Anda di halaman 1dari 28

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HUKUM POSITIF KEGIATAN USAHA

PERTAMBANGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP PEREKONOMIAN DI


INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Hukum Ekonomi A

Dosen Pengajar:

Prof. Dr. An-an Chandrawulan, S.H., LL.M

Purnama Trimanansyah S.H., M.H

Disusun Oleh:

Afifah Dalilah Yustisia 110110170011

Nianda Dinilah Arifah 110110170020

Delfa Violina 110110170030

Elfrieda Javin 110110170039

Fidella Sima 110110170045

Vincensia Anindya C 110110170046

Hanifah Nabila 110110170055

Utari Silmi Latifah 110110170057

Kharisma Ramadhan P 110110170070

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan
akan sumber daya alam tersebut merupakan suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh
karena itu wajib untuk dijaga dan dilestarikan. Sumber daya alam yang ada pada suatu negara
dapat dijadikan modal dasar dalam hal membangun perekonomian nasional, maka dari itu
sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dan digunakan sebaik-
baiknya untuk kepentingan rakyat dan juga dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup di sekitarnya.

Peraturan mengenai pengelolaan sumber daya alam termaktub di dalam Undang-Undang


Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam hal tersebut dikatakan bahwa dikusai negara, memiliki arti
bahwa negara berdaulat atas kekayaan sumber daya alam, namun tujuan dari pengelolaan
kekayaan alam tersebut adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yaitu berupa sumber daya bahan tambang mineral
dan batu bara. Pengaturan mengenai pertambangan mineral dan batu bara diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara,
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2012 tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral.

Dari peraturan yang ada dapat dikatakan bahwa negara mempunyai peranan yang sangat
penting dalam bidang sumber daya alam salah satunya adalah pertambangan. Secara
ketatanegaraan, keterlibatan negara dalam mengelola sumber daya mineral ada tiga, yakni
dalam pengaturan (regulasi), pengusahaan (mengurus), dan pengawasan. Dalam hal ini aspek
pengaturan hak mutlak negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta dan merupakan
suatu aspek utama daripada aspek lainnya. Salim berpendapat bahwa meskipun pemerintah
atau negara berkedudukan sebagai pihak yang menguasai sumber daya alam tambang, namun
pemerintah atau negara tidak mampu dalam melakukan usaha pertambangan itu sendiri.
Untuk itu, pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lainnya untuk melakukan usaha
pertambangan atas sumber daya alam tambang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan diharapkan memberikan manfaat terhadap pembangunan ekonomi di
Indonesia. Selain itu juga diharapkan dapat menciptakan suatu iklim industri yang lebih
kondusif dan dapat melahirkan kepercayaan publik supaya investasi pertambangan di
Indonesia lebih meningkat.

Untuk melakukan kegiatan usaha seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah melalui sistem perizinan
yang biasanya disebut dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK).

Dalam perkembangannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu adanya gugatan yang diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) yang pemohonnya merupakan para pengusaha tambang terhadap
salah satu pasal yang materinya mengenai perizinan. Ketentuan perizinan tersebut dianggap
bertentangan dengan Konstitusi. Mahkamah Konstitusi selanjutnya memutuskan putusan
tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VII/2010 dan
menyatakan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa
salah satu pasal mengenai perizinan itu tidak sah.

Putusan tersebut dikeluarkan berdasarkan permohonan uji materi yang diajukan oleh
pengusaha tambang Fatriansyah Karya dan Fahrizan dalam hal ini sebagai pemohon. Para
Pemohon mendalilkan Pasal 22 huruf f, Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menentukan bahwa Pemegang
IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu)
hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. Dalam pokok permohonan para
pemohon menegaskan bahwa ketentuan pasal tersebut secara terselubung telah menghalang-
halangi dan menjegal pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan IUP dengan
mengatasnamakan hukum, karena persyaratan luas minimal Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) eksplorasi tersebut tidak mungkin mampu dipenuhi oleh perusahaan
kecil/menengah. Luas WIUP seluas 5.000 (lima ribu) hektar menurut Pemohon telah
membatasi hak orang lain yang tidak memiliki cukup modal untuk berusaha di bidang
pertambangan.

Dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara ditentukan bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang
merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air
tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa yang ditekan oleh pemerintah adalah bukan untuk
menciptakan pembangunan ekonomi tetapi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
nasional.

Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang menjadi tolak
ukur atau indikator terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu negara atau suatu
daerah. Pertumbuhan ekonomi harus selalu dilakukan suatu analisis untuk mengukur tingkat
perkembangannya dalam setiap tahun ke tahun pertumbuhan tersebut meningkat tinggi atau
stabil dan harus dilihat sektor mana terjadi peningkatan yang signifikan. 1

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010


terhadap pengusaha pertambangan?

2. Bagaimana dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di


bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi?

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, yaitu
akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengusaha pertambangan,
dan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi di bidang perizinan pertambangan
terhadap pembangunan ekonomi.

1
Adisasmita, Teori-Teori Pembangunan Ekonomi, Yogjakarta: Graha Ilmu,2013, hal. 5.
2. Manfaat Praktis

Secara praktis, diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Pemerintah

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah,


terutama bagi DPR untuk menyempurnakan regulasi dan aturan pada bidang
perizinan pertambangan, sehingga dapat menciptakan rasa keadilan dalam
masyarakat.

b. Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran kepada masyarakat


mengenai akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengusaha
pertambangan, dan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi di bidang
perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi sehingga mampu
menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat melalui proses perizinan
pertambangan yang baik dan benar.

D. Tujuan Penelitian

1. Bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan.

2. Bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji dampak dari putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap
pembangunan ekonomi.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini ialah metode kepustakaan. Alat pengumpulan data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah studi dokumen yang dilakukan melalui data tertulis berupa hasil olahan
pihak lain. dari data yang didapatkan tersebut untuk selanjutnya dianalisis dan kemudian
dipresentasikan secara kualitatif.

Penelitian ini tidak hanya menganalisis peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga
menganalisi beberapa masalah yang berhubungan dengan persoalan pertambangan terhadap
permasalahan dalam perspektif ekonomi.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini mencakup:

 Bahan buku primer : yaitu bahan buku yang mempunyai kekuatan mengikat berupa
peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan2
 Bahan hukum sekunder : yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet,
jurnal, surat kabar, makalah, skripsi, tesis maupun desertasi3
 Bahan hukum tersier : yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk mauoun penjelasan
atas bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan ensiklopedia. Selain itu juga
buku mengenai metode penelitian dan penulisan hukumuntuk memberikan penjelasan
mengenai teknik penulisan skripsi4

2
Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakrta: UI Press, 1984)
3
Sri Mamudji, et al., Teknik Menyusun Karya Ilmiah (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 2006, hlm. 13
4
Soekanto, Op,cit., hlm. 7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar


Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi terkait pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia.5

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk melaksanakan prinsip


check and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga adanya keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah
Konstitusi merupakan sebuah langkah nyata untuk antar lembaga negara dan dapat saling
mengoreksi kinerjanya.6

Wewenang Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan
tingkat terakhir yang mana putusannya bersifat final, wajib untuk memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum yang berupa tindak pidana berat, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, penyuapan,
atau perbuatan tercela lainnya sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, serta untuk
kepentingan pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi bahwa;7

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang terhadap UUD 1945


b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945
c. memutus pembubaran partai politik, dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

5
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10961, diakses
pada 29 Oktober 2019, pukul 21.19 WIB
6
Ibid.
7
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1)
B. Perizinan

Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenaan/izin dari
pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan
khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak
dikehendaki8. Beberapa ahli, megartikan perizinan dengan sudut pandang yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain. Adapun pengertian izin menurut para ahli sebagai berikut:

a) Pudyatmoko (2009:22) menyebutkan bahwa izin merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan, dengan izin akan menjadi dasar (Legal Base) bagi siapapun (pemerintah,
perorangan atau kelompok usaha) untuk bertindak, dalam artian punya pijakan atau
dasar hukum yang jelas untuk bertindak.
b) Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan
tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin ialah salah satu
instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.9
c) Bagir Manan mengartikan izin dalam arti luas , yang berarti suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.10

Dari pengertian Perizinan para ahli diatas dapat dilihat bahwa ketentuan tentang perizinan
mempunyai fungsi mengatur dan mentertibkan. Sebagai fungsi mengatur yaitu dimaksudkan
agar izin atau setia izin tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat
lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga terciptanya ketertiban dalam segi
kehiduapan bermasyarakat.

