Anda di halaman 1dari 8

ETIKA PROFESI KEPOLISIAN

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
ETIKA PROFESI HUKUM
Yang di ampu oleh, Dr. Ashadi L. Diab, M.H

Oleh:
ZUL ARWIKI JECKY NIM: 17020101039
PANJI NURROHMAN NIM: 17020101039
DHITA AMALIA NIM: 17020101039
HASNA NIM: 17020101039
WULAN AYU E. NIM: 17020101039

Fakultas Syariah
Hukum Perdata Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
Periode:2018-2019 M
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN.....................................................................................1
Type chapter title (level 2) ...................................................................................2
Type chapter title (level 3) ................................................................................3
Type chapter title (level 1) .....................................................................................4
Type chapter title (level 2) ...................................................................................5
Type chapter title (level 3) ...................................................................................... 6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Setiap manusia yang sehat secara rohani pasti memiliki sikap moral dalam
menghadapi keadaan-keadaan yang menyertai perjalanan hidupnya. Sikap moral ini
ada yang hadir begitu saja tanpa harus disertai pergulatan atas pilihan-pilihan
dilematis, namun ada pula sikap moral yang perlu direnungkan secara mendalam
sebelum ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap moral itulah yang pada
umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil suatu tindakan.
Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan etika. Dengan
demikian, setiap manusia siapapun dan apapun profesinya membutuhkan
perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait dengan profesinya. Dalam
konteks inilah lalu timbul suatu cabang etika yang disebut etika profesi.

Etika profesi sesungguhnya telah menjadi bahan perbincangan klasik, setua


dengan kemunculan sebutan “profesi” itu sendiri. Tentu saja perbincangan tentang
etika profesi itu pada awalnya masih berskala makro, yakni tentang dasar-dasar
moral yang baik bagi semua orang yang menekuni pekerjaan di segala bidang.
Mengingat karakteristik setiap pekerjaan tidak selalu sama, selanjutnya pekerjaan
itu diartikan secara lebih spesifik, lalu lahirlah sebutan profesi, yakni jenis-jenis
pekerjaan yang antara lain menuntut pendidikan dan keterampilan tertentu. Salah
satu diantara sekian banyak profesi yang ada, profesi hukum merupakan salah satu
profesi yang tergolong paling tua dalam sejarah kehidupan manusia.

Di perguruan tinggi di Indonesia, etika profesi hukum dapat dikatakan


masih menjadi bahan kajian yang “serbatanggung”. Materi ini-khususnya yang
diajarkan di Program Sarjana Ilmu Hukum1belum lama dilangsungkan dan
dimasukkan dalam kurikulum.

1
Pemberian materi etika profesi hukum wajib menurut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0325/U/1994 tentang kurikulum yang Berlaku Secara Nasional Program Sarjana.
Memang di beberapa perguruan tinggi sudah ada yang mengambil inisiatif
mengadakan mata kuliah khusus tentang etika profesi hukum ini. Tetapi secara
nasional baru pada tahun 1994 materi ini dijadikan materi wajib nasional.

Materi etika profesi hukum ini memang selayaknya diberikan kepada calon
penyandang profesi hukum sedini mungkin2. Seperti dinyatakan oleh Franz
Magnis-Suseno, etika profesi baru dapat ditegakkan apabila ada tiga ciri moralitas
yang utama, yaitu:

1. Berani berbuat dengan bertekad bertindak sesuai dengan tuntunan profesi,

2. Sadar akan kewajibannya, dan

3. Memiliki idealisme yang tinggi.

Jelaslah ciri-ciri moralitas demikian membutuhkan proses, paling tidak


harus terbina sejak calon penyandang profesi hukum itu di didik di bangku kuliah,
bukan ketika yang bersangkutan sudah menjalankan tugasnya sebagai fungsionaris
hukum3.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi sebagai polisi lalu lintas
(Polantas) merupakan profesi yang rawan dengan tindak korupsi ataupun suap.
Mungkin hampir semua pembaca pernah ditilang oleh polantas, dan kebanyakan
dikarenakan polantas tersebut yang mencari-cari kesalahan. Ujung-ujung dari tilang
tersebut adalah duit, terlepas apakah duit tersebut memang untuk negara atau malah
nangkring di saku sang polantas tersebut. Bukan bermaksud mendeskriditkan
polantas secara keseluruhan namun penulis hanya ingin agar polantas kedepannya
memegang teguh etikanya sebagai pelayan masyarakat.

