konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau
menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau
sejumlah barang. Sedabgkan Pengertian konsumen dalam rancangan Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,Yaitu: Pemakai barang atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentinngan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang
tidak untuk diperdagangkan kembali.

2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-
hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum
konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret
1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun
diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan
adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia
No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005
tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya
pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang
merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah
perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut
:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan,
Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang,
Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

3. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan
bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak
konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku
usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya UU
Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi
yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah
dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum
terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari benih hidup dalam rahim
ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya. Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen
memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang
dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang
gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi
dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumi. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di
atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh
karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha
yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal
mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative
dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha
yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya
tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan
melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi
pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar
negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa
undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-
undang
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak
Cipta sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
19 Tahun 1989 tentang Merek
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual
(HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor
13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang
melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan
tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-
undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup.
4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah
diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya
asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-
benar kuat.
a. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi
kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan
konsumen.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.



b. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

5. Hak dan Kewajiban Konsumen

a. Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya,
ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika
menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen

a. prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat
subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas
muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian
pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya
kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan
kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti
kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk
melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai
dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen
(hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
b. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan
konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan
mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan
yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen
dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu
suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk
memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk
mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi
terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat
kepentingan konsumen, yaitu :
Pembatasan waktu gugatan.
Persyaratan pemberitahuan.
Kemungkinan adanya bantahan.
Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun
vertikal.
c. Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen
wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang
beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen)
hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian
yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi
tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product
liability adalah :
Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian
seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana
terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.

Daftar Pustaka

Sumitro, Warkum. 2004. Asas-asas perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait (BAMUI, takaful,
dan pasar modal syariah) di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Dewi, Gemala. 2004. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Miru, Ahmadi. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Jakarta:PT
RajaGrafindo.

Anda mungkin juga menyukai