Sebagai fungsi mengatur, dimaksudkan bahwa perizinan yang ada dapat dilaksanakan
sesuai dengan peruntukannya, sehingga tidak terdapat penyalahgunaan izin yang telah
diberikan, dengan kata lain fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang
dimiliki oleh pemerintah11

8
HR,Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.198
9
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993, hlm.2
10
Bagir Manan. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul
Ditinjau dari Perspektif UUD 1945. Makalah ini tidak dipublikasikan. Jakarta. 1995. Hlm 8 dalam Andrian Sutedi.
2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 170
11
Andrian Sutedi. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 193
Adapun tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi.
Meskipun demikian, secara umum dapatlah disebutkan sebagai berikut:12

a) Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu;


b) Mencegah bahaya bagi lingkungan;
c) Keinginan melindungi objek-objek tertentu;
d) Hendak membagi benda-benda yang sedikit;
e) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas, dimana pengurus harus
memenuhi syarat tertentu.

C. Pertambangan Mineral dan Batubara

1). Pengertian pertambangan

Pertambangan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Minyak dan Batu Bara adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusaha mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, serta kegiatan
pasca tambang.13 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan menambang
adalah menggali (mengambil) barang tambang dari dalam tanah. 14 Kemudian, Abrar Saleng
menyatakan bahwa usaha pertambangan pada hakikatnya ialah usaha pengambilan bahan
galian dari dalam bumi.15

Dari pengertian-pengertian pertambangan di atas, dapat diketahui bahwa pertambangan


adalah suatu usaha mengambil dan memanfaatkan bahan-bahan galian. Pada hakikatnya
pembangunan sektor pertambangan dan energi mengupayakan suatu proses pengembangan
sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengertian Pertambangan Mineral diatur dalam Pasal 1 angka (4) ditentukan bahwa
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau
batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pengertian Pertambangan
Batubara diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa, Pertambangan Batubara

12
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2009. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Pelayanan Publik, Bandung, hlm. 218
13
Undang-Undang No.4 tahun 2009, pasal 1 angka (1)
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit,1990, hal;890
15
Akbar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal;90
adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat,
gambut, dan batuan aspal.

Sumber daya mineral merupakan suatu sumber yang bersifat tidak dapat diperbaharui.
Oleh karena itu penerapanya diharapkan mampu menjaga keseimbangan serta keselamatan
kinerja dan kelestarian lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar. 16 Beberapa faktor yang
mempengaruhi usaha pertambangan adalah sebagai berikut:

a. Perubahan dalam sistem perpajakan.


b. Kebijakan dalam lingkungan hidup.
c. Keadaan ekonomi yang buruk.
d. Harga endapan atau logam yang buruk.
e. Keadaan politik yang tidak stabil.

2) Karakterisitik Perusahaan Pertambangan

Karakteristik perusahaan pertambangan umum, terdapat empat usaha pokok meliputi :

a. Eksplorasi (Eksploration) yaitu usaha dalam rangka mencari, menemukan dan


mengevaluasi cadangan terbukti pada suatu wilayah tambang dalam jangka waktu
tertentu seperti yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
b. Pengembangan dan konstruksi (Development and Construction) yaitu setiap kegiatan
yang dilakukan dalam rangka mempersiapkan cadangan terbukti sampai siap
diproduksi secara komersial. Konstruksi adalah pembangunan fasilitas dan prasarana
untuk melaksanakan dan mendukung kegiatan produksi.
c. Produksi (Production) yaitu semua tahapan mulai dari pengakatan bahan galian dari
cadangan terbukti ke permukaan bumi sampai siap untuk dipasarkan, dimanfaatkan
atau diolah lebih lanjut.
d. Pengolahan, dengan adanya kegiatan pada suatu daerah tertentu, maka akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup di sektiar lokasi penambangan,
meliputi:
1) Pencemaran lingkungan yaitu maksudnya atau dimasukannya makhluk hidup, zat,
energi dan komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan
lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kaulitas lingkungan