2
Aristoteles mengatakan “ sebaiknya etika tidak dipelajari oleh orang muda, antara lain karena mereka belum memiliki cukup
pengalaman hidup untuk menangkap dan menilai dengan semestinya jangkauan serta bobot masalah-masalah etis. Para
penulis makalah ini setuju dengan pendapat K. Bertens, bahwa untuk kondisi dewasa ini, khusus bagi dunia pendidikan tinggi
Indonesia, pemberian studi tentang etia tidak mungkin ditunda lagi. Jika mereka tidak diperkenalkan dengan studi etika,
terutama etika profesi yang bakal diembannya-praktis mereka tidak memiliki kesempatan lagi. (lihat : K. Bertens, Etika,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm.x.
3
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika Aditama,
cet. Kedua, maret 2009), hlm. 1-3.
Polantas sebetulnya adalah profesi yang mulia, bahkan penulis pernah
menyaksikan bagaimana polantas masih tetap sabar mengatur arus lalu lintas dikala
hujan ataupun ditengah teriknya matahari, sehingga hal ini sempat menimbulkan
simpati dari penulis. Bagaimana kesabaran polantas tersebut mampu menjalankan
tugasnya dalam berbagai kondisi dan cuaca merupakan hal yang patut diapresiasi
oleh masyarakat dan harus tetap dipertahankan.

Namun citra positif ini ternyata tak selamanya mampu disampaikan oleh
semua polantas. Masih banyak polantas yang malah tidak memahami bagaimana
kemuliaannya sebagai polantas. Ia malah sibuk mencari-cari kesalahan dari
pengendara bermotor. Oknum ini bisa dikatakan mereka-mereka yang haus dengan
uang, kejujurannya bisa dibeli dengan uang senilai tiga puluh ribu rupiah.
Sesungguhnya tanpa mereka sadari, dengan berbuat demikian harga dirinya sebagai
pelayan masyarakat telah dijual dengan harga yang teramat murah.

Adalah hal yang sangat miris, ketika polantas tidak lagi memiliki etika, dan
mengabaikan kode etik kepolisian. Slogan yang menyatakan dirinya sebagai
pelayan masyarakat ternyata hanya dijadikan lips service saja. Bagaimana bisa
melayani masyarakat, kalau ternyata dalam mindset polantas tersebut masih
menjadikan masyarakat sebagai lumbung uang. Bahkan pelayanan yang seharusnya
menjadi kewajibannya tidak dijalankan dengan baik dan malah kesangaran dan
kegararangannya yang ditunjukkan pada masyarakat. Seolah ia sebagai polantas
paling hebat dan berkuasa serta mengangap rendah orang lain4.

B. Rumusan Masalah.

a)

b)

c)

4
https://lajulangkahharrokah.wordpress.com/2010/08/20/mempertanyakan-etika-polantas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepolisian.

Begitu pula, jika ada suatu kasus tindak kriminalitas, seperti perkosaan,
polisi dapat menjadi sasaran penilaian dan bahkan kemarahan masyarakat (korban),
bilamana perkara ini dalam waktu cukup lama belum juga ada kabarnya, yang
mengesankan kasus itu dibuat mengambang. Padahal, bisa jadi polisi memang
dihadapkan pada kesulitan berikut.

Pertama, kasus itu hendak dimajukan (dikirimkan) ke jaksa, tetapi alat-alat


buktinya tidak mendukung. Kedua, jika kasus itu “dideponir” atau dihentikan
penyidikannya, dikhawatirkan korpsnya akan diajukan ke praperadilan. Tugas
polisi memang cukup berat, sebab sebagai pemegang kunci awal dunia peradilan,
polisi memiliki beban moral, sosial, yuridis, dan struktural.
DAFTAR PUSTAKA

Prakoso, Djoko, Penyidik Penuntut Umum, Hakim, dalam proses Hukum Acara
Pidana, PT. Bina Aksara, cet. Pertama januari 1987.
Nuh, Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: Rajawali Pers, ed.1, cet. 13, tahun 2014.
Mahruddin, Hukum Tata Negara, Kendari: Agustus 2010.
Kamaruddin, Ilmu Hukum, Kendari: 23 Agustus 2008.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung:
Refika Aditama, cet. Kedua, maret 2009.
Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkapolri 14/2011).
https://lajulangkahharrokah.wordpress.com/2010/08/20/mempertanyakan-etika-
polantas. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (“PP 80/2012”)
Pasal 106 ayat (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (“UU LLAJ”)

https://www.beritatransparansi.com/etika-profesi-hukum-dan-penegakan-hukum-
di-indonesia-hambatan-dan-upaya-mengatasinya. Diakses pada tanggal 08
Oktober 2018.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-polantas-
dalam-memberhentikan-pengendara-bermotor. Diakses pada tanggal 08
Oktober 2018.
http://artikelddk.com/tugas-fungsi-dan-peranan-polisi-lalu-lintas-polantas. Diakses
pada tanggal 08 Oktober 2018.
http://tribratanews.kepri.polri.go.id/2018/02/25/fungsi-polisi-lalu-lintas Diakses
pada tanggal 08 Oktober 2018.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-polantas-
dalam-memberhentikan-pengendara-bermotor. Diakses pada tanggal 08
Oktober 2018.

Karim, Nurdin, Public Relations,. edisi Pertama, cet. Ke-1 kendari 2009.
R, Andrew, Penegakan Hukum Lalu Lintas, Bandung: Nuansa, 2011.

Anda mungkin juga menyukai