Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Johanes Hutabarat, M.Si
B. Pembahasan
Di Indonesia kekayaan mineral dikuasai Negara sebagaimana tercantum dalam pasal
33 Konsitusi Republik Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 33 tersebut kemudian
diturunkan ke dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pertambangan No. 11
tahun 1967 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 tahun 2009 dan UU No. 3 tahun
2020. Inti peraturan perundangan itu adalah bahwa frase penguasaan oleh Negara
bermakna mineral dieksploitasi oleh Negara. Tujuannya adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran Rakyat (Sunardi & Sudradjat, 2021).
a. Indische Mijn Wet (IMW)
Peraturan pertambangan diterbitkan pada tahun 1899 yang disebut Indische Mijn Wet
(IMW) atau Undang-Undang Pertambangan. Sebagai petunjuk pelaksanaannya, pada
tahun 1906 diterbitkan Mijn Ordonantie. Petunjuk teknik berkenaan dengan
pengawasan pelaksanaan teknis di lapangan dimuat dalam Mijn Politie Reglement
(MPR) yang diterbitkan pada tahun 1930 (Sunardy & Sudradjat, 2021).
Peraturan Indische Mijn Wet (IMW) merupakan peraturan yang diberlakukan
pada masa kolonial Belanda di Hindia Belanda, yang pada dasarnya mengatur
masalah pertambangan di wilayah tersebut. Meskipun pada zamannya aturan ini
memiliki tujuan tertentu, terdapat beberapa kelemahan yang menjadi sorotan
kritis.
i. Pengabaian terhadap Hak Masyarakat Lokal
1. IMW cenderung memberikan kekuatan yang besar kepada
perusahaan asing atau Belanda dalam hal kepemilikan dan
eksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan hak
dan kesejahteraan masyarakat lokal.
2. Kurangnya perlindungan terhadap hak-hak petani, penduduk
asli, dan masyarakat adat terhadap tanah dan lingkungan mereka.
ii. Tidak Berpihak pada Kesejahteraan Sosial
1. Kurangnya perhatian pada kontribusi nyata terhadap
kesejahteraan sosial di daerah sekitar tambang
2. Tidak ada ketentuan yang jelas tentang tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat lokal.
iii. Ketidakterbukaan dan Kurangnya Transparansi
1. Kekurangan transparansi dalam hal izin tambang, regulasi, dan
kegiatan operasional perusahaan tambang.
2. Kelemahan ini dapat memicu kesenjangan informasi yang
signifikan di antara pihak-pihak yang terlibat.
iv. Tidak Memadainya Perlindungan Lingkungan
1. Kekurangan ketentuan yang cukup kuat terkait perlindungan
lingkungan, termasuk upaya pemulihan dan reklamasi lahan
yang terkena dampak tambang.
2. Tidak adanya mekanisme yang memadai untuk menangani
dampak lingkungan jangka panjang.
v. Kekurangan Pengawasan dan Penegakan Hukum
1. Keterbatasan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
dan penegakan hukum terkait pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan tambang.
2. Kurangnya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh perusahaan.
vi. Tidak Responsif terhadap Kondisi Terkini
IMW pada saat itu mungkin tidak responsif terhadap perubahan kondisi
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terjadi seiring berjalannya waktu.
Kelemahan-kelemahan ini menyoroti kebutuhan akan perubahan yang lebih
substansial dalam regulasi yang mengatur pertambangan, terutama untuk
memperhatikan hak masyarakat lokal, perlindungan lingkungan, serta
kesejahteraan sosial yang lebih baik. Reformasi hukum yang lebih inklusif dan
adaptif terhadap kondisi aktual dan kebutuhan masyarakat adalah kunci untuk
mencapai keberlanjutan yang lebih baik dalam industri pertambangan.
b. UU No. 11 Tahun 1967
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, yang sering disebut
sebagai "UU 11 Minerba 1967," diterbitkan setelah "Indonesia-Malaysia-
Thailand Growth Triangle (IMT-GT)" dan untuk mengatasi beberapa
kelemahan yang ada dalam Undang-Undang Minerba 1967 sebelumnya
(Sunardy & Sudradjat, 2021). Pada saat itu, Indonesia ingin memperbaiki
pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya mineral, untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. UU 11 Minerba
1967 diarahkan untuk memperkuat kontrol penuh dan kepemilikan sumber daya
mineral oleh pemerintah Indonesia, menghapuskan kendali asing dalam sektor
pertambangan. Regulasi ini juga didasarkan pada kebijakan ekonomi negara,
yang saat itu menekankan nasionalisasi dan kepemilikan sumber daya alam oleh
negara.
