Sementara itu, logika administrasi menyebutkan bahwa berdasarkan literatur manajemen, jika suatu
organisasi dapat dibuat jadi lebih terbuka dan partisipatif, para pekerja akan lebih termotivasi dalam
menginvestasikan waktu dan energi mereka demi organisasi. Eselon birokrasi tingkat bawah punya
kumpulan informasi seputar klien (warganegara) yang mereka beri pelayanan, sehingga mereka
tentu tahu kebutuhan dasar mereka. Jika mereka (para eselon bawah ini) diberikan kesempatan
berimprovisasi, maka performasi birokrasi Negara secara otomatis akan menaik.
Trust dan Legitimasi. Masalah dasar dari birokrasi publik adalah trust (kepercayaan) dan
legitimacy (keabsahan). Kini telah meruyak kabar seputar ketidakpercayaan masyarakat atas
birokrasi Negara. Korupsi, rente, kelambanan, merupakan beberapa keluhan di antaranya. Dengan
kata lain, trus warganegara atas birokrasi Negara berada dalam titik rendah. Warganegara pun
merasa tidak percaya diri ketika berhadapan dengan birokrasi Negara, yang salah satunya
diakibatkan ketiadaan trust ini.
Hilangnya trust juga merupakan hasil dari ketidakmampuan warganegara dalam menentukan pola
kebijakan pemerintah. Sebab itu, sebagai jalan keluar, perlu dibangun sarana pelibatan dan
pemberdayaan warganegara yang mampu menutupi hilangnya trus ini.
Di sisi lain, legitimasi pun menjadi masalah tersendiri. Legitimasi berkait dengan masalah
pentingnya masyarakat sipil dalam pemerintahan. Asumsinya adalah, agar efektif secara
demokratis, pemerintahan harus didukung keterlibatan aktif dari masyarakat sipil.3 Ketika
pemerintah memberdayakan keterlibatan kelompok-kelompok sipil dalam pemerintahan, secara
otomatis legitimasi mereka akan meningkat. Aktor-aktor masyarakat sipil perlu diajak ikut serta
dalam menentukan kebijakan publik.
Governing dan Governance secara asal bahasa berkait dengan bagaimana mengatur dan
mengendalikan sesuatu. Tatkala pemerintah hendak mencapai tujuannya, mereka harus sadar
konsekuensi-konsekuensi dari tindakan sebelumnya seraya menggunakan feedback-feedback yang
muncul dari lingkungan selaku bahan baku (input) kebijakan kemudian.
Pola mengatur atau governing tradisional ditandai dengan konsenstrasi otoritas yang hirarkis
dan ditentukan dari pusat pemerintahan. Dalam Negara demokratis, otoritas itu dihasilkan lewat
mekanisme pemilu, sementara di Negara-negara nondemokratis, otoritas datang dari kendali
pemerintah atas instrument-instrumen kekuatan di dalam masyarakat. Baik di Negara demokratis
maupun nondemokratis, birokrasi publik dikonseptualisasi sebagai bertanggung jawab pada
political masters mereka, sementara para staf birokrasi publiknya bercorak hirarkis dan bersifat
politis.
Tata cara governing seperti ini kemudian direformasi lewat NPM (New Public Management).
NPM bercara pandang neo-liberal. NPM cenderung mengurangi posisi dominan dari para politisi
dalam birokrasi publik. Kerap dalam NPM ini, manager publik (para kepala badan birokrasi)
diambil dari kalangan luar pemerintahan dengan tujuan mengaplikasikan tata cara baru dalam
melakukan pengaturan (governing). Mereka dapat saja diambil dari direktur-direktur perusahaan
swasta, praktisi, akademisi, ataupun organisasi-organisasi LSM. Posisi para kepala ini bukan
sekadar kepala birokrasi publik tetapi juga policy entrepreneur (wirausahawan kebijakan). Sebab
itu, kriteria unggulan dalam NPM adalah pada performa bukan lagi pada kriteria politik.