16
Jacky miner, Teori Pertambangan I, (online) http://www.http./teori-pertambangan-i.html,
diakses pada tanggal 25 juli 2016 pukul 10.00 WIB.
sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau
tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.
2) Perusakan lingkungan yaitu adanya tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap perubahan sifat-sifat dan atau hayati
lingkungan yang mengakibatkan lingkungan itu kurang berfungsi lagi dalam
menunjang pembangan berkesinambungan.
D. Pembangunan Ekonomi

Torado & Smith (2003) menyatakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan ekonomi
sebuah negara ditunjukan oleh tiga nilai pokok, yaitu; berkembangnya kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (sustance), meningkatnya rasa harga diri
(self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Pada
akhirnya disadari bahwa definisi pembangunan ekonomi bukan hanya bagaimana
meningkatkan GNP per tahunnya saja. Pembangunan ekonomi bersifat multidimensi yang
mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek
ekonomi saja. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan
suatu negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup
masyarakatnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu
proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per-kapita penduduk suatu negara dalam
jangka waktu panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.17

Dari pengertian di atas diketahui bahwa pembangunan ekonomi mempunyai unsur-unsur


pokok serta sifat sebagai berikut;18

a. suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus-menerus


b. usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita
c. peningkatan pendapatan per kapita harus terus berlangsung dalam jangka waktu
yang panjang
d. perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang

Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi besifat kualitatif.


Artinya, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam

17
Prof. Lincolin Arsya, Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi, ESPA4324 Modul 1, hal. 1.5
18
Ibid.
struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti pada lembaga,
pengetahuan, sosial, dan teknik.19

19
Badang Perencanaan Pembangunan Daerah, Pembangunan Ekonomi,
https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/pembangunan-ekonomi-13, diakses pada 30 Oktober 2019 pukul
15.44 WIB
BAB III

PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010


Terhadap Pemegang Izin Usaha Pertambangan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan putusan pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat20. Final, artinya putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang
dapat ditempuh. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 memberikan
akibat hukum terhadap pengusaha pertambangan. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menentukan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi mineral
logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
100.000 (seratus ribu) hektare, kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUU-VIII/2010 dihapus sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu)
hektare.

Pada saat MK mengabulkan atau menolak suatu permohanan judicial review, maka
putusan tersebut mempunyai kekuatan final dan mengikat 21. Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) tidak merevisi ketentuan pasal yang telah dihapus dalam undang-undang
tersebut, maka itu akan menjadi persoalan. Artinya putusan MK hanya sebatas putusan “di
atas kertas”, bahwa ketentuan pasal tersebut sudah mengalami perubahan. Walaupun putusan
tesebut hanya merupakan putusan di atas kertas, tetapi apabila pemerintah tetap
menggunakan pasal yang telah dihapus tersebut, maka itu tidak sah secara hukum, karena
secara yuridis pasal tersebut sudah dinyatakan bertentangan bengan UUD 1945. dalam
prakteknya tidak selalu setelah adanya putusan MK, maka DPR akan segera merevisi
undang-undang tersebut, dan itu akan menimbulkan persoalan. Seharusnya DPR mengikuti
putusan yang telah dikeluarkan MK. Menurut narasumber, secara normatif pasal tersebut
sudah dihapus, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan MK, tetapi secara faktual bisa
jadi putusan MK tersebut belum ditindak lanjuti kedalam undang-undang oleh DPR22.
20
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006, h. 160.
21
Fajar Laksono Soeroso, “Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi,
Volume 11, Nomor 1, Maret 2014, h. 78
22
Budi Suhariyanto, “Masalah Eksekutabelitas Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah Agung”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 13 No. 1, Maret 2016, h. 181.
Pada dasarnya secara normatif apabila pasal tersebut sudah dihapus, sebagaimana yang
disebutkan dalam putusan MK, tetapi secara faktual bisa jadi putusan MK tersebut belum
ditindak lanjuti ke dalam undang-undang oleh DPR 23. Dalam hal ini akibat hukum terhadap
pengusaha pertambangan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-
VIII/2010 adalah, memberi peluang bagi pengusaha pertambangan untuk dapat memperoleh
izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP)
eksplorasi mineral logam, paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare, tanpa ada batasan
minimal WIUP 5.000 (lima ribu) hektare, dengan demikian pengusaha tambang yang
mempunyai WIUP kurang dari 5.000 (lima ribu) hektare, dapat memperoleh IUP eksplorasi
mineral logam.