Dengan keluarnya undang-undang ini tentang Penanaman Modal Asing, terbuka
kesempatan bagi dunia pertambangan untuk memanfaatkan modal dari luar
yang sangat dibutuhkan (Sudradjat, 1999).
Meskipun UU Minerba 1967 memiliki sejumlah kelebihan, ada beberapa
kelemahan yang ingin diatasi oleh UU 11 Minerba 1967:
i. UU Minerba 1967 sering kali tidak memberikan kerangka hukum yang
cukup jelas bagi perusahaan pertambangan dan investor. Hal ini
menciptakan ketidakpastian dan risiko investasi.
ii. Undang-undang tersebut tidak memiliki ketentuan yang kuat mengenai
perlindungan lingkungan. Kurangnya regulasi ini dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan.
iii. Undang-undang tersebut tidak memberikan keterlibatan yang cukup
bagi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi wilayah mereka dan lingkungan tempat tinggal mereka.
iv. Beberapa ketentuan dalam UU Minerba 1967 dinilai kurang
menguntungkan bagi pemerintah dalam hal pembagian royalti dan
manfaat ekonomi bagi negara.
v. Undang-undang tersebut memberikan pemerintah pusat otoritas yang
sangat besar dalam pengelolaan sumber daya mineral, yang dapat
menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.
C. Penutup
Berdasarkan uraian pembahasan tentang perkembangan hukum pertambangan di
Indonesia dari berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari Indische Mijn Wet
(IMW) era kolonial Belanda hingga UU No. 3 Tahun 2020, berikut beberapa hal
penting yang menjadi poin penting, yakni:
a. Indische Mijn Wet (IMW) merupakan peraturan pertambangan di masa kolonial
yang memberikan kekuatan besar kepada perusahaan asing dalam eksploitasi
sumber daya alam, tanpa memperhatikan hak dan kesejahteraan masyarakat
lokal. Kelemahan utamanya termasuk pengabaian terhadap hak masyarakat
lokal, kurangnya perhatian pada kesejahteraan sosial, dan tidak memadainya
perlindungan lingkungan.
b. UU No. 11 Tahun 1967 berusaha mengatasi kelemahan dalam IMW dengan
menekankan kontrol penuh pemerintah atas sumber daya mineral dan
menghapuskan kendali asing. Namun, beberapa kelemahan dari UU
sebelumnya tetap ada, seperti kurangnya kerangka hukum yang jelas,
kurangnya perlindungan lingkungan, dan minimnya partisipasi masyarakat
lokal.
c. UU No. 4 Tahun 2009 mencoba menciptakan lingkungan yang menarik bagi
investasi asing dalam sektor pertambangan dengan mengatur manfaat bagi
masyarakat lokal. Namun, masalah pengawasan dan penegakan hukum yang
lemah serta reklamasi lahan pasca-pertambangan yang tidak memadai tetap
menjadi isu utama.
d. UU No. 3 Tahun 2020 mengalami perubahan signifikan dalam kewenangan
pengelolaan mineral, mengurangi kewenangan daerah dan memperkenalkan
perubahan dalam tarif royalti. UU ini juga menambahkan ketentuan yang lebih
ketat mengenai perlindungan lingkungan dan manfaat bagi masyarakat lokal,
namun implementasinya perlu diperhatikan.
Kesimpulannya, meskipun terdapat upaya perubahan dalam hukum pertambangan
Indonesia dari waktu ke waktu, masih ada tantangan besar yang harus diatasi, seperti
perlindungan lingkungan yang lebih baik, keterlibatan masyarakat yang lebih aktif, dan
penegakan hukum yang lebih efektif. Perubahan hukum yang lebih inklusif dan
responsif terhadap kebutuhan aktual masyarakat adalah kunci untuk mencapai industri
pertambangan yang lebih berkelanjutan di masa depan.
Referensi
Sunardy, E. & Sudradjat, A. 2021. Regulasi Pengelolaan Enegeri & Sumber Daya Minneral
dan Lingkup Lingkungannya. Jakarta: CV Galeripadi.