Di Indonesia dapat kita ambil contoh perekrutan Riny Suwandi (Direktur PT. Astra) selaku Menteri
Perdagangan atau Sri Mulyani Indrawati (akademisi) selaku Menteri Keuangan. Upaya-upaya ini
dilakukan pemerintah demi mengambil perspektif masyarakat sipil dan professional dalam
melakukan penataan kehidupan birokrasi publik. Namun, peralihan otoritas menuju para manager
ini bukan tanpa risiko. Terkadang terjadi masalah koordinasi dan koherensi kebijakan di kalangan
pemerintah sendiri.
Governance atau memerintah bersama merupakan pendekatan alternative atas governing atau
tepatnya, administrasi Negara. Governance hakikatnya adalah pelibatan masyarakat secara lebih
besar dalam melakukan governing. Governance berupaya mengurangi aspek hirarki dalam sistem
administrasi Negara. Masalah hirarki ini kerap dicurigai sebagai penyebab hilangnya orang-orang
berbakat di dalam pemerintahan dan mengasingkat publik.
Dalam konsep governance, masalah jaringan atau network menempati posisi penting. Network
merupakan komponen sentral dalam kerangka governance. Asumsi dasarnya adalah, suatu
kebijakan lahir akibat pengaruh aneka organisasi sipil, actor sipil, ataupun lembaga-lembaga
pemerintah. Interaksi antarkomponen inilah yang kemudian membentuk network suatu kebijakan
pemerintah.
Network ini diasumsikan mampu mengatur diri sendiri dan mampu membuat serta
mengimplementasikan keputusan atas diri mereka. Network ini menyediakan link antara Negara
dengan masyarakat. Namun, ia berbeda dengan hubungan di dalam perusahaan atau korporasi.
Dalam governance network ini, hubungan lebih bersifat otonom dan bahkan mampu
mengesampingkan Negara ketimbang melayaninya.
Network ini dapat berupa struktur terbuka yang akan mengakomodasikan luasnya cara pandang dan
pula melibatkan partai-partai politik. Di sisi lain, network ini pun dapat berupa struktur tertutup
yang hanya terdiri atas keanggotaan dari mereka-mereka yang punya skill atau pengetahuan
tertentu. Ketertutupan ini pun ditandai dengan spesifikasi mereka untuk mempengaruhi kebijakankebijakan tertentu saja.
Jika NPM hanya mengupayakan desentralisasi implementasi kebijakan, maka governance justru
mengupayakan pembuatan kebijakan dalam cara yang lebih terdesentralisasi. Dalam governance
hirarki organisasi lebih bersifat datar dan bersifat bottom-up, ketimbang di NPM yang top-down.
Governance dan Demokrasi
Dalam pengertian umum demokrasi perwakilan, warganegara terlibat dalam penentuan kebijakan
hanya secara periodik, di waktu pemilu saja. Kini, lewat konsep governance keterlibatan
warganegara hendak dilakukan setiap saat. Warganegara dapat terlibat dalam penentuan kebijakan
dan cara pelaksanaannya melalui serangkaian aktivitas yang menghubungkan publik pada
pemerintah.
Lewat konsepsi governance terjadi peralihan lokus keterlibatan publik, dari sekadar input
(pemilu) menjadi output (penentuan kebijakan dan pelaksanaannya). Pemerintah dalam persepsi
NPM legitimasinya berada dalam hal output mereka atas customer (warganegara). Dalam
governance terdapat lebih elemen demokrasi dan politik yang terlibat dalam legitimasi. Namun,
legitimasi politik tersebut bukan berasal dari partai politik dan caleg terpilih, tetapi lebih diturunkan
dari kontak-kontak langsung antara warganegara dengan pemerintah, khususnya dengan birokrasibirokrasi pemerintah. Ini atas asumsi, warganegara lebih banyak bersentuhan dengan para birokrat
ketimbang caleg terpilih mereka.
Pada sisi lebih lanjut, kontak-kontak yang terjalin antara warganegara dengan birokrat akan
mendorong terbentuknya trust dalam sistem pemerintahan dan atas pemerintah itu sendiri.
Interaksi ini terjalin juga antara kelompok-kelompok sosial masyarakat dengan pemerintah, yang
jika berjalan dengan harmonis, akan mendorong terbentuknya citra positif atas pemerintah.
Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2006)
B. Guy Peters, Governance and Publik Bureaucracy: New Forms of Democracy or Ne