Akibat dari putusan MK ini kami menarik satu contoh dimana pengusaha tambang di
Provinsi DY yang mempunyai WIUP kurang dari 5.000 (lima ribu) hektare. Izin usaha
pertambangan eksplorasi mineral logam yang diberikan kepada pengusaha tambang
Kabupaten Kulon Progo Provinsi DIY berdasarkan data tahun 2014, dikeluarkan sebelum
diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batubara, yang mengizinkan luas wilayah usaha
pertambangan eksplorasi mineral logam kurang dari 5.000 hektare. Pasal 14 huruf (a)
Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Pertambangan Mineral Dan Batubara menentukan bahwa luas wilayah eksplorasi dalam
WIUP bagi pemegang IUP eksplorasi mineral logam paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.

Menurut bapak Jazuli selaku bidang ESDM menyatakan bahwa izin usaha pertambangan
eksplorasi mineral logam tetap diberikan kepada pengusaha tambang yang memiliki wilayah
izin usaha pertambangan eksplorasi mineral logam kurang dari 5.000 hektare, karena luas
wilayah dari potensi sumber daya mineral yang dimiliki oleh Provinsi DIY khususnya
Kabupaten Kulon Progo terbatas. Batas minimal wilayah izin usaha pertambangan eksplorasi
mineral logam seluas 5.000 hektare sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak
dapat diterapkan untuk melaksanakan kegiatan pertambangan eksplorasi mineral logam di
Kabupaten Kulon Progo Provinsi DIY.

23
Fajar Laksono, dkk, Implikasi Dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012
tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)/Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Jakarta:
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013, h. 87
Dengan adanya putusan MK, substansi dari IUP eksplorasi mineral yang dikeluarkan oleh
pemberi izin sebelum adanya putusan MK menjadi legal, karena substansi izin tersebut telah
sesuai dengan putusan MK, tetapi secara prosedur IUP eksplorasi mineral logam yang
dikeluarkan oleh pemberi izin sebelum adanya putusan MK harus dicabut karena pemberian
izin tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemberi izin kemudian
harus memberikan IUP yang baru karena menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang telah
ada.

B. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010 Terhadap


Pembangunan Ekonomi di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
1) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Kabupaten Kulon
Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Indikator yang digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi yaitu


tersedianya data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) i. PDRB merupakan gambaran
nyata hasil aktivitas semua pelaku ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, 2014:1). PDRB dihitung atas dasar harga berlaku (at
current market price) dan atas dasar harga konstan (at constant market price). PDRB atas
dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada
tahun tertentu sebagai tahun dasar, dalam penghitungannya digunakan tahun dasar 2000
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulonprogo, 2014:42).

PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah dari tahun ke tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk
menunjukkan besarnya struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi. Dalam penelitian
ini hanya menggunakan PDRB Kabupaten Kulon Progo atas dasar harga berlaku, karena
dalam penelitan ini mengkaji peranan sektor ekonomi, dalam hal ini peranan sektor
pertambangan terhadap pembangunan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo. Data PDRB
Kabupaten Kulonprogo menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku akan dikategorikan
menjadi 2 periode, yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo
periode Tahun 2005-2009 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon
Progo periode Tahun 2009-2013.
2) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo Periode
Tahun 2005-2009.

Data mengenai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo Tahun
2005-2009 atas dasar harga berlaku dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data Tabel 2
dapat dijelaskan bahwa, sektor usaha yang memberikan nilai tambah terbesar terhadap total
pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo adalah sektor pertanian yaitu sebesar Rp
792.463.000, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian termasuk sektor yang
memberikan nilai tambah terkecil terhadap total PDRB Kabupaten Kulon Progo yaitu Rp
34.555.000. Meskipun sektor pertambangan dan penggalian termasuk sektor yang
memberikan nilai tambah terkecil terhadap total PDRB Kabupaten Kulon Progo, namun
sektor pertambangan dan penggalian selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, dan
merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan paling tinggi pada tahun 2009 yaitu 8,81
persen (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2010:38).

3) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo Periode


Tahun 2009-2013.

Data mengenai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo Tahun
2009-2013 atas dasar harga berlaku dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan data pada Tabel
3, dapat dijelaskan bahwa PDRB Kabupaten Kulon Progo menurut lapangan usaha atas dasar
harga berlaku pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp 4.641.905.000, yang sebelumnya pada
tahun 2012 sebesar Rp 4.196.448.000. Sektor usaha yang memberikan nilai tambah terbesar
terhadap total pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo adalah sektor pertanian yaitu
sebesar Rp 1.061.782.000, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian termasuk sektor
yang memberikan nilai tambah terkecil terhadap total pembentukan PDRB Kabupaten Kulon
Progo yaitu Rp 43.827.000. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami peningkatan
pada tahun 2010-2013.

Peranan sektor PDRB dalam bentuk persentase (%) dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan data Tabel 4, dapat dijelaskan bahwa peranan sektor pertanian masih
mendominasi perekonomian di Kabupaten Kulon Progo, yaitu dengan memberikan kontribusi
sebesar 22,87% terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo. Sektor yang
memberikan kontribusi terkecil adalah sektor pertambangan dan mineral yaitu sebesar 0,94%
dan sektor listrik, gas, dan air bersih yaitu sebesar 0,86%. Meskipun sektor pertambangan dan
penggalian memberikan kontribusi terkecil terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Kulon
Progo, namun sektor pertambangan dan penggalian mengalami peningkatan pada tahun 2010-
2013.

C. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010 Terhadap


Pembangunan Ekonomi di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta

Kegiatan usaha pertambangan di Kabupaten Kulon Progo memang tidak banyak


memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDRB per kapita di Kabupaten Kulonprogo,
tetapi berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi, kegiatan pertambangan memberikan
perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 yang menjelaskan
mengenai laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kulon Progo menurut lapangan usaha pada
Tahun 2013. Berdasarkan data Tabel 5, dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2013, laju
pertumbuhan ekonomi sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Kulon Progo
mengalami peningkatan, yaitu mencapai 11,89%. Tingginya laju pertumbuhan sektor ini
sangat didominasi oleh peningkatan pasir kali. Hal ini disebabkan karena penggalian pasir
pada saat ini tidak menggunakan tenaga manual saja, melainkan sudah menggunakan tenaga
mesin untuk menyedot pasir dari sungai sehingga volume produksi penggalian pasir
meningkat sangat signifikan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulonprogo, 2014:46).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi di sektor
pertambangan dan penggalian di tahun 2013 bukan karena peningkatan kegiatan usaha
eksplorasi mineral logam.

Data izin usaha pertambangan eksplorasi mineral logam yang terdapat di Kabupaten
Kulon Progo dikeluarkan pada tahun 2010. Artinya, izin tersebut dikeluarkan sebelum adanya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010. Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010, memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang
diucapkan pada tanggal 4 Juni Tahun 2012. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-VIII/ 2010 tidak memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi di
Kabupaten Kulon Progo, karena izin usaha pertambangan eksplorasi mineral logam yang ada
di Kabupaten Kulon Progo Provinsi DIY dikeluarkan sebelum adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010. Hal ini dipertegas juga dengan data statistik PDRB
Kabupaten Kulon Progo Periode Tahun 2005-2009. Pada periode tahun tersebut, kegiatan
usaha pertambangan di Kabupaten Kulon Progo selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya, tetapi bukan sebagai dampak dari putusan Mahkamah Komstitusi, karena
pengaturan kegiatan usaha pertambangan pada tahun tersebut masih menggunakan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang
belum memberikan batasan terhadap wilayah eksplorasi mineral logam sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.

Menurut penulis, sebelum dikeluarkannya putusan MK, kegiatan usaha pertambangan di


Kabupaten Kulon Progo tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan
ekonomi. Berdasarkan data PDRB Kabupaten Kulon Progo periode tahun 2005- 2009 dan
periode 2009-2013, diketahui bahwa sektor usaha yang memberikan sumbangan terbesar
terhadap total pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo adalah sektor usaha pertanian,
sedangkan sektor usaha petambangan termasuk sebagai sektor yang memberikan sumbangan
terkecil terhadap total pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo. Setelah dikeluarkannya
putusan Mahkamah Konsitusi yang mempunyai kekuatan final dan mengikat, tidak
ditemukannya izin usaha pertambangan eksplorasi mineral logam di Kabupaten Kulon Progo,
karena izin usaha pertambangan tersebut sudah terlebih dahulu dikeluarkan sebelum
dikeluarkan dan berlakunya putusan MK. 24

24
Hera Pradipta Putri. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Produk Domestik Bruto Provinsi Jawa Barat.
Diponegoro Journal Of Economics. Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013. hlm 1
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang


menjadi tolak ukur atau indikator terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi di
suatu negara atau suatu daerah yang dilihat dari beberapa sektor kegiatan usaha. Di
Indonesia, kegiatan usaha pertambangan merupakan salah satu penunjang kegiatan
ekonomi terbesar. Indonesia selaku negara pun mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mendukung kegiatan perekonomian, salah satunya yaitu dengan cara
membuat kebijakan-kebijakan yang relevan terkait dengan bidang sumber daya alam
salah satunya yaitu pertambangan untuk dapat mengatur kebijakan pengelolaan
kegiatan usaha pertambangan tersebut. Salah satu kebijakan yang perlu diatur yaitu
mengenai perizinan untuk melakukan kegiatan usaha tersebut agar tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Perizinan ini sebagai fungsi mengatur para pelaku usaha
yang ada dan dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga tidak
terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain fungsi pengaturan
ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah.

B. Saran

Dalam membuat kebijakan dan/atau peraturan sudah semestinya negara


mengkaji melalui perkembangan dan praktik kegiatan usaha tersebut agar regulasi
dapat berlaku sesuai dengan keadaan dan kondisi di masa sekarang. Kegiatan usaha
pertambangan merupakan kegiatan usaha yang sangat besar dimana kegiatan usaha
tersebut memiliki dampak positf dan negatif bagi masyarakat dan pemerintah. Selain
itu pula, kegiatan tersebut memerlukan ekploitasi Sumber Daya Alam yang ada di
Indonesia. Agar penggunaan tersebut tidak berlebihan dibutuhkannya pengawas dan
kebijakan yang sesuai untuk mengatur kegiatan tersebut. Sudah semestinya
pemerintah meninjau kembali segala kebijakan yang telah dikeluarkan dalam kegiatan
usaha pertambangan ini.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Smita. Adisa. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi, Yogjakarta: Graha Ilmu

Soekanto .Soerjono. 1984. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Ridwan. HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.

Hadjon. Philipus. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika.

Sutedi. Andrian. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar
Grafika.

Andrian Sutedi. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar
Grafika.

Saleng,. Akbar. 2004. Hukum Pertambangan. Yogyakarta :UII Press.

Mamudji . Sri, et al., 2006. Teknik Menyusun Karya Ilmiah . Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Sutiyoso . Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan
Pertama, Bandung:: PT. Citra Aditya Bakti.

JURNAL

Fajar Laksono Soeroso, Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi .Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Maret 2014.

Hera Pradipta Putri. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Produk Domestik Bruto Provinsi
Jawa Barat. Diponegoro Journal Of Economics. Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013.

Budi Suhariyanto, Masalah Eksekutabelitas Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah


Agung, Jurnal Konstitusi, Vol. 13 No. 1, Maret 2016.

Prof. Lincolin Arsya, Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi, ESPA4324


Modul 1
Laksono. dkk. Implikasi Dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-
X/2012 tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)/Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI), Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2013.

Bagir Manan. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak


Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945. Makalah ini tidak
dipublikasikan. Jakarta. 1995.

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/ 2010

Undang-Undang No.4 tahun 2009, pasal 1 angka (1)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1)

Internet

http://www.http./teori-pertambangan-i.html,
https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/pembangunan-ekonomi-13
https://mkri.id/index.php?page=web
i

LAMPIRAN

Tabel 1

Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral Logam di Kabupaten Kulonprogo Provinsi DIY
Tahun 2014
Tabel 2.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kulon Progo Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Berlaku, Tahun 2005-2009 (Juta Rupiah)
Tabel 3.
Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku di
Kabupaten Kulon Progo (Juta Rupiah) 2009-2013
Tabel 4.
Peranan Sektor Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku (Persentase) di Kabupaten Kulonprogo 2009-2013
Tabel 5.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kulon Progo Menurut Lapangan Usaha Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai